SINDROM NEFROTIK 3
-
Upload
a-nurfatiha-jafar -
Category
Documents
-
view
12 -
download
0
description
Transcript of SINDROM NEFROTIK 3
SINDROM NEFROTIK
I. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik pertama kali ditemukan pada abad ke-15. Kemudian,
Volhard dan Fahr menggunakan kata nephrosis untuk menggambarkan
klasifikasi penyakit ginjal bilateral. Saat ini, sindrom nefrotik dikenal sebagai
penyakit kronik yang umum pada anak. Kumpulan bentuk sebagai karakterisasi
dari sindrom nefrotik timbul dari perubahan primer yang terjadi pada barrier
selektif dari dinding kapiler glomerular, yang tidak lama lagi mampu
merestriksi kehilangan protein kurang dari 100 mg/m2 permukaan tubuh setiap
hari.(1)
Walaupun sindrom nefrotik mungkin timbul bersama-sama dengan
banyak penyakit serta kelainan ginjal, bentuk yang paling umum pada sindrom
nefrotik primer yang timbul bersama-sama dengan gangguan extrarenal. Selain
itu , sindrom nefrotik pada anak adalah konsekuensi dari inflamasi atau iskemik
glomerular atau akibat gangguan ginjal yang diturunkan secara genetik.
Walaupun patogenesis dari sindrom nefrotik idiopatik pada anak masih belum
jelas, namun petunjuk yang penting meliputi identifikasi mutasi gen yang
mengkode secara fungsional protein sel epitel glomerular (podosit).Empat
komponen utama dari sindrom nefrotik meliputi, bengkak, protein signifikan
pada urin, kadar protein darah yang rendah (albumin) dan peningkatan kadar
kolesterol. Peningkatan kadar kolesterol pada sindrom nefrotik tidak menjadi
perhatian jangka panjang.(1,2)
II. DEFINISI
Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai
pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang
dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-
1
100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun
hingga kurang dari 2,5 gram/dl.(2,3)
III. EPIDEMIOLOGI
Sindrom nefrotik idiotpatik mengenai 16 dari 100.000 anak, yang
membuat kondisi ini menjadi salah satu penyakit ginjal anak yang umum
ditemukan. Pendekatan terapeutik sindrom nefrotik pada anak ini berdasarkan
studi oleh the International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC).
Antara tahun 1967 dan 1974, 521 anak dengan sindrom nefrotik ditinjau dengan
klasifikasi histologis minimal change (MCNS) (77.1%), focal segmental
glomeruosclerosis (FSGS) (7.9%), membranoproliferative glomerulonephritis
(6.2%), dan lainnya (8.8%).(4)
Sindrom nefrotik pada anak didapatkan pada semua usia namun yang
paling sering terjadi antara usia 1½ dan 5 tahun. Dan tampaknya lebih sering
mengenai anak laki-laki dibandingkan degan anak perempuan.(5)
IV. ETIOLOGI
Sindrom nefrotik bukan merupakan penyakit ginjal yang spesifik.
Kelainan ini dapat timbul pada kelainan ginjal yang rusak unit penyaringannya
sehingga protein dapat ditemukan di urin. Bebarapa penyakit yang dapat
menyebabkan sindrom nefrotik, seperti diabetes dan lupus.(2)
Sindrom nefrotik bisa terjadi akibat berbagai glomerulopati atau penyakit
menahun yang luas. Sejumlah obat-obatan yang merupakan racun bagi ginjal
juga bisa menyebabkan sindroma nefrotik. Sindrom nefrotik biasa berhubungan
dengan kepekaan tertentu. Beberapa jenis sindrom nefrotik: (3)
1. Sindrom nefrotik infantil primer, terdiri dari:
Sindrom nefrotik idiopatik yang terdiri dari:
Sindrom nefrotik kelainan minimal
Glomeruloskelerosis fokal segmental
2
Glomerulonefritis membranosa
Sklerosis mesangial difus (SMD, diffuse mesangial sclerosis)
Sindrom nefrotik infantil yang berhubungan dengan sindrom
malformasi:
Sindrom Denys-Drash (SDD)
Sindrom Galloway-Mowat
Sindrom Lowe (3,6)
2. Sindrom nefrotik infantil sekunder atau didapat yang terjaid karena:
Infeksi : sifilis, virus sitomegalo, hepatitis, rubella, malaria,
toksoplasmosis, HIV.
Toksik : merkuri yang menyebabkan immune-complex-mediated
epimembranous nephritis
Lupus Eritematosus sistemik
Sindrom hemalitik uremik
Reaksi obat
Nefroblastoma atau tumor wilms.
Sindrom nefrotik secara gambaran histologik
International Collaboratif Study of Kidney Disease in Children
(ISKDC) telah menyusun klasifikasi histopatologik Sindrom Nefrotik
Idiopatik atau disebut juga SN Primer sebagai berikut:
Minimal Change= Sindrom nefrotik minimal (SNKM)
Glomeroluklerosis fokal
Glomerulonefritis floriferatif yang dapat bersifat
- Difus eksudatif
- Fokal
- Pembentukan crescent (bulan sabit)
- Mesangial
- Membranoproliferatif
3
Nefropati membranosa
Glomerulonefritis kronik(3,6)
3. Sindrom Nefrotik menurut terjadinya
Sindrom Nefrotik Kongenital
Pertama kali dilaporkan di Finlandia, sehingga disebut juga SN
tipe Finlandia. Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak
lahir premature (90%), plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat
badan). Gejala asfiksia dijumpai pada 75% kasus. Gejala pertama berupa
edema, asites, biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam minggu
pertama. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai hipoproteinemia,
proteinuria massif dan hipercolestrolemia. Gejala klinik yang lain berupa
kelainan congenital pada muka seperti hidung kecil, jarak kedua mata
lebar, telinga letaknya lebih rendah dari normal. Prognosis jelek dan
meninggal karena infeksi sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu cara
untuk menemukan kemungkinan kelainan ini secara dini adalah
pemeriksaan kadar alfa feto protein cairan amnion yang biasanya
meninggi. (3,6)
Sindrom Nefrotik yang didapat:
Termasuk disini sindrom nefrotik primer yang idiopatik dan sekunder.(3,6)
V. PATOGENESIS
Pada pemabahasan selanjutnya, yang dimaksud dengan SN adalah
Sindrom Nefrotik yang idiopatik dengan kelainan histologik yang berupa
SNKM. Terdapat beberapa teori yang terjadi pada anak yaitu(7)
1. Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)
Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibody sehingga
terjadi reaksi antigen antibody larut dalam darah. SAAC ini kemudian
4
menyebabkan system komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga
komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang
kemudian terperangkap dibawa epitel capsula bowman yang secara
imunofloresensi terlihat beberapa benjolan yang disebut HUMPS
sepanjang membran basalis glomerulus berbentuk granuler atau noduler.
Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS inilah yang menyebabkan
permeabilitas mbg terganggu sehingga eritrosit, protein, dan lain-lain
dapat melewati mbg sehingga dapat dijumpai didalam urin.(1,7)
2. Perubahan elektrokimia
Selain perubahan struktur mbg, maka perubahan elektrokemis dapat
juga menimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa
kelainan terpenting pada glomerulus berupa gangguan fungsi elektrostatik
(sebagai sawar glomerulus terhadap filtrasi protein) yaitu hilangnya fixed
negatif ion yang terdapat pada lapisan sialo-protein glomeruli. Akibat
hilangnya muatan listrik ini maka permeabilitas mbg terhadap protein
berat molekul rendah seperti albumin meningkat sehingga albumin dapat
keluar bersama urin.(1,7)
VI. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis sindroma nefrotik meliputi:
1. Edema
Dulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
akibat hipoalbuminemia dan retensi natrium (teori underfill). Hipovolemi
menyebabkan peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan
katekolamin plasma serta penurunan atrial natriuretic peptide (ANP).
Pemberian infus albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan
laju filtrasi glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air yang
menyebabkan edema berkurang. Peneliti lain mengemukakan teori overfill.
5
Bukti adanya ekspansi volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma
yang rendah serta peningkatan ANP. Beberapa penjelasan berusaha
menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan
edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma
menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat
selama fase diuresis. (5,9)
2. Proteinuri
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian
kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas
membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas
glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan
dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung
dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih
besar dari 70 kD melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi
oleh charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size
selective barrier. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama
oleh hilangnya charge selectivity sedangkan pada nefropati membranosa
disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity. (5,9)
3. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin
dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati
biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan
albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
4. Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan
6
peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer
(penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate
density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid
distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. (5,9)
5. Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.
Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis
glomerulus yang permeabel. (5,9)
6. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein
S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor
V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit,
perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX,
XI). (5,9)
7. Kerentanan terhadap infeksi
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan
lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti
Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi
gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni
dan peritonitis. (5,9)
Gejala awal Sindrom Nefrotik dapat berupa:
1. Berkurangnya nafsu makan
2. Pembengkakan kelopak mata
3. Nyeri perut
4. Pengkisutan otot
5. Pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air
7
6. Air kemih berbusa.(5,9)
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urin
Albumin:
Kualitatif: ++ sampai ++++
Kuantitatif: >50 mg/KgBB/hari (diperiksa memakai
reagens ESBACH)
Sedimen: oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir
lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, lekosit, toraks hilain dan
toraks eritrosit. (3)
Hal tersebut di atas dikatakan sebagai proteinuria atau
dapat juga disebut albuminuria. Albumin adalah salah satu jenis
protein. Ada dua sebab yang menimbulkan proteinuria, yaitu:
permeabilitas kapiler glomelurus yang meningkat akibat kelainan
atau kerusakan mbg dan reabsorpsi protein di tubulus berkurang.
Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan mbg, maka
proteinuria dapat dipakai sebagai petunjuk sederhana untuk
menentukan derajat glomerulus. Jadi, yang diukur adalah index
selectivity of proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan dengan cara
mengukur rasio antara clearance igG dan cleareance transferin. (3)
Bila ISP (ISP = Clearance / cleareance transferin)< 0,2
berarti ISP meninggi (highly selective proteinuria) yang secara
klinik menunjukan: (3)
- Kerusakan glomerulus ringan
- Respon terhadap kortikosterois baik
Bila ISP > 0,2 berarti ISP menurun (poorly selective
proteinuria) yang secara klinik menunjukan: (3)
8
- Kerusakan glomerulus berat
- Tidak respon terhadap kortikosteroid
2. Darah
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai: (3)
Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100ml)
Albumin menurun (N : 4-5,8 mg/100ml). hal ini disebut sebagai
hipoalbuminemia (nilai kadar albumin dalam darah < 2,5 gram/100 ml). SN
kelainan ini dapat disebabkan oleh: (3)
- Proteinuria
- Katabolisme protein yang berlebihan
- Nutricional deficiency
Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat katabolisme
protein yang terjadi di tubuh ginjal. Peningkatan katabolisme ini
merupakan faktor tambahan terjadinya hipoalbuminemia selain dari
proteinuria (albuminuria). Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat
edema mukosa usus sehingga intake berkurang yang pada gilirannya
dapat menimbulkan hipoproteinemia. Pada umumnya edema anasarka
terjadi bila kadar albumin darah < 2 gram/100ml, dan syok hipovolemia
terjadi biasanya pada kadar < 1 garam/100ml. (3)
- α1 globulin normal (N : 0,1-0,3 gm/100ml)
- α2 globulin meninggi (N : 0,4-1 gm/100ml)
- β globulin normal (N : 0,5-0,9 gm/100ml)
- γ globulin normal (N : 0,3-1 gm/100ml)
- Rasio albumin/globulin < 1 (N : 3/2)
- Komplemen c3 normal/rendah (N : 80-120mg/100ml)
- Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin normal
- Hiperkolestrolemia bila kadar kolestrol > 250mg/100ml.
akhir-akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia oleh
9
karena bukan hanya kolestrol saja yang meninggi dalam
darah, konsituen lemak itu adalah: (3)
Kolestrol
Low density lipoprotein (LDL)
Very low density lipoprotein (VLDL)
Trigliserida baru meningkat bila plasma albumin < 1
gram/100ml
Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu unutk
membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan
sintetis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL.
Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL oleh
lipoprotein lipase. Tetapi pada SN, aktivitas enzim ini
terhambat dengan adanya hipoalbuminemia dan tingginya
kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktivitas
lipoprotein lipase ini disebabkan oleh rendahnya kadar
apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarganya protein
dalam urin. Jadi hiperkolestrolemia ini tidak hanya disebabkan
oleh produksi yang berlebihan, tetapi juga akibat gangguan
katabolisme fosfolipid. (3)
VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium berupa proteinuria massif >3,5 g/1,73 m2 luas permukaan
tubuh/hari), hipoalbuminemia <3 g/dl, edema, hiperlipideia, lipiduria, dan
hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti venerologi diperlukan untuk
menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan
10
histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi,
diperlukan biopsi ginjal.(1)
Diagnosis banding :
1. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi,
edema hepatal, edema Quincke.
2. Glomerulonefritis akut
3. Lupus sistemik eritematosus
IX. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sindrom nefrotik adalah: (9)
1. Infeksi sekunder : mungkin karena kadar immunoglobulin yang rendah
akibat hipoalbuminemia
2. Syok: terjadi terutama hipoalbuminemia berat (< 1mg/100ml) yang
menyebabkan hipovolemi berat sehingga terjadi syok
3. Trombosis vaskuler : mungkin karena gangguan system koagulasi
sehingga terjadi peninggian fibrinogen atau faktor V,VII,VIII dan X.
Trombus lebih sering terjadi pada sistem vena apalagi bila disertai
pengobatan kortikosteroid.
4. Malnutrisi
5. Gagal ginjal kronik(9)
X. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi penyebabnya. Mengobati
infeksi penyebab sindrom nefrotik dapat menyembuhkan sindrom ini. Jika
penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati (misalnya: penyakit Hodgkin
atau kanker lainnya), maka mengobatinya akan mengurangi gejala ginjal. Jika
penyebabnya adalah kecanduan heroin, maka menghentikan pemakaian heroin
pada stadium awal sindrom nefrotik, bisa menghilangkan gejala-gejalanya.
11
Penderita yang peka terhadap cahaya matahari, racun pohon ivy atau gigitan
serangga, sebaiknya menghindari bahan-bahan tersebut. Desensitisasi bisa
menyembuhkan sindrom nefrotik akibat racun pohon ivy atau gigitan serangga.
Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka untuk mengatasi sindrom nefrotik,
pemakaian obat harus dihentikan.(1,8,9)
Pengobatan yang umum adalah diet yang mengandung protein dan kalium
dengan jumlah yang normal dengan lemak jenuh dan natrium yang rendah.
Terlalu banyak protein akan meningkatkan kadar protein dalam air kemih. ACE
inhibitors (misalnya captopril, lisinopril) biasanya menurunkan pembuangan
protein dalam kandung kemih dan menurunkan kosentrasi lemak dalam darah.
Tetapi penderita yang mempunyai kelainan fungsi ginjal yang ringan atau berat,
obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah. Jika cairan tertimbun di
perut, untuk mengurangi gejala dianjurkan makan dalam porsi kecil tetapi
sering. (1,8,9)
Tekanan darah tinggi biasanya diatasi dengan diuretic. Diuretic juga
dapat mengurangi penimbunan cairan dan mengurangi pembengkakan jaringan,
tetapi bisa meningkatkan resiko terbentuknya pembekuan darah. (1,8,9)
Pengobatan Umum
1. Pengobatan dengan kortikosteroid
Pengobatan dengan kortikosteroid terutama diberikan pada SN yang sensitif
terhadap kortikosteroid yaitu pada SNKM. Bermacam-macam cara yang
dipakai tergantung pengalaman dari tiap senter, tetapi umumnya dipakai cara
yang diajukan oleh International Colaborative Estudy of Kidney Disease in
Children (ISKDC, 1976). (1,8,9)
2. Diet harus banyak mengandung protein dengan nilai biologik tinggi dan
tinggi kalori. Protein 3-5gr/kgBB/hari. Kalori rata-rata: 100kalori/kgBB/hari.
12
Garam dibatasi bila edema berat. Bila tanpa edema diberi 1-2gr/hari.
Pembatasan cairan terjadi bias terdapat gejala gagal ginjal. (1,8,9)
3. Aktivitas: tirah baring dianjurkan bila ada edema hebat atau ada
komplikasi. Bila edema sudah berkurang atau tidak ada komplikasi maka
aktifitas fisik tidak memperngaruhi perjalanan penyakit. Sebaliknya tanpa ada
aktifitas dalam jangka waktu yang lama akan mempengaruhi kejiwaan anak. (1,8,9)
4. Diuretik: pemberian diuretic untuk mengurangi edema terbatas pada anak
dengan edema berat, gangguan pernapasan, gangguan gastrointestinal atau
obstruksi urethra yang disebabkan oleh edema hebat ini. Pada beberapa kasus
SN yang disertai anasarka, dengan pengobatan kortikosteroid tanpa diuretik,
edema juga menghilang. Metode yang lebih aktif dan fisiologik untuk
mengurangi edema adalah yang merangsang dieresis dengan pemberian
albumin (salt poor albumin): 0,5-1gr/kgBB selama satu jam yang disusul
kemudian oleh furosemid I.V 1-2mg/kgBB/hari. Pengobatan ini bias diulangi
selama 6 jam bila perlu. Diuretic yang biasa dipakai adalah diuretic jangka
pendek seperti furosemid atau asam etakrinat. Pemakaian diuretic yang
berlangsung lama dapat menyebabkan: (1,8,9)
Hipovolemia
Hipokalemia
Alkalosis
Hiperuricemia
5. Antibiotik: hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi sekunder
XI. PROGNOSIS
13
Prognosisnya tergantung kepada penyebabnya, usia penderita dan jenis
kerusakan ginjal yang bisa diketahui dari pemeriksaan mikroskopik pada
biopsi. Gejalanya akan hilang seluruhnya jika penyebabnya adalah penyakit
yang dapat diobati atau obat-obatan. Prognosis biasanya baik jika penyebabnya
memberikan respon yang baik dari kortikosteroid. Sindrom ini beberapa
diantaranya bisa bertahan setelah menjalani dialisa atau pencangkokan ginjal. (1)
Prognosis yang paling baik ditemukan pada Sindroma Nefrotik akibat
Glomerulonefritis yang ringan 90% penderita anak memberikan respon yang
baik terhadap pengobatan. Jarang yang berkembang menjadi gagal ginjal,
meskipun cenderung bersifat sering kambuh. Tetapi setelah satu tahun bebas
gejala, jarang terjadi kekambuhan. (1)
DAFTAR PUSTAKA
14
1. Allison A Eddy JMS. Nephrotic syndrome in childhood. Seattle:
Lancet; 2003.
2. Johnson A. Nephrotic Syndrome. Children hostp of richm. 2011;2.
3. Sindrom Nefrotik. [online] [cited 2014 Januari 27]:[4 screens].
Available from: URL:www.artikelkedokteran.com
4. Debbie S. Gipson M, MS,a Susan F. Massengill,, MD bLY, MD,c
Shashi Nagaraj, MD,d William E. Smoyer,, MD e, f John D. Mahan,
MD,f Delbert Wigfall, MD,g Paul Miles, MD,h, Leslie Powell R,
CPNP,a Jen-Jar Lin, MD, PhD,d,i Howard, Trachtman M, j and Larry
A. Greenbaum, MD, PhDk. Management of Childhood Onset
Nephrotic Syndrome. Jour of the Ame Aca of Ped 2009;124:747–57.
5. Salvage DBJ. Childhood Nephrotic Syndrome. Nat Ins of Healt. 2011.
6. Beattie DJ. Nephrotic Syndrome. New York: Greater Glasgow; 2007.
7. Bagga A, Mantan M. Nephrotic syndrome in children. Indian J Med
Res. 2005;122:13-28.
8. Goldstein A, Howard Trachtman MD. Pediatric Nephrotic Syndrome.
New York: NYU Langone; 2012.
9. Dawson M. Nephrotic syndrome in childhood. New York: Starship
children's health; 2009.
15