Seorang Anak Perempuan Usia 3 Th Dengan Apendisitis Kronis - Gunung Mahameru

20
Presentasi Kasus Bedah Anak SEORANG ANAK PEREMPUAN 3 TAHUN DENGAN APENDISITIS KRONIS Disusun Oleh: Gunung Mahameru, S. Ked G99141077 KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2015 Pembimbing Residen dr. Opi Pembimbing dr. Suwardi, Sp. B, Sp. BA

description

appendisitis kronis

Transcript of Seorang Anak Perempuan Usia 3 Th Dengan Apendisitis Kronis - Gunung Mahameru

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG ANAK PEREMPUAN 3 TAHUN DENGAN

APENDISITIS KRONIS

Disusun Oleh:

Gunung Mahameru, S. Ked

G99141077

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2015

Pembimbing Residen

dr. Opi

Pembimbing

dr. Suwardi, Sp. B, Sp. BA

BAB I

STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS

I. Identitas Pasien

Nama : An. SK

Tanggal Lahir : 27 Maret 2012

Umur : 3 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Mojolaban, Sukoharjo

Tanggal Masuk : 7 Maret 2015

No. RM : 01199767

II. Keluhan Utama

Nyeri perut kanan bawah

III. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien merupakan rujukan dari praktik dokter swasta di Solo Baru.

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut yang pertama kali muncul sejak

16 hari SMRS. Nyeri diketahui nenek pasien dirasakan pada daerah perut

kanan bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul, terasa memberat saat pasien

memakan makanan padat ataupun berserat. Pada saat nyeri muncul, perut

pasien terasa kembung dan tidak bisa kentut. Kemudian pasien dibawa ke

praktik dokter swasta. Pasien mendapat diagnosis peradangan usus buntu,

kemudian pasien diberi obat dan dirujuk ke RSDM. Nyeri tidak disertai

dengan mual, muntah, maupun diare. Pasien merasa mual namun tidak

muntah. Riwayat demam (+), saat ini demam (-) Sesak (-), batuk (-), pilek

(-). Buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat sakit serupa : (+) 1 bulan SMRS, ke dokter swasta

Riwayat operasi :(-)

Riwayat Trauma : (-)

V. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan yang sama : disangkal

VI. Riwayat Kebiasaan

Makan-makanan pedas : disangkal

Makan makanan asam : disangkal

Sering terlambat makan : disangkal

VII. Riwayat Kelahiran

Pasien lahir spontan ditolong oleh bidan. Ketuban Pecah Dini (-). Saat

lahir pasien langsung menangis kuat.

VIII. Riwayat Kehamilan

Riwayat Ibu ANC : rutin di bidan setempat

Riwayat Ibu sakit saat hamil : disangkal

IX. Riwayat Imunisasi

Pasien telah mendapatkan imunisasi lengkap menurut KMS.

B. PEMERIKSAAN FISIK

I. Keadaan Umum

a. Keadaan umum : compos mentis , tampak sakit sedang, gizi baik

b. Vital sign :

TD : 100/60 mmHg

N : 88 kali per menit, regular, simetris, isi dan tegangan cukup

RR : 22 x/menit

T : 36,9o C per aksilar

II. General Survey

a. Kulit: Kulit sawo matang,kering (-), ujud kelainan kulit (-),

hiperpigmentasi (-)

b. Kepala : mesocephal

c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), cekung (-/-),

reflex cahaya (+/+), pupil isokhor 2mm/2mm

d. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-).

e. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar

darah (-).

f. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), lidah kotor (-), jejas (-).

g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).

h. Thorak : bentuk normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada

simetris

i. Cor

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.

Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.

Perkusi :batas jantung kesan tidak melebar.

Auskultasi :bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising (-).

j. Pulmo

Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.

Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri

Perkusi : sonor/sonor.

Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan

(-/-).

k. Abdomen

Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, perut distended (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal.

Perkusi : timpani

Palpasi : supel, massa (-), nyeri tekan (-), defance muscular

(-)

Nyeri tekan Mc Burney (-)

Rebound tenderness (-)

Rovsing sign (-)

Psoas sign (-)

Obturator sign (-)

l. Genitourinaria : anus (+) normal, BAK normal, Nyeri ketok costo

vertebra (-)

m. Ekstremitas : CRT < 2 detik

Akral dingin Oedema

- -

- -

C. ASSESMENT I

Suspek apendisitis

D. PLANNING I

Injeksi metamizole 500 mg/8 jam

Cek darah lengkap

Apendikogram

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

I. Laboratorium Darah (6 Maret 2015)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hematologi Rutin

Hemoglobin 12,5 g/dL 12,3 – 15,3

Hematokrit 37 % 33 – 45

Leukosit 4,8 Ribu/µl 4,5 – 14,5

Trombosit 348 Ribu/µl 150 – 450

Eritrosit 5,17 Juta/µl 3,8 – 5,8

Golongan Darah O

- -

- -

Index Eritrosit

MCV 71,4 /um 80,0-96,0

MCH 24,1 Pg 28,0-33,0

MCHC 33,8 g/dl 33,0-36,0

RDW 12,1 % 11,6-14,6

HDW 3,3 g/dl 2,2-3,2

Hitung Jenis

Granulosit 29,30 % 52,00 – 67,00

Limfosit 57,30 % 33,00 – 48,00

Monosit 5,60 % 0,00 – 11,00

Hemostasis

PT 13,5 Detik 10,0-15,0

APTT 32,8 Detik 20,0-40,0

INR 1.050

Kimia Klinik

GDS 74 mg/dl 60-100

Albumin 4,6 g/dl 3,8-5,4

Creatinin 0,3 mg/dl 0,3-0,7

Elektrolit

Natrium darah 135 mmol/L 132-145

Kalium darah 4,2 mmol/L 3,1-5,1

Clorida darah 106 mmol/L 98-106

II. Apendikogram (3 Maret 2015)

Plain foto abdomen

Gambaran gas usus dengan fecal material prominen

Gambaran hepar dan lien tak tampak membesar

Kontur ginjal kanan kiri dan psoas shadow tertutup gambaran gas usus

Corpus, pedicle dan DIV tak tampak kelainan

Tak tampak gambaran radioopaque di sepanjang tractus urinarius

Kontras study

Tampak kontras mengisi ileum, coecum, colon ascendens, transversum

dan descendens, kontras tak mengisi apendiks

Kesan : Non filling appendix, suspek edema pada apendiks

Gambar Foto :

Kontras Study foto abdomen :

F. ASSESMENT II

Apendisitis Kronis

G. PLANNING II

Mondok Bangsal

Pro apendiktomi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan

merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi. Walaupun

apendisitis dapat terjadi pada setiap usia, namun paling sering terjadi pada

remaja dan dewasa muda (Lindseth, 2006).

.

B. Anatomi dan Fisiologi Apendiks

Anatomi

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10

cm (kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian

proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks

berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.

Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia

itu.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti

a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis

berasal dari n.torakalis X. oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis

bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari

a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri in tersumbat,

misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren

(Sjamsuhidajat, 2005).

Gambar 1. Anatomi Apendiks

Fisiologi

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam

apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin

sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang

terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA.

Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi.

Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun

tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan

dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh. Apendiks berisi

makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam sekum. Karena

pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung kecil, maka apendiks

cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi

(Sjamsuhidajat, 2005).

C. Etiologi

Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai

berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan

faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan

limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan

sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah

erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian

epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan

pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan

menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional

apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya

ini mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, 2005).

D. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks

oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis

akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut

menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.

Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding

apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan

tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat

aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi

mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri

epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.

Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri

akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai

peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.

Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri

terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren.

Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah

rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas

berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah

apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate

apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau

menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks

lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah

dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya

perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada

gangguan pembuluh darah.

E. Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan

apendisitis kronik (Sjamsuhidajat, 2005).

1. Apendisitis akut.

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh

radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai

maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut

talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral

didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual

dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa

jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih

tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat

2. Apendisitis kronik.

Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya

: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik

apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik

apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan

parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama

dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik

antara 1-5%.

F. Manifestasi Klinis

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari

oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. nyeri

kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah

dan hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan

dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada

antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan,

spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada

beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang

sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada

pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. nyeri

pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. nyeri pada

saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung

kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan

dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran

bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran

kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar.

Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.

Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.

Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus

atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai

ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi

pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan

kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.

G. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik

dann penunjang.

Anamnesis

Nyeri perut

Umumnya dimulai dengan nyeri pada epigastrium atau periumbilikal

sebagai tanda awal serangan apendesitis akut. Hal ini terjadi karena terdapat

obstruksi yang disertai distensi lumen yang mengakibatkan peregangan pada

peritonium visceral, oleh karena proses yang terjadi secara lokal pada

apendiks tersebut. Proses ini menimbulkan perangsanagan pada susunan saraf

otonom yang bersifat viscerosensoris dan visceromotoris. Penghantaran

impuls sensoris berasal dari napendiks melalui serabut saraf yang bersinapas

di ganglion spinalis thorakalis X.

Nyeri visceral ini bersifat diffus dan tidak dapat ditentukan lokasinya

dengan tepat oleh penderita. Seringkali nyeri ini memencar kepermukaan

tubuh sebagai reffered pain dan nyeri direfer ke daearah umbilikus pada

dermatom TH X,XI.XII. Nyeri ini timbul lambat dan akhirnya menetap pada

kuadran kanan bawah sesuai dengan lokasi nyeri dari daerah epigastrium atau

periumbilikal ke perut kanan bawah ini sangat penting. Merupakan suatu

tanda untuk diagnosa. Dengan meningkatnya rangsangan peritonium

rangsangan peritonium, maka nyeri lokal akan bertambah kuat dan cenderung

menekan nyeri umbilikal.

Anoreksia, mual dan muntah

Pada umumnya anoreksia mual dan muntah timbulnya nyeri abdomen,

ini disebakan oleh karena adanya spasme pylorus, sehingga penderita akan

memuntahkan apa saja yang dimakan dan diminum. Bila gejala ini timbul

sebelum nyeri perut maka kecurigaan apendesitis akut dapat disingkirkan.

Demam

Demam biasanya ringan dengan suhu 37,5-38,5ºC. Bila suhu lebih

tinggi mungkin sudah terjadi perforasi.

Pemeriksaan Fisik

Inspeksi

Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit,

kembung (+) bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada

appendikuler abses.

Palpasi

Terdapat nyeri tekan Mc Burney, adanya Rebound tenderness, adanya defans

muskular, Rovsing sign positif, psoas sign positif, obturator sign positif.

Perkusi

Nyeri ketok positif

Auskultasi

Peristaltik normal, bila peristaltik (-) maka terjadi ileus paralitik karena

peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi lebih banyak

berperan dalam menegakkan diagnosis apendisitis dengan peritonitis.

Alvarado Score

Dengan sistem score ini diberikan nilai kuantitatif dari sign dan symtom nyeri

perut.

M : migratory of pain from peri umbilical to right iliaca fossa nilainya 1

A : Anoreksia nilainya 1

N : Nauseanya or vomitus nilainya 1

T : Tenderness : nainya 2

R : Rebound Tenderness nilainya 1

E : Elevation of temperature nilanya 1

L : Leukositosis nilainya 2

Total score 9

7-9 : Apendesitis akut

5-6 : Obsevasi 24 jam , nilai ulanh setelah 24 jam

<5 : Bukan apendesitis akut, pasien bisa dipulangkan

Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

Jumlah leukosit berkisar antara 10.000 dan 16.000/mm³ dengan pergeseran ke

kiri (lebih dari 75 persen neutrofil) pada 75 persen kasus yang ada. 96 persen

diantaranya leukositosis atau hitung jenis sel darah putih yang abnormal.

Tetapi beberapa pasien dengan apendisitis memiliki jumlah leukosit yang

normal. Pada urinalisis tampak sejumlah kecil eritrosit atau leukosit.

Foto Sinar-X dan Ultrasonografi

Tak tampak kelainan spesifik pada foto polos abdomen. Barium enema

mungkin dapat untuk diagnosis tetapi tundakan ini dicadangkan untuk kasus

yang meragukan. Sedangkan pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian

memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.

Apendikogram

Appendicogram dengan non-filling apendiks (negatif appendicogram)

merupakan apendisitis akut. Appendicogram dengan partial filling (parsial

appendicogram) diduga sebagai apendisitis dan appendicogram dengan

kontras yang mengisi apendiks secara total (positif appendicogram)

merupakan apendiks yang normal.

Appendicogram sangat berguna dalam diagnosis apendisitis akut, karena

merupakan pemeriksaan yang sederhana dan dapat memperlihatkan visualisasi

dari apendiks dengan derajat akurasi yang tinggi (Sibuea, 2011).

Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus

yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum

sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam

untuk dewasa, hasil apendikogram diexpertise oleh dokter spesialis radiologi.

Gambar 2.2. Gambaran apendiks normal pada apendikogram

*Tanda panah menunjukkan gambar apendiks normal

H. Diagnosis Banding

Cholecystitis akut

Divertikel Mackelli

Enteritis regional

Pankreatitis

Batu ureter

Cystitis

Kehamilan Ektopik Terganggu

Salphingitis akut

(Kemenkes, 2013).

I. Penatalaksanaan

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.

Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi

aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan ( akhyar yayan,2008 ). Analgetik

dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk

mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko

perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum umum atau

spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan

metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi

Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang

diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan

laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih

terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik

pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau

tidak.

J. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering adalah perforasi apendisitis. Perforasi

usus buntu dapat mengakibatkan periappendiceal abses (pengumpulan nanah

yang terinfeksi) atau peritonitis difus (infeksi selaput perut dan panggul).

Alasan utama untuk perforasi appendiceal adalah keterlambatan dalam

diagnosis dan perawatan. Secara umum, semakin lama waktu tunda antara

diagnosis dan operasi, semakin besar kemungkinan perforasi. Risiko perforasi

36 jam setelah onset gejala setidaknya 15%. Oleh karena itu, setelah

didiagnosa radang usus buntu, operasi harus dilakukan tanpa menunda-nunda.

Komplikasi jarang terjadi pada apendisitis adalah penyumbatan usus.

Penyumbatan terjadi ketika peradangan usus buntu sekitarnya menyebabkan

otot usus untuk berhenti bekerja, dan ini mencegah isi usus yang lewat. Jika

penyumbatan usus di atas mulai mengisi dengan cairan dan gas, distensi perut,

mual dan muntah dapat terjadi. Kemudian mungkin perlu untuk mengeluarkan

isi usus melalui pipa melewati hidung dan kerongkongan dan ke dalam perut

dan usus.

Sebuah komplikasi apendisitis ditakuti adalah sepsis, suatu kondisi

dimana bakteri menginfeksi masuk ke darah dan perjalanan ke bagian tubuh

lainnya. Kebanyakan komplikasi setelah apendektomi adalah (Hugh A.F.

Dudley, 1992):

1. Infeksi luka,

2. Abses residual,

3. Sumbatan usus akut,

4. Ileus paralitik, dan

5. Fistula tinja eksternal

K. Prognosis

Dengan penanganan yang tepat dan baik, prognosis umumnya bonam

(Kemenkes, 2103).

DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes. 2013. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Pelayanan Primer.

Edisi I. Jakarta: Kementerian Republik Indonesia.

Linseth GN. 2006. Gangguan usus halus. Dalam Price, Sylvia A., Wilson,

Lorraine M., 2006. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit.

Ed.6. Jakarta : EGC.

Sibuea, W.H., 1996. Kegunaan Apendikogram Barium per Oral dalam

Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut. Available from:

http://perpustakaan.litbang.depkes.go.id/otomasi/index.php?p=show-

detail&id=1409 [Accessed 2 April 2011] {abstrak}.

Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2005. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:

EGC.