Lapsus Apendisitis

55
1 BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Definisi Apendisitis adalah inflamasi akut pada apendiks verniformis dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran apendiks yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika apendiks yang terinfeksi perforasi (Bailey dan Love, 2008 ) . 1.2 Embriologi Apendiks Apendiks berasal dari usus tengah. Perkembangan usus tengah ditandai dengan pemanjangan usus yang cepat dan mesenteriumnya sehingga terbentuk gelang usus primer. Pada bagian puncaknya, saluran usus tersebut tetap berhubungan langsung dengan kantung kuning telur melalui duktus vitellinus yang sempit. Bagian kranial saluran usus ini berkembang menjadi bagian distal duodenum, jejunum, dan bagian ileum. Bagian kaudal menjadi bagian bawah ileum, sekum, apendiks, kolon asendens, dan dua pertiga bagian proksimal kolon transversum. Sebagai akibat dari pertumbuhan yang cepat ini dan membesarnya hepar yang terjadi serentak, rongga

Transcript of Lapsus Apendisitis

Page 1: Lapsus Apendisitis

1

BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Apendisitis adalah inflamasi akut pada apendiks verniformis dan

merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen Dalam kasus ringan

dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi

dengan penyingkiran apendiks yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian

cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika apendiks yang

terinfeksi perforasi (Bailey dan Love, 2008).

1.2 Embriologi Apendiks

Apendiks berasal dari usus tengah. Perkembangan usus tengah ditandai

dengan pemanjangan usus yang cepat dan mesenteriumnya sehingga terbentuk

gelang usus primer. Pada bagian puncaknya, saluran usus tersebut tetap

berhubungan langsung dengan kantung kuning telur melalui duktus vitellinus

yang sempit. Bagian kranial saluran usus ini berkembang menjadi bagian distal

duodenum, jejunum, dan bagian ileum. Bagian kaudal menjadi bagian bawah

ileum, sekum, apendiks, kolon asendens, dan dua pertiga bagian proksimal kolon

transversum. Sebagai akibat dari pertumbuhan yang cepat ini dan membesarnya

hepar yang terjadi serentak, rongga abdomen untuk sementara menjadi terlalu

kecil untuk menampung semua ekstraembrional usus dan gelung-gelung tersebut

masuk ke rongga selom.

Page 2: Lapsus Apendisitis

2

Gambar 1.1 Herniasi Usus Tengah

Serentak dengan pertumbuhan panjangnya, gelung usus primer berputar

mengelilingi poros yang dibentuk oleh arteri mesenterika superior.

Gambar 1.2 Sumbu Rotasi yang Dibentuk Arteri Mesenterika Superior

Pada minggu ke-10, gelang usus yang mengalami herniasi mulai kembali ke

dalam rongga perut. Ujung distal tunas sekum membentuk suatu divertikel yaitu

apendiks primitif. Karena apendiks berkembang pada saat penurunan kolon,

dapatlah dimengerti bahwa letaknya seringkali di retrocaecal (Langman, 2000).

Page 3: Lapsus Apendisitis

3

Gambar 1.3 Rotasi Intestinal Normal

1.3 Anatomi Apendiks

Apendiks berbentuk sepe1rti tabung sempit dan berongga yang terhubung

dengan sekum (Drake et al., 2010). Apendiks berukuran panjang 2-22 cm.

Kumpulan folikel limfoid tersebar pada mukosa apendiks dan jumlah folikel

tersebut meningkat pada usia 8-20 tahun (Craig, 2011) . Apendiks digantung dari

ileum terminalis oleh mesoapendiks yang dilewati oleh arteri appendikularis.

Lokasi apendiks bervariasi antara lain retrocaecal, retroileal, ileocaecal, ileoileal,

pelvinal (Drake et al, 2010).

Gambar 1.4 Variasi Letak Apendiks

Apendiks adalah organ intraperitoneal dan tersusun dari serosa, lapisan

otot luar yaitu otot longitudinal yang terbentuk dari fusi tiga taenia coli

Page 4: Lapsus Apendisitis

4

diperbatasan antara sekum dan apendiks dan lapisan otot dalam berupa otot

sirkular yang merupakan kelanjutan dari lapisan muskulus sekum. Di bawah

lapisan otot sirkular terdapat lapisan submukosa yang mengandung jaringan

limfoepitelial. Mukosa terdiri dari epitel kolumnar dengan sedikit sel kelenjar dan

sel neuroendokrin argentafin (Craig, 2011).

Gambar 1.5 Jaringan Apendiks

Apendiks divaskularisasi oleh arteri appendikularis yang merupakan

percabangan dari arteri ileokolika. Arteri ileokolika merupakan percabangan dari

arteri mesenterika superior yang memvaskularisasi sekum sampai dengan dua

pertiga proksimal kolon transversum. Vena apendiks bermuara di vena ileokolika

yang melanjutkan diri ke vena mesenterika superior. Sistem limfatik apendiks

mengalir ke limfenodi ileosekal. Persarafan apendiks berasal dari saraf simpatis

dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus mesenterika superior. Serabut saraf

aferen yang menghantarkan rasa nyeri viseral dari apendiks berjalan bersama saraf

simpatis dan masuk ke medula spinalis setinggi segmen torakal X karena itu nyeri

viseral pada apendiks bermula di sekitar umbilikus (Fefendi, 2008).

Page 5: Lapsus Apendisitis

5

Gambar 1.6 Vaskularisasi Apendiks

Apendiks pada dewasa berpangkal pada sekum, lumennya sempit di

bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi,

apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah

ujungnya. Keadaaan ini menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada umur

itu tinggi (Samsuhidajat dan de Jong, 2005).

1.4 Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir di muara apendiks

tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Immunoglobulin sekretoar yang

dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymfoid Tissue) yang terdapat di

sepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA. Immunoglubulin ini

sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan

apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di

Page 6: Lapsus Apendisitis

6

apendiks sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan

di seluruh tubuh. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2

minggu setelah lahir. Jumlahnya terus meningkat selama masa pubertas dan

menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60

tahun, tidak ada jaringan limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen

apendiks komplit.

1.5 Insidensi

Selama kehidupan insidensi terjadinya apendisitis pada laki-laki adalah

12% sedangka pada wanita adalah 25%, sekitar 7% dari semuanya menjalani

operasi apendisitis akut ( Schwartz, 2008).

Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang

dari satu tahun jarang dilaporkan. Diagnosa apendisitis pada kelompok usia muda

biasanya sangat sulit dilakukan mengingat penderita usia muda sulit melukiskan

perasaan sakit yang dialaminya, sehingga kejadian apendisitis pada usia muda lebih

sering diketahui setelah terjadi perforasi. Insidens tertiggi pada kelompok umur 20-

30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada laki-laki dan wanita umumnya

sebanding, kecuali umur 20-30 tahun, insidens laki-laki lebih tinggi (Samsuhidajat

dan de Jong, 2005).

1.6 Etiologi

Apendisitis dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain bakteri dan

sumbatan lumen apendiks. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang

diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit,

tumor apendiks, dan cacing askaris. Penyebab lain yang diduga menyebabkan

apendisitis ialah erosi mukosa appendiks karena parasit seperti Entamoeba

histolytica (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2005).

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah

serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan

menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional

Page 7: Lapsus Apendisitis

7

apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora kolon biasa. Semua hal tersebut

akan mempermudah timbulnya apendisitis (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2005).

1.7 Patologi

Proses patologi pada apendiks sering kali disebabkan adanya obstruksi

lumen apendikuler oleh fekalit. Hal tersebut menyebabkan nekrosis tekanan pada

mukosa dan invasi bakteri pada dinding apendikuler. Penyebab lain dari obstruksi

meliputi elongasi apendiks atau apendiks yang berbelit, adesi, dan neoplasma

seperti karsinoma namun jarang ditemukan (Toy et al., 2008). Usaha pertahanan

tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan

omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa apendikuler yang

secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi

nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak

terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa apendikuler akan menjadi

tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. Apendiks yang pernah

meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut

yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini

dapat menimbulkan keluhan berulang (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2005).

Page 8: Lapsus Apendisitis

8

Gambar 1.7 Patofisiologi Peri Apendikuler Infiltrat

Page 9: Lapsus Apendisitis

9

Gambar 1.8 Patologi Apendiks

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih

panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya

tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan

pada orang tua perforasi mudah terjadi pada apendisitis oleh karena gangguang

pembuluh darah. Gangren dan perforasi lebih banyak terjadi pada orang tua

berumur lebih dari 60 tahun dan mungkin terjadi akibat diagnosis apendisitis yang

terlambat (Toy et al., 2008).

Page 10: Lapsus Apendisitis

10

1.8 Bakteriologi

Populasi bakteri pada apendiks mirip dengan bakteri yang terdapat pada

kolon. Pada apendiks bakteri tetap sepanjang hidup terkecuali Porphyromonas

gingivalis. Bakteri ini hanya terdapat pada usia dewasa. Bakteri pada apendisitis

perlu dikultur karena memiliki kemiripan pada infeksi usus seperti divertikulitis.

Jenis mikroorganisme yang sering terdapat pada kasus apendiks yang perforasi

adalah E. coli dan Bacteroides fragilis. Apendisitis adalah infeksi polimikroba,

dari beberapa kasus pernah dilaporkan sampai terdapat 14 jenis mikroba berbeda

pada kasus perforasi (Schwartz, 2005).

Tabel 1.1 Mikroorganisme pada apendisitis

Perlu dilakukan pemeriksaan sampel rutin pada kasus apendisitis baik

pada kasus perforasi atau tanpa perforasi. Antibiotik efektif dalam pencegahan

infeksi luka pasca operasi dan abses intraabdomen dibatasi sampai 24-48 jam pada

kasus tanpa perforasi. Sedangkan untuk apendisitis yang disertai perforasi

diberikan 7-10 hari. Antibiotik IV diberikan sampai jumlah leukosit normal dan

pasien tidak demam selama 24 jam (Schwartz, 2005).

1.9 Gejala Klinis

Apendisitis biasanya dimulai dengan nyeri samar-samar, nyeri

periumbilikalis yang kolik atau nyeri epigastrium. Dalam 1 sampai 12 jam, tetapi

biasanya dalam waktu 4 sampai 6 jam nyeri beralih ke kuadran kanan bawah

yang dinyatakan sebagai nyeri menetap yang diperparah dengan berjalan atau

Page 11: Lapsus Apendisitis

11

batuk. Pasien biasanya lebih suka berbaring terlentang. Jika diminta bergerak

mereka melakukanya dengan hati-hati. Hampir semua pasien mengalami mual

dengan satu atau dua episode muntah. Mual dan muntah yang berkepanjangan

dimulai sebelum timbulnya rasa sakit menunjukkan diagnosis penyakit lain.

Penderita kadang juga mengalami konstipasi dan pada beberapa kasus dilaporkan

penderita mengalami diare. Demam kurang dari 38°C khas terjadi pada apendisitis

akut. Demam tinggi dapat mengarahkan ke diagnosis penyakit lain atau

menunjukkan ada perforasi apendiks. Denyut nadi normal atau sedikit lebih tinggi

(Schwartz, 2005).

Menurut (Bailey dan Love, 2008), pada beberapa kasus letak apendiks

juga mempengaruhi gejala yang muncul :

a. Retrosekal

- Kekakuan dinding perut sering tidak ada, kadang palpasi dalam

tidak menimbulkan nyeri pada kuadran kanan bawah.

- Kadang nyeri ditemukan pada pinggang dan terdapat kekauan pada

daerah kuadratus lumborum

- Tanda psoas dapat positif karena kontak dengan otot psoas pada

saat fleksi sendi panggul

- Hiperekstensi sendi panggul kadang dapat menimbuilkan nyeri

b. Pelvis

- Diare pada awal gejala karena apendiks kontak dengan rektum

- Jika letak apendik seluruhnya pada pelvis, nyeri pada titik Mc.

Burney jarang didapatkan

- Dalam beberapa kasus nyeri tekan dapat terjadi di atas dan di

sebelah kanan simfisis pubis

- Pada rectal touch bisa didapatkan nyeri pada retrovesikal atau

kavum Douglas terutama di sisi kanan.

- Uji psoas dan obturator dapat positif

- Jika apendiks kontak dengan vesika urinaria dapat menyebabkan

peningkatan frekuensi berkemih

c. Posileal

Page 12: Lapsus Apendisitis

12

- Apendiks terletak di belakang ileum terminal

- Hal ini menyulitkan diagnosis, kadang dapat ditemukan diare dan

muntah.

- Nyeri tekan pada titik Mc. Burney kadang tidak jelas, walaupun

demikian nyeri biasanya segera muncul di sebelah kanan umbilikus

Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan :

A. Keadaan umum pasien masih terlihat sakit dan suhu tubuh masih tinggi,

B. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas

terdapat tanda peritonitis,

C. Hasil labolatorium masih terdapat leukositosis dan pada hitung jenis

terdapat pergeseran ke kiri.

Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda (masa afroid) ditandai

dengan :

A. Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh

tidak tinggi,

B. Pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak ada tanda peritonitis dan hanya

teraba massa dengan batas jelas dengannyeri tekan ringan.

C. Hasil labolatorium hitung leukosit dan hitung jenis normal

Pada kasus apendisitis kronis diagnosis baru ditegakkan jika dipenuhi

semua riwayat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang

kronis apendisitis secara makroskopik dan mikroskopik dan keluhan menghilang

setelah apendektomi. Kriteria mikroskopik apendisitis kronis adalah fibrosis

menyeluruh pada dinding apendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen

apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel

inflamasi kronis. Insiden apendisitis kronis ini sekitar 1-5% (Sjamsuhidajat dan

de Jong, 2005).

1.10 Pemeriksaan Fisik

Pada hari ketiga atau lebih, palpasi setelah serangan apendisitis akut akan

didapatkan teraba massa padat di regio iliaka dekstra dibawah muskulus yang

Page 13: Lapsus Apendisitis

13

rigid sedangkan pada regio abdomen yang lain tidak didapati rigiditas atau massa

padat tersebut. Massa juga dapat ditemukan pada pelvis (Ali dan Rafique, 2010).

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5°C. Bila suhu lebih tinggi,

mungkin sudah terjadi perforata. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal

sampai 1°C.

Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering

terlihat pada penderita dengan komplikasi perforata. Appendisitis infiltrat atau

adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah

(Pieter, 2005) .Apendisitis yang tidak terobati berlanjut dengan perforata dalam

48-72 jam; karenanya, lamanya gejalanya sangat penting dalam mengintepretasi

tanda fisik dalam menentukan strategi pengobatan (Pieter, 2005).

Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan inspeksi tingkah laku pasien dan

keadaan perutnya. Saat akut, pasien dengan apendisitis sering bergerak perlahan

dan terbatas, membungkuk kedepan, dan sering dengan sedikit pincang. Pasien

tersebut akan memegang kuadran kanan bawah dengan tangan dan enggan untuk

naik ke meja periksa. Pada inspeksi, abdomen tampak rata (tidak ada benjolan).

Perubahan warna dan bekas luka memar harus dipikirkan trauma perut. Perut

kembung menunjukkan suatu komplikasi seperti perforata atau obstruksi.

Auskultasi bisa menunjukkan bising usus normal atau hiperaktif atau bisa

didapat bising usus hipoaktif ketika apendiks mengalami perforasi (Hartman,

2000).

Palpasi abdomen harus dilakukan dengan lembut. Kuadran kanan bawah

(titik Mc.burney) harus dipalpasi terakhir setelah pemeriksa mempunyai

kesempatan mempertimbangkan respons terhadap pemeriksaan kuadran yang

seharusnya tidak nyeri. Titik Mc.burney adalah perpotongan lateral dan duapertiga

dari garis yang menghubungkan spina iliaka superior anterior kanan dan

umbilikus. Tanda fisik yang paling penting pada apendisitis adalah nyeri tekan

menetap pada saat palpasi dan kekakuan lapisan otot rektus. Palpasi Abdomen

pada anak, jika anak takut atau agitasi saat pemeriksaan sebelumnya, maka otot

perut mungkin tegang keseluruhan sehingga membuat interpretasi temuan ini

tidak dimungkinkan (Hartman, 2000). Pemeriksaan nyeri lepas harus dikerjakan

Page 14: Lapsus Apendisitis

14

dengan hati-hati supaya bermakna. Palpasi perut yang dalam dan kemudian

dilepaskan dengan tiba-tiba akan menyebabkan nyeri dan rasa takut terutama pada

anak-anak dan hal ini tidak dianjurkan. Perkusi jari dengan lembut pada semua

kuadran merupakan pemeriksaan pada semua kelompok umur tetapi terutama

pada anak yang takut (Hartman, 2000).

Gambar 1.9 Titik Mc.Burney

Pemeriksaan colok dubur yang menyebabkan nyeri pada daerah infeksi

bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika (Pieter, 2005).

Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis

adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak

tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan

yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan

dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks

yang meradang menempel di m. psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan

nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang

kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil.

Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada

apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri (Pieter, 2005).

Page 15: Lapsus Apendisitis

15

Tabel 1.2. Pemeriksaan pada apendisitis

Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan.

Psoas sign atau Obraztsova’s sign

Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah.

Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.

Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah dengan batukTen Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda

spermatic kananKocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar pusat,

kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah.Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign

Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri

Bartomier-Michelson’s sign Nyeri yang semakin bertambah pada kuadran kanan bawah pada pasien dibaringkan pada sisi kiri dibandingkan dengan posisi terlentang

Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit trianglekanan (akan positif Shchetkin-Bloomberg’s sign)

Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba

1.11 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium

Pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada apendisitis

sederhana. Pada apendisits akut leukosit mulai 10.000-18.000/mm3. Jika lebih

dari 18.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforata. Tidak adanya leukositosis

tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri.

Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit

lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika

(Kartono, 1995).

B. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan pencitraan yang mungkin membantu dalam mengevaluasi

pasien dengan kecurigaan apendisitis adalah foto polos perut, ultrasonogram,

enema barium, dan kadang-kadang CT scan. Temuan apendisitis pada foto perut

Page 16: Lapsus Apendisitis

16

meliputi apendikolit yang mengalami kalsifikasi, usus halus yang distensi atau

obstruksi, dan efek massa jaringan lunak (Hartman, 2000). Menurut Darmawan

Kartono (1995) foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau

pemeriksaan fisik meragukan. Gambaran perselubungan mungkin terlihat ”ileal

atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan air-udara di sekum atau ileum).

Patognomonik bila didapatkan gambaran fekalit. Foto polos pada apendisitis yang

telah mengalami perforasi:

a. Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di

kuadran kanan bawah

b. Penebalan dinding usus disekitar letak apendiks, seperti sekum dan

ileum.

c. Garis lemak pra peritoneal menghilang

d. Skoliosis ke kanan

e. Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairan akibat

paralisis usus-usus lokal di daerah proses infeksi.

C. USG (Ultra Sonografi)

Dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran kanan bawah atau

nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya peradangan pada

apendiks menyebabkan ukuran apendiks lebih dari normalnya (diameter ± 5 mm).

Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan bawah seperti inflamatory bowel

disease, divertikulitis sekal, divertikulum meckel, endometriosis dan pelvic

inflamatory disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG.

D. CT scan

CT scan telah menjadi modalitas pilihan untuk mendiagnosis apendisitis

dan lebih akurat dibandingkan USG. CT scan telah terbukti memiliki akurasi

97% dalam mendiagnosis apendisitis. CT scan dengan inflamasi apendiks tampak

fekalit selain itu CT scan dapat mengevaluasi seluruh abdomen dan menemukan

abses dan phlegmon. Kekuranganya pemeriksaan dengan CT scan adalah

ketergantungan pada keterampilan operator, dan keakraban dokter dengan

membaca CT scan.

E. Pemeriksaan Barium Enema dan Kolonoskopi

Page 17: Lapsus Apendisitis

17

Merupakan pemeriksaan awal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya

karsinoma kolon. Temuan pada barium enema adalah temuan pengaruh massa

pada sekum karena proses radang dan lumen apendiks tidak terisi atau terisi

sebagian (Hartman, 2000). Tetapi untuk apendisitis akut, pemeriksaan barium

enema merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan ruptur apendiks.

1.12 Diagnosa Banding

Diagnosa banding nyeri perut kanan bawah antara lain :

1. Gastroenteritis

Musl, muntah dan diare dapat mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan

dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Demam dan

leukositosis kurang menonjol

2. Demam dengue

Dapat dimulai dengan sakit perut seperti peritonitis. Disini didapatkan hasil tes

Rumpel Leede positif, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat

3. Crohn’s disease

Tanda Crohn’s disease adalah diare, penurunan berat badan, dan benjolan dekat

dengan garis midline. Untuk menunjang diagnosis Crohn’s disease,

pemeriksaan penunjang memakai barium harus hati-hati karena dapat

menyebabkan perforasi usus.

4. Limfadenitis mesenterika

Biasanya didahului oleh enteritis atau gasgtroenteritis ditandai dengan nyeri

perut, terutama kanan disertai dengan mual, nyeri tekan perut samar

5. Kista twisted ovarian

Nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan terba masaa dalam ronga

pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina atau colok rektal. Tidak terdapat

demam. Langkah diagnosis yang utama pada penyakit ini adalah pemeriksaan

bimanual yang didukung dengan CT scan.

6. Kehamilan diluar kandungan

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yangbtidak menentu.

Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahn

Page 18: Lapsus Apendisitis

18

akan timbul nyeri mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok

hipovolemik

7. Urolitiasis

Batu ureter atau batu gunjal. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut

menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran khas. Eritrosituria sering

ditemukan. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri

kostovertebra di sebelah kanan dan piuria. Diagnosa dengan foto polos

abdomen atau urografi intravena dapat memastikan

8. Infeksi panggul

Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu

biasanya lebih tinggi dsn nyeri bagian bawah perut lebihbdifus, biasanya dapat

disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina ditemkan nyeri hebat

panggul jika uterus diayunkan

9. Penyakit saluran cerna lainnya

Seperti divertikuliti Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung,

kolesistitis akut, perforasi colon, karsinoid dan mukokel apendiks.

1.13 Tata Laksana

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah

apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik. Penundaan tindakan

bedah sambil pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

Apendektomi dapat dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi.

Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah.

Pada penderita yang diagnosisnya belum jelas sebaiknya dilakukan observasi

dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam

dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskopi, tindakan

laparoskopi diagnosis pada diagnosis yang meragukan akan segera menentukan

akan dilakukan tindakan operasi atau tidak. Pada apendisitis tanpa komplikasi

biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau

apendisitis perforasi (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2005).

Page 19: Lapsus Apendisitis

19

Penggunaan ligasi ganda pada  setelah apendektomi terbuka dilakukan

dengan jahitan yang mudah diserap tubuh. Ligasi yang biasa dilakukan pada

apendektomi adalah dengan purse string (z-stich atau tobacco sac) dan ligasi

ganda. Pada keadaan normal, digunakan jahitan purse string. Ligasi ganda

digunakan pada saat pembalikkan tunggul tidak dapat dicapai dengan aman,

sehingga yang dilakukan adalah meligasi ganda tunggul dengan dua baris

jahitan. Dengan peningkatan penggunaan laparoskopi dan peningkatan teknik

laparoskopik, apendektomi laparoskopik menjadi lebih sering. Prosedur ini sudah

terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih

cepat dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah, akan tetapi terdapat

peningkatan kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi.

Laparoskopi itu dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut

abdomen, terutama pada wanita. Beberapa studi mengatakan bahwa laparoskopi

meningkatkan kemampuan dokter bedah untuk operas (Rahmawati et al., 2009).

Tabel 1.3 Macam insisi pada apendektomi

Insisi Grid Iron (McBurney Incision)Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi paralel dengan otot oblikus eksternal, melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang menghubungkan spina liaka anterior superior kanan dan umbilikus.

Page 20: Lapsus Apendisitis

20

Lanz transverse incisionInsisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada garis miklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik dari pada insisi grid iron.

Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney. Dilakukan jika apendiks terletak di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.

Low Midline IncisionDilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis umum.

Insisi paramedian kanan bawahInsisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di bawah umbilikus sampai di atas pubis.

Page 21: Lapsus Apendisitis

21

1.14 Prognosis

Prognosis mortalitas adalah 0,1% jika apendisitis akut tidak pecah, dan

15% jika pecah pada orang tua. Kematian biasanya dari sepsis, emboli paru, atau

aspirasi; prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum ruptur dan antibiotik

yang lebih baik Mc.Phee et al., 2007).

1.15 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Baik berupa

perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami

pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum,

dan lengkung usus (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2005).

Page 22: Lapsus Apendisitis

22

BAB 2. LAPORAN KASUS

IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. M S

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 35 tahun

Pekerjaan : Tani

Suku : Madura

Agama : Islam

Alamat : Krajan Sidodadi, Tempurejo Jember

No. Rekam Medik : 38.78.51

Tgl. MRS : 28 Mei 2012

Tgl. KRS : 5 juni 2012

ANAMNESIS

Keluhan Utama

Nyeri perut kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang

10 hari SMRS : pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah, sebelumnya

pasien mengeluh nyerinya di ulu hati. Nyerinya bersifat terus menerus, jika dipakai

bergerak nyerinya meningkat. Pasien tidak muntah, tetapi mual, nafsu makan

menurun, demam sumer-sumer. Oleh istri pasien diberi obat penurun panas dan

antibiotik.

3 hari SMRS : pasien mengatakan terasa ada benjolan di perut kanan bawah

sejak 3 hari yang lalu dan nyeri, sempat demam, muntah 2x. Pasien tidak

mengalami penurunan berat badan. Pasien juga mengatakan sulit BAB sebelumnya

tetapi bisa kentut, BAK normal. 2 hari sebelum MRS pasien sempat berobat ke

PKM Tempurejo karena tidak tahan dengan nyerinya. Menurut pasien, di PKM

pasien disuntik obat anti nyeri dan diberi antibiotik. Hari senin malam tanggal 28

Page 23: Lapsus Apendisitis

23

Mei 2012 nyeri kambuh kembali, karena tidak tahan pasien lalu dibawa ke IGD RS

dr. Soebandi.

Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada riwayat operasi sebelumnya, riwayat hipertensi dan riwayat DM

disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti pasien.

Riwayat Pengobatan

Pasien mendapat pengobatan di PKM Tempurejo. Di sana di beri obat suntik

anti nyeri dan antibiotik

PEMERIKSAAN FISIK

Senin, 28 April 2012, jam 21.00 WIB (H0)

KU : Lemah Kesadaran: Compos mentis

VS : TD : 110/70 mmHg RR : 20 x/menit

N : 78 x/menit tº : 36,7 ºC

Status Generalis

Kulit :

Dalam batas normal

Kepala:

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Hidung : tidak ada secret/bau/perdarahan

Telinga : tidak ada secret/bau/perdarahan

Mulut : bibir tidak sianosis, tidak ada pigmentasi, mukosa tidak pucat.

Leher:

Dalam batas normal

Page 24: Lapsus Apendisitis

24

Thoraks:

Cor:

I: Ictus cordis tidak tampak

P: Ictus cordis teraba di ICS IV MCL Sinistra

P: Batas jantung ICS IV Parasternal dekstra sampai ICS V MCL sinistra

A: S1S2 tunggal, extrasistol -, gallop -, murmur -

Pulmo:

I: Simetris, tidak ada retraksi, tidak ada ketertinggalan gerak

P: Fremitus raba normal

P: Sonor

A: Vesikuler +/+, Ronkhi -/- Wheezing -/-

Abdomen:

I: Flat

A: Bising usus (+) normal

P: Tympani, pekak hepar +

P: Soepel, nyeri tekan +, defans muskular -

Ekstremitas:

Akral hangat + + Oedem - -

+ + - -

Status Lokalis:

Regio inguinalis dextra

Masa ukuran ± 3x2 cm, padat kenyal

Nyeri tekan +

Rebound phenomena +

Psoas sign +

RT : nyeri arah pukul 11

ASSESMENT

Apendisitis kronis

Page 25: Lapsus Apendisitis

25

PLANNING

- Cek Lab lengkap

- Infus RL 20 tpm

- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr

- Inj. Metronidazol 3x500 gr

- Inj. Antrain 3x1 amp

- Diet bubur halus

- Posisi semi fowler

S elasa , 2 9 mei 201 2, jam 0 5 . 00 WIB (H 1 MRS)

SUBJEKTIF : Nyeri perut kanan bawah

OBJEKTIF :

KU : Cukup Kesadaran: Compos mentis

VS : TD : 110/80 mmHg RR : 20 x/menit

N : 82 x/menit tº : 35,7 ºC

Status Generalis:

K/L : a/i/c/d : -/-/-/-

Thorak: C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/-

P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler

+/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen: I: Flat

A: Bising usus (+) normal

P: Tympani, pekak hepar (+)

P: Soepel, nyeri tekan (+), defans muskular (-)

Ekstremitas:

Akral hangat + + Oedem - -

+ + - -

Page 26: Lapsus Apendisitis

26

Status lokalis:

Nyeri tekan +

Masa ukuran ± 3x2 cm

Rebound phenomena –

Psoas sign +

ASSESMENT :

Apendisitis kronis

PLANNING :

- Infus RL 20 tpm

- Injeksi Ceftriaxone 2x1gr

- Injeksi Metronidazol 3x500 mg

- Inj. Antrain 3x1

- Diet bubur halus

- Posisi semi fowler

Rabu, 30 mei 201 2, jam 0 5 . 00 WIB (H2 MRS)

SUBJEKTIF : Nyeri perut kanan bawah sudah berkurang

OBJEKTIF :

KU : Cukup Kesadaran: Compos mentis

VS : TD : 110/80 mmHg RR : 20 x/menit

N : 78 x/menit tº : 35,8 ºC

Status Generalis:

K/L : a/i/c/d : -/-/-/-

Thorak: C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/-

Page 27: Lapsus Apendisitis

27

P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler

+/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen: I: Flat

A: Bising usus (+) normal

P: Tympani, pekak hepar (+)

P: Soepel, nyeri tekan (+), defans muskular (-)

Ekstremitas:

Akral hangat + + Oedem - -

+ + - -

Status lokalis:

Nyeri tekan +

Masa -

- Rebound phenomena –

Psoas sign +

ASSESMENT :

Apendisitis kronis

PLANNING :

- Infus RL 20 tpm

- Injeksi ceftriaxone 2x1gr

- Injeksi Metronidazol 3x500 mg

- Inj. Antrain 3x1 amp

- Diet bubur halus

- Posisi semi fowler

- Cek ulang lab

Page 28: Lapsus Apendisitis

28

Kamis, 31 mei 201 2, jam 0 5 . 00 WIB (H3 MRS)

SUBJEKTIF : -

OBJEKTIF :

KU : Cukup Kesadaran: Compos mentis

VS : TD : 110/80 mmHg RR : 20 x/menit

N : 72 x/menit tº : 36,5 ºC

Status Generalis:

K/L : a/i/c/d : -/-/-/-

Thorak: C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/-

P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler

+/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen: I: Flat

A: Bising usus (+) normal

P: Tympani, pekak hepar (+)

P: Soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-)

Ekstremitas:

Akral hangat + + Oedem - -

+ + - -

Status lokalis:

Nyeri tekan -

Masa -

- Rebound phenomena –

Psoas sign -

Page 29: Lapsus Apendisitis

29

ASSESMENT :

Apendisitis kronis

PLANNING :

- Infus RL 20 tpm

- Injeksi ceftriaxone 2x1gr

- Injeksi Metronidazol 3x500 mg

- Diet bubur halus

- Posisi semi fowler

Jum’at, 1 Juni 201 2, jam 0 5 . 00 WIB (H4 MRS)

SUBJEKTIF : Diare cair

OBJEKTIF :

KU : Cukup Kesadaran: Compos mentis

VS : TD : 110/80 mmHg RR : 20 x/menit

N : 74 x/menit tº : 36 ºC

Status Generalis:

K/L : a/i/c/d : -/-/-/-

Thorak: C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/-

P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler

+/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen: I: Flat

A: Bising usus (+) meningkat

P: Tympani, pekak hepar (+)

P: Soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-)

Page 30: Lapsus Apendisitis

30

Ekstremitas:

Akral hangat + + Oedem - -

+ + - -

Status lokalis:

Nyeri tekan -

Masa -

- Rebound phenomena –

Psoas sign -

ASSESMENT :

Apendisitis kronik

PLANNING :

- Infus RL 20 tpm

- Injeksi ceftriaxone 2x1gr

- Injeksi Metronidazol 3x500 mg

- Diatab 3x1

- Diet bubur halus

- Posisi semi fowler

Page 31: Lapsus Apendisitis

31

SUBJEKTIF : -

OBJEKTIF :

KU : Cukup Kesadaran: Compos mentis

VS : TD : 110/70 mmHg RR : 20 x/menit

N : 80 x/menit tº : 36,8 ºC

Status Generalis:

K/L : a/i/c/d : -/-/-/-

Thorak: C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/-

P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler

+/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen: I: Flat

A: Bising usus (+) normal

P: Tympani, pekak hepar (+)

P: Soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-)

Ekstremitas:

Akral hangat + + Oedem - -

+ + - -

Status lokalis:

Nyeri tekan -

Masa -

- Rebound phenomena –

Psoas sign -

Page 32: Lapsus Apendisitis

32

ASSESMENT :

Apendisitis kronis

PLANNING :

- Infus RL 20 tpm

- Injeksi ceftriaxone 2x1gr

- Injeksi Metronidazol 3x500 mg

- Diet bubur halus

- Posisi semi fowler

Minggu , 3 Juni 201 2, jam 0 5 . 00 WIB (H5 MRS)

SUBJEKTIF : -

OBJEKTIF :

KU : Cukup Kesadaran: Compos mentis

VS : TD : 110/80 mmHg RR : 20 x/menit

N : 78 x/menit tº : 36,8 ºC

Status Generalis:

K/L : a/i/c/d : -/-/-/-

Thorak: C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/-

P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler

+/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen: I: Flat

A: Bising usus (+) normal

P: Tympani, pekak hepar (+)

P: Soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-)

Ekstremitas:

Akral hangat + + Oedem - -

+ + - -

Status lokalis:

Page 33: Lapsus Apendisitis

33

Nyeri tekan -

Masa -

- Rebound phenomena –

Psoas sign -

ASSESMENT :

Apendisitis kronis

PLANNING :

- Infus RL 20 tpm

- Injeksi ceftriaxone 2x1gr

- Injeksi Metronidazol 3x500 mg

- Diet bubur halus

- Posisi semi fowler

Senin, 4 Juni 201 2, jam 0 5 . 00 WIB (H6 MRS)

SUBJEKTIF : -

OBJEKTIF :

KU : Cukup Kesadaran: Compos mentis

VS : TD : 110/70 mmHg RR : 20 x/menit

N : 80 x/menit tº : 36,8 ºC

Status Generalis:

K/L : a/i/c/d : -/-/-/-

Thorak: C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/-

P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler

+/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen: I: Flat

A: Bising usus (+) normal

Page 34: Lapsus Apendisitis

34

P: Tympani, pekak hepar (+)

P: Soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-)

Ekstremitas:

Akral hangat + + Oedem - -

+ + - -

Status lokalis:

Nyeri tekan -

Masa -

- Rebound phenomena –

Psoas sign -

ASSESMENT :

Apendisitis kronis

PLANNING :

- Infus RL 20 tpm

- Injeksi ceftriaxone 2x1gr

- Injeksi Metronidazol 3x500 mg

- Diet bubur halus

- Posisi semi fowler

- Pro apendektomi

Page 35: Lapsus Apendisitis

35

LAPORAN OPERASI APENDEKTOMI

Diagnosis Pre Operasi : Apendisitis kronis

Diagnosis Post Operasi : Apendisitis kronis

Jenis Operasi appendiktomi, operasi sedang, elektif

- Informed Consent, iv line, Posisi supinasi, desinfeksi dengan Povidon

Iodine, persempit dengan doek steril

- Incisi paramedian dextra, diperdalam lapis demi lapis sampai dengan

membuka peritoneum

– Didapatkan apendiks meradang ukuran 5 x 0,5 cm, perforasi (-), pus (-),

perlengketan (+), letak antesekal

- Dilakukan apendektomi

– Lapangan operasi ditutup lapis demi lapis à operasi selesai

instruksi post op :

* infus RL : D5 = 1 : 1 (1000 cc/24 jam)

* inj. Ceftriaxone 2x1gr

* inj. Antrain 2x1amp

* Sadar baik MSS diet bebas

Gambar 2.1 Hasil operasi apendektomi

Page 36: Lapsus Apendisitis

36

Selasa, 5 Juni 201 2, jam 0 5 . 00 WIB (H7 MRS, H1 POST OP)

SUBJEKTIF : -

OBJEKTIF :

KU : Cukup Kesadaran: Compos mentis

VS : TD : 110/70 mmHg RR : 20 x/menit

N : 82 x/menit tº : 36,4 ºC

Status Generalis:

K/L : a/i/c/d : -/-/-/-

Thorak: C : S1S2 tunggal, E/G/M : -/-/-

P : Simetris, retraksi -/-, ketertinggalan gerak -, vesikuler

+/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen: I: Flat

A: Bising usus (+) normal

P: Tympani, pekak hepar (+)

P: Soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-)

Ekstremitas:

Akral hangat + + Oedem - -

+ + - -

Status lokalis:

Verban + ukuran 6x4 cm

Darah -

Pus -

Page 37: Lapsus Apendisitis

37

ASSESMENT :

Apendisitis kronis post apendiktomi H1

PLANNING :

- Pro KRS

- Obat pulang : Cefixime 2x100 mg

As. Mefenamat 2x500 mg

- Kontrol Poli Bedah tgl 9-6-2010

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Laboratorium (2 8 Mei 2012)

Hematologi

Hb : 13,6 gr/dl (13,4-17,1 gr/dL)

Lekosit : 7,3 x 109 /L (4,3- 10,3x 109/L)

Hematokrit : 41 % (38-42%)

Trombosit : 152 x 109 /L (150-450 x 109/L)

LED : 41/69 (0-15 mm/jam)

Faal Hati

SGOT : 16 u/L (10-35 u/L)

SGPT : 19 u/L (9-43 u/L)

Faal Ginjal

Serum Kreatinin : 1,0 mg/dL (0,6-1,3 mg/dl)

BUN : 11 mg/dL (6-20 mg/dl)

Urea : 23 mg/dL (10-50 mg/dl)

Asam urat : 3,6 mg/dL (3,4-7 mg/dL)

Elektrolit

Natrium : 134,6 mmol/L (135-155 mmol/L)

Kalium : 43,36 mmol/L (3,5-5 mmol/L)

Klorid : 102,9 mmol/L (90-110 mmol/L)

Page 38: Lapsus Apendisitis

38

Kalsium : 1,92 mmol/L (2,15-2,57 mmol/L)

Kadar gula darah

Sewaktu : 116 mg/dL (< 200 mg/dL)

Hasil Laboratorium ( 31 Mei 2012)

Hematologi

Hb : 14,1 gr/dl (13,4-17,1 gr/dL)

Lekosit : 4,3 x 109 /L (4,3- 10,3x 109/L)

Hematokrit : 41 % (38-42%)

Trombosit : 194 x 109 /L (150-450 x 109/L)

LED : 4/8 (0-15 mm/jam)

Hasil foto thoraks

Dalam batas normal

Hasil USG : mendukung klinis peri apendikuler infiltrat

Page 39: Lapsus Apendisitis

39

BAB 3. DAFTAR PUSTAKA

Ali, S., Rafique, H. M., Appendicular Mass Early Exploration vs Conservative

Management. 2010. Khanewal: Professional Medical Jurnal.

Arshad, M., Aziz, L. A., Qasim, M., Talpur, K. A. H. Early Appendictomy in

Appendicular Mass. 2008. Pakistan: University of Medical and Health

Sciences.

Bailey, H., Love, M.N. Bailey and Love’s Short Practice of Surgery. Ed.25. 2008.

London : Hodder Arnold.

De Jong, Sjamsuhidajat. 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.

Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.

Garba, E. S., Ahmed, A. Management of Appendicular Mass. 2008. Nigeria:

University Teaching Hospital Zaria.

Jordan., J. S., Kovalcik, P. J., Schwab, C. W. Appendicitis with Palpable Mass.

1980. Virginia: Naval Regional Medical Centre.

Kristensen, E. S. M. D., Ivan, H. V. I. D., The Appendiceal Mass Results of

Conservative Management. 1982. Denmark: University of Aarhus.

Mc. Phee, S. J. Current Medical Diagnosis and Treatment. Ed. 46. 2007.

California: The Mc.

Priyatno, J. E. Kontroversi Pengelolaan Apendikuler Infiltrat. 1992. Semarang :

Universitas Diponegoro

Sadler, T. W. Embriologi Kedokteran Langman. Ed. 7. 2000. Jakarta: EGC.

Graw Hill Companies.

Page 40: Lapsus Apendisitis

40

Schwartz’s. Principles of Surgery Part I. Eight Edition. 2005. California: The Mc.

Graw Hill Companies.

Tahir, S., Edin, Pak, Shuja, A. Appendicular Mass/Abscess.