Seminar Jurnal gerontik

24
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan pembangunan disegala bidang memberikan kontribusi sangat penting bagi penduduk dunia. Hasil pembangunan tersebut dibuktikan dengan meningkatnya umur harapan hidup. Semakin meningkat umur harapan hidup mengakibatkan jumlah penduduk lanjut usia semakin bertambah banyak, bahkan cenderung lebih cepat dan pesat (Martono & Pranarka, 2011). Jumlah lanjut usia (di atas 60 tahun) di dunia pada tahun 2000 adalah 11% dari seluruh jumlah penduduk dunia (±605 juta) (World Health Organization, 2012). Menurut perkiraan Biro Pusat Statistik di kutip oleh Nugroho (2012), pada tahun 2005 di Indonesia terdapat 18.283.107 penduduk lanjut usia. Jumlah ini akan melonjak hingga ±33 juta orang lanjut usia (12% dari total penduduk) pada tahun 2020 dengan umur harapan hidup kurang lebih 70 tahun. Lanjut usia merupakan usia yang beresiko tinggi terhadap penyakit-penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes militus, gout (rematik) dan kanker. Salah satu penyakit yang sering dialami oleh lanjut usia adalah

description

seminar jurnal gerontik

Transcript of Seminar Jurnal gerontik

Page 1: Seminar Jurnal gerontik

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peningkatan pembangunan disegala bidang memberikan kontribusi

sangat penting bagi penduduk dunia. Hasil pembangunan tersebut

dibuktikan dengan meningkatnya umur harapan hidup. Semakin

meningkat umur harapan hidup mengakibatkan jumlah penduduk lanjut

usia semakin bertambah banyak, bahkan cenderung lebih cepat dan pesat

(Martono & Pranarka, 2011).

Jumlah lanjut usia (di atas 60 tahun) di dunia pada tahun 2000

adalah 11% dari seluruh jumlah penduduk dunia (±605 juta) (World

Health Organization, 2012). Menurut perkiraan Biro Pusat Statistik di

kutip oleh Nugroho (2012), pada tahun 2005 di Indonesia terdapat

18.283.107 penduduk lanjut usia. Jumlah ini akan melonjak hingga ±33

juta orang lanjut usia (12% dari total penduduk) pada tahun 2020 dengan

umur harapan hidup kurang lebih 70 tahun.

Lanjut usia merupakan usia yang beresiko tinggi terhadap

penyakit-penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK),

hipertensi, diabetes militus, gout (rematik) dan kanker. Salah satu penyakit

yang sering dialami oleh lanjut usia adalah hipertensi. Salah satu penyebab

hipertensi adalah pola hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan yang berkadar garam tinggi, makanan cepat saji, makanan yang berkolesterol, kurang berolahraga, minum alkohol, merokok dapat meningkatkan angka kejadian hipertensi (Palmer & Williams, 2007). Hipertensi

sendiri sering disebut sebagai pembunuh diam-diam, karena dari satu

setengah penderita dengan tekanan darah tinggi tidak menyadari kondisi

kesehatanya. Hipertensi pada lansia didefinisikan dengan tekanan sistolik

diatas 160 mmHg atau tekanan diastolik diatas 90 mmHg (Fatimah, 2010).

Page 2: Seminar Jurnal gerontik

Menurut hasil dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun

2007 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi pada lansia di Indonesia

berdasarkan pengukuran tekanan darah sangat tinggi, yaitu 31,7 persen

dari total penduduk dewasa atau satu di antara 3 penduduk memiliki

hipertensi. Berdasarkan data Riskesdas maka hipertensi (12,3 %) adalah

penyebab kematian penyakit tidak menular kedua terbanyak setelah stroke

(26,9%).

Peran perawat yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah

hipertensi pada lansia adalah dengan cara memberikan pengobatan

farmakologi dan non farmakologi. Salah satu Pengobatan non farmakologi

meliputi rajin berolahraga secara teratur dan menjaga pola makan, dengan

cara pengurangan asupan kalori (bila kegemukan), membatasi asupan

garam, serta bisa juga dengan pembuatan jus dari buah segar dan

pemberian buah belimbing (Adzakia, 2012).

Seperti yang telah dijelaskan oleh Soedarya (2009), bahwa buah

belimbing mempunyai kadar potasium (kalium) yang tinggi dengan

natrium yang rendah sebagai obat hipertensi yang tepat. Sehingga,

diharapkan dengan mengkonsumsi buah belimbing muda dalam jumlah

tertentu (3 buah) dapat menurunkan tekanan darah pada penderita

hipertensi.

B. Tujuan Penulisan

Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui penurunan

tekanan darah pada PM dengan hipertensi sebelum dan sesudah pemberian

buah belimbing.

C. Manfaat

1. Pelayanan keperawatan

Artikel ini dapat menjadi rujukan baru bagi pemberi pelayanan

asuhan keperawatan.

Page 3: Seminar Jurnal gerontik

2. Pendidikan keperawatan

Artikel ini dapat menambah dan memperbarui ilmu di dunia

pendidikan keperawatan.

3. Penelitian keperawatan

Artikel ini dapat menjadi referensi tambahan untuk

mengembangkan penelitian di bidang keperawatan.

Page 4: Seminar Jurnal gerontik

BAB II

HASIL REVIEW

NoPenulis &

NegaraLatar Belakang Design Populasi dan Sampel Instruments Intervensi Hasil Kekuatan & Kelemahan

1. Putri Indah Dwipayanti (Indonesia, 2011)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Kelurahan Balongsari, didapatkan jumlah penderita hipertensi primer adalah 1072 orang dari 8607 penduduk. Hal ini diperkirakan sekitar 12,45% penderita hipertensi primer yang ada di Kelurahan Balongsari (Data Diambil dari Puskesmas Balongsari periode Januari-November di tahun 2009). Di Sumolepen sendiri didapatkan jumlah penderita hipertensi primer adalah 172 orang dari 2678 penduduk yang ada. Ini diperkirakan sekitar 6,4% penderita hipertensi primer di

Desain dalam penelitian ini adalah Pra Eksperimen dengan rancangan One-Group Pre-Post Test Design.

Populasi terjangkau dalam penelitian ini sebesar 43 orang, yaitu penderita hipertensi primer yang rutin memeriksakan penyakitnya di Puskesmas Balongsari Kota Mojokerto periode Januari-November 2010. Jumlah sampel yang digunakan sebesar 30 responden dengan teknik purposive sampling.

Data dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan lembar observasi tekanan darah.

Pemberian terapi buah belimbing dilakukan selama 3 hari berturut-turut dengan frekuensi 2x dalam sehari.

Buah belimbing efektif untuk penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi di Sumolepen Kelurahan Balongsari Kota Mojokerto.

Kelebihan:

Mencantumkan kriteria inklusi dan ekslusi responden yang digunakan untuk menghomogenkan sampel

Kelemahan:

Tidak menggunakan kelompok kontrol, sehingga tidak memiliki pembanding

Page 5: Seminar Jurnal gerontik

NoPenulis &

NegaraLatar Belakang Design Populasi dan Sampel Instruments Intervensi Hasil Kekuatan & Kelemahan

wilayah tersebut dan telah didapatkan sekitar 43 penderita hipertensi atau sekitar 25% penderita yang rutin memeriksakan penyakitnya (Data Diambil dari Puskesmas Balongsari periode Januari-November di tahun 2010).

Melihat kompleksnya permasalahan hipertensi dan adanya hambatan pengobatan hipertensi secara farmakologis akibat daya beli masyarakat yang semakin menurun dan mempunyai harga yang cukup mahal, sehingga antisipasi dari permasalahan tersebut perlu diberikan terobosan baru kepada masyarakat, bahwasannya pengobatan non

Page 6: Seminar Jurnal gerontik

NoPenulis &

NegaraLatar Belakang Design Populasi dan Sampel Instruments Intervensi Hasil Kekuatan & Kelemahan

farmakologis (buah belimbing) dapat menjadi pilihan alternatif yang bagus, baik dari segi ekonomis maupun manfaatnya (Lastri, 2009). Seperti yang telah dijelaskan oleh Soedarya (2009), bahwa buah belimbing mempunyai kadar potasium (kalium) yang tinggi dengan natrium yang rendah sebagai obat hipertensi yang tepat. Sehingga, diharapkan dengan mengkonsumsi buah belimbing muda dalam jumlah tertentu (3 buah) dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.

2. Artalesi, Erwin (Indonesia, 2011)

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru (2010), hipertensi masuk

Desain penelitian yang digunakan adalah

Sampel yang digunakan diambil menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah sampel

Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah sphygmomanomet

Responden dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan

Terapi jus sweet starfruit (Aveerhoe Carambola

Kelebihan:Cara pengambilan data ditampilkan secara jelas dan lengkapKekurangan:

Page 7: Seminar Jurnal gerontik

NoPenulis &

NegaraLatar Belakang Design Populasi dan Sampel Instruments Intervensi Hasil Kekuatan & Kelemahan

kedalam sepuluh besar kasus penyakit terbanyak di Pekanbaru. Kasus terbanyak terjadi di puskesmas Sidomulyo dengan jumlah pasien 2081 orang, puskesmas Lima Puluh jumlah pasien 1527 orang, puskesmas Harapan Raya dengan jumlah pasien 1267 orang, puskesmas Sidomulyo dengan jumlah pasien 1194 orang, serta puskesmas Pekanbaru kota dengan jumlah pasien 1094 orang.

Buah belimbing manis ini sangat bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah karena

Quasy Experiment dengan rancangan penelitian Non Equivalent Control Group .

sebanyak 30 orang dengan rincian 15 orang sebagai kelompok eksperimen dan 15 orang sebagai kelompok kontrol, keseluruhan responden merupakan penderita hipertensi yang berada diwilayah kerja Puskesmas Sidomulyo Pekanbaru.

er raksa merek GEA.

kelompok kontrol. Kelompok eksperimen mendapat perlakuan berupa terapi jus sweet starfruit (Aveerhoe Carambola Linn) 1 kali sehari (per 250ml) selama seminggu dimana sebelum dan sesudah perlakuan dilakukan pengukuran tekanan darah responden. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya dilakuakn pengukuran tekanan darah saja tanpa perlakuan berupa pemberian terapi jus sweet starfruit (Aveerhoe Carambola Linn).

Linn) efektif dalam menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi.

Desain penelitian tidak menggunakan kelompok kontrol

Page 8: Seminar Jurnal gerontik

NoPenulis &

NegaraLatar Belakang Design Populasi dan Sampel Instruments Intervensi Hasil Kekuatan & Kelemahan

kandungan serat, kalium, fosfor dan vitamin C. Berdasarkan penelitian DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) dikatakan untuk menurunkan tekanan darah sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan yang tinggi kalium dan serat (Chaturvedi, 2009). Buah belimbing manis memiliki efek diuretik yang dapat memperlancar air seni sehingga dapat mengurangi beban kerja jantung. Suatu makanan dikatakan makanan sehat untuk jantung dan pembuluh darah, apabila mengandung rasio kalium dengan natrium minimal 5:1. Buah belimbing mengandung kalium dan natrium dengan perbandingan

Page 9: Seminar Jurnal gerontik

NoPenulis &

NegaraLatar Belakang Design Populasi dan Sampel Instruments Intervensi Hasil Kekuatan & Kelemahan

66:1, sehingga sangat bagus untuk penderita hipertensi (Astawan, 2009).

3. Iip Ardiyanto, Asti Nuraeni, Mamet Supriyono (Indonesia, 2014)

Belimbing dapat membantu memperlancar pencernaan makanan, selain itu belimbing juga dapat membantu menurunkan kadar kolesterol dalam tubuh, dan yang terpenting belimbing dapat digunakan untuk membantu menurunkan tekanan darah seseorang. Kombinasi antara zat fitokimia dan mineral yang terkandung dalam belimbing seperti kalium serta kalsium memungkinkan buah belimbing dijadikan obat untuk menurunkan hipertensi.

Penelitian yang dilakukan oleh Aryati

Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperiment dan menggunakan rancangan penelitian one group pretest-postest design.

Jumlah sampel adalah 21 responden dengan hipertensi di Kelurahan Tawangmas Baru, Kecamatan Semarang Barat.

Alat pengumpulan data yang digunakan berupa kuesioner baku Skala KSPBJ-IRS (Kelompok Studi Psikiatri Biologi Jakarta-Insomnia Rating Scale)

Tidak dicantumkan Terdapat perbedaan yang signifikan antara mean insomnia sebelum dan sesudah pemberian diberikannya teknik relaksasi otot progresifpada kelompok eksperimen.

Kelebihan:Menggunakan kelompok kontrol, sehingga bisa melihat perbandingan pengaruh PMR dengan kelompok kontrolKelemahan:Tidak mencantumkan prosedur pengambilan data, sehingga tidak diketahui intevensi yang dilakukan

Page 10: Seminar Jurnal gerontik

NoPenulis &

NegaraLatar Belakang Design Populasi dan Sampel Instruments Intervensi Hasil Kekuatan & Kelemahan

Puji Lestari pada tahun 2012 dengan judul Pengaruh Pemberian Jus Belimbing Terhadap Tekanan Darah pada Wanita Postmenopause Hipertensi. Jus belimbing sebanyak 200 ml sebanyak 1 kali sehari yang diberikan selama 7 harI. Hasil penelitian tersebut Pemberian jus belimbing berpengaruh secara bermakna terhadap penurunan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik setelah dikontrol dengan asupan lemak dan serat.

Page 11: Seminar Jurnal gerontik

BAB III

PEMBAHASAN

Responden yang kami lakukan relaksasi otot progresif adalah PM Ny. L

usia 70 tahun. Ny. L mengatakan ketika tidur sering terbangun dan kemudian sulit

untuk tertidur kembali. Dari hasil wawancara, klien mengatakan setiap harinya

tidur tidak lebih dari 3 jam. Setiap hari klien sudah bangun sekitar pukul 3 pagi.

Pada saat hari Senin tanggal 31 Agustus 2015 ketika kami kaji menggunakan

kuesioner Kelompok Study Psikiatri Biologi Jakarta-Insomnia Rating Scale,

didapatkan hasil 28 (insomnia berat). Setelah itu kami berikan intervensi relaksasi

otot progresif setiap hari sekali, selama 2 hari. Klien akan kami pantau kembali 2

hari kemudian.

Tanggal Skor KSPBJ-IRS31 Agt 2015 28 (Insomnia Berat)2 Sept 2015 26 (Insomnia Ringan)

Dari hasil intervensi selama 2 hari didapatkan hasil bahwa terjadi

penurunan tingkat insomnia dari 28 menjadi 26. Akan tetapi nilai perubahan tidak

signifikan dikarenakan pemberian intervensi hanya selama 2 hari karena

keterbatasan waktu pelaksanaan. Hal tersebut mungkin yang mempengaruhi

perbedaan sebelum dan sesudah pemberian intervensi karena berdasarkan 2 jurnal

yang kami gunakan, pemberian intervensi dilakukan selama 7 hari.

Hal tersebut di atas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Edmund

Jacobson (1920) dalam Davis (1995) bahwa latihan relaksasi otot progresif yang

dilaksanakan 20-30 menit, satu kali sehari secara teratur selam seminggu cukup

efektif dalam menurunkan insomnia. Penelitian Jacobson ini dilanjutkan oleh para

pengikutnya diantaranya Benson (dalam Miltenberger, 2004), Benson dan Klipper

(dalam Kazdin, 2001), kemudian Bernstein and Borkovec (dalam Miltenberger,

2004).

Purwanto (2013) mengemukakan bahwa relaksasi otot progresif

bermanfaat untuk penderita gangguan tidur (insomnia) serta meningkatkan

kualitas tidur. Menurut Davis (1995) dalam Purwaningtyas dan Pratiwi (2010)

Page 12: Seminar Jurnal gerontik

mengemukakan bahwa latihan relaksasi progresif sebagai salah satu teknik

relaksasi otot telah terbukti dalam program terapi terhadap ketegangan otot

mampu mengatasi keluhan anxietas, insomnia, kelelahan, kram otot, nyeri leher

dan pinggang, tekanan darah tinggi, fobi ringan dan gagap.

Adanya perbedaan tersebut menunjukkan bahwa latihan relaksasi otot

progresif dapat digunakan sebagai alternatif dalam memberikan intervensi pada

lansia khususnya bagi lansia yang mengalami gangguan tidur dan istirahat. Karena

seperti kita ketahui bahwa lansia merupakan kelompok rawan karena kepekaan

dan kerentanannya yang tinggi terhadap gangguan kesehatan sebagai akibat

menurunnya fungsi dan kekuatan fisik dan fungsi kognitif, sumber-sumber

finansial yang tidak memadai, dan isolasi sosial (Friedman, 1998).

Lansia yang tinggal di panti memiliki stresor tambahan yaitu mereka harus

dapat beradaptasi dengan teman sekamar, penghuni lain, staf atau pengelola panti,

kegiatan di panti, aturan yang berlaku di panti, dan lingkungan fisik panti.

Disamping itu juga mereka harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan

secara fisik, fisiologis, dan psikologis yang cenderung bergerak ke arah yang lebih

buruk.

Ketika lansia mengalami stres (ketegangan emosional), maka beberapa

otot akan mengalami ketegangan sehingga mengaktifkan sistem saraf simpatis.

Pada kondisi stres, secara fisiologis tubuh akan mengalami respon yang

dinamakan respon fight or flight. Respon ini memerlukan energi yang cepat,

sehingga hati melepaskan lebih banyak glukosa untuk menjadi bahan bakar otot,

dan terjadi pula pelepasan hormon yang menstimulasi perubahan lemak dan

protein menjadi gula. Metabolisme tubuh meningkat sebagai persiapan untuk

pemakaian energi pada tindakan fisik. Kecepatan jantung, tekanan darah, dan

kecepatan pernapasan meningkat, serta otot menjadi tegang. Pada saat yang sama

aktivitas tertentu yang tidak diperlukan (seperti pencernaan) dihentikan. Sebagian

besar perubahan fisiologis tersebut terjadi akibat aktivitas dua sistem

neuroendokrin yang dikendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem simpatis dan

sistem kortek adrenal.

Page 13: Seminar Jurnal gerontik

Aktifnya saraf simpatis membuat lansia tidak dapat santai atau relaks

sehingga tidak dapat memunculkan rasa kantuk. Melalui latihan relaksasi lansia

dilatih untuk dapat memunculkan respon relaksasi sehingga dapat mencapai

keadaan tenang. Respon relaksasi ini terjadi melalui penurunan bermakna dari

kebutuhan zat oksigen oleh tubuh, yang selanjutnya aliran darah akan lancar,

neurotransmiter penenang akan dilepaskan, sistem saraf akan bekerja secara baik

otot-otot tubuh yang relaks menimbulkan perasaan tenang dan nyaman. (Benson,

2000: Purwanto, 2007).

Terjadinya penurunan tingkat insomnia lansia sesudah latihan relaksasi

otot progresif didukung juga oleh teori bahwa latihan relaksasi yang

dikombinasikan dengan latihan pernapasan yang terkontrol dan rangkaian

kontraksi serta relaksasi kelompok otot, dapat menstimulasi respon relaksasi baik

fisik maupun psikologis. Respon tersebut dikarenakan terangsangnya aktivitas

sistem saraf otonom parasimpatis nuclei rafe yang terletak di separuh bagian

bawah pons dan di medula sehingga mengakibatkan penurunan metabolisme

tubuh, denyut nadi, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan dan peningkatan

sekresi serotonin (Guyton dan Hall, 1997). Perangsangan pada beberapa area

dalam nukleus traktus solitarius, yang merupakan regio sensorik medula dan pons

yang dilewati oleh sinyal sensorik viseral yang memasuki otak melalui saraf-saraf

vagus dan glosovaringeus, juga menimbulkan keadaan tidur.

Page 14: Seminar Jurnal gerontik

BAB IV

A. Simpulan

Latihan relaksasi otot progresif memberikan perbedaan tingkat

insomnia pada lansia meskipun nilai perbedaannya tidak terlalu signifikan.

B. Rekomendasi

1. Pelayanan keperawatan

Latihan relaksasi otot progresif dapat digunakan sebagai alternatif

terapi dalam menangani permasalahan insomnia pada lansia untuk

meningkatkan kualitas hidupnya.

2. Pendidikan Keperawatan

Pendidikan keperawatan perlu mengembangkan terapi-terapi

alternatif untuk menangani permasalahan-permasalahan yang sering

munvul pada lansia.

3. Penelitian keperawatan

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui manfaat

lainnya pada latihan relaksasi otot progresif.

Page 15: Seminar Jurnal gerontik

DAFTAR PUSTAKA

Benson, H.M.D. 2000. Dasar-dasar Respon Relaksasi: Bagaimana

menggabungkan respon Relaksasi dengan Keyakinan Pribadi Anda.

Bandung. Mizan

Davis, M, Eshelman, E.R dan Matthew Mckay. 1995. Panduan Relaksasi dan

Reduksi StresEdisi III. Alih Bahasa: Budi Ana Keliat dan Achir Yani.

Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC

Friedman, M.M.1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik Edisi 3. Jakarta.

Penerbit Buku Kedokteran EGC

Guyton dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta. Penerbit

Buku Kedokteran EGC

Martono, H. H & Pranarka, K. (2011). Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu

Kesehatan Usia Lanjut) Edisi 4 cetakan ke-3. Jakarta: Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Miltenberger. 2004. Relaksasi. Available online at http//www.eworld

indonesia.com

Nugroho, W. (2012). Keperawatan Gerontik & Geriatrik Edisi 3. Jakarta: EGC.

Purwaningtyas, L. D. A. Dan Pratiwi, A. (2010). Pengaruh Relaksasi Progresif

Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit

Jiwa Daerah Surakarta.

Purwanto, B. (2013). Herbal Dan Keperawatan Komplementer (Teori, Praktik,

Hukum Dalam Asuhan Keperawatan). Yogyakarta: Nuha Medika.

World Health Organization (WHO). (2012). Ageing and Life Course.

Page 16: Seminar Jurnal gerontik

SEMINAR JURNAL APLIKASI

PERBEDAAN TINGKAT INSOMNIA LANSIA SEBELUM DAN

SESUDAH LATIHAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF

(PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION)

DI BPSTW CIPARAY BANDUNG

Disusun Oleh:

Suharni Mauraji

Faza Septa Satria Fiddaroin

Romi Setiawan Tawulo

Tri Yuni Widaryanti

Yulitasari

Tri Hesti Aprilia

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2015-2016