SEBARAN KADAR SEL T REGULATOR CAIRAN PERITONEUM PASIEN ENDOMETRIOSIS
-
Upload
rizal-kudiarto -
Category
Documents
-
view
1.363 -
download
3
description
Transcript of SEBARAN KADAR SEL T REGULATOR CAIRAN PERITONEUM PASIEN ENDOMETRIOSIS
TESIS
SEBARAN KADAR SEL T REGULATOR CAIRAN PERITONEUM PASIEN ENDOMETRIOSIS
Disusun Oleh:
dr. Gazali Rusdi
Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Departemen Obstetri dan Ginekologi
PEMBIMBING:
dr.Wachyu Hadisaputra, SpOG K.FER
dr. Kanadi Sumapraja, SpOG, MSc
dr. Joedo Prihartono, MPH
Departemen Obstetri dan Genekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta 2009
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Endometriosis adalah suatu kelainan ginekologik yang sering diderita perempuan usia
reproduksi. Angka kejadiannya diperkirakan mencapai 4% dari seluruh populasi
perempuan usia subur, meski kejadian tersebut dapat ditemukan pada 20-40%
perempuan yang memiliki masalah infertilitas. (1-4)
Meskipun endometriosis sudah dikenali sejak abad ke-17, hingga saat ini etiologi
dan patogenesisnya masih menjadi perdebatan hangat para ahli.(5;6)
Endometriosis adalah suatu kelainan yang ditandai dengan tumbuhnya jaringan
endometrium di luar kavum uteri (ektopik).(7) Gejala utama yang sering ditimbulkan
adalah nyeri pada saat haid, dimana nyeri ini biasanya terbatas pada daerah panggul.
Meski demikian nyeri panggul tersebut tidak selalu berasal dari endometriosisnya. Gejala
lain yang dapat mengganggu adalah perdarahan haid yang berat dan abnormal serta
masalah infertilitas. (8;9)
Walaupun telah 80 tahun diteliti dengan memunculkan berbagai teori, penyebab
dari endometriosis ini masih tetap belum dapat dijelaskan. Banyak teori yang telah
diajukan antara lain teori implantasi, teori induksi berupa metaplasia selomik dan
embryonic cell rest, serta teori penyebaran limfatik dan vaskuler. Tidak ada satu teoripun
yang dapat menerangkan terjadinya endometrium ektopik pada semua kasus
endometriosis dan tampaknya terdapat lebih dari satu mekanisme penyebab yang
terlibat.(10;11) Sampson pada tahun 1927 mengutarakan ide yang menunjukkan bahwa
endometriosis berasal dari implantasi sel-sel yang berasal dari cairan menstruasi.(12)
Kemampuan hidup dari sel-sel tersebut telah dapat dibuktikan dan sel tersebut mampu
untuk berimplantasi dan tumbuh. (13;14) Pada 76% perempuan dengan tuba paten pada
observasi laparoskopik, terjadi regurgitasi sebagian jaringan endometrium saat
menstruasi yang kemudian menyebabkan implantasi endometrium ektopik dan
endometriosis di pelvis. (15) Namun pada kenyataannya tidak semua sel endometrium
2
yang terregurgitasi tersebut dapat menimbulkan endometriosis.(16) Terdapat kofaktor-
kofaktor lain yang dapat memicu terjadinya endometriosis, salah satu yang menarik untuk
dibahas adalah mengenai faktor imunitas pejamu dalam rongga peritoneum dimana
faktor-faktor ini seharusnya berfungsi mencegah proses implantasi tersebut. (17) Pada
penderita endometriosis terdapat reaksi imun rongga peritoneum yang justru dapat
memicu timbul dan berkembangnya jaringan endometriosis di luar kavum uteri. (17-19)
Penelitian-penelitian imunoendokrinologi sebelumnya menemukan peranan T
helper 1/ T helper 2 (Th1/Th2) dalam endometriosis.(11) Mekanisme pengaturan respon
imun pada umumnya dilakukan oleh subpopulasi sel T yang disebut sebagai sel T
Regulator. Salah satu peran sel T Regulator adalah menjaga keseimbangan peran dari sel
Th1 dan Th2. Saat ini banyak penelitian yang mencoba untuk meneliti peran sel T
Regulator dalam mencegah kejadian penolakan jaringan transplantasi, reaksi autoimun
dan respon imun pada umumnya.(19;20) Namun saat ini belum banyak diketahui peran sel
T Regulator dalam patogenesis endometriosis.
Pada penelitian ini didapatkan jumlah sel T Regulator terkait dengan derajat
penyakitnya. Peranan T Regulator yang diharapkan dapat mengarah pada dua mekanisme
yang berbeda. Peningkatan kadar T Regulator dapat menginhibisi sifat sitotoksik dari
CD8 dan sel Natural Killer (NK) melalui mekanisme langsung dari sel ke sel, hal ini
kemungkinan mendasari perubahan sifat sel NK pada penderita endometriosis.(21) Di lain
pihak penurunan kadar sel T Regulator dapat mengurangi inhibisi terhadap T Helper,
sehingga T Helper yang tidak terkontrol oleh T Regulator dapat menghasilkan sitokin-
sitokin yang berperan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan jaringan
endometrium ektopik.(20) Dengan mengetahui kecenderungan perbedaannya akan dapat
membuka wawasan untuk mengetahui terjadinya gangguan proses apoptosis dan
kemampuan untuk bertahan hidup pada jaringan endometriosis.
B. Rumusan Masalah
Belum diketahuinya sebaran jumlah sel T Regulator dalam cairan peritoneal perempuan
dengan endometriosis dan jumlah sel T Regulator dalam cairan peritoneal perempuan
tanpa endometriosis, yang membawa ke arah pertanyaan : Bagaimana peranan sel T
Regulator dalam patogenesis endometriosis ?
3
C. Hipotesis
Tidak terdapat perbedaan kadar sel T Regulator dalam cairan peritoneal perempuan
dengan endometriosis dibandingkan dengan kadar sel T Regulator dalam cairan
peritoneal perempuan tanpa endometriosis
D. Tujuan penelitian
Tujuan umum
Diketahuinya peranan sel T Regulator cairan peritoneal pada penderita endometriosis.
Tujuan khusus
1. Diketahuinya nilai rerata dan sebaran kadar sel T Regulator dalam cairan
peritoneal perempuan dengan endometriosis
2. Diketahuinya nilai rerata dan sebaran kadar sel T Regulator dalam cairan
peritoneal perempuan tanpa endometriosis
3. Diketahuinya nilai rerata dan sebaran kadar sel T Regulator dalam cairan
peritoneal perempuan dengan endometriosis derajat minimal-ringan
4. Diketahuinya nilai rerata dan sebaran kadar sel T Regulator dalam cairan
peritoneal perempuan dengan endometriosis derajat sedang-berat
5. Diketahuinya nilai rerata dan sebaran kadar jumlah sel T Regulator pada
perempuan penderita endometriosis dibandingkan dengan perempuan tanpa
endometriosis
6. Diketahuinya nilai rerata dan sebaran kadar jumlah sel T Regulator pada
perempuan penderita endometriosis derajat minimal-ringan dibandingkan dengan
yang berderajat sedang-berat
E. Manfaat Penelitian
Manfaat akademis
Dengan penelitian ini diharapkan agar peneliti dapat menerapkan ilmu dan pengetahuan
yang dimiliki dan sebagai sarana untuk melatih cara berpikir dan membuat penelitian
berdasarkan metodologi penelitian yang baik dan benar.
4
Manfaat pelayanan
Pengetahuan mengenai sebaran kadar sel T Regulator cairan peritoneal perempuan
dengan endometriosis diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam mencari
penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi endometriosis yang berhubungan dengan
masalah imunitas
Manfaat penelitian
Pengetahuan tentang sebaran kadar sel T Regulator cairan peritoneal pada perempuan
dengan endometriosis, diharapkan dapat menjadi landasan penelitian selanjutnya dalam
mencari berbagai teknologi pengobatan terutama dalam hal pengobatan endometriosiss,
infertilitas, pencegahan masalah-masalah pada endometriosis yang berhubungan dengan
masalah autoimunitas.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. ENDOMETRIOSIS 1. Definisi Endometriosis
Endometriosis merupakan kelainan ginekologik jinak yang ditandai oleh adanya
pertumbuhan kelenjar dan stroma endometrium di luar rongga uterus (ektopik). (5;22)
Gambaran klinisnya sangat beragam, sehingga sulit didiagnosa. Walaupun telah 80 tahun
diteliti serta berbagai macam teori telah dikemukakan, penyebabnya masih belum jelas.
Tampaknya lebih dari satu mekanisme yang terlibat pada sebagian besar
penderita.(6;7;10;11)
2. Gejala Klinis dan Sebaran Endometriosis
Endometriosis seringkali terbatas hanya pada rongga pelvis. Gejala dan tanda yang khas
muncul disekitar waktu menstruasi berupa nyeri pelvis, dismenorea serta infertilitas.
Gejala lain dapat berupa nyeri pergerakan usus, nyeri pinggang, pembengkakan perut dan
dispareuni. Perdarahan menstruasi yang hebat dan abnormal sering menimbulkan
masalah bagi pasien. Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat muncul di luar rongga
panggul, memberikan gambaran klinis yang bervariasi, dan hal ini merupakan suatu
petanda khas kelainan ini yang dikenal sebagai pleiomorfisme dari endometriosis.
Angka kejadiannya belum diketahui dengan pasti, karena terdapat perbedaan
dalam pemilihan sampel yang representatif untuk populasi umum. Antara studi-studi
prevalensi masih didapatkan perbedaan angka kejadian sampai dengan 30-40 kali lipat.(23)
Pada beberapa studi angka kejadiannya diperkirakan mencapai 4% dari seluruh populasi
perempuan usia subur, meski kejadian tersebut dapat ditemukan pada 20-40%
perempuan yang memiliki masalah infertilitas. Pada studi lain ditemukan angka kejadian
mencapai 70-80% pada populasi perempuan yang menderita infertilitas yang belum
diketahui penyebabnya, (9) 17% pada perempuan dengan infertilitas primer dan 10 %
pada perempuan yang menjalani operasi untuk mioma.(24)
6
Keterkaitan endometriosis dengan beberapa segmen usus dapat terjadi pada
sekitar 15% pasien. (25) Gejala klinisnya berupa intrasusepsi ileus terminalis, obstruksi
akut, dan pseudo-obstruksi dengan malnutrisi. Sekitar 4% pasien endometriosis
mengalami gejala pada saluran kencing akibat keterlibatan kandung kemih dan
terkadang, mengenai ureter.(25) Keterlibatan paru-paru dan pleura berupa pneumothoraks
bilateral dan obstruksi bronkial yang membutuhkan subsegmentektomi pernah
dilaporkan. Tempat lain yang dapat menjadi lokasi endometriosis antara lain : umbilikus,
otot rektus abdominis, omentum, hati, pankreas, kandung empedu, dan luka operasi,
termasuk luka bekas episiotomi, tempat trokar laparaskopik, serta jalur untuk
amniosentesis. Beberapa kasus endometriosis yang melibatkan saraf pernah dilaporkan,
termasuk perdarahan subarakhnoid siklik dan epilepsi yang berhubungan dengan
menstruasi.(25)
Dua aspek klinis yang mengarah pada endometriosis adalah nyeri pelvis dan
infertilitas. Namun, tidak semua endometriosis menyebabkan nyeri pelvis. Pasien
endometriosis dapat mengalami nyeri pelvis karena sebab lain. Demikian pula dengan
infertilitas.
3. Klasifikasi Endometriosis
Saat ini klasifikasi endometriosis yang sering digunakan adalah revisi terbaru yang dibuat
oleh American Fertility Society/AFS. Berdasarkan visualisasi rongga pelvis dan volume
3 dimensi dari endometriosis. Dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan
kedalaman invasi, keterlibatan ovarium serta kuldesak dan densitas dari perlekatan.
Dengan perhitungan ini didapatkan nilai-nilai dari skoring yang kemudian jumlahnya
berkaitan dengan derajat klasifikasi endometriosis. Nilai 1-4 adalah minimal (AFS I), 5-
15 adalah ringan (AFS II), 16-40 adalah sedang (AFS III) dan lebih dari 40 adalah berat
(AFS IV). (26;27)
4. Faktor Risiko
Menstruasi diduga berperan penting dalam insidens endometriosis. Faktor lainnya antara
lain adalah haid yang banyak dan lama, menarche pada usia < 11 tahun dan siklus haid
yang kurang dari 28 hari.(2) Genetik juga diperkirakan mempengaruhi insidens
endometriosis. (10;28) Perempuan-perempuan yang memiliki keturunan endometriosis,
7
terutama untuk yang berhubungan dekat, memiliki risiko mencapai enam kali lipat untuk
menderita endometriosis dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat keluarga.(10)
Terdapat dua bukti kuat yang mendukung keterkaitan endometriosis dengan genetik.
Pertama, penyakit ini lebih umum didapatkan pada kerabat dekat pasien dengan
endometriosis daripada populasi umum. Kedua, kembar monozigot memiliki
kecenderungan untuk mengalami endometriosis secara bersamaan.(2) Banyak peneliti
yang tidak menemukan hubungan antara HLA(Human Leucocyte Antigen) tipe tertentu
dengan endometriosis namun satu penelitian di Jepang menunjukkan HLA-A24-DRB1
haplotype berhubungan dengan risiko terjadinya endometriosis. (28)
Usia, ras, indeks massa tubuh, pengguna alkohol dan rokok berhubungan dengan
insidens endometriosis. (29) Angka kejadian endometriosis tertinggi terjadi pada usia 25-
29 tahun, dan terendah pada perempuan usia di atas 44 tahun, ras afro-amerika memiliki
angka endometriosis yang lebih rendah dibanding ras kaukasia (Relative Risk(RR) = 0.6,
95%Confidence Interval (CI): 0.4- 0.9). Dimana untuk perempuan dengan indeks massa
tubuh > 30 kg/m2 pada usia 18 tahun memiliki RR = 0,8 (95%CI: 0,6-1,1 p trend =
0,004), hal ini dapat dihubungkan dengan adanya siklus anovulasi yang terjadi pada
perempuan dengan obesitas.2 Dengan pengguna alkohol >10g/ hari dibandingkan non
pengguna didapatkan RR 0,7 (95% CI : 0,6-0,8)(29) . Walaupun masih memerlukan
penelitian lebih lanjut banyak kepustakaan yang menjelaskan efek polusi (dioksin)
berhubungan dengan meningkatnya kejadian endometriosis.(6;22;26)
5. Patogenesis
Walaupun telah 80 tahun diteliti dan dengan menggunakan berbagai teori, penyebab
endometriosis masih belum jelas. Dengan gambaran yang sangat bervariasi, tampaknya
terdapat lebih dari satu mekanisme yang terlibat.
Teori pertama yang tercatat mengenai penyebab endometriosis dilaporkan pada
akhir abad-19. Saat itu, Von Reckling-hausen dan Russel secara terpisah menerangkan
bahwa endometriosis menggambarkan aktivasi sel yang berasal dari mullerian pada
beberapa tempat di pelvis (teori sisa embrionik). Teori ini berdasarkan dugaan
perkembangan sistem Mullerian yang rudimenter, yang kemudian berkembang dan
berfungsi seperti endometrium misalnya berupa kantong-kantong atau defek pada perito-
8
neum.(30) Penelitian terkini menjelaskan bahwa sisa embrionik merupakan penyebab yang
tidak umum pada endometriosis, meskipun teori ini mampu menerangkan kejadian
endometriosis yang sangat jarang dijumpai, misalnya endometriosis pada pria yang
mendapatkan terapi estrogen.(26)
Iwanoff dan Meyer menyatakan hipotesis mereka bahwa endometriosis
merupakan hasil dari metaplasia coelomic. Hipotesis ini didasari atas garis peritoneum,
jaringan germinal ovarium, dan duktus mullerian berasal dari unsur embrionik yang
sama. Teori ini mengemukakan bahwa lesi endometriosis terbentuk akibat metaplasi sel-
sel coelom yang berasal dari saluran Muller. Teori ini berdasarkan penelitian embriologi.
Saluran Muller, epitel permukaan ovarium dan peritoneum berasal dari epitel coelom,
yang dengan stimulus tertentu, sel peritoneum akan memiliki penampakan anatomis
seperti sel endometrium. (26) Namun melihat angka kejadian endometriosis dalam rongga
pelvis, endometriosis sering timbul di sekitar tuba fallopii dan di bagian inferior rongga
pelvis. Endometriosis juga lebih sering timbul pada daerah yang terfiksasi dan lebih
jarang pada organ yang “bergerak” seperti tuba falopi. Bila endometriosis disebabkan
oleh metaplasia maka distribusi secara anatomi akan sama di semua tempat. Hal ini
menguatkan ada faktor lain yang memicu timbulnya endometriosis.(10)
Modifikasi teori ini antara lain teori induksi yang menyatakan unsur cairan
menstruasi menginduksi terbentuknya endometrium dari jaringan peritoneum. Teori ini
dapat menjelaskan pertumbuhan endometriosis pada abdomen dan rongga toraks.
Munculnya endometriosis pada laki-laki yang diterapi dengan estrogen dapat juga
dijelaskan dengan teori metaplasia coelomic. Namun, pengaktifan sisa saluran mullerian
dapat juga menjelaskan terjadinya endometriosis pada laki-laki. (26) Sampson
mengemukakan teori yang menunjukkan bahwa endometriosis berasal dari implantasi sel
cairan menstruasi pada tahun 1927. (12) Viabilitas sel pada cairan itu telah dibuktikan dan
sel tersebut mampu berimplantasi serta tumbuh. (13;14) Pada 76% perempuan dengan tuba
paten dalam observasi laparoskopik, terjadi regurgitasi sebagian jaringan endometrium
saat menstruasi yang kemudian menyebabkan implantasi endometrium ektopik dan
endometriosis di pelvis. (15) Namun pada kenyataannya tidak semua sel yang
terregurgitasi dapat menimbulkan endometriosis.(16)
9
Secara umum, penyebaran lesi endometriosis dari cairan menstruasi ke rongga
pelvis akan terbatas. Selain itu, perempuan yang mengalami hambatan pengeluaran cairan
menstruasi melalui vagina akan berisiko mengalami endometriosis lebih tinggi.
Implantasi juga dapat terjadi pada daerah perlukaan akibat bekas luka maupun bekas
jarum suntik, menunjukkan kemampuan sel endometrium untuk berkembang di luar
kavum uteri. Penelitian telah dilakukan pada kera, dimana sengaja diciptakan
menstruasi retrograd dan disuntikkan darah haid ke rongga peritoneumnya. Hasilnya,
ternyata kera tersebut mengalami sindrom yang menyerupai endometriosis pada
manusia.(14)Sayangnya, teori implantasi tidak sesuai dengan frekuensi terjadinya
menstruasi retrograd dan juga tidak dapat menjelaskan terjadinya endometriosis di luar
ronga pelvis. Observasi selama laparaskopi menunjukkan keluarnya cairan menstruasi
melalui tuba pada lebih dari 76%(15) perempuan yang sedang menstruasi disertai adanya
sel endometrial pada dialisa cairan endometrium. Sehingga, menjadi suatu pertanyaan
besar mengapa prevalensi endometriosis tidak sebanding dengan tingginya frekuensi
menstruasi retrograd. Hal ini juga menguatkan bukti bahwa adanya faktor lain yang
sangat berpengaruh untuk memicu timbulnya endometriosis.
Sampson dan Halban secara terpisah mengutarakan variasi teori implantasi yang
menunjukkan penyebaran jaringan endometrial secara luas melalui jaringan limfatik
ataupun vena. Teori ini berusaha menerangkan penyebaran sel endometrium melalui
emboli sel endometrium ke dalam saluran limfe dan pembuluh darah. Emboli dapat
terjadi karena terbukanya pembuluh limfe atau pembuluh darah. Mungkin pula terjadi
melalui pembuluh darah uterus saat kuretase. Teori ini dikenal sebagai teori metastasis
yang telah dibuktikan secara eksperimental maupun klinis. Sebagai bukti, dari 153
perempuan yang menjalani limfadenektomi pelvis, jaringan endometrial didapatkan pada
6,5% dari semua perempuan, dan 29% pada perempuan dengan endometriosis. Selain itu,
endometrium dapat dideteksi pada vena uterina, dan pada penyuntikan endometrium ke
kelinci percobaan ditemukan endometriosis di paru-paru.(6)
Banyak ahli menyatakan bahwa lesi endometriosis pada tempat yang berbeda
kemungkinan berbeda penyebabnya. Teori kombinasi ini mulai menguak penyebab
endometriosis yang selama ini belum terlalu jelas. Teori terbaru yang menyatukan
sebagian besar mekanisme dan kofaktor yang terlibat dalam endometriosis, menyatakan
10
endometriosis merupakan gambaran kelainan sistem imun.(15) Teori autoimun ini mulai
dipaparkan 20 tahun yang lalu. Adanya peningkatan konsentrasi sitokin, abnormalitas sel
T dan B serta penurunan apoptosis pada lesi endometriosis, menyerupai bentuk penyakit
autoimun seperti artritis rheumatoid.
Banyak penelitian yang menghubungkan reaksi klasik antigen-antibodi pada
endometriosis, namun kesimpulan penelitian tersebut masih diragukan. Tidak ada bukti
yang menunjukkan konsentrasi imunoglobulin pada perempuan dengan endometriosis
lebih tinggi dari normal baik pada darah maupun cairan peritoneal, dan juga tidak
terbuktinya efek antigen dari jaringan endometrial. Suatu teori menyatakan, kelainan
imunologis yang dilaporkan pada perempuan dengan endometriosis lebih mengarah
kepada efek dibandingkan penyebabnya.(10)
Beberapa kelompok peneliti mengemukakan bahwa sistem pertahanan imun
abnormal menyebabkan defisiensi kemampuan untuk menolak jaringan endometrium
autologus. Gangguan sistem imun mencakup humoral dan seluler, mengurangi
kemampuan tubuh untuk menghancurkan fragmen endometrium yang masuk ke rongga
peritoneum, sehingga memungkinkan terjadinya adhesi dan pertumbuhan endometrium
ektopik. Sel-sel yang dicurigai mengalami kelainan adalah limfosit B, limfosit T,
granulosit, monosit makrofag dan sel natural killer.(31) Faktor humoral yang mengalami
kelainan mencakup sitokin, lisozim dan immunoglobulin. Pasien endometriosis
mengalami peningkatan respons imun dan aktivitas makrofag.(14) Selain itu juga terdapat
penurunan respons sel limfosit T dan sel NK.(32)
Stroma dan jaringan endometrial ektopik yang terdapat pada rongga peritoneum
secara umum diterima baik akibat proses implantasi, maupun proses metaplasia sesuai
teori yang sudah dikenal. Namun terjadinya penempelan pada peritoneum dan tidak
terjadinya proses apoptosis pada jaringan ektopik ini terkait oleh genetika host terkait
dengan ekspresi Bcl-2, faktor hormon dan lingkungan.(33) Setelah jaringan endometrium
dapat bertahan dari proses eliminasi dan apoptosis, terjadilah rangkaian proses yang
menyebabkan berlanjutnya proses implantasi dan invasi jarignan ektopik ini. Rangkaian
proses ini dikaitkan dengan perubahan sifat sel imun tertentu seperti makrofag yang
memainkan perannya secara berbeda pada pasien dengan endometriosis dengan
menghasilkan limfokin dan sitokin yang merangsang proses angiogenesis dan
11
menghambat proses yang mengurangi kemampuan sel NK melalui proses yang belum
diketahui.(34) Hal ini menjadikan pertumbuhan dan perkembangan jaringan ektopik
berlanjut dan sesuai dengan perubahan siklus hormonal, terjadilah perdarahan pada
rongga peritoneum yang menyebabkan terjadinya nyeri pelvis dan inflamasi kronik pada
rongga peritoneum.(35)
Kemampuan fragmen endometrium untuk hidup di lokasi ektopik mungkin
berhubungan dengan respons imun. Peran sistem imun pada kejadian endometriosis
banyak dipelajari dan ditemukan banyak kelainan imunologi. Namun apakah kelainan
imun merupakan penyebab atau akibat endometriosis, masih belum diketahui. (15) Sel
endometrium bersifat resisten terhadap apoptosis dan fagositosis, namun hanya 10-15%
perempuan yang haid menderita endometriosis. Mekanisme bagaimana sel endometriosis
yang regurgitasi dibersihkan dari rongga peritoneum masih belum jelas. (17) Teori yang
menyatakan keterlibatan sitokinin sedikit lebih meyakinkan. Lesi endometriosis memiliki
konsentrasi interleukin-1 dan interleukin-6 lebih tinggi secara signifikan dan tumor
necrotizing factor-α lebih rendah dibanding endometrium normal.(36) Kemampuan
beberapa sitokin untuk merangsang atau menghambat pertumbuhan sel endometrial telah
dibuktikan, yang menunjukkan adanya ketidakseimbangan peran sitokin tersebut.
Sitokin-sitokin ini terkait dengan peranan sel T helper 1/ T helper 2 (Th1/Th2) dalam
endometriosis.(11)
Mekanisme pengaturan respon imun pada umumnya dilakukan oleh subpopulasi
sel T yang disebut sebagai sel T Regulator. Salah satu peran sel T Regulator adalah
menjaga keseimbangan peran dari sel Th1 dan Th2. Terkait dengan fungsinya maka dapat
dipikirkan apakah terdapat peranan sel T Regulator dalam patogenesis endometriosis.
12
B. SISTEM IMUN
Banyak peneliti yang menghubungkan antara perubahan sistem imunitas dengan
terjadinya endometriosis. Kemampuan implan endometrium untuk bertahan di tempat
ektopik tersebut kemungkinan berhubungan dengan perubahan respon imun penderita.
Peran sistem imun pada kejadian endometriosis banyak dipelajari dan banyak kelainan
yang ditemukan terkait dengan perubahan dari faktor imun baik lokal maupun sistemik
Apakah kelainan imunitas merupakan penyebab atau akibat dari endometriosis, masih
belum diketahui. (15)
Pertahanan tubuh diperankan oleh sistem imunitas nonspesifik dan spesifik yang
komponen-komponennya dapat bersifat fisik, larutan maupun seluler (lihat gambar 1). (19)
Gambar 1. Sistem Imun. NK= Natural Killer; Tdth = T delayed type hypersensitivity; CTL/Tc = Cytotoxic T Lymphocyte/ T cytotoxic/ T cytolytic; Ts = T supresor; Tr = T regulator
Sistem Imun
Non Spesifik Spesifik
Fisik
Larutan Selular Humoral Selular
-Kulit -Selaput
lendir -Silia -Batuk -Bersin
Biokimia -Lisozim
(keringat) - Sekresi
sebaseus - Asam
lambung -Laktoferin - Asam
neuraminik
- Fagosit -Mononu klear -Poli morfo nuklear
- Sel NK - Sel mast - Basofil
Sel B -IgD -IgM -IgG -IgE -IgA
Sel T -Th1 -Th2 -Ts/ Tr/Th3 -Tdth -CTL /Tc
13
1. SISTEM IMUN NONSPESIFIK
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh yang terdepan dalam menghadapi
serangan berbagai jenis mikroorganisme. Disebut nonspesifik, karena tidak ditujukan
terhadap mikroorganisme tertentu, melainkan secara luas untuk benda asing terutama
yang berasal dari luar tubuh. Berdasarkan dari jenis pertahanannya, maka imunitas non-
spesifik dapat dibagi menjadi :
Pertahanan Fisik
Kulit, selaput lendir, gerakan silia saluran napas, reflek tubuh berupa batuk dan bersin
dapat mencegah berbagai kuman patogen masuk ke dalam tubuh. Kulit atau mukosa yang
rusak misalnya oleh luka bakar dan infeksi serta selaput lendir yang rusak oleh karena
asap polusi akan meningkatkan risiko masuknya kuman dan benda asing ke dalam tubuh.
Pertahanan dalam bentuk Larutan
Pertahanan dalam bentuk larutan merupakan pertahanan biokimia. Bahan yang disekresi
oleh mukosa saluran napas, kelenjar sebaseus kulit, kelenjar kulit, telinga, spermin dalam
semen merupakan bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh. Lisosim dalam keringat,
ludah, air mata dan air susu dapat melindungi tubuh terhadap kuman gram positif dengan
jalan menghancurkan dinding kuman tersebut. Air susu ibu mengandung pula laktoferin
dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakterial terhadap E. coli dan stafilokok.
Sekresi kulit yang bersifat bakterisidal, asam lambung, mukus dan silia di saluran napas
akan membantu menurunkan jumlah mikroba yang masuk tubuh, sedangkan epitel yang
sehat biasanya dapat mencegah mikroba masuk ke dalam tubuh. Dalam darah dan sekresi
tubuh, enzim lisosom akan membunuh kuman dengan mengubah sifat dinding selnya.
Pertahanan Selular
Fagosit/makrofag, sel NK dan sel mast berperan pula dalam sistem imun nonspesifik
selular.
14
Fagosit/Makrofag
Sel utama yang berperan pada pertahanan nonspesifik adalah sel mononuklear
(monosit / makrofag) serta sel polimorfonuklear (neutrofil).
Monosit berasal dari sel induk di sumsum tulang. Monosit bersirkulasi dalam
darah dan menghuni hampir semua jaringan. Di dalam jaringan tertentu, monosit
mengalami pematangan menjadi makrofag. Makrofag diberi nama sesuai dengan
jaringannya, misalnya histiosit di jaringan ikat, sel Kupfer di hati, makrofag alveoler atau
sel debu di paru, dan sel mikroglia di saraf. Meski demikian ternyata makrofag juga
berperan dalam imunitas spesifik.(37) Makrofag dapat merangsang lisis sel secara
langsung. Selain itu, makrofag dapat merangsang sel T dan sel B melalui sekresi sitokin
dan presentasi antigen. Makrofag juga dapat memicu proliferasi sel seperti fibroblas dan
endotel, yang terlibat dalam proses inflamasi, perbaikan jaringan dan neovaskularisasi.(19)
Natural Killer cell (sel NK).
Sel NK adalah sel limfosit tanpa ciri-ciri sel limfoid sistem imun spesifik yang
dapat ditemukan dalam sirkulasi. Oleh karena itu disebut juga sel non B non T atau sel
populasi ke tiga atau null cell. Morfologi dari sel NK merupakan kombinasi limfosit
dengan granul-granul yang besar, oleh karena itu disebut juga sebagai Large Granular
Lymphocyte/LGL.(37) Sel NK berfungsi mengenali sel yang tidak memiliki MHC (major
histocompatibility complex) kelas I dan sel NK merupakan lini pertama pertahanan dalam
menghadapi infeksi virus atau sel target yang ontogenik.(37)Sel NK juga memiliki reseptor
permukaan yang dapat mengenali sel target yang terikat dengan antibodi. Melalui
reseptor inilah sel NK memainkan perannya dalam sitotoksisitas seluler = ADCC
(Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity). (19)
Sel Mast.
Sel Mast akan berperan dalam reaksi alergi dan juga dalam pertahanan pejamu.
Sel mast berperan dalam imunitas non-spesifik untuk pelepasan TNF-α, IL-6, IFN γ
sebagai respon terhadap kuman. Berbagai faktor nonimun seperti latihan jasmani,
tekanan, trauma, panas dan dingin dapat pula mengaktifkan dan menimbulkan
degranulasi sel Mast. (19)
15
2. SISTEM IMUNITAS SPESIFIK
Sistem imunitas spesifik memiliki kemampuan untuk mengenali benda-benda yang
dianggap asing bagi tubuh. Apabila suatu benda asing dapat dikenali oleh sistem imunitas
spesifik, maka sel-sel imunitas spesifik tersebut akan mengalami sensitisasi. Sehingga
apabila sel-sel yang telah tersensitisasi tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang
sama, benda tersebut akan dikenali dan dihancurkan lebih cepat.(37)
Sistem imunitas yang spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda
asing yang berbahaya bagi tubuh, namun pada umumnya terdapat kerja sama antara
sistem imunitas spesifik dengan sistem imunitas non-spesifik. Misalkan komplemen turut
berperan aktif pada respon inflamasi yang dipicu oleh sistem imun spesifik.(19)
Berdasarkan komponen yang bekerja, maka respon imunitas spesifik dapat dibagi
menjadi imunitas seluler dan imunitas humoral.
Gambar 2. Diagram Skematik Mengenai Interaksi Sistem Imun Spesifik. (dikutip dari Harrison’s Principle of Internal Medicine ed 16.)(19)
16
Respon imunitas humoral
Limfosit B atau sel B akan berperan pada respon imunitas humoral. Sel B tersebut berasal
dari sel induk multipoten dalam sumsum tulang. Bila sel B dirangsang oleh benda asing,
sel tersebut akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat
membentuk antibodi.(37) Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi
utama antibodi ialah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan
menetralisasi toksin.
Komplemen
Sistem komplemen terdiri atas enzim-enzim plasma, protein regulator, dan protein yang
teraktivasi melalui suatu jalur kaskade tertentu, sehingga menyebabkan lisis dari sel yang
diikat oleh komplemen tersebut. Komplemen dapat mengaktifkan fagosit dan membantu
penghancuran bakteri dan parasit melalui mekanisme opsonisasi. Selain itu komplemen
juga memiliki kemampuan untuk mengeluarkan faktor-faktor kemotaktik.
Interferon
Interferon adalah merupakan glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel berinti, dan
akan dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi virus. Di samping itu, interferon juga
dapat mengaktifkan sel NK untuk membunuh virus dan sel neoplasma. Sel NK dapat
membunuh sel terinfeksi virus intraselular, sehingga menyingkirkan reservoir infeksi.
Selain itu sel NK juga dapat melepaskan interferon setelah menerima sinyal IL-12 yang
diproduksi oleh makrofag, sehingga IFN- yang dilepaskan oleh sel NK akan
mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba yang sudah difagositnya.(19)
Respon imunitas selular
Fungsi utama respon imunitas selular adalah pertahanan terhadap mikroorganisme yang
hidup intraselular. Sel yang memiliki peran utama dalam respon imunitas selular adalah
limfosit T atau sel T. Fungsi sel T umumnya adalah:
• membantu sel B dalam memproduksi antibodi
• mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus
17
• mengaktifkan fagositosis makrofag
Sel T dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi diferensiasi dan proliferasinya terjadi dalam
kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus. Sembilan puluh sampai sembilan
puluh lima persen semua sel timus tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan
meninggalkan timus untuk masuk ke dalam sirkulasi dan kelenjar getah bening. Di dalam
timus sel T mendapatkan penanda CD dan antigen spesifik serta toleransi terhadap
dirinya. Sel T terdiri atas beberapa sel subset seperti sel T naif, Thl, Th2, T Delayed Type
Hypersensitivity (Tdth), Cytotoxic T Lymphocyte (CTL) atau T cytotoxic atau T cytolytic
(Tc) dan T supresor (Ts) atau T regulator (Tr).
Di bawah pengaruh sitokin tertentu, sel T akan berproliferasi dan teraktivasi.
Setelah teraktivasi, sel T akan menghasilkan dua jenis sitokin, yaitu sitokin Th1 dan
sitokin Th2. Sitokin Th 1 di antaranya adalah Interleukin 2 (IL-2), IL-12, Interferon
dan TNF-, TNF-, yang akan berperan dalam respon imunitas seluler. Sementara
sitokin Th2 di antaranya adalah IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13, yang akan
mengaktifkan sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma. (19)
Sel T CD4+ (T helper). Sel T CD4+ naif masuk ke dalam sirkulasi dan akan menetap di
dalam organ limfoid selama bertahun-tahun sebelum terpajan dengan antigen atau pada
akhirnya mati. Sel tersebut akan mengenali antigen non-self yang dipresentasikan oleh
molekul MHC-II pada APC (antigen presenting cell) dan kemudian akan berkembang
menjadi subset sel Thl, sel Tdth atau sel Th2.
IFN- dan IL-12 yang diproduksi oleh APC seperti sel makrofag dan sel dendritik akan
memicu diferensiasi sel CD4+ menjadi sel Thl/Tdth yang berperan dalam reaksi
hipersensitivitas lambat. Atau akibat pengaruh sitokin IL-4, IL-5, IL-10, IL-13, Th0 akan
berkembang menjadi sel Th2 yang akan merangsang sel B untuk meningkatkan produksi
antibodi. Kebanyakan sel Th adalah CD4+ yang akan mengenali antigen-antigen yang
dipresentasikan di permukaan sel APC yang berhubungan dengan molekul MHC-II.(19)
Sel T CD8+ (Cytotoxic T Lymphocyte / CTL / Tcytotoxic / Tcytolytic/Tc). Sel T CD8+ naif
yang keluar dari timus disebut juga CTL/Tc. Sel tersebut akan mengenali antigen non-
self yang dipresentasikan oleh molekul MHC-I yang ditemukan pada semua sel tubuh
yang berinti. Fungsi utamanya adalah menyingkirkan sel-sel yang terinfeksi virus dengan
cara menghancurkan sel tersebut. Sel CTL/Tc juga akan menghancurkan sel neoplasma
18
serta dapat memicu reaksi penolakan terhadap organ donor pada tindakan
transplantasi.(19)
Sel Ts (T supresor) atau sel Tr (T regulator). Sel Ts (supresor) disebut juga sel Tr
(regulator) atau Th3 yang memiliki peran untuk menekan aktivitas sel-sel efektor T dan
B. Sel T regulator dapat mencegah aktivasi sel T melalui mekanisme yang belum jelas
(kontak yang diperlukan antara sel regulator dan sel T atau APC). Beberapa sel T
regulator melepas sitokin imunosupresif seperti IL-10 yang mencegah fungsi APC dan
aktivasi makrofag dan TGF-b yang mencegah proliferasi sel T dan aktivasi makrofag.(19)
3. SISTEM IMUN RONGGA PERITONEUM
Rongga peritoneum pada kondisi normal tidak berisi apa-apa selain selapis tipis cairan
yang melapisi permukaannya. Membran serosa yang melapisi dinding peritoneum terdiri
atas dua lapis, lapis pertama merupakan lapisan jaringan ikat longgar yang berisi jaringan
kolagen, jaringan elastik, sel lemak dan makrofag, sedangkan lapis kedua merupakan
lapisan mesotelial yang mengandung unsur sel skuamosa. Luas lapisan peritoneum ini
hampir sama dengan luas permukaan tubuh, > 2m2.
Cairan peritoneum berasal transudat plasma, eksudat ovarium, tuba, peritoneum
dan sekresi makrofag, sel natural killer (NK), limfosit, eosinofil, sel mast serta sekresi sel
mesotelial. (10)
Volume cairan peritoneum berkisar antara 5-20 ml, tergantung kepada kondisi
fisiologis saat itu. Cairan peritoneum akan dipengaruhi oleh siklus menstruasi. Selama
siklus haid normal keseimbangan antara aliran masuk dan keluar cairan peritoneal akan
berubah. Pada fase folikuler dan pasca-ovulasi aliran masuk ke rongga peritoneal akan
melampaui kapasitas penyerapan oleh permukaan peritoneum, sehingga akan
mengakibatkan volume cairan peritoneal dari volume rerata 0,8 ml hingga mencapai 18,7
ml setelah ovulasi dan selanjutnya menurun hingga menjadi 5,4 ml pada fase sekretorik
akhir. Volume ini dipengaruhi juga oleh aktifitas folikel, vaskularisasi korpus luteum dan
produksi hormonal.(38) Variasi jumlah cairan peritoneal selama siklus haid menunjukkan
adanya peran estrogen terhadap permeabilitas vaskuler dan membran peritoneum.
Endometriosis dapat menyebabkan peningkatan produksi cairan peritoneum dengan
mempengaruhi permeabilitas mesotel atau meningkatkan tekanan osmotik koloid. (10)
19
Gambar 3 . Ilustrasi Konsentrasi hormone steroid dalam cairan peritoneum yang dihasilkan oleh eksudasi folikel di ovarium dan korpus luteum
Sekitar 90% perempuan normal akan mengalami haid yang retrograd. Sehingga
pada setiap siklus haid, cairan peritoneal pada 70% perempuan dengan tuba Falloppii
yang paten akan tercemar oleh darah haid. Kelenjar-kelenjar endometrium, yang diduga
dialirkan melalui tuba Falloppii, dapat ditemui pada cairan peritoneal pada keadaan-
keadaan normal maupun setelah dilakukan tindakan terhadap uterus. Sekitar 82-98% dari
sel-sel peritoneum berinti adalah makrofag peritoneal, sedangkan sisanya 10% adalah
limfosit. (39)
Makrofag sebagai komponen terbesar seluler dari cairan peritoneum memegang
penting dalam menyingkirkan darah haid yang terregurgitasi, dibantu oleh sel NK maka
akan terbentuk kestabilan yang dinamis pada rongga peritoneum terhadap efek retrograd
siklus menstruasi.
Unsur sel cairan peritoneum lain yang dapat ditemukan antara lain, sel NK,
eosinofil, sel mesotel, dan sel mast, serta dapat ditemukan pula sel granulosit yang sangat
sedikit.
20
C. IMUNOBIOLOGI ENDOMETRIOSIS DI RONGGA PERITONEUM
Sekitar 90% perempuan normal akan mengalami haid yang retrograd. Sehingga pada
setiap siklus haid, cairan peritoneum pada 70% perempuan dengan tuba Falloppii paten
akan tercemar dengan darah haid. Namun pada kenyataannya tidak semua sel
endometrium yang terregurgitasi tersebut dapat menimbulkan endometriosis.(16) Salah
satu kofaktor yang dapat memicu terjadinya endometriosis adalah perubahan imunitas
pejamu dalam rongga peritoneum.
Dalam rongga peritoneum, leukosit memiliki peranan yang penting. Leukosit
akan meningkat jumlahnya bila terdapat sel-sel endometrium yang mengalami
regurtasi.(40) Kehadiran sel-sel tersebut berhubungan dengan terjadinya reaksi inflamasi
yang diakibatkan oleh sel-sel endometrium yang mengalami regurgitasi.(31;41;42) Sel-sel
endometrium tadi bersifat resisten terhadap mekanisme apoptosis serta fagositosis.(43)
Meski demikian ternyata hanya 10-15% perempuan yang mengalami haid akan menderita
endometriosis.(17) Mekanisme bagaimana sel endometriosis yang mengalami regurgitasi
tersebut dibersihkan dari rongga peritoneum masih belum dapat dijelaskan.
Salah satu faktor yang diduga memiliki peranan dalam patogenesis endometriosis
pada rongga peritoneum adalah sistem imun, khususnya sistem imun pada rongga
peritoneum. Oleh karena itu beberapa peneliti mulai mengeksplorasi peran dari sistem
imun rongga peritoneum dalam upaya untuk menjelaskan patogenesis endometriosis.(11;22)
Unsur-unsur sel cairan peritoneum yang mungkin berperan dalam respon imun pada
rongga peritoneum di antaranya adalah makrofag, limfosit, sel NK, eosinofil, sel mesotel,
dan sel Mast.
21
Gambar 4 . Patogenesis endometriosis
Makrofag
Makrofag adalah sel terbanyak ditemukan pada cairan peritoneum. Dalam keadaan
normal, cairan peritoneum mengandung sel-sel leukosit kurang lebih 0,5-2,0 x 106 /ml,
dengan 85% di antaranya adalah sel-sel makrofag. Sel-sel makrofag peritoneal adalah
merupakan makrofag penghuni (resident macrophage) yang dapat dijumpai pada rongga
peritoneum bersama dengan sel-sel normal lainnya. Ukurannya dapat mendekati 2 kali
ukuran monosit dan memiliki bentuk inti yang lonjong atau berlekuk dengan sitoplasma
yang granuler. Jumlah makrofag mengalami fluktuasi selama siklus menstruasi, dan akan
mencapai kadar tertinggi selama menstruasi.
Setelah teraktivasi, makrofag akan mengeluarkan sitokin, prostaglandin (PG),
komplemen dan enzim hidrolisis. Makrofag dapat menyingkirkan sel-sel darah merah,
serta merusak sel-sel endometrium yang dapat mencapai rongga peritoneum. Selain
mengalami peningkatan jumlah, makrofag juga akan bersifat lebih aktif apabila
ditemukan endometriosis. Makrofag yang teraktifasi akan menghasilkan sitokin-sitokin
serta faktor pertumbuhan yang justru akan memicu pertumbuhan serta merangsang
Menstruasi retrograde Normal + disfungsi
Sistem imun
Endometriosis Metaplasia selomik
Menstruasi Retrograde yang berlebih
(obstruksi)
Menstruasi retrograde Normal +
Stimulasi hormonal
22
timbulnya neovaskularisasi bagi jaringan endometrium yang mengalami regurgitasi ke
dalam rongga peritoneum. Hal-hal tersebut dianggap memiliki peran dalam patogenesis
terjadinya endometriosis. Selain itu aktifitas makrofag yang lebih tinggi akan memicu
terjadinya efek inflamasi yang lebih tinggi pada cairan peritoneum yang akan memicu
reaksi sterilisasi pada rongga peritoneum. Hal ini dibuktikan dengan adanya penelitian
yang membuktikan adanya hubungan antara aktifitas makrofag pada cairan peritoneum
dengan kejadian lisisnya sel-sel sperma maupun gamet. Kejadian tersebut mendasari
kejadian infertilitas yang tinggi pada pasien-pasien endometriosis.(44)
Endometriosis dapat terjadi apabila terdapat darah menstruasi retrograde dalam
jumlah yang banyak atau terjadinya gangguan pada mekanisme pembersihan peritoneum
oleh sel-sel imun, yang akan memicu terjadinya implantasi serta pertumbuhan sel-sel atau
fragmen-fragmen endometrium di dalam rongga peritoneum (42) Peningkatan jumlah dan
aktivitas makrofag tampaknya diikuti oleh peningkatan kadar sitokin. Sitokin-sitokin
tersebut akan merangsang proliferasi dan diferensiasi dari sel T, di mana sel T tersebut
selanjutnya akan merangsang aktivasi dari sel B. Sifat makrofag yang dapat merangsang
T helper 1 dinamakan makrofag M1 sedangkan yang dapat merangsang T helper 2
dinamakan makrofag M2. Pada penderita endometriosis terjadi perubahan sifat dasar
makrofag sehingga lebih banyak mengekspresikan jenis M2, dimana sitokin yang
dihasilkan menyerupai sitokin T helper 2. Sitokin-sitokin ini berperan dalam merangsang
matriks metalloproteinase (MMP) sehingga lebih dominan dibandingkan pelepasan tissue
inhibitors metalloproteinase (TIMP),(45) MMP ini dapat membantu survival jaringan
endometriosis dengan melakukan destruksi jaringan sekitar endometriosis, dan diduga
berperan dalam proses invasif dan metastasisnya. Selain itu sitokin yang dihasilkan
makrofag M2 dapat merangsang proses angiogenesis untuk perkembangan jaringan
endometriosis.(35)
Sel Mast
Adanya penelitian yang menunjukkan peningkatan jumlah sel Mast (64–157 sel Mast
/mm) pada pasien endometriosis dibandingkan dengan pasien-pasien tanpa endometriosis
sebagai kontrol (17.6 ± 9.4 sel mast /mm), dengan cara mendeteksi peningkatan enzim
triptase (89%) yang dihasilkan oleh sel Mast mengindikasikan adanya kemungkinan
reaksi alergi yang mendasari terjadinya reaksi peradangan pada endometriosis. (46)
23
Sel NK
Gangguan fungsi sel NK pada kasus endometriosis akan menyebabkan penurunan
aktifitas sitotoksisitas terhadap endometrium otolog. Aktivitas sel NK di dalam darah
selanjutnya akan menurun sebagaimana ditemukan pada cairan peritoneum, dan
penurunan aktivitas ini sangat berhubungan dengan derajat penyakitnya. Dalam suatu
penelitian dilaporkan bahwa aktivitas sel NK pada cairan peritoneum dengan
endometriosis stadium III-IV ternyata lebih rendah dibandingkan normal. Penemuan ini
mendukung berkembangnya teori bahwa endometriosis adalah merupakan target dari sel
NK dan gangguan mekanisme pembersihan dari sel NK pada rongga peritoneum akan
berperan dalam timbulnya endometriosis pada rongga peritoneum.(31) Kikuchi dkk
berpendapat bahwa diferensiasi sel NK akan dipicu dengan adanya implan sel-sel
endometriosis. (47) Pada suatu penelitian yang dilakukan pada tikus didapatkan bahwa
defisiensi pada sel T, B dan NK akan menyebabkan tidak adanya reaksi penolakan
terhadap implan dari endometriosis.(48) Pada penelitian tentang peranan TRegulator
terhadap sitotoksisitas sel NK, didapatkan terjadinya penurunan sifat toksisitas sel NK
melalui interaksi langsung sel ke sel. Hal ini mendasari perubahan imunitas seluler
endometriosis dimana sel NK tidak mampu menyingkirkan jaringan endometrium
ektopik pada peritoneum, sehingga proses eliminasi tidak dapat berlangsung secara
normal.
Limfosit
Dalam suatu penelitian disebutkan adanya keterkaitan efek autoantibodi pada
pasien-pasien penderita endometriosis yang disebabkan oleh karena terjadinya
peningkatan aktifitas antibodi terhadap endometrial transferrin dan alpha 2-HS
glycoprotein, dimana antibodi terhadap dua bahan tersebut memiliki efek menghambat
gerakan sperma yang berakibat terjadinya infertilitas(44) Penelitian yang lain juga
melaporkan sekitar 30-50% cairan peritoneum terdiri dari limfosit, dengan jumlah yang
lebih besar ditemukan pada penderita endometriosis.(49) Peningkatan perbandingan sel T
helper dan sel T supresor didapatkan pada sediaan dari cairan peritoneum pasien–pasien
endometriosis. Namun, Ho dkk. (31) melaporkan bahwa tidak ada perubahan spesifik
CD4:CD8 pada darah tepi maupun cairan peritonium pada pasien endometriosis.
24
Terdapat beberapa pemikiran yang menyatakan peningkatan T Regulator dapat
menurunkan respon host terhadap transplan, sehingga bila dikorelasikan pada jaringan
endometrium ektopik, peningkatan jumlah T Regulator dapat menimbulkan toleransi
nonself antigen (jaringan ektopik endometrium) dalam rongga peritoneum, sehingga
proses apoptosis yang seharusnya terjadi dapat ditekan.
Namun sebaliknya, bila terdapat penurunan jumlah T Regulator, mengasumsikan
bahwa tidak terjadinya faktor penekanan atau pengaturan dari sel T helper dan T
sitotoksik untuk bekerja yang menjadikan dasar timbulnya proses yang berlebihan dalam
rongga peritoneum, yang efeknya dapat menciptakan situasi yang kondusif dalam tumbuh
dan berkembangnya jaringan endometrium ektopik dan juga menimbulkan efek yang
tidak menguntungkan bagi sperma. Hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut untuk
menyelidiki adakah hubungan antara perubahan pada T Regulator terhadap sistem imun
di rongga peritoneum pada pasien endometriosis.
Toleransi imun pada tubuh adalah salah satu kemampuan sistem imun manusia
yang sangat dibutuhkan untuk membedakan antara antigen yang berbahaya dan yang
tidak berbahaya bagi tubuh atau disebut juga sebagai diskriminasi self dan non-self.
Toleransi imun ini dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yang menekan atau
menghambat sel T yang akan secara agresif menyerang nonself MHC, seperti pada proses
transplantasi. Jika keseimbangan ini tidak tercapai atau bahkan jika terjadi kegagalan
toleransi, maka akan terjadi penyakit autoimun dimana sel T Sitotoksik akan menyerang
antigen-antigen yang tidak berbahaya (self).
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa T Regulator (Treg), yang mengandung
protein CD4+ CD25+ pada permukaannya, memiliki peranan pada proses pembedaan self
dan nonself ini, ternyata juga memiliki peran dalam toleransi perifer, transplantasi dan
juga dipikirkan mempengaruhi kemampuan toleransi seorang perempuan terhadap
jaringan endometrium ektopik. Treg atau yang dulunya dikenal sebagai sel T Suppressor,
merupakan suatu bagian sel T yang memiliki kekhususan untuk menghambat aktivasi
sistem imun, sehingga akan mencegah terjadinya reaksi autoimun yaitu suatu keadaan
dimana sistem imun akan menyerang sel-sel sehat pada tubuh (self) antigen. Salah satu
penelitian juga menemukan bahwa Treg dapat menghambat terjadinya penolakan graft
saat transplantasi sehingga menunjukkan bahwa Treg dapat menekan respon dari sel T.
25
Sel Treg dalam fase yang aktif akan mensekresi interleukin-10 (IL-10) dalam
jumlah besar dan transforming growth factor-beta (TGF-B) dimana keduanya merupakan
mediator sel yang berfungsi sebagai imunosupresan. Kedua limfokin ini akan
menghambat produksi T-cell Helper (CD4+) dan T-cell Sitotoksik (CD8+) sehingga akan
menghambat respon imun36. Respon imun juga dihambat oleh melalui interaksi cell-to-
cell antara Treg dengan T-cell CD4+ dan CD8+ (Gambar-6). Gambar-6 dibawah ini
menjelaskan secara singkat mengenai mekanisme kerja imunoregulasi yang dilakukan
Treg.(20)
CTLA-4 pada Treg dapat merangsang sel-sel dendritik untuk menghasilkan IDO
yang dapat mengurangi atau menkatalisasi tryptophan, suatu asam amino yang penting
untuk memecah sel secara cepat, sehingga dapat menghambat produksi sel T Sitotoksik
dan mencegah proliferasi sel T (20)
Gambar-5. Mekanisme imunoregulasi yang dilakukan Treg
CD4 + CD25 high sel Treg mengeluarkan CD28 pada permukaannya dan juga menghasilkan
CTLA-4 intraselular namun tidak pada permukaannya. Stimulasi via T cell receptors dan CD28-
mediated costimulasi dibutuhkan sel-sel Treg untuk melakukan supresi. Dalam keadaan
teraktivasi CD4 + CD25 high Treg cells dapat menghasilkan CTLA-4 pada permukaannya dan
menekan CD4 + T cells dan CD8 + T cells melalui interaksi antar sel atau sekresi sitokin
imunoregulatori seperti TGF-B atau IL-10, serta memicu ekspresi IDO pada APC.(20)
26
Peranan T Regulator yang diharapkan dapat mengarah pada dua mekanisme yang
berbeda. Peningkatan kadar T Regulator dapat menginhibisi sifat sitotoksik dari CD8 dan
sel Natural Killer (NK) melalui mekanisme langsung dari sel ke sel, hal ini kemungkinan
mendasari perubahan sifat sel NK pada penderita endometriosis.(21)
Dilain pihak penurunan kadar sel T Regulator dapat mengurangi inhibisi terhadap
T helper terutama T helper 2, sehingga T helper yang tidak terkontrol oleh T Regulator
dapat menghasilkan sitokin-sitokin yang berperan untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan jaringan endometrium ektopik.(20;50)
Penelitian tentang keberadaan Treg ini berkembang pesat dengan harapan
ditemukannya terapi bagi penyakit-penyakit yang berhubungan dengan autoimunitas,
meningkatkan keberhasilan transplantasi dan sebagai terapi pada penyakit kanker dengan
pengaturan limfosit ini pada tubuh.
27
Gambar 6. Perubahan Imunologi pada Endometriosis(18;51)
Menstruasi Retrograd
Sel endometrial yang mampu bertahan hidup dalam cairan peritoneum
Perlekatan sel endometrial dan peritoneum
Implantasi dan invasi sel ektopik
Pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan endometriosis
Peningkatan jumlah sel endometrial dalam cairan peritoneum atau penurunan kemampuan imunitas
- defek pada sel NK - apoptosis abnormal - penurunan sitotoksisitas sel T
Kharakteristik sel endometrial dalam cairan peritoneum atau inflamasi pelvis
- peningkatan jumlah dan aktifitas makrofag
- Peningkatan jumlah IL-8, TNF-α, IL-6
- Perangsangan MMP - IL-1, TNF-α - Supresi TIMP
- Peningkatan angiogenesis - Peningkatan sekresi VEGF - Peningkatan ekspresi IL-8,
RANTES - TNF-α
- Peningkatan sel dendritik yang dapat melepas autoantibodi untuk sel T yang autoreaktif
- Penurunan aktifitas sel NK terhadap sel dendritik
- Peningkatan reaksi autoantibodi - Pengaktifan siklus hormonal - Ekspresi aromatase yg tidak
terkontrol
28
KERANGKA TEORI
Stimulasi
Inhibisi
Rongga Peritoneum
Genetik Hormon lingkungan
Sel NK
Makrofag M2
Tc
Th2
implantasi induksi
T Regulator
Perdarahan jaringan endometriosis
Penurunan kemampuan apoptosis
Perlekatan pada peritoneum (Adhesion molecule)
MMP>TIMP
Angiogenesis
Inflamasi kronis Nyeri pelvis
Jaringan endometrium ektopik
Endometriosis Survival
Respon Imun
29
KERANGKA KONSEP
Terdapat 3 variabel independen (Treg, Faktor Eksternal dan Faktor Internal) dimana 2
variabel bebas (Faktor Eksternal dan Faktor Internal) dimasukkan kedalam kritetria
eksklusi sampel.
Variabel dependen
Variabel independen
Endometriosis
Derajat minimal-ringan
Derajat Sedang -berat
T Regulator T Regulator
Faktor Eksternal : Lingkungan: Gaya hidup
(rokok,alkohol, dioksin) Hormonal
Faktor Internal : Umur, Penyakit autoimunitas,
Genetik
Tanpa Endometriosis
T Regulator
30
BAB III. METODOLOGI
A. Desain Penelitian
Rancangan penelitian ini bersifat penelitian observasional berupa beberapa studi potong
silang (cross sectional) dengan menghitung jumlah T Regulator cairan peritoneal pada
perempuan dengan endometriosis dan yang tidak mengalami endometriosis, yang
bertujuan untuk melihat adanya nilai rerata dan sebaran kadar Treg pada kelompok
perempuan dengan endometriosis dan kelompok perempuan tanpa endometriosis.
B. Tempat dan Waktu
Penelitian akan dilakukan di OK IGD lantai 3, OK IBS dan OK Klinik Kesehatan
Reproduksi Raden Saleh RSUPN Cipto Mangunkusumo serta Makmal Endokrinologi
FKUI-RSUPNCM, Jakarta.
Penelitian berlangsung bulan Februari 2008 sampai Maret 2009.
C. Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah pasien yang melakukan laparoskopi operatif/diagnostik
maupun laparotomi di OK IGD lantai 3, OK IBS dan OK Klinik Kesehatan Reproduksi
Raden Saleh RSUPN Cipto Mangunkusumo, baik perempuan dengan endometriosis
maupun tanpa endometriosis yang memenuhi kriteria penerimaan. Untuk pasien tanpa
endometriosis diutamakan pasien yang menjalani prosedur laparoskopi untuk sterilisasi.
D. Kriteria penerimaan dan penolakan
Kriteria penerimaan :
Pasien dengan atau tanpa endometriosis yang menjalankan prosedur laparoskopi
diagnostik, laparoskopi operatif maupun laparotomi di Departemen Obstetri dan
Ginekologi RSUPNCM
Bersedia mengikuti penelitian
31
Kriteria penolakan :
Menderita penyakit keganasan
Menderita penyakit autoimmun
Menderita penyakit infeksi intraperitoneal
Dalam kehamilan
E. Besar sampel
Jumlah subyek adalah jumlah sampel minimal untuk pemeriksaan jumlah sel T regulator
Besar sampel
Untuk kadar Treg pada dua kelompok perempuan, yaitu kelompok perempuan tanpa
endometriosis dan kelompok perempuan yang mengalami endometriosis, digunakan
rumus besar sampel untuk estimasi mean suatu populasi (perempuan tanpa endometriosis
sebagai patokan proporsi peningkatan atau penurunan sel T Regulator pada perempuan
penderita endometriosis) yang menggunakan perhitungan data, yaitu:
(Zα ) x s 2
n1 =
d
Dalam kepustakaan / penelitian sebelumnya tidak didapatkan nilai rerata (mean) maupun
simpang baku (SD) dari jumlah T Regulator cairan peritoneum pada penderita
endometriosis . Maka diambil angka Simpangan baku dari jumlah T Regulator dalam
darah pada keadaan normal sebesar 0,59 dengan menganggap dalam cairan peritoneum
akan meningkat 2x lipat maka simpangan baku yang diambil adalah 1,18, dengan rerata
6,5 diambil tingkat ketepatan absolute d= 10% dari rerata=0,65.
Besar sampel minimal ditetapkan berdasarkan rumus berikut ini:
n1 = Besar sampel minimal untuk kelompok bukan kasus(tanpa endometriosis)
s = SD = Simpang baku sebesar 1,18
Zα = 1,96 untuk α = 0,05
32
d = 0,65
(1,96 ) x 1,18 2
n1 =
0,65
= 12,44 ~ 15 orang
Untuk menentukan besarnya sampel pada kasus (pada perempuan penderita
endometriosis) yang menggunakan perhitungan data yang sama namun dibedakan untuk
dua kelompok maka diambil sampel 2x 15 = 30 orang (diambil semua kasus
endometriosis dengan consecutive sampling pada analisa akhir nantinya akan dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok derajat minimal-ringan dan kelompok derajat
sedang-berat)
Terdapat 2 kelompok yang akan diteliti (perempuan tanpa endometriosis dan perempuan
dengan endometriosis). Dengan demikian subyek yang akan diteliti pada penelitian ini
sebanyak 15+35 orang yaitu 45 orang.
Cara pengambilan sampel
Untuk pengambilan sampel pada kasus dilakukan secara consecutive. Setiap subyek yang
memenuhi kriteria penerimaan akan dimasukkan dalam penelitian.
Bila terdapat keterbatasan dana, sumber daya maupun kemampuan untuk mengerjakan
sejumlah kasus tersebut dalam waktu yang telah ditetapkan, peneliti akan menganalisa
berapapun jumlah kasus yang diperoleh saat itu sebagai penelitian pendahuluan.
33
F. Cara kerja
Pengumpulan data dilakukan sejak subyek penelitian datang di OK IGD lantai 3, OK
IBS dan OK Klinik Kesehatan Reproduksi Raden Saleh RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Penatalaksanaan kasus adalah sebagai berikut:
1. Seleksi kasus sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan.
2. Dilakukan informed consent untuk mendapat persetujuan penelitian.
3. Diambil cairan peritoneal pada pasien 5-10 ml per laparoskopi/Laparotomi
dimasukkan kedalam tabung steril lalu diberi label
4. Dilakukan perhitungan sel leukosit total dan hitung jenis secara manual
5. Dilakukan pewarnaan cairan dengan reagen spesifik untuk pemeriksaan CD45
(PerCP-347464), CD4(SIPC-340133) dan CD25 (PE-341009) di dalam Vortex
dan diinkubasi selama 15 menit dalam ruangan gelap, paling lama cairan diproses
2 jam setelah pengambilan.
6. Diberikan 450 mikroliter FACS Lyse (BD Facs lysing solution-349202) dan
diinkubasi lagi selama 15 menit di ruangan gelap.
7. Spesimen dimasukkan ke alat flowcytometry untuk kemudian dihitung jumlah Treg
dengan sistim lyse no washed menggunakan software cellquest pro.
8. Dilakukan pencatatan data
G. Rencana manajemen dan analisis data
Pemeriksaan kadar Treg dilakukan melalui pemeriksaan sampel menggunakan alat
flowcytometry yaitu ‘Simultest IMK-Lymphocyte’. Data penelitian dicatat pada formulir
penelitian yang telah diuji coba. Setelah melalui proses editing dan koding, data
penelitian direkam dalam cakram magnetik untuk dilakukan proses pembersihan data
secara elektronik. Data yang telah teruji keabsahannya ini akan diolah dan disusun dalam
bentuk tabel distribusi maupun tabel silang sesuai tujuan penelitian menggunakan
perangkat SPSS versi 11. Penghitungan nilai mean dan simpang bakunya dilengkapi
dengan interval nilai berdasar Confidence Interval 95% dilakukan untuk variabel
kuantitatif. Hubungan antara dua variabel kuantitatif akan dinilai dengan metoda korelasi
Pearson bila memenuhi syarat normalitas atau dengan metoda Spearman bila tidak
34
memenuhi syarat normalitas. Hubungan antara variabel kualitatif dan variabel kuantitatif
akan dinilai dengan uji t dan Kai-kuadrat bila memenuhi syarat normalitas atau dengan
metoda Mann Whitney dan Kruskal Wallis bila tidak memenuhi syarat normalitas. Batas
kemaknaan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 5%.
35
H. Definisi operasional
Variabel Definisi operasional Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala ukur
Penderita endometriosis Sampel tanpa endometriosis Kadar Treg Jumlah total Treg Tingkat sosioekonomi Usia Jumlah paritas Pendidikan Menarche
Penderita yang didiagnosis dengan laparoskopi menderita Endometriosis, dikategorikan dalam Derajat minimal-ringan dan sedang-Berat sesuai skor AFS 1996(52) Perempuan yang menjalani prosedurLaparoskopi/Laparotomi dengan alasan lain persentase Treg pada saat pemeriksaan Jumlah Regulatory T-cell (Treg) pada saat pemeriksaan Tingkat sosialdanekonomi yang mempengaruhi kebiasaan dan perilaku terhadap kesehatan Usia pasien saat ini Jumlah kelahiran yang telah dimiliki ibu Pendidikan terakhir yang berhasil diselesaikan Usia pertama kali menstruasi
Laparoskopi
Simultest IMK-Lymphocyte’
SKOR AFS Uji serologis anamnesis anamnesis anamnesis anamnesis anamnesis
1 = AFS I-II (minimal- ringan ) 2 = AFS III-IV(sedang-berat) persentase Kadar Treg
X jumlah total lifosit 0 = rendah 1 = sedang 2= tinggi 0 = 18-35 th 1 = > 35 th 0 = 0 1 = ≥1 0 = tidak sekolah - SD 1 = SMP 2 = SMA – D1 3 = D3-S1 4 = >S1
Kategori Numerik Numerik Kategori Numerik Numerik Kategori Numerik
36
I. Masalah etika
1. Semua subyek penelitian mendapat penjelasan mengenai tujuan, prosedur
penelitian, keuntungan dan kerugian penelitian.
2. Setelah mendapat penjelasan, subyek berhak untuk menyetujui atau menolak
menjadi peserta penelitian.
3. Subyek akan diberi penjelasan mengenai hasil prosedur diagnosis.
4. Hasil pemeriksaan dan identitas subyek penelitian dirahasiakan.
5. Penelitian diajukan ke komite etik untuk mendapat pengesahan sebelum dimulai.
37
BAB IV HASIL PENELITIAN
Penelitian ini berlangsung pada bulan Februari 2008 sampai Maret 2009, dengan besar
sampel 33 subjek. Dilakukan tindakan laparoskopi dan pengambilan sampel cairan
peritoneum pada seluruh kasus dan dihitung jumlah kadar dan jumlah total sel T regulator
(Treg).
Kesetaraan kelompok
Tiga puluh tiga pasien memenuhi kriteria dan dimasukkan dalam penelitian ini. Dua
puluh satu sampel (63,2%) terdiagnosis sebagai endometriosis.
Dari sebaran karakteristik demografis dan medik, tidak didapatkan perbedaan bermakna
di antara kedua kelompok penelitian, menandakan bahwa kedua kelompok penelitian
tersebut merupakan kelompok yang setara dalam hal sebaran usia, pendidikan dan
paritas, sebagaimana terlihat dalam tabel 1 dan tabel 2.
Tabel.1 Sebaran subyek menurut karakteristik demografis dan medik
Karakteristik
Demografik dan Medik
Kelompok Penelitian p
Non-endometriosis Endometriosis
N % N %
Kelompok Usia
- ≤ 35 tahun
- > 35 tahun
10
2
83.3
16.7
15
6
71.4
28.6
1.000
Pendidikan
- SD-SMP
- SMU +
5
7
41.6
58.4
2
19
9.5
90.5
0.409
Paritas
- nullipara
- Multipara
9
3
75
25
17
4
80.9
19.1
1.000
Keterangan : p dianggap bermakna jika <0.05
38
Tabel.2 Nilai Mean dan SD variabel menurut kelompok penelitian
Variabel Non endometriosis (n=12) Endometriosis(n=21) p
Mean SD Mean SD
Usia 33.08 6.543 31.48 4.802 0.424
Paritas 0.5 1 0.19 0.402 0.216
Keterangan : p dianggap bermakna jika <0.05
Total sampel yang diperiksa 33 sampel,dengan pembagian 12 sampel nonendometriosis
dan 21 sampel endometriosis (63,6%). Dari 21 sampel endometriosis didapatkan 10
sampel dengan endometriosis derajat minimal-ringan dan 11 sampel dengan derajat
sedang-berat berdasarkan kriteria skor AFS 1996.
Sebaran kadar Treg dan Jumlah total Treg
Hasil perhitungan sebaran kadar Treg dan total Treg ditampilkan dalam tabel 3. Sebaran
kadar Treg dan jumlah total Treg yang didapat (dengan cara mengalikan persentase kadar
Treg dan jumlah total limfosit) menunjukkan nilai dengan sebaran yang tidak normal.
Pada kasus non endometriosis didapatkan kadar Treg (%) dengan rerata 1,864± 4,903
dengan median 0,115. Sedangkan pada kasus endometriosis didapatkan rerata kadar Treg
(%) 5,429 ± 14,016 dan median 0,520 dan secara statistik perbandingan kedua kelompok
tidak terdapat perbedaan bermakna dengan p=0,403 (tabel.3) dengan uji kemaknaan T
test independent.
Pada sebaran jumlah total Treg juga menunjukkan nilai sebaran yang tidak
normal, Dengan nilai rerata jumlah total Treg pada kasus non endometriosis adalah
2,114±6,427 dan median 0, sedangkan pada kasus non endometriosis 415,698±1618,48
dengan median 3,864, secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna dengan nilai
p=0,386.
39
Tabel.3 Nilai Mean, SD, dan Median Kadar Treg dan total Treg
Variabel Non endometriosis (n=12) Endometriosis (n=22) p
Mean SD Median Mean SD Median
Kadar Treg 1.864 4.903 0.115 5.429 14.016 0.520 0.403
Total Treg 2.114 6.427 0.000 415.698 1618.480 3.864 0.386
Keterangan : p dianggap bermakna jika <0.05 Grafik 1. Sebaran kadar Treg
Dari grafik 1 di atas didapatkan sebaran kadar Treg yang menunjukkan pada kasus
endometriosis didapatkan nilai rata-rata dan median lebih tinggi dari kasus non
endometriosis, namun dari perhitungan secara statistik tidak menunjukkan nilai yang
bermakna pada kedua kelompok
Pembagian kelompok endometriosis minimal-ringan dan sedang-berat menunjukan tidak
adanya perbedaan yang bermakna secara statistik pada kedua kelompok, dimana median
masing-masing kelompok adalah 0,455 pada kelompok endometriosis minimal ringan
dan 0,520 pada kelompok endometriosis sedang berat dengan nilai p = 0,981 (tabel 4).
Namun, terdapat kecenderungan nilai rata-rata dan median pada kelompok endometriosis
sedang-berat lebih tinggi dibanding kelompok minimal-ringan.
Kelompok Kasus
% Treg
Non endometriosis Endometriosis
40
Tabel 4. Sebaran nilai Mean, SD, dan Median Treg pada kelompok endometriosis
Variabel Endometriosis minimal-
ringan (n=10)
Endometriosis sedang – berat
(n=11)
P
Mean SD Median Mean SD Median
Kadar Treg 5.35 13.828 0.455 5.50 14.85 0.520 0.981
Total Treg 14.966 32.714 1.987 779.85 2220.706 11.448 0.291
Keterangan : p dianggap bermakna jika <0.05
Gambar 7. Gating limfosit dari sebaran populasi leukosit berdasar Side scatter dan CD 45
Gambar 8. Gating kadar Treg CD4+ CD25+ kasus non-endometriosis dan kasus
endometriosis
Side scatter dan CD45
41
Pada fase awal penelitian, dilakukan gating untuk mengambil sel Limfosit dari populasi
leukosit yang didapat (side scatter dan CD45), sedangkan gating dari hasil flowsitometri
belum didapat keseragaman dalam menentukan batas kadar Treg. Keseragaman penentuan
gating didapatkan setelah dilakuan beberapa kali percobaan gating. (gambar 3)
42
BAB V
PEMBAHASAN Pada penelitian potong lintang ini didapatkan kasus endometriosis sebanyak 63,6% dari
33 sampel pada kasus infertilitas. Hal ini sesuai dengan studi studi sebelumnya yang
mendapatkan kasus endometriosis sebanyak 68% pada kasus infertilitas.(53)
Terdapat beberapa faktor yang menjadi dasar patogenesis endometriosis,yaitu
faktor hormonal, faktor lingkungan, menstruasi retrograd yang berlebihan akibat
obstruksi, dan gangguan sistem imun lokal di peritoneum.
Sampson mengemukakan teori yang menunjukkan bahwa endometriosis berasal
dari implantasi sel yang terdapat pada cairan menstruasi yang tumpah ke rongga
abdomen. Viabilitas sel pada cairan menstruasi tersebut telah dibuktikan dan sel tersebut
mampu berimplantasi di rongga peritoneum serta tumbuh.(13;14) Pada 76% wanita yang
memiliki tuba paten dan telah dibuktikan melalui observasi laparoskopik, ternyata
memperlihatkan kejadian regurgitasi darah menstruasi yang selanjutnya dapat
menyebabkan implantasi endometrium ektopik dan berakhir dengan endometriosis
pelvis.(15) Namun pada kenyataannya tidak semua sel endometrium yang tumpah ke
rongga abdomen dapat menyebabkan terjadinya endometriosis pelvis.(16)
Endometriosis dapat terjadi apabila terdapat tumpahan darah menstruasi ke dalam
rongga abdomen dalam jumlah yang banyak, atau terdapat gangguan pada mekanisme
pembersihan oleh sel-sel imun di rongga pelvis. Hal tersebut dapat memicu terjadinya
implantasi serta pertumbuhan sel-sel atau fragmen-fragmen endometrium di dalam
rongga peritoneum. Tata laksana endometriosis dengan menggunakan metode hormonal
atau pembedahan tidak selalu akan membuahkan hasil yang memuaskan. Hal ini sering
dibuktikan dengan terjadinya periode berulang dari endometriosis.(54) salah satu alternatif
terapi yang menjadi perhatian peneliti saat ini adalah berupaya untuk meningkatkan
respon imun. Salah satu target penelitian dalam menjelaskan mekanisme imunologi pada
endometriosis adalah subpopulasi dari leukosit. Penelitian sebelumnya pada subpopulasi
leukosit menunjukkan telah terjadi perubahan baik aspek jumlah maupun aktifitasnya
pada penderita endometriosis.
Penelitian selanjutnya mendapatkan adanya disfungsi pada sifat sitotoksisitas dari
sel Natural Killer (NK), perubahan sifat makrofag, dan peningkatan jumlah sel
43
eosinofil.(31;34;41;44;49) Temuan-temuan tersebut menunjukkan adanya kegagalan
pengaturan sistem imun dalam cairan peritoneum penderita endometriosis.(14;32) Regulasi
respon imun dilakukan oleh subpopulasi dari sel T yang dikenal sebagai sel T regulator
(Treg).
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa sel T Regulator, yang memiliki
marka CD4+ CD25+ pada permukaannya, memiliki peran pada proses identifikasi antara
self dan nonself. Sehingga sel T regulator diperkirakan memiliki peran yang penting
dalam mekanisme toleransi perifer dan transplantasi. Berdasarkan temuan tersebut, maka
sel T regulator diperkirakan juga dapat memicu toleransi terhadap jaringan endometrium
ektopik. Treg adalah suatu subpopulasi sel T yang memiliki kemampuan untuk
menghambat aktivasi sistem imun, sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi autoimun.
Reaksi autoimun adalah suatu keadaan dimana sistem imun akan menyerang sel-sel sehat
pada tubuh (self) antigen. Salah satu penelitian juga menemukan bahwa Treg memiliki
peran yang penting dalam upaya menghambat terjadinya penolakan graft saat
transplantasi. Hal tersebut sehingga menunjukkan bahwa Treg dapat menekan respon dari
sel T. (55)
Pada penelitian ini didapatkan kadar median Treg dengan kasus endometriosis
adalah 0,52% dibanding kadar Treg kasus nonendometriosis dengan median 0,115 % Hal
ini memperlihatkan terdapat kecenderungan peningkatan kadar Treg maupun jumlah total
Treg pada kasus endometriosis dibandingkan non endometriosis. Peningkatan sel Treg pada
kasus endometriosis diperkirakan dapat menginhibisi sifat sitotoksik dari CD8 dan sel
NK melalui mekanisme langsung dari sel ke sel yang kemungkinan mendasari perubahan
sifat sel NK pada penderita endometriosis.(56) Dengan menurunnya sifat sitotoksik sel T
sitotoksik maupun sel NK mungkin dapat menyebabkan mekanisme imun defek pada
penderita endometriosis. Meski demikian secara statistik tidak didapatkan perbedaan
bermakna pada sebaran kadar Treg kedua kelompok.
Penelitian ini juga mencoba untuk membandingkan sebaran kadar dan jumlah
total sel Treg antara kasus endometriosis derajat minimal-ringan dengan endometriosis
derajat sedang-berat. Terdapat kecenderungan meningkatnya kadar Treg pada kasus
endometriosis derajat sedang-berat walaupun secara statistik tidak bermakna. Median
sebaran kadar Treg pada kasus endometriosis minimal-ringan adalah 0,442%
44
dibandingkan dengan 0,520% pada kasus endometriosis derajat sedang berat (p=0,981).
Selanjutnya persentase dari Treg tersebut dikonversikan menjadi jumlah total dengan
caramengalikan persentase Treg dengan jumlah limfosit total yang berasal dari cairan
peritoneum. Namun dari hasil perbandingan tersebut, ternyata terdapat ketidakselarasan
perhitungan, yang disebabkan adanya tindakan pembilasan degan menggunakan cairan
salin steril pada rongga peritoneum, bila didapatkan cairan yang terlalu sedikit pada saat
pengambilan sampel cairan peritoneum.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa terjadi penurunan sifat toksisitas dan fagositosis yang mungkin disebabkan oleh
meningkatnya kehadiran Treg. Meski demikian penelitian oleh Tariverdian dkk tahun
2009 memperlihatkan hasil yang berbeda,(57) dimana terdapat penurunan kadar Treg.
Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah sampel, metode dan cara
pengambilan sampel yang berbeda. Pada penelitian dilakukan pemeriksaan cairan
peritoneum setelah dilakukan tindakan histeroskopi diagnostik yang mungkin akan
mempengaruhi konsentrasi sel dalam cairan peritoneum.
45
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tidak terdapat perbedaan kadar sel T Regulator dalam cairan peritoneal perempuan
dengan endometriosis dibandingkan dengan kadar sel T Regulator dalam cairan
peritoneal perempuan tanpa endometriosis, namun terdapat kecenderungan peningkatan
sebaran kadar sel T regulator dalam cairan peritoneum penderita endometriosis . Terdapat
kecenderungan peningkatan kadar sel T regulator pada penderita endometriosis derajat
sedang-berat.
Saran
Diperlukan optimalisasi teknik pengambilan sampel dan upaya identifikasi populasi T reg
pada cairan peritoneum dengan alat flowcytometry.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan disain untuk mengobservasi fungsi sitotoksik
dan proliferasi sel-sel imun peritoneum pada penderita endometriosis terkait dengan
pengaruh T regulator.
46
DAFTAR PUSTAKA (1) Kirshon B, Poindexter AN, III. Contraception: a risk factor for endometriosis.
Obstet Gynecol 1988 Jun;71(6 Pt 1):829-31.
(2) Missmer SA, Cramer DW. The epidemiology of endometriosis. Obstet Gynecol Clin North Am 2003 Mar;30(1):1-19, vii.
(3) Mahmood TA, Templeton A. Prevalence and genesis of endometriosis. Hum Reprod 1991 Apr;6(4):544-9.
(4) Sangi-Haghpeykar H, Poindexter AN, III. Epidemiology of endometriosis among parous women. Obstet Gynecol 1995 Jun;85(6):983-92.
(5) Dmowski WP, Lesniewicz R, Rana N, Pepping P, Noursalehi M. Changing trends in the diagnosis of endometriosis: a comparative study of women with pelvic endometriosis presenting with chronic pelvic pain or infertility. Fertil Steril 1997 Feb;67(2):238-43.
(6) Valle RF. Endometriosis: current concepts and therapy. Int J Gynaecol Obstet 2002 Aug;78(2):107-19.
(7) Memarzadeh S. Endometriosis. In: Decherney.A.H., Nathan.L., editors. Current Obstertric and Gynecologic Diagnosis and Treatment. 9th ed. California: Appleton & Lange, 2003:767-75. 2009.
(8) Ho HN, Wu MY, Chao KH, Chen CD, Chen SU, Chen HF, et al. Decrease in interferon gamma production and impairment of T-lymphocyte proliferation in peritoneal fluid of women with endometriosis. Am J Obstet Gynecol 1996 Nov;175(5):1236-41.
(9) Hart R. Unexplained infertility, endometriosis, and fibroids. BMJ 2003 Sep 27;327(7417):721-4.
(10) Ramey JW, Archer DF. Peritoneal fluid: its relevance to the development of endometriosis. Fertil Steril 1993 Jul;60(1):1-14.
(11) Vinatier D, Orazi G, Cosson M, Dufour P. Theories of endometriosis. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2001 May;96(1):21-34.
(12) Sampson JA. Peritoneal endometriosis due to menstrual dissemination of endometrial tissue into peritoneal cavity. Am J Obstet Gynecol 1927;14:422-69. 2009.
(13) Kruitwagen RF, Poels LG, Willemsen WN, de R, I, Jap PH, Rolland R. Endometrial epithelial cells in peritoneal fluid during the early follicular phase. Fertil Steril 1991 Feb;55(2):297-303.
47
(14) D'Hooghe TM, Bambra CS, Xiao L, Peixe K, Hill JA. Effect of menstruation and intrapelvic injection of endometrium on inflammatory parameters of peritoneal fluid in the baboon (Papio anubis and Papio cynocephalus). Am J Obstet Gynecol 2001 Apr;184(5):917-25.
(15) Berkkanoglu M, Arici A. Immunology and endometriosis. Am J Reprod Immunol 2003 Jul;50(1):48-59.
(16) Strathy JH, Molgaard CA, Coulam CB, Melton LJ, III. Endometriosis and infertility: a laparoscopic study of endometriosis among fertile and infertile women. Fertil Steril 1982 Dec;38(6):667-72.
(17) Lebovic DI, Mueller MD, Taylor RN. Immunobiology of endometriosis. Fertil Steril 2001 Jan;75(1):1-10.
(18) Senturk LM, Arici A. Immunology of endometriosis. J Reprod Immunol 1999 May;43(1):67-83.
(19) Haynes BF, Fauci AS. Introduction to the immune system. In: Kasper DL, Braunwald E, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16 ed. New York: Mc Graw Hill, 2005:1907-30. 2009.
(20) Saito S, Sasaki Y, Sakai M. CD4(+)CD25high regulatory T cells in human pregnancy. J Reprod Immunol 2005 Apr;65(2):111-20.
(21) Trzonkowski P, Szmit E, Mysliwska J, Dobyszuk A, Mysliwski A. CD4+CD25+ T regulatory cells inhibit cytotoxic activity of T CD8+ and NK lymphocytes in the direct cell-to-cell interaction. Clin Immunol 2004 Sep;112(3):258-67.
(22) Speroff L, Glass RH, Kase.NG. Endometriosis. In: Mitchel C, Reter R, Stewart J, RD M, editors. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. 6th ed. Baltimore, Maryland: Lippincott Williams & Wilkins, 1999:1057-69. 2009.
(23) Houston DE. Evidence for the risk of pelvic endometriosis by age, race and socioeconomic status. Epidemiol Rev 1984;6:167-91.
(24) Vigano P, Parazzini F, Somigliana E, Vercellini P. Endometriosis: epidemiology and aetiological factors. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol 2004 Apr;18(2):177-200.
(25) Honore GM. Extrapelvic endometriosis. Clin Obstet Gynecol 1999 Sep;42(3):699-711.
(26) Baziad A. Endometriosis. In: Baziad.A, editor. Endokrinologi Ginekologi. II ed ed. Jakarta: Media Aesculapius, 2003:1-22. 2009.
(27) Pritts EA TR. Endometriosis.Available from: www.Endotext.org/female/female9/female9.htm. 2002:1-10. 2009.
48
(28) Kitawaki J, Obayashi H, Kado N, Ishihara H, Koshiba H, Maruya E, et al. Association of HLA class I and class II alleles with susceptibility to endometriosis. Hum Immunol 2002 Nov;63(11):1033-8.
(29) Missmer SA, Hankinson SE, Spiegelman D, Barbieri RL, Marshall LM, Hunter DJ. Incidence of laparoscopically confirmed endometriosis by demographic, anthropometric, and lifestyle factors. Am J Epidemiol 2004 Oct 15;160(8):784-96.
(30) Fujii S. Secondary mullerian system and endometriosis. Am J Obstet Gynecol 1991 Jul;165(1):219-25.
(31) Ho HN, Chao KH, Chen HF, Wu MY, Yang YS, Lee TY. Peritoneal natural killer cytotoxicity and CD25+ CD3+ lymphocyte subpopulation are decreased in women with stage III-IV endometriosis. Hum Reprod 1995 Oct;10(10):2671-5.
(32) Somigliana E, Vigano P, Gaffuri B, Candiani M, Busacca M, Di Blasio AM, et al. Modulation of NK cell lytic function by endometrial secretory factors: potential role in endometriosis. Am J Reprod Immunol 1996 Nov;36(5):295-300.
(33) O'Shea JJ, Ma A, Lipsky P. Cytokines and autoimmunity. Nat Rev Immunol 2002 Jan;2(1):37-45.
(34) Moretta A. Natural killer cells and dendritic cells: rendezvous in abused tissues. Nat Rev Immunol 2002 Dec;2(12):957-64.
(35) Matarese G, De PG, Nikas Y, Alviggi C. Pathogenesis of endometriosis: natural immunity dysfunction or autoimmune disease? Trends Mol Med 2003 May;9(5):223-8.
(36) Tsudo T, Harada T, Iwabe T, Tanikawa M, Nagano Y, Ito M, et al. Altered gene expression and secretion of interleukin-6 in stromal cells derived from endometriotic tissues. Fertil Steril 2000 Feb;73(2):205-11.
(37) Gargiulo AR, Stoval DW, Schust DJ. Reproductive Immunology and Its Disorders. In: Barbieri RB, Berga SL, Boime I, editors. Yen and Jaffe's Reproductive Endocrinology. 5 ed. Philadelphia: Elsevier, 2004:389-419. 2009.
(38) Oral E, Olive DL, Arici A. The peritoneal environment in endometriosis. Hum Reprod Update 1996 Sep;2(5):385-98.
(39) Koninckx PR, Kennedy SH, Barlow DH. Endometriotic disease: the role of peritoneal fluid. Hum Reprod Update 1998 Sep;4(5):741-51.
(40) Badawy SZ, Cuenca V, Marshall L, Munchback R, Rinas AC, Coble DA. Cellular components in peritoneal fluid in infertile patients with and without endometriosis. Fertil Steril 1984 Nov;42(5):704-8.
49
(41) Hill JA, Faris HM, Schiff I, Anderson DJ. Characterization of leukocyte subpopulations in the peritoneal fluid of women with endometriosis. Fertil Steril 1988 Aug;50(2):216-22.
(42) Dmowski WP. Immunological aspects of endometriosis. Int J Gynaecol Obstet 1995 Sep;50 Suppl 1:S3-10.
(43) Braun DP, Dmowski WP. Endometriosis: abnormal endometrium and dysfunctional immune response. Curr Opin Obstet Gynecol 1998 Oct;10(5):365-9.
(44) Mathur SP. Autoimmunity in endometriosis: relevance to infertility. Am J Reprod Immunol 2000 Aug;44(2):89-95.
(45) Mizumoto H, Saito T, Ashihara K, Nishimura M, Takehara M, Tanaka R, et al. Expression of matrix metalloproteinases in ovarian endometriomas: immunohistochemical study and enzyme immunoassay. Life Sci 2002 Jun 7;71(3):259-73.
(46) Kempuraj D, Papadopoulou N, Stanford EJ, Christodoulou S, Madhappan B, Sant GR, et al. Increased numbers of activated mast cells in endometriosis lesions positive for corticotropin-releasing hormone and urocortin. Am J Reprod Immunol 2004 Oct;52(4):267-75.
(47) Kikuchi Y, Ishikawa N, Hirata J, Imaizumi E, Sasa H, Nagata I. Changes of peripheral blood lymphocyte subsets before and after operation of patients with endometriosis. Acta Obstet Gynecol Scand 1993 Apr;72(3):157-61.
(48) Aoki D, Katsuki Y, Shimizu A, Kakinuma C, Nozawa S. Successful heterotransplantation of human endometrium in SCID mice. Obstet Gynecol 1994 Feb;83(2):220-8.
(49) Oosterlynck DJ, Meuleman C, Waer M, Vandeputte M, Koninckx PR. The natural killer activity of peritoneal fluid lymphocytes is decreased in women with endometriosis. Fertil Steril 1992 Aug;58(2):290-5.
(50) Sasaki Y, Sakai M, Miyazaki S, Higuma S, Shiozaki A, Saito S. Decidual and peripheral blood CD4+CD25+ regulatory T cells in early pregnancy subjects and spontaneous abortion cases. Mol Hum Reprod 2004 May;10(5):347-53.
(51) Kyama CM, Debrock S, Mwenda JM, D'Hooghe TM. Potential involvement of the immune system in the development of endometriosis. Reprod Biol Endocrinol 2003 Dec 2;1:123.
(52) Revised American Society for Reproductive Medicine classification of endometriosis: 1996. Fertil Steril 1997 May;67(5):817-21.
50
(53) Koninckx PR, Meuleman C, Demeyere S, Lesaffre E, Cornillie FJ. Suggestive evidence that pelvic endometriosis is a progressive disease, whereas deeply infiltrating endometriosis is associated with pelvic pain. Fertil Steril 1991 Apr;55(4):759-65.
(54) Vercellini P, Barbara G, Abbiati A, Somigliana E, Vigano P, Fedele L. Repetitive surgery for recurrent symptomatic endometriosis: what to do? Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2009 Sep;146(1):15-21.
(55) Trzonkowski P, Bieniaszewska M, Juscinska J, Dobyszuk A, Krzystyniak A, Marek N, et al. First-in-man clinical results of the treatment of patients with graft versus host disease with human ex vivo expanded CD4+CD25+C. Clin Immunol 2009 Jun 24.
(56) Trzonkowski P, Szmit E, Mysliwska J, Dobyszuk A, Mysliwski A. CD4+CD25+ T regulatory cells inhibit cytotoxic activity of T CD8+ and NK lymphocytes in the direct cell-to-cell interaction. Clin Immunol 2004 Sep;112(3):258-67.
(57) Tariverdian N, Siedentopf F, Rucke M, Blois SM, Klapp BF, Kentenich H, et al. Intraperitoneal immune cell status in infertile women with and without endometriosis. J Reprod Immunol 2009 Jun;80(1-2):80-90.