Referat Endometriosis Amin

47
BAB I PENDAHULUAN Endometriosis adalah gangguan ginekologi jinak umum yang didefinisikan sebagai adanya jaringan kelenjar endometrium dan stroma di luar lokasi normal. Endometriosis paling sering ditemukan pada peritoneum panggul, tetapi dapat juga ditemukan di ovarium, septum rektovaginal, ureter, namun jarang ditemukan di vesika urinaria, perikardium, dan pleura. 1, 2 Insidensi endometriosis sulit untuk diukur, sebagian besar wanita dengan penyakit ini sering tidak bergejala, dan modalitas pencitraan memiliki kepekaan rendah untuk diagnosis. Wanita dengan endometriosis mungkin asimtomatik, subfertile, atau menderita berbagai tingkat nyeri panggul. Metode utama diagnosis adalah laparoskopi, dengan atau tanpa biopsi untuk diagnosis histologis. 3, 4 . Pada wanita tanpa gejala, prevalensi endometriosis berkisar antara 2-22 persen, tergantung pada populasi yang diteliti. 5-7 .Namun karena ada kaitan dengan infertilitas dan nyeri panggul maka endometriosis lebih umum ditemukan pada wanita dengan keluhan ini. Pada wanita subur, prevalensi telah dilaporkan antara 20 sampai 50 persen dan pada mereka dengan nyeri panggul, 40 sampai 50 persen. 8, 9 1

description

asd

Transcript of Referat Endometriosis Amin

BAB IPENDAHULUANEndometriosis adalah gangguan ginekologi jinak umum yang didefinisikan sebagai adanya jaringan kelenjar endometrium dan stroma di luar lokasi normal. Endometriosis paling sering ditemukan pada peritoneum panggul, tetapi dapat juga ditemukan di ovarium, septum rektovaginal, ureter, namun jarang ditemukan di vesika urinaria, perikardium, dan pleura.1, 2

Insidensi endometriosis sulit untuk diukur, sebagian besar wanita dengan penyakit ini sering tidak bergejala, dan modalitas pencitraan memiliki kepekaan rendah untuk diagnosis. Wanita dengan endometriosis mungkin asimtomatik, subfertile, atau menderita berbagai tingkat nyeri panggul. Metode utama diagnosis adalah laparoskopi, dengan atau tanpa biopsi untuk diagnosis histologis.3, 4 . Pada wanita tanpa gejala, prevalensi endometriosis berkisar antara 2-22 persen, tergantung pada populasi yang diteliti.5-7 .Namun karena ada kaitan dengan infertilitas dan nyeri panggul maka endometriosis lebih umum ditemukan pada wanita dengan keluhan ini. Pada wanita subur, prevalensi telah dilaporkan antara 20 sampai 50 persen dan pada mereka dengan nyeri panggul, 40 sampai 50 persen.8, 9

Endometriosis secara signifikan memberikan pengaruh terhadap kehidupan wanita, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam produktivitas kerja. Dari penelitian yang dilakukan pada 16 rumah sakit di 10 negara, tahun 2008 sampai 2010, pada 3 grup pasien, endometriosis, dan 2 grup kontrol yaitu pasien yang mempunyai gejala namun tidak terdapat endometriosis, dan pasien yang telah menjalani sterilisasi, didapatkan bahwa kesehatan fisik pasien dengan endometriosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang memiliki gejala yang sama namun tidak terdiagnosis endometriosis.10

Nyeri merupakan masalah utama pada endometriosis. Sekitar 83% penderita endometriosis melaporkan adanya nyeri abdominopelvik, dismenore, dan dispareuni.2,3 Sebaliknya, pada sekitar 33% penderita nyeri panggul kronik, ternyata ditemukan lesi endometriosis.4 Melihat kenyataan tersebut, salah satu aspek penting dalam penatalaksanaan endometriosis adalah pengendalian nyeri. Walaupun demikian, masih banyak kontroversi terkait dengan mekanisme nyeri.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Endometriosis didefinisikan sebagai adanya jaringan endometrium (glands dan stroma ) diluar dari uterus. Tempat paling sering ditemukannya implantasi jaringan endometrium ini adalah pelvic viscera dan rongga peritoneum.Endometriosis biasanya berubah dari lesi minimal pada organ pelvis menjadi kista endometriosis yang massive yang merubah anatomi dari tuboovarium secara meluas yang biasanya menyertai usus, vesika urinaria dan ureter. Endometriosis merupakan salah satu penyakit organ reproduksi yang paling sering terjadi. Endometriosis sering ditemukan pada wanita usia remaja dan usia reproduksi dari segala etnis dan kelompok masyarakat (Heriansyah, 2011). Penyakit ini terjadi pada 5 10 % pada wanita usia reproduksi. 11Epidemiologi endometriosis yang sesungguhnya telah disalahartikan oleh observasi awal yang sering kali menyesatkan dan telah terjadi selama beberapa dekade. Adanya observasi awal yang salah tersebut diperburuk dengan tingginya kesalahan diagnosis visual pada saat dilakukan operasi .Menurut Jacoeb dalam buku Berek and Novaks and gynecology, angka kejadian di Indonesia belum dapat diperkirakan secara pasti karena belum ada studi epidemiologik, namun, dari data temuan di rumah sakit, angka kejadiannya berkisar 13,6-69,5% pada kelompok infertilitas. Pada pasangan infertil dijumpai 25% diakibatkan oleh endometriosis, sedangkan pada kasus infertilitas idiopatik penyakit ini dijumpai 80% (Evers, 1997). Di bagian Obstetri dan Ginekologi FK-UI RSCM selama tahun 1990 tercatat 15,7% kasus endometriosis di Poliklinik Imunoendokrinologi .11

ETIOLOGIWalaupun tanda dan gejala endometriosis telah di jelaskan semenjak tahun 1.800 M, tapi penyakit ini diketahui secara luas pada abad ini saja. Endometriosis adalah penyakit yang dipengaruhi oleh hormone esterogen. Terdapat EMPAT teori yang menjelaskan histogenesis dari endometriosis :1. Transplantasi ektopik dari jaringan endometrium2. Coelomic metaplasia3. Teori imunologik4. Teori limfatikNamun tidak ada satu teoripun yang disertai lokasi endometriosis dalam semua kasus.

1. Teori transplantasi ektopik dari jaringan endometriumTeori ini dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927, dijelaskan bahwa endometriosis terjadi karena darah menstruasi mengalir balik melalui tuba ke dalam rongga pelvis (retrograde). Darah yang berbalik ke rongga peritoneum diketahui mampu berimplantasi pada permukaan peritoneum dan merangsang metaplasia peritoneum yang kemudian akan merangsang angiogenesis.

Hal ini dibuktikan dengan lesi endometriosis sering dijumpai pada daerah yang meningkat vaskularisasinya. Dewasa ini, teori ini tidak lagi menjadi teori utama, karena teori ini tidak dapat menjelaskan keadaan endometriosis di luar pelvis . Teori yang menguatkan bahwa teori Sampson tidak dapat laigi diterima adalah telah ditemukan bahwa partikel endometrium memasuki rongga peritoneal mereka akan diserang dan dihancurkan proses imunnologi yang masih belum dapat diteliti. Selain itu, teori menstruasi retrograde tidak dapat menjelaskan mekanisme terjadinya endometriosis di organ-organ lain, sehingga endometriosis dipercaya memiliki beberapa patogenesis lain

2. Teori coelomic metaplasiaTeori metaplasia ini dikemukakan oleh Robert Meyer yang menyatakan bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari sel epitel selomik pluripoten dapat mempertahankan hidupnya di daerah pelvis, sehingga terbentuk jaringan endometriosis. Teori ini didukung oleh penelitian-penelitian yang dapat menerangkan terjadinya pertumbuhan endometriosis di toraks, umbilikus dan vulva.

3. Teori imunologikGangguan pada imunitas terjadi pada wanita yang menderita endometriosis (Hill, 1988). Dmowski dkk mendapatkan adanya kegagalan dalam sistem pengumpulan dan pembuangan zat-zat sisa saat menstruasi oleh makrofag dan fungsi sel NK yang menurun pada endometriosis. Beberapa penelitian menemukan peningkatan IgA, IgG dan IgM dalam serum peritoneal penderita endometriosis. Kadar C3 juga berfluktuasi, tetapi meningkat di dalam serum pada endometriosis yang lebih berat. C3 merupakan komplemen yang memegang kunci penting yang berawalnya kaskade proses imunologis tubuh. Komplemen ini dipakai oleh antibodi untuk proses penghancuran dinding sel sehingga merusak sel ( Jacoeb, 1990). Kadar C3 yang tinggi di dalam serum menunjukkan komplemen tersebut tidak dikonsumsi dalam proses imunologi dan proses sitolisis tidak berlangsung4. Teori limfatikTeori ini dapat menjelaskan mekanisme terjadinya endometriosis di daerah luar pelvis. Daerah retroperitoneal memiliki banyak sirkulasi limfatik. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pada 29 % wanita yang menderita endometriosis ditemukan nodul limfa pada pelvis. Hal ini dapat menjadi salah satu dasar teori akan endometriosis yang terjadi di luar pelvis, contohnya di paru10-12KLASIFIKASIPenentuan klasifikasi dan stadium endometriosis sangat penting dilakukan untuk menerapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi hasil pengobatan. Stadium endometriosis tidak memiliki korelasi dengan derajat nyeri keluhan pasien maupun prediksi respon terapi terhadap nyeri atau infertilitas . Hal ini dikarenakan endometriosis dapat dijumpai pada pasien yang asimptomatik. Klasifikasi Endometriosis yang digunakan saat ini adalah menurut American Society For Reproductive Medicine yang telah di revisi pada tahun 1996 yang berbasis pada tipe, lokasi, tampilan, kedalaman invasi lesi, penyebaran penyakit dan perlengketan. Berdasarkan visualisasi rongga pelvis pada endometriosis, dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, keterlibatan ovarium dan densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan nilai nilai dari skoring yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi endometriosis. Nilai 1-4 adalah minimal (stadium I), 5-15 adalah ringan (stadium II), 16-40 adalah sedang (stadium III) dan lebih dari 40 adalah berat (stadium IV).13 Endometriosis dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan lokasi dan tipe lesi, yaitu :1. Peritoneal endometrisisLesi di peritoneum memiliki banyak vaskularisasi, sehingga menimbulkan perdarahan saat menstruasi. Lesi yang aktif akan menyebabkan timbulnya perdarahan kronik rekuren dan reaksi inflamasi sehinggga tumbuh jaringan fibrosis dan sembuh. Lesi berwarna merah dapat berubah menjadi lesi berwarna hitam tipikal dan setelah itu lesi akan berubah menjadi lesi putih yang memiliki sedikit vaskularisasi dan akan ditemukan debris glandular

2. Ovarian endometrial cystPada endometriosis yang terjadi di ovarium, dapat timbul kista yang berwarna coklat dan sering terjadi perlengketan dengan organ organ lain, kemudian membentuk konglomerasi. Kista endometrium dapat berukuran>3cm dan multilokus, juga dapat tampak seperti kista coklat karena penimbunan darah dandebris ke dalam rongga kista.

3. Deep nodulan endometriosisPada endometriosis jenis ini, jaringan ektopik menginfiltrasi septum rektovaginal atau struktur fibromuskuler pelvis seperti uterosakral dan ligamentum utero-ovarium. Nodul-nodul dibentuk oleh hiperplasia otot polos dan jaringan fibrosis di sekitar jaringan yang menginfiltrasi. Jaringan endometriosis akan tertutup sebagai nodul, dan tidak ada perdarahan secara klinis yang berhubungan dengan endometriosis nodular dalam. Ada banyak klasifikasi stadium yang digunakan untuk mengelompokkan endometriosis dari ringan hingga berat, dan yang paling sering digunakan adalah sistem American Fertility Society (AFS) yang telah direvisi . Klasifikasi ini menjelaskan tentang lokasi dan kedalaman penyakit berikut jenis dan perluasan adhesi yang dibuat dalam sistem skor. Berikutadalah skor yang digunakan untuk mengklasifikasikan stadium: - Skor 1-5: Stadium I (penyakit minimal) - Skor 6-15: Stadium II (penyakit sedang) - Skor 16-40: Stadium III (penyakit berat) - Skor >40: Stadium IV (penyakit sangat berat)

Tabel American Society for Reproductive Medicine revised classification of endometriosis. (Property of the American Society for Reproductive Medicine, 1996.)

Gambar II.1 stadium endometriosis menurut American Society for Reproductive Medicine revised classification of endometriosis

Gambar II.2 stadium endometriosis menurut American Society for Reproductive Medicine revised classification of endometriosis

LOKASI ANATOMI TERJADINYA ENDOMETRIOSISEndometriosis dapat tumbuh dimana saja di dalam pelvis dan pada permukaan peritoneum ekstrapelvis lainnya. Ovarium, peritoneum pelvis, cul-de-sac anterior dan posterior, dan ligament uterosakral merupakan area yang paling sering terlibat pada kasus endometriosis (Gambar 2.6). Selain beberapa area tersebut, septum retktovaginal, ureter, kandung kemih, perikardium, bekas luka bedah, dan pleura juga dapat menjadi lokasi endometriosis. Sebuah studi mengungkapkan bahwa endometriosis telah ditemukan pada seluruh organ, kecuali pada limpa.14 Beberapa lokasi anatomis endometriosis adalah:1. Endometriosis uteri interna (Adenomiosis uteri)Adenomiosis dikarakteristik dengan ditemukannya jaringan endometriosis tumbuh ke lapisan otot yang lebih dalam di uterus (miometrium). Adenomiosis terdiri dari adeno (kelenjar), mio (otot) dan osis (suatu kondisi) yang secara jelas didefinisikan sebagai adanya atau tumbuhnya kelenjar (endometrium) di lapisan otot (miometrium). Pada keadaan normal, terdapat lapisan pembatas antara antara endometrium dan miometrium yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap invasi dari jaringan endometrium.Sekalipun belum ada patogenesis pasti dari adenomiosis, namun para peneliti berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh lemahnya lapisan otot pembatas pada wanita yang menderita adenomiosis dan juga dipicu oleh meningkatnya tekanan intra uterin antara kedua sisi. Ditemukannya konsentrasi estrogen yang cukup tinggi dan adanya sistem imun yang terganggu pada penderita adenomiosis juga dianggap menjadi mekanisme penting dalam terjadinya adenomiosis. Rahim yang membesar dan lunak merupakan gejala klasik dari adenomiosis.Tidak seperti endometriosis, beberapa peneliti percaya bahwa adenomiosis dapat terjadi setelah kehamilan dan melahirkan, wanita berusia empat puluhan dan lima puluhan yang telah melahirkan paling tidak satu anak lebih mungkin untuk mengembangkan adenomiosis. Faktor genetik dan hormon dipercaya menjadi beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya adenomiosis. Adenomiosis merupakan kelainan patologis yang sering ditemukan pada wanita multipara usia 40 50 tahun.

Gambar II.3 endometriosis uteri interna

2. Endometriosis ovarium Diduga terbentuk akibat invaginasi dari korteks ovarium setelah penimbunan debris menstruasi dari perdarahan jaringan endometriosis. Pada endometriosis yang terjadi di ovarium dapat terbentuk kista, namun kista yang terbentuk disini bukan merupakkan kista sesungguhnya. Kista yang normal berisi cairan dari lapisan sebuah struktur, sedangkan dinding dari kista endometriosis terdiri dari jaringan fibrosa, jaringan inflamasi, dan endometrium tidak menghasilkan cairan.

3. Endometriosis tubaSaluran yang paling banyak mengalami endometriosis adalah saluran tuba tertutup. Gejala yang paling sering didapatkan dari kasus ini adalah infertilitas. Pada wanita yang mengalami endometriosis di tuba akan lebih rentan mengalami kehamilan ektopik.

4. Endometriosis retroservikalisPada rechtal toucher sering ditemukan adanya benjolan yang nyeri pada cavum douglas, benjolan benjolan ini melekat dengan uterus dan rektum, akibatnya terjadi dismenore, dispareuni, nyeri saat defekasi, serta nyeri pelvis.

5. Endometriosis ekstragenitaliaSetiap anggota tubuh yang dikeluhkan mengalami nyeri setiap kali haid perlu dicurigai mengalami endometriosis.

Gambar II.4 endometriosis ektravaginal

FAKTOR RESIKOResiko tinggi terjadinya endometriosis ditemukan pada :1. Wanita yang ibu atau saudara perempuannya menderita endometriosis2. Wanita usia produktiv (15-44 th)3. Wanita dengan siklus menstruasi 27 hari atau kurang4. Usia menstruasi yang lebih awal dari normal5. Lama waktu menstruasi6. Adanya orgasme ketika menstruasi7. Terpapar toxin dari lingkunganFaktor risiko termasuk usia, peningkatan jumlah lemak tubuh perifer, dan gangguan haid , kebiasaan merokok, kebiasaan hidup, dan genetik. Faktor genetik berperan 6 9 kali lebih banyak dengan riwayat keluarga terdekat menderitaTabel II.1 resiko endometriosis

GEJALA KLINISGejala klinis pada endometriosis akan memuncak pada keadaan premenstruasi, dan mereda setelah menstruasi selesai. Nyeri panggul adalah gejala yang paling umum terjadi, gejala lain adalah dispareunia, dismenore, nyeri pada kandung kemih dan nyeri punggung bawah.Terdapat beberapa mekanisme biologis yang menyebabkan sensasi nyeri, yaitu nociceptif, inflamasi, neuropati, psikogenik ataupun campuran. Nyeri nociceptive dimulai adanya stimulus yang menginduksi jalur tersebut, dimana stimulus akan ditransduksi menjadi sinyal biokimiawi yang ditransmisikan ke susunan saraf pusat. Di SSP akan terjadi modulasi yang dapat meningkatkan atau menurunkan intensitas nyeri tersebut. Selanjutnya di korteks serebri akan dibentuk suatu persepsi nyeri. Nyeri nociceptif dapat bersifat nyeri somatic maupun nyeri visceral. Beberapa hal penting mengenai nyeri viseral adalah tidak semua organ visera dapat menjadi sumber nyeri, berbatas tidak tegas, tidak selalu berkaitan dengan gangguan fungsi, bisa terkait juga dengan nyeri somatik dan nyeri alih. Inflamasi merupakan salah satu mekanisme yang menyebabkan nyeri viseral. Endometriosis dianggap sebagai proses inflamasi pelvik yang menghasilkan respons inflamasi yang signifikan, sehingga banyak hipotesis nyeri endometriosis dikaitkan berasal dari proses inflamasi. Konsentrasi TNF- di cairan peritoneum wanita dengan endometriosis lebih tinggi dibandingkan wanita normal. TNF akan menstimulasi ekspresi prostaglandin synthase-2 yang akan meningkatkan produksiPGE2 dan PGF2. Interleukin 1, 6 dan 8 juga ditemukan menigkat di cairan peritoneal pasien endometriosis. Interleukin 1 menginduksi sintesis prostaglandin dan juga menstimulasi proliferasi fibroblast yang dapat berkontribusi terhadap perlektan dan fibrosis pada endometriosis. Interleukin 8 adalah sitokin yang bersifat angiogenik dan pro inflamasi. Ekspresi nerve growth factor (NGF) juga ditemukan meningkat pada lesi endometriosis. NGF akan meningkatkan kepadatan nosiseptor, peningkatan neuron sensorik dan juga meningkatkan ekspresi substans P yang merupakan neuropeptida yang terlibat dalam modulasi nyeri.11,12,13,14,151. Nyeri saat menstruasiGejala ini seringkali menjadi gejala awal dari timbulnya endometriosis. Pasien yang mengalami dymenorrhea dan tidak memiliki respon terhadap kontrasepsi oral ataupun dengan pemberian anti-infalamasi non-streroid diduga kuat menderita endometriosis. Gejala yang sering terjadi pada wanita yang menderita endometriosis adalah timbulnya nyeri yang luar biasa pada saat menstruasi sejak umur sangat muda, sejak dari usia menarche atau bahkan sebelumnya. Bagaimanapun, nyeri pada menstruasi tidak dapat selalu dihubungkan dengan endometriosis karena gejala ini merupakan gejala nonspesifik juga dapat terjadi pada keadaan fisiologis saat mentrasi. Bertambahnya derajat keparahan nyeri dan lama waktu dismenore sebanding dengan perjalanan stadium endometriosis.

2. Sakit saat berhubungan seksualLigamentum uterosakral, ligamentum broad, dan the poach of Douglas merupakan beberapa area tersering ditemukannya endometriosis. Timbulnya endometriosis pada beberapa area tersebut dapat menyebabkan gejala yang spesifik dan menetap. Beberapa area yang terlibat tersebut terletak berdekatan dengan kedua ujung vagina dan rektum, karena itu, setiap stimulasi fisik pada area tersebut akan dapat menimbukan nyeri.

3. Nyeri pelvisSering ditemukan pada pasien endometriosis pada beberapa kasus nyeri pada pasien tidak hanya dikaitkan dengan periode menstrusi atau aktifitas seksual, tetapi seringkali nyeri yang dirasakan merupakan nyeri yang kronik dan rasa tidak nyaman pada bagian bawah pelvis disertai nyeri yang terus-menerus. Nyeri pada pelvis dihubungkan dengan adanya adhesi dan ditemukannya jaringan parut pada pelvis. Penyebab yang pasti pada nyeri masih belum jelas, namun, adaanya substansi sitokin dan prostaglandin yang dihasilkan oleh implan endometriotik ke cairan peritoneal merupakan salah satu penyebab (Giudice, 2010).

4. Nyeri panggul bawahEndometriosis yang terjadi pada ligamen oterosakral dapat menghasilkan nyeri yang menjalar hingga ke punggung bagian belakang. Nyeri dari uterus juga dapat menjalar ke area tersebut.

5. InfertilitasTerdapat hubungan antara endometriosis dan infertilitas. Ditemukan fakta bahwa satu dari tiga wanita infertil didiagnosis menderita endometriosis. Data retrospektif menunjukkan bahwa 30 50 % wanita dengan endometriosis akan menjadi infertil (Alvero, 2007). Adanya adhesi, kerusakan ovarium dan tuba, juga distorsi yang ditimbulkan sebagai efek dari bertambah parahnya perjalanan endometriosis juga menjadi faktor lain yang menyebabkan infertilitas. Selain kerusakan yang terjadi pada organ terkait, dihasilkannnya beberapa substansi oleh endometrium yang tumbuh secara ektopik seperti prostaglandin dan sitokin juga dipercaya menjadi salah satu faktor infertilitas lainnya.

6. Nyeri pada kandung kemih dan dysuriaLesi superfisial pada kandung kemih biasanya asimtomatik. Lesi dapat menyerang otot dan menimbulkan nyeri saat berkemih, dan dysuria. Meskipun keluhan ini tidak selalu muncul pada penderita endometriosis, namun keluhan nyeri pada kandung kemih, dysuria, dan urgensi pada wanita tetap menjadi gejala pada wantia yang terkena endometriosis, terutama jika keluhan ini disertai hasil kultur urin yang negatif.

7. Nyeri saat defekasiNyeri defekasi merupakan gejala yang paling jarang muncul dibandingkan dengaan gejala lain pada endometriosis dan biasanya hal ini mencerminkan adanya keterlibatan rektosigmoid dengan implan endometriotik . Gejala ini dapat terjadi secara kronik, siklik, dan sering berhubungan dengan konstipasi, diare, atauapun hematokezia.

DIAGNOSISProsedur yang paling akurat untuk diagnosis endometriosis adalah laparoskopi, metode bedah invasif. Diagnosis definitif didasarkan pada visualisasi dari lesi karakteristik dan pada konfirmasi histologis. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa CA-125, glikoprotein asal epitel ditemukan pada sel normal, memiliki konsentrasi serum tinggi pada pasien dengan endometriosis, terutama ketika dievaluasi selama menstruasi flow1- 3. Biomarker lain yang menarik untuk penelitian ini adalah larut CD-23, sebuah protein yang diekspresikan pada permukaan membran sel, biasanya diidentifikasi sebagai reseptor IgE afinitas rendah pada sel B, eosinofil, monosit, sel dendritik, epitel sel Langerhans dan trombosit. Beberapa langkah dalam menegakkan diagnosis endometriosis antara lain :

A. AnamnesisKeluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvis kronis yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada endometriosis. Endometrium pada organ tertentu akan menimbulkan efek yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit dapat diduga. Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena penyakit ini bersifat diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh kali lebih besar untuk mengalami hal serupa. Endometriosis juga lebih mungkin berkembang pada saudara perempuan monozigot daripada dizigot.

B. Pemeriksaan fisikPemeriksaan fisik umum jarang dilakukan kecuali penderita menunjukkan adanya gejala fokal siklik pada daerah organ non ginekologi. Pemeriksaan dilakukan untuk mencari penyebab nyeri yang letaknya kurang tegas dan dalam. Endometrioma pada parut pembedahan dapat berupa pembengkakan yang nyeri dan lunak fokal dapat menyerupai lesi lain seperti granuloma, abses dan hematom.

C. Pemeriksaan GinekologiPada genitalia eksterna dan permukaan vagina biasanya tidak ada kelainan. Lesi endometriosis terlihat hanya 14,4% pada pemeriksaan inspekulo, sedangkan pada pemeriksaan manual lesi ini teraba pada 43,1% penderita. Ada keterkaitan antara stenosis pelvik dan endometriosis pada penderita nyeri pelvik.

D. Diagnosis laparoskopiPemeriksaan ini merupakan baku emas yag harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis endometriosis, dengan pemeriksaan visualisasi langsung ke rongga abdomen, yang mana pada banyak kasus sering dijumpai jaringan endometriosis tanpa adanya gejala klinis. Invasi jaringan endometrium paling sering dijumpai pada ligamentum sakrouterina, kavum douglas, kavum retzi, fossa ovarika, dan dinding samping pelvis yang berdekatan. Selain itu juga dapat ditemukan di daerah abdomen atas, permukaan kandung kemih dan usus. Penampakan klasik dapat berupa jelaga biru-hitam dengan keragaman derajat pigmentasi dan fibrosis di sekelilingnya. Warna hitam disebabkan timbunan hemosiderin dari serpih haid yang terperangkap, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa lesi-lesi atipikal tak berpigmen berwarna merah atau putih. Diagnosis endometriosis secara visual pada laparoskopi tidak selalu sesuai dengan pemastian histopatologi meski penderitanya mengalami nyeri pelvis kronik. Endometriosis yang didapat dari laparoskopi sebesar 36%, ternyata secara histopatologi hanya terbukti 18% dari pemeriksaan histopatologi ( Jacoeb TZ, 2009)

Gambar II.5 laparoskopi endometriosis

PENATALAKSANAAN ENDOMETRIOSISEndometriosis dianggap sebagai penyakit yang bergantung pada estrogen, sehingga salah satu pilihan pengobatan adalah dengan menekan hormon menggunakan obat-obatan untuk mengobatinya.Saat ini, pil kontrasepsi, progestin, GnRH agonis dan aromatase inhibitor adalah jenis obat-obatan yang sering dipakai dalam tatalaksana medikamentosa endometriosis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa masing-masing obat tersebut setara dalam pengobatan endometriosis, sehingga jenis obat yang digunakan harus mempertimbangkan preferensi pasien, efek samping ,biaya dan ketersediaan obat tersebut.18-27

1. Pil Kontrasepsi Kombinasi Cara Kerja Pil kontrasepsi kombinasi bekerja pada kelainan endometriosis dengan cara menekan LH dan FSH serta mencegah terjadinya ovulasi dengan cara menginduksi munculnya keadaan pseudo-pregnancy. Selain itu penggunaan pil kontrasepsi kombinasi juga akan mengurangi aliran menstruasi, desidualisasi implant endometriosis, dan meningkatkan apoptosis pada endometrium eutopik pada wanita dengan endometriosis.Pemilihan Jenis Pil Kontrasepsi Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi merupakan pilihan yang efektif untuk mengurangi gejala yang ditimbulkan oleh endometriosis. Terapi ini juga aman dan dapat digunakan jangka panjang pada wanita yang tidak ingin memiliki anak dan membutuhkan kontrasepsi.Efektifitas Cochrane review 2009 menilai pemberian pil kontrasepsi kombinasi dalam pengobatan nyeri terkait endometriosis. Didapatkan hasil dalam follow up 6 bulan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok PKK dengan kelompok GnRH analog mengenai efektifitas dalam mengobati dismenorea (OR 0.48; IK 0.08 2.90) . Hasil yang sama juga didapatkan untuk nyeri yang tidak terkait menstruasi (OR 0.93; IK 0.25-3.53) dan dyspareunia (OR 4.87; IK 0.96-24.65).Evidence Based Klinisi dapat memberikan kontrasepsi oral kombinasi karena mengurangi dyspareunia, dismenore dan nyeri tidak terkait menstruasi (Rekomendasi B)

2. Progestin Cara kerja Tidak seperti estrogen, progesteron memilik efek antimitotik terhadap sel endometrium, sehingga memiliki potensi dalam pengobatan endometriosis. Progestin turunan 19-nortestosteron seperti dienogest memiliki kemampuan utnuk menghambat enzim aromatase dan ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 pada kultur sel endometriosis. Biopsi percontoh jaringan endometrium dari wanita yang diobati dengan LNG IUS selama 6 bulan menunjukkan ekspresi reseptor estrogen yang berkurang, menurunnya indeks proliferasi sel dan peningkatan ekspresi Fas.

Pemilihan jenis progestin Preparat progestin terdapat dalam bentuk preparat oral, injeksi dan LNG-IUS. Selain bentuk, preparat progestin juga dapat dibagi menjadi turunan progesteron alami (didrogesteron, medroksiprogesteron asetat) dan turunan C-19-nortestosteron (noretisteron, linestrenol, desogestrel).Noretindron asetat, 5 sampai 20 mg per hari, efektif pada sebagian besar pasien dalam meredakan dismenorea dan nyeri panggul menahun. Efek samping yang ditimbulkan termasuk nyeri payudara dan perdarahan luruh.40 Progestin intramuskular dan subkutan yang diberikan setiap 3 bulan diketahui efektif dalam menekan gejala endometriosis.39 Levonorgestrel 20 mg per hari yang terkandung dalam LNG-IUS akan berefek pada atrofi endometrium dan amenorea pada 60% pasien tanpa menghambat ovulasi.40 Didrogesteron 5-10 mg per hari sampai dengan 4 bulan telah diteliti efektif untuk meredakan gejala endometriosis. Penelitian desogestrel 75 mg per hari diketahui efektif menurunkan skala nyeri panggul (VAS) dibandingkan dengan kontrasepsi oral.41 Dienogest merupakan progestin selektif yang mengkombinasikan 19-norprogestin dan turunan progesteron sehingga hanya memberikan efek lokal pada jaringan endometrium. Tidak seperti agen 19-norprogestin lainnya, dienogest memiliki efek androgenik yang rendah, bahkan memiliki efek antiandrogenik yang menguntungkan sehingga hanya memberikan efek yang minimal terhadap perubahan kadar lemak dan karbohidrat.

Tabel II.2 pemilihan jenis progestin

Pemilihan jenis progestin yang digunakan harus mempertimbangkan efek androgenik, efek antimineralokortikoid dan efek glukokortikoid.

Efektifitas Review sistematis Cochrane melakukan kajian mengenai efektifitas progestin atau anti progestin dalam pengobatan nyeri akibat endometriosis. Kajian ini meliputi 2 RCT yang membandingkan progestin dengan placebo dan 8 penelitian yang membandingkan dengan pengobatan lainnya. Dari penelitian yang membandingkan dengan placebo, satu penelitan memberikan hasil yang bermakna namun penelitian kedua tidak memberikan hasil yang bermakna.Dienogest dengan dosis harian 2mg telah dibuktikan bermakna dalam mengurangi nyeri pelvik dan nyeri haid yang terkait endometriosis. Dienogest juga setara dengan GnRH agonis dalam pengobatan nyeri endometriosis.Terdapat tiga penelitian yang menilai efek penggunaan LNG IUS terhadap gejala terkait endometriosis. Penelitian pertama oleh Petta dkk membandingkan LNG IUS dengan leuprolide asetat. Didapatkan penurunan bermakna skor VAS setelah 6 bulan pada kedua kelompok dan tidak ada perbedaan antar kelompok tersebut. Penelitian kedua oleh Gomes dkk menilai efek LNG IUS pada stadium ASRM yang menemukan penurunan yang bermakna skor nyeri pelvik setelah 6 bulan dan tidak ada perbedaan antara LNG IUS dengan leuprolide asetat. Fereira dkk pada 2010 juga mendapatkan penurunan skor nyeri dan tidak ada perbedaan antar LNG IUS dengan GnRH analog.

Evidence Based Klinisi direkomendasikan menggunakan progestin (DMPA, MPA, dienogest, cyproterone asetat) sebagai salah satu pilihan untuk mengurangi nyeri akibat endometriosis (Rekomendasi A).

LNG IUS juga dapat menjadi pilihan dalam mengurangi nyeri terkait endometriosis (Rekomendasi A)

Dalam pemilihan preparat progestin, klinisi harus mempertimbangkan profil efek samping masing-masing preparat tersebut

3. Agonis GnRH Cara kerja Pajanan GnRH yang terus menerus ke hipofisis akan mengakibatkan down-regulation reseptor GnRH yang akan mengakibatkan berkurangnya sensitifitas kelenjar hipofisis. Kondisi ini akan mengakibatkan keadaan hipogonadotropin hipogonadisme yang akan mempengaruhi lesi endometriosis yang sudah ada. Amenore yang timbul akibat kondisi tersebut akan mencegah pembentukan lesi baru. GnRH juga akan meningkatkan apoptosis susukan endometriosis. Selain itu GnRH bekerja langsung pada jaringan endometriosis. Hal ini dibuktikan dengan adanya reseptor GnRH pada endometrium ektopik. Kadar mRNA reseptor estrogen (ER) menurun pada endometriosis setelah terapi jangka panjang. GnRH juga menurunkan VEGF yang merupakan faktor angiogenik yang berperan untuk mempertahankan pertumbuhan endometriosis. Interleukin 1A (IL-1A) merupakan faktor imunologi yang berperan melindungi sel dari apoptosis.

Efektifitas Review Cochrane tahun 2010 membandingkan pemberian GnRH analog dalam mengobati nyeri yang terkait endometriosis. Hasil menunjukkan bahwa GnRH analog lebih efektif dibandingkan placebo, namun tidak lebih baik bila dibandingkan dengan LNG-IUS atau danazol oral. Tidak ada perbedaan efektifitas bila GnRH analog diberikan intramuskuler, sub kutan atau intranasal. Karena efek pemberian GnRH analog adalah efek hipoestrogenik, maka diperlukan pemberian estrogen sebagai terapi add back. Hal ini didasari bahwa kadar estrogen yang diperlukan untuk melindungi tulang, fungsi kognitif dan mengatasi gejala defisiensi estrogen lainnya lebih rendah dibandingkan kadar yang akan mengaktifasi jaringan endometriosis. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa terapi add back ini tidak mengurangi efektifitas GnRH analog.11 Pada pemberian GnRH analog dengan terapi add back estrogen dan progestogen selama 6 bulan, densitas mineral tulang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian GnRH saja.

Evidence Based Klinisi dapat menggunakan GnRH analog (nafarelin, leuprolid, buserelin, goserelin atau triptorelin) sebagai salah satu pilihan dalam mengurangi nyeri akibat endometriosis. (Rekomendasi A) Klinisi dapat memberikan terapi hormone add-back saat memulai terapi GnRH analog untuk mencegah hilangnya massa tulang dan timbulnya gejala hipoestrogenik. Pemberian terapi add back tidak mengurangi efek pengobatan nyeri. (Rekomendasi A)Tabel II.3 merk obat GnRH

4. Danazol Cara kerja Danazol adalah androgen sintetik dan merupakan derivate 17-ethynyl testosterone. Danazol mempunyai beberapa mekanisme kerja diantaranya menginduksi amenorea melalui supresi terhadap aksis Hipotalamus-Pituitari-Ovarium (HPO), inhibisi steroidogenesis ovarium dan mencegah proliferasi endometrium dengan mengikat reseptor androgen dan progesteron pada endometrium dan implan endometriosis. Cara kerja lainnya termasuk menurunkan produksi High Density Lipoprotein (HDL), penurunan produksi Steroid Hormone Binding Globulin (SHBG) di hati, dan menggeser posisi testosteron dari SHBG menyebabkan peningkatan konsentrasi testosteron bebas. Atrofi dari endometrium dan implan endometriosis terjadi sebagai konsekuensi dari kadar estrogen yang rendah dan androgen yang tinggi.Efektifitas Pemberian danazol mempunyai efek yang sebanding dengan GnRH analog dalam mengurangi nyeri setelah pembedahan endometriosis stadium III dan IV.38 Cochrane Review tahun 2009 melakukan kajian terhadap 5 penelitian yang membandingkan danazol 3x200 mg dengan MPA oral 100 mg/hari dan plasebo. Didapatkan perbaikan nyeri pasca pengobatan 6 bulan (weighted mean difference -5,7) dan efek tersebut menetap hingga 6 bulan pasca penghentian pengobatan (weighted mean difference -7,5).Peningkatan berat badan, jerawat, nyeri kepala, perubahan distribusi kolesterol, gangguan fungsi hati, atrofi vagina, perubahan endometrium dan siklus haid merupakan efek samping yang dapat timbul pada penggunaan oral.38 Bhattacharya melakukan penelitian prospektif yang menilai pemberian danazol vaginal untuk mengobati nyeri terkait endometriosis. Follow up 6 bulan pasca pengobatan didapatkan penurunan bermakna dismenorea, dyspareunia dan nyeri pelvik (p