SABTU, 20 FEBRUARI 1993 ~~las ~en~!1g(l}) Kita ~ ~g Majemuk · kan identifikasi pada dataran teori...
Transcript of SABTU, 20 FEBRUARI 1993 ~~las ~en~!1g(l}) Kita ~ ~g Majemuk · kan identifikasi pada dataran teori...
"1011 INIIIIIIIII SABTU, 20 FEBRUARI 1993
}.
4
~~las ~en~!1g(l}) Kita ~_~g Majemuk Petikan dari Dialog Bina Desa
D ALAM satu atau dua dekade ini "kelas menengah" menjadi kategOri analisis yang merepotkan banyak cendekiawan. Dibuang sayang dan sungkan. karena ia
masih berkerabat dengan analisa kelas yangberwibawa. Secara teoritis-empiris. ada tiga hal yang menonjol mengenai golongan ini.
Pertama, "kelas menengah" biasanya diperbincangkan sebagai sesuatu yang otonom. secara implisit ia dianggap berbed a dari kelas lain. Tapi hakekat kelas menengah itu tidak bergantung dalam kaitan dengan kelas-kelas lain. Seakanakan ia dianggap dapat didefinisikan berdasarkan ciri-ciri pada dirinya sendiri: profesinya, gajinya, selera hidupnya, atau tingkat pendidikannya.
Kedua, kelas menengah pada umumnya diidentikkan pertama -tama dan terutama sebagai kaum pengusaha (borjuasil. Sesekali ada golongan lain yangjuga dimasukkan dalan1 kelas ini. Yakni mereka yang selera hid up atau gajinya sebanding dengan pengusaha; kaum profesional swasta (pengacara, dosen, atau jurnalis), 'birokrat atau manajer perusah<1-an. Tapi kelompok pengusaha diperlakukan sebagai anggota utama kelas menengah.
Ketiga, perbincangan tentang kelas menengah hampir selalu bersikap moralis dan berisi keluhan, ratapan, kecaman atau kekecewaan. Dalam kadar berbeda~beda, para pembahasnya menilai kelas menengah Indonesia mutakhir (kaum pengusaha) berwatak oportunis, konformis, reaksioner, primordial, atau konservatif. Padahal, para pembahas mengharapkan mereka itu sebagai agen utama perubahan sejarah yang berwatakheroik. progresif. pejuangdemokrasi. atau bahkan revolusioner.
Apa implikasi ketiga pokok pandangan itu?
Bila kelas menengah dianggap otonom dan dibicarakan terpisah dari kelas-kelas lain. batas-batas antara kelas tak pernah jelas. Bukan saja secara empritik, tapi juga dalam abstraksi teoretik. Dimana batas kelas menengah dengan kelas atas atau bawah? Ada berapa kelas dalam masyarakat ini? Selain itu tidak pemah jelas bagaimana persisnya hubungan an tara satu kelas dengan kelas yang lain. Apakah hubungan itu sekedar bersifat "dominasf' (kesenjangan kekuasaan yang bisa diratakan) atau "eksplotasi" (pertentangan mendasar yang tak bisa didamaikan)? Makajuga tak pernah jelas apakah struktur-struktur ada (dan kalau ada, bagaimana) sangkut-pautnya dengan perubahan sejarah?
Implikasi dari reduksi identifikasi kelas menengah hanya pada satu pokok
sosial mem- duh demikibutakan kita ataskejamakan maupunkemajemukan kelas menengah. Sebagai suatu bentukan
Oleh Ariel Heryanto an? Kenapa bukan konsep analisa si pembahas yang diujikembali atau disalahkan?
Dosen UKSW Salatiga. Meraih MA bidang Asian Studies di University of Michigan, AS
kini mahasiswa program doktor (PhD) di Monash University. Australia.
konseptual kelas menengah membutuhkan identifikasi pada dataran teori yang abstrak dan umum. Mencampur-adukan konsep (kelas menengah) dengan pengamatan empirik (borjuasi) mengacaukan perbincangan.
Bila kelas menengah diperbicangkan sebagai suatu kelompok yang monolitik dan homogen, di kelas so sial mana kitakita yang lain berada? Apakah kita-kita ini yang doyan berdiskusi ten tang "kelas menengah" tapi bukan pengusaha, manajer atau golongan yang berpenghasiIan dan konsumsinya setingkat manajer punya kelas sosial? Atau berada di luar struktur kelas? Dimana posisi kelas para mahasiswa/santri/biarawan (wati), aktivis demonstrans dan LSM, kaum ularna, para narapidana, pekeIja sosial, penganggur, anak-anak, kaumjompo dan pensiunan? Patut diingat mahasiswa (sebagaimana ten tara) di Indonesia menempati status sosial-politik-ekonomi yang tak banyak bandingannya di luar Indonesia.
Kekecewaan umum terhadap watak kelas menengah Indonesia dapat dikaitkan dengan tradisi Romantik dan Idealisme yang subllr ditanah bekas jajahan ini. Dalam tradisi ini, perubahan sejarah dianggap sebagai hasil dari kemauan atau niat-niat subyektifmanllsia secara individu maupunkolektif, Kemauanatau niat baik itu dianggap bersumber dari hati-nllrani, moralitas atau rasionalitas manusia yang universal.
Implikasi dari pemikiran seperti itu: kecaman ditujukan kepada kelompok yang dianggap mengecewakan atau pada sejarah yang membentuk mereka. Sering dikatakan bahwa kelas menengah Indonesia bersifat semu atau tidak murni akibat sejarah kapitalisme Indonesia yang semu {(ersatz)] atau tidak wajar / normal. Terhadap pandangan seperti itu layak dipertimbangkan duagugatan. Pertama, gugatan metodologis. Apalagi realita kelas menengah Indonesia tidak cocok dengan konsep pembahasnya mengapa kenyataan historis itu yang dibilang "semu" atau "tidak murni"? Kenapa bukan keilmuan si pembahas yang ditu-
Kedua, gu-gatan historis.
Perubahan sejarah selama ini terjadi diluar rencana dan niat para pelaku sejarah itu sendiri. Walau "manusia membuat sejarah, tapi ia tak bisa membuat sejarah semua-maunya sendiri". Kaum pengusaha bisa-bisa saja berjasa dalam proses perubahan sejarah bukan walau pun tapi justru karena wataknya yang serakah, oportunis, atau konservatif. Ini juga berlaku pada sejarah burjuasi Eropa yang dalam dongeng-dongeng di Indonesia sering diromantisir sebagai pahlawan demokrasi.
Kekurangannya dan Agenda Kerja Kita
Model yang saya ajukan di atas itu sendiri masih jauh dari predikat memuaskan. Saya akan mencatat beberapa kekurangannya yang saya anggap paling penting. Saya juga akan nyatakan tanggapan semen tara saya terhadap kekurangan-kekurangan itu. Jelas saya membutuhkan bantuan kritik pihak lain untuk menambah daftar kekurangan/kelemahan model diatas mau pun menjawab berbagai kekurangan tersebut.
(I) Model teori di atas masih bersifat sangat makro, sehingga sulit untuk dipakai sebagai kerangka keIja penelitian empirik, mikro maupun program praktis. Berbagai kaitan antara sejumlah tataproduksi dalam suatu formasi sosial belum (dapat) dijelaskan atau dirinci. Ini merupakan konsekuensi logis yang harus dibayar ole keipginan merumuskan sebuah model strktur-kelas seumum dan abstrak mungkin, sambi! mengaitkannya dengan proposisi konflik sebagai basis reproduksi dan perubahan sosial.
(II) Model di atas masih terlalu berkiblat pada wawasan Marxian, dengan memilih kekuatan dan relasi produksi sebagai "pusat" struktur-kelas. Determinisme ekonomistik sulit dihindarkan dari gagasan tentang peralihan antara kapital simbolik/kultural dan kapital hartabenda. Aspek-aspek non-produktif dan non-ekonomis mengalami penjinakkan, reduksi dan subordinasi untuk "dicaplok" dalam kerangka besar Marxian itu. Model di atasjugamasih buta-gender.
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
Praktek seperti itu sulit dimanfaatkan baik oleh post-strukturalisme maupun feminisme.
(III) Pemusatan dan totalisasi strukturalisme dalam model di atas memang memungkinkan upaya menyambung diri dengan narasi Marxian tentang progresi sejarah. Tapi justru ambisi dari tradisi Hegelian ini menjadi sasaran utama kritik postmodemisme. Benarkah bisa ada sejarah umat manusia yang berprogresi, tunggal, universal dan total seperti itu? Bukankah narasi historis Marxian seperti halnya Hegelian itu Erosentrik?
Di titik ini kita munkgin baru mampu bersikap defensif. Kritik post -strukturalisme dan post-modernisme sangat menggigit. Celakanya, kedua tradisi kritik itu hanya menunjukkan apa yang salah, dan tidak membeberkan umpan bagi suatu jalan keluar yang praktis dan empowe· ring. Dengan segala cacatnya, model di atas masih akan kita simpan sementara kita tak punya model lain yang lebih baik, dan kita masih percaya pada signifikansi "kelas", "struktur", dan peran "agen/subyek" dalam perubahan sejarah.
(IV) Erosentrisme yang inheren dalam model diatas akan terlebih mengganggu bagi kita yang ber.operasi kerja intelektual mau pun praktis di lingkungan dunia ketiga. Formasi sosial dan struktur-kelas (jika benar keduanya masih merupakan alat -analisa yang bermanfaat) untuk reatitas masyarakat mutakhir kita perlu dikenali dan dirumuskan secara cermat dan tidak dibawah kunkungan tipologi teori yang Eronsentrik itu.
Akhirnya, perlu diingat kembali agenda kerja kita yang utama bukanlah mencetak gambar tipologi yang manis bagi "kelas menengah". Kita bertolak dari kerinduan dan komitmen pad a suatu "perubahan sosial" yang "struktural", di mana "kelas" dianggap sebagai agen/lokasi yang strategis. Kita mencari pemahaman akan peluang dan hambatan yang ada di sekitar kita.
Kita perlu terus-menerus mempertanyakan dan membenahi kerangka dasar teoretik dan bahasa kita untuk memahami apayang sedang dan ingin kita kerjakan dalam lingkup yang makro dan historis. Sejumlah asumsi dan metateori layak terus diawasi.Kita membutuhkan pemetaan struktur kelas empirik berlingkup bangsa-negara (dalam konteks global di latar-belakangJ maupun lingkup lokal (berkonteks nasional dan global).Kita butuhkan penelitian sosiologis dan etnografik kultural yang cermat untuk memahami pembentukan dan dinamika identitas, solidaritas, konflik serta kesadaran. Bukan saja di sektor kerja penghasil nafkah, tapijuga dalam bidang kebudayaan, hubungan keluarga dan sebagainya .•••
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>