S1-2013-284924-chapter1

24
 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau  Dengue Haemorrhagic  Fever  (DHF) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebaran DBD semakin  bertambah setiap tahun. Di Indonesia, penyakit ini pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, pada saat itu terjadi 58 kasus dengan 24 anak meninggal dan pada akhirnya menyebar keseluruh Indonesia (Anonim, 2010 a ). DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumla h penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Anonim, 2010 a ). Sekitar 2,5 milyar penduduk dunia mempunyai risiko untuk terkena infeksi virus dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami kejadian demam  berdarah dengue yang luar biasa, lebih kurang 500.000 kasus setiap tahun menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit dan ribuan orang diantaranya meninggal dunia (Dini, dkk, 2010). Sejak pertama kali ditemukan di Indonesia, jumlah kasus DBD menunjukkan angka kesakitan yang cenderung meningkat baik dalam jumlah

Transcript of S1-2013-284924-chapter1

Page 1: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 1/24

 

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau  Dengue Haemorrhagic

 Fever   (DHF) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang

utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebaran DBD semakin

 bertambah setiap tahun. Di Indonesia, penyakit ini pertama kali ditemukan di

Surabaya pada tahun 1968, pada saat itu terjadi 58 kasus dengan 24 anak

meninggal dan pada akhirnya menyebar keseluruh Indonesia (Anonim, 2010a).

DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh

dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD

setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009,

World Health Organization  (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara

dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Anonim, 2010 a). Sekitar 2,5

milyar penduduk dunia mempunyai risiko untuk terkena infeksi virus dengue.

Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami kejadian demam

 berdarah dengue yang luar biasa, lebih kurang 500.000 kasus setiap tahun

menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit dan ribuan orang diantaranya

meninggal dunia (Dini, dkk, 2010).

Sejak pertama kali ditemukan di Indonesia, jumlah kasus DBD

menunjukkan angka kesakitan yang cenderung meningkat baik dalam jumlah

Page 2: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 2/24

2

maupun luas wilayah yang terjangkit dan selalu terjadi KLB (Kejadian Luar

Biasa) setiap tahun (Lestari, 2007).

Angka morbiditas dan mortalitas DBD dari tahun ke tahun terus

menunjukkan peningkatan dan terjadi di semua provinsi di Indonesia

(Setiati, dkk, 2006). Di Indonesia, pada tahun 2004 terjadi kenaikan angka

kejadian DHF yang cukup signifikan dan terjadi pada 30 provinsi dari 32 provinsi

di Indonesia (Ahmad, 2004).

Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993  –  2009 terjadi pergesaran.

Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah

kelompok umur dibawah 15 tahun, tahun 1999  –  2009 kelompok umur terbesar

kasus DBD cenderung pada kelompok umur diatas 15 tahun. Namun saat ini

kasus DBD telah menyerang semua kelompok umur, bahkan lebih banyak pada

usia produktif (Anonim, 2010a).

Data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dalam Profil Kesehatan

Indonesia tahun 2010 menyebutkan bahwa penyakit demam berdarah dengue

termasuk kedalam sepuluh penyakit terbesar pada pasien rawat inap rumah sakit

di Indonesia dengan jumlah kasus pada laki-laki 30.232 kasus dan 28.883 kasus

 pada perempuan (Anonim, 2011).

Berdasarkan data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, hingga tahun

2011 terdapat 14 kabupaten/kota dari keseluruhan 15 kabupaten/kota yang

terdapat di Provinsi Lampung terjangkit demam berdarah dengue (Anonim, 2011).

Dari data tersebut diketahui bahwa angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh

virus dengue ini di Provinsi Lampung sangat tinggi.

Page 3: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 3/24

3

Rumah sakit umum daerah (RSUD) Dr. H. Abdul Moeloek merupakan satu-

satunya RSUD rujukan terbesar bagi seluruh rumah sakit yang terdapat di

kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Tingginya angka kejadian DBD yang

menyebar di Provinsi Lampung menyebabkan banyaknya pasien tidak dapat

ditangani di rumah sakit maupun klinik kesehatan yang terdapat di daerah

kabupaten/kota. Selain keterbatasan tenaga kesehatan dan alat kesehatan

 pendukung, kondisi geografis kabupaten/kota yang terletak jauh dari pusat kota

Provinsi Lampung juga menjadi penyebab belum maksimalnya penanganan

 pasien DBD di daerah, sehingga banyak pasien yang dirujuk ke RSUD Dr. H.

Abdul Moeloek. Banyaknya pasien rujukan di rumah sakit ini melatarbelakangi

 peneliti untuk melakukan evaluasi penggunaan obat di rumah sakit ini berupa pola

 penggunaan obat dan rasionalitas penggunaan obat pada pasien DBD.

Beberapa penelitian tentang demam berdarah dengue  telah dilakukan di

ruang lingkup Farmasi UGM yang kebanyakan mengambil lokasi di (Rumah Sakit

Umum Pusat) RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Gusmanto, 2005; Ihsan, 2006;

Prabowo, 2006), sehingga perlu dilakukan penelitian di daerah lain yang belum

 pernah dilakukan penelitian tentang DBD sebelumnya untuk mengetahui kondisi

 pasien, pola penggunaan obat, dan rasionalitas penggunaan obat pada pasien

DBD. Penilitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan

dalam peningkatan mutu pelayanan medik dalam pengobatan demam berdarah

dalam rangka perencanaan pelayanan kesehatan yang lebih efektif dan efisien

dimasa mendatang di Provinsi Lampung khususnya RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

sebagai rumah sakit rujukan tertinggi. 

Page 4: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 4/24

4

B.  Rumusan Masalah

1. 

Bagaimanakah pola penggunaan obat pada terapi demam berdarah dengue

di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Oktober 2012

hingga Februari 2013 ?

2.  Bagaimanakah rasionalitas penggunaan obat yang meliputi tepat indikasi,

tepat obat dan tepat pasien pada terapi demam berdarah dengue di RSUD

Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Oktober 2012 hingga

Februari 2013 ?

C.  Tujuan Penelitian

1. 

Untuk mengetahui pola penggunaan obat dalam terapi demam berdarah di

RSUD DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

2. 

Untuk memperoleh gambaran tentang rasionalitas penggunaan obat dalam

terapi demam berdarah di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Bandar

Lampung.

D.  Manfaat Penelitian

1.  Sebagai bahan masukan bagi RSUD DR. H. Abdul Moeloek Bandar

Lampung dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional bagi pasien

demam berdarah.

2.  Koreksi kesesuaian penatalaksanaan penyakit demam berdarah dengan

 pedoman dasar yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik

Indonesia tahun 2004.

Page 5: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 5/24

5

E.  Tinjauan Pustaka

1.  Demam Berdarah Dengue  (DBD)

a.  Definisi

Demam Berdarah  Dengue  adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit

akibat infeksi dengan virus dengue pada manusia sebagai manifestasi klinis dan

infeksi virus dengue  dapat berupa demam dengue dan demam berdarah dengue 

(Sylvana dkk., 2000).

Penyakit Demam Berdarah  Dengue  (DBD) merupakan salah satu penyakit

yang perjalanan penyakitnya cepat dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu

singkat. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sering menimbulkan

kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia (Anonim, 2011).

Demam Berdarah  Dengue adalah penyakit infeksi virus dengue yang berat,

ditandai gejala panas yang mendadak, perdarahan, dan kebocoran plasma.

Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan sering menimbulkan wabah serta

dapat menyebabkan kematian (Soegijanto, 2006a).

Demam Berdarah  Dengue  atau  Dengue Hemorrhagic Fever   (DHF) adalah

demam dengue  yang disertai dengan pembesaran hati dan adanya tanda-tanda

 perdarahan. Pada keadaan parah, DBD dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi

darah dan pasien dapat mengalami  syok  akibat kebocoran plasma, keadaan yang

disebut Dengue Syok Syndrome (DSS) (Anonim, 2004 b).

Infeksi dengue  adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue  yang

termasuk virus kelompok B  Arthropod Virus  ( Arbovirus) yang sekarang dikenal

sebagai  genus  Flavivirus,  family Flaviviride. Virus dengue  terdiri dari empat

Page 6: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 6/24

6

serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi salah satu serotipe

akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan

antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang sehingga tidak dapat

memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Keempat

serotipe dapat ditemukan di Indonesia dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe

DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang

menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Anonim, 2004 b).

Hasil penelitian Hariadhi dan Soegijanto (2006) di Provinsi Jawa Timur,

menyebutkan bahwa pada masyarakat di daerah Jawa Timur ditemukan serotipe

DEN-2 yang dominan yaitu sebesar 95,8 % dan serotipe DEN-3 sebesar 4,2 %

yang secara bersamaan ditemukan pada satu penderita dengan diagnosis DBD.

Infeksi ganda DEN-2 dan DEN-3 ini ternyata dapat memperparah perjalanan

 penyakit (Hariadhi dan Soegijanto, 2006).

Virus dengue  ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk  Aedes

aegypti. Nyamuk  Aedes albopictus,  Aedes polynesiensis  dan beberapa spesies

yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang

 berperan (Anonim, 2004 b). Nyamuk  Aedes aegypti  ini merupakan vektor utama

 penyakit demam berdarah dengue. Aedes aegypti berkembang biak ditempat yang

 berwarna gelap, terlindung sinar matahari, permukaan terbuka lebar, berisi air

tawar jernih dan tenang. Banyak peneliti telah melaporkan adanya transimisi virus

dengue  yang ada dalam tubuh nyamuk betina  Aedes aegypti kedalam telur-

telurnya (Soegijanto dkk, 2006). Virus yang masuk dan berkembang biak didalam

tubuh nyamuk dapat ditularkan selama hidupnya. Di tubuh manusia, virus

Page 7: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 7/24

7

memerlukan waktu masa empat sampai tujuh hari sebelum menimbulkan penyakit

(Anonim, 2004).

Virus dengue merupakan RNA virus yang terdiri atas protein struktural dan

 protein non-struktural (Bumi dkk, 2006). Virus dikelilingi oleh nukleokapsid

icosahedral   dengan diameter 30 nm. Nukleokapsid ditutupi oleh lemak dengan

tebal 10 nm sebagai tanda batas virus dengan sel inang (Anonim, 2004 b).

b. 

PatogenesisVirus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup didalam sel

hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel

manusia sebagai pejamu (host ) dalam mencukupi kebutuhan akan protein.

Persaingan tersebut tergantung daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka

akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah

maka akan perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan menimbulkan

kematian (Anonim, 2004 b).

Patogenesis DBD dan Sindrom Syok Dengue  (SSD) masih merupakan

masalah yang kontroversial. Terdapat dua teori yang sering digunakan untuk

menjelaskan perubahan patogenetik yang terjadi pada DBD dan SSD. Teori yang

 paling banyak digunakan adalah hipotesis infeksi sekunder (teori  secondary

heterologus infection) atau hipotesis antybody dependent enhancement   (ADE)

(Anonim, 2004 b). Teori ini menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila

seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe

virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan

antara 6 bulan sampai 5 tahun. Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang

Page 8: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 8/24

8

 berlainan pada seorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah,

respons antibodi anamnestik yang akan terjardi dalam beberapa hari

mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan

antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Disamping itu replikasi virus dengue terjadi

dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya

akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang selanjutnya

akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3

dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan

merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah (Rena, dkk., 2009).

Gambar 1. Patogenesis DBD (Anonim, 2004b)

Page 9: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 9/24

9

Infeksi virus dengue  pada makrofag dan monosit selanjutnya akan

mengaktivasi limfosit T, baik T helper   (CD4) maupun T sitotoksik (CD8).

Aktivasi makrofag dan monosit akan merangsang infeksi virus dengue  untuk

mengaktivasi makrofag dan monosit yang lainnya, yang selanjutnya akan

memproduksi mediator inflamasi seperti TNF, IL-1, PAF ( platelet activating

 factor ), IL-6, histamin sedangkan limfosit T menghasilkan mediator inflamasi

 berupa IL-2, TNF , IL-1, IL-6 dan IFN. Peningkatan C3a dan C5a juga

mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma melalui anafilaktoksin yang

dihasilkan (Rena, dkk., 2009).

Gambar 2. Mekanisme Patologi Kebocoran Plasma Pada DBD (Rena, dkk., 2009)

Teori antibody dependent enhancement (ADE) menyatakan bahwa adanya

antibodi menyebabkan proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus

dengue di dalam sel mononuclear . Sehingga terjadi sekresi mediator vasoaktif

Page 10: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 10/24

10

yang dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga

mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok  (Anonim, 2004 b

).

c.  Epidemiologi

Hingga saat ini, surveilans epidemiologi DBD masih dihadapkan pada

 beberapa permasalahan, antara lain kasus-kasus yang dilaporkan dengan diagnosa

DBD, tidak semuanya didukung dengan pemeriksaan laboratorium klinik,

terutama adanya peningkatan hematokrit dan penurunan trombosit sebagaimana

kriteria yang ditetapkan oleh WHO. Hal ini menyebabkan pengelompokan

 penderita dan pelaporan Demam Dengue (DD), DBD atau Dengue Syok Syndrom 

(DSS) belum terlaksana seperti yang diharapkan. Selain itu kasus-kasus yang

dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologis jumlahnya masih sangat sedikit

(Anonim, 2007).

Sejak ditemukan virus dengue  di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 angka

kejadian sakit infeksi virus dengue  meningkat dari 0,05 per 100.000 penduduk

menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998.

Pada tahun 2004, terdapat sebanyak 334 kabupaten/kota di Indonesia yang

terjangkit DBD, tahun 2006 meningkat menjadi 330, tahun 2007 meningkat lagi

menjadi 357 kabupaten/kota menyebar di seluruh Indonesia sedangkan pada tahun

2008 terjadi penurunan jumlah kabupaten/kota di Indonesia yang terjangkit

menjadi 346 Kabupaten/Kota (Sukowati, 2010).

Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang pernah mengalami

kejadian luar biasa (KLB) DBD, sampai sekarang kejadian penyakit DBD di

seluruh daerah di Provinsi Lampung tetap muncul setiap tahun dengan angka

Page 11: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 11/24

11

kejadian yang bervariasi. Penderita DBD di Provinsi Lampung yang tercatat

hingga November 2012 mengalami peningkatan tajam, yaitu mencapai 4.215

kasus (Anonim, 2012a). Sedangkan pada tahun 2011 terdapat 1.494 kasus dan

1.714 kasus pada tahun 2010 (Anonim, 2011 ; Anonim 2012 b).

Awal KLB penyakit virus dengue setiap lima tahun selanjutnya mengalami

 perubahan menjadi tiga tahun, dua tahun, dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan

adanya kecenderungan peningkatan infeksi virus dengue  pada bulan-bulan

tertentu. Hal ini terjadi, kemungkinan berhubungan erat dengan :

a) 

 perubahan iklim dan kelembapan

 b) 

terjadinya migrasi penduduk dari daerah yang belum ditemukan atau

 jarang ditemukan infeksi virus dengue  ke daerah endemis penyakit

infeksi virus dengue atau dari pedesan ke perkotaan.

c) 

Meningkatknya kantong-kantong jentik nyamuk  Aedes aegypti  di

 perkotaan terutama daerah yang kumuh pada bulan-bulan tertentu

(Soegijanto, 2006a).

Dijelaskan juga oleh Soegijanto (2006a) bahwa dari data Kasus DBD tahun

1996 sampai dengan 2000 peningkatan kasus dari tahun ketahun bervariasi

 bulanannya. Keadaan tersebut dimungkinkan karena adanya perubahan musim

 penghujan.

d.  Diagnosis

Diagnosis demam berdarah ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis

menurut WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan dan laboratoris.

Page 12: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 12/24

12

1) 

Kriteria klinis

a) 

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus

menerus selama 2-7 hari.

 b)  Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan :

(1)  Uji tourniquet positif

(2)   Retekia, ekomosis, epitaksis, perdarahan gusi.

(3)   Hemetamesis dan atau melena.

c) 

Pembesaran hati

d) 

Syok   ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan

nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan

 pasien tampak gelisah.

2)  Kriteria Laboratoris

a) 

Trombositopenia (100.000 sel/mm3 atau kurang)

 b)  Hemokonsentrasi peningkatan hematokrit 20% atau lebih.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia mengklasifikasikan penyakit

DBD menjadi derajat I, II, III, dan IV berdasarkan derajat penyakit yang

diklasifikasikan oleh WHO tahun 1997.

Tabel I. Derajat Penyakit Demam Berdarah Dengue  (Anonim, 2004 b).

Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan

adalah uji tourniquet

Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan dikulit dan atau perdarahan

lain.

Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi

menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit

dingin dan lembab, dan tampak gelisah.

Derajat IV Syok berat, nadi tidak dapat diraba an tekanan darah tidak teratur

Page 13: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 13/24

13

Pada Demam Berdarah Dengue (DBD) umumnya dijumpai trombositopenia

dan hemokonsentrasi. Penurunan jumlah trombosit kurang dari 100.000/µl biasa

ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-7, sering terjadi sebelum atau bersamaan

dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh

kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Pada pasien DBD,

saat sebelum syok terjadi atau sebelum suhu turun biasanya terjadi penurunan

nilai trombosit yang disertai dengan peningkatan nilai hematokrit. Nilai

hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau karena perdarahan.

Jumlah leukosit dapat menurun (leucopenia), limfositosis  relatif dengan limfosit

atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau  syok . Asidosis

metabolik   dan peningkatan  Blood Urea Nitrogen  (BUN) ditemukan pada  syok  

 berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah

kanan. Berat-ringannya efusi pleura  berhubungan dengan berat-ringannya

 penyakit. Pada pasien yang mengalami  syok , efusi pleura  dapat ditemukan

 bilateral (Anonim, 2004 b).

e.  Penatalaksanaan DBD

1) 

Terapi non obat

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simptomatis dan suportif, yaitu

mengatasai kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas

kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Keberhasilan tatalaksana DBD terletak

 pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun yang

merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi. Pada pasien DBD dapat

Page 14: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 14/24

14

terjadi peningkatan nilai hematokrit, jika nilai hematokrit meningkat lebih dari

20% mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian

cairan. Tujuan pemberian cairan oral adalah untuk mencegah dehidrasi. Apabila

cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah, atau

nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.

Cairan diberikan untuk mengurangi rasa haus dan dehidrasi karena demam

tinggi, anoreksia, dan muntah. Penderita DBD perlu diberi minum sebanyak

mungkin, dapat diberikan berupa air teh manis, sirup atau susu, dan dapat

diberikan juga oralit (Anonim, 2004 b).

a) 

Penggantian Volume Plasma

Patogenesis dasar DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase

 penurunan suhu maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma

yang hilang. Penggantian volume cairan harus adekuat (Anonim, 2004 b).

Dalam kasus dehidrasi isotonik, diberikan glukosa 5% (50 g/l) dilarutkan

dalam 1:2 atau 1:1 dalam salin fisiologis normal. Terapi intravena tanpa renjatan

dilakukan bila pasien terus menerus muntah atau terjadi peningkatan nilai

hematokrit lebih dari 40%. Penurunan nilai hematokrit sekitar 40%, jumlah urin

12 ml/kg BB/jam maka menandakan keadaan sirkulasi pasien membaik. Bila

terdapat asidosis dapat diberikan larutan yang mengandung natrium bikarbonat.

 Namun larutan natrium bikarbonat tidak boleh diberikan untuk penatalaksanaan

awal dehidrasi intravena dalam DBD karena belum ditemukan kegagalan sirkulasi

dan belum terdapat asidosis sehingga jika diberikan larutan tersebut akan

menyebabkan hipervolemia, dengan akibat terjadi edema paru dan gagal jantung.

Page 15: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 15/24

15

Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan

elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% didalam larutan NaCl 0.45%. Bila

terdapat asidosis dapat diberikan larutan natrium bikarbonat 7,46%,1-2 ml/kgBB

intravena bolus perlahan-lahan (Anonim,1999).

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur

dan berat badan serta derajat kehilangan plasma. Jumlah cairan rumatan

diperhitungkan 24 jam (Anonim,2004 b).

Tabel II.Kebutuhan Cairan Rumatan (Anonim, 2004 b)

 

Berat Badan (kg) Jumlah Cairan (ml)

10 100 per kg BB

10-20 1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)

>20 1500 + 20 x kg (diatas 20 kg)

Jenis cairan yang direkomendasikan pada pasien DBD sebagai cairan

rumatan adalah :

(1) 

Kristaloid

(a)  Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam

larutan ringer laktat (D5/RL).

(b)  Larutan asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan

ringer laktat (D5/RA).

(c) 

Larutan NaCl 0,9% (faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam

larutan garam faali (D5/GF)

(Anonim, 2004 ; Soegijanto, 2006 b).

(2) 

Koloid

(a) 

Dekstran 40

(b) 

Plasma

Page 16: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 16/24

16

(c) 

Albumin (Anonim, 2004 ; Soegijanto, 2006 b).

 b)  Pemberian Oksigen

Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua

 pasien  syok . Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan

masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah

apabila dipasang masker oksigen (Anonim, 2004 b).

c) 

Transfusi Darah

Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis 

dan melena  diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar

sangat berguna untuk mengganti volume massa sel darah merah agar

menjadi normal (Soegijanto, 2006 b).

Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal

haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit

(misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah

diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan

(Anonim, 2004 b).

2) 

Terapi Obat-obatan

a)  Antipiretik

Obat antipiretik diberikan bila suhu tubuh lebih dari 38.5°C. Obat

antipiretik diberikan apabila diperlukan. Obat antipiretik digunakan

 bertujuan untuk menurunkan suhu tubuh menjadi dibawah 39o C. Antipiretik

yang dianjurkan adalah parasetamol, sedangkan asetosal tidak dianjurkan

Page 17: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 17/24

17

karena dapat menyebabkan  gastritis, perdarahan, atau asidosis

(Anonim, 2004 b

).

Tabel III. Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur (Anonim, 2004 b)

Umur (tahun) Parasetamol (tiap kali pemberian)

Dosis (mg) Tablet(1 tab=500mg)

< 1 60 1/8

1 - 3 60 - 125 1/8 - 1/4

4 - 6 125 - 250 1/4 - 1/2

7 - 12 250 - 500 1/2 - 1

 b) 

Antibiotik

Belum ada bukti yang mendukung penggunaan antibiotik pada pasien

DBD (Anonim, 2010a). Pertimbangan pemberian antibiotik pada keadaan

syok mengingat kemungkinan adanya kejadian infeksi sekunder dengan

translokasi dari saluran cerna. Antibiotik yang digunakan hendaknya yang

tidak berefek terhadap sistem pembekuan (Anonim, 2004 b).

c)  Antisedatif

Antisedatif dibutuhkan terutama pada pasien yang sangat gelisah. Obat

hepatotoksik sebaiknya dihindarkan, kloralhidrat oral atau rektal dianjurkan

dengan dosis 12,5  –  50 mg/kg tidak lebih dari 1 jam digunakan sebagai satu

macam obat hipnotik (Soegijanto, 2006 b).

d) 

Antikonvulsan

Anti konvulsan seperti diazepam, fenobarbital atau largaktil diberikan

apabila terdapat indikasi kejang (Anonim, 2004 b).

e)  Kortikosteroid

Pemakain kortikosteroid pada penderita DBD masih kontroversial.

Pemberian steroid tidak direkomendasikan pada pasien DBD (Anonim,

Page 18: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 18/24

18

2010 b). Sedangkan menurut Dep.Kes. RI. Menyebutkan bahwa pemberian

deksametason 0,5 mg/KgBB/kali tiap 8 jam berguna untuk mengurangi

udem otak karena syok yang berlangsung lama, tetapi apabila terdapat

 perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan (Anonim,

2004 b).

f)  Antidiuretik

Furosemid 1 mg/KgBB dapat diberikan pada pengobatan  syok  apabila

diuresis 1 ml/KgBB belum cukup untuk memperbaiki keadaan penderita.

Furosemid diberikan terutama jika pada psien syok terdapat overload  antara

lain edema atau pernafasan meningkat (Anonim, 2004 b).

g)   Neomisin dan laktulosa

 Neomisin dan laktulosa dapat diberikan pada pasien yang mengalami

ensefalopati karena berguna untuk mengurangi produksi amoniak (Anonim,

2004 b).

h)  Vitamin K

Pemberian vitamin K secara intravena 3-10 mg selama 3 hari dapat

diberikan apabila terdapat disfungsi hati (Anonim, 2004 b).

i) 

Vasopresor

Obat-obatan vasopresor seperti dopamin, dobutamin, atau epinephrin

dapat diberikan jika pasien mengalami syok yang belum teratasi dengan

 pemberian ringer laktat (Anonim, 2004 b).

Page 19: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 19/24

19

 j) 

Heparin

Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratories didapatkan

tanda-tanda Koagulasi Intravaskuler Disseminata (KID) (Anonim, 2004 b).

k)   Natrium bikarbonat

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien

DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu

diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu

terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada

umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan

dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan

sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan

(Anonim, 2004 b).

Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk

 penyakit DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian, sehingga

 pengendaliannya terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan, yaitu

dengan pengendalian vektornya (Sukowati, 2010). 

Di Thailand telah ditemukan keseluruhan tipe vaksin dengue dan telah

dicoba yang monovalen maupun tetravalen vaksin. Namun hasilnya kurang

memuaskan. Hal ini terjadi karena reaksi antibody dependent enhancement  

(ADE) pasca imunisasi (Soegijanto, 2006c).

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia pasien dapat

dipulangkan apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini :

(1)  Tampak perbaikan secara klinis

Page 20: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 20/24

20

(2) 

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

(3) 

Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura

atau asidosis)

(4)  Hematokrit stabil

(5)  Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl

(6)  Tiga hari setelah syok teratasi

(7)   Nafsu makan membaik (Anonim, 2004 b).

2.  RSUD DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.H.Abdul Moeloek Provinsi

Lampung didirikan sejak tahun 1914 oleh Perkebunan (Onderneming ) Pemerintah

Hindia Belanda untuk merawat buruh perkebunan, bangunan Rumah Sakit semi

 permanen dengan kapasitas 100 tempat tidur. Rumah sakit ini sempat berganti-

ganti pengelola, namun sejak tahun 1965 sampai sekarang dikelola oleh

Pemerintah Provinsi Lampung.

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek semula bernama Rumah Sakit Umum

Provinsi Lampung, namun tahun 1984 berganti nama menjadi Rumah Sakit

Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek.

Sejak berdiri hingga saat ini RSUD Dr.H.Abdul Moeloek tercatat telah

mengalami 22 kali pergantian Direktur. Selama 22 kali pergantian Direktur

RSUDAM, yang paling lama menjabat sebagai Direktur adalah Dr.H.Abdul

Moeloek yaitu selama 17 tahun,dan saat ini nama beliau diabadikan menjadi nama

rumah sakit (RSUD Dr.H.Abdul Moeloek).

Page 21: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 21/24

21

Pada tahun 2008 Rumah Sakit Umum Dr.H.Abdul Moeloek telah ditetapkan

sebagai Rumah Sakit Tipe B Pendidikan dengan Surat Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No.HK/03.05/I/2603/2008 Tentang Penetapan

Rumah Sakit Umum Dr.H.Abdul Moeloek Provinsi Lampung sebagai Rumah

Sakit Pendidikan.

Visi dan misi RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Berdasarkan Surat Keputusan

Gubernur Lampung Nomor 44 tahun 2009,Visi dan Misi RSUD Dr.H.Abdul

Moeloek Provinsi Lampung adalah sebagai berikut:

a. Visi : Rumah Sakit Profesional kebanggaan Masyarakat Lampung

 b. Misi :

1)  Memberikan pelayanan prima di segala bidang

2)  Menyelenggarakan dan kembangkan pusat-pusat pelayanan

unggulan

3)  Membentuk sumber daya manusia profesional bidang kesehatan

4)  Menjadikan Pusat Penelitian bidang kesehatan

Saat ini Rumah Sakit Umum Daerah Dr.H.Abdul Moeloek adalah Rumah

Sakit milik Pemerintah Provinsi Lampung sebagai Lembaga Teknis Daerah

Provinsi Lampung dan merupakan Rumah Sakit Rujukan tertinggi di Provinsi

Lampung. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI

 No.1163/MenKes/SK/XII/1993 ditetapkan dengan kapasitas 555 tempat tidur.

Kemudian dalam rangka upaya meningkatkan pelayanan kesehatan yang

 berumutu, efektif, efisien dan optimal, pada tahun 2000 dilakukan relokasi kelas

 perawatan dan tempat tidur dari 555 tempat tidur menjadi 400 tempat tidur,

Page 22: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 22/24

22

 Namun sejak tahun 2008 kapasitas tempat tidur RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

menjadi 600 tempat tidur.

3.  Pengobatan Yang Rasional

Pengobatan yang rasional adalah pemilihan dan penggunaan obat yang

efektifitasnya terjamin serta aman, dengan mempertimbangkan masalah harga,

yaitu dengan harga yang paling menguntungkan dan sedapat mungkin terjangkau.

Untuk menjamin efektifitas dan keamanan, pemberian obat harus dilakukan secara

rasional, berarti perlu dilakukan diagnosis yang akurat, pemilihan obat yang tepat,

serta obat dengan dosis, cara, interval serta lama pemberian yang tepat

(Anonim, 2002).

WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila

 pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis

yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan

 biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat

kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan biaya yang sesuai,

 penggunaan obat rasional merupakan upaya intervensi untuk mencapai

 pengobatan yang efektif.

Penggunaan obat dapat diidentifikasi rasionalitasnya dengan menggunakan

Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada. Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada tersebut

adalah Tepat diagnosis, Tepat Pemilihan Obat, Tepat Indikasi, Tepat Pasien,

Tepat Dosis, Tepat cara dan lama pemberian, Tepat harga, Tepat Informasi dan

Waspada terhadap Efek Samping Obat, dengan penjabaran sebagai berikut

menurut WHO :

Page 23: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 23/24

23

a. 

Tepat Diagnosis

Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat.

Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan

karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada

diagnosis penyakit pasien.

 b.  Tepat obat

Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan

obat yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan

kelas terapi dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis dan kondisi pasien

serta mempertimbngkan keefektifan dan keamanan obat.

c.  Tepat indikasi

Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai dengan

 penyakitnya.

d.  Tepat Pasien

Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi

individu yang bersangkutan.

e.  Tepat dosis

Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut dan

sesuai dengan dosis yang dibutuhkan pasien sesuai dengan kondisi pasien.

f.  Tepat cara dan lama pemberian

Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan keamanan dan

kondisi pasien (Swandari, 2012).

Page 24: S1-2013-284924-chapter1

7/23/2019 S1-2013-284924-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s1-2013-284924-chapter1 24/24

24

g. 

Tepat harga

Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang

sama sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan

sangat membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal.

h.  Tepat Informasi

Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan

 pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan

 pengobatan.

i. 

Waspada Efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak

diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi

(Swandari, 2012).

Penerapan penggunaan obat yang rasional akan memberi manfaat yaitu

optimalisasi tujuan pengobatan yang ingin dicapai dengan meminimalkan efek

samping obat dengan rasio antara manfaat dan resiko yang optimal serta

 berkurangnya beban biaya pengobatan (Aslam dkk, 2003).

Informasi obat pada dasarnya merupakan awal dari implementasi preskripsi

yang rasional maupun penggunaan obat yang rasional melalui formularium

maupun standar pengobatan, tanpa informasi obat yang memadai maka

 penggunaan obat yang rasional tidak akan tercapai. Pemberian informasi obat

harus dilakukan secara profesional oleh mereka yang yang memiliki kualifikasi,

keahlian, dan terikat kode etik profesi (Sampurno, 2001).