PENDAHULUAN A. -...

15
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan bagian dari pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diarahkan pada peningkatan harkat, martabat, kemampuan manusia, serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, baik material maupun spriritual. 1 Tidak mengherankan, jika hubungan industrial di Indonesia ini menganut pula hubungan industrial yang berlandaskan pengamalan nilai-nilai Pancasila, atau disebut dengan hubungan industrial Pancasila. Pendekatan Pancasila menjadi tolak ukur utama dalam hubungan industrial karena adanya proses musyawarah mufakat baik formal maupun informal yang bersandar pada peraturan positif dan kenyataan berdasarkan kepentingan nasional. 2 Hubungan industrial Pancasila ini menghendaki adanya situasi yang kondusif serta harmonis antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Terbentuknya komunikasi yang baik antara pekerja dan pengusaha, serta adanya persamaan derajat antara semua elemen yang ada di perusahaan dalam hubungan kerja menjadi konsep dasar hubungan industrial Pancasila. Arahnya, adalah untuk menciptakan sistem dan kelembagaan yang ideal, 1 Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 14. 2 Craig Johnson, 2013, Pembangunan Tanpa Teori: Kuasa Pengetahuan dan Perubahan Sosial, Resist Book, Yogyakarta, hlm. 116. Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang Bekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang Jenis Kegiatannya Membahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta) NINDRY SULISTYA W Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Transcript of PENDAHULUAN A. -...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional merupakan bagian dari pengamalan Pancasila dan

pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

diarahkan pada peningkatan harkat, martabat, kemampuan manusia, serta

kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan

makmur, baik material maupun spriritual.1 Tidak mengherankan, jika hubungan

industrial di Indonesia ini menganut pula hubungan industrial yang berlandaskan

pengamalan nilai-nilai Pancasila, atau disebut dengan hubungan industrial Pancasila.

Pendekatan Pancasila menjadi tolak ukur utama dalam hubungan industrial karena

adanya proses musyawarah mufakat baik formal maupun informal yang bersandar

pada peraturan positif dan kenyataan berdasarkan kepentingan nasional.2 Hubungan

industrial Pancasila ini menghendaki adanya situasi yang kondusif serta harmonis

antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Terbentuknya komunikasi yang baik antara

pekerja dan pengusaha, serta adanya persamaan derajat antara semua elemen yang

ada di perusahaan dalam hubungan kerja menjadi konsep dasar hubungan industrial

Pancasila. Arahnya, adalah untuk menciptakan sistem dan kelembagaan yang ideal,

1 Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 14.

2 Craig Johnson, 2013, Pembangunan Tanpa Teori: Kuasa Pengetahuan dan Perubahan Sosial, Resist

Book, Yogyakarta, hlm. 116.

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2

sehingga, tercipta kondisi yang produktif, harmonis, dinamis dan berkeadilan.3

Dengan kata lain, hubungan industrial yang ideal menurut konsep hubungan

industrial Pancasila merupakan hubungan industrial yang damai dan kondusif, atau

singkatnya diterjemahkan sebagai hubungan industrial yang tanpa konflik.

Kenyataannya, mewujudkan hubungan industrial sesuai dengan konsep

hubungan industrial Pancasila tidak semudah yang dibayangkan. Seperti yang kita

ketahui, dunia ketenagakerjaan di Indonesia merupakan dunia yang sarat akan

konflik kepentingan. Perbedaan tujuan yang mendasar antara pekerja/buruh dengan

pengusaha merupakan sumber konflik kepentingan tersebut. Di satu sisi pengusaha

mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya yang dikeluarkan untuk faktor

produksi, termasuk upah pekerja/buruh serendah-rendahnya dengan menuntut

produktivitas mereka setinggi-tingginya, sementara di sisi lain pekerja/buruh

tujuannya untuk mendapatkan penghasilan sebesar-besarnya, dengan harapan tenaga

atau produktivitas yang dikeluarkan serendah-rendahnya. Kondisi hubungan

industrial juga semakin parah dengan adanya ketidaksetaraan hubungan antara

pekerja/buruh dengan pengusaha. Ketidaksetaraan hubungan antara pekerja dan

pengusaha menjadikan hubungan tersebut sebagai sebuah hubungan yang cenderung

eksploitatif dan bersifat sepihak.4 Posisi pekerja/buruh yang lebih subordinat

dibanding dengan pengusaha terutama disebabkan adanya ketimpangan ekonomi di

antara keduanya, yang membuat posisi tawar pekerja/buruh menjadi lebih lemah.

Dengan fakta seperti itu, konsep yang dibentuk dalam hubungan industrial Pancasila

3 Adrian Sutedi, Op.cit, hlm. 23.

4 Ari Hernawan, 2013, Ketidakadilan dalam Norma dan Praktik Mogok Kerja di Indonesia, Udayana

University Press, Denpasar, hlm. 1.

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

cenderung menjadi slogan belaka. Rumusan yang sangat baik yang dicita-citakan

konsep hubungan indsutrial Pancasila menjadi tidak bermanfaat karena tidak sejalan

dengan realitas yang ada. Istilah “pengusaha adalah mitra buruh” dan “buruh adalah

mitra pengusaha” hanyalah samar-samar ditemui dalam pelaksanaannya.5

Ketidaksetaraan hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh kerap kali

membuat pelaksanaan dalam hubungan industrial maupun hubungan kerja menjadi

tidak harmonis. Ketidakharmonisan hubungan antara pengusaha dengan

pekerja/buruh salah satunya disebabkan adanya perbedaan pendapat terkait

pemenuhan hak-hak normatif pekerja/buruh dalam hubungan kerja oleh pengusaha.

Ketidakharmonisan tersebut tak jarang berubah menjadi konflik, bahkan meruncing

hingga menjadi sebuah perselisihan hubungan industrial.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka

22 serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial Pasal 1 angka 1 mendefinisikan perselisihan hubungan

industrial sebagai “perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara

pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”.

Perselisihan hubungan industrial yang paling sering ditemui adalah perselisihan hak,

yaitu ada kesepakatan dan hak normatif yang tidak dilaksanakan.6 Perselisihan hak

tersebut terjadi antara pengusaha dengan pekerja/buruh, dan biasanya mengenai hak

5 Adrian Sutedi, Op.cit, hlm.32.

6 Danang Dermawan, 2014, “Pemenuhan Hak Pekerja Akibat Mogok Kerja di PT. Jogja Tugu Trans

Yogyakarta”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 6.

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

normatif berupa upah. Paket Undang-Undang Ketenagakerjaan pasca reformasi,

melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa penyelesaian

perselisihan hubungan industrial sebisa mungkin dilakukan dengan jalan damai,

melalui perundingan. Forum penyelesaian secara bipartit merupakan tahapan yang

wajib dilakukan oleh pengusaha dengan pekerja/buruh dalam upaya penyelesaian

perselisihan hubungan industrial. Seringkali perundingan bipartit ini berujung dengan

jalan buntu atau yang sering disebut dengan gagal runding akibat kedua belah pihak

saling bertahan kepada tuntutannya masing-masing.

Sebagai akibat dari meruncingnya perselisihan hubungan industrial akibat

gagalnya perundingan, kedua belah pihak yaitu pengusaha dan pekerja/buruh oleh

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dipersenjatai

untuk mengusahakan hak mereka masing-masing, yakni pengusaha melalui jalan

penutupan perusahaan atau lock out, sementara dari sisi pekerja/buruh diberikan jalan

berupa mogok kerja atau strike. Jika dibandingkan dengan lock out, mogok kerja ini

lebih sering terjadi.7 Melalui mogok kerja, pekerja/buruh dituntut kecakapannya

untuk memperjuangkan pelaksanaan hak-hak mereka.8 Mogok kerja merupakan

bentuk gerakan protes, yang juga bagian dari usaha merundingkan perbaikan

hubungan indsutrial, namun dilakukan bila tidak terdapat alternatif lain untuk

menuntut hak mereka.9

7 Ari Hernawan, Op.cit, hlm. 2.

8 Adrian Sutedi, Op.cit, hlm. 18.

9 D. Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, 2005, Hubungan Industrial: Kajian Konsep dan

Permasalahan, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 108.

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

Mogok kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan pada Pasal 1 angka 23 diartikan sebagai “tindakan pekerja/buruh

yang direncanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh

untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan”. Pada praktiknya, cara pekerja

menyampaikan tuntutan dan aspirasinya dalam mogok kerja juga cenderung

dilakukan dengan tindakan yang dapat menarik perhatian masyarakat, misalnya

sebagian pekerja merusak perusahaan atau long march dari perusahaan ke kantor

DPR, DPRD atau Komnas HAM sambil menggelar sejumlah poster berisi kecaman

terhadap perusahaan atau pejabat pemerintahan berkaitan dengan kebijakan yang

dikeluarkannya di bidang ketenagakerjaan.10 Menilik kenyataan pada praktik seperti

itu, sudah sepantasnya mogok kerja diatur dalam rangka pembatasan hak mogok

untuk meminimalisasi dampak negatifnya. Pembatasan mogok kerja merupakan satu

hal yang dapat dilakukan, karena menurut International Labour Organization (ILO)

tidak boleh ada larangan mogok kerja, yang diperbolehkan adalah pembatasan

mogok kerja.11 Mogok kerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan dari Pasal 137-145, selain itu termuat pula dalam

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003 Tentang

Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah dan Surat Edaran Menteri Tenaga

Kerja dan Transmigrasi Nomor 368.Kp.02.33.2003 Tentang Prosedur Mogok Kerja

dan Penutupan Perusahaan (Lock Out).

Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh, hal

ini secara tegas dan eksplisit dimuat dalam Pasal 137 Undang-Undang Nomor 13

10

Ari Hernawan, Op.cit, hlm. 3. 11

Ibid, hlm. 4.

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Mogok kerja baru dapat dilakukan apabila

terjadi gagal runding, yaitu apabila tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian

perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau

melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu. Sehingga tanpa

adanya suatu perselisihan yang mengalami jalan buntu, mogok kerja tidak dapat

dilakukan. Mogok kerja ini merupakan hal yang menarik, karena memberikan

kesempatan bagi pekerja/buruh yang secara posisional sifatnya lebih subordinat dari

pengusaha untuk melakukan protes dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Diharapkan dengan mogok kerja, yaitu memperlambat atau menghentikan pekerjaan,

kegiatan produksi pengusaha menjadi terhambat, sehingga pengusaha menyadari

peran pekerja/buruh dalam proses produksinya, yang kemudian memberikan

kesempatan pekerja/buruh untuk menyampaikan pendapatnya. Mogok kerja ini

merupakan tindakan yang bersifat kolektif yang dilakukan secara “bersama-sama”,

sehingga tidak dapat dilakukan oleh hanya satu pekerja/buruh saja. Ini artinya,

pemogokan harus melibatkan lebih dari satu pekerja, jika hanya seorang pekerja saja

yang melakukan mogok kerja tidak akan memperoleh perlindungan hukum, karena

hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mogok kerja.12 Mogok kerja yang

dilakukan oleh pekerja/buruh juga harus dilakukan secara sah atau yang disebut

dengan mogok kerja sah, dalam arti pekerja/buruh dalam melakukan mogok kerja

harus memenuhi ketentuan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketengakerjaan. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain, sekurang-

kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan wajib

12

Ari Hernawan, “Keseimbangan Hak dan Kewajiban Pekerja dan Pengusaha dalam Mogok Kerja”, Mimbar Hukum, Volume 32, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 422.

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi ketenagakerjaan

setempat yang memuat waktu dimulai dan diakhiri mogok kerja, tempat mogok

kerja, alasan mogok kerja serta tanda tangan penanggung jawab mogok kerja.

Aturan mengenai mogok kerja tidak berlaku universal untuk semua jenis

perusahaan. Hal ini terbukti pada Pasal 139 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan yang mengatur berbeda mengenai ketentuan mogok kerja

pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis

kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia. Pasal 139 tersebut berbunyi

sebagai berikut “pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada

perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis

kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa

sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan

keselamatan orang lain”. Pasal 139 tersebut secara spesifik membedakan perusahaan

yang melayani kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan jiwa orang

lain, dengan kata lain perusahaan tersebut tidak sama dengan perusahaan-perusahaan

biasa lainnya, sehingga pengaturan mogok kerjanya pun harus diatur secara berbeda.

Menariknya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

sendiri tidak memberikan definisi yang jelas dan pasti mengenai perusahaan yang

melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya

membahayakan keselamatan jiwa orang lain. Pada penjelasan Pasal 139 tersebut

hanya menyebutkan bahwa “yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani

kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan

keselamatan jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara

dan pengontrol arus lalu lintas laut”.

Pada kenyataannya, terdapat pekerja/buruh dari perusahaan yang masuk pada

kategori di Penjelasan Pasal 139 tersebut yang melakukan mogok kerja. Contohnya

di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, pada hari Rabu tanggal 27 November 2013

silam, ratusan dokter dari berbagai rumah sakit dan berbagai spesialis menggelar aksi

mogok kerja di RSUP Sardjito Yogyakarta mulai pukul 08.00-09.00 WIB.13 Dilihat

dari alasan mogok kerja yang dilakukan dokter RSUP Sardjito Yogyakarta tersebut,

menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak

termasuk kategori mogok kerja, karena tidak didasari adanya perundingan yang gagal

akibat perselisihan hubungan industrial, melainkan hanya aksi solidaritas rekan

sejawat dalam kaitan kasus pidana terhadap dr. Ayu. Selain rumah sakit, untuk

kategori pengontrol arus lalu lintas udara, di Yogyakarta, pekerja/buruh PT. Angkasa

Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta juga pernah melakukan mogok kerja. Selama

sehari penuh tanggal 9 Mei 2008, sekitar 200 pekerja/buruh anggota Serikat Pekerja

PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto melakukan mogok kerja dalam kaitan

tuntutan hak mereka kepada direksi yang berkaitan dengan peningkatan gaji pokok,

tunjangan hari tua dan tunjangan kerja.14

13

Abdul Hamied Razak, “Dokter di RSUP Dr. Sardjito Gantung Jas”, http://www.harianjogja.com/baca/2013/11/27/kasus-dokter-ayu-dokter-di-rsup-dr-sardjito-gantung-jas-469008, diakses tanggal 7 Oktober 2014. 14

Anonim, “Karyawan Bandara Adisutjipto Sepakat Mogok”, http://tekno.kompas.com/read/2008/05/07/11045434/karyawan.bandara.adisutjipto.sepakat.mogok, diakses tanggal 7 Oktober 2014.

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

Pasal 139 juga mengatur bahwa mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh

pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis

kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikan rupa

sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan

keselamatan orang lain. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 139 tersebut mencantumkan

bahwa pemogokan diatur sedemikian rupa adalah pemogokan yang dilakukan oleh

para pekerja/buruh yang sedang tidak menjalankan tugas. Hal tersebut menjadi

sangat menarik, karena seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 23, definisi

mogok kerja pada intinya merupakan tindakan yang bertujuan untuk “menghentikan

atau memperlambat pekerjaan”. Jika mogok kerja pada perusahaan tersebut

dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang tidak menjalankan tugas, maka mogok

kerja tersebut seperti kehilangan esensinya, yaitu untuk menghentikan atau

memperlambat pekerjaan yang menghasilkan tekanan kepada pengusaha dalam

rangka upaya memperjuangkan hak-hak mereka yang dilanggar oleh pengusaha.

Lebih rinci lagi, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 145 yang menentukan bahwa

“dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan

tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha,

pekerja/buruh berhak mendapatkan upah”, hal ini berarti secara eksplisit Undang-

Undang menentukan bahwa pekerja/buruh pada perusahaan yang melayani

kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan

keselamatan jiwa manusia yang melakukan mogok kerja secara sah berhak

mendapatkan upah. Tetapi, ketentuan ini seakan bertabrakan dengan ketentuan Pasal

93 yang menentukan bahwa “upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

melakukan pekerjaan” atau disebut dengan asas no work no pay. Pekerja/buruh yang

mogok kerja berdasarkan Pasal 139 merupakan pekerja/buruh yang sedang tidak

bertugas, yang otomatis pada hari ketika pekerja/buruh tersebut mogok kerja

semestinya ia tidak mendapatkan upah, namun, ketentuan Pasal 145 menyebutkan

apabila mogok kerja dilakukan secara sah, maka ia berhak mendapatkan upah. Lantas

bagaimana perhitungan upah pekerja/buruh tersebut? Hal ini menjadi sangat menarik

untuk diteliti implementasinya, terlebih ketentuan mengenai mogok kerja pada

perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis

kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia hanya terdapat dalam satu

pasal saja yakni Pasal 139 beserta penjelasannya, dan tidak diatur lebih lanjut pada

peraturan perundang-undangan pelaksanaan lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih

lanjut mengenai hal tersebut, yang hasilnya dituangkan dalam bentuk penulisan

hukum dengan judul Implementasi Mogok Kerja Sebagai Hak Dasar

Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang Bekerja pada

Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang

Jenis Kegiatannya Membahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus

Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta).

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, dapat

diambil rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah ketentuan mengenai mogok kerja pada perusahaan yang melayani

kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan

keselamatan jiwa manusia yang menghendaki bahwa “pelaksanaan mogok kerja

diatur sedemikian rupa, yaitu pemogokan dilakukan oleh para pekerja/buruh

yang tidak sedang menjalankan tugas” sudah sesuai dengan hakekat mogok

kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan pada kasus mogok kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara

Adisutjipto Yogyakarta?

2. Bagaimana penyelesaian pemberian hak atas upah bagi pekerja/buruh yang

mogok secara sah pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau

perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia,

dikaitkan dengan asas “no work no pay” pada kasus mogok kerja di PT.

Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui kesesuaian ketentuan mogok kerja pada perusahaan yang

melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

membahayakan keselamatan jiwa manusia dengan hakekat mogok kerja

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan pada kasus mogok kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara

Adisutjipto Yogyakarta.

b. Untuk mengetahui penyelesaian pemberian hak atas upah bagi

pekerja/buruh yang mogok secara sah pada perusahaan yang melayani

kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya

membahayakan keselamatan jiwa manusia jika dikaitkan dengan asas “no

work no pay” pada kasus mogok kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara

Adisutjipto Yogyakarta.

2. Tujuan Subjektif

Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data-data guna

menyusun penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk meraih derajat S-1 di

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran yang dilakukan penulis di perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada, penulisan hukum dengan judul “Implementasi Mogok

Kerja Sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh bagi

Pekerja/Buruh yang Bekerja pada Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum

dan/atau Perusahaan yang Jenis Kegiatannya Membahayakan Keselamatan Jiwa

Manusia” (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

Yogyakarta), belum pernah dilakukan. Penulis menemukan beberapa penulisan

hukum yang membahas mengenai mogok kerja, yaitu:

1. Ari Hernawan, Tahun 2011, dengan judul “Pengaturan dan Implementasi

Mogok Kerja di Indonesia”. Penelitian ini menitikberatkan pada ketentuan

mogok kerja dari segi teksnya dengan metode hermeneutika hukum untuk

mencari kesesuaian filosofi Hubungan Industrial Pancasila dengan peraturan

ketenagakerjaan yang berkenaan dengan mogok kerja dan perimbangan hak

dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam peraturan ketenagakerjaan yang

berkenaan dengan mogok kerja.15

2. Andik Widianto, Tahun 2012, dengan judul penulisan hukum “Tinjauan

Yuridis Mengenai Mogok Kerja Pengurus Unit Kerja Federasi Serikat

Pekerja Niaga, Bank, dan Asuransi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh

Indonesia PT. ALFA Retailindo, Tbk Yogyakarta”. Penelitian ini

menitikberatkan pada sebab terjadinya permasalahan mogok kerja yang

dilakukan oleh Pengurus Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Niaga, Bank,

dan Asuransi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK FSP

NIBA KSPSI) PT. ALFA Retailindo, Tbk Yogyakarta yang tidak sesuai

dengan Undang-Undang.16

3. Danang Dermawan, Tahun 2014, dengan judul penulisan hukum “Pemenuhan

Hak Pekerja Akibat Mogok Kerja di PT. Jogja Tugu Trans Yogyakarta”.

15

Ari Hernawan, 2011, “Pengaturan dan Implementasi Mogok Kerja di Indonesia”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 40. 16

Andik Widianto, 2012, “Tinjauan Yuridis Mengenai Mogok Kerja Pengurus Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Niaga, Bank, dan Asuransi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PT. ALFA Retailindo, Tbk Yogyakarta”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 8.

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14

Penelitian ini menitikberatkan pada faktor penyebab dan pemenuhan hak

pekerja akibat mogok kerja di PT. Jogja Tugu Trans Yogyakarta.17

Ketiga judul hasil penelitian di atas, tidak identik dengan penelitian yang

dilakukan penulis meskipun memiliki tema yang sama yakni mengangkat tema

mogok kerja. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis menitikberatkan pada

tinjauan kesesuaian ketentuan mengenai mogok kerja pada perusahaan yang

melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya

membahayakan keselamatan jiwa manusia dengan hakekat mogok kerja yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, beserta

penyelesaian pemenuhan hak atas upah bagi pekerja/buruh pada perusahaan yang

melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya

membahayakan keselamatan jiwa manusia yang melakukan mogok kerja secara sah

terkait asas no work no pay. Penelitian ini memfokuskan pada pelaksanaan mogok

kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang

jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia.

Dengan demikian, penelitian ini dianggap memenuhi kaidah keaslian penelitian

dan dapat dinyatakan bahwa penelitian ini merupakan karya orisinil, sehingga dapat

dipertanggungjawabkan secara akademis. Apabila ditemukan hasil penelitian yang

sama atau hampir sama setelah penelitian ini selesai dilakukan, maka diharapkan

penelitian tersebut dapat menyempurnakan penelitian yang dilakukan penulis.

17

Danang Dermawan, Op.cit, hlm. 12.

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

15

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Akademis

a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

hukum, yaitu hukum ketenagakerjaan sebagai salah satu referensi tambahan

yang membahas mengenai pelaksanaan mogok kerja pada perusahaan yang

melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya

membahayakan keselamatan jiwa manusia.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran serta

menambah wawasan maupun pengetahuan di bidang hukum

ketenagakerjaan, khususnya mengenai konsep pengaturan mogok kerja.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi penulis untuk menambah

wawasan dan pengalaman dalam bidang penelitian hukum, yang merupakan bentuk

pelatihan dan pembelajaran terhadap penerapan teori yang telah dipelajari.

Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/