PENDAHULUAN A. -...
Transcript of PENDAHULUAN A. -...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional merupakan bagian dari pengamalan Pancasila dan
pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
diarahkan pada peningkatan harkat, martabat, kemampuan manusia, serta
kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur, baik material maupun spriritual.1 Tidak mengherankan, jika hubungan
industrial di Indonesia ini menganut pula hubungan industrial yang berlandaskan
pengamalan nilai-nilai Pancasila, atau disebut dengan hubungan industrial Pancasila.
Pendekatan Pancasila menjadi tolak ukur utama dalam hubungan industrial karena
adanya proses musyawarah mufakat baik formal maupun informal yang bersandar
pada peraturan positif dan kenyataan berdasarkan kepentingan nasional.2 Hubungan
industrial Pancasila ini menghendaki adanya situasi yang kondusif serta harmonis
antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Terbentuknya komunikasi yang baik antara
pekerja dan pengusaha, serta adanya persamaan derajat antara semua elemen yang
ada di perusahaan dalam hubungan kerja menjadi konsep dasar hubungan industrial
Pancasila. Arahnya, adalah untuk menciptakan sistem dan kelembagaan yang ideal,
1 Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 14.
2 Craig Johnson, 2013, Pembangunan Tanpa Teori: Kuasa Pengetahuan dan Perubahan Sosial, Resist
Book, Yogyakarta, hlm. 116.
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
sehingga, tercipta kondisi yang produktif, harmonis, dinamis dan berkeadilan.3
Dengan kata lain, hubungan industrial yang ideal menurut konsep hubungan
industrial Pancasila merupakan hubungan industrial yang damai dan kondusif, atau
singkatnya diterjemahkan sebagai hubungan industrial yang tanpa konflik.
Kenyataannya, mewujudkan hubungan industrial sesuai dengan konsep
hubungan industrial Pancasila tidak semudah yang dibayangkan. Seperti yang kita
ketahui, dunia ketenagakerjaan di Indonesia merupakan dunia yang sarat akan
konflik kepentingan. Perbedaan tujuan yang mendasar antara pekerja/buruh dengan
pengusaha merupakan sumber konflik kepentingan tersebut. Di satu sisi pengusaha
mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya yang dikeluarkan untuk faktor
produksi, termasuk upah pekerja/buruh serendah-rendahnya dengan menuntut
produktivitas mereka setinggi-tingginya, sementara di sisi lain pekerja/buruh
tujuannya untuk mendapatkan penghasilan sebesar-besarnya, dengan harapan tenaga
atau produktivitas yang dikeluarkan serendah-rendahnya. Kondisi hubungan
industrial juga semakin parah dengan adanya ketidaksetaraan hubungan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha. Ketidaksetaraan hubungan antara pekerja dan
pengusaha menjadikan hubungan tersebut sebagai sebuah hubungan yang cenderung
eksploitatif dan bersifat sepihak.4 Posisi pekerja/buruh yang lebih subordinat
dibanding dengan pengusaha terutama disebabkan adanya ketimpangan ekonomi di
antara keduanya, yang membuat posisi tawar pekerja/buruh menjadi lebih lemah.
Dengan fakta seperti itu, konsep yang dibentuk dalam hubungan industrial Pancasila
3 Adrian Sutedi, Op.cit, hlm. 23.
4 Ari Hernawan, 2013, Ketidakadilan dalam Norma dan Praktik Mogok Kerja di Indonesia, Udayana
University Press, Denpasar, hlm. 1.
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
cenderung menjadi slogan belaka. Rumusan yang sangat baik yang dicita-citakan
konsep hubungan indsutrial Pancasila menjadi tidak bermanfaat karena tidak sejalan
dengan realitas yang ada. Istilah “pengusaha adalah mitra buruh” dan “buruh adalah
mitra pengusaha” hanyalah samar-samar ditemui dalam pelaksanaannya.5
Ketidaksetaraan hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh kerap kali
membuat pelaksanaan dalam hubungan industrial maupun hubungan kerja menjadi
tidak harmonis. Ketidakharmonisan hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh salah satunya disebabkan adanya perbedaan pendapat terkait
pemenuhan hak-hak normatif pekerja/buruh dalam hubungan kerja oleh pengusaha.
Ketidakharmonisan tersebut tak jarang berubah menjadi konflik, bahkan meruncing
hingga menjadi sebuah perselisihan hubungan industrial.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka
22 serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial Pasal 1 angka 1 mendefinisikan perselisihan hubungan
industrial sebagai “perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”.
Perselisihan hubungan industrial yang paling sering ditemui adalah perselisihan hak,
yaitu ada kesepakatan dan hak normatif yang tidak dilaksanakan.6 Perselisihan hak
tersebut terjadi antara pengusaha dengan pekerja/buruh, dan biasanya mengenai hak
5 Adrian Sutedi, Op.cit, hlm.32.
6 Danang Dermawan, 2014, “Pemenuhan Hak Pekerja Akibat Mogok Kerja di PT. Jogja Tugu Trans
Yogyakarta”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 6.
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
normatif berupa upah. Paket Undang-Undang Ketenagakerjaan pasca reformasi,
melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa penyelesaian
perselisihan hubungan industrial sebisa mungkin dilakukan dengan jalan damai,
melalui perundingan. Forum penyelesaian secara bipartit merupakan tahapan yang
wajib dilakukan oleh pengusaha dengan pekerja/buruh dalam upaya penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Seringkali perundingan bipartit ini berujung dengan
jalan buntu atau yang sering disebut dengan gagal runding akibat kedua belah pihak
saling bertahan kepada tuntutannya masing-masing.
Sebagai akibat dari meruncingnya perselisihan hubungan industrial akibat
gagalnya perundingan, kedua belah pihak yaitu pengusaha dan pekerja/buruh oleh
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dipersenjatai
untuk mengusahakan hak mereka masing-masing, yakni pengusaha melalui jalan
penutupan perusahaan atau lock out, sementara dari sisi pekerja/buruh diberikan jalan
berupa mogok kerja atau strike. Jika dibandingkan dengan lock out, mogok kerja ini
lebih sering terjadi.7 Melalui mogok kerja, pekerja/buruh dituntut kecakapannya
untuk memperjuangkan pelaksanaan hak-hak mereka.8 Mogok kerja merupakan
bentuk gerakan protes, yang juga bagian dari usaha merundingkan perbaikan
hubungan indsutrial, namun dilakukan bila tidak terdapat alternatif lain untuk
menuntut hak mereka.9
7 Ari Hernawan, Op.cit, hlm. 2.
8 Adrian Sutedi, Op.cit, hlm. 18.
9 D. Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, 2005, Hubungan Industrial: Kajian Konsep dan
Permasalahan, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 108.
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
Mogok kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan pada Pasal 1 angka 23 diartikan sebagai “tindakan pekerja/buruh
yang direncanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh
untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan”. Pada praktiknya, cara pekerja
menyampaikan tuntutan dan aspirasinya dalam mogok kerja juga cenderung
dilakukan dengan tindakan yang dapat menarik perhatian masyarakat, misalnya
sebagian pekerja merusak perusahaan atau long march dari perusahaan ke kantor
DPR, DPRD atau Komnas HAM sambil menggelar sejumlah poster berisi kecaman
terhadap perusahaan atau pejabat pemerintahan berkaitan dengan kebijakan yang
dikeluarkannya di bidang ketenagakerjaan.10 Menilik kenyataan pada praktik seperti
itu, sudah sepantasnya mogok kerja diatur dalam rangka pembatasan hak mogok
untuk meminimalisasi dampak negatifnya. Pembatasan mogok kerja merupakan satu
hal yang dapat dilakukan, karena menurut International Labour Organization (ILO)
tidak boleh ada larangan mogok kerja, yang diperbolehkan adalah pembatasan
mogok kerja.11 Mogok kerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan dari Pasal 137-145, selain itu termuat pula dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003 Tentang
Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah dan Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor 368.Kp.02.33.2003 Tentang Prosedur Mogok Kerja
dan Penutupan Perusahaan (Lock Out).
Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh, hal
ini secara tegas dan eksplisit dimuat dalam Pasal 137 Undang-Undang Nomor 13
10
Ari Hernawan, Op.cit, hlm. 3. 11
Ibid, hlm. 4.
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Mogok kerja baru dapat dilakukan apabila
terjadi gagal runding, yaitu apabila tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau
melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu. Sehingga tanpa
adanya suatu perselisihan yang mengalami jalan buntu, mogok kerja tidak dapat
dilakukan. Mogok kerja ini merupakan hal yang menarik, karena memberikan
kesempatan bagi pekerja/buruh yang secara posisional sifatnya lebih subordinat dari
pengusaha untuk melakukan protes dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Diharapkan dengan mogok kerja, yaitu memperlambat atau menghentikan pekerjaan,
kegiatan produksi pengusaha menjadi terhambat, sehingga pengusaha menyadari
peran pekerja/buruh dalam proses produksinya, yang kemudian memberikan
kesempatan pekerja/buruh untuk menyampaikan pendapatnya. Mogok kerja ini
merupakan tindakan yang bersifat kolektif yang dilakukan secara “bersama-sama”,
sehingga tidak dapat dilakukan oleh hanya satu pekerja/buruh saja. Ini artinya,
pemogokan harus melibatkan lebih dari satu pekerja, jika hanya seorang pekerja saja
yang melakukan mogok kerja tidak akan memperoleh perlindungan hukum, karena
hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mogok kerja.12 Mogok kerja yang
dilakukan oleh pekerja/buruh juga harus dilakukan secara sah atau yang disebut
dengan mogok kerja sah, dalam arti pekerja/buruh dalam melakukan mogok kerja
harus memenuhi ketentuan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketengakerjaan. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain, sekurang-
kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan wajib
12
Ari Hernawan, “Keseimbangan Hak dan Kewajiban Pekerja dan Pengusaha dalam Mogok Kerja”, Mimbar Hukum, Volume 32, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 422.
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi ketenagakerjaan
setempat yang memuat waktu dimulai dan diakhiri mogok kerja, tempat mogok
kerja, alasan mogok kerja serta tanda tangan penanggung jawab mogok kerja.
Aturan mengenai mogok kerja tidak berlaku universal untuk semua jenis
perusahaan. Hal ini terbukti pada Pasal 139 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan yang mengatur berbeda mengenai ketentuan mogok kerja
pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis
kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia. Pasal 139 tersebut berbunyi
sebagai berikut “pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada
perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis
kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan
keselamatan orang lain”. Pasal 139 tersebut secara spesifik membedakan perusahaan
yang melayani kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan jiwa orang
lain, dengan kata lain perusahaan tersebut tidak sama dengan perusahaan-perusahaan
biasa lainnya, sehingga pengaturan mogok kerjanya pun harus diatur secara berbeda.
Menariknya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
sendiri tidak memberikan definisi yang jelas dan pasti mengenai perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa orang lain. Pada penjelasan Pasal 139 tersebut
hanya menyebutkan bahwa “yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan
keselamatan jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara
dan pengontrol arus lalu lintas laut”.
Pada kenyataannya, terdapat pekerja/buruh dari perusahaan yang masuk pada
kategori di Penjelasan Pasal 139 tersebut yang melakukan mogok kerja. Contohnya
di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, pada hari Rabu tanggal 27 November 2013
silam, ratusan dokter dari berbagai rumah sakit dan berbagai spesialis menggelar aksi
mogok kerja di RSUP Sardjito Yogyakarta mulai pukul 08.00-09.00 WIB.13 Dilihat
dari alasan mogok kerja yang dilakukan dokter RSUP Sardjito Yogyakarta tersebut,
menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak
termasuk kategori mogok kerja, karena tidak didasari adanya perundingan yang gagal
akibat perselisihan hubungan industrial, melainkan hanya aksi solidaritas rekan
sejawat dalam kaitan kasus pidana terhadap dr. Ayu. Selain rumah sakit, untuk
kategori pengontrol arus lalu lintas udara, di Yogyakarta, pekerja/buruh PT. Angkasa
Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta juga pernah melakukan mogok kerja. Selama
sehari penuh tanggal 9 Mei 2008, sekitar 200 pekerja/buruh anggota Serikat Pekerja
PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto melakukan mogok kerja dalam kaitan
tuntutan hak mereka kepada direksi yang berkaitan dengan peningkatan gaji pokok,
tunjangan hari tua dan tunjangan kerja.14
13
Abdul Hamied Razak, “Dokter di RSUP Dr. Sardjito Gantung Jas”, http://www.harianjogja.com/baca/2013/11/27/kasus-dokter-ayu-dokter-di-rsup-dr-sardjito-gantung-jas-469008, diakses tanggal 7 Oktober 2014. 14
Anonim, “Karyawan Bandara Adisutjipto Sepakat Mogok”, http://tekno.kompas.com/read/2008/05/07/11045434/karyawan.bandara.adisutjipto.sepakat.mogok, diakses tanggal 7 Oktober 2014.
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
Pasal 139 juga mengatur bahwa mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh
pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis
kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikan rupa
sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan
keselamatan orang lain. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 139 tersebut mencantumkan
bahwa pemogokan diatur sedemikian rupa adalah pemogokan yang dilakukan oleh
para pekerja/buruh yang sedang tidak menjalankan tugas. Hal tersebut menjadi
sangat menarik, karena seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 23, definisi
mogok kerja pada intinya merupakan tindakan yang bertujuan untuk “menghentikan
atau memperlambat pekerjaan”. Jika mogok kerja pada perusahaan tersebut
dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang tidak menjalankan tugas, maka mogok
kerja tersebut seperti kehilangan esensinya, yaitu untuk menghentikan atau
memperlambat pekerjaan yang menghasilkan tekanan kepada pengusaha dalam
rangka upaya memperjuangkan hak-hak mereka yang dilanggar oleh pengusaha.
Lebih rinci lagi, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 145 yang menentukan bahwa
“dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan
tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha,
pekerja/buruh berhak mendapatkan upah”, hal ini berarti secara eksplisit Undang-
Undang menentukan bahwa pekerja/buruh pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan
keselamatan jiwa manusia yang melakukan mogok kerja secara sah berhak
mendapatkan upah. Tetapi, ketentuan ini seakan bertabrakan dengan ketentuan Pasal
93 yang menentukan bahwa “upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
melakukan pekerjaan” atau disebut dengan asas no work no pay. Pekerja/buruh yang
mogok kerja berdasarkan Pasal 139 merupakan pekerja/buruh yang sedang tidak
bertugas, yang otomatis pada hari ketika pekerja/buruh tersebut mogok kerja
semestinya ia tidak mendapatkan upah, namun, ketentuan Pasal 145 menyebutkan
apabila mogok kerja dilakukan secara sah, maka ia berhak mendapatkan upah. Lantas
bagaimana perhitungan upah pekerja/buruh tersebut? Hal ini menjadi sangat menarik
untuk diteliti implementasinya, terlebih ketentuan mengenai mogok kerja pada
perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis
kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia hanya terdapat dalam satu
pasal saja yakni Pasal 139 beserta penjelasannya, dan tidak diatur lebih lanjut pada
peraturan perundang-undangan pelaksanaan lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih
lanjut mengenai hal tersebut, yang hasilnya dituangkan dalam bentuk penulisan
hukum dengan judul Implementasi Mogok Kerja Sebagai Hak Dasar
Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang Bekerja pada
Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang
Jenis Kegiatannya Membahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus
Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta).
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, dapat
diambil rumusan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah ketentuan mengenai mogok kerja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan
keselamatan jiwa manusia yang menghendaki bahwa “pelaksanaan mogok kerja
diatur sedemikian rupa, yaitu pemogokan dilakukan oleh para pekerja/buruh
yang tidak sedang menjalankan tugas” sudah sesuai dengan hakekat mogok
kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan pada kasus mogok kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara
Adisutjipto Yogyakarta?
2. Bagaimana penyelesaian pemberian hak atas upah bagi pekerja/buruh yang
mogok secara sah pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau
perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia,
dikaitkan dengan asas “no work no pay” pada kasus mogok kerja di PT.
Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui kesesuaian ketentuan mogok kerja pada perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
membahayakan keselamatan jiwa manusia dengan hakekat mogok kerja
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan pada kasus mogok kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara
Adisutjipto Yogyakarta.
b. Untuk mengetahui penyelesaian pemberian hak atas upah bagi
pekerja/buruh yang mogok secara sah pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa manusia jika dikaitkan dengan asas “no
work no pay” pada kasus mogok kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara
Adisutjipto Yogyakarta.
2. Tujuan Subjektif
Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data-data guna
menyusun penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk meraih derajat S-1 di
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran yang dilakukan penulis di perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, penulisan hukum dengan judul “Implementasi Mogok
Kerja Sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh bagi
Pekerja/Buruh yang Bekerja pada Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum
dan/atau Perusahaan yang Jenis Kegiatannya Membahayakan Keselamatan Jiwa
Manusia” (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
Yogyakarta), belum pernah dilakukan. Penulis menemukan beberapa penulisan
hukum yang membahas mengenai mogok kerja, yaitu:
1. Ari Hernawan, Tahun 2011, dengan judul “Pengaturan dan Implementasi
Mogok Kerja di Indonesia”. Penelitian ini menitikberatkan pada ketentuan
mogok kerja dari segi teksnya dengan metode hermeneutika hukum untuk
mencari kesesuaian filosofi Hubungan Industrial Pancasila dengan peraturan
ketenagakerjaan yang berkenaan dengan mogok kerja dan perimbangan hak
dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam peraturan ketenagakerjaan yang
berkenaan dengan mogok kerja.15
2. Andik Widianto, Tahun 2012, dengan judul penulisan hukum “Tinjauan
Yuridis Mengenai Mogok Kerja Pengurus Unit Kerja Federasi Serikat
Pekerja Niaga, Bank, dan Asuransi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia PT. ALFA Retailindo, Tbk Yogyakarta”. Penelitian ini
menitikberatkan pada sebab terjadinya permasalahan mogok kerja yang
dilakukan oleh Pengurus Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Niaga, Bank,
dan Asuransi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK FSP
NIBA KSPSI) PT. ALFA Retailindo, Tbk Yogyakarta yang tidak sesuai
dengan Undang-Undang.16
3. Danang Dermawan, Tahun 2014, dengan judul penulisan hukum “Pemenuhan
Hak Pekerja Akibat Mogok Kerja di PT. Jogja Tugu Trans Yogyakarta”.
15
Ari Hernawan, 2011, “Pengaturan dan Implementasi Mogok Kerja di Indonesia”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 40. 16
Andik Widianto, 2012, “Tinjauan Yuridis Mengenai Mogok Kerja Pengurus Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Niaga, Bank, dan Asuransi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PT. ALFA Retailindo, Tbk Yogyakarta”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 8.
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
Penelitian ini menitikberatkan pada faktor penyebab dan pemenuhan hak
pekerja akibat mogok kerja di PT. Jogja Tugu Trans Yogyakarta.17
Ketiga judul hasil penelitian di atas, tidak identik dengan penelitian yang
dilakukan penulis meskipun memiliki tema yang sama yakni mengangkat tema
mogok kerja. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis menitikberatkan pada
tinjauan kesesuaian ketentuan mengenai mogok kerja pada perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa manusia dengan hakekat mogok kerja yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, beserta
penyelesaian pemenuhan hak atas upah bagi pekerja/buruh pada perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa manusia yang melakukan mogok kerja secara sah
terkait asas no work no pay. Penelitian ini memfokuskan pada pelaksanaan mogok
kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang
jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia.
Dengan demikian, penelitian ini dianggap memenuhi kaidah keaslian penelitian
dan dapat dinyatakan bahwa penelitian ini merupakan karya orisinil, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis. Apabila ditemukan hasil penelitian yang
sama atau hampir sama setelah penelitian ini selesai dilakukan, maka diharapkan
penelitian tersebut dapat menyempurnakan penelitian yang dilakukan penulis.
17
Danang Dermawan, Op.cit, hlm. 12.
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Akademis
a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
hukum, yaitu hukum ketenagakerjaan sebagai salah satu referensi tambahan
yang membahas mengenai pelaksanaan mogok kerja pada perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa manusia.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran serta
menambah wawasan maupun pengetahuan di bidang hukum
ketenagakerjaan, khususnya mengenai konsep pengaturan mogok kerja.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi penulis untuk menambah
wawasan dan pengalaman dalam bidang penelitian hukum, yang merupakan bentuk
pelatihan dan pembelajaran terhadap penerapan teori yang telah dipelajari.
Implementasi Mogok Kerja sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yangBekerja di Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang JenisKegiatannyaMembahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I BandaraAdisutjipto Yogyakarta)NINDRY SULISTYA WUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/