PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan...

44
1 BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Tidak dipungkiri lagi bahwa hidup sejahtera merupakan dambaan semua orang. Hakikat sejahtera kerap diartikan oleh kebanyakan orang sebagai muara tujuan hidup, dimana sebagian besar kebutuhan hidupnya terpenuhi. Ini merupakan sesuatu yang sangat mendasar bagi kehidupan makhluk yang disebut manusia. Karenanya, kemiskinan yang saat ini masih menjadi permasalahan utama bangsa ini harus segera diatasi, mengingat begitu pentingnya ketercapaian hidup sejahtera bagi masyarakat yang pada akhirnya diharapkan mampu mengantarkan ke kondisi yang memiliki harga diri jauh lebih baik, tidak mengemis, bahkan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar norma, seperti mencuri yang justru akan menimbulkan bahaya dalam upaya pemenuhan kebutuhan. Tidak ada yang gratis di dunia ini.” Begitulah ungkapan yang sering terdengar di tengah semakin sulitnya kondisi ekonomi masyarakat. Uang seakan sudah menjadi motor utama penggerak kehidupan. Tanpa uang, manusia tidak dapat melakukan dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan untuk mendapatkannya harus dengan bekerja. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah apakah jumlah lapangan kerja yang tersedia telah cukup mampu menampung para pencari kerja, mengingat sampai saat ini masih banyak jumlah angkatan kerja yang tidak tertampung oleh lapangan kerja yang tersedia. Dan persoalan pun akan terus berkembang dan semakin kompleks. Diantaranya yang paling penting adalah isu kelayakan kerja PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRI KERAJINAN RUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTA RISKA WIDIANA ASMIAWATI Universitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Transcript of PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan...

Page 1: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

Tidak dipungkiri lagi bahwa hidup sejahtera merupakan dambaan semua orang.

Hakikat sejahtera kerap diartikan oleh kebanyakan orang sebagai muara tujuan hidup,

dimana sebagian besar kebutuhan hidupnya terpenuhi. Ini merupakan sesuatu yang

sangat mendasar bagi kehidupan makhluk yang disebut manusia. Karenanya,

kemiskinan yang saat ini masih menjadi permasalahan utama bangsa ini harus segera

diatasi, mengingat begitu pentingnya ketercapaian hidup sejahtera bagi masyarakat

yang pada akhirnya diharapkan mampu mengantarkan ke kondisi yang memiliki harga

diri jauh lebih baik, tidak mengemis, bahkan melakukan tindakan-tindakan yang

melanggar norma, seperti mencuri yang justru akan menimbulkan bahaya dalam upaya

pemenuhan kebutuhan.

“Tidak ada yang gratis di dunia ini.” Begitulah ungkapan yang sering

terdengar di tengah semakin sulitnya kondisi ekonomi masyarakat. Uang seakan sudah

menjadi motor utama penggerak kehidupan. Tanpa uang, manusia tidak dapat

melakukan dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan untuk mendapatkannya

harus dengan bekerja. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah apakah jumlah

lapangan kerja yang tersedia telah cukup mampu menampung para pencari kerja,

mengingat sampai saat ini masih banyak jumlah angkatan kerja yang tidak tertampung

oleh lapangan kerja yang tersedia. Dan persoalan pun akan terus berkembang dan

semakin kompleks. Diantaranya yang paling penting adalah isu kelayakan kerja

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

2

(Decent Work). Pertanyaan yang sering muncul adalah sudahkah pemberi lapangan

pekerjaan menerapkan prinsip-prinsip kerja layak bagi para pekerjanya. Mengingat

saat ini masih sering dijumpai persoalan-persoalan yang menyangkut isu kelayakan

kerja, seperti eksploitasi besar-besaran tenaga kerja, jam kerja yang melebihi batas

standar, pemutusan hubungan kerja sepihak, pemberian upah yang tidak memadai,

kurangnya situasi aman dan nyaman saat bekerja, dan lain sebagainya.

Belum semua orang yang bekerja mengerti konsep kerja layak yang

sebenarnya. Bahkan mereka memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenai

konsep kerja layak tersebut. Ada kalanya orang berpendapat bahwa kerja layak adalah

yang upahnya cukup digunakan untuk membeli kebutuhan primer, sekunder, bahkan

tersier. Ada pula yang berpendapat bahwa kerja layak adalah lebih pada persoalan

perlakuan terhadap dirinya saat bekerja. Apakah kondisi kerja yang diterima telah

sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Hal tersebut sangatlah wajar mengingat

kondisi pekerja di Indonesia yang bermacam-macam.

Seperti yang telah diketahui bahwa kondisi pekerja yang beragam, terutama

kondisi fisik, telah memunculkan istilah yang mampu melekat kuat dalam pikiran

masyarakat di dunia usaha. Istilah tersebut yakni pekerja “normal” dengan

kelengkapan fisik dan pekerja dengan keterbatasan fisik (difabel). Salah satu alasan

peneliti memilih judul penelitian di atas adalah berawal dari ketertarikan terhadap

kondisi pekerja difabel, khususnya penyandang tuna daksa yang tetap memilih bekerja

dengan kondisi keterbatasan fisik yang dimilikinya. Pekerja penyandang tuna daksa

yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok lemah ini dituntut mampu bersaing di

dunia kerja jika ingin tetap dapat memenuhi kebutuhannya. Sedangkan fakta di

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

3

lapangan berbicara bahwa tidak sedikit sektor lapangan kerja, baik formal maupun

informal yang kurang menginginkan tenaga mereka karena seringkali kurang

memenuhi kriteria-kriteria yang diajukan, terlebih bahwa kriteria yang diajukan

menekankan pada kesehatan dan kelengkapan jasmani.

Stigma sosial yang telah melekat dalam masyarakat yang menganggap bahwa

pekerja penyandang tuna daksa kurang memiliki potensi diri dalam bekerja

menyebabkan sulitnya meraih sektor lapangan kerja yang diinginkan. Pihak penyedia

kerja lebih memprioritaskan calon pekerja yang memenuhi persyaratan sehat jasmani

dan rohani. Jika demikian yang terjadi, lantas kemana lagi mereka harus mencari biaya

hidup. Tentunya sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, kita

tidak mungkin sampai hati melihat dan membiarkan mereka terpaksa mencari

penghidupan dengan jalan mengemis atau mengamen, walaupun saat ini tengah

menjadi fenomena dalam masyarakat bahwa sebagian dari mereka ada yang lebih

memilih cara tersebut daripada mendapatkan nafkah dari bekerja.

Sebagai respon atas kondisi di atas, saat ini banyak LSM yang didirikan

dengan tujuan utama meningkatkan kemampuan kaum difabel. Program

pemberdayaan seringkali diusung sebagai wacana dan tujuan utama dalam rangka

meningkatkan kapasitas kaum difabel. Kemandirian untuk tidak selalu bergantung dari

belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga non pemerintah ini. Kota

Surakarta adalah salah satu kota yang memiliki cukup banyak yayasan penampung

difabel. Diantaranya adalah Yayasan Sosial Budi Insani, Yayasan Asuhan Anak Tuna

(YAAT), Yayasan Sosial Setya Dharma, Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara,

dan sebagainya. Secara umum, kegiatan yang diselenggarakan hampir sama, yaitu

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

4

pemberian pelatihan dan kursus keterampilan sebagai bekal untuk terjun di dunia

kerja.

Di samping semakin menjamurnya pusat rehabilitasi bagi kaum difabel, yang

tak kalah menarik adalah berdirinya berbagai Usaha Mikro Kecil dan Menengah

(UMKM) yang memperkerjakan kaum difabel, khususnya penyandang tuna daksa.

Salah satunya adalah Rumah Lidi Handicraft. Industri kerajinan yang beralamat di

Jalan Kyai Mojo No.4 RT 04 RW 23 Kelurahan Semanggi Kecamatan Pasar Kliwon

Surakarta ini berdiri sejak tahun 2010. Dikarenakan faktor keterbatasan ruang, maka

kegiatan industri dilakukan di lokasi yang berbeda, yaitu di Jalan Sampangan RT 03

RW 22 Semanggi, Pasar Kliwon, Surakarta. Walaupun sifat kepemilikannya

perseorangan, namun pada awal pendirian industri kerajinan ini turut dibantu oleh

pemerintah melalui PNPM Mandiri, seperti pemberian alat-alat produksi tenun lidi dan

pengadaan pelatihan keterampilan di bidang kerajinan tangan.

Awal tujuan didirikannya UMKM yang bergerak dalam bidang industri

kerajinan ini didorong oleh rasa keprihatinan direktur Rumah Lidi Handicraft terhadap

kaum difabel yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Diharapkan

dengan adanya Rumah Lidi Handicraft bisa menampung calon pekerja dari kaum

difabel, khususnya penyandang tuna daksa yang memang membutuhkan pekerjaan.

Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa para pencari kerja bukan difabel pun bisa

diterima untuk bekerja di industri kerajinan ini.

Secara spesifik, industri kerajinan ini bergerak di bidang usaha pembuatan tas

dan perlengkapan rumah tangga lainnya dari bahan baku utama lidi, yang mana bahan

baku lidi didatangkan langsung dari Jawa Barat dan Lampung sebagai daerah pemasok

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

5

utama bahan baku. Hingga kini, pemasarannya tidak hanya di Surakarta, Yogyakarta,

dan sekitarnya, namun sudah merambah sampai Palembang, Batam, Bali, Kalimantan,

dan Sulawesi. Walaupun usahanya masih berskala kecil, namun sangat menarik jika

diteliti karena Rumah Lidi Handicraft seolah-olah menjadi “penyelamat” kehidupan

perekonomian, khususnya bagi kaum penyandang tuna daksa ditengah sulitnya

mencari pekerjaan. Kehadirannya sebagai sektor lapangan kerja informal memiliki arti

strategis sebagai katup pengaman pengangguran, terutama bagi para pekerja

penyandang tuna daksa.

Jika dihubungkan dengan konsep kerja layak, Organisasi Buruh Internasional

(ILO) sebagai badan Perserikatan Bangsa-Bangsa tengah aktif mempromosikan

standar kerja layak. Mengingat saat ini potensi ekonomi Indonesia dengan pasar

domestik tengah menjadi daya tarik utama bagi investor global. Globalisasi membuat

persaingan di pasar kerja semakin ketat dan berakibat meningkatkan tekanan terhadap

pekerja domestik. Imbasnya, penguatan pasar kerja domestik pun menjadi satu

kebutuhan. Penciptaan lapangan kerja inklusif, hubungan industrial yang harmonis,

dan perlindungan sosial sebagai bentuk program pekerjaan layak nasional semestinya

dapat diwujudkan.

Konsep kerja layak sering dimaknai berbeda oleh para pekerja di masing-masing

sektor lapangan pekerjaan dimana mereka bekerja. Tidak terkecuali dengan yang

dialami pekerja penyandang tuna daksa di sektor industri kerajinan. Mereka berhak

menilai apakah kondisi kerja yang diterima telah memenuhi indikator kelayakan kerja

sesuai dengan pemahaman mereka mengenai konsep kerja layak. Hal inilah yang

mendasari peneliti untuk memilih judul penelitian: “Pemaknaan Kerja Layak Oleh

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

6

Pekerja Penyandang Tuna Daksa di Industri Kerajinan Rumah Lidi Handicraft

Semanggi, Pasar Kliwon, Surakarta.”

1. Orisinalitas

Pertanyaan yang muncul dari kondisi ini adalah bagaimanakah para pekerja

penyandang tuna daksa memaknai kerja layak itu sendiri. Kondisi lingkungan kerja

yang seringkali tidak memenuhi standar kenyamanan pekerja tentunya sangat

bertentangan dengan hakikat kerja layak yang telah ditetapkan. Maka dari itu perlu

dilakukan penelitian yang mendalam terkait dengan pemaknaan kerja layak oleh

pekerja penyandang tuna daksa, mengingat setiap orang memiliki pemahaman yang

berbeda mengenai konsep tersebut. Terlebih jika membandingkan pemahaman konsep

kerja layak antara pekerja “normal” dengan yang memiliki keterbatasan fisik.

Perbedaannya pun pasti akan sangat menyolok. Bisa jadi pekerja dengan kondisi

normal menilai suatu kondisi kerja yang diterima sudah dirasakan layak. Namun, di

sisi lain kondisi tersebut belum tentu dapat dikatakan telah memenuhi standar

kelayakan kerja sesuai dengan yang diharapkan pekerja penyandang tuna daksa.

Terkait dengan orisinalitas penelitian, sejauh ini sudah banyak penelitian yang

dilakukan, khususnya yang mengangkat tema kaum difabel. Misalnya, penelitian yang

dilakukan oleh Dodi Taresa (2006), Fisipol UGM, Jurusan Ilmu Sosiatri, yang

berjudul “Eksistensi Penyandang Cacat dalam Masyarakat (Persepsi Masyarakat

Terhadap Penyandang Autis)“ yang dilakukan di Yogyakarta. Fokus penelitian ini

menekankan pada masalah mengenai kecacatan itu sendiri, mengenai penyandang

autis beserta sosialisasi mereka dan juga masalah-masalah yang mungkin timbul.

Masalah yang lebih spesifik adalah mengenai persepsi masyarakat tentang penyandang

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

7

cacat yang mempengaruhi eksistensi penyandang cacat dalam menjalani kehidupannya

dalam bermasyarakat, sehingga sudah sangat berbeda dengan fokus kajian peneliti

yang mengangkat isu pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa.

Selanjutnya, penelitian Marlina Nur Hayati yang berjudul “Efektifitas Rehabilitasi

Penyandang Cacat dalam Usahanya Meningkatkan Kemandirian Bagi Para

Penyandang Cacat: Studi Kasus Tentang Upaya Peningkatan Keterampilan di Pusat

Rehabilitasi Yakkum di Desa Besi, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah

Istimewa Yogyakarta.” Sudah sangat jelas bahwa fokus penelitiannya adalah tentang

seberapa efektif upaya rehabilitasi dalam meningkatkan kemandirian para penyandang

cacat. Selain itu, penelitian lain adalah karya Puraneori Sukma Sakti yang berjudul

“Kerja Layak dalam Perspektif Penyandang Cacat Tuna Daksa di Industri Kerajinan:

Studi Pemaknaan Kerja Layak oleh Pekerja Penyandang Cacat Tuna Daksa di Mandiri

Craft, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.”

Dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah disebutkan,

penelitian ini memiliki kesamaan fokus kajian, dimana meneliti tentang pemberian

makna kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa di lingkup industri kerajinan.

Yang berbeda adalah lokasi penelitian, dimana penelitian sebelumnya mengambil

lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan peneliti memilih lokasi di

Surakarta. Perbedaan lainnya adalah asal mula berdirinya industri kerajinan, dimana

Mandiri Craft didirikan oleh komunitas penyandang tuna daksa dan perekrutan pekerja

didasarkan dari kalangan penyandang tuna daksa pula. Sedangkan Rumah Lidi

Handicraft yang tergolong dalam jenis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

tidak hanya memperkerjakan penyandang tuna daksa semata, namun juga dari pekerja

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

8

yang memiliki kelengkapan fisik, bahkan anak-anak jalanan pun pernah direkrut untuk

bekerja di sana. Jadi, sifat perekrutan kerjanya lebih terbuka untuk umum. Pendirinya

pun bukan berasal dari kelompok difabel. Perbedaan lainnya adalah para pekerja

penyandang tuna daksa di Rumah Lidi Handicraft tidak diharuskan bekerja di pabrik,

akan tetapi diperkenankan bekerja di rumah masing-masing. Walaupun pekerjanya

terdiri dari kaum penyandang tuna daksa dan pekerja “normal”, namun peneliti

membatasi obyek penelitian dengan hanya mengambil para pekerja penyandang tuna

daksa sebagai unit analisa utama.

Walaupun tema dan obyek kajian sama dengan penelitian sebelumnya, namun

pertimbangan peneliti untuk memilih fokus kajian tersebut adalah pemahaman dan

pemberian makna kerja layak yang berbeda oleh pekerja penyandang tuna daksa. Hasil

penelitian sebelumnya mengatakan bahwa kondisi kerja layak di lokasi penelitian

belum sesuai dengan harapan pekerja. Hal ini terlihat dari pemberian upah yang

rendah, sistem perekrutan calon pekerja yang seringkali masih menggunakan sistem

kekerabatan, dan temuan lapangan tentang aspirasi pekerja yang tidak tersalurkan

karena tidak adanya serikat pekerja. Walaupun esensi temuan lapangan peneliti

nyatanya hampir sama dengan hasil temuan pada penelitian sebelumnya, namun hal ini

tidak mengurangi tujuan awal peneliti untuk mengkaji mengenai pemaknaan kerja

layak oleh pekerja penyandang tuna daksa. Hal ini justru dapat memberikan

kesimpulan terkait pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa yang

bekerja di industri kerajinan. Selain itu, hasil penelitian juga diharapkan dapat

memberi tambahan referensi terkait pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang

tuna daksa bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang mengangkat tema serupa.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

9

2. Keterkaitan dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan sebuah jurusan yang

dikembangkan sebagai jawaban atas tuntutan-tuntutan sosial untuk menjawab

permasalahan-permasalahan sosial, dimana fokus kajiannya berkaitan dengan

pembangunan sosial dan kebijakan sosial yang tujuannya untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnya, konsep pembangunan sosial adalah suatu

usaha untuk menciptakan hubungan yang seimbang antara sumber daya hidup

(resources) dengan kebutuhan hidup masyarakat (needs), sehingga kesejahteraan

masyarakat dapat tercapai.

Ada 3 konsentrasi yang dipelajari di dalam jurusan ini, yakni kebijakan sosial

(Social Policy), Corporate Social Responsibility (CSR), dan pemberdayaan masyarakat

(Community Empowerment). Jika dihubungkan dengan fokus judul penelitian, maka

pemberdayaan masyarakat menjadi tema besar dalam penelitian ini. Mengingat

penyelenggaraan Rumah Lidi Handicraft tidak lepas dari tujuan guna menaungi

sebagian besar pekerja penyandang tuna daksa untuk memberdayakan mereka dalam

bidang ekonomi. Dan isu kelayakan kerja menarik untuk diperbincangkan mengingat

bentuk kegiatan pemberdayaan yang dilakukan mengarah pada sektor ekonomi

informal yang berorientasi profit.

Berangkat dari konsep pemberdayaan yang menyatakan bahwa tujuan utama

pemberdayaan adalah mengubah kondisi masyarakat dari yang sebelumnya kurang

bahkan tidak berdaya (powerless) menuju ke suatu kondisi yang lebih berdaya

(powerfull), maka sangat sesuai dengan fokus penelitian karena obyek utama

penelitian adalah pekerja penyandang tuna daksa. Penyandang tuna daksa yang sangat

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

10

rentan terhadap permasalahan sosial yang mungkin terjadi saat berinteraksi dengan

lingkungan sosialnya diharapkan menjadi lebih berdaya dan memiliki kapasitas serta

kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan hadirnya Rumah Lidi

Handicraft. Menurut peneliti, penelitian tentang pemaknaan kerja layak oleh pekerja

penyandang tuna daksa perlu dilakukan terlebih dahulu agar penerapan prinsip-prinsip

kerja layak benar-benar sesuai dengan harapan, keinginan, dan kondisi pekerja,

terutama pekerja penyandang tuna daksa.

3. Aktualitas

Kelayakan kerja menjadi salah satu isu sentral dalam upaya penciptaan

hubungan kerja yang saling menguntungkan antara pekerja dengan majikan. Kerja

layak yang sering berjalan beriringan dengan isu jaminan sosial merupakan bentuk

perlindungan sosial yang harus didapatkan masyarakat, termasuk pekerja. Aksi unjuk

rasa pekerja yang kerap terjadi selama ini mengindikasikan bahwa

pengimplementasian prinsip-prinsip kerja layak, seperti kesetaraan kesempatan dalam

mendapatkan lapangan kerja, pemenuhan upah yang sesuai standar ketentuan,

hubungan kerja yang harmonis antara pekerja dengan majikan, serta penciptaan

perlindungan sosial bagi pekerja belum diterapkan secara maksimal.

Belum lama ini Organisasi Buruh Internasional (ILO), pemerintah, Asosiasi

Pengusaha Indonesia (Apindo), dan pimpinan serikat buruh meluncurkan Program

Pekerjaan Layak untuk Indonesia periode 2012-2015 yang menekankan penciptaan

lapangan kerja inklusif, hubungan industrial yang harmonis, serta penciptaan

perlindungan sosial. Tidak terkecuali bagi penyandang tuna daksa yang sama-sama

berhak memperoleh pekerjaan yang layak. Berbagai aksi unjuk rasa yang menuntut

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

11

persamaan hak untuk memperoleh kelayakan kerja bagi penyandang tuna daksa akhir-

akhir ini sering dijumpai di berbagai daerah. Hal ini merupakan wujud ketidakpuasan

pekerja terkait penerapan kerja layak yang kurang sesuai dengan kondisi pekerja di

tempat kerja.

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat menjawab indikator-

indikator kerja layak yang bagaimanakah yang sesuai dengan karakteristik pekerja di

Indonesia sebagai negara berkembang. Pemaknaan kerja layak oleh pekerja

penyandang tuna daksa menjadi langkah awal untuk memahami lebih detail tentang

kondisi kerja yang diharapkan. Perolehan hasil penelitian yang memaparkan

pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa diharapkan bisa dijadikan

rumusan awal terkait dengan pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan prinsip-

prinsip kerja layak.

B. Latar Belakang Masalah

Saat ini, isu kerja layak (Decent Work) marak diperbincangkan banyak pihak

setelah makin kompleksnya permasalahan yang terjadi dalam dunia kerja. Kondisi

kerja yang dianggap tidak layak oleh para pekerja tidak jarang membuahkan aksi

unjuk rasa yang saat ini sering dijumpai di berbagai daerah. Padahal, kelayakan kerja

sudah menjadi agenda utama ILO yang dinilai sudah cukup memperhatikan masalah

kelayakan kerja. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana

pihak pemberi lapangan kerja menerapkan prinsip-prinsip kerja layak sesuai dengan

yang telah diagendakan ILO tersebut.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

12

Minimnya jumlah lapangan kerja yang tersedia yang tidak mampu menampung

semua pencari kerja menjadi salah satu pemicu perlakuan sewenang-wenang majikan

terhadap pekerja. Kondisi ini sepintas mengindikasikan bahwa majikan sebagai

penyedia lapangan kerja selalu berada di posisi yang lebih diunggulkan, sehingga

selalu menjadi pihak yang dibutuhkan para pencari kerja. Akibatnya adalah muncul

eksploitasi tenaga kerja demi profit sebesar-besarnya yang kerapkali kurang

memperhatikan prinsip-prinsip kerja layak bagi para pekerjanya. Di sisi lain,

kurangnya jumlah lapangan kerja yang tersedia mengakibatkan membludaknya jumlah

pengangguran di Indonesia. Walaupun data yang tersedia saat ini menunjukkan bahwa

angka pengangguran di Indonesia menurun, namun jumlahnya masih cukup besar.

Menurut data Bappenas tahun 2012, jumlah pengangguran di triwulan III-12

berkurang sebanyak 460 ribu, dari 7,70 juta pada tahun 2011 menjadi 7,24 juta orang

sampai bulan Agustus 2012. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurun dari

6,56% (2011) menjadi 6,14% (2012). Menurunnya TPT diikuti dengan membaiknya

kesempatan kerja formal, yang bertambah sebanyak 2,67 juta dan kesempatan kerja

informal berkurang 1,54 juta. Tingkat pengangguran usia muda di tiap jenjang

pendidikan juga mengalami penurunan. Seperti diketahui bahwa pada tahun 2001-

2005, daya serap kesempatan kerja baru jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan

jumlah angkatan kerja baru, sehingga jumlah pengangguran meningkat. Baru pada

tahun 2006 mulai menunjukkan perbaikan, dan hingga tahun 2012, kesempatan kerja

baru lebih besar daripada jumlah angkatan kerja baru, sehingga jumlah pengangguran

terbuka menurun dengan tingkat 6,14%. Walaupun TPT usia muda sudah menurun,

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

13

namun jumlahnya masih terlampau besar, yaitu lebih dari 5,3 juta, sehingga mimpi

untuk meraih kesejahteraan masih dirasa sulit untuk dicapai.

Grafik 1.1

TPT Usia Muda Tahun 2005-2012

Sumber: data Bappenas, 2005-2012

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

14

Bagan 1.1

Jumlah Penganggur Usia Muda Menurut Tingkat Pendidikan

Sumber: data Bappenas, 2007-2012

Walaupun perolehan data di atas secara sepintas mengindikasikan bahwa

jumlah pengangguran dari rentang tahun 2007 ke tahun 2012 menurun, namun

pemerataan kesempatan kerja untuk semua belum terealisasi dengan baik. Rendahnya

tingkat pendidikan serta tidak meratanya sektor lapangan pekerjaan yang diminati

menjadi salah satu faktor penyebab ketidakmerataan kesempatan kerja. Tingginya

persentase jumlah penganggur berpendidikan SD dan SMP menunjukkan fenomena

penganggur usia muda didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. Tren

peralihan pekerja dari sektor informal ke sektor formal juga berdampak pada

ketidakmerataan sektor lapangan kerja yang dimasuki. Sehingga, syarat masuk kerja

ke sektor formal pun jauh lebih ketat. Akibatnya, jumlah pengangguran semakin

membludak.

0

500

1000

1500

2000

2500

SD SMP SMA SMK Diploma Universitas

2007

2012

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

15

Sebagaimana telah diketahui bahwa negara telah mengatur pemerataan

kesempatan kerja bagi semua dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “tiap-

tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan” dan pasal 28D ayat 2 yang berbunyi “setiap orang berhak untuk bekerja

serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja,” isu

Decent Work seakan-akan menjadi isu sentral saat berbicara tentang ketenagakerjaan.

Decent Work juga telah menjadi salah satu prioritas agenda kerja ILO. Menurutnya,

agenda pekerjaan layak perlu diterapkan di berbagai negara dalam upaya penciptaan

kondisi kerja yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak, yaitu majikan dan

pekerja atau buruh.

Agenda kerja layak merupakan pendekatan terpadu untuk mengejar tujuan

pekerjaan penuh dan produktif serta pekerjaan yang layak untuk semua pada tingkat

global, regional, nasional, dan lokal. Dalam hal ini, tujuan pekerjaan penuh dan

produktif memiliki pengertian pencapaian target pemenuhan barang dan jasa sebagai

hasil produksi yang bermutu dan berkualitas. Sedangkan pekerjaan yang layak untuk

semua berkaitan dengan pemenuhan hak-hak pekerja selama bekerja sesuai prinsip-

prinsip kelayakan kerja. Pemenuhan kelayakan kerja mencakup kesetaraan dalam

memperoleh kesempatan kerja, pemberian hak-hak di tempat kerja, perlindungan

sosial, pemberian upah, dan dialog sosial (ILO Decent Work Agenda, 2011).

Berbicara mengenai kemajemukan pekerja di Indonesia, pekerja dapat

dikategorikan menjadi pekerja yang memiliki kelengkapan fisik (pekerja normal) dan

pekerja yang memiliki keterbatasan fisik (pekerja difabel). Jika dikaitkan dengan

kesetaraan dalam mendapatkan pekerjaan, kaum difabel pun semestinya mempunyai

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

16

kesempatan yang sama untuk memperoleh kesempatan kerja. Karena selain yang

utama untuk memenuhi kebutuhan hidup, bekerja juga dijadikan sebagai penentu

identitas seseorang dalam masyarakat. Orang yang bekerja tentunya lebih dihargai

daripada yang tidak bekerja. Sesuai dengan kutipan sebagai berikut, ”setiap hari kita

selalu diingatkan bahwa kerja, bagi semua orang, menentukan eksistensi dari manusia

tersebut. Kerja adalah cara untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dasar.

Namun, kerja juga merupakan kegiatan dimana individual mengakui identitas mereka,

baik untuk diri mereka sendiri dan orang-orang di sekeliling mereka. Hal ini

sangatlah penting bagi diri mereka, kesejahteraan keluarga, dan stabilitas

masyarakat” (Somavia, ILO Director General, June 2001).

Selama ini, masih banyak kaum difabel yang mengalami kesulitan dalam

mendapatkan kesempatan kerja. Perekrutan tenaga kerja difabel seolah-olah masih

menjadi hal langka dalam dunia kerja. Keterbatasan fisik dijadikan alasan utama

mengapa kaum difabel seringkali disingkiri oleh pihak penyedia kerja. Walaupun

dalam kenyataannya tidak jarang ditemui kaum difabel yang justru memiliki potensi

diri di atas rata-rata pekerja “normal”. Namun, kemampuan dan potensi tersebut

seringkali tertutupi oleh keterbatasan fisik yang dimiliki.

WHO memperkirakan sekitar 15% dari populasi dunia (7 miliar jiwa)

hidup dengan berbagai bentuk keterbatasan fisik, dimana 2-4% diantaranya mengalami

kesulitan dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Perkiraan jumlah kaum difabel di

seluruh dunia ini meningkat karena menuanya populasi dunia dan penyebaran penyakit

kronis yang cukup cepat, serta peningkatan dalam metodologi yang digunakan untuk

mengukur derajat ketidakmampuan fisik. Meskipun banyak diantara mereka yang

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

17

bekerja dan mampu berbaur dengan masyarakat, namun kebanyakan dari kaum difabel

masih hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih terperinci lagi, jumlah difabel di

Indonesia menunjukkan angka yang cukup signifikan.

Tabel 1.1

Jumlah Penyandang Difabel di Beberapa Provinsi Tahun 2011

Provinsi Jumlah

Jawa Barat 130.324

Jawa Tengah 236.304

DI Yogyakarta 30.887

Jawa Timur 179.344

Bali 18.861

Sulawesi Selatan 82.170

Sumber: Data Kemensos RI, 2011

Di samping Jawa Barat dan Jawa Timur, Jawa Tengah ternyata juga memiliki

jumlah difabel cukup tinggi. Tingginya angka difabel tersebut turut mempengaruhi

tingginya angka pengangguran dari kalangan difabel, tidak terkecuali yang terjadi di

Surakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar kaum difabel sulit untuk

memperoleh pekerjaan, dan yang terjadi pada akhirnya adalah sebagian besar dari

mereka hanya bekerja serabutan untuk tetap dapat menyambung hidup. Ironisnya,

sebagian besar dari mereka yang berkeluarga sudah memiliki anak yang tidak jarang

dari mereka tidak bersekolah atau putus sekolah lantaran ketiadaan biaya.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

18

Sebenarnya tidak sedikit dari kaum difabel yang memiliki keterampilan dan

kemampuan kendati memiliki keterbatasan fisik. Keterampilan dan kemampuan

tersebut seringkali didapat dari sebuah panti atau pusat rehabilitasi yang ada di

Surakarta. Namun, di sisi lain, tidak banyak lapangan pekerjaan yang membutuhkan

tenaga mereka sehingga tidak jarang sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk

mengemis atau mengamen di jalanan (Solopos, 17 Mei 2011).

Tabel 1.2

Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Tahun 2007

Kota Surakarta

No Jenis PMKS – Difabel Laki-Laki Perempuan

1 Tuna Daksa 337 205

2 Tuna Rungu Wicara 115 99

3 Tuna Netra 124 139

4 Tuna Mental Raterdasi 109 95

5 Tuna Mental Eks Psikotik 141 104

6 Tuna Ganda 54 33

7 Tuna Bibir Sumbing 17 14

Total 897 689

Sumber: Dinsosnaker Kota Surakarta, 2007

Dominasi penyandang tuna daksa dibanding dengan penyandang jenis difabel

lainnya turut mempersulit kesempatan memasuki sektor lapangan kerja. Terlebih lagi

pada sektor lapangan kerja formal yang kurang begitu berminat merekrut pekerja

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

19

difabel. Hal ini tentu mengakibatkan kurang terserapnya tenaga kerja penyandang

difabel secara optimal. Bahkan sebagian besar dari mereka hanya sebagai

pengangguran. Tingginya jumlah pengangguran kaum difabel di berbagai wilayah di

Indonesia menunjukkan bahwa pemerataan kesempatan kerja belum cukup dinikmati

oleh semua kalangan difabel. Kesetaraan dalam memperoleh pekerjaan bagi kaum

difabel seakan dirasa masih sulit didapat padahal telah banyak peraturan dan undang-

undang yang dibuat pemerintah untuk menangani persoalan tersebut. Kemajuan yang

ditunjukkan Indonesia dalam melibatkan kaum difabel dapat dilihat dari upaya negara

saat menandatangani Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau

United Nation Convention on the Rights of Person with Disabilities (UNCRPD) dan

pembuatan Rencana Aksi Nasional untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bagi

difabel di Indonesia (2004-2013), serta meratifikasi Konvensi ILO No. 111 Mengenai

Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan). Langkah awal untuk meratifikasi Konvensi ILO

No. 159 mengenai Rehabilitasi dan Pelatihan Keterampilan bagi Penyandang

Disabilitas juga telah dilakukan.

Namun kenyataannya, akses pilihan pekerjaan untuk kaum difabel masih

belum dapat terealisasikan. Padahal Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang

Disabilitas atau United Nation Convention on the Rights of Person with Disabilities

(UNCRPD) tahun 2007 telah bertujuan untuk mempromosikan, melindungi, dan

memastikan para difabel dapat menikmati secara penuh dan setara semua hak asasi

manusia dan kebebasan fundamental serta mempromosikan penghargaan terhadap

harkat dan martabat kaum difabel. Konvensi ini menandai sebuah pergeseran

paradigma dalam perilaku dan pendekatan terhadap difabel. Kaum difabel tidak dilihat

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

20

sebagai obyek kegiatan amal, perlakuan medis, dan perlindungan sosial, namun dilihat

sebagai manusia yang memiliki hak yang mampu mendapatkan hak-hak itu serta

membuat keputusan terhadap hidup mereka sesuai dengan keinginan dan ijin yang

mereka berikan seperti halnya anggota masyarakat lainnya.

Selain berpedoman pada Konvensi ILO, Indonesia juga telah mengatur hak-hak

bagi kaum difabel dalam memperoleh kesempatan kerja. Seperti yang tercantum

dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1997 Mengenai Hak-Hak Penyandang

Disabilitas, Pasal 5 yang berbunyi “Setiap warga penyandang cacat mempunyai hak

dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.” Dalam

hal ini, aspek yang dimaksud meliputi aspek agama, kesehatan, pendidikan, sosial,

ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan

keamanan, olahraga, rekreasi, dan informasi. Dari kutipan pasal tersebut sudah jelas

tersirat bahwa kaum difabel memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya dalam

segala aspek kehidupan tanpa terkecuali, termasuk ketenagakerjaan. Penyandang

disabilitas memiliki kesamaan kesempatan untuk mendapat pekerjaan, sesuai dengan

jenis dan derajat kecacatannya. Pernyataan ini lebih tegas lagi diperkuat dalam Pasal

14 Undang-Undang No.4 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa “Perusahaan negara

dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang

cacat di perusahaannya, dan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya, pendidikan

dan kemampuannya yang jumlahnya sesuai dengan jumlah karyawan dan atau

kualifikasi perusahaan.” Lebih lanjut, pasal ini menjelaskan bahwa perusahaan

berkewajiban untuk memperkerjakan sedikitnya 1 orang penyandang cacat yang

memenuhi syarat dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan untuk setiap 100 orang

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

21

karyawan. Dari penjelasan tersebut sudah jelas terlihat bahwa siapapun berhak

memperoleh kesempatan kerja sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, tak

terkecuali bagi kaum difabel.

Tabel 1.3

Jumlah Tenaga Kerja Difabel Tahun 2010

No Jenis PMKS-Difabel Jumlah

1 Tuna Netra 2.137.923

2 Tuna Daksa 1.852.866

3 Tuna Rungu 1.567.810

4 Tuna Mental 712.641

5 Tuna Kronis 855.169

Total 7.126.409

Sumber: Data Kemenakertrans, 2010

Negara juga telah memberikan sanksi yang tegas sebagaimana telah diatur

dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 berupa kurungan maksimal enam

bulan atau denda maksimal Rp. 200 juta bagi yang melanggar pasal tersebut. Hal ini

cukup mengindikasikan bahwa difabel juga memiliki hak yang sama dalam

memperoleh pekerjaan. Pemberlakuan sanksi tersebut ditujukan sebagai upaya

antisipasi terjadinya diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan bagi semua kalangan

masyarakat.

Jika dipelajari lebih jauh, sebenarnya terdapat berbagai kendala dan hambatan

bagi kaum difabel dalam mengakses lapangan pekerjaan. Hambatan tersebut dapat

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

22

berasal dari dalam diri difabel (faktor internal) dan dari luar diri difabel (faktor

eksternal). Faktor internal berarti hambatan tersebut berasal dari dalam diri difabel

sendiri, seperti rasa tidak percaya diri yang berlebihan saat bersaing untuk

mendapatkan kesempatan kerja dengan orang “normal” maupun sikap pasrah dan

tergantung belas kasihan orang lain. Hal inilah yang menyebabkan kaum difabel sulit

berkembang dalam rangka mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik.

Sedangkan faktor eksternal dapat berupa minimnya kesempatan kerja yang tersedia

bagi kaum difabel, sehingga mengalami kesulitan dalam mengakses pekerjaan.

Kaum difabel yang memiliki keterbatasan fisik sudah semestinya mendapat

perlindungan dari semua pihak. Hanya untuk bertahan hidup pun terasa sulit karena

sebagian besar penyedia lapangan pekerjaan tidak bersedia memperkerjakan mereka.

Oleh karena itu, berdirilah salah satu sektor informal yang bergerak di industri

kerajinan yang dinamai Rumah Lidi Handicraft. Industri kerajinan ini berdiri pada

tahun 2010 dan bergerak di bidang usaha pembuatan tas dan perlengkapan rumah

tangga lainnya, seperti taplak meja, tempat tissu, tempat lampu hias, boks dokumen,

kaligrafi, dan lain sebagainya yang berbahan baku lidi. Awalnya, industri kerajinan ini

bernama Arsy Handicraft. Namun, untuk alasan agar lebih komersial dan lebih

menarik minat konsumen melalui namanya, maka industri kerajinan ini berganti nama

menjadi Rumah Lidi Handicraft. Head Office industri kerajinan ini beralamat di Jalan

Kyai Mojo No.4 RT 04 RW 23 Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota

Surakarta. Sedangkan kegiatan industri dilakukan di tempat berbeda, yaitu dengan

menyewa salah satu tempat di Jalan Sampangan RT 03 RW 22 Semanggi, Pasar

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

23

Kliwon, Surakarta. Hal ini dilakukan karena keterbatasan ruang dan lahan di Head

Office.

Bapak Syahrir Rozie selaku pemilik dan pimpinan Rumah Lidi Handicraft

merasa prihatin terhadap nasib kaum difabel, terutama penyandang tuna daksa yang

jumlahnya lebih dominan dibandingkan dengan jenis penyandang tuna lainnya yang

sulit mendapatkan pekerjaan. Sektor UMKM ini tidak hanya memperkerjakan

penyandang tuna daksa saja, namun pekerja dengan kondisi “normal” pun

diperkenankan bekerja. Bahkan, anak-anak jalanan juga diperbolehkan bekerja di sana.

Uniknya, pekerja dari kalangan penyandang tuna daksa diperbolehkan bekerja di

rumah masing-masing. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pekerja penyandang

tuna daksa dalam bekerja. Untuk masalah pengantaran bahan baku pembuatan produk

kerajinan dan penjemputan hasil produk, pihak Rumah Lidi Handicraft sendiri yang

melakukan antar jemput ke rumah pekerja penyandang tuna daksa. Sehingga, para

pekerja penyandang tuna daksa tidak merasa kerepotan dan terbantu dalam melakukan

aktivitas kerjanya karena sudah cukup difasilitasi oleh pihak Rumah Lidi Handicraft.

Kehadiran Rumah Lidi Handicraft sebagai salah satu jenis UMKM mampu

sedikit membantu permasalahan ekonomi yang dialami penyandang tuna daksa pada

umumnya. Di samping bermotif ekonomi, penyelenggaraan industri kerajinan ini tidak

terlepas dari motif sosial. Rumah Lidi Handicraft merupakan salah satu sektor

informal yang berperan sebagai katup pengaman pengangguran bagi penyandang tuna

daksa.

Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki pertumbuhan penduduk

cukup tinggi tentunya berbanding lurus dengan peningkatan pertambahan jumlah

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

24

angkatan kerja. Persoalan krusial sampai saat ini adalah tidak sebandingnya jumlah

lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah angkatan kerja, sehingga jumlah

pengangguran membludak. Peran sektor informal disini adalah sebagai salah satu

alternatif penyedia lapangan kerja yang menampung tenaga kerja tanpa membutuhkan

persyaratan-persyaratan tertentu yang seringkali menyulitkan para pencari kerja,

seperti yang diberlakukan di sektor formal, misalnya tingkat pendidikan dan

keterampilan kerja yang harus dan mutlak dipenuhi. Hal ini merupakan salah satu

faktor utama yang memudahkan para pencari kerja memasuki sektor informal dan

semakin mengukuhkan kehadirannya sebagai penyangga terhadap kelebihan jumlah

tenaga kerja, khususnya bagi para penyandang tuna daksa.

Pemberdayaan sektor informal di bidang UMKM merupakan bagian dari

pemberdayaan perekonomian rakyat guna pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.

Dalam beberapa hal, sektor informal lebih dapat beradaptasi dan tidak terganggu oleh

manajemen operasional yang kaku. Dalam periode krisis perekonomian nasional,

sektor informal yang bersifat adaptif dan lentur masih tetap dapat bertahan, bahkan

mampu mengembangkan peluang-peluang usaha dibandingkan dengan perusahaan-

perusahaan besar. Sektor informal mampu menjadi alternatif bagi pencari kerja di saat

sektor formal sulit dimasuki dan kesempatan mendapatkan pekerjaannya pun semakin

terbatas.

Hal senada terlihat pada fenomena pekerja penyandang tuna daksa yang lebih

mendapat tempat di sektor UMKM, yaitu Rumah Lidi Handicraft. Industri kerajinan

ini memfasilitasi dan menampung para pencari kerja, tidak terkecuali penyandang tuna

daksa yang dalam kenyataannya sulit memperoleh pekerjaan. Dengan bekerja, mereka

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

25

akan mendapatkan penghasilan yang dapat meningkatkan taraf hidup. Dan pada

akhirnya, diharapkan dapat memberikan kontribusi peningkatan pendapatan daerah

dan nasional. Melihat begitu vitalnya fungsi sektor usaha informal, maka semestinya

pemerintah mempunyai andil besar dalam upaya peningkatan jumlah dan eksistensi

sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di tengah semakin ketatnya

persaingan globalisasi yang mendunia.

Walaupun kemudahan bekerja sudah diperoleh para pekerja penyandang tuna

daksa di Rumah Lidi Handicraft, yaitu dengan sistem kerja di rumah masing-masing

pekerja penyandang tuna daksa, tentunya masih ada persoalan lain yang berhubungan

dengan kelayakan kerja, seperti sejauh mana pihak Rumah Lidi Handicraft

menerapkan prinsip-prinsip kerja layak sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang

telah ada. Penelitian yang memiliki fokus kajian mengenai perspektif pekerja

penyandang tuna daksa tentang makna kerja layak perlu dilakukan untuk mengetahui

seberapa jauh para pekerja penyandang tuna daksa memahami dan memaknai konsep

kerja layak, sehingga mereka mampu menilai apakah hak-hak yang semestinya mereka

terima sudah benar-benar didapat atau belum di industri kerajinan Rumah Lidi

Handicraft, tempat mereka bekerja.

Isu kerja layak telah menjadi salah satu sorotan utama bagi organisasi

internasional yang menangani bidang perburuhan dan tenaga kerja. Seperti yang telah

disinggung sebelumnya, pekerja difabel pun juga berhak menikmati kondisi kerja

layak selama bekerja. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua pekerja difabel

mendapatkan perlakuan yang baik dari majikannya. Banyak majikan yang masih

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

26

belum tahu bagaimana cara memperlakukan pekerjanya. Dan akhirnya yang timbul

adalah eksploitasi di tempat kerja.

Fenomena eksploitasi tenaga kerja yang saat ini seakan-akan telah menjadi

pemandangan biasa bagi semua orang tentunya dikarenakan adanya human error,

salah satunya adalah yang berasal dari majikan. Pemahaman yang minim terkait

pemenuhan kerja layak bagi pekerja menjadi faktor utama penyebab timbulnya

tindakan sewenang-wenang majikan terhadap para pekerjanya. Kurangnya

pemahaman tentang prinsip-prinsip kerja layak yang benar serta minimnya kesadaran

untuk menerapkan prinsip-prinsip kerja layak menjadikan eksploitasi kerja kian

menjamur dalam sebuah hubungan kerja.

Kerja layak yang tengah menjadi isu global nyatanya belum mampu dipahami

secara maksimal oleh semua pihak, baik majikan maupun pekerja. Jika berbicara dari

perspektif pekerja, terutama pekerja difabel, kurangnya pengetahuan terkait prinsip-

prinsip kerja layak seringkali menjadikan diri mereka tidak sadar akan eksploitasi

yang dilakukan oleh majikan mereka. Jika menilik pada Reader Kit ILO Tentang

Penanganan Pekerja Difabel di Tempat Kerja, pekerja difabel harus mendapat

perlakuan khusus melihat kondisi mereka yang sedikit berbeda dengan orang pada

umumnya. Dan seringkali yang terjadi di banyak lokasi kerja adalah prinsip-prinsip

kerja layak tersebut kurang dapat diimplementasikan oleh pihak penyelenggara kerja,

sehingga yang terjadi sebenarnya adalah kondisi kerja kurang layak. Namun, karena

minimnya pemahaman pekerja difabel tentang prinsip-prinsip tersebut, maka kondisi

kerja yang kurang layak tersebut seolah-olah telah dianggap layak oleh pekerja difabel

karena kurangnya pengetahuan tentang kerja layak bagi difabel.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

27

Oleh karena itu, peneliti mengambil fokus kajian pemaknaan kerja layak

pekerja difabel, khususnya pekerja penyandang tuna daksa karena ingin mengetahui

pemaknaan kerja layak dari perspektif pekerja penyandang tuna daksa. Dalam

memaknai kerja layak, terkadang terdapat pemahaman yang berbeda antara pihak

penyelenggara kerja dengan pekerja. Dan hal ini berpotensi menimbulkan

permasalahan di lokasi kerja jika tidak mengacu pada prinsip-prinsip kerja layak

seperti yang telah dirumuskan ILO. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberi

gambaran kondisi kerja, khususnya di sektor informal melalui fokus kajian pemaknaan

kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa. Sehingga, didapat indikator kerja

layak yang benar-benar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pekerja penyandang tuna

daksa yang bekerja di sektor informal.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa di

industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft?

2. Bagaimana kondisi kerja layak para pekerja penyandang tuna daksa di industri

kerajinan Rumah Lidi Handicraft?

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

28

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Penelitian

a. Tujuan operasional

Tujuan dilakukannya penelitian dengan fokus kajian mengenai pemaknaan

kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa ini adalah untuk memberikan

kontribusi bagi pengembangan ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, dimana

Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan telah lama mengkaji implementasi

kebijakan perlindungan sosial yang erat hubungannya dengan isu kerja layak di

samping perlindungan sosial dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat,

dalam hal ini adalah kesejahteraan para pekerja.

b. Tujuan substansial

Tujuan substansial dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil

pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa berdasarkan pada kondisi

kerja yang selama ini diperoleh di industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft,

Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta.

2. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan:

a. Dapat memberikan gambaran mengenai kondisi kerja para pekerja penyandang

tuna daksa di industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft, Semanggi, Pasar

Kliwon, Surakarta.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

29

b. Dapat mengetahui hasil pemaknaan oleh para pekerja penyandang tuna daksa

di industri kerajinan, sehingga akan didapat rumusan awal mengenai prinsip-

prinsip kerja layak yang benar-benar sesuai dengan kondisi para pekerja

penyandang tuna daksa.

c. Dapat memberi kontribusi positif bagi pemerintah sebagai pemegang kebijakan

dalam membuat regulasi terkait prinsip kerja layak yang benar-benar relevan

dengan kebutuhan para pekerja penyandang tuna daksa di lokasi kerja.

d. Dapat menjadi tambahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang

mengangkat tema serupa, yakni pemaknaan kerja layak oleh pekerja

penyandang tuna daksa di industri kerajinan.

E. Tinjauan Teoritik

1. Teori Interaksionisme Simbolik

George Herbert Mead mengembangkan teori atau konsep interaksionisme

simbolik yang intinya adalah bahwa dalam interaksionisme simbolik, sebuah simbol

menjadi ide dasarnya. Simbol merupakan konsep yang membedakan antara manusia

dengan binatang. Simbol dapat diartikan sebagai media yang terbangun dari sebuah

interaksi yang dapat mempengaruhi respon (tanggapan). Simbol ini muncul akibat dari

kebutuhan setiap individu untuk berinteraksi dengan orang lain. Dalam proses

interaksi tersebut pasti ada suatu tindakan yang diawali dengan pemikiran. Mead

berpendapat bahwa bukan pikiran yang pertama kali muncul, melainkan

masyarakatlah yang terlebih dulu muncul dan baru diikuti pemikiran yang muncul

dalam diri masyarakat tersebut.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

30

Analisa Mead mencerminkan fakta bahwa masyarakat atau yang lebih umum

disebut kehidupan sosial menempati prioritas dalam analisanya. Individu yang berpikir

dan sadar diri tidak mungkin ada sebelum kelompok sosial. Kelompok sosial hadir

lebih dulu dan mengarah pada perkembangan kondisi mental sadar diri. Begitu pula

yang terjadi dalam industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft. Kelompok sosial yang

dimaksud merupakan kelompok pekerja, khususnya pekerja penyandang tuna daksa

yang bekerja di tempat yang sama, yaitu di Rumah Lidi Handicraft yang selanjutnya

akan mampu berpikir dan memberi makna terkait kerja layak berdasarkan kondisi

kerja yang selama ini mereka peroleh.

Interaksionisme simbolik tertarik bagaimana manusia menggunakan simbol-

simbol yang merepresentasikan apa yang dimaksudkan untuk berkomunikasi dengan

sesamanya dan juga pengaruh yang ditimbulkan atas penafsiran simbol-simbol

tersebut terhadap perilaku yang terlihat dalam interaksi. Orang menciptakan makna

bersama melalui interaksinya, dan bagi mereka makna itulah yang menjadi realitanya

(Suyanto & Sutinah, 2004: 180). Dalam teori ini, manusia berinteraksi dengan yang

lain dengan cara menyampaikan simbol, dan yang lain memberi makna atas simbol

tersebut. Makna merupakan produk dari interaksi sosial, karena itu makna tidak

melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan dalam penggunaan bahasa.

Pada dasarnya, simbol merupakan hal yang penting dalam interaksi antar

individu. Simbol dalam dunia kerja, seperti yang ada di Rumah Lidi Handicraft adalah

segala bentuk perlakuan serta hubungan yang terjalin antara majikan dengan pekerja.

Simbol tersebut dapat berupa pemenuhan fasilitas kerja, pemberian upah, hubungan

yang terjalin di tempat kerja, serta kondisi yang nampak di Rumah Lidi Handicraft.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

31

Simbol-simbol tersebut akan dapat dimaknai oleh pekerja, terutama pekerja

penyandang tuna daksa dalam kaitannya dengan perwujudan kondisi kerja yang layak.

Sifat khas dari interaksionisme simbolik menunjuk kepada interaksi manusia.

Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan

tindakannya. Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan

orang lain, tetapi didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain

itu. Interaksi antar individu diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi,

atau dengan berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing.

Jadi, dalam proses interaksi manusia itu bukan suatu proses dimana adanya stimulus

secara otomatis dan langsung menimbulkan tanggapan atau respon, tetapi adanya

stimulus yang diterima dan direspon yang terjadi sesudahnya, diantarai oleh proses

interpretasi oleh aktor. Dan proses interpretasi inilah merupakan proses berpikir yang

merupakan kemampuan yang khas yang dimiliki manusia (Ritzer, 1980: 61).

Berangkat dari konsep di atas, penelitian dengan fokus pemaknaan kerja layak

oleh pekerja penyandang tuna daksa memiliki kemiripan dalam kerangka berpikir.

Pemaknaan kerja layak timbul karena adanya interaksi antara pekerja dengan kondisi

lingkungan tempat mereka bekerja. Interaksi tersebut menjadi faktor utama yang

mempengaruhi pemberian makna kerja layak berdasarkan penilaian dan pemahaman

subyektif pekerja penyandang tuna daksa. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya

bahwa interaksi antar individu yang diantarai oleh interpretasi yang pada akhirnya

menghasilkan respon, hal ini sesuai jika dianalogikan dengan tahap pemaknaan kerja

layak oleh pekerja penyandang tuna daksa. Mula-mula interaksi terbangun di lokasi

kerja. Interaksi dilakukan antar pekerja dengan pengurus Rumah Lidi Handicraft.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

32

Interaksi yang berlangsung seiring dengan berjalannya waktu tersebut tentu

meninggalkan kesan bagi pekerja dan pengurus di Rumah Lidi Handicraft. Kondisi

kerja yang dirasakan para pekerja tersebut tentunya sangat mempengaruhi hasil

pemaknaan kerja layak, terutama oleh pekerja penyandang tuna daksa. Sehingga, pada

tahap interpretasi inilah pemberian makna dilakukan oleh pekerja penyandang tuna

daksa berdasarkan kondisi kerja yang dirasakan selama bekerja di industri kerajinan.

Dan pada akhirnya, respon yang diberikan berupa penilaian apakah kondisi kerja layak

di Rumah Lidi Handicraft yang diharapkan oleh pekerja penyandang tuna daksa sudah

didapatkan atau belum.

Proses interpretasi yang menjadi penengah antara stimulus dengan respon

menempati posisi kunci dalam interaksionisme simbolik, terlebih jika fokus penelitian

yang dilakukan menekankan pada pemberian makna kerja layak oleh pekerja

penyandang tuna daksa. Sudah jelas bahwa proses interpretasi adalah proses berpikir

yang merupakan kemampuan yang khas yang dimiliki manusia. Begitu pula dengan

pemberian makna kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa yang cukup

membuktikan bahwa para pekerja penyandang tuna daksa memiliki kemampuan

berpikir untuk menanggapi kondisi kerja layak yang diperoleh dan dirasakan di lokasi

kerja.

Jika dikaitkan dengan kondisi di Rumah Lidi Handicraft, penyampaian simbol

yang menjadi inti pemikiran Mead terlihat di industri kerajinan Rumah Lidi

Handicraft. Di industri kerajinan ini, simbol diartikan sebagai bentuk perilaku dan

fenomena yang nampak dalam hubungan kerja di Rumah Lidi Handicraft, seperti

pemenuhan fasilitas kerja yang menunjang aktivitas bekerja, pemenuhan upah yang

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

33

memadai, maupun kondisi psikis kerja yang tercipta antara majikan dengan pekerja di

tempat kerja. Simbol inilah yang menjadi unsur utama penentu pemaknaan kerja layak

yang dilakukan oleh pekerja penyandang tuna daksa di industri kerajinan Rumah Lidi

Handicraft.

2. Pekerja Difabel (Different Ability Worker)

Sebagian besar orang menyebut kaum difabel dengan sebutan penyandang

cacat. Hingga saat ini pun, istilah penyandang cacat lebih sering digunakan dalam

masyarakat. Padahal, di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta),

cacat diartikan sebagai: (1) kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau

kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin, atau akhlak); (2) lecet

(kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang

sempurna); (3) cela atau aib; (4) tidak atau kurang sempurna. Kata cacat selalu

diasosiasikan dengan atribut-atribut yang negatif, sehingga istilah penyandang cacat

cenderung membentuk opini publik bahwa orang-orang yang hidup dengan kecacatan

patut dikasihani, tidak terhormat, tidak bermartabat, dan lain sebagainya. Hal tersebut

sangat bertentangan dengan tujuan Konvensi ILO yang mempromosikan

penghormatan atas martabat kaum difabel dan melindungi serta menjamin kesamaan

hak asasi mereka sebagai manusia.

Dalam The International Classification of Impairment, Disability and

Handicap, WHO mendefinisikan tiga aspek kecacatan, yaitu impairment, disability,

dan handicap. Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi

psikologis, fisiologis, atau anatomis (Any loss or abnormality of psychological,

physiological, or anatomical structure or function). Disability adalah suatu

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

34

keterbatasan atau kehilangan kemampuan (sebagai akibat dari suatu impairment)

untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang

normal bagi seorang manusia (Any restriction or lack resulting from an impairment of

ability to perform an activity in the manner or within the range considered normal for

a human being). Handicap adalah suatu kerugian, bagi seorang individu tertentu,

sebagai akibat dari suatu impairment atau disability, yang membatasi atau

menghambat terlaksananya suatu peran yang normal, tergantung pada usia, jenis

kelamin, faktor-faktor sosial atau budaya (A disadvantage, for a given individual,

resulting from an impairment or disability, that limits or prevents the fulfillment of a

rule that is normal, depending on age, sex, social and cultural factors). Definisi

tersebut menunjukkan bahwa disability hanyalah salah satu dari tiga aspek kecacatan

tersebut. Sementara impairment merupakan aspek kecacatan pada level organ tubuh,

dan handicap merupakan aspek yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak terkait

langsung dengan kecacatan, disability merupakan aspek kecacatan pada level

keberfungsian individu.

Lebih jelasnya, impairment merupakan kondisi kelainan, misalnya orang yang

mengalami gangguan indera atau kelainan tubuh atau mental. Akibat dari kelainan

tersebut, contohnya seseorang menjadi tidak bisa melihat atau mengalami kesulitan

dalam bergerak, sehingga mengalami apa yang disebut disability. Akan tetapi,

kelainan tersebut akan tertutupi bila menggunakan alat tertentu, sehingga orang

tersebut menjadi “normal” dan hanya dikatakan sebagai orang yang mengalami

“kelainan”, bukan disebut disability. Sedangkan handicap merupakan kondisi

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

35

seseorang yang terhalang berdasarkan impairment-nya, seperti tidak bisa mengakses

tangga gedung, dan lain sebagainya.

Tahun 2001 lalu, WHO telah merevisi konsep di atas dengan sebutan

International Classification of Functioning Disability and Health (ICF). Pada konsep

yang baru ini, impairment bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi fokus dalam

menilai keberfungsian kemampuan seseorang. Ada dua komponen utama yang perlu

dipelajari dalam memahami masalah penyandang disabilitas, yaitu functioning

(keberfungsian) dan disability (ketidakmampuan). Bagian pertama meliputi

keberfungsian badan atau anatomi dan struktur serta aktivitas dan partisipasi.

Sedangkan bagian kedua terdiri dari faktor-faktor kontekstual, seperti faktor

lingkungan dan faktor yang sifatnya personal.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat 1, penyandang

cacat didefinisikan sebagai “setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau

mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya

untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a) penyandang cacat fisik; b)

penyandang cacat mental; c) penyandang cacat fisik dan mental.” Macam-macam

kecacatan terdiri dari:

1) Cacat fisik, adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh,

antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara.

Yang termasuk dalam kriteria ini adalah: a) cacat kaki, b) cacat punggung, c)

cacat tangan, d) cacat jari, e) cacat leher, f) cacat netra, g) cacat rungu, h) cacat

wicara, i) cacat raba (rasa), j) cacat pembawaan.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

36

Cacat tubuh memiliki banyak istilah, salah satunya adalah tuna daksa. Kata

“tuna” berarti kurang atau rugi, sedangkan daksa berarti tubuh. Sehingga tuna daksa

ditujukan bagi mereka yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna. Cacat tubuh

dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Menurut sebab cacat adalah cacat sejak lahir dan cacat tidak sejak lahir,

disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau perang.

b. Menurut jenis cacatnya adalah putus (amputasi) tungkai dan lengan; cacat tulang,

sendi, otot pada tungkai dan lengan, cacat tulang punggung, celebral palsy, cacat

lain yang termasuk pada cacat tubuh orthopedi, paraplegia.

2) Cacat mental, adalah kelainan mental dan atau tingkah laku, baik cacat bawaan

maupun akibat dari penyakit, antara lain: a) retardasi mental, b) gangguan

psikiatrik fungsional, c) alkoholisme, d) gangguan mental organik dan epilepsi.

3) Cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis

kecacatan sekaligus (Demartoto, 2005: 10).

Ideologi kenormalan menyatakan bahwa seseorang disebut normal apabila

orang tersebut mempunyai organ tubuh lengkap dan berfungsi dengan baik. Seseorang

yang mengalami ketidakberfungsian organ tubuh, kehilangan salah satu atau lebih

organ yang dimilikinya, maka orang tersebut kerap disebut sebagai seorang yang tidak

normal. Ideologi kenormalan yang menganut paham kesempurnaan organ tubuh dan

berfungsi dengan baik ini sampai mengakar sedemikian kuat dalam alam pikir

manusia sampai sekarang karena cara pandang semacam ini sudah terlanjur

terkonstruksi ketika melihat orang mengalami cacat tubuh. Anggapan orang normal

yang menilai penyandang cacat sebagai kelompok lemah dan tidak berdaya secara

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 37: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

37

tidak langsung telah memposisikan penyandang cacat lebih rendah dari orang normal

yang memiliki kelengkapan secara fisik dan dapat berfungsi dengan baik. Berdasarkan

data yang telah ada, jumlah penyandang tuna daksa pun jauh lebih besar dibandingkan

dengan jenis disabilitas lainnya. Jumlah yang besar ini dipengaruhi oleh banyaknya

variasi penyebab timbulnya tuna daksa, misalnya kecacatan yang dibawa sejak lahir,

akibat kecelakaan, maupun terkena musibah yang tidak jarang menyebabkan

seseorang terpaksa menjadi penyandang tuna daksa.

Penggunaan kata difabel merupakan kependekan dari “different ability” yang

berarti seseorang dengan kemampuan berbeda. Kata difabel memiliki hubungan

dengan disable atau disabilitas yang saat ini istilah tersebut masih kerap digunakan

sebagian besar orang. Padahal, bila diterjemahkan, disable berarti kecacatan. Bahkan,

tidak jarang pula istilah penyandang cacat masih begitu melekat dalam masyarakat.

Sehingga, penggunaan istilah difabel sangat dianjurkan dalam kehidupan dengan

maksud untuk memperhalus kata atau istilah yang digunakan sebelumnya. Namun,

yang lebih penting dari itu adalah dapat merubah persepsi dan pemahaman masyarakat

bahwa seorang yang memiliki sebutan difabel hanyalah sebagai seseorang yang

memiliki perbedaan kondisi fisik, namun tetap mampu melakukan aktivitas walaupun

dengan cara dan pencapaian yang berbeda.

Pekerja difabel merupakan penggabungan dari dua asal kata. Seperti yang telah

dijelaskan di atas, bahwa pengertian difabel adalah setiap orang yang memiliki

kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan

hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang

cacat fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental ( Pasal

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 38: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

38

1 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 1997 ). Sedangkan pengertian pekerja adalah

menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk

lain. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian pekerja difabel merupakan

setiap orang yang memiliki kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu

atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,

yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian

pekerja difabel juga dijelaskan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor:

KEP-205/MEN/1999 Tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja

Penyandang Cacat, yaitu tenaga kerja yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental,

namun mampu melakukan kegiatan secara selayaknya, serta mempunyai bakat, minat,

dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan

kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sebagai pekerja, tentunya kaum difabel memiliki hak-hak khusus yang

semestinya didapatkan di lokasi kerja. Perlindungan hukum berupa regulasi-regulasi

yang memihak pada kaum difabel seharusnya benar-benar dapat diterapkan karena

pekerja difabel merupakan kelompok lemah yang memang sudah semestinya

dilindungi oleh semua pihak, terutama dalam dunia ketenagakerjaan. Selain itu,

perlindungan sosial yang berkaitan langsung dengan keamanan dan keselamatan

pekerja difabel menjadi komponen utama bagi para penyedia lapangan kerja untuk

memperlakukan para pekerjanya, dalam hal ini adalah pekerja difabel secara baik dan

manusiawi.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 39: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

39

3. Makna Kerja Layak Oleh Pekerja Penyandang Tuna Daksa

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2005: 619), kata makna

diartikan sebagai: (i) arti, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang

diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Jika seseorang mengatakan sesuatu,

terdapat tiga unsur, yaitu: name, sense, dan thing. Soal makna terdapat dalam sense,

dan ada hubungan timbal balik antara name dengan pengertian sense. Apabila

seseorang mendengar kata tertentu, ia dapat membayangkan bendanya atau sesuatu

yang diacu, dan apabila seseorang membayangkan sesuatu, ia segera dapat

mengatakan pengertiannya itu. Hubungan antara nama dan pengertian itulah yang

disebut makna. Jika seseorang menafsirkan makna sebuah lambang, berarti ia

memikirkan sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut, yakni suatu keinginan

untuk menghasilkan jawaban dengan kondisi tertentu. Aspek-aspek makna dalam

semantik (Mansoer Pateda, 2001 dalam Sakti, 2012: 78), yakni:

- Pengertian (sense) atau tema. Pengertian ini dapat dicapai apabila pembicara

dengan lawan bicara mempunyai kesamaan bahasa yang digunakan atau

disepakati bersama.

- Nilai rasa (feeling), hal ini berkaitan dengan sikap pembicara terhadap hal yang

dibicarakan. Setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan nilai

rasa dan setiap kata mempunyai hubungan dengan perasaan.

- Nada (tone), adalah sikap pembicara terhadap lawan bicara, artinya hubungan

antara pembicara dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin

dalam kata-kata yang digunakan.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 40: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

40

- Maksud (intention), yaitu maksud yang diinginkan baik senang atau tidak

senang atau bersifat deklarasi, imperatif, persuasi, pedagogis, rekreasi atau

politik. Aspek-aspek tersebut tentunya membantu peneliti dalam menemukan

makna kerja layak berdasarkan perspektif pekerja penyandang tuna daksa di

industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft.

Kerja layak merupakan tujuan utama ILO yang diwujudkan untuk semua orang

tanpa terkecuali. Sudah sejak lama ILO mempromosikan pengembangan keterampilan

dan kesempatan kerja bagi para difabel dengan berdasarkan prinsip kesetaraan

kesempatan, perlakuan yang sama, mengarusutamakannya ke dalam rehabilitasi

keterampilan dan program pelayanan pekerjaan dan pelibatan masyarakat. Prinsip non-

diskriminasi semakin ditekankan karena isu difabel dilihat sebagai isu hak asasi

manusia. ILO berupaya mencapai tujuan ini melalui promosi standar tenaga kerja,

advokasi, pengembangan pengetahuan dalam pelatihan dan memperkerjakan para

difabel, serta memberikan pelayanan kerja sama teknis dan kemitraan. Kelayakan

kerja menjadi isu sentral saat berbicara mengenai ketenagakerjaan. Tidak

mengherankan jika Decent Work menjadi tuntutan utama para pekerja di seluruh dunia

karena terkait dengan keamanan dan kenyamanan yang selayaknya didapat sewaktu

bekerja. Ratifikasi Konvensi ILO No.111 Mengenai Diskriminasi (Pekerjaan dan

Jabatan) dan Konvensi ILO No.159 Mengenai Rehabilitasi dan Pelatihan

Keterampilan bagi Penyandang Disabilitas menjadi bukti bahwa kaum difabel sudah

sepantasnya mendapatkan perlakuan yang layak di segala aspek kehidupan dan

penghidupan.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 41: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

41

Mempelajari tentang kelayakan kerja, tidak akan pernah lepas dari definisi

kerja layak itu sendiri. Menurut ILO, pekerjaan yang layak melibatkan kesempatan

untuk pekerjaan yang protektif dan memberikan pendapatan yang adil, keamanan di

tempat kerja, dan perlindungan sosial bagi keluarga, prospek yang lebih baik untuk

pengembangan pribadi dan kebebasan integrasi sosial bagi orang untuk

mengekspresikan keprihatinan mereka, mengatur dan berpartisipasi dalam

pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka dan kesetaraan

kesempatan dan perlakuan bagi semua laki-laki dan perempuan. Ada berbagai aturan

yang telah ditetapkan ILO terkait dengan isu kelayakan kerja untuk para difabel

(Reader Kit ILO: Menangani Disabilitas di Tempat Kerja, 2011 Sesi Ke-277 dalam

Sakti, 2012: 21), diantaranya:

1. Memastikan bahwa para penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang

sama di tempat kerja.

Hal ini berarti tidak ada diskriminasi kesempatan kerja bagi penyandang

disabilitas. Penyandang disabilitas berhak diberi ruang untuk mengakses

lapangan kerja seperti hak yang didapat oleh orang lain pada umumnya.

Pihak penyedia lapangan kerja tidak boleh membedakan antara pencari

kerja “normal” dengan pencari kerja difabel.

2. Memberikan perlindungan sosial yang berfungsi sebagai pengaman bagi

pekerja penyandang disabilitas, terutama pada saat berada di lokasi kerja.

Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam Konvensi ILO No.102

Tahun 1952 Mengenai (Standar Minimal) Jaminan Sosial yang menyatakan

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 42: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

42

bahwa para pekerja berhak mendapatkan jaminan sosial, seperti jaminan

kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan lain-lain.

3. Mempromosikan tempat kerja yang aman, mudah diakses, dan sehat.

Tempat kerja yang aman dan nyaman menjadi salah satu faktor dapat

terpenuhinya indikator kerja layak. Selain itu, kemudahan akses ke tempat

kerja menjadi hal penting yang perlu diperhatikan oleh pihak penyedia

lapangan kerja bagi pekerjanya dari kalangan penyandang disabilitas.

4. Memaksimalkan pemberian apresiasi (upah) terhadap kontribusi yang dapat

diberikan oleh pekerja penyandang disabilitas.

Pekerja penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan upah

yang sesuai dengan standar minimal berdasarkan kontribusi yang diberikan

oleh pekerja penyandang disabilitas.

5. Tata kelola dan dialog sosial (Social dialogue)

Memastikan adanya serikat pekerja penyandang disabillitas dan

membangun jalinan yang baik pada interaksi atau komunikasi antara

pekerja penyandang disabilitas dengan pihak pengurus (perusahaan) serta

pemerintah.

6. Pemberian dukungan dan penyesuaian yang sewajarnya

Dukungan dan penyesuaian yang sewajarnya menjadi bagian dari Prinsip

Umum Non-Diskriminasi Pasal 2 UNCRPD. Dukungan dan penyesuaian

yang sewajarnya harus diberikan kepada para penyandang disabilitas dan

dijabarkan sebagai modifikasi dan penyesuaian yang dibutuhkan dan tepat

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 43: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

43

tidak memaksakan beban yang berlebihan atau yang tidak dapat dilakukan,

dimana dibutuhkan pada kasus tertentu, untuk memastikan penyandang

disabilitas dapat menikmati atau menjalankan kebebasan dan hak asasi

manusia mereka secara setara dengan orang lain. Misalnya, penyesuaian

yang sewajarnya bisa berupa perubahan fisik di tempat kerja, memodifikasi

jadwal (jam) kerja, atau memodifikasi kebijakan di tempat kerja.

Penyesuaian yang sewajarnya tidak mengharuskan melakukan penurunan

kinerja atau menghilangkan fungsi-fungsi penting dari pekerjaan seseorang.

Dalam hal kesetaraan mendapatkan lapangan kerja, Rumah Lidi Handicraft

berusaha menjalankan fungsinya. Sektor UMKM ini memberikan kesetaraan

kesempatan kerja bagi kaum difabel, terutama penyandang tuna daksa dengan tujuan

lebih memberdayakan mereka dalam bidang ekonomi. Seperti yang telah dipaparkan

di atas, bahwa semua penyandang difabel memiliki kesetaraan dalam memperoleh

pekerjaan beserta hak-haknya di tempat kerja, hal ini nampaknya sedikit berbeda

dengan kondisi yang ada di Rumah Lidi Handicraft. Perekrutan tenaga kerja lebih

diperuntukkan bagi penyandang tuna daksa karena jenis penyandang inilah yang

paling memungkinkan melakukan pekerjaan yang ada di Rumah Lidi Handicraft.

Mengingat kegiatan industri berkaitan dengan produksi pembuatan tas dan

perlengkapan rumah tangga lainnya yang berbahan baku lidi, terlebih para pekerja

penyandang tuna daksa diberikan tugas dalam hal pengerjaan menenun lidi yang sudah

tentu menggunakan alat-alat berat. Selain itu, jumlah penyandang tuna daksa di

Surakarta yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penyandang tuna lainnya

sehingga perekrutan tenaga kerja penyandang tuna daksa lebih mudah dilakukan.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 44: PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Juduletd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65236/potongan/S1-2013-284197-chapter1.pdf · belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga

44

Antara pekerja yang satu dengan pekerja yang lain tentunya memiliki

perbedaan dalam memaknai kerja layak itu sendiri. Terlebih jika membandingkan

antara pekerja “normal” dengan pekerja yang memiliki keterbatasan fisik (difabel).

Pekerja dengan keterbatasan fisik pasti membutuhkan kondisi kerja yang lebih

nyaman dan aman dibandingkan dengan pekerja “normal”. Hal ini tentu

mempengaruhi pemaknaan kerja layak di lokasi kerja. Selain itu, perbedaan latar

belakang antara pekerja penyandang tuna daksa yang satu dengan yang lain turut

mempengaruhi pemaknaan kerja layak. Perbedaan upah yang diterima antara pekerja

penyandang tuna daksa yang berperan sebagai pengurus dengan pekerja penyandang

tuna daksa yang bekerja harian di bidang produksi nyatanya mempengaruhi hasil

pemaknaan kerja layak. Selain itu, latar belakang pendidikan dan lama bekerja pekerja

penyandang tuna daksa yang berbeda-beda juga mempengaruhi hasil pemaknaan kerja

layak di Rumah Lidi Handicraft.

PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/