S1-2013-280476-chapter1

30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hipertiroidisme merupakan salah satu penyakit gangguan kelenjar endokrin yang disebabkan karena peningkatan produksi hormone tiroid secara berlebihan oleh kelenjar tiroid. Penyakit ini ditemukan pada 2% wanita dan 0,2% pria di seluruh populasi dengan insiden munculnya kasus pertahun sebanyak dua puluh orang penderita tiap satu juta populasi (Fumarola et al, 2010). Berbagai manifestasi klinik yang muncul akibat penyakit ini dapat mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Manifestasi klinik yang dirasakan pasien dapat berupa gangguan psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan dan emosi yang mudah berubah, gangguan pencernaan berupa diare, hingga gangguan kardiovaskuler berupa takikardi dan palpitasi (Bahn et al, 2011). Pada pasien hipertiroidisme, terapi yang diberikan dapat berupa terapi konservatif dengan pemberian obat anti tiroid maupun terapi pengurangan atau ablasi kelenjar tiroid dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi (pengangkatan kelenjar tiroid) yang disesuaikan dengan etiologi penyakit dan pilihan pasien. Dari ketiga pilihan terapi tersebut, terapi dengan obat anti tiroid merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan. Obat anti tiroid yang digunakan secara luas sebagai lini pertama adalah golongan thionamide, yang terdiri dari propylthiouracil dan methimazole.

Transcript of S1-2013-280476-chapter1

Page 1: S1-2013-280476-chapter1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hipertiroidisme merupakan salah satu penyakit gangguan kelenjar

endokrin yang disebabkan karena peningkatan produksi hormone tiroid secara

berlebihan oleh kelenjar tiroid. Penyakit ini ditemukan pada 2% wanita dan 0,2%

pria di seluruh populasi dengan insiden munculnya kasus pertahun sebanyak dua

puluh orang penderita tiap satu juta populasi (Fumarola et al, 2010).

Berbagai manifestasi klinik yang muncul akibat penyakit ini dapat

mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Manifestasi klinik yang dirasakan pasien

dapat berupa gangguan psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan dan emosi yang

mudah berubah, gangguan pencernaan berupa diare, hingga gangguan

kardiovaskuler berupa takikardi dan palpitasi (Bahn et al, 2011).

Pada pasien hipertiroidisme, terapi yang diberikan dapat berupa terapi

konservatif dengan pemberian obat anti tiroid maupun terapi pengurangan atau

ablasi kelenjar tiroid dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi (pengangkatan

kelenjar tiroid) yang disesuaikan dengan etiologi penyakit dan pilihan pasien. Dari

ketiga pilihan terapi tersebut, terapi dengan obat anti tiroid merupakan salah satu

terapi yang banyak digunakan. Obat anti tiroid yang digunakan secara luas

sebagai lini pertama adalah golongan thionamide, yang terdiri dari

propylthiouracil dan methimazole.

Page 2: S1-2013-280476-chapter1

2

Obat anti tiroid umumnya digunakan selama lebih dari enam bulan

hingga pasien mencapai remisi dan pengobatan dapat dihentikan. Selama

menggunakan obat anti tiroid pasien dapat mengalami efek samping berupa

munculnya ruam kulit, gangguan hepar dan agranulositosis (Fumarola et al,

2010).

Pada penggunaan obat anti tiroid, rasionalitas terapi memegang peranan

penting dalam menjamin penggunaan obat yang tepat, aman dan efektif. Dengan

pemilihan jenis obat anti tiroid dan pemberian dosis yang tepat, kondisi euthyroid

dan remisi dapat lebih cepat tercapai dan memperpendek durasi terapi. Dan

dengan penggunaan obat yang sesuai dengan kondisi pasien dapat mengurangi

risiko efek samping yang muncul.

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mengenai evaluasi terapi

pengobatan hipertiroidisme dengan obat anti tiroid perlu dilakukan untuk

mengetahui gambaran pola pengobatan hipertiroidisme di RSUD Dr. Soetomo

Surabaya dan mengevaluasi rasionalitas pengobatan agar terapi mendapatkan

outcome yang diharapkan.

B. Perumusan Masalah

1. Seperti apakah karakteristik pasien hipertiroidisme di instalasi rawat jalan

RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2007 – 2012?

2. Bagaimana pola penggunaan obat anti tiroid pada pasien hipertiroidisme rawat

jalan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya?

Page 3: S1-2013-280476-chapter1

3

3. Bagaimana evaluasi rasionalitas penggunaan obat antitiroid pada pasien

hipertiroidisme rawat jalan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun

2007 – 2012 berdasarkan standar terapi Hyperthyroidism and Other Causes of

Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid Association

and American Association of Clinical Endocrinologists tahun 2011 serta

Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo Edisi III tahun 2008?

4. Berapa lama durasi terapi yang dibutuhkan dengan obat anti tiroid hingga

pasien mencapai kondisi euthyroid?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui karakteristik pasien hipertiroidisme di instalasi rawat jalan RSUD

Dr. Soetomo Surabaya periode 2007 – 2012?

2. Mengetahui pola penggunaan obat anti tiroid pada pasien hipertiroidismerawat

jalan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya

3. Mengetahui evaluasi rasionalitas penggunaan obat anti tiroid pada pasien

hipertiroidisme rawat jalan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun

2007 – 2012 berdasarkan standar terapi Hyperthyroidism and Other Causes of

Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid Association

and American Association of Clinical Endocrinologists tahun 2011 serta

Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo Edisi III tahun 2008.

4. Mengetahui durasi terapi yang dibutuhkan dengan obat anti tiroid hingga

pasien mencapai kondisi euthyroid.

Page 4: S1-2013-280476-chapter1

4

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi RSUD Dr. Soetomo Surabaya : penelitian ini diharapkan dapat

memberikan gambaran mengenai pola pengobatan pasien hipertiroidisme

dengan obat anti tiroid dan dapat menjadi pertimbangan dalam penatalaksaan

terapi yang lebih tepat sehingga dapat dicapai outcome terapi yang lebih baik.

2. Bagi peneliti dan pembaca : hasil penelitian dapat memberi pengetahuan dan

wawasan mengenai pola penggunaan obat anti tiroid di instalasi rawat jalan

RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan evaluasi penggunaan yang meliputi

ketepatan indikasi, ketepatan pasien dan kesesuaian obat berdasarkan standar

terapi Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis: Management

Guidelines of The American Thyroid Association and American Association of

Clinical Endocrinologists tahun 2011 serta Pedoman Diagnosis dan Terapi

RSUD Dr. Soetomo Edisi III tahun 2008.

E. Tinjauan Pustaka

1. Definisi Hipertiroidisme

Menurut American Thyroid Association dan American Association of

Clinical Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi

berupapeningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh

kelenjar tiroid melebihi normal (Bahn et al, 2011).

Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau

tingginya kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran

darah. Peningkatan kadar hormon tiroid menyebabkan paparan berlebihan pada

Page 5: S1-2013-280476-chapter1

5

jaringan-jaringan tubuh yang menyebabkan munculnya berbagai manifestasi

klinik yang terkait dengan fungsi hormon tiroid dalam berbagai proses

metabolisme tubuh (Bartalena, 2011).

2. Faktor Risiko

a. Terjadinya hipertiroidisme

Menurut Anonim (2008), faktor-faktor risiko seseorang untuk

terkena hipertiroidisme sebagai berikut:

1) Memiliki riwayat gangguan tiroid sebelumnya seperti goiter atau

pernah menjalani operasi kelenjar tiroid.

2) Memiliki riwayat penyakit autoimun seperti diabetes mellitus dan

gangguan hormonal.

3) Adanya riwayat gangguan tiroid di keluarga.

4) Mengkonsumsi iodine dalam jumlah berlebihan secara kronik.

5) Menggunakan obat-obatan yang mengandung iodine seperti

amiodarone.

6) Berusia lebih dari 60 tahun.

b. Kambuh (relapse)

Terjadinya kekambuhan setelah pengobatan hipertiroidisme

terutama dengan obat antitiroid cukup tinggi dengan persentase 30 – 70%

(Bartalena, 2011). Kekambuhan pada pasien hipertiroidisme dapat terjadi

satu tahun setelah pengobatan dihentikan hingga bertahun-tahun

Page 6: S1-2013-280476-chapter1

6

setelahnya. Secara umum faktor-faktor risiko terjadi kekambuhan

hipertiroidisme adalah sebagai berikut:

1) Berusia kurang dari 40 tahun.

2) Ukuran goiter tergolong besar.

3) Merokok.

4) Serum TSH-receptor Antibody (TSAb) masih terdeteksi di akhir

pengobatan dengan obat anti tiroid.

5) Faktor psikologis seperti depresi.

3. Etiologi

Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa

kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan adalah

Graves’ Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter.

a. Graves’ Disease

Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena

sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’ disease.

Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid

keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus

tipe 1 (Fumarola et al, 2010).

Graves’ disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan

kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan

karena adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan

dan mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb

Page 7: S1-2013-280476-chapter1

7

memicu perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan

peningkatan kadar hormon tiroid melebihi normal.

TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan

antigen. Namun pada Graves’ Disease sel-sel APC (antigen presenting cell)

menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel

T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen). Selanjutnya T

helper akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi berupa TSAb.

Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves’ Disease adalah

HLA. Pada pasien Graves’ Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam

amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves’

Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine,

sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut

berupa glutamine (Jacobson et al, 2008).

Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves’

disease perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.

Menurut Baskin et al (2002), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk

menegakkan diagnosis Graves’ disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid

(T3 dan T4) total dan bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin

receptor antibodies (TRAb). Pada pasien Graves’ disease, kadar TSH

ditemukan rendah disertai peningkatan kadar hormon tiroid. Dan pada

pemeriksaan dengan iodine radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi

normal. Sedangkan pada teknik scanning iodine terlihat menyebar di semua

bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran iodine pada Graves’ disease

Page 8: S1-2013-280476-chapter1

8

berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb ditemukan hanya pada penderita

Graves’ disease dan tidak ditemukan pada penyakit hipertiroidisme lainnya

sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves’ Disease. Selain itu

TRAb dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan tercapainya

kondisi remisi pasien (Okamoto et al, 2006).

Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves’ disease dapat

berupa pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di

Amerika Serikat, iodine radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi

pada pasien Graves’ disease. Sedangkan di Eropa dan Jepang terapi dengan

obat anti tiroid dan operasi lebih banyak diberikan dibandingkan iodine

radioaktif. Namun demikian pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien

misalnya ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan.

Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves’ disease perlu

mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk

mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan.

Pemberian beta-blocker direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroidisme

dengan gejala yang tampak (Bahn et al, 2011).

b. Toxic Adenoma

Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat

memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel

tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh

kerja TSH (Sherman dan Talbert, 2008).

Page 9: S1-2013-280476-chapter1

9

Sekitar 2 – 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena

hipertiroidisme jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 3–7% pasien

dengan nodul tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 – 76% pasien

memiliki nodul tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound.

Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia lanjut, defisiensi

asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi.

Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul

gejala atau manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves’ disease.

Pada sebagian besar kasus nodul ditemukan secara tidak sengaja saat

dilakukan pemeriksaan kesehatan umum atau oleh pasien sendiri.

Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma

bersifat benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang

ditemukan. Namun apabila terjadi pembesaran nodul secara progresif disertai

rasa sakit perlu dicurigai adanya pertumbuhan kanker. Dengan demikian perlu

dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kondisi pasien untuk

memberikan tatalaksana terapi yang tepat.

Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak ditemukan pada daerah

dengan asupan iodine yang rendah. Menurut Paschke (2011), iodine yang

rendah menyebabkan peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar

tiroid yang akan menyebabkan mutasi. Hal ini sesuai dengan Tonacchera dan

Pinchera (2010), yang menyatakan pada penderita hipertiroidisme dengan

adanya nodul ditemukan adanya mutasi pada reseptor TSH.

Page 10: S1-2013-280476-chapter1

10

Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan

diagnosis toxic adenoma adalah pemeriksaan TSH, kadar hormon tiroid bebas,

ultrasonography dan fine-needle aspiration (FNA). Pemeriksaan TSH

merupakan pemeriksaan awal yang harus dilakukan untuk mengevaluasi

fungsi kelenjar tiroid, serta perlu dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid

(T4 dan T3). Ultrasonography merupakan pemeriksaan yang menggunakan

gelombang suara frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar dan bentuk

kelenjar tiroid. Dengan pemeriksaan ini dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran

kelenjar tiroid pasien. Sedangkan pemeriksaan dengan fine-needle aspiration

digunakan untuk mengambil sampel sel di kelenjar tiroid atau biopsi. Dari

hasil biopsi dengan FNA dapat diketahui apakah nodul pada pasien bersifat

benign (non kanker) atau malignant (kanker) (Gharib et al, 2010).

Tata laksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic adenoma

adalah dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan

tindakan dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi pasien disarankan

mendapat terapi dengan obat anti tiroid golongan thionamide hingga mencapai

kondisi euthyroid (Bahn et al, 2011). Setelah terapi dengan iodine radioaktif

dan tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi setiap 1-2 bulan meliputi evaluasi

kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta dilakukan tes ultrasonography untuk

melihat ukuran nodul (Gharib et al, 2010).

c. Toxic Multinodular Goiter

Selain Grave’s Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter

merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia.

Page 11: S1-2013-280476-chapter1

11

Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma karena

ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan,

namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat

dideteksi baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari

kondisi ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine.

Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic multinodular goiter

adalah dengan iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan pembedahan

kondisi euthyroid dapat tercapai dalam beberapa hari pasca pembedahan,

dibandingkan pada pengobatan iodine radioaktif yang membutuhkan waktu 6

bulan.

d. Hipertiroidisme Subklinis

Graves’ Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter

merupakan penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia dan

termasuk dalam jenis overt hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme jenis ini,

kadar TSH ditemukan rendah atau tidak terdeteksi disertai peningkatan kadar

T4 dan T3 bebas (Bahn et al, 2011).

Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme

disebabkan hipertiroidisme subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis, kadar

TSH ditemukan rendah disertai kadar T4 dan T3 bebas atau total yang normal.

Menurut Ghandour (2011), 60% kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan

multinodular goiter. Pada pasien yang menderita hipertiroidisme subklinis

dapat ditemukan gejala klinis yang tampak pada pasien overt hyperthyroidism.

Page 12: S1-2013-280476-chapter1

12

Menurut Bahn et al, 2011 prinsip pengobatan hipertiroidisme sub klinis sama

dengan pengobatan overt hyperthyroidism.

4. Diagnosis

Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan

tanda klinis yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan

radiodiagnostik.

Menurut Ghandour dan Reust (2011), untuk menegakkan diagnosis

hipertiroidisme, perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3 bebas, T4

bebas, dan iodine radioaktif seperti pada gambar I.

Gambar 1. Algoritma Diagnosis Hipertiroidisme (Ghandour, 2011)

Ukur TSH serum. Kadar di

bawah normal (<0,5 mIU/L)?

Apakah kadar TSH di atas

Normal (>5 mIU/L)?

Jika kadar TSH di dalam rentang

normal, pertimbangkan penyebab

lain dari gejala klinik

Tidak

Ukur T3 dan T4 bebas.

Terjadi peningkatan?

Jika kadar T3 dan T4

normal, curigai

hipertiroidisme subklinik

Tidak

Tidak

Lakukan pemeriksaan RAI.

Apakah uptake RAI tinggi?

Ya

Ya

Jika uptake RAI rendah atau

normal, ukur tiroglobulin.

Terjadi peningkatan?

Tidak Jika kadar tiroglobulin

rendah, curigai

hipertiroidisme eksogen

Tidak

Ukur kadar T3 dan T4 bebas. Jika

tinggi, rujuk pemeriksaan kelenjar

tiroid dengan MRI untuk

memeriksa adanya tumor

Jika pola uptake menyebar

(diffuse), curigai Graves’

Disease

Jika pola uptake nodular,

curigai multinodular goiter

Curigai tiroiditis subklinis

Ya Ya

Ya

Page 13: S1-2013-280476-chapter1

13

a. TSH

Thyroid stimulating hormone (TSH) merupakan hormon yang

diproduksi oleh hipofisis untuk menstimulasi pembentukan dan sekresi

hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Pada kondisi normal terdapat negative

feedback pada pengaturan sekresi TSH dan hormon tiroid di sistem pituitary-

thyroid axis. Apabila kadar hormon tiroid di aliran darah melebihi normal,

maka hipofisis akan mengurangi sekresi TSH yang pada akhirnya akan

mengembalikan kadar hormon tiroid kembali normal. Sebaliknya apabila

kadar hormon tiroid rendah maka hipofisis akan mensekresi TSH untuk

memacu produksi hormon tiroid.

Bahn et al (2011), menyarankan pemeriksaan serum TSH sebagai

pemeriksaan lini pertama pada kasus hipertiroidisme karena perubahan kecil

pada hormon tiroid akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kadar

serum TSH. Sehingga pemeriksaan serum TSH sensitivitas dan spesifisitas

paling baik dari pemeriksaan darah lainnya untuk menegakkan diagnosis

gangguan tiroid.

Pada semua kasus hipertiroidisme (kecuali hipertiroidisme sekunder

atau yang disebabkan produksi TSH berlebihan) serum TSH akan sangat

rendah dan bahkan tidak terdeteksi (<0.01 mU/L). Hal ini bahkan dapat

diamati pada kasus hipertiroidisme ringan dengan nilai T4 dan T3 yang normal

sehingga pemeriksaan serum TSH direkomendasikan sebagai pemeriksaan

standar yang harus dilakukan (Bahn et al, 2011).

Page 14: S1-2013-280476-chapter1

14

b. T4 dan T3

Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)

direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar untuk diagnosis

hipertiroidisme. Pemeriksaan utamanya dilakukan pada bentuk bebas dari

hormon tiroid karena yang menimbulkan efek biologis pada sistem tubuh

adalah bentuk tak terikatnya.

Pada awal terapi baik dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif dan

tiroidektomi pemeriksaan kadar hormon tiroid perlu dilakukan untuk

mengetahui kondisi sebelum terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan

pemeriksaan terhadap free T4, total T3 dan TSH untuk mengetahui efektivitas

terapi yang diberikan dan pemeriksaan dilakukan setiap satu bulan hingga

pasien euthyroid (Bahn et al, 2011).

Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat digunakan untuk mengetahui

etiologi hipertiroidisme yang diderita pasien. Pada pasien hipertiroidisme

akibat Graves’ Disease dan toxic nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20

karena lebih banyak T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif

dibandingkan T4 sehingga rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien

painless thyroiditis dan post-partum thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20

(Bahn et al, 2011; Baskin et al, 2002).

Menurut Beastall et al (2006), monitoring pada pasien hipertiroidisme

yang menggunakan obat anti tiroid tidak cukup hanya ditegakkan dengan

pemeriksaan kadar TSH. Hal ini disebabkan pada pasien hipertiroidisme

terutama Graves’ disease kadar TSH ditemukan tetap rendah pada awal

Page 15: S1-2013-280476-chapter1

15

pemakaian obat anti tiroid sehingga untuk melihat efektivitas terapi perlu

dilakukan pemeriksaan kadar T4 bebas.

c. Thyroid Receptor Antibodies (TRAb)

Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau

Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb yang

biasanya diukur dalam penegakan diagnosis Graves’ disease adalah

antithyroid peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid stimulating antibody

(TSAb), dan antithyroglobuline antibody (anti-TgAb).

Ditemukannya TPOAb, TSAb dan TgAb mengindikasikan

hipertiroidisme pasien disebabkan karena Graves’ disease. TPOAb ditemukan

pada 70–80% pasien, TgAb pada 30–50% pasien dan TSAb pada 70–95%

pasien (Joshi, 2011).

Pemeriksaan antibodi dapat digunakan untuk memprediksi

hipertiroidisme pada orang dengan faktor risiko misal memiliki keluarga yang

terkena gangguan tiroid dan tiroiditis post partum.Pada wanita hamil yang

positif ditemukan TPOAb dan TgAb pada trimester pertama memiliki

kemungkinan 30 – 50% menderita tiroiditis post partum (Stagnaro-Green et

al, 2011).

d. Radioactive Iodine Uptake

Iodine radioaktif merupakan metode yang digunakan untuk

mengetahui berapa banyak iodine yang digunakan dan diambil melalui

transporter Na+/I- di kelenjar tiroid. Pada metode ini pasien diminta menelan

Page 16: S1-2013-280476-chapter1

16

kapsul atau cairan yang berisi iodine radioaktif dan hasilnya diukur setelah

periode tertentu, biasanya 6 atau 24 jam kemudian.

Pada kondisi hipertiroidisme primer seperti Graves’ disease, toxic

adenoma dan toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan uptake iodine

radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita yang hamil

atau menyusui (Beastall et al, 2006).

e. Scintiscanning

Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid dengan

menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam tiroid

scintiscanning adalah radioiodine (I131) dan technetium (99mTcO4-). Kelebihan

penggunaan technetium radioaktif daripada iodine diantaranya harganya yang

lebih murah dan pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat. Namun

kekurangannya risiko terjadinya false-positive lebih tinggi, dan kualitas

gambar kurang baik dibandingkan dengan penggunaan radioiodine (Gharib et

al, 2011).

Karena pemeriksaan dengan ultrasonography dan FNAC lebih efektif

dan akurat, scintiscanning tidak lagi menjadi pemeriksaan utama dalam

hipertiroidisme. Menurut Gharib et al (2010), indikasi perlunya dilakukan

scintiscanning di antaranya pada pasien dengan nodul tiroid tunggal dengan

kadar TSH rendah dan pasien dengan multinodular goiter. Selain itu dengan

scintiscanning dapat diketahui etiologi nodul tiroid pada pasien, apakah

tergolong hot (hiperfungsi) atau cold (fungsinya rendah).

Page 17: S1-2013-280476-chapter1

17

f. Ultrasound Scanning

Ultrasonography (US) merupakan metode yang menggunakan

gelombang suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambaran

bentuk dan ukuran kelenjar tiroid. Kelebihan metode ini adalah mudah untuk

dilakukan, noninvasive serta akurat dalam menentukan karakteristik nodul

toxic adenoma dan toxic multinodular goiter serta dapat menentukan ukuran

nodul secara akurat (Beastall et al, 2006).

Pemeriksaan US bukan merupakan pemeriksaan utama pada kasus

hipertiroidisme. Indikasi perlunya dilakukan pemeriksaan US diantaranya

pada pasien dengan nodul tiroid yang teraba, pasien dengan multinodular

goiter, dan pasien dengan faktor risiko kanker tiroid (Gharib et al, 2010).

g. Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC)

FNAC merupakan prosedur pengambilan sampel sel kelenjar tiroid

(biopsi) dengan menggunakan jarum yang sangat tipis. Keuntungan dari

metode ini adalah praktis, tidak diperlukan persiapan khusus, dan tidak

mengganggu aktivitas pasien setelahnya. Pada kondisi hipertiroidisme dengan

nodul akibat toxic adenoma atau multinodular goiter FNAC merupakan salah

satu pemeriksaan utama yang harus dilakukan untuk membantu menegakkan

diagnosis Hasil dari biopsi dengan FNAC ini selanjutkan akan dianalisis di

laboratorium. Hasil dari biopsi pasien dapat berupa tidak terdiagnosis (jumlah

sel tidak mencukupi untuk dilakukan analisis), benign (non kanker),

suspicious (nodul dicurigai kanker), dan malignant (kanker) (Bahn et al, 2011;

Beastall et al, 2006).

Page 18: S1-2013-280476-chapter1

18

Menurut Ghorib et al (2011) pada pasien dengan nodul berukuran

kecil yang tidak tampak atau tidak teraba, maka FNAC perlu dilakukan

dengan bantuan ultrasonography. Selain itu penggunaan bantuan

ultrasonography juga disarankan pada kondisi pasien dengan multinodular

goiter dan obesitas.

5. Tanda dan Gejala Klinis

Hormon tiroid memiliki peranan yang vital dalam mengatur

metabolisme tubuh. Peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah memacu

peningkatan kecepatan metabolisme di seluruh tubuh. Salah satu gejala yang

umum ditemui pada penderita hipertiroid adalah intoleransi panas dan berkeringat

berlebihan karena peningkatan kadar tiroid memacu peningkatan basal metabolic

rate. Selain itu hipertiroidisme juga mempengaruhi sistem kardiorespiratori

menyebabkan kondisi palpitasi, takikardi dan dyspnea umum ditemukan pada

pasien hipertiroidisme (Nayak dan Burman, 2006).

Tabel I. Gejala Dan Tanda Klinis Pasien Hipertiroidisme

Sistem organ Gejala Tanda Klinis

Neuropsikiatrik Emosi labil Paralisis periodik

Ansietas Tremor

Gastrointestinal Hiperdefekasi

Diare

Sistem reproduksi Oligomenorrhea

Gynecomastia Penurunan libido

Kardiorespiratori Palpitasi Atrial fibrilasi

Dispnea Sinus takikardi

Dermatologik Rambut rontok Myxedema

Sumber: Nayak dan Burman, 2006

Page 19: S1-2013-280476-chapter1

19

Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan, muncul gejala-

gejala psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah tersinggung dan insomnia.

Peningkatan kecepatan metabolisme menyebabkan pasien hipertiroidisme cepat

merasa lapar dan nafsu makan bertambah, namun demikian terjadi penurunan

berat badan secara signifikan dan peningkatan frekuensi defekasi.Pada pasien

wanita dapat terjadi gangguan menstruasi berupa oligomenorrhea, amenorrhea

bahkan penurunan libido (Bahn et al, 2011; Baskin et al, 2002).

Pada pasien Graves’ disease, gejala klinis juga dapat berupa inflamasi

dan edema di otot mata (Graves’ ophtalmopathy) dan gangguan kulit lokal

(myxedema). Mekanisme terjadinya Graves’ ophtalmopathy dan myxedema

belum diketahui secara pasti namun diperkirakan pada keduanya terjadi akumulasi

limfosit yang disebabkan oleh aktivasi sitokin pada fibroblast (Weetman, 2000).

6. Tatalaksana Terapi Hipertiroidisme

Tujuan terapi baik dengan penggunaan obat anti tiroid, iodine radioaktif

maupun tiroidektomi adalah menurunkan kadar hormon tiroid pasien ke level

normal serta mencapai kondisi remisi. Kondisi remisi pada pasien hipertiroid

dapat tercapai apabila kadar hormon tiroid pasien dapat dijaga pada rentang

euthyroid (Laurberg, 2006).

Tata laksana terapi yang dapat digunakan untuk mengobati pasien

hipertiroidisme adalah sebagai berikut:

a. Obat Anti Tiroid

Obat anti tiroid merupakan golongan obat yang digunakan untuk

menekan kelebihan hormon tiroid pada pasien hipertiroidisme hingga level

Page 20: S1-2013-280476-chapter1

20

normal (euthyroid). Tujuan utama penggunaan obat anti tiroid adalah untuk

mencapai kondisi euthyroid secepat mungkin dengan aman dan untuk

mencapai remisi. Lama penggunaan obat anti tiroid hingga mencapai remisi

bervariasi antar pasien dan kesuksesan terapi sangat tergantung pada

kepatuhan pasien dalam menggunakan obat (Baskin et al, 2002).

Di negara-negara maju, pengobatan hipertiroidisme cenderung

bergeser ke terapi iodine radioaktif dan penggunaan obat anti tiroid semakin

jarang diberikan karena tingginya kemungkinan relaps (kambuh) setelah

remisi dan jangka waktu pengobatan yang memakan waktu selama satu hingga

dua tahun. Namun demikian obat anti tiroid juga masih umum digunakan pada

pasien yang kontraindikasi terhadap iodine radioaktif, pasien hamil dan pasien

yang akan menjalani terapi radioiodine.

Pada pasien hipertiroidisme dengan toksik nodul atau toxic

multinodular goiter obat anti tiroid tidak direkomendasikan untuk digunakan

karena tidak menyebabkan remisi pada golongan pasien ini. Sedangkan pada

pasien Graves’ Disease obat anti tiroid terbukti dapat menghasilkan remisi

karena efek antitiroid dan imunosupresan (Ajjan dan Weetman, 2007).

1) Jenis Obat Anti Tiroid

Obat anti tiroid yang secara luas digunakan, propylthiouracil dan

methimazole, termasuk dalam golongan yang sama yaitu thionamide.

Keduanya memiliki mekanisme aksi yang sama namun memiliki profil

farmakokinetika yang berbeda dalam hal durasi, ikatan dengan albumin

dan lipofilisitas. Propylthiouracil dan methimazole dapat digunakan

Page 21: S1-2013-280476-chapter1

21

sebagai terapi tunggal pada hipertiroidismeyang diakibatkan oleh Graves’

Disease maupun pada pasien yang akan menerimaterapi radioiodine dan

tiroidektomi (Bahn et al, 2011; Fumarola et al, 2010).

Dalam mengobati hipertiroidisme karena autoimun atau Graves’

Disease, obat anti tiroid dapat mengembalikan fungsi tiroid karena adanya

sifat imunosupresan. Obat anti tiroid dapat memacu apoptosis limfosit

intratiroid, menekan ekspresi HLA kelas 2, sel T dan natural killer cells

(Bartalena, 2011; Fumarola et al, 2010).

a) Propylthiouracil

Propylthiouracil atau biasa disingkat PTU merupakan obat

antitiroid golongan thionamide yang tersedia dalam sediaan generik di

Indonesia. Obat ini bekerja dengan cara menghambat kerja enzim

thyroid peroxidase dan mencegah pengikatan iodine ke thyroglobulin

sehingga mencegah produksi hormon tiroid. Selain itu obat anti tiroid

memiliki efek imunosupresan yang dapat menekan produksi limfosit,

HLA, sel T dan natural killer sel (Fumarola et al, 2010).

Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo

edisi III, dosis awal propylthiouracil adalah 100-150 mg setiap 6 jam,

setelah 4 – 8 minggu dosis diturunkan menjadi 50 – 200 mg sekali atau

dua kali dalam sehari (Anonim, 2008). Keuntungan propylthiouracil

dibandingkan methimazole adalah propylthiouracil dosis tinggi juga

dapat mencegah konversi thyroxine (T4) menjadi bentuk aktif tri-

iodothyronine (T3) di perifer, sehingga merupakan terapi pilihan dalam

Page 22: S1-2013-280476-chapter1

22

thyroid storm atau peningkatan hormon tiroid secara akut dan

mengancam jiwa (Nayak dan Burman, 2006).

Propylthiouracil yang digunakan secara per oral hampir

sepenuhnya terabsorpsi di saluran gastrointestinal. Karena durasi

kerjanya yang hanya 12 – 24 jam maka PTU harus digunakan beberapa

kali sehari (multiple dose). Hal ini menjadi salah satu alasan obat ini

mulai ditinggalkan karena berkaitan dengan kepatuhan pasien

(Bartalena, 2011; Fumarola et al, 2010).

Di Amerika Serikat propylthiouracil hanya digunakan jika

pasien alergi atau dikontraindikasikan terhadap methimazole dan

hamil. Propylthiouracil tidak menjadi terapi lini pertama pada

pengobatan hipertiroidisme karena kepatuhan pasien yang rendah dan

efek samping berat seperti hepatotoksik.

Namun propylthiouracil merupakan obat pilihan pertama pada

pasien hipertiroidisme yang sedang hamil trimester pertama. Hal ini

disebabkan sifat PTU yang kurang larut lemak dan ikatan dengan

albumin lebih besar menyebabkan obat ini transfer plasenta lebih kecil

dibandingkan methimazole (Fumarola et al, 2010; Hackmon et al,

2012).

b) Methimazole

Methimazole atau biasa disingkat MMI merupakan obat anti

tiroid golongan thionamide yang menjadi lini pertama pengobatan

hipertiroidisme dan merupakan metabolit aktif dari carbimazole.

Page 23: S1-2013-280476-chapter1

23

Carbimazole merupakan bentuk pro-drug dari methimazole yang

beredar di beberapa negara seperti Inggris. Di dalam tubuh

carbimazole akan diubah menjadi bentuk aktifnya methimazole dengan

pemotongan gugus samping karboksil pada saat metabolisme lintas

pertama (Bahn et al, 2011). Mekanisme kerja methimazole dalam

mengobati hipertiroidisme sama seperti propylthiouracil yaitu

menghambat kerja enzim thyroid peroxidase dan mencegah

pembentukan hormon tiroid. Namun methimazole tidak memiliki efek

mencegah konversi T4 ke T3 (Nayak dan Burman, 2006).

Obat ini digunakan secara per oral dan hampir terabsorpsi

sempurna di saluran cerna. Karena durasi aksinya yang panjang,

sekitar 40 jam, maka MMI cukup digunakan satu kali sehari (single

dose). Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo

Edisi III, dosis awal methimazole dimulai dengan 40 mg setiap pagi

selama 1 – 2 bulan dan selanjutnya dosis diturunkan menjadi 5 – 20

mg setiap pagi (Anonim, 2008).

Methimazole merupakan lini pertama pengobatan

hipertiroidisme karena efek samping yang relatif lebih rendah dari

propylthiouracil, faktor kepatuhan pasien, serta efektivitas yang lebih

baik dibandingkan propylthiouracil. Sejak tahun 1998 methimazole

merupakan obat anti tiroid yang paling banyak diresepkan di Amerika

Serikat untuk mengobati Graves’ Disease (Bahn et al, 2011; Emiliano

et al, 2010; Nakamura et al, 2007).

Page 24: S1-2013-280476-chapter1

24

Penggunaan methimazole pada kehamilan terutama trimester

pertama tidak direkomendasikan karena efek teratogenik methimazole

menyebabkan malformasi kongenital seperti aplasia cutis dan choanal

atresia. Sehingga pada pasien hipertiroidisme yang sedang hamil

trimester pertama yang sedang mengonsumsi methimazole perlu

dilakukan penggantian terapi ke propylthiouracil.

Sedangkan pada ibu menyusui methimazole terbukti aman

diberikan hingga dosis 20 – 30 mg/ hari (Hackmon et al, 2012;

Stagnaro-Green et al, 2011).

2) Metode Terapi Obat Anti Tiroid

a) Block and Replacement

Pada metode block and replacement pasien diberikan obat anti

tiroid golongan thionamide (propylthiouracil atau methimazole) dosis

tinggi tanpa adanya penyesuaian dosis bersamaan dengan

levothyroxine. Pada penderita Graves’ Disease anti tiroid dosis tinggi

diharapkan dapat memberikan efek imunosupresan yang maksimal.

Sedangkan pemberian levothyroxine ditujukan untuk mengganti

kebutuhan hormon tiroid yang dihambat oleh obat anti tiroid dosis

tinggi dan mencegah hipotiroidisme (Bartalena, 2011).

Menurut Ajjan dan Weetman (2007), pemberian obat anti

tiroid dengan regimen dosis block and replacement lebih banyak

menghasilkan efek samping dibandingkan dengan metode titrasi

karena penggunaan obat anti tiroid dosis tinggi. Namun metode ini ini

Page 25: S1-2013-280476-chapter1

25

memiliki keuntungan berupa fluktuasi fungsi tiroid yang lebih terjaga

dan durasi pengobatan yang lebih pendek (6 bulan).

b) Titrasi

Pada metode titrasi pemberian dosis disesuaikan dengan

kondisi hipertiroidisme masing-masing pasien. Dosis awal untuk

methimazole 15 – 40 mg/hari diberikan single dose dan dosis awal

untuk propylthiouracil 300 – 400 mg/hari diberikan multiple dose.

Prinsip dari regimen dosis dengan metode titrasi adalah mencapai

kondisi euthyroid secepatnya dan menghindari kondisi hipotiroidisme.

Apabila kadar TSH serum meningkat dan kadar T4 telah mencapai

kondisi euthyroid maka dosis obat anti tiroid diturunkan hingga

mencapai dosis efektif minimal yang menghasilkan efek (Bartalena,

2011).

Menurut Abraham et al (2005), pemberian obat anti tiroid

dengan metode titrasi memberikan efikasi yang setara dengan metode

block and replacement. Keunggulannya efek samping berupa rash dan

agranulositosis lebih jarang terjadi pada metode titrasi. Namun pada

metode ini durasi pengobatan yang dibutuhkan lebih lama

dibandingkan dengan metode block and replacement, rata-rata selama

12 – 24 bulan, dan perlu dilakukan kontrol rutin untuk mengetahui

profil TSH dan hormon tiroid darah untuk penyesuaian dosis.

Page 26: S1-2013-280476-chapter1

26

b. Iodine Radioaktif

Pengobatan hipertiroidisme dengan iodine radioaktif atau RAI

menjadi pilihan utama dokter di Amerika Serikat. Pada metode ini digunakan

isotop iodine, yang paling umum digunakan adalah131I. Di dalam tubuh RAI

akan di-uptake oleh kelenjar tiroid seperti iodine biasa, kemudian di dalam

kelenjar tiroid RAI beraksi dengan cara mencegah sintesis hormon tiroid

sehingga dapat menurunkan kadar hormon tiroid yang berlebihan. RAI

dikontraindikasikan bagi pasien yang hamil, menyusui, kanker tiroid dan

merencanakan kehamilan 4 – 6 bulan setelah terapi (Bahn et al, 2011; Baskin

et al 2002).

Efek samping pada pengobatan hipertiroidisme dengan RAI

diantaranya adalah memburuknya gejala Graves’ ophtalmopathy dan

peningkatan kadar hormon tiroid akut. Sehingga pada pasien dengan

hipertiroidisme dengan kadar T4 bebas yang tinggi, pasien berusia lanjut, atau

pada pasien dengan risiko komplikasi hipertiroidisme perlu diberikan obat anti

tiroid hingga mencapai kondisi euthyroid (Baskin et al, 2002).

Menurut Walter et al (2007), pasien yang menggunakan obat anti

tiroid seminggu sebelum maupun setelah pengobatan dengan iodine radioaktif

memiliki tingkat kegagalan yang lebih tinggi. Sehingga obat anti tiroid harus

dihentikan 2 minggu sebelum pemberian RAI (Ghandour dan Reust, 2011).

Kondisi euthyroid umumnya dapat tercapai tiga hingga enam bulan pasca

penggunaan RAI.

Page 27: S1-2013-280476-chapter1

27

Pada pengobatan hipertiroidisme dengan metode RAI terdapat dua

metode pengobatan sebagai berikut

1.) Metode Ablative

Pada metode ini digunakan RAI dosis tinggi untuk mencapai

kondisi hipotiroidisme permanen. Metode ini direkomendasikan pada

pasien geriatrik dan pasien dengan gangguan jantung untuk

mengendalikan gejala secepat mungkin. Selain itu metode ini merupakan

pilihan bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic nodular goiter. Kelemahan

metode ini adalah pasien akan menderita hipotiroidisme secara permanen

dan perlu mendapat terapi pengganti hormon tiroid seumur hidup.

2.) Metode Gland-specific Method

Pada metode ini pasien diberikan RAI dosis rendah yang dapat

mencapai kondisi euthyroid. Kelebihan dari metode ini dibandingkan

metode ablative adalah pasien tidak menderita hipotiroidisme secara

permanen, namun demikian penghitungan dosis optimal sulit untuk

dilakukan (Ghandour dan Reust, 2011).

c. Tiroidektomi

Tiroidektomi merupakan prosedur pembedahan pada kelenjar

tiroid.Metode terapi ini merupakan pilihan bagi pasien yang kontraindikasi

atau menolak pengobatan dengan obat anti tiroid dan iodine radioaktif.

Pembedahan direkomendasikan bagi pasien dengan multinodular goiter atau

goiter yang sangat besar (Baskin et al, 2002).

Page 28: S1-2013-280476-chapter1

28

Secara umum prosedur tiroidektomi dapat dibedakan menjadi dua

metode berikut.

1) Tiroidektomi total

Pada prosedur ini dilakukan pengangkatan seluruh bagian

kelenjar tiroid. Dengan tidak adanya kelenjar tiroid yang memproduksi

hormon tiroid, pasien perlu mengonsumsi pengganti hormon tiroid oral

seumur hidup.

2) Tiroidektomi sub-total

Pada prosedur ini hanya dilakukan pengangkatan sebagian

kelenjar tiroid sehingga pasien tidak perlu mengonsumsi hormon tiroid

karena kelenjar tiroid yang tersisa masih dapat memproduksi hormon

tiroid.

Salah satu efek samping yang dapat muncul akibat pembedahan ini

adalah hipoparatioroidisme. Hipoparatiroidisme merupakan kondisi dimana

hormon paratiroid tubuh kurang dari normal, manifestasi klinik yang muncul

berupa hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Secara anatomis kelenjar tiroid dan

paratiroid terletak berdekatan, sehingga pada prosedur tiroidektomi kelenjar

paratiroid dapat ikut terganggu dan menyebabkan hipoparatiroidisme setelah

tiroidektomi. Hipoparatiroidisme pada pasien tiroidektomi dapat bersifat

sementara maupun permanen. Selain hipoparatiroidisme, efek samping lainnya

yang dapat muncul adalah gangguan pada produksi suara beberapa hari hingga

beberapa minggu setelah operasi (Bhattacharyya dan Fried, 2002).

Page 29: S1-2013-280476-chapter1

29

7. Penggunaan Obat Rasional

Menurut WHO penggunaan obat rasional didefinisikan sebagai pasien

menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinis, dosis sesuai kebutuhan

individu, selama waktu yang cukup, dan dengan biaya yang terendah.

Penggunaan obat dikatakan tidak rasional apabila tidak sesuai dengan

definisi di atas. Beberapa contoh penggunaan obat yang tidak rasional yang paling

sering umum terjadi adalah:

a. Polifarmasi, pasien menerima obat terlalu banyak.

b. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Pasien menerima dosis antibiotik

yang tidak tepat atau bahkan sebenarnya tidak memerlukan antibiotik.

c. Pemberian obat injeksi dimana penggunaan obat per oral masih dapat

digunakan.

d. Pemberian resep yang tidak sesuai dengan guideline atau panduan klinis.

e. Swamedikasi yang tidak tepat.

Penggunaan obat yang tidak tepat dapat menimbulkan efek bagi pasien

baik langsung maupun tidak langsung. Pada kasus penggunaan obat yang

berlebihandari sisi ekonomi dapat meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan

pasien dan dari sisi klinik hal ini dapat meningkatkan kemungkinan munculnya

efek samping obat.

Pada pasien hipertiroidisme penggunaan obat rasional memegang kunci

penting dalam keberhasilan terapi. Ketepatan pemberian dosis dapat mempercepat

tercapainya kondisi euthyroid dan dapat memperpendek durasi terapi. Selain itu

regimen dosis antitiroid dan banyaknya obat dapat mempengaruhi kepatuhan

Page 30: S1-2013-280476-chapter1

30

pasien yang secara tidak langsung mempengaruhi keberhasilan terapi

hipertiroidisme.

F. Keterangan Empirik

Hipertiroidisme merupakan gangguan berupa produksi hormon tiroid

berlebihan yang mengakibatkan munculnya berbagai gejala klinis di antaranya

berupa gangguan psikiatrik, saraf, pencernaan, dan kardiovaskuler. Tata laksana

terapi yang umum dilakukan adalah dengan pemberian obat anti tiroid selama 12

– 24 bulan untuk mengembalikan kadar hormon tiroid ke kadar normal

(euthyroid). Efek samping yang dapat muncul berupa ruam kulit, hepatotoksisitas,

dan agranulositosis. Rasionalitas penggunaan obat anti tiroid berperan penting

dalam menjamin pengobatan yang tepat, aman dan efektif.

Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai pola penggunaan

obat dan evaluasi rasionalitas penggunaan obat anti tiroid pada pasien

hipertiroidisme di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2007 – 2012.