BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/.../S1-2013-270417-chapter1.pdfhal yang...
-
Upload
truongngoc -
Category
Documents
-
view
226 -
download
5
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/.../S1-2013-270417-chapter1.pdfhal yang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penuaan dini yang ditandai dengan kondisi kulit kering, bersisik kasar yang
disertai dengan munculnya keriput dan noda hitam atau flek, kini telah menjadi
hal yang ditakuti manusia pada usia produktif. Faktor penyebab penuaan dini
yaitu faktor internal (kesehatan, daya tahan tubuh, stress dan perubahan hormonal)
dan faktor eksternal (radikal bebas, sinar matahari dan polutan). Radikal bebas
merupakan senyawa yang sangat reaktif sehingga dapat menyerang senyawa apa
saja, terutama yang rentan seperti lipid dan protein dan berimplikasi pada
timbulnya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, arteriosklerosis,
kanker, serta gejala penuaan (Tohir dkk., 2003). Senyawa yang dapat
menstabilkan radikal bebas adalah antioksidan. Senyawa ini dapat menghambat
reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas (Hudson, 1990).
Antioksidan yang terdapat dalam tubuh seperti enzim superoksida dismutase
dan glutation peroksidase tidak mampu menekan produk oksidasi yang
disebabkan oleh radikal bebas setiap saat. Konsumsi nutrisi dari luar yang bersifat
antioksidan seperti vitamin C, vitamin E dan jenis karotenoid dapat membantu
tubuh melawan kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas tersebut (Wijaya,
1996).
Salah satu organ tubuh yang rentan terhadap adanya radikal bebas adalah
kulit. Senyawa radikal tersebut dapat merusak serabut kalogen kulit dan matrik
dermis sehingga kulit menjadi kering, keriput, bahkan dapat menjadi penuaan
dini. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan kulit
2
maka usaha pencegahan terhadap kerusakan dan penyakit kulit semakin
digalakkan. Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan
penggunaan kosmetik yang memiliki aktivitas antioksidan (Suwandi., 2010).
Kosmetik yang memiliki aktivitas antioksidan dari bahan sintesis dewasa ini
mulai ditinggalkan karena memiliki efek toksik yang relatif tinggi. Antioksidan
sintesis seperti BHT (ter-butil hidrosi toluena), BHA (ter-butil hidroksi anisol),
dan TBHQ (ter-butil hidrokuinon) mempunyai efek yang tinggi namun tidak
diinginkan lagi karena toksik (Rababan dkk., 2004). Berdasarkan hal tersebut,
kosmetik bahan alam mulai banyak diminati karena dinilai relatif lebih aman
dibanding menggunakan kosmetik bahan sintetis.
Salah satu bahan alam yang sudah dikenal terbukti khasiatnya sebagai
antioksidan adalah tomat. Beberapa studi menemukan bahwa karatenoid (likopen)
pada buah tomat memiliki aktivitas antioksidan yang poten (Levy dkk., 1995),
mencegah kanker prostat, penyakit pada wanita seperti kanker payudara serta
menekan terjadinya osteoporosis dan membuat tubuh tetap awet muda.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tsang (2005), sari tomat yang
dikentalkan memiliki kandungan likopen yang paling tinggi.
Lotion adalah bentuk sediaan farmasetik yang digunakan dalam pengujian
ini. Sediaan bentuk lotion sangat mudah digunakan dikulit dibandingkan bentuk
sediaan yang lainnya (seperti krim dan gel), nyaman digunakan, mudah dicuci dan
mudah diidentifikasi tingkat antioksidannya. Sedian lotion yang mengandung sari
tomat memiliki potensi yang besar untuk digunakan sebagai kosmetik yang
memiliki aktivitas antioksidan. Pengujian kestabilan sifat fisik dan aktivitas
3
antioksidan perlu dilakukan untuk menjamin kualitas sediaan lotion sari tomat
sehingga lotion ini dapat menjadi alternatif sebagai kosmetik antioksidan sehingga
dapat digunakan oleh masyarakat. Lotion yang diujikan dibuat dalam beberapa
variasi kadar sari tomat dengan tujuan untuk menentukan tingkat antioksidan yang
baik pada konsentrasi tertentu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan suatu permasalahan,
yaitu :
a. Bagaimana aktivitas antioksidan dari sari tomat (Solanum lycopersicum L.)
dalam sedian lotion dengan variasi kadar sari tomat ?
b. Bagaimana sifat fisik sediaan lotion dengan variasi kadar sari tomat (Solanum
lycopersicum L.) ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan aktifitas
antioksidan dalam sedian lotion yang mengandung sari tomat (Solanum
lycopersicum L.) dengan konsentrasi yang berbeda.
D. Tinjauan Pustaka
1. Sampel ( Solanum lycopersicum L. )
Gambar 1. Tanaman Tomat (Anonim , 2013)
4
a. Klasifikasi (Johnny dkk., 2001)
Dunia : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Suku : Solanales
Bangsa : Solanaceae
Marga : Solanum
Jenis : Solanum lycopersicum L.
Sinonim : Lycopersicum esculantum Minn.
b. Nama Umum dan Daerah
Nama umum atau nama dagang Solanum lycopersicum L. adalah tomat yang
digolongkan sebagai buah-buahan maupun sayur-sayuran. Tomat memiliki nama
yang beragam, yaitu : Sumatra (terong kaluwat, reteng, cung asem,), Jawa (kemir,
leunca komir, ranti bali, ranti gendel, ranti kenong, rante, rante raja, terong
sabrang, dan tomat jawa), Sulawesi (kamantes, samate, samatet, smante, tamantes,
komantes, antes, tomato, tomato dan tomate), Perancis (pomme d’amour, tomate),
inggris (love apple, tomato), sedangkan nama simplisianya adalah Lycopersici
esculanti fructus (buah tomat).
c. Morfologi
Tanaman ini merupakan tanaman yang tidak tahan hujan dan sinar matahari
terik. Tanaman tomat merupakan tanaman yang tumbuh tegak dan bersandar pada
tanaman lain, tingginya 0,5-2,5 m, bercabang banyak, berambut dan berbau kuat.
5
Bentuk batang bulat, menebal pada buku-bukunya berambut kasar warnanya hijau
keputihan. Tipe daunnya menyirip, letak berseling, bentuknya bundar telur
memanjang, ujung runcing, pangkal membulat, panjang 10-40 cm, warnanya hijau
muda. Bunganya majemuk, bertangkai, mahkota berbentuk bintang, warnanya
kuning (Nurul dan Rahmansah, 2012).
Buahnya merupakan buah buni, berdaging, kulitnya tipis licin mengkilap,
beragam dan bentuk ukurannya, warnanya kuning atau merah. Bijinya banyak,
pipih dan warnanya kuning kecoklatan. Tomat yang ada di pasaran pada
umumnya berbentuk bulat, besar, berdaging tebal, berbiji sedikit dan berwarna
merah yang dikenal dengan buah tomat sedangkan ukuran yang lebih kecil dikenal
sebagai tomat sayur dan yang berukuran lebih kecil disebut tomat ceri (Nurul dan
Rahmansah, 2012).
d. Ekologi dan Penyebarannya
Tanaman ini berasal dari Amerika tropis, yaitu dari Meksiko (Amerika)
yang ditanam pada ketinggian 1-1600 m dpl. Penyebaran di Eropa dan Asia
dibawa oleh para pedagang. Penyebaran di Indonesia dibawa oleh orang Belanda
dan saat ini di Malang (Jawa Timur) dikenal sebagai pusat penghasil tomat.
e. Kandungan Kimia
Likopen merupakan karotenoid yang terdapat dalam jumlah yang besar
dalam tomat, berperan sebagai pigmen warna pada buah dan merupakan
antioksidan yang kuat (Kurniawati, 2010). Selain itu terdapat juga kandungan
asam lainnya, antara lain asam klorogenat, asam p-kumarat, asam malat dan asam
6
sitrat. Daunnya mengandung pektin, arbutin, amigdalin dan alkaloid (Dalimarta,
2003).
Tabel I. Kandungan Buah Tomat
Bahan Kandungan Likopen (mg/100g)
Pasta Tomat 42,2
Saus spaghetti 21,9
Sambal 19,5
Saus tomat 15,9
Jus tomat 12,8
Sup tomat 7,2
Saus seafood 17,0
Semangka 4,0
Pink grapefruit 4,0
Tomat mentah 8,8
Sumber : Tsang (2005) ; Arab dan Steck (2000)
f. Kegunaan
Bagian yang biasanya digunakan adalah bagian buah. Buah tomat rasanya
manis, asam, sedikit dingin dan penggunaannya sudah sangat luas. Buah tomat
berkhasiat menghilangkan haus, sebagai antiseptik usus, pencahar ringan (laksatif)
dan menambah nafsu makan. Dari hasil penelitian mengkonsumsi tomat dapat
mencegah berbagai penyakit, diantaranya kanker prostat pada laki-laki, penyakit
jantung (strok), menurunkan kolesterol didalam serum darah dan hati, serta
adanya zat tomatin yang bersifat antiinflamasi dapat mengobati jerawat, luka,
wasir, usur buntu, menghambat pertumbuhan jamur, hingga radang pernafasan
(bronchitis). Daunnya berkhasiat sebagai penyejuk (Delimarta, 2003).
g. Efek Farmakologi
Pada binatang percobaan tomatine berkhasiat sebagai antiradang dan dapat
menurunkan permeabilitas pembuluh darah. Penelitian di Amerika, bagi laki-laki
yang mengkonsumsi sedikitnya 10 porsi buah tomat selama seminggu yang
7
dimasak akan menurunkan resiko terkena kanker prostat hingga 45%. Hal ini
dikarenakan adanya senyawa likopen yang dapat mencegah timbulnya tumor dan
mengurangi resiko terkena penyakit jantung (Delimarta, 2003)
2. Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi pelindung dari organisme asing
atau lingkungan. Kulit berfungsi untuk mencegah dehidrasi, menghambat
penetrasi senyawa-senyawa asing dan mikroorganisme, perlindungan melawan
“mechanical shock”, membantu mempertahankan suhu tubuh yang konstan dan
sebagai media terjadinya rangsangan (Wasitaatmadja, 1997). Untuk memperoleh
fungsi-fungsi tersebut, kulit harus dipertahankan dalam kondisi yang baik.
Kulit terbagi dalam 3 lapisan, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis dan
jaringan subtaneous atau subkutan. Turunan epidermis meliputi rambut, kuku,
kelenjar sebaseous dan kelenjar keringat. Di bawah dermis terdapat hipodermis
atau jaringan subkutan.
a. Lapisan Epidermis
Lapisan dermis terdiri dari epitel lapis gepeng yang merupakan lapisan
terluar dari kulit. Ketebalan lapisan tergantung lokasinya, tebalnya berkisar antara
0,05-1,5 mm. Lapisan epidermis terutama terdiri dari keratinosit yang merupakan
fungsi dasar untuk menghasilkan filamen protein, keratin yang berguna sebagai
karier pelindung yang dikombinasikan dengan beberapa komponen lemak. Sel-sel
ini juga menghasilkan beberapa protein lain, misalnya sitokin yang berperan
dalam respon inflamasi (Eroschenko, 2008).
8
1. Stratum basale (stratum granulosum)
Pada stratum basale terdapat banyak aktivitas mitosis dan bertanggung
jawab bersama-sama dengan bagian awal lapisan berikutnya terhadap pembaruan
atau deferensiasi sel-sel epidermis secara berkesinambungan. Dengan kata lain
pada bagian stratum basale ini berfungsi sebagai tempat proliferasi. Epidermis
manusia mengalami pergantian sekitar 42 hari dan waktu tersebut tergantung pada
faktor usia, bagian tubuh dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhinya.
Semua sel basale mengandung filamen (Junquera dan Kelly, 1997).
2. Stratum spinosum
Sel-sel pada spinosum terikat dengan kuat. Filamen dan desmosom terisi
melalui duri sitoplasma, sehingga memberikan permukaan sel ini corak berduri.
Berkas tenofilamen ini yang tampak dengan mikroskop cahaya disebut tenofibril.
Filamen ini berperan penting dalam mempertahankan kohesi antara sel dan dalam
melawan akibat abrasi. Pada daerah bagian tubuh yang biasanya mengalami
gesekan dan tekanan secara terus-menerus stratum spinosum lebih tebal dengan
jumlah tonofilamen dan desmosom yang juga lebih banyak (Eroschenko, 2008).
3. Stratum granulosum
Memiliki struktur yang khas dan dapat dilihat dengan mikroskom elektron
yang merupakan granula berlamel, yaitu sebuah struktur yang lonjong atau mirip
dengan batang kecil (0,2-0,3 μm) yang mengandung cakram-cakram yang
berlamel yang dibentuk oleh lapisan ganda lipid. Granul-granul ini menyatu
dengan membran sel dan mencurahkan isinya kedalam ruang intersel dari stratum
granulosum. Fungsi materi yang dikeluarkan ini serupa dengan substansi semen
9
intersel yang bekerja sebagai sawar terhadap masuknya materi asing dan
menyediakan suatu efek pengunci yang penting dari kulit (Junquera dan Kelly,
1997).
4. Stratum lusidum
Pada bagian ini tampak jelas pada kulit tebal, bersifat translusen dan terdiri
atas selapis tipis sel eusinofilik yang sangat gepeng. Organel dan inti tidak tampak
lagi dan sitoplasma terdiri dari filamen padat yang berhimpun dalam matriks
kedap elektron. Dosmosom masih tampak jelas diantara sel-sel bersebelahan
(Eroschenko, 2008).
5. Stratum korneum
Lapisan ini terdiri atas 15-20 lapis sel berkeratin tanpa inti gepeng yang
sitoplasmanya dipenuhi keratin. Pada keratin ini mengandung sekurang-
kurangnya 6 peptida yang berbeda dengan berat molekul antara 40.000-70.000.
Setelah dikeratinasi, sel-sel hanya terdiri atas protein amorf, fibril dan membran
flasma yang menebal, sel-sel itu disebut sel tanduk. Enzim hidrolitik lisosom
berperan dalam menghilangnya organel sitoplasma. Sel-sel tanduk terus
dilepaskan pada permukaan stratum korneum (Junquera dan Kelly, 1997).
b. Lapisan Dermis
Lapisan dermis terdiri atas jaringan ikat yang menunjang epidermis dan
mengikatnya pada lapisan di bawahnya, yaitu jaringan subkutan (hipodermis).
Ketebalannya bervariasi tergantung pada ketebalan bagian tubuh. Permukaan
dermis tidak teratur dan memiliki banyak tonjolan (papilla dermis) yang saling
mengunci dengan juluran-juluran epidermis. Papilla dermis ini berfungsi untuk
10
menahan tekanan, struktur tersebut diyakini dapat meningkatkan dan menguatkan
batas antara dermis dan apidermis.
Dermis terdiri dari 2 lapisan dengan batas yang tidak nyata yaitu stratum
papilar disebelah luar dan stratum ratikular yang lebih dalam. Stratum papilar
tipis terdiri dari jaringan longgar, fibroblast, dan sel jaringan ikat lainnya. Pada
pembuluh terdapat leukosit yang keluar, sedangkan stratum ratikular lebih tebal
dan terdiri atas jaringan ikat tidak teratur. Dermis mengandug jaringan serat
elastin dan serat yang lebih tebal yang secara khusus ditemukan dalam stratum
retikulum (Eroschenko, 2008).
c. Lapisan Subkutan
Lapisan ini terdiri dari jaringan ikat longgar yang mengikat kulit secara
longgar pada organ-organ di bawahnya, yang memungkinkan kulit bergeser di
atasnya. Hipodermis biasanya mengandung sel-sel lemak yang bervariasi
jumlahnya sesuai daerah tubuh dan ukurannya sesuai dengan status gizi yang
bersangkutan. Lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan
getah bening (Wasitaatmadja, 1997) sehingga disebut juga fasi superficial,
sedangkan lapisan yang tidak tebal disebut penikulus adiposus. Struktur kulit
ditunjukkan pada Gambar 2.
11
Gambar 2. Struktur Kulit (Anonim, 2013)
Kulit mempunyai fungsi utama sebagai berikut (Barry, 1983) :
a. Mempertahankan cairan tubuh dan jaringan yang ada di bawahnya.
b. Melindungi tubuh dari stimulus eksternal yang membahayakan seperti
mikroorganisme, paparan kimia, radiasi, panas, barrier elektrik,
ataupun guncangan mekanis.
c. Menerima rangsangan eksternal seperti tekanan, panas, dan rasa sakit.
d. Meregulasi temperatur tubuh, meregulasi tekanan darah.
e. Mensintesis dan memetabolisme beberapa senyawa, mengeluarkan sisa
metabolism dan mengindentifikasi individu satu dengan yang lainnya,
menarik lawan jenis.
3. Antioksidan
a. Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif
karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital
12
terluarnya (Pangkahila, 2007). Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul,
radikal bebas akan bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh
pasangan electron (Rohman, 2006). Reaksi ini berlangsung terus menerus dalam
tubuh dan bila tidak berhenti akan menimbulkan penyakit seperti kanker, jantung,
katarak, penuaan dini, serta penyakit degeneratif lainnya (Kikuzaki dkk., 2002;
Sibuea, 2003; Halliwell dan Gutteridge, 2000 cit. Andayani dkk., 2008).
Kerusakan oksidatif atau kerusakan akibat radikal bebas dalam tubuh pada
dasarnya dapat diatasi oleh antioksidan endogen. Namun jika senyawa radikal
bebas terdapat berlebih dalam tubuh atau melebihi batas kemampuan proteksi
antioksidan seluler, maka dibutuhkan antioksidan tambahan dari luar atau
antioksidan eksogen untuk menetralkan radikal yang terbentuk (Andayani dkk.,
2008).
2,2-Difenyl-1-Pikrylhydrazyl (DPPH) adalah suatu radikal stabil yang
mengandung nitrogen organik, berwarna ungu gelap dengan absorbansi yang kuat
pada λ maks 517 nm (Perkorny dkk., 2001). Elektron atau radikal hidrogen akan
diterima oleh senyawa ini dan membentuk molekul diamagnet yang stabil.
Karakter radikal bebas dari DPPH akan dinetralkan oleh interaksi antioksidan
dengan DPPH yang baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada
DPPH. Setelah bereaksi dengan antioksidan warna larutan akan berkurang dari
ungu gelap dan berubah menjadi kuning terang (Suratmo, 2009). Perubahan warna
ini dapat diukur secara spektrofotometri Struktur dari DPPH dapat dilihat pada
Gambar 3.
13
Gambar 3. Struktur DPPH 2,2-difenyl-1-pikrylhydrazyl (Suratmo, 2009).
b. Antioksidan
Suatu antioksidan mampu mendonasikan satu atau lebih elektron kepada
senyawa peroksidan dan mengubahnya menjadi senyawa yang lebih stabil
(Rohman, 2006). Laju oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan bila bereaksi
dengan radikal bebas (Hudson, 1990).
Senyawa antioksidan merupakan inhibitor penghambat oksidasi. Cara kerja
senyawa antioksidan adalah bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk
radikal bebas tidak reaktif yang relatif stabil. Antioksidan menstabilkan radikal
bebas dengan cara melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas,
dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas.
Tubuh manusia secara alami telah dilengkapi pertahanan antioksidan dengan
enzim-enzim seperti (superoksida dismutase (SOD) dan glutation S-transferase),
molekul besar (albumin, seruloplasmin, ferritin, dan protein lain) dan beberapa
hormon (estrogen, angiotensin, melatonin) (Prior dkk., 2005).
Pada umumnya sistem pertahanan tubuh secara internal terhadap radikal
bebas tersebut dibagi dalam 3 golongan menurut mekanisme dalam menginativasi
radikal bebas, antara lain :
14
a) Antioksidan primer, yaitu antioksidan yang dapat menghalangi pembentukan
radikal bebas baru. Contoh golongan ini adalah superoksida dismutase
(SOD) dan katalase.
b) Antioksidan sekunder atau penangkap radikal (radical scavenger), yaitu
antioksidan yang dapat menekan terjadinya reaksi rantai, pada awal
pembentukan rantai maupun pada fase propagasi.
c) Antioksidan tersier, yaitu antioksidan yang memperbaiki kerusakan
kerusakan yang telah terjadi (Nikki dkk., 1995).
Namun demikian, antioksidan tersebut belum dapat sepenuhnya mencegah
kerusakan sel. Tubuh masih memerlukan antioksidan dari luar seperti asupan
makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E dan β-karoten serta
senyawa fenolik (Prakash, 2001; Frei, 1994).
4. Spektrofotometri
Berdasarkan teori spektrofotometri, pada saat cahaya jatuh pada suatu
senyawa, maka sebagian dari senyawa tersebut akan diserap oleh molekul-
molekul yang sesuai struktur dari molekul. Bila energi senyawa sama dengan
perbedaan energi antara keadaan tingkat dasar dan energi keadaan tereksitasi,
maka elektron-elektron pada keadaan dasar akan dieksitasi ketingkat energi
eksitasi dan sebagian energi cahaya yang sesuai dengan panjang gelombang ini
diserap. Frekuensi yang diserap setiap senyawa sangat spesifik karena perbedaan
energi antara tingkat dasar dan tingkat tereksitasi setiap senyawa juga spesifik
(Sastrohamidjojo, 1991).
Pada bagian besar molekul, orbital yang memiliki energi paling rendah
adalah orbital (σ). Orbital π berada pada tingkat energi yang lebih tinggi dan
15
orbital n (non-bonding) berada pada tingkat energi yang lebih tinggi lagi. Tingkat
energi yang paling tinggi dimiliki oleh orbital anti-bonding (π* dan σ*) (Pavia
dkk., 1979). Spektrofotometri ultraviolet (UV) – sinar tampak adalah anggota
teknis analisis spektroskopi yang terdapat sumber radiasi elektromagnetik ultra
violet dekat (190 – 380 nm) dan sinar tampak (380 – 780 nm) dengan instrumen
spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).
Radiasi UV maupun radiasi cahaya dan mempengaruhi energi yang lebih
tinggi dari pada radiasi infra merah. Serapan cahaya ultraviolet atau cahaya
tampak berakibat terjadinya transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron
dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi
berenergi lebih tinggi. Transisi elektron ini terjadi pada energi 40-300 kkal/mol.
Energi yang terserap selanjutnya terbuang sebagai kalor, sebagai cahaya, atau
tersalurkan dalam reaksi kimia (misalnya isomerisasi atau reaksi-reaksi radikal
bebas) (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Analisis dengan spektrofotometri UV-Vis dilakukan dengan adanya
pembacaan serapan radiasi elektromagnetik yang diteruskan. Keduanya dikenal
sebagai serapan (A) tanpa satuan dan transmitan dengan satuan persen (% T).
Pada teori Lambert dan Beer dikembangkan secara matematik hubungan antara
transmitan atau serapan terhadap intensitas radiasi atau konsentrasi zat yang
dianalisis sebagai berikut.
………………………………………………..……….(1)
……………………………………………….………(2)
16
Keterangan : T = Persen transmitan
A = Absorbansi
Io = Intensitas radisai yang datang
It = Intensitas radiasi yang diteruskan
ε = Absorbansi molar (Lt.mol-1
.cm-1
)
c = Konsentrasi (mol.Lt-1
)
b = Larutan (cm)
(Muljana dan Suharman, 1995)
Serapan suatu senyawa pada panjang gelombang tertentu bertambah dengan
banyaknya transisi molekul, sehingga serapan bergantung pada struktur elektronik
senyawanya dan juga pada kepekatan contoh dan panjangnya sel (Fessenden dan
Fessenden, 1986).
5. Lotion
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, definisi lotion adalah sediaan cair
berupa suspensi atau dispersi yang digunakan sebagai obat luar dapat berbentuk
suspensi zat padat dalam serbuk halus dengan ditambah bahan pensuspensi yang
cocok, emulsi tipe o/w dengan surfaktan yang cocok. Pelembab tubuh
(moisturizer) umumnya dibuat dengan karakteristik tersendiri sehingga memiliki
kombinasi air, tipe minyak, dan emolien (pengencer) yang berbeda satu sama
lainnya.
Secara garis besar, ada tiga jenis pelembab tubuh :
a. Body Lotion.
Body Lotion mempunyai konsistensi paling encer dibandingkan dengan
pelembab lainnya. Lotion yang baik adalah tidak terlalu greasy (berminyak) saat
digunakan dan dapat menyerap dengan cepat saat dioleskan di kulit. Lotion
merupakan pilihan paling tepat jika membutuhkan pelembab yang ringan atau bila
17
digunakan untuk seluruh tubuh. Karena bentuknya ringan dan tidak meninggalkan
residu, lotion bisa digunakan di pagi hari tanpa perlu khawatir bisa menempel di
pakaian dan juga digunakan jika tinggal di iklim yang lembab atau ketika cuaca
mulai panas.
b. Body Cream.
Body Cream bentuknya lebih pekat dibanding lotion dan mengandung lebih
banyak minyak pelembab. Krim tubuh (body cream) ini paling baik digunakan di
kulit yang kering, seperti lengan dan kaki, yang tak memiliki banyak kelenjar
minyak.
c. Body Butter.
Body Butter memiliki proporsi minyak paling tinggi, sehingga sangat kental
dan mirip margarin atau mentega. Biasanya body butter memiliki kandungan shea
butter, cocoa butter, dan coconut butter. Bentuk pelembab seperti ini bisa jadi
sangat berminyak dan sulit dioleskan, maka akan sangat baik jika dioleskan di
daerah yang amat kering dan cenderung pecah misalnya sikut, lutut, dan tumit
(Voigt, 1984).
d. Emulsi
1. Definisi emulsi
Emulsi adalah suatu dispersi dimana fase terdispers terdiri dari bulatan-
bulatan kecil zat cair yang terdistribusi ke seluruh pembawa yang tidak bercampur
(Ansel, 1989). Emulsi terdiri dari dua fase yang tidak dapat bercampur satu
dengan yang lainnya, dimana yang satu hidrofil sedangkan yang lain
menunjukkan karakter lipofil. Fase hidrofil umumnya adalah air atau suatu cairan
18
yang bercampur dengan air, sedangkan sebagai fase lipofil umumnya berupa suatu
minyak mineral atau minyak tumbuhan atau lemak (minyak lemak, parafin,
vaselin, lemak coklat atau malam bulu domba) atau juga bahan pelarut lipofil,
seperti kloroform, benzena, dan sebagainya (Voigt, 1984).
Terdapat dua tipe emulsi :
a) Emulsi o/w yaitu emulsi yang mempunyai fase dalam minyak dan fase luar air.
Karena fase luar dari suatu emulsi bersifat kontinyu, suatu emulsi minyak
dalam air bisa diencerkan atau ditambah dengan air atau suatu preparat dalam
air.
b) Emulsi w/o yaitu emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak.
Penggunaan emulsi untuk pemakaian dalam meliputi per oral atau pada
injeksi intravena, sedangkan untuk penggunaan luar meliputi lotion, krim, dan
salap (Voigt, 1984)
2. Teori emulsifikasi
Terdapat beberapa teori untuk menjelaskan bagaimana zat pengemulsi
bekerja dalam meningkatkan emulsifikasi dan dalam menjaga stabilitas dari
emulsi yang dihasilkan. Menurut Ansel (1989), terdapat 3 teori mengenai
emulsifikasi, yaitu: teori tegangan permukaan, oriented wedge theory, dan teori
plastik atau teori lapisan muka.
a. Teori tegangan-permukaan
Bila cairan kontak dengan cairan kedua yang tidak larut dan tidak saling
bercampur, kekuatan (tenaga) yang menyebabkan masing-masing cairan menahan
pecahnya menjadi partikel-partikel yang lebih kecil disebut tegangan antarmuka.
19
Zat-zat yang dapat meningkatkan penurunan tahanan untuk pecah dapat
merangsang suatu cairan untuk menjadi tetesan atau partikel-partikel yang lebih
kecil yang dikenal sebagai zat aktif permukaan (surfaktan) atau zat pembasah.
Penggunaan zat-zat ini sebagai zat pengemulsi dan zat penstabil menghasilkan
penurunan tegangan antarmuka dari kedua cairan yang tidak saling bercampur,
mengurangi gaya tolak-menolak antara cairan-cairan tersebut dan mengurangi
gaya tarik-menarik antarmolekul dari masing-masing cairan.
b. Oriented-wedge theory
Oriented-wedge theory menganggap lapisan monomolekuler dari zat
pengemulsi melingkari suatu tetesan dari fase dalam pada emulsi. Suatu sistem
yang mengandung dua cairan yang tidak bercampur, zat pengemulsi akan memilih
larut dalam salah satu fase dan terikat dengan kuat dan terbenam dalam di fase
tersebut dibandingkan dengan fase lainnya karena umumnya molekul-molekul zat
menurut teori ini mempunyai suatu bagian hidrofilik dan suatu bagian hidrofobik,
molekul-molekul tersebut akan mengarahkan dirinya ke masing-masing fase. Hal
ini tergantung pada bentuk dan ukuran dari molekul-molekul tersebut,
karakteristik kelarutannya, dan arah susunan bentuk baji sehingga akan
menyebabkan perlingkaran dari bulatan-bulatan minyak atau bulatan air.
c. Teori plastik atau teori lapisan antarmuka
Teori lapisan antarmuka menempatkan zat pengemulsi pada antarmuka antara
minyak dan air, mengelilingi tetesan fase dalam sebagai suatu lapisan tipis atau
film yang diadsorbsi pada permukaan dari tetesan tersebut. Lapisan tersebut
mencegah kontak dan bersatunya fase terdispersi; makin kuat dan makin lunak
20
lapisan tersebut, akan makin besar dan makin stabil emulsinya. Pembentukan
emulsi minyak dalam air atau air dalam minyak tergantung pada derajat kelarutan
dari zat pengemulsi dalam kedua fase tersebut, zat yang dapat larut dalam air akan
merangsang terbentuknya emulsi minyak dalam air dan zat pengemulsi yang larut
dalam minyak sebaliknya.
3. Emulgator
Menurut Ansel (1989), zat pengemulsi harus mempunyai kualitas tertentu agar
berguna dalam preparat farmasi, yaitu :
a. Kemampuan untuk membentuk emulsi dan menjaga stabilitas emulsi
b. Dapat bercampur dengan bahan formulatif lainnya
c. Tidak boleh mengganggu stabilitas atau efikasi dari zat terapeutik
d. Stabil dan tidak boleh terurai dalam preparat
e. Tidak toksis, berbau, rasa, dan warna lemah.
4. Stabilitas emulsi
Stabilitas sebuah emulsi adalah sifatnya yang mampu mempertahankan
distribusi halus dan teratur fase terdispersi dalam ruang, waktu yang relatif
panjang pada pengemulsian yang diakibatkan oleh gaya mekanis. Hancurnya
sebuah emulsi dihantarkan melalui penurunan stabilitasnya dan merupakan suatu
peristiwa bertahap banyak (Voigt, 1984). Hal yang paling penting dalam emulsi
adalah stabilitas produk akhir. Bentuk-bentuk ketidakstabilan fisik emulsi, yaitu :
a. Flokulasi
Flokulasi merupakan proses penggabungan tetesan-tetesan fase dispers yang
masih dipisahkan oleh lapisan tipis fase kontinyu. Penggabungan terjadi karena
21
adanya interaksi antara gaya tarik dan gaya tolak antar tetesan dan dapat
terdispersikan kembali dengan penggojogan ringan. Terjadinya flokulasi akan
mempercepat proses koalesensi (Eccleston, 2002).
b. Creaming atau sedimentasi
Creaming atau sedimentasi terjadi ketika tetesan-tetesan fase dispers atau
flokul memisah karena pengaruh gravitasi membentuk dua lapisan. Lapisan yang
satu mengandung tetesan-tetesan fase dispers lebih banyak daripada lapisan yang
lain dibanding emulsi mula-mula. Creaming diartikan sebagai pergerakan ke atas
fase dispers terhadap medium dispersnya, sedangkan sedimentasi merupakan
pergerakan ke bawah fase dispers terhadap medium dispersnya. Pergerakan ini
tergantung pada kerapatan fase dispers dan medium dispers. Creaming biasanya
terjadi pada emulsi o/w, sedangkan pada emulsi w/o terjadi sedimentasi karena
fase dispers berair, kerapatannya lebih besar daripada medium dispers berminyak
(Eccleston, 2002). Creaming dan sedimentasi belum menyebabkan pecahnya
emulsi karena fase dispers masih dalam bentuk tetesan-tetesan tunggal. Tetesan
ini dapat didispersikan kembali dengan penggojogan perlahan (Swarbrick dkk.,
2000).
c. Koalesensi
Koalesensi merupakan penggabungan yang sempurna dari tetesan-tetesan
fase dispers membentuk tetesan yang lebih besar. Proses koalesensi biasanya
didahului oleh flokulasi fase dispers dan terjadi kerusakan pada lapisan yang
mengelilingi tetesan fase dispers sehingga terbentuk tetesan yang lebih besar.
Koalesensi bersifat irreversible (Eccleston, 2002).
22
d. Ostwald ripening
Ostwald ripening terjadi pada emulsi polidispers dan tetesan fase dispers
memiliki sedikit kelarutan dalam fase kontinyu. Semakin besar distribusi ukuran
partikel, semakin besar pula kemungkinan terjadinya Ostwald ripening. Secara
termodinamika, tetesan berukuran kecil bersifat tidak stabil. Tetesan tersebut
mengalami degradasi dan berdifusi ke dalam fase kontinyu kemudian diabsorpsi
oleh tetesan yang berukuran lebih besar. Tetesan yang lebih besar akan semakin
besar dan tetesan yang berukuran kecil akan semakin kecil atau hilang (Eccleston,
2002).
e. Cracking (breaking)
Suatu emulsi rusak ketika terjadi penggabungan tetesan-tetesan fase dispers
dan pemisahan fase tersebut menjadi suatu lapisan. Pemisahan fase dispers dari
emulsi disebut cracking (breaking). Peristiwa ini bersifat irreversible karena
lapisan pelindung di sekitar tetesan fase dispers tidak ada lagi. Biasanya
diperlukan emulgator tambahan dan pemprosesan dengan alat yang sesuai untuk
memproduksi emulsi kembali (Ansel, 1989).
f. Inversi
Inversi adalah berubahnya tipe emulsi dari o/w ke w/o atau sebaliknya.
Inversi kadang terjadi karena penambahan elektrolit atau terjadi perubahan rasio
volume fase. Inversi dapat terjadi ketika suatu emulsi yang disiapkan dengan
pemanasan dan pencampuran dua fase kemudian didinginkan. Hal ini
memungkinkan karena perubahan kelarutan dari emulgator yang tergantung pada
temperatur (Swarbrick dkk., 2000).
23
6. Formula dan Penjelasan Bahan :
Formula : Setil alkohol 1,0 g
Liquid lanolin 1,0 mL
Asam stearat 3,0 g
MS / 200 / 10 Silicon 0,25 g
Gliserin 2,0 mL
Trietanolamin 0,75 g
Parfum 3 tetes
Pengawet 1 tetes
Akuades ad 100 mL
(Youg, 1974)
Formula : Setil alkohol 1,0 g
Liquid lanolin 1,0 mL
Asam stearat 3,0 g
Gliserin 2,0 mL
Trietanolamin 0,75 g
Metil paraben 0,2 g
Propil paraben 0,1 g
Akuades ad 100 mL
24
a. Asam Stearat
Nama lain asam stearat adalah asam setilasetat, crodacid, E570, pristerene,
asam stereofanat, tegostearic. Nama kimia asam stearat adalah asam oktadekanat.
Asam stearat memiliki rumus empiris C18H36O2 dan bobot molekul 284,47. Fungsi
asam strearat sebagai pengemulsi, bahan pelarut, dan lubrikan pada tablet dan
kapsul. Senyawa ini digunakan secara luas dalam sediaan farmasi oral dan topikal.
Selain itu juga digunakan sebagai bahan pengemulsi dan pelarut dalam sediaaan
topikal. Penggunaan asam stearat antara 1-20% pada salep dan krim (Allen, 2005)
Asam sterat memiliki konsentrasi keras, berwarna putih atau sedikit kuning,
agak mengkilap berupa kristal padat atau serbuk putih atau kekuningan, sedikit
berbau dan berasa seperti lemak. Titik leburnya ≥ 540C. Kelarutan asam stearat,
larut bebas dalam : benzena, kloroform, karbon tertaklorida, dan eter, larut dalam :
etanol (95%), heksan, propilen glikol, praktis tidak larut dalam air. Asam stearat
merupakan materi stabil yang dapat disimpan dalam wadah tertutup baik pada
tempat kering dan tertutup (Allen, 2005).
b. Gliserin
Nama kimia gliserin adalah propana-1,2,3-triol. Gliserin memiliki rumus
molekul C3H8O3 dan bobot molekul 92,09. Gliserin berfungsi sebagai bahan
pengawet, anti mikroba, emolien, humektan, pelarut, pemanis dan plasticizer.
Gliserin digunakan secara luas dalam sedian farmasi oral, topikal dan parenteral.
Gliserin digunakan sebagai humektan dan emolien dalam formulasi sedian topikal
dan kosmetik. Gliserin digunakan sebagai pelarut pada sediaan parenteral (Price,
2005).
25
Gliserin jernih, tidak berwarna, tidak berbau, kental, cairan higroskopis,
memiliki rasa manis. Gliserin murni cenderung tidak teroksidasi oleh udara pada
kondisi penyimpanan biasa, tetapi gliserin terdekomposisi oleh pemanasan.
Pencampuran gliserin dengan air, etanol (95%), dan propilen glikol dapat
menyebabkan kestabilan kimia karena bersifat sebagai surfaktan yang bisa
menyatukan antara minyak dan air. Senyawa ini sebaiknya disimpan dalam wadah
kedap udara pada tempat dingin dan kering (Price, 2005).
c. Lanolin
Nama kimia lanolin adalah anhidrous lanolin. Sinonim dari lanolin adalah
cera lanae, E913, lanolina, lanolin anhydrous, protalan anhydrousm. Lanolin
digunakan secara luas dalam sediaan topikal dan kosmetik. Lanolin berfungsi
sebagai pengemulsi / emulsifying dan basis. Lanolin dapat digunakan sebagai
pembawa hidrofobik dalam formulasi sedian krim dan salep air dalam minyak
(Wienfield, 2005).
Lanolin berwarna kuning pucat, manis, substansi seperti lemak dengan bau
yang khas. Lanolin yang meleleh berupa cairan jernih atau cairan kuning. Lanolin
larut bebas dalam benzena, kloroform, eter dan petroleum ; sedikit larut dalam
etanol (95%), lebih larut dalam etanol mendidih (95%) ; praktis tidak larut dalam
air. Senyawa ini sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup, terlindungi dari
cahaya yang dingin dan kering (Wienfield, 2005).
d. Setil alkohol
Nama kimia setil alkohol adalah heksadeksan-1-ol. Setil alkohol
mempunyai rumus empiris C16H34O dan bobot molekul 242,22. Nama sinonim
26
setil alkohol antara lain ; Crodocol C95; ethal; ethol; heksadekanol; n-heksadesil
alkohol; palmitil alkohol. Senyawa ini digunakan secara luas dalam kosmetik dan
sedian farmasi. Digunakan sebagai emolien, penyerap air dan bahan pengemulsi
dalam lotion, krim dan salep. Selain itu dapat meningkatkan stabilitas, tekstur, dan
konsistensi. Setil alkohol sebagai emolien memiliki kecenderungan untuk
terabsorbsi dan mempertahankan keberadaannya pada epidermis, sehingga
memberikan efek yang melicinkan dan melembutkan kulit. Setil alkohol sebagai
emolien dan bahan pengemulsi digunakan pada konsentrasi 2-5%, sebagai bahan
pengental digunakan pada konsentrasi 2-10%, dan sebagai pengabsorbsi air
digunakan pada konsentrasi 5% (Unvala, 2005)
Konsentrasi setil alkohol seperti lilin; berupa serpihan putih, granul, kubus,
atau potongan-potongan. Senyawa ini sedikit berbau dan berasa lemak dan
memiliki kelarutan yang baik dalam etanol 95% dan eter, kelarutan semakin
meningkat seiring dengan kenaikan suhu, serta praktis tidak larut dalam air. Setil
alkohol larut ketika dilelehkan bersama dengan lemak, parafin padat, parafin cair
dan isoprofil miristat. Titik leburnya antara 45-520C dan stabil dalam asam, basa,
cahaya dan udara. Penyimpanannya dapat ditempatkan dalam wadah tertutup baik
pada tempat dingin dan kering (Unvala, 2005).
e. Trietanolamin
Nama kimia trietanolamin adalah 2,2’,2”-Nitrilotriethanol. Memiliki rumus
empiris C6H15O3 dengan berat molekul 149,19. Trietanolamin digunakan sebagai
alkalizing dan emulsifying. Senyawa ini dapat digunakan secara luas dalam
sediaan topikal sebagai pembentuk emulsi ketika dicampurkan asam lemak,
27
seperti asam stearat atau asam oleat dan dapat membentuk sabun anionik dengan
pH 8, yang dapat digunakan sebagai emulsifying agent untuk membentuk emulsi
minyak dalam air yang stabil. Konsentrasi yang digunakan untuk emulsifikasi
adalah 2-4% (Goskonda dan Lee, 2005).
Trietanolamin merupakan cairan kental, jernih, tidak berwarna hingga
kuning pucat dan sedikit berbau ammonia. Senyawa ini dapat berubah warna
menjadi coklat apabila terpapar udara dan cahaya. Selain itu juga memiliki
kecenderungan untuk memisah dibawa suhu 150C. Homogenitasnya dapat
diperoleh kembali dengan pemanasan dan pencampuran sebelum digunakan.
Senyawa ini sebaiknya disimpan dalam wadah kedap udara, terlindungi cahaya,
dingin, dan kering (Goskonda dan Lee, 2005).
f. Propilparaben (Nipasol)
Propilparaben mempunyai nama kimia propil 4-hidroksibenzoat, rumus
empiris C10H12O3 dan bobot molekul 180,20. Sinonim dari propilparaben adalah ;
E216, propil ester asam 4-hidroksibenzoat, Nipasol M, propagin, propil p-
hidroksibenzoat. Senyawa ini banyak digunakan sebagai bahan pengawet
antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan sediaan farmasi.
Propilparaben merupakan salah satu bahan pengawet yang paling sering
digunakan dalam sediaan kosmetik. Golongan paraben efektif dalam rentang pH
yang luas dan mempunyai aktivitas mikroba pada spektrum luas, meskipun
paraben efektif melawan kapang dan jamur. Penggunaan senyawa ini pada sediaan
topikal sebanyak 0,01-0,6 % (Johnson dan Steer 2005a).
28
Propilparaben berbentuk serbuk berwarna putih, seperti kristal, tidak berbau
dan berasa. Kelarutannya berada pada suhu 200C dan larut secara bebas dalam
aseton dan eter, satu bagian senyawa tersebut larut dalam 1,1 bagian etanol 95%,
dalam 250 bagian gliserin; 3330 bagian minyak mineral; 3,9 bagian propilen
glikol; 2500 bagian air; pada suhu 800C. Propilparaben merupakan hasil
esterifikasi asam p-hidroksibenzoat dengan n-propanol. Senyawa ini hendaknya
disimpan dalam wadah yang tertutup baik pada tempat yang kering dan dingin
(Johnson dan Steer 2005a).
g. Metilparaben
Metilparaben mempunyai nama kimia 4-hidroksibenzoat. Sinonim dari
metilparaben adalah : E218; metal ester asam 4-hidroksibenzoat; Nipagin M;
Uniphen P-23; metal p-hidroksibenzoat. Rumus empirisnya adalah C8H8O3 dan
bobot molekul 152,15. Senyawa ini digunakan secara luas sebagai bahan
pengawet antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan sedian farmasi.
Penggunaan metilparaben dalam sedian topikal sebanyak 0,02-0,3 % (Johnson dan
Steer, 2005b).
Metilparaben berbentuk kristal tidak berwarna atau serbuk seperti kristal
berwarna putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau dan mempunyai rasa
seperti membakar. Titik leburnya antara 125-1280C dan kelarutannya pada suhu
250C sebagai berikut : 1 bagian metilparaben larut dalam: 4 bagian etanol; 10
bagian eter; 60 bagian gliserin; 5 bagian propilen glikol; 400 bagian air; dan 30
bagian air; serta praktis tidak larut dalam minyak mineral. Metilparaben dapat
29
disimpan dalam wadah tertutup baik pada tempat yang kering dan dingin (Johnson
dan Steer, 2005b).
h. Akuades
Akuades adalah air murni yang dapat diperoleh dengan cara penyulingan,
pertukaran ion, osmosis terbalik, atau dengan cara yang sesuai. Air murni lebih
bebas kotoran maupun mikroba. Air murni digunakan dalam sediaan-sediaan yang
membutuhkan air terkecuali untuk parenteral, akuades tidak dapat digunakan
(Lachman dkk., 1986).
E. Landasan Teori
Buah tomat (Solanum lycopersicum L.) merupakan tanaman yang banyak
dibudidayakan di Indonesia. Kandungan senyawa yang terdapat pada buah tomat
adalah likopen sebagai kandungan zat aktifnya (Tsang, 2005). Likopen adalah
senyawa yang bisa beraktivitas sebagai antioksidan. Menurut Arab dan Steck
(2000) kandungan likopen yang terdapat pada tomat sebesar 8,8 mg/100g.
Penggunaan secara langsung dirasa kurang efisien, sehingga diformulasikan
dalam sedian lotion. Konsentrasi sari tomat sebagai zat aktif akan berpengaruh
terhadap aktivitas antioksidan dan berpengaruh terhadap sifat fisik lotion tersebut.
Lotion yang dibuat pada penelitian ini adalah termasuk sistem emulsi. Pada
formulasi emulsi, variasi kadar zat aktif memiliki komponen penting yang
menentukan sifat fisik dan aktivitas zak aktif dari sediaan emulsi. Formula dari
lotion yang akan dikembangkan adalah variasi sari tomat yang terkandung dalam
lotion (kontrol, 5%, 10%, 15%, dan 20%). Uji aktivitas antioksidan dilakukan
menggunakan metode penangkapan radikal DPPH (2,2-difenyl-1-pikrylhydrazyl).
30
Selanjutnya diamati stabilitas fisik lotion selama 5 minggu. Sifat fisik yang
diamati adalah organoleptis, homogenitas, viskositas, daya sebar, daya lekat, ratio
pemisahan, tipe emulsi dan pH.
F. Hipotesis
Lotion yang mengandung sari tomat mempunyai aktivitas sebagai
antioksidan. Variasi kadar sari tomat dapat mempengaruhi besarnya aktivitas
antioksidan (IC50) dan sifat fisik lotion.