s bhp

download s bhp

of 35

description

lj

Transcript of s bhp

ISU ETIK BUDAYA DAN HUKUM PADA PENANGANAN PASIEN GAGAL JANTUNG YANG DIRUJUK KE FASILITAS YANG LEBIH BAIK

TUTORIAL A-1Nama anggota dan NRPMuhammad Rifo Jafriadi1210211127Luthfi Khairul1210211185Setyo Sutanto1210211142Vania Amanda Putri1210211200Lisprapikasari1210211121Sintya Mutini1210211132Andea Ryantika H1210211087Sabrina1210211199Titi Nurbaiti1210211193Hawasyalna1210211053Winastari Dwi Putri1110211074

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

Kata PengantarAssalamualaikum wr. wb.Salam sejahtera bagi umatnya.Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah bhp. Kami pun mengucapkan terima kasih kepada seluruh penyusun makalah, sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.Makalah ini adalah rangkuman dari hal-hal yang telah kami pelajari untuk melakukan seminar bhp. Makalah ini dibuat agar kami dapat mengerti lebih dan berbagi informasi tentang penyakit gagal jantung, penangannya, serta hukum dan kode etik . Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Kami sadar makalah ini belum sempurna, semoga kita semua dapat mengambil ilmu yang terdapat di dalamnya.Atas perhatiannya kami ucapkan terimaksih.

Daftar Isi

Bab 1Latar Belakang, tujuan, dan manfaat ................................................................................(4)Bab 2Kode Etik dan kaidah dasar bioetik ...............................................................................(5)Hukum Kodeki ...............................................................................................................(9)Pedoman pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah .....................................(12)Penyakit gagal jantung .................................................................................................(16)Penanganan pasien gagal jantung .................................................................................(23)Pelayanan pemeriksaan dan penanganan pasien gagal jantung .....................................(27)Cardiac intensive unit ....................................................................................................(28)Bab 3Contoh kasus 1 .............................................................................................................(30)Pembahasan kasus 1 .....................................................................................................(31)Contoh kasus 2 .............................................................................................................(32)Pembahasan kasus 2 ......................................................................................................(33)Kesimpulan ..............................................................................................................................(34)Daftar Pustaka .........................................................................................................................(35)

Bab I

LATAR BELAKANG Masih berkembangnya isu etik terkait hukum dalam perujukan pasien gagal jantung Masih kurangnya saran dan prasarana untuk penanganan pasien gagal jantung

TUJUAN Mengetahui kode etik kedokteran Indonesia yang berkaitan dengan isu etik penanganan dan perujukan pasien gagal jantung Mempelajari dan mengetahui dasar-dasar hukum dalam perujukan pasien gagal jantung Mengetahui tatalaksana dan pengobatan pasien gagal jantungMengetahui sarana dan prasarana yang tepat unuk menangani pasien gagal jantung

MANFAAT Mampu menghayati dan menerapkan kode etik kedokteran Indonesia Mampu menangani isu-isu etik dalam penanganan dan perujukan pasien gagal jantung sesuai dengan kode etik yang ada Menerapkan hukum yang berlaku dalam merujuk pasien gagal jantung Mampu menggunakan sarana dan prasarana, terutama teknologi modern, dalam menangani pasien gagal jantung Meningkatkan kualitas dan angka harapan hidup pasien gagal jantung

Bab II

KODE ETIKIsu etik adalah titik awal pembahasan masalah etika klinis. Konflik berkepanjangan sering disebabkan karena klinisi tidak trampil menguak aspek etik pasien yang dihadapinya.Isu etik dapat ditarik dari KDB (moral principle/principle-based ethics/ PBE ). KDB memberi pegangan pembenaran moral bagi dokter. Terkait prosedur diagnostic dan terapi yang sesuai dari sisi etik kaidah yang digunakan adalah beneficence dan nonmaleficence. Terkait nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya cerminan kaidah otonomi. Aktualisasi salah satu tujuan kedokteran :memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insan terkait dengan beneficence, non-maleficence &otonomi.Sedangkan yang menyangkut aspek non medis yang mempengaruhi pembuatan keputusan, seperti factor keluarga, ekonomi, budaya kaidah terkait justice.Isu etik sering sudah Nampak jelas pada kasus (insight), karena adanya satu KDB yang dominan mewarnai kasus tersebut.Contoh kasus sederhana :perlunya informed consent, jelas isu etiknya adalah keberlakuan KDB otonomi. KDB ini yang akan membingkai kasus di atas.Kemutlakan pemberlakuan 1 KDB atas 1 kasus konkrit dikenal dengan ketegaran moral (moral stringency).Kaidah Dasar BioetikKaidah-kaidah bioetik merupakah sebuah hukum mutlak bagi seorang dokter. Seorang dokter wajib mengamalkan prinsip-prinsip yang ada dalam kaidah tersebut, tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain. Kondisi seperti ini disebut Prima Facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar moral yang sering juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika, yaitu:1. Beneficence (tindakan berbuat baik)2. Non Maleficence (tidak merugikan)3. Justice (keadilan)4. Autonomi (keputusan/pilihan sendiri)

BeneficenceDalam arti bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat manusia, dokter tersebut harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Perlakuan terbaik kepada pasien merupakan poin utama dalam kaidah ini. Kaidah beneficence menegaskan peran dokter untuk menyediakan kemudahan kepada pasien untuk mengambil langkah positif supaya dapat meminimalisir akibat buruk yang mungkin terjadi. Prinsip-prinsip yang terkandung didalam kaidah ini adalah; Mengutamakan Alturisme. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia. Memandang pasien/keluarga/sesuatu tak hanya sejauh menguntungkan dokter/rumah sakit/pihak lain tetapi juga sebagai saudara yang patut ditolong.Tidak ada pembatasan goal based. Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan suatu keburukannya. Paternalisme bertanggung jawab/kasih sayang. Menjamin kehidupan baik-minimal manusia. Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan. Menerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti yang orang lain inginkan.Memberi suatu resep berkhasiat namun murah. Mengembangkan profesi secara terus menerus. Minimalisasi akibat buruk.Non MaleficenceNon-maleficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang paling kecil resikonya bagi pasien yang dirawat atau diobati olehnya. Pernyataan kuno Fist, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Non-maleficence mempunyai ciri-ciri: Menolong pasien emergensi Mengobati pasien yang luka Tidak membunuh pasien Tidak memandang pasien sebagai objek Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien Melindungi pasien dari serangan Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter Tidak membahayakan pasien karena kelalaian Menghindari misrepresentasi Memberikan semangat hidup Tidak melakukan white collar crimeAutonomiDalam kaidah ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia. Setiap individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sendiri. Autonomi bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela, dan membiarkan pasien demi dirinya sendiri. Kaidah Autonomi mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut: Menghargai hak menentukan nasib sendiri. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan. Berterus terang menghargai privasi. Menjaga rahasia pasien. Menghargai rasionalitas pasien. Melaksanakan Informed Consent. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri. Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk keluarga pasien sendiri. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi.

Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikann pasien. Menjaga hubungan atau kontrak.JusticeKeadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter memperlakukan sama rata dan adil terhadap untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. Justice mempunyai ciri-ciri : Memberlakukan segala sesuatu secara universal Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan Menghargai hak sehat pasien Menghargai hak hukum pasien Treat similar cases in a similar way = justice within morality. Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness) yakni : a. Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur dari kebutuhan mereka (kesamaan sumbangan sesuai kebutuhan pasien yang memerlukan/membahagiakannya)b. Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan mereka (kesamaan beban sesuai dengan kemampuan pasien).Tujuan : Menjamin nilai tak berhingga setiap pasien sebagai mahluk berakal budi (bermartabat), khususnya: yang-hak dan yang-baik

Jenis keadilan : a. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima)b. Distributif (membagi sumber): kebajikan membagikan sumber-sumber kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata/merata, sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani; secara material kepada: Setiap orang andil yang sama Setiap orang sesuai dengan kebutuhannya Setiap orang sesuai upayanya. Setiap orang sesuai kontribusinya Setiap orang sesuai jasanya Setiap orang sesuai bursa pasar bebasc. Sosial: kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama: Utilitarian: memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi social dan memaksimalkan nikmat/keuntungan bagi pasien. Libertarian: menekankan hak kemerdekaan social ekonomi (mementingkan prosedur adil > hasil substantif/materiil). Komunitarian: mementingkan tradisi komunitas tertentu Egalitarian: kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai oleh setiap individu rasional (sering menerapkan criteria material kebutuhan dan kesamaan).d. Hukum (umum): Tukar menukar: kebajikan memberikan/mengembalikan hak-hak kepada yang berhak. Pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama) mencapai kesejahteraan umum

Kaidah justice mempunyai prinsip sebagai berikut : Memberlakukan segala sesuatu secara universal Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accesibility, availability, quality) Menghargai hak hukum pasien Menghargai hak orang lain Menjaga kelompok yang rentan(yang paling dirugikan) Tidak melakukan penyalahgunaan Bijak dalam makroalokasi Memberikan konstribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien Meminta partisipasi pasien sesuai dengan kemampuannya Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian(biaya,beban,sanksi) secara adil Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten Tidak memberi beban berat secara merata tanpa alasan sah/tepat Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan terhadap penyakit / gangguan kesehatan Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA,status sosial,dll.

PENDAHULUAN

Tujuan pelayanan kegawat-daruratan kardiovaskuler adalah untuk mempertahankan hidup, mengembalikan kesehatan seperti semula, mengurangi penderitaan, membatasi kecacatan dan mengembalikan penderita dari kematian klinis. Keputusan tentang Resusitasi Jantung Paru (RJP) sangat rumit dan sering dibuat dalam hitungan detik oleh tenaga medis tanpa mengetahui apakah penderita mempunyai advanced directives atau tidak. Advanced directives adalah dokumen yang sah secara hukum, yang ditulis sebelum penderita menderita penyakit yang bersifat incapacitating. Petunjuk yang ada dalam advanced directives ini dapat membebas-tugaskan tenaga medis dalam mengambil keputusan, dengan kata lain advanced directives adalah pernyataan tentang keinginan penderita mengenai tindakan medis apa yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan pada waktu penderita dalam keadaan incompetency. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian RJP sering bertentangan dengan keinginan pasien.1-4 Padahal setiap keputusan harus dibuat dengan belas kasih, berdasarkan prinsip-prinsip etik dan referensi ilmiah yang ada.4Hasil beberapa studi mengenai RJP memperlihatkan bahwa hasil RJP hingga saat ini masih buruk. RJP dapat berhasil pada waktu dilakukan pembedahan jantung, henti jantung yang disaksikan langsung, irama jantung yang tidak beraturan (ventricular fibrillation atau tachycardia).5Panduan/pedoman yang ada saat ini mengindikasikan agar tindakan RJP dapat mengembalikan kehidupan ketika henti jantung terjadi karena berbagai sebab kelainan jantung yang ada. Undang-undang juga secara tidak langsung menyatakan persetujuan dilakukannya tindakan RJP sebagai penanganan kegawat-daruratan serta respon standard terhadap henti jantung.5 Padahal RJP bukan tindakan yang tepat terhadap kematian yang terjadi karena usia lanjut, penderita yang menderita demensia berat, dan mungkin sedang atau yang mengalami kemunduran fisik sebelum henti jantung, penderita dengan kanker, HIV/AIDS.1,4

PEDOMAN PENGENDALIANPENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH

Mengingat :1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4544);3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4431);4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637);5. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4585);6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan system Surveilans Epidemiologi Kesehatan;8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular;9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimanatelah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 439/Menkes/Per/VI/2009;10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/Menkes/Per/X/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota;11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 992/Menkes/Per/IV/2008 tentang Pedoman Teknis Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota;

I. PENDAHULUANBerdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2005, dr 58 juta kematian di dunia, 17,5 juta (30%) diantaranya disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah, terutama oleh serangan jantung (7,6 juta) dan stroke (5,7 juta). Pada tahun 2015, diperkirakan kematian penyakit jantung dan pembuluh darah di dunia meningkat menjadi 20 juta.Di Indonesia, dalam menghadapi permasalahan penyakit jantung dan pembuluh darah, Departemen Kesehatan telah melakukan berbagai upaya terobosan. Pada tahun 2007 Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta telah ditetapkan sebagai Pusat Jantung Nasional yang diarahkan menuju rumah sakit kelas dunia dan membangun system pelayanan jantung secara berjenjang di seluruh Indonesia dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1102/MENKES/SK/IX/2007.Untuk mendekatkan pelayanan rujukan penyakit kardiovaskular sedang dikembangkan Pusat Pelayanan Jantung Terpadu yang saat ini sudah ada di beberapa provinsi di Indonesia. Selanjutnya ditetapkan pula Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 997/MENKES/SK/X/2007 dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 984/MENKES/SK/VII/2007 sebagai dasar pemberian batuan alat kesehatan untuk pelayanan intervensi non-bedah.

PERUBAHAN LINGKUNGAN STRATEGIS1) Transisi epidemiologi;2) Transisi lingkungan;3) Transisi demografis;4) Perubahan social dan budaya;5) Perubahan keadaan politik;6) Perubahan keadaan ekonomi;7) Perubahan keadaan keamanan.Pada saat yang sama Indonesia mengalami perubahan derajat kesehatan maupun pola penyakit. Di beberapa daerah yang tingkat kesehatannya lebih baik, penyakit menular sudah relative berkurang dan beralih ke penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, gangguan metabolic, penyakit kronik dan degenerative lainnya. Pergeseran pola penyakit ini juga sebagai dampak menurunnya angka kematian bayi dan anak, meningkatnya usia harapan hidup, dan peningkatan berbagai upaya kesehatan.FAKTOR RESIKOPenyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular), yaitu penyakit yang menyangkut jantung itu sendiri dan pembuluh pembuluh darah. Keduanya sulit dipisahkan dalam manajemen maupun pembahasannya, sehingga istilah kardio (jantung) dan vascular (pembuluh darah) sulit dipisahkan.Beberapa kelompok penyakit jantung dan pembuluh darah adalah hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, penyakit jantung hipertensi, penyakit jantung rematik, gagal jantung, penyakit jantung katup, penyakit pembuluh darah perifer, penyakit jantung bawaan, kardiomiopati, dan lain-lain. Factor resiko penyakit jantung dan pembuluh darah adalah suatu kondisi yang secara potensial berbahaya dan dapat memicu terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah pada seseorang atau kelompok tertentu, meliputi ;

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi : Riwayat Keluarga Umur Jenis KelaminFaktor resiko yang dapat dimodifikasi : Hipertensi Diabetes Melitus Dislipidemia Merokok Obesitas Umum dan Sentral Kurang aktifitas fisik Pola makan Konsumsi minuman beralkohol Stress

DEFINISI SERTA KLASIFIKASI

Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.

Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis. Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan NYHA.2

Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut, dengan pembagian:1. Derajat I : tanpa gagal jantung 2. Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus dibasal paru, S3 galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis3. Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.4. Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik _ 90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)

Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressurepada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm).

Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi menjadi empat kelas, yaitu:1. Kelas I (A) : kering dan hangat (dry warm)2. Kelas II (B) : basah dan hangat (wet warm)3. Kelas III (L) : kering dan dingin (dry cold)4. Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet cold)

ETIOLOGI

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyakhal. Secara epidemiologi cukup penting untunk mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negaraberkembang penyakit arteri koroner dan hipertensimerupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup danpenyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita.

Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.

Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok jugamerupakan faktor yang dapat berpengaruh padaperkembangan dari gagal jantung. Selain itu beratbadan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung.

Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri denganatau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.

Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktifditandai dengan kekakuan serta complianceventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini sudahmulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload).

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.

PATOFISIOLOGI

Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yangkompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin Angiotensin Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.

Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkankontraktilitas serta vasokons-triksi perifer(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.

Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensi II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriureticpeptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.

Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.

Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuandinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan padapengisian ventrikel saat diastolik. Penyebabtersering adalah penyakit jantung koroner,hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lainseperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.

DIAGNOSIS

Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesaknafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai.8-10 Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.

Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahapawal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna.

Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan.Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q,abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bilagambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinangagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya.

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.8

Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbulhiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantungyang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanyagangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin convertingenzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi.

Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.

Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml.Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.

PENANGANAN PENYAKIT PASIEN GAGAL JANTUNGGagal jantungbiasanya diobati dengan perubahan gaya hidup dan minum obat-obatan. Perubahan pola makan untuk menjaga berat ideal dan menurunkan asupan garam mungkin diperlukan. Menurunkan asupan garam membantu mengurangi kaki bengkak.Latihan yang sesuai seperti berjalan, bersepeda, berenang, atau latihan aerobik low impact bias direkomendasikan, tetapi penting bahwa pasien gagal jantung mulai program latihan sesuai anjuran dokter. National Heart Centre Singapore memiliki program rehabilitasi dan pencegahan kardiologi yang baik untuk pasien dengan beberapa factor resiko untukpenyakit jantung atau baru menjalanioperasi jantung terbuka.Perubahan gaya hidup lain yang mengurangi gejala gagal jantung termasuk berhenti merokok atau penggunaan tembakau lainnya, menghilangkan atau mengurangi konsumsi alcohol dan menggunakan obat-obatan berbahaya.Satu atau lebih jenis obat-obatan di bawah ini diberikan untuk gagal jantung: digoxin vasodilator beta bloker inhibitor enzimpengubah angiotensin (inhibitor ACE) angiotensin reseptorbloker (ARB) penyakat-kanal-kalsiumDiuretik menghilangkan kelebihan garam dan air melalui ginjal dengan membuat pasien lebih sering buang air kecil. Ini membantu mengurangi bengkak karena pembentukan cairan di jaringan. Digoxin membantu otot jantung menguatkan aksipompa.Vasodilator, inhibitor ACE, ARB dan penyakat-kanal-kalsium menurunkan tekanan darah dan memperbesar pembuluh darah membuat jantung lebih mudah memompa darah melalui pembuluh darah. Kadang, operasi diperlukan untuk memperbaiki ketidak normalan jantung atau katup jantung yang menyebabkan gagal jantung.Kerusakan jantung bawaan dan katup jantung tidak normal dapat diperbaiki dengan operasi. Penyumbatan arteri jantung dapat diobati denganangioplastyatauoperasi bypass arterijantung.Pada gagal jantung parah, otot jantung mungkin rusak dan pengobatan yang tersedia tidak membantu.Pasien dengan gagal jantung tahap akhir biasanya mempertimbangkan transplantasi jantung ketika pengobatan lainnya tidak berhasil.

PENATALAKSANAANPenanganan mutakhir gagal jantung bergantung pada derajat penyakit dan penyebab terjadinya penyakit gagal jantung. Namun, semua pasien gagal jantung, baik sitolik maupun diastolic memerlukan pengobatan farmakologi dan non farmakologi.Pengobatan farmakologi pasien gagal jantung meliputi pemberian obat golongan ACE-Inhibitor (ACE-I) atau penghambat reseptor angiotensin (ARB) sampai dosis optimal jika pasien tidak memiliki kontraindikasi pemberian golongan obat tersebut. Namun, dapat dilakukan pemberian kombinasi obat hydralazine dan isosorbidnitrat, jika pasien memiliki kelainan ginjal yang berat yang ditandai dengan kadar kreatinin yang tinggi, yang merupakan kontra indikasi pemberian ACE-I dan ARB.Selain itu, pasien gagal jantung juga harus mendapatkan terapi denganobat golongan beta blocker (BB) dalam dosis kecil, jika pasien tersebut bebas dari kontra indikasi pemberian obat beta blocker.Untuk pasien gagal jantung dengan stadium berat kelas fungsional 3 dan 4, dapat diberikan obat golongan antagonis aldosteron, seperti spironolactone dengan dosis kecil, jika tidak membaik dengan pemberian ACE-I, ARB dan BB, karena terbukti meningkatkan angka survival.Obat digitalis hanya diberikan pada pasien gagal jantung yang keadaannya tidak membaik dengan pemberian ACE-I, ARB, dan BB, pasien dengan fibrilasi atrium yang memiliki heart rate > 100x/menit dan pasien yang memiliki fraksi ejeksi< 30%. Selainitu, pasien dengan keadaan diatas dapat diberikan antikoagulan untuk mengantisipasi terjadinya cardio-embloic, namun harus dipastikan tidak ada kontra indikasi.Usahakan untuk mengatasi etiologi dari terjadinya gagal jantung. Jika terjadi akibat penyakit jantung coroner (PJK) dapat diberikan simvastatin dan aspirin.Penyempitan coroner dapat dilakukan pembalonan, stent atau CABG untuk revaskulaisasi. Perbaikan katup jantung bias dilakukan jika penyebabnya adalah regurgitasi katup, dan pemberian omega-3 dapat bermanfaat jika penyebabnya bukan akibat PJK.Sampai sekarang pusat jantung nasional masih melakukan penelitian untuk menggunakan obat golongan antagonis vasopressin dan obat-obatan lain secara multicenter di luar negeri.Penatalaksanaan non farmakologi meliputi perubahan dan pengaturan gaya hidup, yang dilakukan untuk semua kasus penyakit kardiovaskular Tidak kalah penting, edukasi pada pasien gagal jantung untuk teratur menimbang badan dirumah sangat bermanfaat untuk mengantisipasi adanya kongesti. Selain itu, dilakukannya pemasangan pacu jantung sangat bermanfaat pada pasien yang memiliki kondisi interval QRS lebar berupa LBBB yang disertai blok jantung derajat 1. Pemasangan Cardiac Resyncronization Therapy (CRT) juga dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi dissinkronisasi pada echocardiography.Selainterapi yang disebutkandiatas, pembentukan klinik gagal jantung sangat diperlukan dalam mendukung penatalaksanaan pasien-pasien gagaljantung yang sudah dalam stadium berat dan sering mendapatkan perawatan berulang. Klinik ini, nantinya akan menyediakan pelayanan kesehatan yang focus dengan pasien-pasien gagal jantung. Perawat-perawat terlatih yang akan mendampingi pasien, mengontrol kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat-obatan yang sudah diresepkan juga mampu dan kompeten untuk mengatasi suatu keadaan eksaserbasi gagal jantung dengan menaikan dosis diuretika. Selain petugasnya yang lebih terlatih dalam menangani pasien khusus, klinik ini juga harus dilengkapi alat diagnostic dan monitoring seperti echocardiography, physio-flow, sphygmocoredantele-electrocardiography.Obat-obatan yang lengkap dan fasilitas pelayanan One Day Care (ODC) juga harus tersedia dalam klinik gagal jantung ini. Monitoring jarak jauh juga harus dapat dilakukan dengan Cardio-Thoracic Impedance atau Pulmonary Artery Pressure ( PA Pressure) yang akan dipasang dibawah kulit dada pasien, dan akan memberikan tanda pada klinik gagal jantung jika terjadi suatu keadaan kongesti paru, sehingga pasien dapat langsung ditangani oleh petugas kesehatan, baik dengan menaikan dosis terapi atau dilakukannya ODC.Penanganan pasien gagal jantung secara terpadu dan mutakhir memerlukan keterlibatan berbagai bidang sub-specialist kardiovaskular, untuk menghindari keadaan yang dapat merugikan pihak pasien akibat perawatan dengan biaya besar yang dapat terja diberulang kali sampai timbulnya suatu kecacatan hingga kematian.

Pelayanan Pemeriksaan dan Penanganan Penyakit Jantung1. Medical Heart Check Up2. Pemeriksaan Klinis kardiovaskular3. Rekaman aktivitas listrik Jantung (EKG)4. Ekokardiografi adalah pemeriksaan jantung menggunakan sistem Ultrasonografi (USG)5. Transesophageal ekokardiografi (TEE), adalah pemeriksaan pencitraan jantung khusus untuk melihat kelainan jantung yang tidak jelas, seperti mencari thrombus dalam jantung, yang dapat menyebabkanserangan stroke, memantau/monitor teknik intervensi pada penutupan ASD atau VSD, dan penilaian kelainan katup secara lebih rinci6. Treadmill Test (Uji Latih Jantung Beban/ULJB). Melalui metode ULJB penyakit jantung koroner atau gangguan irama jantung dapat diketahui lebih dini7. Holter, yaitu pemantauan irama jantung dengan rekaman 24 jam8. Foto Rontgen Toraks9. Duplex Scanning / Dopler Vascular, adalah pemeriksaan ultrasonografi untuk pencitraan pembuluh darah, yang tujuannya adalah untuk mendeteksi penyakit-penyakit pembuluh darah arteri dan vena selain di jantung. Lokasi lainnya adalah dileher (arteri karotis dan vetebralis) terutama pada penderita penyakit stroke, tungkai (pada penderita penyakit kaki diabetes atau luka), pembuluh darah ginjal, aorta abdominal,pembuluh darah balik (vena) kaki atau tangan(penyakit trombosis vena dalam atau super fisial)10. Rehabilitasi Medik Jantung (cardiac rehabilitation) adalah aktivitas yang dibutuhkan pada pasien penyakit jantung untuk mencapai kondisi fisik, mental, dan sosial, yang terbaik. Pelayanan mencakup kasus pasca operatif dan non-operatif

CARDIAC INTENSIVE CARE UNITRuang perawatan intensif jantung atau yang lebih dikenal dengan Cardiac Intensive Care Unit (CICU) adalah ruangan yang tidak terpisahkan dari rangkaian pengobatan penyakit jantung khususnya bagi pasien yang menjalani operasi atau tindakan intervensi jantung. Beberapa pasien juga dirawat di Cardiac ICU karena hemodinamik yang tidak stabil yang membutuhkan pengawasan dan terapi khusus terutama sebelum operasi jantung atau tindakan intervensi jantung.Perawatan dan pengawasan pasien selama 24 jam dilakukan terpadu oleh tim ICU yang terdiri dari dokter Intensivist, Cardiologist (dokter jantung dewasa dan anak), Surgeon (dokter bedah jantung), dan rehabilitasi medik termasuk fisiotheraphis serta perawat yang memiliki kekhususan bidang cardiac-intensivist. Rasio perbandingan pasien dan perawat 1 : 1, setiap pasien akan dirawat oleh seorang perawat yang senantiasa memantau kondisi dan memberikan terapi pada pasien.Layanan Clinical PathwayPerawatan pasien pasca operasi jantung di CICU PJT menggunakan metode pendekatan Clinical Pathway, yaitu serangkaian prosedur/tindakan yang dilakukan pada pasien dengan diagnosis tertentu sehingga tata laksana pasien lebih terarah dan lama rawat dapat diperkirakan. Lama rawat (length of stay) pasien setelah operasi jantung sesuai dengan Clinical Pathway diperkirakan hanya dua hari untuk pasien-pasien tanpa komplikasi yang berarti.Pasien-pasien yang menjalani operasi jantung, saat masuk CICU umumnya masih dalam pengaruh obat anestesi/bius dan masih menggunakan alat bantu napas. Pemantauan kesadaran, pernapasan, hemodinamik, serta fungsi ginjal dilakukan secara ketat. Pasien akan berangsur sadar dan bila kondisinya stabil penggunaan alat bantu napas akan dikurangi perlahan hingga pasien dapat bernapas sendiri. Kondisi pasien akan dipantau dalam 1-2 hari dan bila stabil pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan Intertmediate.

Dalam rangka peningkatan mutu pelayanan secara berkesinambungan, CICU PJT senantiasa melakukan evaluasi berkala berupa evaluasi mingguan setiap Jumat pagi mengevaluasi tentang kinerja dan tata laksana kasus-kasus pasien, terutama kasus dengan kondisi yang tidak lazim. Evaluasi bulanan berupa laporan jumlah kasus, penggunaan tempat tidur, kejadian infeksi, mortalitas, dan morbiditas serta kejadian tak terduga (adverse event). Continous learning bagi staf selalu kami anggap sesuatu hal yang penting, upgrade pengetahuan staf medis dan perawat dilakukan setiap Senin pagi berupa jurnal reading atau presentasi kasus kematian (Mortality Report) untuk mengetahui penyebab kematian pasien sebagai pembalajaran untuk penatalaksanaan perawatan yang lebih maksimal.

Bab III

Contoh kasusPenolakan Bayi DBeberapa waktu yang lalu, masyarakat Indonesia di kejutkan dengan berita meninggalnya bayi mungil bernama D. Bayi D meninggal diduga karena mengalami keterlambatan penanganan. Dalam berbagai berita disebutkan bahwa Bayi D terlahir prematur dan mengalami gangguan pernapasan karena paru-paru dan jantung yang belum mengembang sempurna dan beberapa gangguan lain. Gangguan tersebut membutuhkan perawatan yang lebih canggih dimana hanya rumah sakit yang memiliki fasilitas perawatan tersebut (NICU). Dengan segera puskesmas dan keluarga merujuk Bayi D menggunakan Kartu Jakarta Sehat ke rumah sakit yang memiliki fasilitas NICU. Sayang ternyata beberapa rumah sakit (diantara berita menyebutkan sampai 10 rumah sakit) diduga menolak rujukan yang diajukan Puskesmas tempat awal Bayi D dilahirkan dan mendapat penanganan pertama. Alasan yang dikemukakan oleh berbagai rumah sakit tersebut hampir sama yaitu tidak ada ruang kosong di bagian NICU (Neonatal Intensif Care Unit). Karena tidak ada ruang kosong, otomatis tidak tersedia fasilitas perawatan yang dibutuhkan oleh Bayi D. Bila memang demikian, maka wajar bila rumah sakit menolak rujukan yang diajukan. Namun dalam pemberitaan selanjutnya, Saya membaca reaksi masyarakat mulai negatif dan berkembang menuju ke kecurigaan, apakah wajar bila sampai 10 rumah sakit mengajukan alasan yang sama untuk menolak Bayi D? Ataukah penolakan tersebut dikarenakan penggunaan Kartu Jakarta Sehat (yang desas desusnya bermasalah dalam pengadaan dana sehatnya)? Atau memang rumah sakit kita pilah pilih dalam menerima pasien?Bila sebatas membaca berita yang ada, sebagai manusia pastilah kurang lebih pembaca menganggap pihak rumah sakit tidak memiliki rasa kemanusiaan. Bayi sekecil itu (terlahir prematur dengan berat kurang lebih 1 kg) yang memiliki masalah pernapasan dan membutuhkan penanganan segera, bukannya diterima dan ditangani, malah keluarga di oper kesana kemari hingga akhirnya terlambat ditangani dan meninggal dunia. Sebagian besar pembaca menuntut rumah sakit harus bertanggung jawab, dan tentu saja pemerintah harus disalahkan karena gagal melindungi rakyatnya. Pembahasan :Dari contoh kasus di atas terdapat beberapa kaidah dasar bioetika yang di langgar dalam kasus tersebut diantara nya : BeneficenceDi mana pasien bayi D sangat susah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit X. Dalam hal ini bertentangan dengan nilai kaidah dasar bioetika beneficence yaitu peran dokter dan rumah sakit dalam pelayanan pasien emergeny khusus nya pasien gagal jantung. Serta dalam meminimalisir akibat buruk yang terjadi Non-maleficencePada kasus di atas juga terjadi pelanggaran nilai kaidah dasar bioetika non-maleficence dimana pasien seharusnya di berikan pertolongan terlebih dahulu terutama keadaan emergensi agar tidak terjadi hal yang lebih buruk bahkan menyebabkan kematian pada pasien.Dan dari kasus di atas terjadi pelanggaran hukum kedokteran terutama mengenai pelayanan petugas dan komponen kesehatan terhadap pasien gagal jantung dimana berbunyi dalam pasal berikut : Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637); Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4585); Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimanatelah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 439/Menkes/Per/VI/2009; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/Menkes/Per/X/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota;Contoh kasus 2Ribuan kematian yang terjadi di rumah sakit sebenarnya bisa dicegah. Kematian yang tidak perlu itu mayoritas disebabkan karena kesalahan dokter dalam membuat diagnosa atau pemberian obat yang tidak tepat.Tak sedikit pula kematian terjadi karena dokter yang masih junior tidak mendapat pendampingan seniornya. Pasien berusia lanjut adalah kelompok yang paling rentan dan kerap mengalami komplikasi yang sulit didiagnosa dan diterapi.Kesalahan yang kerap terjadi di tempat layanan kesehatan tersebut diungkapkan oleh tim peneliti dari L SHTM. Akibat kesalahan tersebut, pada tahun 2009 diperkirakan terjadi 1.000 kematian di 10 rumah sakit pemerintah Inggris.Para peneliti mengatakan bahwa 13 persen dari kesalahan itu sebenarnya bisa dihindari. Bila perkiraan tersebut benar, berarti ada puluhan ribu kematian yang bisa dicegah setiap tahunnya."Kebanyakan kesalahan medis itu dialami oleh dokter junior dalam membuat diagnosa dan keputusan terapi yang tidak didampingi oleh dokter konsultan," kata Dr. HH, ketua peneliti.Ia menambahkan, banyak pula pasien yang menderita komplikasi penyakit yang tidak tertangani dengan baik. Misalnya saja dokter mungkin memberikan obat yang malah mengganggu ginjal pasien yang sebenarnya memang sudah bermasalah.

Dalam suatu kasus, seorang pria berusia 60 tahun yang menderita gagal jantung salah didiagnosa menjadi kanker kandung kemih. Dokter rupanya tidak mencermati rekam medis pasien yang menyatakan ia punya riwayat penyakit jantung. Pasien itu akhirnya meninggal dunia.Penelitian yang dilakukan Mr. H itu dilakukan setelah hasil laporan tim koroner menyebutkan kematian seorang pria berusia 60 tahun terjadi karena staf medis yang "tak kompeten". Pria itu disebutkan meninggal karena dehidrasi di sebuah rumah sakit universitas. Sebelum meninggal pria tersebut menelepon layanan darurat 911 karena merasa tidak dipedulikan dokter dan perawat.Untuk mencegah kesalahan medis, pemerintah Inggris belum lama ini mengumumkan bahwa tahun depan, dokter junior harus didampingi oleh dokter senior pada minggu-minggu awal tugasnya di rumah sakit. Keputusan tersebut dibuat untuk mengurangi efek yang disebut "musim kematian", yakni masa dimana kematian di rumah sakit naik sampai 8 persen ketika seorang dokter junior memulai tugasnya di rumah sakit.Pembahasan :Dari kasus di atas, dapat di simpulkan bahwa terjadi pelanggaran nilai kaidah dasar bioetika terhadap pasien di antara nya : Non-maleficenceDimana seorang pria di Inggris akhir nya meninggal dunia akibat kesalahan dokter dalam mendiagnosis pasien. Di mana hal ini sangat bertentangan dengan nilai kaidah dasar bioetika non maleficence yang berbunyi tidak membahayakan pasien akibat kelalaian apabila dokter tersebut tidak melakukan kesalahan dalam mendiagnosa pasien dan memperhatikan rekam medis pasien maka kematian pasien mungkin dapat di hindari.Dan dari kasus dari atas juga terjadi pelanggaran undang-undang yang berlaku di masyarakat di antara nya : Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4431); Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637);KESIMPULANDari pembahasan contoh kasus di atas dapat di simpulkan bahwa kita (dokter) sebagai ujung tombak dalam pelayanan kesehatan terhadap pasien harus lah mampu menerapkan kaidah dasar bioetik terhadap pasien baik dalam sisi beneficence, non-maleficence, justice, ataupun autonomy serta menerapkan kaidah dasar hukum terhadap pelayanan pasien gagal jantung. Hal ini penting agar meminimalisir kesalahan dan menghindari kemunginan buruk yang dapat terjadi pada pasien serta memberikan pelayanan maksimal kepada pasien agar terwujud lah peningkatan taraf kehidupan pada setiap elemen masyarakat.

Daftar Pustaka

http://www.heartcenter.co.id Rilantono, Lily. 2013. PenyakitKardiovaskular (PKV) 5 Rahasia.Jakarta :BadanPenerbit FKUI Leonard S. Lilly. 2013. Pathophysiology of heart disease http://www.singhealth.com.sg/PatientCare/Overseas-Referral/bh/Conditions/Pages/heart-failure.aspx SMF Kardiologi FK Unud/ RSUP Sanglah, Denpasar

34