ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

20
PERMASALAHAN-PERMASALAHAN SOSIAL PADA MASA ORDE BARU DALAM LIMA PUISI WIJI THUKUL oleh Ria Maha Putri, M. Yoesoef [email protected] Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ABSTRAK Judul Skripsi: Protes-Protes atas Permasalahan Sosial dalam Lima Puisi Wiji Thukul Skripsi ini mendeskripsikan lima puisi Wiji Thukul di tahun 1986-1996 yang terdapat dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru. Lima puisi itu berjudul “Apa yang berharga dari puisiku, “Peringatan”,” Nyanyian Akar Rumput”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, dan Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa”. Dalam skripsi ini, penulis menganalisis struktur instrinsik dapat merepleksikan keadaan yang dianalisis dari segi bahasa pengarang dalam membuat puisi. Penulis juga menganalisis struktur ekstrinsik yang ada dalam puisi, yakni analisis protes sosial yang dijelaskan pengarang. Dalam skripsi ini juga menjelaskan keterkaitan antara struktur instrinsik dan ekstrinsik. Kata Kunci: Wiji Thukul, Lima Puisi, Protes Sosial. ABSTRAC Title : The reactions toward The Social Problems in the poems Wiji Thukul This paper describes the five phoems of Wiji Thukul’s poem in 1986-1996 which was taken from the poem collection of Aku ingin jadi Peluru. The five poems titled “Apa yang Berharga dari puisiku”, “Peringatan”, “Nyanyian Akar Rumput”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, and “Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa”. In this paper, the writer analyses the intrinsic elementsby investigating social reflection through the research of figurative language and the image of the poems. The writer also analyses the extrinsic elements by investigating the problems toward social protest reflection in the poems Wiji Thukul, and the explanation of the social condition of the author. In other words, the paper explains the relationship between intrinsic and extrinsic elements when a work is created. Keywords : Wiji Thukul, Five Poems, Social Reaction. PENDAHULUAN Karya sastra merupakan hasil rekaan yang dibuat manusia, baik lisan maupun tulisan.Karya sastra, seperti novel, puisi, dan cerpen diciptakan salah satunya untuk dipahami dan dijadikan bahan pembelajaran. Menurut Damono (1978:1), karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan. Sebuah karya sastra dapat memberikan gambaran mengenai berbagai segi kehidupan masyarakat.Melalui karya sastra, pengarang dapat Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Transcript of ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

Page 1: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

PERMASALAHAN-PERMASALAHAN SOSIAL PADA MASA ORDE BARU

DALAM LIMA PUISI WIJI THUKUL

oleh Ria Maha Putri, M. Yoesoef

[email protected]

Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

ABSTRAK

Judul Skripsi: Protes-Protes atas Permasalahan Sosial dalam Lima Puisi Wiji Thukul

Skripsi ini mendeskripsikan lima puisi Wiji Thukul di tahun 1986-1996 yang terdapat

dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru. Lima puisi itu berjudul “Apa yang berharga

dari puisiku, “Peringatan”,” Nyanyian Akar Rumput”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, dan Aku

Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa”. Dalam skripsi ini, penulis menganalisis struktur

instrinsik dapat merepleksikan keadaan yang dianalisis dari segi bahasa pengarang dalam

membuat puisi. Penulis juga menganalisis struktur ekstrinsik yang ada dalam puisi, yakni

analisis protes sosial yang dijelaskan pengarang. Dalam skripsi ini juga menjelaskan

keterkaitan antara struktur instrinsik dan ekstrinsik.

Kata Kunci: Wiji Thukul, Lima Puisi, Protes Sosial.

ABSTRAC Title : The reactions toward The Social Problems in the poems Wiji Thukul

This paper describes the five phoems of Wiji Thukul’s poem in 1986-1996 which was taken from the poem collection of Aku ingin jadi Peluru. The five poems titled “Apa yang Berharga dari puisiku”, “Peringatan”, “Nyanyian Akar Rumput”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, and “Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa”. In this paper, the writer analyses the intrinsic elementsby investigating social reflection through the research of figurative language and the image of the poems. The writer also analyses the extrinsic elements by investigating the problems toward social protest reflection in the poems Wiji Thukul, and the explanation of the social condition of the author. In other words, the paper explains the relationship between intrinsic and extrinsic elements when a work is created.

Keywords : Wiji Thukul, Five Poems, Social Reaction.

PENDAHULUAN

Karya sastra merupakan hasil rekaan yang dibuat manusia, baik lisan maupun

tulisan.Karya sastra, seperti novel, puisi, dan cerpen diciptakan salah satunya untuk dipahami

dan dijadikan bahan pembelajaran. Menurut Damono (1978:1), karya sastra diciptakan untuk

dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan. Sebuah karya sastra dapat memberikan gambaran

mengenai berbagai segi kehidupan masyarakat.Melalui karya sastra, pengarang dapat

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 2: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

menggambarkan situasi yang terjadi pada diri atau lingkungannya.Karya sastra juga

biasadigunakan pengarang sebagai sarana untuk mengomunikasikan berbagai gagasannya.

Dalam proses pembuatan karya sastra, pengarang dapat terinspirasi dari peristiwa di

sekelilingnya. Sebagai contoh, dalam kumpulan sajak Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji

Thukul, pengarang banyak menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia yang sangat

memprihatinkan pada masa Orde Baru karena terinspirasi dari keadaan masyarakat Indonesia

pada saat itu. Dalam kumpulan sajak tersebut, disiratkan berbagai permasalahan masyarakat

Indonesia pada masa itu, seperti banyak anak Indonesia yang putus sekolah, sulitnya orang

mendapatkan pekerjaan, dan kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai untuk masyarakat.

Penulis puisi pamflet antara lain, W.S Rendra, Taufik Ismail, Soe Hok Gie, dan Wiji

Thukul (Waluyo, 1995:62). Wiji Thukul merupakan salah satu tokoh demonstrasi yang juga

diketahui menulis sajak-sajak pamflet ataupun sajak demonstrasi.Selama ini, Wiji Thukul

dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakkan PRD (Partai Rakyat Demokratik).Wiji Thukul

adalah seorang sastrawan yang menciptakan karya-karyanya dengan bahasa yang lugas dan

frontal. Dalam sajak-sajaknya tersebut ia banyak mengkritisi sebuah pemerintahan yang

otoriter.

Berbicara mengenai pemerintahan apalagi yang otoriter memang tidak ada

habisnya.Ada cukup banyak karya sastra yang mengangkat mengenai hal ini.Menarik untuk

melihat bagaimana karya sastra, khususnya puisi, mengangkat persoalan pemerintahan yang

otoriter. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk menganalisis persoalan-persoalan yan terjadi

pada masa Orde Baru pada lima puisi Wiji Thukul, yakni “Apa yang Berharga dari Puisiku”,

“Peringatan”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “ Nyanyian Akar Rumut”, dan “ Aku Masih Utuh

dan Kata-kata Belum Binasa” dalam kumpulan puisi yang berjudul Sajak Aku Ingin Jadi

Peluru yang menggambarkan keadaan masyarakat pada masa Orde Baru

Gambaran Keadaan Rakyat Indonesia pada Masa Orde Baru

Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas Bambu

(terj.), (2013: 267), mengungkapkan pada tahun 1976-1978 terjadi persoalan kemiskinan di

Indonesia, yakni 40% penduduk berpenghasilan kurang dari 90 USD per tahun,

pengangguran naik hingga dua juta jiwa setiap tahun. Tingkat konsumsi 40% penduduk

miskin pendesaan turun hingga tiga persen per tahun.

Masyarakat Indonesia mengalami masa-masa sulit hal ini disebabkan karena pemerintah

mengutamakan pembangunan di kota dibandingkan di desa. Pemerintah banyak melakukan

pembangunan di kota sedangkan di desa kurang diperhatikan, sehinggat terjadilah

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 3: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

ketimpangan antara di kota dan di desa. Terutama membangun masyarakat desa dan

memberikan kesempatan belajara dan mengenyam pendidikan yang tinggi bagi masyarakat

desa agar masyarakat dapat mengelola sumber daya alam daerahnya masing-masing. Namun,

pada kenyataannya membangun masyarakat desa secara mandiri belum berhasil dilakukan

pemerintah, bahkan pada kenyataannya banyak anggaran pendidikan dan beberapa anggaran

daerah untuk mensejahterakan rakyatnya banyak yang dikorupsi.

Masyarakat desa tidak dapat mengelola sumber daya alam disebabkan karena kurangnya

pengetahuan yang dimiliki sehingga sumber daya alam yang harusnya dikelola oleh

masyarakat jadi dikelola oleh pihak asing karena banyak penduduk desa tidak memiliki

pendidikan yang tinggi disebabkan biaya sekolah mahal seperti yang dikatakan Utomo (2005:

2) biaya sekolah yang mahal makin lama tak terjangkau sehingga semakin sulit

menyekolahkan anak sampai pendidikan tinggi. Indonesia yang kaya dengan sumber daya

alam seharusnya dapat dikelola secara mandiri oleh penduduk setempat.

Namun, kenyataanya pemerintah Orde Baru yang terkenal dengan pembangunannya,

realitanya tidak dapat membangun desa dengan baik. Masyarakat desa yang tidak

mendapatkan pendidikan yang tinggi tidak ahli dalam mengelola daerahnya, alhasil

masyarakat desa yang bodoh karena tidak ada soft skill mengelola daerah tempat tinggalnya,

sehingga yang mengelola kekayaan sumber daya alam indonesa seperti tambang emas, nikel,

tembaga, dll dikelola oleh pihak asing dan yang untung adalah pihak asing.

Sumber daya alam seperti tambang yang ada di Papua dikelola pihak asing karena

masyarakatnya tidak dapat mengelola sumber daya alam yang ada, karena tidak memiliki

pendidikan yang menunjang dalam mengelola sumber daya alam di daerah asalnya.

Akibatnya, banyak masyarakat di desa berpindah ke kota (urbanisasi). Masyarakat desa

masih beranggapan bahwa hidup di kota besar seperti Jakarta, mereka akan mendapatkan

kehidupan yang layak. Namun, setelah sampai kota banyak rakyat miskin yang sulit mencari

pekerjaan yang layak karena pendidikan mereka biasanya hanya tingkat SD atau paling tinggi

tingkat SMP. Sehingga sampai di kota besarpun seperti di Jakarta mereka hanya dapat

bekerja sebagai buruh atau kuli, dengan penghasilan yang sangat kecil.

Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas Bambu

(terj.), (2013: 268), pada 1979 upah standar adalah Rp 350 (0,56 dolar) untuk delapan jam

kerja, sementara buruh perempuan dan anak-anak dibayar kurang dari itu. Kepala Federasi

Buruh Seluruh Indonesia yang dikontrol KOPKAMTIB, Agus Sudono, menyatakan 60%

buruh Indonesia dibayar lebih rendah dari kebutuhan hidup mereka.

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 4: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

Menurut Sediono (2010: 249), pada zaman Orde Baru banyak anak yang putus sekolah

dan kesempatan kerja terbatas, sulitnya mencari pekerjaan sehingga banyak yang bekerja

menjadi kuli, calo, pengamen, polisi gadungan, pengemis, dan tukang parkir. Akibatnya

mereka tidak mampu untuk membeli tanah untuk membangun rumah sehingga banyak yang

mendirikan rumah di pinggir rel kereta api atau bantaran sungai seperti sungai ciliwung.

Penduduk miskin yang berada di kota tinggal di bangunan tambal-sulam, di pinggir jalan,

bantaran sungai, dan di bawah jembatan, banyak dari mereka yang mendirikan rumah yang

terbuat dari karton, potongan kardus bekas, dan terkadang papan besi, bahkan mereka

terpaksa pindah karena digusur oleh pemerintah daerah, petugas militer, atau kepolisian

karena didirikan tanpa izin atau didirikan secara ilegal.

Padahal Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa yang dapat

dimanfaatkan untuk mensejahterakan penduduknya di masing-masing daerah dengan potensi

yang ada di daerahnya. Padahal apabila desa itu melaksanakan sistem kuat mengenai cultur

dan kembali lagi direvitilisasi secara membudaya, maka urbanisasi bisa menjadi terbalik dari

kota ke desa. Hal ini, dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama dari berbabagi pihak, yakni

pemerintah, swasta, dan juga masyarakat setempat. Menurut Mr Kazuhisa Matsui, dalam

kuliah Jepang Kontemporer Antar Disiplin di pusat Studi Jepang FIB, ia mengatakan untuk

membuat penduduk desa sejahtera, pemerintah daerah dan pusat dapat melaksanakan

program revitalisasi, cara-cara revitalisasi, yakni dapat memanfaatkan orang luar kemudian

galakkan (volunter) komunitas pencinta desa, membuat produk banggaan, dan berupaya

untuk meningkatkan perhatian luar dengan promosi melalui media sosial. Oleh sebab itu,

perlunya kerjasama antar berbagai elemen, pemerintah, swasta, pihak asing, dan masyarakat

untuk menaikan devisa daerah khususnya di tempat tersebut, dalam harmoni Kebhinekaaan

menuju Masyarakat Sejahtera dan Mandiri.

Menurut Mr Kazuhisa Matsui, dalam perubahan paradigma pertumbuhan ekonomi di

Jepang, ada kaum muda yang menuju Desa.Mereka diharapkan menjadi pelopor untuk

meningkatan nilai Desa dengan bentuk bisnis komunitas atau sosial yang baru dan

berkelanjutan.Pengembangan produk dapat dilakukan awalnya dengan memanfaatkan sumber

daya lokal dengan memenuhi aspek kearifan lokal daerah setempat.Pembangunan desa dapat

dilakukan mengutamakan “only one” atau lokalitas yang hanya ada di desa kita, dan

meningkatkan mutunya secara berkelanjutan yang dapat meningkatkan lapangan pekerjaan di

desa sehingga desa dapat diibaratkan seperti gula didatangi semut (didatangi turis asing dan

lokal) yang otomatis dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 5: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

Faktanya banyak masalah yang terjadi di Indonesia karena pemerintah kurang cakap

mengelola alam yang Tuhan berikan, Pemerintah hanya mengutamakan kepentingan pribadi

sebagian kalangan tertentu dibandingkan kepentingan rakyatnya. Sehingga tidak heran

banyak jabatan pemerintah digunakan secara sewenang-wenang untuk mementingkan ego

para kaum borjuis di atas segalanya dibandingkan kepentingan rakyat. Hal inilah

menimbulkan berbagai masalah, seperti masalah pendidikan, kelaparan, kesehatan,

penggusuran, pekerjaan, dan masalah hukum seperti yang tercermin di dalam lima puisi Wiji

Thukul. Lima Puisi Wiji Thukul tersebut merefleksikan keadaan situasi pada masa Orde

Baru.

Refleksi Keadaan Situasi Pada Masa Orde Baru

Sajak-sajak Wiji Thukul tahun 1986-1997 yang dapat merefleksikan situasi pada masa

Orde Baru “Apa yang Berharga dari Puisiku”, “Nyanyian Akar Rumput”, “Peringatan”, “Satu

Mimpi Satu Barisan”, “Aku Masih Utuh dan kata-kata Belum Binasa” Penjabaran refleksi

keadaan sosial, adalah sebagai berikut.

Permasalahan-Permasalahan pada masa Orde Baru yang direfleksikan dari Lima Puisi

Wiji Thukul

Masalah Pendidikan dan Kelaparan

Puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku“ bait demi baitnya merupakan

protes rakyat kepada pemerintah terhadap berbagai persoalan hidup. Sejak 1970

jumlah penduduk Indonesia miskin mencapai angka 60% dari total penduduk

Indonesia (Zon, 2004: 3). Rakyat yang mengalami kemiskinan di Indonesia semakin

meningkat. Hal ini menyebabkan rakyat sulit memenuhi kebutuhan hidup sehingga

terjadi berbagai persoalan, seperti masalah pendidikan dan kelaparan.

Menurut Utomo (2005: 2) biaya sekolah mahal dan semakin lama semakin tak

terjangkau sehingga semakin sulit menyekolahkan anak sampai pendidikan tinggi

sama halnya dengan yang ada pada kutipan

apa yang berharga dari puisiku

kalau adikku tak berangkat sekolah

karena belum membayar uang spp

dan jika yang dimakan tidak ada?

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 6: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

Kutipan di atas menggambarkan pada masa Orde Baru banyak rakyat miskin yang

putus sekolah karena biaya sekolah mahal, jangankan untuk mendapatkan pendidikan

yang layak, untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok seperti makan saja rakyat

mengalami kesulitan. Pada masa Orde Baru banyak rakyat miskin yang mengalami

kelaparan karena harga-harga bahan pokok mahal. Pada masa itu memenuhi

kebutuhan pokok saja sulit apalagi memenuhi kebutuhan yang lain.

Masalah Pekerjaan

Puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” dan Puisi yang berjudul “Satu

Mimpi Satu Barisan” sama-sama membicarakan tentang masalah pekerjaan. Menurut

Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas Bambu

(terj.), (2013: 267) penduduk miskin Indonesia harus bekerja lebih keras dan lebih

lama untuk dapat bertahan hidup. Salah satu kutipan dari puisi “Apa yang Berharga

dari Puisiku” berbunyi

Padahal becak-becak terdesak oleh bis kota

kalau bis kota lebih murah siapa yang salah

Dari kutipan tersebut tergambar persoalan-persoalan tarif yang tidak adil pada

masa itu. Harga bus lebih murah dibandingkan becak, sehingga orang-orang lebih

memilih naik bus dibandingkan becak. Pada sajak itu aku lirik mengungkapkan

kekecewaannya yang ditunjukkan pada pemerintah karena pemerintahlah yang

seharusnya bertanggung jawab mengatur negara agar sejahtera, sehingga tidak terjadi

permasalahan dalam pekerjaan. Pada sajak ini sebenarnya Wiji Thukul

menggambarkan kehidupan di sekitarnya karena ayahnya Wiji Thukul adalah tukang

becak (Suyono, dkk. dalam Tempo, 2013:108).

Menurut Zon (2004 :5—7) pada masa Orde Baru tahun 1998 tingkat

pengangguran melonjak hingga 20 juta orang, sama seperti yang ada pada kutipan

dari puisi yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan” berikut

di majalaya ada kawan eman buruh pabrik handuk dulu kini luntang-

lantung cari kerjaan

Kutipan tersebut dapat diartikan bahwa pada masa Orde Baru rakyat miskin sulit

untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga pada masa itu banyak orang yang menjadi

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 7: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

pengangguran. Rakyat sulit mendapatkan gaji yang sesuai dengan kerja keras yang

dilakukan, seperti pada kutipan

di cigugur ada kawan siti punya cerita harus lembur sampai pagi pulang lunglai lemas letih membungkuk 24 jam ya 24 jam.

Selanjutnya, permasalahan gaji yang tidak sesuai dengan kerja keras sehingga

banyak buruh yang melaksanakan aksi mogok, seperti pada kutipan

di lembang ada kawan Sofyan jualan bakso kini karea dipecat perusahaan karena mogok karena ingin perbaikan karena upah yak karena upah

Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa buruh sulit melaksanakan mogok

untuk kenaikan gaji karena apabila melaksanakan mogok kerja buruh tersebut akan

dipecat. Kutipan ini merefleksikan keadaan pada masa Orde Baru memang terdapat

peraturan mengenai pemogokkan kerja.

Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas

Bambu (terj.), (2013: 268) pada 1979 upah standar adalah Rp. 350 (0,56 dolar) untuk

delapan jam kerja; buruh perempuan dan anak-anak dibayar kurang dari ini. Kepala

Federasi Buruh Seluruh Indonesia yang dikontrol KOPKAMTIB, Agus Sudono,

menyatakan 60% buruh Indonesia dibayar lebih rendah dari kebutuhan hidup mereka.

Pada Orde Baru pemerintah mengeluarkan peraturan untuk buruh yang mogok lebih

dari enam hari maka buruh tersebut dianggap mengundurkan diri dari pekerjaannya.

Peraturan mengenai pemutusan tenaga kerja, yakni Peraturan Menteri Tenaga Kerja

No. 04/Men/1986, selanjutnya digantikan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja

No. 03/Men/1996 tentang cara pemutusan hubungan kerja. Dalam peraturan ini

diberikan batasan kepada buruh untuk menolak melakukan pekerjaan dengan cara

mogok, yaitu selama-lamanya enam hari berturut-turut, apabila buruh melakukan aksi

mogok lebih dari enam hari, buruh tersebut dianggap mengundurkan diri. Peraturan

ini semakin membuat buruh tersubordinasi.

Masalah Kesehatan

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 8: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

Puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” dan puisi yang berjudul “Satu

Mimpi Satu Barisan” sama-sama membicarakan tentang masalah kesehatan. Pada

puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” tergambar masalah kesehatan pada

kutipan

Apa yang berharga dari puisiku

kalau orang sakit di rumah

karena rumah sakit mahal?

Makna dari puisi ini adalah rakyat miskin sulit untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan karena biaya rumah sakit mahal. Oleh karena itu, rakyat miskin lebih

memilih tinggal di rumah dan tidak berobat. Puisi ini merupakan protes terhadap

pemerintah yang mengelola negara. Seharusnya pemerintah dapat mengeluarkan

kebijakan biaya rumah sakit yang murah untuk rakyat miskin sehingga rakyat miskin

dapat berobat ke rumah sakit. Pendapatan rakyat miskin yang rendah pun

mengakibatkan rakyat sulit memenuhi kebutuhan hidupnya seperti berobat di rumah

sakit.

Pada puisi berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan” masalah kesehatan terdapat pada

kutipan

di cimahi ada kawan udin buruh sablon

kemarin kami datang dia bilang umpama ronsen pasti nampak isi

dadaku ini pasti rusak/ karena amoniak ya amoniak

Kutipan ini merupakan refleksi dari keadaan buruh yang bekerja di pabrik

berbahan kimia. Amonia adalah gas tajam yang tidak berwarna dengan titik didih -

35,5 derajat celcius cairannya mempunyai panas penguapan yang bebas yaitu 1,37

Kj/g pada titik didihnya dan dapat ditangani dengan peralatan laboratorium yang

biasa. Cairan Nitrogen (NH3) mirip air dalam perilaku fisikanya bergabung dengan

sangat kuat melalui ikatan hidrogen. Tetapan dielektriknya -22 pada -34 derajat

celcius kira-kira 81 untuk H2O pada 25 derajat cukup tinggi untuk membuatnya

sebagai pelarut pengion yang baik (Cotton dan Wilkinson, 1989). Amonia dan garam-

garamnya bersifat mudah larut dalam air. Ion amonium adalah bentuk transisi dari

amonia. Amonia banyak digunakan dalam proses produksi urea, industri bahan kimia,

serta industri bubur kertas dan kertas (pulp dan paper). Tinja dari biota akuatik yang

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 9: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Sumber

amonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara

atmosfer, limbah industri, dan domestik.

Amonia apabila terhirup oleh manusia dengan jumlah yang besar, sangat

berbahaya bagi kesehatan manusia terutama kesehatan paru-paru. Buruh pabrik rentan

sekali terkena zat kimia berbahaya. Oleh sebab itu, sangat disarankan bagi pengusaha

yang mendirikan pabrik, pengolahan limbahnya harus sudah baik agar masyarakat

sekitar dan para buruh pekerja tidak terkena dampak dari bahan-bahan kimia yang

sangat berbahaya bagi tubuh. Kutipan ini merupakan refleksi dari keadaan buruh pada

masa Orde Baru dan keadaan sekitar Wiji Thukul. Selain menanggapi hal ini dengan

membuat puisi, pada tahun 1992, Wiji Thukul juga pernah membantuk masyarakat

yang protes terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pabrik tekstil PT

Sariwarna Asli.

Masalah Penggusuran

Puisi yang berjudul “Nyanyian Akar Rumput” dan puisi yang berjudul “Apa yang

Berharga dari Puisiku” sama-sama membicarakan tentang masalah penggusuran. Pada

puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” tergambar masalah penggusuran

pada kutipan

jalan raya dilebarkan kami terusir mendirikan kampung

digusur kami pindah-pindah menempel di tembok-ditembok-tembok tercabut terbuang kami rumput/butuh tanah.

Dalam puisi yang berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” terdapat kutipan

berikut

Kalau kami terdesak mendirikan rumah

Di tanah-tanah pinggir selokan

Sementara harga tanah semakin mahal

Kami tak mampu membeli

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 10: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

yang merefleksikan keadaan masa Orde Baru. Dari kutipan tersebut tergambar

bahwa pada masa itu harga tanahnya mahal, masyarakat tidak mampu membeli tanah

sehingga banyak yang mendirikan rumah di pinggir rel kereta api atau di pinggiran

sungai, tetapi keadaan tersebut menyalahi aturan sehingga banyak juga yang terkena

penggusuran. Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto,

Komunitas Bambu (terj.), (2013: 267) pada masa Orde Baru, penduduk miskin yang

berada di kota banyak yang tinggal di bangunan tambal-sulam, di pinggir jalan,

bantaran sungai, dan di bawah jembatan karena harga tanah mahal. Rumah-rumah

mereka terbuat dari karton, potongan kardus bekas, dan terkadang papan besi, bahkan

mereka terpaksa pindah karena digusur oleh pemerintah daerah, petugas militer, atau

kepolisian. Bukan hanya masyarakat yang berada di wilayah pinggiran rel atau

sungai yang digusur, tetapi masyarakat yang berada di wilayah perkotaan atau pesisir

perkotaan juga ikut tergusur. Jika rumah mereka berada di tempat pemukiman yang

strategis untuk mendirikan mal atau proyek-proyek pemerintah yang lain, mereka

harus merelakan rumah mereka digusur kalau pemerintah memintanya.

Menurut Anggota IKAPI yang berjudul Masih(kah) Indonesia (2000: 49—50)

(2007: 49—50) mengungkapkan bahwa Orde Baru telah menjadi bagian sistem

ekonomi global yang berwatak dasar eksploitatif—kapitalistik dekatnya pengusaha—

dan pengusaha menyebabkan terjadi investasi luar biasa pada proyek-proyek

pembangunan gedung, seperti Dragon Tower, pembangunan Sudirman Central

Business District (CBD), Mega Kuningan, BNI City, Waterfront Development, dan

lain-lain. Presiden Soeharto juga mencanangkan Jakarta Waterfront City, sebuah

megaproyek yang mentransformasikan daerah pesisir ibukota menjadi kota terpadu

dengan kantor, apartemen, dan hotel berbentuk pencakar langit di atas ekstensi lahan

buatan.

Menurut Yoesoef (2003: 63—64), pemerintah sebagai pihak yang menentukan

kebijakan pembangunan bebas melaksanakan berbagai langkah yang bisa

mengamankan dan menyukseskan pembangunan. Dalam hal ini rakyat adalah pihak

yang diabaikan.Meskipun ada wakil rakyat di DPR,sebagian besar mereka tidak

menjadi perwakilan rakyat yang sesungguhnya. Dalam melaksanakan proses

perencanaan, sudah diketahui secara jelas bahwa pemerintah dipastikan mendapat

persetujuan tentang proyek pembangunan yang mereka rencanakan dan mendapat

legitimasi yang kuat dari wakil-wakil rakyat yang sebenarnya tidak mewakili

kepentingan rakyat, tetapikepentingan pribadi dan kalangannya.

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 11: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

Masalah Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia)

Menurut Iskandar, dkk. (2007: 128) Rezim Orde Baru telah melakukan tindakan

antidemokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM).Amnesty International pun

dalam laporannya pada 10 Juli 1991, menyebutkan bahwa Indonesia dan beberapa

negara Timur Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Eropa Timur, sebagai negara

pelanggar HAM. Dalam tahun yang sama, Human Development Report yang disusun

oleh United Nation Development Program menetapkan Indonesia berada pada urutan

ke-77 dari 88 pelanggar HAM (Anhar Gonggong d.k.k, 2005: 190).

Pada puisi berjudul “Peringatan” tergambar masalah pelanggaran hak asasi

manusia.Masyarakat yang mengeluarkan pendapat dianggap melawan pemerintah dan

banyak dari mereka yang melawan pemerintah hilang atau meninggal secara misterius

seperti pada kasus-kasus di atas. Di dalam puisi, hal tersebut tercermin pada kutipan

dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan menganggu keamanan.

Maknanya dari kutipan tersebut adalah rakyat pada masa Orde Baru dilarang

mengeluarkan kritikan dan saran karena akan dinilai subversif (melawan pemerintah).

Pemerintah membuat peraturan perundang-undangan subversif yang diatur oleh

Peraturan Presiden No.11 tahun 1963.Pada pemerintahan Orde Baru undang-undang

ini sering dijadikan landasan dalam menangkap orang-orang yang dianggap melawan

pemerintahan seperti yang pernah terjadi pada pada saat melaksanakan aksi buruh PT

Siritex.Pada aksi ini, Wiji Thukul ditangkap dan dipukuli hingga matanya hampir

buta. Hal ini juga yang menyebabkan Wiji Thukul menulis di salah satu bait sajak

yang berjudul “Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa” /ia tak mati-mati meski

bola mataku diganti/. Menurut Sunyono, dkk (2013: 100), Wiji Thukul menggelar

demonstrasi tersebut bersama aktivis Partai Rakyat Demokratik lainnya dari Pusat

Perjuangan Buruh Indonesia dan Solidaritas Mahasiswa untuk Buruh. Pada saat itu

ribuan buruh melakukan pemogokkan kerja pada tanggal 11 Desember 1995 untuk

menuntut kenaikan gaji buruh yang dibayar hanya Rp 1.600 per hari, jauh dari gaji

minimal provinsi Rp 2.600 per hari. Pada saat menuntut kenaikan gaji PT Sri Rejeki

Isman (Sritex) di Desa Jetis, Kabupaten Sukoharjo ketika itu datang Kodim

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 12: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

(Komando Distrik Militer) yang memukuli Wiji Thukul ke kap mobil aparat militer

hingga matanya hampir buta.

Pada puisi “Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa” terdapat kutipan

/meski bercerai dengan rumah/ ditusuk-tusuk sepi/ kutipan tersebut bermakna tentang

perasaan Wiji Thukul yang sedang dirasakannya ketika menjadi buronan dan harus

berpisah dengan keluarganya,Wiji Thukul merasakan kesepian yang sangat sebagai

refleksi dari peristiwa kehidupan Wiji Thukul yang menjadi buronan, sehingga harus

berpisah dengan keluarga karena dianggap dalang dari kerusuhan 27 Juli 1996.

Penguasa Orde Baru sangat otoriter dan melarang segala bentuk keritik dan saran.

Hak mengeluarkan pendapat tidak ada, ruang gerak media mempublikasikan sesuatu

yang berkaitan dengan penguasa harus diperiksa dan bila tidak sesuai yang diinginkan

penguasa akibatnya dapat fatal seperti pelarangan penerbitan yang lebih parah dapat

dihentikannya izin terbit seperti yang dipaparkan berikut ini. Menurut Asia Watch

(dalam Semma, 2008:134) masa Orde Baru adalah masa pemerintahan yang sangat

jelas menonjolkan ideologi diktator-otoriter. Ini tercermin pada saat pemerintah

mencabut izin 14 penerbitan termasuk tujuh surat kabar utama di Jakarta selama dua

minggu. Kemudian, sepanjang tahun 1980-an pers Indonesia terus mengalami

pelarangan demi pelarangan. Sebagai contoh, Jurnal Ekuin yang dilarang terbit akibat

menulis tentang keputusan pemerintah Indonesia untuk mengurangi harga minyak

yang dapat merugikan negara. Selanjutnya pada tahun 1983, saat terjadinya

permasalahan kesenjangan antara kaum borjuis dan proletar, tiga buah majalah

dilarang terbit karena menerbitkan masalah kesenjangan tersebut yang dianggap

sensitif oleh pemerintah.

Damono (1978:34) mengungkapkan bahwa pemerintah sebenarnya

menganggap bahwa tulisan atau karangan dari sastrawan seperti Wiji Thukul

memiliki peran yang penting bahkan dapat mempengaruhi sistem kekokohan yang ada

di pemerintahan. Oleh sebab itu, tulisan-tulisannya dikontrol oleh penguasa, apabila

dianggap melawan dan mengkritik pemerintah maka izin penerbitan akan dicabut. Hal

serupa sebenarnya sudah pernah terjadi di negara Rusia dan Cina yang memiliki

pandangan umum tentang hubungan antara sastra dan Marxisme. Di beberapa negara

komunis tersebut, pemerintah akan mengarahkan karya-karya sastrawan untuk

menuruti garis partai sehingga di negara-negara tersebut dapat diketahui partailah

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 13: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

yang menentukan segala-galanya. Apabila ada karya sastra yang melenceng dari garis

partai, akan dianggap tidak sesuai untuk masyarakat dan akan disingkirkan.

Menurut Hisyam (2003:58), bukan hanya keotoriteran yang sangat

mendominasi pada kepemimpinan Soeharto, tetapi rezim Orde Baru memang sangat

antikritik. Hal ini terlihat ketika ada orang yang mengkritik dan melawan sistem

pemerintahan, maka orang tersebut akan berhadapan langsung dengan aparat militer,

seperti yang dialami para mahasiswa yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Selain itu seperti kasus kerusuhan Malari, banyak mahasiswa yang ditangkap dan

dianggap dalang pada kerusuhan tersebut di zaman Orde Baru. Wiji Thukul yang

banyak menulis tentang sajak-sajak yang berisi protes terhadap pemerintahan Orde

Baru juga menjadi buronan. Pelarangan yang dilakukan pemerintah tersebut membuat

Wiji Thukul tidak gentar bahkan semakin sering menulis puisi-puisi yang berisi

protes. Selanjutnya, penulis memaparkan permasalahan Indonesia pada masa Orde

Baru dalam bentuk tabel.

Refleksi dari Situasi Sosial dan Sosial Pengarang Pada Masa Orde Baru

No Sajak Refleksi dalam Sajak Realitas Sosial Pengarang

1 “Apa yang Berharga dari

Puisiku”

Apa yang berharga dari puisiku kalau adikku tak berangkat sekolah karena belum membayar uang spp dan jika yang dimakan tidak ada?

Pada 1978 terjadi persoalan

kemiskinan di Indonesia,

yakni 40 % penduduk

berpenghasilan kurang dari

90 USD per tahun sehingga

masyarakat banyak yang

putus sekolah.

2 “Nyanian Akar Rumput” jalan raya dilebarkan kami terusir mendirikan kampung digusur kami pindah-pindah menempel di tembok-ditembok-tembok tercabut terbuang kami rumput butuh tanah

Pada 1978 terjadi persoalan

kemiskinan di Indonesia,

yakni 40 % penduduk

berpenghasilan kurang dari

90 USD. Realitas yang

terjadi pada masa Orde Baru

adalah penduduk miskin

banyak yang tinggal di

bangunan tambal-sulam, di

pinggir jalan, bantaran

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 14: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

sungai, dan di bawah

jembatan karena harga tanah

mahal. Rumah-rumah

mereka terbuat dari karton,

potongan kardus bekas, dan

terkadang papan besi, bahkan

mereka terpaksa pindah

karena digusur oleh

pemerintah daerah, petugas

militer, atau kepolisian.

3 “Peringatan” dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan menganggu keamanan

Pada masa pemerintahan

Orde Baru kritikan

merupakan tindakan

pelarangan, apabila

melaksanakan kritikan akan

dianggap subversif akan

ditindak dengan Peraturan

Presiden No.11 tahun 1963.

4 “Satu Mimpi Satu

Barisan”

di lembang ada kawan Sofyanjualan bakso kini karena dipecat perusahaankarena mogok karena ingin perbaikankarena upah yak karena upah

Pada 1979 upah standar

adalah Rp 350 (0,56 dolar)

untuk delapan jam kerja;

buruh perempuan dan anak-

anak dibayar kurang dari ini.

Menurut Kepala Federasi

Buruh Seluruh Indonesia

yang. KOPKAMTIB Agus

Sudono menyatakan 60%

buruh Indonesia dibayar

lebih rendah dari kebutuhan

hidup.

5 “Aku Masih Utuh dan

Kata-kata Belum

aku bukan artis pembuat berita tapi aku memang

Refleksi dari kehidupan Wiji

Thukul yang menjadi

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 15: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

Binasa” selalu kabar buruk bagi penguasa puisiku bukan puisi tapi kata-kata gelap ia tak mati-mati meski bola mataku diganti meski bercerai dengan rumah ditusuk-tusuk sepi ia tak mati-mati kau masih utuh dan kata-kata belum binasa

buronan, sehingga harus

berpisah dengan keluarga

karena dianggap dalang dari

kerusuhan 27 Juli 1996.

Menurut Sunyono, dkk

(2013: 100),Wiji Thukul juga

pernah menggelar

demonstrasi bersama aktivis

Partai Rakyat Demokratik

lainnya dari Pusat

Perjuangan Buruh Indonesia

dan Solidaritas Mahasiswa

untuk Buruh. Pada saat itu

ribuan buruh melakukan

pemogokkan kerja pada

tanggal 11 Desember 1995

untuk menuntut kenaikan

gaji buruh yang dibayar

hanya Rp 1600 per hari, jauh

dari gaji minimal provinsi

Rp 2.600 per hari. Pada saat

menuntut kenaikan gaji PT

Sri Rejeki Isman (Sritex) di

Desa Jetis, Kabupaten

Sukoharjo ketika itu datang

Kodim (Komando Distrik

Militer) yang memukuli Wiji

Thukul ke kap mobil aparat

militer hingga matanya

hampir buta.

Berdasarkan tabel di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa ternyata kelima

puisi itu saling berkaitan satu sama lain. Kelima puisi itu mengangkat permasalahan yang

sama, yakni mengenai rakyat Indonesia yang mengalami berbagai kesulitan diakibatkan dari

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 16: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

keotoriteran pemerintahan Orde Baru, yakni masalah kelaparan, kesehatan, pekerjaaan,

pendidikan, penggusuran, dan hukum. Semua permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah

tanggung jawab pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki wewenang dan kekuasaan

dalam membuat kebijakan seharusnya pemerintah dapat dengan cakap mengatur dan

mengelola Indonesia yang sangat kaya sumber daya alamnya.

Namun, pada kenyataannya yang terjadi pemerintah tidak melakukan kebijakan yang

mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya hanya mementingkan kepentingan

segelelintir golongan saja, yakni para kaum borjuis (kalangan menengan atas), akibatnya

terjadinya ketimpangan ekonomi dan timbulnya berbagai permasalahan bangsa karena

pemerintah pada pasa Orde Baru tidak pernah mau mendengar keluhan yang terjadi kalangan

rakyat miskin, mementingkan kepentingan pribadi.

Gambaran Permasalahan Indonesia

Pada Lima Puisi Wiji Thukul

No Judul Puisi Permasalahan

1

“Apa yang Berharga dari

Puisiku”

Puisi yang ditulis tahun 1986 ini menggambarkan

pertanyaan-pertanyaan batin Wiji Thukul tentang

kontribusi apa yang ia dapat ia berikan untuk bangsa

Indonesia yang sedang kesulitan memenuhi

kebutuhan sandang, pangan, dan papan karena

dipimpin penguasa yang zalim.

2. “Peringatan” Puisi yang ditulis pada tahun 1986 menggambarkan

situasi Indonesia yang semakin bobrok karena

dipimpin oleh pemimpin yang otoriter dan antikritik.

3. “Nyanyian Akar Rumput” Puisi yang ditulis tahun 1988 ini menggambarkan

keadaan Indonesia yang semakin sulit, rakyat

Indonesia disimbolkan seperti rumput yang diinjak-

injak pemerintahan yang zalim.

4 “Satu Mimpi Satu Barisan” Puisi yang ditulis tahun 1992 ini menggambarkan

kesenjangan sosial yang dialami buruh dan gambaran

kesewenangan-wenangan presiden dalam memimpin

Indonesia.

5 “Aku Masih Utuh dan Kata- Puisi yang ditulis tahun 1997 ini berfungsi sebagai

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 17: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

kata Belum Binasa” alat untuk memprovokasi masyarakat Indonesia agar

berani bergerak bersama melawan kezaliman

pemerintahan Orde Baru

Berdasarkan tabel di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa ternyata kelima

puisi karya Wiji Thukul tersebut saling berkaitan satu sama lain. Kelima puisi itu sama-sama

mengangkat permasalahan yang sama, yakni mengenai rakyat Indonesia yang mengalami

kesulitan hidup pada masa pemerintahan Orde Baru. Selain itu, kelima puisi tersebut

semuanya sama-sama menggambarkan kesewenang-wenangan presiden yang otoriter,

diktator, dan antikritik dalam memimpin rakyat Indonesia. Selanjutnya pada tabel di bawah

ini digambarkan keseluruhan dari situasi sosial pengarang dan realitas yang terjadi pada masa

Orde Baru.

KESIMPULAN

Setelah menganalisis lima puisi Wiji Thukul dalam kumpulan sajak Aku Ingin Jadi

Peluru, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan pertama adalah unsur-unsur

intrinsik dalam lima puisi Wiji Thukul, yakni “Apa yang Berharga dari Puisiku”, Nyanyian

Akar Rumput”,”Peringatan”,” Satu Mimpi Satu Barisan”, “Aku Masih Utuh dan Kata-kata

Belum Binasa” dipengaruhi oleh hal-hal di luar teks, seperti latar belakang sosial atau

peristiwa dan pandangan Wiji Thukul terhadap sebuah masalah atau pengetahuan.

Salah satu unsur intrinsik dari kelima puisi Wiji Thukul tersebut adalah penggunaan

majas atau gaya bahasa yang terdiri atas penggunaa majas metafora, personifikasi, sinisme,

hiperbola, dan ironi. Tingkat kemunculan paling sering ada pada majas personifikasi dan

hiperbola. Unsur intrinsik lainnya yang terdapat dalam kelima puisi tersebut adalah

pencitraan, baik dari segi pengelihatan dan pendengaran. Namun pencitraan yang ada dalam

puisi Wiji Thukul lebih banyak imaji penglihatan dibandingkan dengan imaji pendengaran

karena hanya imaji pendengaran hanya ditemukan satu buah. Unsur intrinsik yang

selanjutnya adalah tema. Tema dari lima puisi ini semuanya bertemakan protes. Oleh sebab

itu, penulis menyimpulkan puisi Wiji Thukul merupakan puisi pamflet. Sarena seperti yang

diungkapkan Pradopo (1987: 142) bahwa puisi pamflet adalah puisi yang mengungkapkan

protes sosial, puisi ini merupakan puisi-puisi demontrasi.

Puisi Wiji Thukul menggunakan imaji pendengaran dan imaji penglihatan untuk dapat

dengan mudah mengimajinasikan peristiwa yang terjadi pada Orde Baru. Hal ini bertujuan

untuk membuat pembaca merasakan hal yang sama yang dirasakan Wiji Thukul, ketika

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 18: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

rakyat dapat merasakan hal yang sama maka rakyat akan tergerak dan terpengaruh dengan

yang Wiji Thukul inginkan, yakni mempengaruhi rakyat untuk melaksanakan perlawanan

terhadap pemerintahan Orde Baru yang sangat otoriter dalam memimpin negeri.

Wiji Thukul menggunakan berbagai majas dalam lima puisinya, di dalam puisi

pertama yang berjudul “Apa yang Berharga daru Puisiku” Wiji Thukul menggunakan majas

metafora, sinisme, dan personifikasi, selanjutnya dalam puisi kedua yang berjudul

“Peringatan” majas yang digunakan dalam puisi kedua ini terdapat majas personifikasi,

metafora, sinisme, dan ironi, kemudian dalam puisi ketiga yang berjudul “Nyanyian Akar

Rumput” Wiji Thukul mengguanakan majas personifikasi dan hiperbola.

Dalam puisi keempat yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan” terdapat majas

personifikasi dan hiperbola dan pada puisi kelima yang berjudul “Aku Masih Utuh dan Kata-

Kata Belum Binasa” terdapat majas hiperbola dan personifikasi. Dalam kelima puisi Wiji

Thukul majas personifikasi adalah majas yang banyak digunaka dalam lirik-lirik Wiji Thukul

dalam ke lima puisi tersebut selalu ada personifikasi, posisi terbanyak kedua ada pada majas

hiperbola yang terdapat dalam tiga puisi, yakni “Nyanyian Akar Rumput”, “ Satu Mimpi Satu

Barisan”, “Aku Masih Utuh dan Kata-kata belum Binasa”, tersebut, majas sinisme dan

metafora hanya terdapat dalam dua puisi Wiji Thukul, yakni terdapat dalam pusi yang

berjudul “Apa yang berharga dari puisiku” dan “Peringatan”, sedangkan majas ironi hanya

tedapat dalam satu pusi Wiji Thukul yang berjudul “Peringatan”.

Dalam lima puisi Wiji Thukul banyak menggunakan majas personifikasi, yakni benda

mati dianggap hidup untuk memberikan dramatis dalam puisi tersebut yang dapat

dibayangkan pembaca dengan mudah, Wiji Thukul juga menggunakan majas hiperbola

untuk melebih-lebihkan sesuatu agar pembaca dapat dengan mudah dipengaruhi dengan

kejadian-kejadian yang dibuat secara berlebihan, majas metafora dan majas sinisme adalah

bentuk kiasan yang dibuat Wiji Thukul serta sindiran untuk menyindir pemerintah Orde Baru,

dan majas ironi digunakan Wiji Thukul untuk menunjukkan ke ironisan yang terjadi di

masyarakat, yakni sindiran halus yang dibuat Wiji Thukul bahwa semua permasalahan yang

terjadi adalah tanggung jawab dari pemerintah pada masa itu, yakni masa Orde Baru, semua

majas yang terdapat dalam lima puisi Wiji Thukul beserta imaji yang dibuatnya, bertujuan

untuk membuat pembaca dapat mengimajinasikan dan merasakan berbagai peristiwa yang

terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter sehingga masyarakat dapat tersentuh

hatinya untuk bergerak bersama melawan pemerintahan Orde Baru jadi inti dari lima puisi

Wiji Thukul secara tersurat memang tentang ketidakadilan berbagai permasalahan bangsa

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 19: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

Indonesia, tetapi makna tersiratnya Wiji Thukul ingin mengajak masyarakat Indonesia

bersama-sama untuk melaksanakan perlawanan terhadap pemerintahan Orde Baru.

Kesimpulan dari segi ekstrinsik puisi-puisi Wiji Thukul dari kumpulan puisi Aku

Ingin Jadi Peluru adalah bahwa kelima puisi tersebut dapat dijadikan sebagai cermin yang

dapat merefleksikan situasi sosial masyarakat dan situasi sosial pengarang ketika karya

tersebut dibuat.

Kelima puisi itu mengangkat permasalahan yang sama, yakni mengenai rakyat

Indonesia yang mengalami berbagai kesulitan diakibatkan pemerintah yang sewenang-

wenang dalam memimpin negeri ini, akibatnya timbul berbagai permasalahan yang terjadi,

yakni masalah kelaparan, kesehatan, pekerjaaan, pendidikan, penggusuran, dan hukum.

Semua permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah tanggung jawab pemerintah karena

pemerintahlah yang memiliki wewenang dan kekuasaan dalam membuat kebijakan

seharusnya pemerintah dapat dengan cakap mengatur dan mengelola Indonesia yang sangat

kaya sumber daya alamnya.

Namun, pada kenyataannya yang terjadi pemerintah tidak melakukan kebijakan yang

mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya hanya mementingkan kepentingan

segelelintir golongan saja, yakni para kaum borjuis (kalangan menengah atas), akibatnya

terjadinya ketimpangan ekonomi dan timbulnya berbagai permasalahan bangsa karena

pemerintah pada pasa Orde Baru tidak pernah mau mendengar keluhan yang terjadi di

kalangan rakyat miskin, hanya mementingkan kepentingan pribadi.

Selain itu, pemerintah lebih mengutamakan pembangunan mancusuar ekonomi yang

besar dan membuka seluas-luasnya penanaman modal dan kerjasama dengan pihak asing,

seandainya saja pemerintah mengutamakan pemerataan kesempatan belajar untuk seluruh

anak di Indonesia mendapatkan hak yang sama mendapatkan kesempatan pendidikan hingga

perguruan tinggi, tentunya permasalahan bangsa dapat diatasi karena masyarakat akan dapat

mengelola sumber daya alam secara mandiri di daerahnya masing-masing.

Masyarakat akan mandiri tidak ada lagi penggusuran, kelaparan, pengangguran, dan

orang sakit yang tidak dapat berobat. Namun, pada kenyataannya yang mengelola sumber

daya alam Indonesia bukan masyarakat setempat, melainkan pihak asing alhasil banyak anak

Indonesia menjadi buruh di negerinya sendiri dan ini sangat ironis negeri yang kaya namun

penduduknya banyak yang tidak sejahtera.

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014

Page 20: ria maha putri-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ringkas ...

Daftar Referensi:

Anggota IKAPI, 2007. Masih(kah) Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Cotton dan Wilkinson.1989.Dasar Kimia Anorganik . Jakarta:UI-Press

Djoko Damono, Sapardi. 1978. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan.

Gonggong, Anhar, Musa Asy’arie, ed. 2005. Sketsa Perjalanan Bangsa

Berdemokrasi: 60 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Departemen Komunikasi dan

Informatika.

Hisyam, Muammad. 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Iskandar, Mohammad, dkk. 2007. Sejarah Indonesia dalam Perkembangan Zaman.

Bekasi: Ganeca Exact.

Peraturan Presiden No. 11 tahun 1963. Pasal Subversif.

Pradopo, Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang. No. 04 Tahun 1999 tentang Peraturan

Pemutusan Tenaga Kerja. Menteri Tenaga Kerja. Jakarta.

Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Studies. Southwood dan Flanangan. 2013. Teror Soeharto. Depok: Komunitas Bambu

(terj).

Suyono, Seno Joko, dkk. 2013. Teka-Teki Wiji Thukul. Jakarta: Tempo.

Suyono, Seno Joko, dkk. 2013. Teka-Teki Wiji Thukul. Jakarta: Tempo.

Utomo, Tatag. 2005. Mencegah dan Mengatasi Krisis Anak. Jakarta: Grasindo.

Waluyo, Herman. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yoesoef, M. 2007. Sastra dan Kekuasaan: Pembicaraan atas Drama-drama Karya

W.S. Rendra. Depok: Wedatama Widya Sastra.

Zon, Fadli. 2004. Politik Huru-Hara Mei 1998. Jakarta: Institute for Poicy

Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014