Review Buku
-
Upload
sylvester-rio-sandy-pradana -
Category
Documents
-
view
84 -
download
6
Transcript of Review Buku
REVIEW BUKU
Self Government
(Studi Perbandingan Tentang Desain Administrasi Negara)
Buku karangan Yusra Habib Abdul Gani ini terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama memuat tentang segala hal mengenai self government itu sendiri.
Mulai dari awal mula lahirnya self government, pengertian, pengaturan,
persinggungannya dengan legalitas hukum, dan tantangan untuk merumuskan dan
implementasinya.
Bagian kedua menjelaskan tentang penyelenggaraan self government di
berbagai negara. Diantaranya, Faero, Hong Kong, Puerto Rico, Skotlandia, Tibet,
Amerika Serikat, Aceh, Greenland, Sabah & Serawak, Monaco, Palestina, dan
terakhir Bouganville. Sementara bagian ketiga berisi kesimpulan dan komentar
politisi dari berbagai negara perihal self government.
Dalam buku ini terdapat lima desain self government yang dapat dikategorikan
sebagai berikut, pertama, politisi daerah atau negara bagian menuntut, memberikan
ide/inisiatif supaya pemerintah pusat memberikan kekuasaan dan kewenangan penuh
kepada pemerintah daerah untuk menjalankan administrasi khas daerah di pelbagai
bidang. Kedua, self government merupakan hasil rundingan politik atau solusi terakhir
untuk mengakhiri konflik vertikal antara penjajah dengan penduduk asli suatu
wilayah. Ketiga, self government diselenggarakan atas dasar perjanjian antara dua
penjajah yang sepakat memberi hak khusus untuk mengurus negeri di wilayah bekas
jajahan masing-masing. Keempat, self government yang merupakan hasil usaha dari
kemampuan politisi dalam melobi pemerintah pusat tanpa menimbulkan konflik
politik dan militer. Kelima, self government diselenggarakan di suatu wilayah politik,
1
karena penduduk setempat yang mengalah dan bersedia untuk bergabung dengan
negara induk.
Munculnya self government yang merupakan pemberian kewenangan dan
kebebasan pemimpin lokal dalam mengurus administrasi di wilayahnya tidak terlepas
dari sejarah Inggris terhadap Kanada, Amerika, Australia, dan New Zealand. Di
Amerika, tuntutan self government yang muncul pada tahun 1600-an berasal dari
beberapa state. Penguasa state menyadari bahwa loyalitas para gubernur yang
dipersembahkan kepada penguasa pusat, bukan cara terbaik untuk mengubah nasib
rakyat yanhg menginginkan kedamaian dan kesejahteraan. Penguasa pusat harus
melihat potensi negara-negara bagian untuk mengatur wilayahnya sendiri tanpa ada
prasangka buruk perihal nasionalisme. Perjuangan self government ini melewati
proses yang panjang dan rumit bahkan memaksa terjadinya perang seperti yang terjadi
di Amerika pada 1861-1865 (civil war).
Definisikan self government secara konkrit ialah, “government of agroup by
the action of its own members, as in electing representatives to make its laws” yang
dihubungkan dengan self-control dan mempertegas pengendalian diri, perilaku,
karakter, stabilitas, konsep otonomi, hak menentukan nasib sendiri, dan merdeka.
Self government di suatu wilayah/state terlaksana setelah adanya kompromi
politik antara penguasa wilayah dan pemerintah pusat mengenai bidang-bidang yang
akan dilaksanakan telah disepakati. Pemerintah pusat pun seharusnya tidak
memberikan sekat, menghambat, mengintimidasi, dan meneror dengan cara memberi
cap separatis.
Dari kajian sejarah, dokumentasi dan berbagai pengalaman berbagai negara
dalam pelaksanaan otonomi dan self government serta perangkat hukumnya, terdapat
indikasi bahwa terjadi pertentangan kepentingan antara pemerintah pusat dengan
2
penguasa daerah. Hal ini dapat memicu terjadinya ledakan pemikiran politik terutama
dalam konteks demokrasi dengan mengalirnya tuntutan pelaksanaan self government
baik itu kepada penjajah atau PBB di wilayah konflik pasca Perang Dunia II. Tuntutan
ini bermaksud untuk menyelesaikan konflik perbatasan wilayah negara induk dan
sejarah bangsa yang memiliki karakteristik, batas wilayah, dan administrasi yang
berbeda dengan negara induk.
Upaya perjuangan dan pelaksanaan self government menghadapi tantangan
dari reaksi pemerintah pusat dalam menyahut aspirasi politik atau suara rakyat di
daerah. Kita dapat melihat pada perkembangan politik di Kurdi (Turki bagian timur).
Etnik Kurdi yang minoritas berjuang lewat partai politik lokal, tidak diperlakukan
secara adil oleh pemerintah pusat (Turki). Harapan kelompok Kurdi yang berjuang
melalui Parlemen gagal dan dilarang. Bahkan pemerintah pusat menggunakan operasi
militer untuk meredam mereka.
Penerapan self government harus melewati beberapa tahap seperti pemahaman
historis, filosofis, ideologis, politis, yuridis, dan kesadaran politik bernegara dalam
pengambilan keputusan atau pengorganisasian self government.
Pemahaman historis, menyadarkan semua orang akan nilai kesejarahan masa
lalu. Idiom the king can do no wrong mulai terusik setelah adanya ide self government
pada 1600-an sebagai bentuk protes ketidakpuasan pemerintah negeri terhadap
pemerintah pusat. Otoritas raja mendapatkan perlawanan dari rakyat yang menuntut
adanya pemisahan kekuasaan antara raja, parlemen, dan eksekutif.
Pemahaman filosofis, sebagai landasan untuk berpikir guna membangun
partisipasi warga negara untuk mengetahui nilai filosofis praktek bernegara. Baik itu
kebebasan berkelompok, self government, dan partisipasi rakyat dalam keputusan
politik melalui parlemen.
3
Pemahaman ideologis, memberikan kesadaran akan nasionalisme yang
direpresentasikan lewat simbol-simbol. Penguasa harus mampu memotivasi rakyat
dalam membangun kebangsaan. Ideologi dapat digunakan sebagai alat untuk
memenuhi harapan rakyat.
Self Government Berbagai Negara
1. Faero
Kepulauan Faero ini terletak di sebelah Utara Lautan Atlantik dan Eropa,
bersebelahan dengan Norwegia-Islandia. Self government dimulai saat usainya perang
dunia II, tepatnya tahun 1948 politisi Faero berpikir tentang adanya “Home Rule
National Society in the Danish Kingdom” yang memerlukan lembaga eksekutif dan
legislatif lokal. Di bawah home rule ini nantinya dapat menjalankan pemerintahan
sendiri secara ekstensif.
Faero pun meminta PBB agar dapat menjalankan pemerintahan sendiri.
Namun, dalam prosesnya mengalami beberapa hambatan. Pertama, mengenai batas
wilayah yang tidak jelas. Kedua terbentur dengan reslusi PBB 1946, Bab 73 og 74
hanya mengatur batas wilayah tidak mengatur soal siapa yang berhak memerintah.
Dan Faero merupakan salah satu wilayah kedaulatan hukum Denmark dan tidak
berhak untuk mengatur diri sendiri.
Faero memang memiliki sumber daya alam yang kaya namun, yang berlaku
adalah hukum positif nasional Denmark. Faktanya, Faero dan Denmark memiliki
perbedaan yang jauh dalam pelbagai hal. Pada 1946 diadakan referendum yang
hasilnya memutuskan Faero merdeka. Ratu Denmark yang mengetahui kemudian
melakukan kompromi politik. Dan tercapailah self government di Faro pada 1948 dan
diberlakukan Konstitusi Denmark 5 Juni 1953.
4
2. Hong Kong
Ketika perang dunia II, Hong Kong diduduki oleh Jepang. Lebih dari 700.000
penduduk Hong Kong menyelamatkan diri ke daratan Cina untuk menghindari
intimidasi dan teror dari serdadu Jepang. Setelah kekalahan Jepang, Hong Kong
menjadi “Mac Arthur’s Children” dan Inggris pun menghentikan perdagangan opium.
Dalam perkembangannya, pemimpin Cina Mao Tze Dung menyatukan Cina
dalam “People’s Repubic of China” tahun 1949. Banyak penduduk Hong Kong yang
ikut dalam panyatuan Cina tersebut. Hanya Chiang Kai Shek (tokoh anti Mao Tze
Dung) yang menolak dan melarikan diri bersama pengikutnya ke Macau, Taiwan, dan
Hong Kong. Kemudian mempelopori pulau kecil Taiwan menjadi “The new earth of
China” yang memiliki self government yang lebih luas dan bebas dari Hong Kong.
Akhirnya pada tahun 1956, Inggris memberi hak self administration untuk
menjalankan pemerintahan dan perekonomian Hong Kong. Namun, kuasa
administrasi jabatan gubernur tetap diangkat oleh Inggris.
Pada 1974 bahasa Mandarin diakui sebagai bahasa resmi Hong Kong. Untuk
menertibkan status kewarganegaraan, tahun 1983 dikeluarkan “The English
Nationality Act”. Melalui “Hong Kong agreement”, Hong Kong menerapkan “Special
Administrative Region (SAR)” yang memakai konsep “One Country, Two System”.
Konsep ini merupakan wujud kompromi politik dua penjajah (Cina dan Inggris).
Perpaduan kedua sistem ekonomi Timur-Barat ternyata mampu memicu laju
perekonomian Hong Kong dan dapat beradaptasi dalam globalisasi ekonomi
internasional. Pun juga dalam bidang sosial-politik, penduduk Hong Kong bebas
mengeluarkan aspirasi politik dalam demokrasi.
5
3. Puerto Rico
Pada tahun 1809 Puerto Rico diakui sebagai salah satu provinsi Spanyol yang
berhak mengirim perwakilan dalam parlemen pusat dan memakai mata uang Spanyol.
Tahun 1868 Segundo Ruiz Belvis memperjuangkan kemerdekaan Puerto Rico.
Akhirnya tahun 1898 pemerintah Spanyol memberlakukan otonomi di Puerto Rico
secara efektif.
Ketika Amerika Serikat berhasil menduduki Puerto Rico (1898), Spanyol
terpaksa melepas jajahannya itu. Sejak itulah Puerto Rico menerapkan self
government berada dalam wilayah teritorial dan perlindungan AS. Menjalin hubungan
dengan AS dalam bidang pertahanan dan keamanan yang dikontrol langsung.
Pada tahun 1915 delegasi Puerto Rico menandatangani tentang pelaksanaan
self government. Tahun 1922 Mahkamah Agung AS mengeluarkan pernyataan resmi
bawa Puerto Rico merupakan satu kesatuan wilayah federal.
Tahun 1947 pemrintah AS memberikan jaminan kepada Puerto Rico untuk
memilih parlemen sendiri secara demokratis. Tahun 1951 Puerto Rico meratifikasi
konstitusi lewat “Constitutional Convention”. Kemudian pada 1953 Puerto Rico
disetujui menjadi “commonwealth constitution”.
Puerto Rico mengadakan plebicite yang menghasilkan status Commonwealth.
Berbentuk republik yang dipimpin oleh gubernur dalam wilayah kedaulatan
Konstitusi Amerika Serikat. Administrasi pemerintahannya tetap tunduk pada
Presiden AS. Puerto Rico memiliki perwakilan dalam Kongres AS, walaupun
delegasinya tidak dipilih (Resident Commissioner). Pemilu diselenggarakan oleh
sebuah badan pemilihan federal.
Sejak tahun 1952 sampai sekarang, pemerintahannya dijalankan secara
demokratis. Rakyat dapat menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai politik lokal
6
yang diakui oleh pemerintah federal. Pemerintah federal pun tidak menganggap
politisi yang aktif dalam salah satu parpol sebagai musuh negara yang mesti ditumpas.
Pemerintah federal membiarkan aspirasi politik rakyat mengalir sembari mengajar
rakyat Puerto Rico untuk berpikir kritis dan objektif dalam upaya menyejahterakan
rakyatnya dalam bidang ekonomi sosial politik di bawah sistem pemerintah federal
AS. Dengan dilaksanakannya self government, faktanya, Pueto Rico telah berhasil
membangun politik, stabilitas kemanan dalam negeri dan perekonomian.
4. Skotlandia
Bangsa ini terkenal dengan kegigihannya dalam memperjuangkan
kemerdekaannya. Mulai dari perang Dunbar 1296, Stirling Bridge (1297), Falkirk
(1298), hingga Halidon Hill (1333), Skotlandia masih ingin mempertahankan hak
dasarnya yang dirampas oleh Inggris. Baru pada tahun 1600 dimulailah era rebuild of
England. Pada tahun 1649-1660, Inggris memberi 10 kuasa kepada Skotlandia yang
dirangkum dalam commonwealth period. Nmun realitasnya masih saja tersandung
dengan trik-trik politik pemerintah pusat.
Menjelang abad 18-19 bidang administrasi self government diperluas,
sementara kuasa legislatif dan eksekutif tetap menjadi otoritas pemerintah pusat.
Ketidakpuasan ini dijawab dengan kesepakatan Skotlandia Act 1998 berisi pemisahan
kekuasaan antara Great Britain dan Skotlandia. Kesepakatan ini mengatur lima sektor
utama, yakni: UUD, Hubungan Internasional dan Kebijakan Luar Negeri, Hankam
Nasional, Kebijakan Fiskal dan Keuangan, Hukum Perusahaan dan Hak Cipta, Energi,
UU Ketenagakerjaan, Tunjangan Jaminan Sosial, Imigrasi, dan Kewarganegaraan,
Penyiaran, dan Telekomunikasi, tetap dipegang oleh pemerintah pusat Inggris.
Sementara masalah Kesehatan, Pendidikan, Perumahan, Pekerjaan Sosial,
7
Perencanaan, Pengangkutan, Hukum Perdata, Hukum Pidana, Sistem Hukum, Polisi,
Pemerinytah Daerah, Pengembangan Ekonomi, Peneneman Modal, Pariwisata,
Lingkungan, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Budaya, dan Olahraga menjadi
kewenangan Skotlandia.
Pemerintah Skotlandia mendesak reformasi dalam kebijakan politik, ekonomi,
dan lain-lain, namun pada saat pemerintahan Inggris dibawah PM Margareth Thacher
dan John Meyer berdalih masalah otonomi bisa mengancam keutuhan negara.
Kebijakan politik berubah saat pemerintahan PM Tony Blair yang mendukung
otonomi Skotlandia termasuk membentuk Parlemen Skotlandia dan mengesahkan UU
Skotlandia 1998. Parlemen Skotlandia dapat memilih Menteri Utama yang status dan
kedudukannya tetap bertanggung jawab kepada pemerintah pusat.
Dalam realitasnya, Skotlandia sampai sekarang masih tetap menjadi bagian
Great Britain. Pengalamannya menjadi pelajaran berharga bagi gerakan kemerdekaan
yang telah memilih kompromi politik (self government) tetap saja dijajah.
Terapan di Indonesia
Di Indonesia desain self government belum dikenal walaupun banyak negara
sudah menerapkannya beratus tahun lalu. Self government belum diartikan dan
dipahami sebagai demokrasi. Ini bisa dimaklumi karena desain self government
mempunyai ciri khas, dimana pemerintah pusat memberi hak dan wewenang yang
luas kepada penguasa daerah untuk mengatur wilayahnya, termasuk berhak
mendirikan parpol lokal yang bertujuan memperjuangkan kemerdekaan.
Hal ini, secara filosofi dan ideologis, berbenturan dengan sila “Persatuan
Indonesia” Pancasila yang dipahami sebagai doktrin menunggalkan ke-bhineka-an
yang ada di Indonesia dalam NKRI. Karena itu pemerintah pusat tidak mungkin
8
memberi izin kepada daerah untuk mendirikan parpol lokal yang bertujuan
memperjuangkan kemerdekaan. Ini dianggap tindakan inkonstitusional, sebab pasal
(1) UUD 1945 menyebut: “Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk
Republik” dan UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Keamanan dan UU No. 34/2004
tentang TNI yang dalam pasal 7 menyebut bahwa “Tugas pokok TNI adalah
menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.”
Pemahaman politis dan yuridis dalam kaitannya dengan administrasi self
government berarti semua kebijakan dalam jajaran eksekutif dan legislatif, mesti
dirumuskan secara tegas dalam perundang-undangan. Hal ini perlu untuk menghindari
terjadinya konflik kepentingan antara sesama politisi. Kodifikasi keputusan ini
merupakan dokumen yang bisa dipakai sebagai pembanding dalam perjalanan
administrasi self government dari masa ke masa.
Sisi lain dari self govenrment ialah terbukti bahwa tingkat kesadaran politik,
partisipasi warganegara dalam kancah politik dan tingkat kesejahteraan penduduk di
daerah yang menyelenggarakan self govenrment, diakui lebih maju berbanding model
administrasi negara klasik yang mendominasi kuasa pemerintah pusat.
9
ANALISIS KASUS RUU KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
Mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta memasuki ranah yang lebih serius mengenai keinginan masyarakat untuk
referendum terhadap permasalahan tersebut. Jika dibiarkan berlarut-larut ke depannya
akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perdebatan ini
berawal dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di depan sidang
kabinet. Soal monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi
pada 26 November 2011.
Dalam perkembangan kasus ini pemerintah tetap bersikeras agar kepala daerah
dipilih melalui pemilihan yang demokratis. Dengan alasan menghargai dan
menghormati UUD 1945, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi, "Gubernur,
Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis", sehingga draf Rancangan Undang
Undang (RUU) Keistimewaan, tetap dipertahankan.
Mekanisme pemilihan merupakan sikap resmi yang disampaikan pemerintah.
Sikap ini juga ditunjukkan oleh Fraksi Partai Demokrat di DPR. Sedangkan, fraksi-
fraksi lain, seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan PDI Perjuangan,
setuju dengan penetapan. Perdebatan ini masih akan terus bergulir. Karena pemerintah
mengulur waktu menyampaikan draf RUU ini sehingga tugas parlemen untuk mulai
memperdebatkannya, menyempurnakan draf itu, termasuk juga menolaknya dan
membuat versi lain, terhambat oleh sikap pemerintah yang menunda tersebut.
Terhadap sikap pemerintah ini yang merujuk kepada Pasal 18 ayat (4)
tersebut, masih dapat diperdebatkan. Memang tak bisa dipungkiri pemilihan kepala
daerah telah diselenggarakan atas adanya klausul pasal 18 ayat (4) tersebut melalui
amandemen UUD 1945 pada tahun 2000 lalu.
10
Namun, untuk Pemilihan Gubernur di Yogyakarta, semestinya pemerintah
membaca kembali rujukan UU No 32 Tahun 2004 yang telah mengatur secara
limitatif dalam Pasal 226 ayat (2) yang berbunyi, "Keistimewaan untuk Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU No 22 Tahun 1999,
adalah, tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta didasarkan pada UU ini". Jadi penyelenggaraan pemerintahan tetap
merujuk UU ini.
Rujukan UU No 32 Tahun 2004 itu tepat dengan semangat UUD 1945 dalam
Pasal 18B ayat (1) yang menyatakan, "Negara mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa dengan
undang-undang".
Jika pemerintah tetap memaksakan untuk menggunakan Pasal 18 ayat (4)
tersebut, dengan argumentasi bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis,
sepertinya pemerintah melupakan. Bahwa, rujukan tersebut sekarang ini masih tetap
diperdebatkan oleh banyak kalangan. Terutama yang menolak untuk Pemilihan
Gubernur di seluruh Indonesia dipilih langsung.
Bagi mereka rujukan Pasal 18 ayat (4) itu hanya mencantumkan kata-kata
dipilih secara demokratis, yang menimbulkan asumsi bahwa DPRD tempo lalu dalam
memilih Gubernur juga demokratis. Tidak ada perintah konstitusi bahwa pilkada
harus dipilih oleh rakyat secara langsung. Aturan itu beda dengan Pasal 6A ayat (1)
UUD 1945, yang menyatakan, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh
rakyat.
Pasal 18 ayat (4) juga menyatakan, kepala daerah dan wakilnya tidak dipilih
dalam satu paket (pasangan). Dengan kata lain konstitusi memang tidak
mengamanatkan dilakukannya pilkada langsung.
11
Dari perdebatan ini mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta semestinya tetap dipertahankan. Selain untuk
penghormatan pemerintah terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus juga pelestarian kebudayaan kita.
Bukan Monarki Politik
Pemerintahan di Yogyakarta menerapkan semua prinsip demokrasi dan
administrasinya seperti halnya provinsi lain. Karena itu, tidak tepat jika Presiden tidak
segera mengesahkan keistimewaan Yogyakarta. Mayoritas fraksi di DPR pun
menyepakati penetapan Sultan HB dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi DIY. Selain diinginkan rakyat, konstitusi juga telah menjamin
keistimewaan sebuah daerah sehingga penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai
kepala daerah bukanlah bentuk monarki politik.
Jika mekanisme penentuan gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) melalui penetapan selalu "dibenturkan" dengan makna demokrasi
harus melalui pemilihan, maka sampai kapan pun konsep pemerintah pusat itu selalu
berhadap-hadapan dengan rakyat yang menginginkan penetapan.
Pemerintah pusat yang mengajukan konsep bahwa gubernur dan wakil
gubernur DIY harus ditentukan melalui pemilihan, bukan melalui penetapan karena
dinilai mekanisme ini tidak demokratis, akan selalu "berbenturan" dengan keinginan
rakyat di daerah ini yang menghendaki penetapan.
Oleh karena itu, wacana gubernur utama dan wakil gubernur utama yang
diusung pemerintah pusat sebagai solusi atau jalan tengah untuk meredam penolakan
rakyat DIY atas mekanisme pemilihan, tampaknya akan membentur kokohnya
12
keinginan rakyat di daerah ini bahwa gubernur dan wakil gubernurnya harus
ditetapkan, bukan dipilih.
Sebab, menurut Sultan, wacana gubernur utama tidak sesuai dengan aspirasi
rakyat DIY. Ketika ada dualisme kepemimpinan, rakyat akan bingung karena ada
sultan dan gubernur. Ketika ada masalah yang menyangkut rakyat, mengadu ke
sultan, padahal kapasitasnya terbatas. Terkait dengan hal itu, menurut dia berdasarkan
filosofi kultural, gelar Hamengku Buwono merupakan amanah yang perlu dijalankan
dengan penuh tanggung jawab.
RUUK DIY dari pemerintah pusat yang konsepnya mencantumkan
"pararadya" atau gubernur utama, tidak sesuai dengan filosofi dan kultural masyarakat
setempat, kata sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Sunyoto
Usman. Menurut dia, keistimewaan DIY tidak hanya terletak pada posisi gubernur
dan wakil gubernur, melainkan juga keistimewaan bidang pertanahan, keuangan, dan
kebudayaan. Penyusunan dan penyerapan aspirasi RUUK DIY sebaiknya dilakukan
secara `bottom up`, bukan `top down`. Jangan sampai apirasi rakyat DIY dipolitisisasi.
Draf dari pemerintah pusat tentang RUUK DIY saat ini perlu ditinjau dan
diperbaiki, karena ditemukan banyak terminologi yang tidak jelas, di antaranya istilah
gubernur utama. Di banyak negara, kata dia, konsep tersebut tidak ditemukan, dan
tampaknya itu hanya akal-akalan untuk mengganti istilah pararadya menjadi gubernur
utama.
13
DAFTAR PUSTAKA
http://nasional.kompas.com/read/2010/11/30/08293141/
Jangan.Pertanyakan.Keistimewaan.Yogyakarta diakses tanggal 5 April 2011,
pukul 18.00 WIB
http://www.antaranews.com/news/249596/keistimewaan-yogyakarta-untuk-rakyat
diakses tanggal 5 April 2011, pukul 19.00 WIB
http://politik.vivanews.com/news/read/206998-sultan-temui-dpr--bahas-ruu-
keistimewaan-diy diakses tanggal 5 April 2011, pukul 19.00 WIB
14