Critical Review Buku Masyarakat & Pilihan Hukum

download Critical Review Buku Masyarakat & Pilihan Hukum

of 24

description

Tulisan ini merupakan review atas buku "Masyarakat & Pilihan Hukum" karya Dr. Indah S. Utari, S.H., M.Hum.Tulisan ini menarik, karena berusaha mengupas dunia hukum dari perspektis sosial budaya masyarakat.

Transcript of Critical Review Buku Masyarakat & Pilihan Hukum

  • 0

  • 1

    IDENTITAS BUKU Judul Buku : Masyarakat dan Pilihan Hukum Penulis : Dr. Indah S. Utari, S.H., M.Hum. Tahun Terbit : 2012 Penerbit : CV. Sanggar Krida Aditama Tempat Terbit : Semarang ISBN : 978-602-17954-2-2

    KATA PENGANTAR REVIEWER Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada seluruh umat di dunia. Dalam kesempatan yang baik ini review diberi banyak limpahan waktu untuk membaca, memahami, mereview, dan memberi kritik terhadap buku yang berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum karya Dr. Indah S. Utari, S.H., M.Hum. Critical review ini saya lakukan per bab, langkah ini ditempuh untuk tetap menjaga sistematika buku. Hal ini akan mempermudah bagi pembaca dalam memahami critical review yang saya susun. Secara garis besar buku ini membahas tentang pilihan hukum yang ditempuh masyarakat, kaitannya dengan pemaknaan masyarakat terhadap hukum, tindakan-tindakan hukum masyarakat, proses penyelesaian hukum, dan hukum dalam perspektif teori. Critical review ini semoga memberi manfaat bagi pembaca. Reviewer menyadari critical review ini belum sempurna seutuhnya, masih banyak kajian yan belum ter-cover sepenuhnya. Kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan critical review ini. Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan critical review ini. Semarang, 18 Juni 2013 Reviewer

    CRITICAL REVIEW

  • 2

    Bagian pendahuluan buku ini menjelaskan tentang pilihan hukum masyarakat. Utari menyatakan bahwa masyarkat dalam menyikapi pluralisme fakta dan fenomena hukum perlu memiliki pilihan-pilihan hukum, yang pada hakikatnya untuk mewujudkan tertib sosial. Masyarkat memiliki pemaknaan yang berbeda-berbeda terhadap hukum tertentu, sehingga masing-masing individu akan memiliki pilihan yang berbeda pula. Bagian awal ini juga menjelaskan secara sekilas tentang varian hukum yang berkembang di masyarakat, yang familier adalah hukum negara. Bagi kalangan awam hukum negara adalah aturan-aturan dan sanksi-sanksi tertulis yang disusun oleh pemerintah serta bersifat memaksa, eksklusif, dan istimewa. Hasil penelitian Falk-Moore menyatakan bahwa justru sistem normatif lainnya selain produk negara dianggap lebih efektif dibanding hukum negara. Galanter menjelaskan alasan mengapa demikian, karena pesan-pesan normatif dan keadilan tidak hanya diperoleh melalui forum negara, tetapi juga dapat diperoleh melalui ruang-ruang sosial lain di luar negara. Utari dengan baik menjelaskan pergeseran pendekatan yang digunakan untuk memahami pilihan hukum masyarakat. Pendekatan yang digunakan saat ini adalah analisis situasional, setelah menggantikan pendekatan lama yakni melalui analisis struktural-fungsional. Bagain pendahuluan ini juga membahas secara sekilas tentang konsep-konsep utama dalam pilihan hukum masyarakat. Konsep-konsep tersebut terangkum dalam sub-bab berikut ini: Pilihan Hukum dan Makna Sosial Hukum, Pilihan Hukum dan Fungsi Hukum, Relevansi Studi Pilihan Hukum dan Makna Sosial Hukum, Konteks Perubahan Sosial, dan Sifat Pendekatan. Saya kiranya perlu untuk membahas sedikit tentang konsep-konsep di atas, tujuannya agar pembaca memahami batasan buku ini dan memiliki bekal akademik untuk membaca buku ini secara keseluruhan.

    Pilihan Hukum dan Makna Sosial Hukum Kedua istilah di atas memiliki keterkaitan yan erat, maksudnya, individu akan menentukan pilihan hukum sesuai dengan makna yang ia berikan terhadap hukum tersebut. Jika individu memaknai hukum negara tidak lebih baik dari hukum adat, penyelesaian sengketa akan ditempuh melalui hukum adat, karena individu tersebut menilai/memaknai hukum adat lah yang paling baik dan sesuai untuknya saat ini. Makna-makna sosial hukum beraneka ragam, sesuai pendapat beberapa ahli, diantaranya hukum sebagai alat perubahan sosial, sistem kontrol yang terkendali, sarana pembaruan masyarakat, sarana perubahan sosial yang terencana, dan makna-makna lainnya.

    PENDAHULUAN

  • 3

    Sarana formal untuk mencapai makna di atas adalah peradilan negara. Namun dalam penerapannya di Indonesia, legitimasi peradilan negara akan berhadapan dengan legitimasi lokal/kultural. Legitimasi mana yang lebih besar, itulah yang akan menjadi pilihan hukum masyarakat untuk menyelesaikan masalah. Hal ini dapat diketahui lebih jauh melalui kajian tentang penggunaan pengadilan oleh masyarakat. Hal yang menambah rumit adalah bahwa pengadilan bukanlah sumber tunggal bagi masyarakat dalam memperoleh nilai-nilai hukum, secara riil masyarakat dalam memperolehnya dari sumber-sumber lain semisal pranata keluarga, lingkungan sekitar, adat-istiadat, tempat kerja, dan sebagainya. Hal yang dikhawatirkan dari legitimasi sosio-kultural adalah tindak main hakim sendiri. Kasus lain tentang masalah pilihan hukum adalah kasus yang sudah diajukan ke pengadilan kemudian ditarik untuk diselesaikan dengan jalan damai. Secara etis, pengadilan bukanlah hanya tempat proses administratif dan kearsipan perkara. Faktor-faktor yang menentukan dipilih atau tidaknya pengadilan diantaranya: a. faktor tujuan, sumber daya, dan strategi yang ditempuh oleh para pihak; b. proses yang harus ditempuh individu di pengadilan; c. terkadang, keputusan pengadilan tidak sesuai dengan ekspektasi para pihak Point terakhir yang menarik untuk dibicarakan, bahwa hal tersebut terjadi karena ada pemaknaan ganda atas norma-norma otoritatif. Norma-norma tersebut sejatinya disusun agar bisa mencakup semua dan tidak ada celah hukum di dalamnya. Faktanya tidak demikian. Oleh karena itu untuk menyelesaikan masalah tersebut perlu ada program penyeragaman hukum yang beroperasi agar tunduk terhadap hukum formal yang uniform. Kiranya perlu disampaikan di sini beberapa dampak dari adanya pengadilan, harapannya pilihan-pilihan hukum masyarakat dijatuhkan pada pilihan yang tepat. Dampak pengadilan diantaranya: a. dampak khusus; b. dampak umum; c. dampak fasilitatif; d. dampak mobilisasi dan demobolisasi Kritikan yang saya sampaikan kaitannya dengan materi ini adalah perlu ada kajian sosiologis yang lebih mendalam untuk dapat menyajikan analisis-analisis sosiologis yang lebih baik. Jadi ketika ada pilihan-pilihan hukum yang ditempuh oleh masyarakat, dan yang dipilih bukan lah hukum negara, maka hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Buku ini secara implisit seolah menempatkan masyarakat yang tidak memilih hukum negara sebagai suatu bentuk kekeliruan. Sebagaimana dikutipkan pendapat Galanter di halaman 9-10. Dalam konsep sosiologi dikenal banyak sekali proses sosial, termasuk diantaranya adalah interaksi sosial, baik yang asosiatif maupun disosiatif. Di tengah dikotomi tersebut terdapat proses sosial yang disebut akomodasi. Akomodasi wajar adanya sebagai salah satu proses sosial, dan itulah cara masyarakat berinteraksi dengan sesamanya. Akomodasi juga sangat beragam jenisnya, diantaranya koersi, kompromi,

  • 4

    arbitrasi, mediasi, konsiliasi, toleransi, stalemate, ajudikasi, segregasi, eliminasi, subjugasi/dominasi, keputusan mayoritas, konversi, dan gencatan senjata.

    Pilihan Hukum dan Fungsi Hukum Fungsi hukum yang paling utama adah menyelesaikan sengketa dalam masyarakat. Fungsi hukum tidak hanya ini memang, masih ada beberapa pendapat ahli yang mengatakan bahwa fungsi hukum adalah fungsi integratif, mengkoordinasikan seluruh sistem sosial, pendidikan tentang prosedur hukum, mekanisme kontrol, mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan, memberi keadilan dan perlindungan terhadap kepentingan bersama. Dalam beberapa kurun waktu terakhir, fungsi utama hukum berkembang tidak hanya sebagai mekanisme penyelesaian sengketa, lebih jauh dari itu kajian hukum diarahkan pada cara-cara/prosedur-prosedur hukum dalam menangani sengketa. Kaitannya dengan pilihan hukum, kiranya tepat saya kutipkan statemen di bawah ini: Interdependensi hukum dengan lingkungan di luarnya menyebabkan hukum tidak bisa menentukan dirinya secara mandiri, yang lepas sama sekali dari realitas tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hukum selalu berhadapan dan dibatasi oleh expected reactions yang datang dari masyarakat. Oleh karena itu setiap lembaga hukum senantiasa menghadapi masalah yang kontradiksi dalam dirinya, karena ia tidak mungkin mencegah timbulnya masalah-masalah baru, baik dalam dirinya maupun yang datang dari lingkungannya. Dalam kerangka berpikir ini, dapat dikatakan bahwa sebuah institusi hukum tidak dapat bekerja atau beroperasi menurut kebutuhannya sendiri. Statemen di atas kiranya dapat kita gunakan sebagai pisau analisis untuk membaca berbagai fenomena hukum yang terjadi belakangan ini di Indonesia, semisal kasus Ibu di daerah Banyumas yang divonis bersalah karena kecelakaan dengan truk yang mengakibatkan anaknya meninggal, karena berbagai expected reactions masyarakat yang merasa iba, kemudian proses hukum tidak jadi dilakukan terhadap ibu tersebut. Selain itu juga adalah kasus yang menimpa Syaiful Jamil, dan beberapa kasus-kasus lain yang serupa.

    Relevansi Studi Pilihan Hukum dan Makna Sosial Hukum Ada beberapa alasan mengapa masalah pilihan hukum dan makna sosial hukum dikaji dalam buku ini, diantaranya: a. studi tentang pilihan hukum dan makna sosial hukum merupakan tema mutakhir

    dalam model studi socio-legal yang memadukan pendekatan sosiologi dan antropologi hukum.

    b. studi tentang pilihan hukum dan makna sosial hukum dapat menguji secara empirik kebenaran teorisasi yang begitu umum dalam kebijakan hukum di Indonesia, karena

  • 5

    selama ini hukum di Indonesia dipersepsikan sebagai hukum yang berkedudukan istimewa dan memiliki kemampuan sebagai alat perubahan sosial yang efektif.

    c. studi tentang pilihan hukum dan makna sosial hukum dilihat sebagai sebuah ajakan untuk melihat hukum negara dalam konteks pluralisme hukum masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.

    d. Studi tentang pilihan hukum dan makna sosial hukum di Indonesia belum begitu diminati, oleh karena itu belum ada model, konsep, dan gambaran yang cukup komprehensif tentang sosok, dinamika, dan implikasi makna sosial hukum dalam masyarakat.

    Pluralitas di Indonesia menciptakan beberapa dampak, diantaranya a. Persaingan kebenaran antara hukum negara dan kearifan lokal, inilah yang

    kemudian menciptakan kemacetan pemberlakuan hukum negara. Alasannya, masyarakat merupakan kumpulan manusia yang sudah memiliki sistem kehidupannya sendiri (ordering belief framework). Yang perlu diperhatikan agar hukum negara itu dapat diterima adalah hukum tersebut harus rasional-logis dan dapat dipertanggungjawabkan dalam kerangka sosial, budaya, dan struktural.

    b. Klaim kebenaran tidak bisa mutlak dilakukan, susah untuk menentukan mana yang mutlak benar, dan mana yang mutlak salah. Ada beberapa pilihan masyarakat, tidak memilik atau melakukan sintesa atas beberapa fakta untuk menentukan pilihan.

    c. Terjadi persaingan antara hukum dan kebiasaan. d. Kesenjangan antara hukum dan pemaknaannya oleh masyarakat mempengaruhi

    pola kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan efektivitas bekerjanya hukum. e. Perbedaan persepsi masing-masing masyarakat pendukung kebudayaan tertentu,

    faktor-faktor yang menyebabkan diantaranya: komitmen masyarakat pada nilai dan norma lokal; minimnya pengetahuan hukum; perilaku yang berseberangan dengan hukum; dan kendala biaya serta kemampuan beracara

    Bab ini sudah dengan lugas membicarakan pilihan hukum dan makna sosial hukum yang menjadi hak masyarakat untuk melakukannya. Ada beberapa kekurangan, salah satunya adalah penyebutan undang-undang dan pasal-pasal tanpa ada penjelasan mengenai isi undang-undang dan pasal-pasal tersebut. Bagi pembaca yang telah banyak berkecimpung di dunia ilmu hukum mungkin ini tidak menjadi masalah. Namun ketika pembaca bukanlah orang yang awam tentang hukum, akan susah untuk mengikuti pembicaraan tentang masalah tersebut.

    Konteks Perubahan Sosial Sub-bab ini memberikan alasan mengapa kajian perubahan sosial perlu dimasukkan sebagai pisau untuk menganalisis fenomena pilihan hukum dan makna sosial hukum yang diberikan masyarakat. Alasan-alasan tersebut diantaranya: a. masyarakat sedang dan akan selalu mengalami perubahan sosial b. hal tersebut, akan memperngaruhi pandangan, sikap, dan tindakan masyarakat

    untuk memilih dan memaknai hukum c. masyarakat memiliki pola/kecenderungan pilihan dan makna hukum tertentu d. arena sosial yang khas juga merupakan determinan atas pemaknaan masyarakat

    terhadap hukum e. hukum merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan tertib sosial

  • 6

    f. norma hukum negara, hukum agama, hukum adat dan lain sebagainya memiliki peluang yang sama untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat.

    Bahasan selanjutnya terlihat tidak relevan dengan judul sub bab, karena yang dibahas adalah hasil penelitian penulis tentang pilihan hukum masyarakat ketika sedang mengalami sengketa tanah.

    Sifat Pendekatan Tiga pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Pendekatan Empirik

    Pendekatan ini dapat mengungkapkan bagaimana relasi antara manusia yang bertindak dengan aneka sistem normatif yang ada.

    b. Pendekatan Antropologi Hukum Pendekatan ini menyoroti tindakan manusia yang memiliki makna tertentu akibat responsnya sebagai aktor terhadap aneka sistem normatif yang ada.

    c. Studi Sengketa Pendekatan ini dapat digunakan untuk menelusuri argumen-argumen yang dikemukakan oleh para pihak yang terlibat sengketa, siapa saja yang dilibatkan, serta hukum apa yang dipakai sebagai dasar penyelesaian. Hal yang dapat diungkapkan dari pendekatan ini adalah sejarah sengketa, norma/forum yang bermakna sosial bagi masyarakat, dan simpulan tentang preferensi masyarakat.

    Ketiga pendekatan ini kiranya tepat guna mengungkap fakta-fakta lapangan sehingga kajian tentang pilihan hukum dan makna sosial hukum dapat digali dengan baik dan objektif.

  • 7

    Teori merupakan aspek terpenting dalam mengkaji suatu fenomena sosial tertentu. Dalam arti, melalui kaca mata apa kita akan melihat dan memaknai sesuatu. Kajian mengenai pilihan hukum dan makna sosial hukum dikaji menggunakan beberapa teori, diantaranya teori fenomenologi (Alfred Schutz), teori tindakan (Talcott Parsons), teori fungsionalisme-struktural (Talcott Parsons), dan teori tindakan sosial (Max Weber). Teori fenomenologi dipilih untuk mengkaji permasalahan ini karena: 1) kehidupan sehari-hari sangat lah riil; 2) dalam setiap tindakan sosial pasti ada makna yang ingin disampaikan; 3) teori ini dapat digunakan untuk memahami cara masyarakat mempertahankan hubungan sosial dan kelompok; 4) tingkah laku sosial itu menyatu dengan kehidupan manusia; dan 5) percakapan atau kegiatan remeh-temeh dalam kehidupan sehari-hari menampakkan makna tindakannya. Bagi penulis, teori ini kurang dapat mengakomodir sistem sosial, oleh karena itu ditambahkan teori tindakan. Tindakan individu dalam kehidupan sehari-hari memberi makna kepada struktur sosial objektif. Tindakan merujuk pada suatu aktivitas yang dilakukan secara kreatif melalui proses penghayatan dari idividu yang penuh makna. Bab ini juga menyajikan pembahasan tentang elemen pokok tindakan sosial, diantaranya ektor merupaka individu yang aktif, memiliki tujuan, dihadapkan pada pilihan-pilihan, dihadapkan kondisi penentu, berpedoman pada nilai, pengambilan keputusan berdasarkan berbagai pertimbangan yang masuk. Ada empat dimensi/faktor penentu dalam alur tindakan sosial individu itu dilakukan, diantaranya dimensi kultural, sosial, psikologis, dan biologis. Dan meliputi variabel-variabel diantaranya; 1) variabel nilai dan norma; 2) variabel tujuan; dan 3) variabel sumber daya. Teori fungsionalisme-struktural menggarisbawahi tentang keteraturan sosial, bahwa untuk mempertahankan keteraturan sosial, tiap warga masyarakat dituntut mengintegrasikan diri di bawah nilai dan norma yang menjadi kerangka normatif bersama. Kajian ini ternyata tidak hanya sampai di sini, teori tindakan dilengkapi oleh pernyataan Max Weber juga, bahwa hidup manusia dan segala tindaknnya sesungguhnya ditandai oleh suatu pencarian makna. Makna dalam arti subektif dan ditujukan pada tindakan orang lain. Konsep-konsep teori weber yang diambil dalam hal ini meliputi: lima hal yang harus dikaji dalam penelitian sosial, aspek voluntaristik, dan kemampuan aktor untuk memilih tindakannya. Teori-teori tersebut lah yang nantinya dalam sepanjang buku ini digunakan untuk menganalisis tentang pilihan hukum dan makna sosial hukum masyarakat. Teori-teori yang relevan untuk membicarakan persoalan hukum yang dihadapkan pada fakta pluralisme masyarakat Indonesia.

    PILIHAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF TEORI

  • 8

    Bab ini secara keseluruhan berisi penjelasan tentang tindakan masyarakat dalam menyelesaikan masalah, entah itu diselesaikan melalui hukum negara maupun melalui kearifan lokal. Bab ini juga menjelaskan tentang alasan-alasan mengapa masyarakat tidak menempuh jalur hukum formal (melalui pengadilan), dan bahkan lebih memilih diselesaikan melalui jalur damai atau melalui kearifan lokal. Di akhir bab, dijelaskan juga solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hakikatnya, pilihan masyarakat terhadap prosedur penyelesaian masalah ditentukan oleh kebutuhan dan sistem situasi. Ada dua kemungkinan upaya penyelesaian masyarakat, yakni melalui pengadilan atau tanpa pengadilan, diantaranya: menarik diri, membiarkan saja, mengelak, keluar, dan main hakim sendiri. Kaitannya dengan pilihan hukum, muncul dikotomi antara masyarakat modern (kota) dan masyarakat tradisional (desa). Ada kecenderungan bahwa masyarakat modern akan lebih memilih jalur hukum ketika ada masalah ketimbang masyarakat tradisional. Hal ini disebabkan oleh masyarakat yang kompleks memiliki tendensi yang memaksakan norma-norma perilaku yang menjamin kedudukan masing-masing orang, sehingga peran pengadilan tampak sangat besar. Sedangkan pada masyarakat tradisional upaya penyelesaian masalah yang lebih menonjol adalah upaya yang bersifat kompromi dan rekonsiliasi. Berdasarkan hasil kajian di bab ini, alasan-alasan masyarakat menghindari pengadilan diantaranya: a. Adanya kalkulasi untung-rugi b. Tidak semua masalah cocok diselesaikan melalui proses pengadilan c. Faktor siapa (tokoh masyarakat) yang paling mengetahui ihkwal pokok masalah

    tertentu d. Tokoh masyarakat dan lembaga informal memiliki legitimasi yang lebih tinggi

    ketimbang pengadilan e. Tokoh masyarakat dan lembaga informal bersifat lebih kekeluargaan, sehingga

    masyarakat mersa lebih leluasa mengungkapkan semua permasalahannya f. Tokoh masyarakat dan lembaga informal tidak membutuhkan prosedur yang rumit g. Faktor budaya hukum, nilai dan norma yang dianut masyarakat merupakan

    kekuatan sosial yang mempengaruhi kinerja hukum secara keseluruhan h. Masyarakat memiliki kekhawatiran bahwa putusan pengadilan mengundang

    permusuhan i. Pengadilan membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit j. Ketidakmampuan masyarakat beracara dan tidak bersihnya pengadilan k. Putusan pengadilan dapat memunculkan konflik budaya, karena:

    Putusan pengadilan lebih banyak bersifat win-lose solution atau winner takes all Pengadilan negara melandaskan legitimasinya pada kekuatan legalitas dan

    legitimasi negara, bukan pada legitimasi sosi-kultural yang bersifat lokal Pengadilan negara sebagai institusi modern terlampau teknis, tertutup, formal,

    dan prosedural, sehingga sulit mengakomodir pluralisme persoalan dan aspirasi masyarakat dalam memperoleh keadilan

    PILIHAN HUKUM SEBAGAI TINDAKAN SOSIAL

  • 9

    l. Masyarakat yang belum sepenuhnya merasakan kehadiran hukum, atau unthinking law. Hal ini disebabkan oleh: Hukum belum ditunjang oleh pertumbuhan masyarakat yang sesuai dengan

    tuntutan hukum Konstruksi hukum yang bertelingkah dengan kondisi objektif masyarakat Aturan hukum berada di luar kepentingan masyarakat

    Dari masalah-masalah tersebut di atas, solusi yang ditawarkan dalam bab ini adalah: a. Hukum disusun sedemikian rupa sehingga compatible dengan kebutuhan

    masyarakat, hukum harus menjadi jawaban sah/paspor lokal yang fungsional dan kontekstual untuk menyelesaikan masalah riil yang dihadapi masyarakat.

    b. Kebijakan hukum yang memperhitungkan secara adil dan seimbang dari segi ke-Bhineka-annya.

    c. Fungsi hukum untuk menyelesaikan masalah tidak hanya dipusatkan pada pengadilan sebagai sebuah organisasi, tetapi justru pada cara-cara yang harus ditempuh dalam menangani masalah.

    d. Pihak-pihak yang bermasalah diharuskan melakukan proses mediasi sebelum diizinkan diperiksa oleh pengadilan.

    Kaitannya dengan pilihan hukum sebagai tindakan sosial, kiranya yang perlu digarisbawahi adalah pendapat Keebet Von Benda Beckmann, bahwa kecenderungan pihak-pihak yang bersengketa menentukan pilihan diantara lembaga-lembaga yang ada (lembaga adat dan pengadilan negeri) adalah pada lembaga yang dipandang menguntungkan sesuai dengan apa yang diharapkan.

  • 10

    Bab ini menarik, karena dalam pembahasannya banyak dimunculkan kasus-kasus di lapangan. Tulisan yang didasarkan pada fakta empiris akan lebih kaya dan memiliki nilai validitas tinggi. Namun, di bagian awal bab dijelaskan terlebih dahulu tentang hakikat dan posisi hukum. Satu yang menarik, dinyatakan bahwa hukum adalah antropologi. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa manusia menyatakan dirinya melalui hukum, bukan hanya tentang dirinya tetapi hendak menyatakan tentang kehendak mereka dalam mengatur ketertiban melalui hukum. Posisi hukum, dalam rumpun ilmu-ilmu, termasuk dalam rumpun geisteswissenschaften, dan merupakan normative maatschapij wetenschap. Implikasinya, hukum bukan sekedar sisi normatif, namun juga pada logika tentang apa dan mengapa hukum bersifat normatif. Hukum bukan hanya suatu hasil, melainkan juga suatu proses mengapa dan bagaimana suatu fakta menjadi aturan hukum. Hukum, kaitannya dengan fakta-fakta lapangan, dapat diajukan beberapa tesis bahwa: a. Kekerasan bagi diterapkannya hukum secara sah.

    Bagi keperluan analisis, kekerasan merupakan pembeda antara aturan hukum dengan lembaga adat.

    b. Dalam masyarakat terdapat orde hukum Antara negara dan individu terdapat bidang sosial kecil yang terorganisasi di mana individu berpartisipasi. Bidang sosial ini memiliki adat kebiasaan, aturan, dan cara masing-masing dalam memaksa dan mendorong ketaatan.

    c. Salah satu alasan mengapa individu tidak dihukum ketika melanggar aturan adalah individu tersebut memiliki pengetahuan rasional yang jauh lebih besar mengenai bidangnya, dibandingkan dengan para legislator dan penegak hukum yang kepentingannya hanya berkisar pada hal-hal yang dicita-citakan.

    d. Hukum dalam masyarakat modern lebih bersifat plural daripada monolitik. e. Beberapa sistem informal secara relatif tidak begitu tergantung pada sistem hukum

    rasional. f. Pada masyarakat yang plural, norma dan pengawasan masyarakat begitu kuat dan

    dekat, sedangkan hukum berada jauh intervensinya, problematis, dan cepat berlalu. g. Hukum resmi, dalam beberapa hal memiliki intervensi terhadap lembaga-lembaga

    sosial tertentu. Secara tidak langsung, hukum resmi mendorong tumbuhnya aturan internal lembaga tersebut. Aturan internak itu tentunya harus sejalan dengan hukum resmi, dan lebih dispesifikkan sesuai kebutuhan lembaga bersangkutan.

    h. Hal terburuk dari fakta di atas adalah terjadi saling tumpang tindih dan saling menembus batas antarlembaga.

    i. Individu yang memutuskan untuk keluar dari sistem hukum resmi bukan berarti ia jatuh ke jurang tanpa hukum, melainkan ia kembali ke dunia yang penuh nilai dan norma masyarakat.

    j. Masalah gereja dan negara, ada tata cara yang harus diikuti oleh hukum negara dalam memperlakukan hukum agama.

    k. Ada aturan-aturan tentang kemungkinan kasus-kasus dapat diselesaikan di luar pengadilan, yaitu oleh majelis dari serikat-serikat orang yang sama pekerjaannya.

    PILIHAN HUKUM & TERTIB SOSIAL

  • 11

    Pengadilan memiliki tiga ciri-ciri sebagai lembaga penyelesaian sengketa secara hukum. Pertama adanya kekuasaan tunggal untuk mengadili, kedua pengadilan memiliki kekuasaan yang merdeka dalam mengadili. Dan ketiga pengadilan bekerja menurut prosedur hukum acara . Keempat putusan pengadilan dapat dijalankan secara paksa. Secara garis besar penyelesaian sengketa dapat digolongkan menjadi dua yaitu penyelesaian lewat jalur pengadilan (litigasi) hasilnya berupa kalah dan menang, dan penyelesaian lewat jalur non pengadilan (non litigasi), hasil yang diperolah cenderung win win solution. Nader and Todd menyebut paling sedikit tujuh bentuk penyelesaian sengketa yang digunakan di berbagai masyarakat luas lintas budaya yaitu ajudikasi (pihak pengadilan mempunyai kewenangan formal untuk menyelesaikan sengketa yang diajukan padanya dan berhak mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan pihak yang bersengketa), arbitrasi (keputusan pengadilan membutuhkan persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan), mediasi (bentuk penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga untuk membantu menyelesaiakn masalah), negosiasi (bentuk penyelesaian yang bersifat diadik tanpa menghadirkan pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah), paksaan, penghindaran, dan membiarkan saja. Tujuh bentuk penyelesaian tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga, penyelesaian yang dilakukan pihak-pihak yang bersengketa dan penyelesaian yang dilakukan secara sepihak oleh salah satu pihak. Tiap masyarakat atau individu selalu memiliki alasan rasional, tujuan, keyakinan, tradisi, dan perhitungannya sendiri dalam memilih forum penyelesaian sengketa yang mereka kehendaki. Pilihan forum penyelesaian sengketa bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, semua itu merupakan bentuk tindakan berdasarkan suatu tujuan atau alasan tertentu. Untuk memahami pilihan tindakan dapat dikaji dalam beberapa aspek antara lain faktor-faktor yang menentukan tindakan, makna yang diberikan pada obyek, serta tujuan dan konsekuensi tindakan yang hendak ditempuh. Pemikiran Giddens lewat teori strukturisasi menyatakan bahwa tingkah laku seseorang tidak selalu ditentukan oleh nilai-nilai dan kebiasaan, tapi manusia mempunyai kebebasan menciptakan struktur baru bagi tingkah lakunya. Menurutnya tindakan yang dilakukan seseorang berkaitan dengan kegandaan struktur. Struktur sebagai sumber daya/seperangkat aturan tidak hanya bersifat melarang tapi juga memperbolehkan para agen untuk menentukan sendiri tingkah lakunya, yang disebut dengan duality of structure. Struktur sebagai fenomena sosial yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus sebagai hasil produksi tapi juga sebagai penyebab terjadinya interaksi sosial. Dalam konteks yang demikian seorang yang terpasang dalam struktur yang di satu pihak bersifat membatasi/menentukan tingkah lakunya sedangkan di pihak lain struktur juga memberi peluang kepadanya untuk memilih sendiri tingkah lakunya. Posisi seseorang dalam duality of structure menyebabkan di satu pihak ia berada dan dibentuk oleh tatanan struktur tapi juga sekaligus sebagai penyumbang terbentuknya struturr itu lewat interaksi yang dilakukannya. Pada titik ini ia selalu terlibat dalam proses reproduksi struktur. Pilihan tingkah laku seseorang dalam strukturasi lebih terkait dengan masalah praktis dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pandangan ini sesuai dengan Mead yang menyatakan bahwa manusia tidak harus dilihat sebagai

    PENGADILAN, PENYELESAIAN SENGKETA, & PILIHAN FORUM

  • 12

    produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif tapi sebagaian merupakan aktor-aktor yang bebas. Seidman lebih melihat bahwa tindakan yang dilakukan seseorang sebagai pemegang peran berkaitan dengan ganjaran dan hukuman. Setiap orang selalu memperhatikan keuntungan dan kerugian yang akan diterimanya jika pilihan tindakan itu dilakukan atau dipilih. Homans sebagai pencetus teori pertukaran menyatakan bahwa bahwa suatu tindakan adalah rasional apabila berdasarkan perhitungan untung rugi Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan maka semakin kecil kemungkinan tingkah laku serupa akan diulang. Sedangkan Blumer penganut aliran interaksionis simbolik berpendapat bahwa manusia tidak dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur tapi merupakan aktor-aktor yang bebas. Budaya, sistem sosial, stratifikasi sosial tidak menentukan tindakan individu. Berdasarkan otonomi yang dimilikinya individu mempu memebuat pilihan-pilihan yang bersifat independen mengenai tindakan apa yang ia lakukan. Pilihan tersebut berkaitan dengan makna atas obyek. Makna pada dasarnya merupakan intepretasi yang diberikan seseorang atas suatu obyek. Dalam suatu tindakan makna tersebut dipakai sebagai instrumen yang mengarahkan suatu tindakan. Dengan makna tersebut bisa saja orang menganggap bahwa berperkara ke pengadilan merupakan suatu cara yang ideal oleh karena pengadilan dilihat sebagai tempat memperoleh perlindungan atas hak-hak yang diperjuangkannya. Tapi mungkin bagi orang lain berperkara ke pengadilan dianggap sebagai aksi gagah-gagahan yang kurang terpuji Penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan menurut Giddens adalah suatu pilihan tindakan strategis. Dalam setiap tindakan aktor memperhatikan sumber sebagai media yang menjadi suatu kekuatan yang digunakan dalam suatu tindakan. Adapun sumber yang dimaksud bisa berupa kedudukan, kemamuan keuangan, mempunyai bukti-bukti yang kuat atas pemilikan tanah dsb. Sumber-sumber semacam ini dalam pilihan stratgis dapat digunakan oleh aktor sebagai sarana mencapai hasil atau tujuan yang diharapkan. Beragam teori tersebut memberikan gambaran bahwa pilihan bentuk penyelesaian sengketa bukan didasari oleh sebab tunggal.

  • 13

    Dalam sebagian besar masyarakat Indonesia tanah merupakan dasar bagi identitas diri dan keberlangsungan kehidupan spiritual para pemiliknya. Tanah sebagi simbol identitas dan hak yang di dalamnya berselimutkan kehormatan, martabat pemiliknya. Seperti yang terjadi pada masyarkat nelayan yang ada di Tuban. Sengketa tanah sekaligus juga merupakan persoalan hidup mati, kepentingan, harga diri, eksistensi, ideologi, dan nilai budaya. Itulah sebabnya penyelesaian sengketa tanah selalu melibatkan pertarungan kepentingan, harga diri, identitas, dan akses pada sumber daya. Temuan di lapangan pada masyarakat petani dan nelayan di Tuban menyatakan bahwa warga menganggap bahwa pengadilan kurang bermakna sosial sebagai forum pnyelesaian sengketa tanah. Komunitas ini cenderung menghindari penggunaan pengadilan dalam menyelesaikan sengketanya. Mereka lebih suka menyelesaikan melalui forum-forum setempat seperti desa, kecamatan, pemuka agama, kerabat. Forum itu masih dianggap mampu menangani persoalan sengketa tanah yang dihadapi. Warga senantiasa mempertimbangkan faktor siapa yang paling mengetahui ihwal pokok sengketa tersebut. Mereka menggangap bahwa pengadilan hanya memiliki pengetahuan tentang hukum negara, dan sedikit sekali bahkan tidak mengetahui sama sekali kidah tanah yang disengketakan. Sehingga muncul kekawatiran di kalangan masyarakat tentang kemungkinan terjadinya kesesatan sejarah tanah jika dibawa ke pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan tidak memerlukan prosedur yang rumit, yang melek huruf dan buta huruf dapat berbicara dalam posisi yang sama, tidak ada batas waktu dan tidak memakan biaya yang banyak. Mereka menganggap dengan berperkara di pengadilan tidak menjamin ditemukannya keadilan. Pengadilan hanyalah tempat berdagang hukum dimana yang kuat, kaya, dan dekat dengan hakim dan mampu bermain licik merekalah yang akan menang. Lembaga pengadilan menjalankan mesin hukum berdasarkan tindakan-tindakan instrumental formal yang mengutamakan aturan-aturan dan prosedur dari pada keutuhan realitas. Akibatnya lembaga dan pranata hukum menjadi entiitas yang esoteris yang terpsah secara asimetris dengan tipe-tipe regulasi sosial lain yang menguasai lalu lintas pergaulan manusia yang begitu kompleks. Kebenaran dan kebaikan budaya setempat selalu memiliki keunggulan tersendiri dalam konteks dunia atau sistem situasi mereka yaitu ketepatan dengan pergumulan setempat. Untuk dapat diterima dalam kerangka budaya setempat setiap budaya luar senantiasa dihadapkan pada suatu tantangan apakah budaya tersebut memiliki visa budaya untuk masuk dalam lingkungan kebudayaan yang bersangkutan. Pengadilan bermakna sosial hanya untuk kasus-kasus yang tidak terkait langsung dengan ikata-ikatan sosial yang berdimensi kekerabatan, religius, dan kultural. Sejauh menyangkut sengketa yang melibatkan pihak-pihak pihak-pihak yang memiliki hubungan yang berdimensi prestise, previlese maupun kekuasaan maka bagi warga komunitas seperti petani dan nelayan di Tuban pengadilan tidak diguankan sebagai forum penyelesaian sengketa. Para pihak yang terlibat sengketa yang diselesaikan lewat pengadilan berasal dari afiliasi religius yang berbeda yakni santri dan non santri, di sini yang menjadi fokus adalah identitas para pihak yang bersengketa di pengadilan. Hal ini terjadi karena mereka menyadari ada jarak sosial yang cukup signifikan satu sama

    MAKNA SOSIAL PENGADILAN

  • 14

    lain, masing-masing berpedoman pada orientasi religius yang berbeda, dan terdapat perasaan saling curiga diantara mereka. Beberapa orang yang memilih pengadilan untuk menyelesaikan sengketa karena beberapa alasan antara lain mempertahankan harga diri sebagai pemilik, jalur negosiasi mengalami kebuntuan , dan pengadilan dianggap memiliki otoritas yang kuat dan adanya keputusan yang dapat dipaksakan. Dilihat dari sisi penggugat terdapat beberapa fakta yang memungkinkan mereka memilih pengadilan yaitu memiliki bukti formal, memiliki relasi dan kemampuan untuk membayar pengacara, dan memiliki bukti berupa sertifikat. Dilihat dari sudut hukum negara penyelesaian sengketa melalui pengadian memilki kelebihan khususnya dalam hal jaminan kepastian hukum. Tiap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila tidak dilaksanakan secara sukarela maka putusan tersebut dapat ditegakkan secara paksa. Hal ini berbeda dengan penyelesaian di luar pengadilan tidak tertutup kemungkinan salah satu pihak yang berperkara membuka kembali persoalan tersebut di kemudian hari. Sedangkan alasan tidak memilih pengadilan untuk menyelesaikan sengketa adalah faktor ekonomi dan juga menghindari permusuhan, karena jika diselesaikan lewat pengadilan mereka khawatir akan mengancam hubungan baik dan persaudaraan karena pola menang kalah.

  • 15

    Harus diakui bahwa persoalan utama yang dihadapi masyarakat pedesaan di bidang peradilan dewasa ini adalah bagaimana memperoleh kepastian hukum tanpa mengorbankan keadilan dan jaminan kerukunan serta bagaimana memperoleh keadilan dan jaminan kerukunan yang didukung oleh kepastian hukum.Tantangan paling keras di bidang peradilan dewasa ini adalah menemukan forum yang mampu memenuhi kebutuhan rasa keadilan dan kerukunan masyarakat sekaligus jaminan kepastian hukum. Dibutuhkan sistem beracara yang dapat dimasuki rakyat biasa yang paling sederhana sekalipun untuk mendialokkan kepentingan mereka secara lebih komunikatif tanpa banyak dibebani halangan-halangan teknik, prosedur, dan biaya mahal. Sistem beracara yang demikian yang disebut dengan peradilan konsiliasi. Konsep di sini menunjuk pada mekanisme dan prosedur mengadili yang berbeda dengan pengadilan sebagai lembaga. Peradilan yang dikehendaki adalah peradilan yang mengakomodasi secara seimbang sistem formal dan sistem informal. Peradilan konsiliasi merupakan bentuk peradilan yang mampu mengakomodasi secara proposional dan adil aspek formal dan informal (aspirasi dan kebutuhan sosial ) dalam mekanisme, pertimbangan, dan keputusannya. Unsur dan mekanisme forum yang diharapkan antara lain: Pertama adanya semacam dokumen yang berisi keluhan kedua belah pihak yang bersengketa. Dokumen ini menjadi dasar penyelesaian sengketa dalam forum tersebut. Kedua adanya komisi penyelesaian sengketa yang terdiri dari hakim dan wakil para pihak sebagai konsiliator. Para wakil tersebut adalah mereka yang sungguh-sungguh mengetahui perihal obyek sengketa dan memahami nilai-nilai sosial budaya dara masyarakat tempat para pihak berasal. Ketiga diharapkan jangka waktu persidangan ditetapkan batas maksimum tidak lebih dari tiga bulan. Batasan waktu tersebut terkait dengan kebutuhan warga masyarakat dalam memanfaatkan tanah bagi pemenuhan kebutuhan mereka (terutama yang mengantungkan hidupnya dari tanah). Keempat dalam memutuskan kasus lebih diutamakan pendekatan konsensus dalam mempertemukan kepentingan pihak yang bersengketa. Kelima, keputusan harus merupakan hasil dari korespondensi antara realitas sosial dari kasus dengan premis-premis aturan hukum. Keenam, keputusan komisi tersebut (entah berupa kesepakatan ataupun hukuman) harus berkekuatan hukum sebagaimana putusan pengadilah, dan bersifat final. Ketujuh, kekpeutusan tersebut dituangkan dalm bentuk tertulis sebagai dasar hukum yang pasti. Beberapa argumentasi yang dipakai untuk menyebut peradilan tersebut sebagai peradilan rekonsiliasi yaitu: Pertama selamaini menyangkut hukum dan peradilan pihak negara selalu berada dalam posisi yang berseberangan. Hukum dan pengadilan negara terlalu teknis, formalitis, prosedural sehingga sulit dimasuki oleh rakyat. Di pihak lain rakyat yang begitu plural memilihi aspirasi yang juga begitu heterogen sehingga amat sulit diartikulasi dalam bingkai hukum yang menuntut perumusan yang jelas, tegas, dan spesifik. Kedua, pengadilan yang selama ini dipakai sebagai pengadilan standar dikelola sepenuhnya oleh aparatur peradilan dengan sedikit sekali partisipasi para pihak dalam menentukan putusannya. Putusan pengadilan tersebut lebih banyak bersifat win los solution yang secara diametral berseberangan dengan sifat tepa seliro dan menang tanpa ngalahake dalam budaya Jawa untuk mengatasi konflik. Ketiga, putusan-putusan pengadilan lebih banyak bersifat win loss sulution

    PERADILAN KONSILIASI

  • 16

    atau winner takes all. Keempat, jika dilihat dari berbagai regulasi menyangkut pengadilan, maka pengadilan negara merupakan pengadilan yang legitimasinya bersandar pada kekuatan legalitas dan legitimasi negara bukan pada kekuatan legitimasi kultural yang bersifat lokal. Model peradilan konsiliasi memiliki signifikansi karena beberapa alasan yaitu: Pertama, berkaitan dengan asas bahwa pengadilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya yang ringan. Kedua, bahwa realitas masyarakat kontemporer Indonesia lebih bersifat prismatik ketimbang tradisional ataupun modern. Yakni masyarakata yang ditandai oleh adanya struktur sosial berbagai komunitas yang terdapat dalam masyarakat yang bersifat polycomunal. Ketiga, dewasa ini sering terjadi krisis kepercayaan terhadap hukum dan pengadilan akibat manipulasi yang dilakukan aparat penegak hukum. Keempat, pengadilan konsiliasi merupakan forum yang searah dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang menawarkan penyelesaian alternatif. Kelima, pengadilan konsiliasi yang memungkinkan keterlibatan aktiv dari masyarakat selain dapat mengurangi permainan kotor dalam lembaga peradilan juga dapat menjadi tempat sosialisasi hukum demi meningkatkan kepercayaan dan kesadaran hukum masyarakat. Keenam, pengadilan konsiliasi dapat memperlancar akses masyarakat pada keadilan karena masyarakat ikut menentukan substansi penyelesaiannya. Lewat mekanisme tersebut terbuka kesempatan bagi tercapainya penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak.

  • 17

    Hukum, dalam hidup suatu masyarakat memiliki beberapa fungsi, antara lain: Pertama, hukum berfungsi sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat. Kedua, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial. Ketiga, sebagai penggerak pembangunan, hukum sebagai alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. Keempat, fungsi kritis, daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan kepada aparatur pengawasan atau aparatur pemerintahan saja, melainkan juga mengikat aparatur penegak hukum. Norma sosial hukum merupakan sarana yang memungkinkan kehidupan sosial berlangsung secara teratur. Secara umum para ahli memberi prioritas pasda pembahasan fungsi hukum sebagai kontrol sosial (social control) dan fungsi hukum yang berkenaan dengan perubahan sosial (social exchange). Tentu saja hal ini merujuk pada sejarah pemikiran hukum mengenai fungsi hukum dalamperubahan sosial. Paham yang pertama, hukum hanya mengikuti dan mengesahkan perubahan-perubahan yang terjadi. Pada umumnya dalam bidang-bidang kehidupan yang netral, maka hukum dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengubah masyarakat karena tekanannya lebih ke arah kepastian, sedangkan apabila menyangkut bidang-bidang kehidupan pribadi, maka hukum lebih berfungsi sebagai sarana kontrol sosial karena dalam hal ini keadilan memegang peranan yang lebih utama. Dapat pula dikatakan bahwa dalam bidang-bidang kehidupan yang lebih memerlukan ketentraman, hukum merupakan sarana untuk mencapai/mempertahankan stabilitas. Berkenaan dengan fungsi hukum sebagai kontrol sosial, maka hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap berada dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya. Dalam peranannya sebagai kontrol sosial, maka hukum hanya mempertahankan saja apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain, hukum sebagai penjaga status quo. Pengendalian sosial dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengendalian sosial yang bersifat preventif dan pengendalian sosial yang bersifat represif. Preventif berupa pencegahan gangguan pada keseimbangan antara stabilitas dan fleksibilitas masyarakat, sedangkan yang bersifat represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang mengalami gangguan. Hukum diarahkan untuk mengkoordinasi keseluruhan sistem sosial, sehingga dengan demikian mempunyai fungsi integratif. Posisi hukum sebagai mekanisme integratif tersebut, sesungguhnya berakar dari konsep tentang fungsi hukum dalam sistem sosial yang dikembangkan oleh Talcot Parson. Parson menyoroti tertib hukum dalam kerangka teori sistem sosial yang fungsional. Hukum dipandang sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi pada hampir seluruh subsistem sosial. Fungsi utamanya adalah integrasi, yaitu untuk mengurangi unsur sengketa yang potensional ada dalam masyarakat untuk melancarkan proses pergaulan sosial. Itulah sebabnya, yang ditekankan di sini adalah bila aterjadi konflik haruslah dilaksanakan dalam suatu kerangka pengaturan, dan tidak dibenarkan untuk diperbururuk menjadi konflik total. Membiarkan terjadi sengketa-sengketa tanpa penyelesaian akan menghambat terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam masyarakat. Pada saat itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan yang salaing bersaing itu sehingga dapat menciptkaan kerjasama yang produktif. Dalam

    FUNGSI HUKUM DALAM MASYARAKAT

  • 18

    kedudukannya sebagai sesuatu institusi yang melakukan pengintegrasian terhadapa proses-proses yang berlangsung dalam masyarkat, maka hukum menerima masukan-masukan dari bidang ekonomi, politik, dan budaya untuk kemudian diolah menjadi keluaran-keluaran yang dikembalikan dalam masyarakat. Jika institusi hukum hendak berfungsi sebagai sarana pengintegrasi, maka ia harus diterima oleh masyarakat untuk menjalankan fungsinya itu. Hal ini berarti bahwa para anggota harus dapat dimotivasikan untuk menggunakan institusi hukum sebagai sarana penyelesaian konflik-konfliknya. Kaitannya dengan berbagai fenomena sosial, dalam hal ini perlu ada motivasi dari warga masyarakat untuk menggunakan sarana hukum, pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapai. Artinya, pengadilan baru melaksanakan fungsinya jika ada perkara yang diajukan padanya. Selama tidak ada perkara yang masuk, pengadilan tidak dapat melakukan fungsinya tersebut. Khususnya dalam bidang perdata, termasuk sengketa tanah, badan peradilan dapat melakukan fungsinya untuk menyelesaikan sengketa, sangat tergantung pada pihak-pihak yang berperkara. Tentu saja, terdapat beragam faktor yang menentukan dipakai tidaknya pengadilan sebagai dforum penyelesaian sengketa. Menurut Seidman, hukum mempengarui pilihan tindakan manusia dlam dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Hukum mempengaruhi secara langsung karena beberapa hal antara lain: Pertama, individu yang bersangkutan merasa hukum itu merupakan perintah yang bersifat memaksa. Kedua, hukum itu memberikan perangsang yang harus diperhitungkan. Ketiga, bahwa hukum itu benar sehingga perlu dipatuhi. Sedangkan hukum mempengaruhi secara tidak langsung, karena individu memperhatikan dan mengikuti pola-pola perilaku yang dilakukan orang lain secara berulang-ulang atau sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat. Menggunakan atau tidak menggunakan pengadilan, bisa disebabkan oleh adanya faktor korelasi antara tujuan yang hendak dicapai dan stratifikasi masyarakat yang bersangkutan.

  • 19

    Buku berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum yang ditulis oleh Dr. Indah Sri Utari sangat lugas dan memang sesuai dengan konteks masyarakat sekarang. Buku ini memeberikan gambaran yang sangat lugas dan sangat jelas bagaimana proses masyarakat biasa mencari keadilan dalam sebuah sengketa yang dialaminya. Tidak hanya mengkritik tentang hukum positif yang selama ini banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia tapi buku ini juga memberikan solusi sebuah peradilan baru yang tidak hanya memberikan kepastian hukum tapi juga memberikan sebuah keadilan dengan memperhatikan kondisi sosio-kultural masyarakat yang dalam buku ini disebut sebagai peradilan konsoliasi. Buku ini benar-benar menggambarkan realitas yang ada di masyarakat. Bahwa betapa banyak masyarakat yang masih kesulitan dalam mencari sebuah keadilan karena keterbatasn sumber daya yang mereka miliki. Peradilan konsiliasi ini memberi alternatif solusi. Konsep seperti ini sudah seharusnya bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah. Bahwa produk hukum yang ada harus sesuai dengan jiwa rakyat Indonesia. Buku ini juga sangat ilmiah karena beragam teori diungkap secara detail sebagai pisau analisis untuk memahami fenomena yang ada di masyarakat khususnya untuk masalah sengketa yang dihadapi. Teori-teori sosial mulai dari Parson, Van peursen, Homans, Mead, sampai dengan Antony Giddens diulas secara detail dan digunakan oleh penulis secara tajam memberikan gambaran yang jelas tentang fenomena sosial yang ada. Diungkap bagaimana ketika seseorang menentukan pilihan dalam tindakan sosialnya dalam hal ini pilihan dalam memilih forum hukum dalam menyelesaikan masalah menjadi semakin ilmiah karena dibingkai dengan beberapa asumsi yang ada. Buku ini mengungkap betapa tidak mudah untuk memahami posisi hukum dalam masyarakat. Ketidakmudahan itu dimungkinkan banyak misalnya saja berkenaan dengan pemahaman terhadap hukum itu sendiri. Pemamahan publik terhadap hukum tidaklah sama. Akan tetapi hal itu tidaklah sekaligus berarti apa yang dinamakan dengan hukum itu menjadi sesuatu yang abstrak. Artinya publik maupun kalangan hukum sendiri bisa dengan mudah memahami esensi dari apa yang disebut dengan hukum. Tapi hal itu tidak sekaligus menjelaskan bagaimana posisi hukum dalam masyarakat. Kelebihan dalam buku yang sangat menarik adalah betapa solusi yang ditawarkan begitu sangat berharga. Konsep peradilan konsiliasi yang ditawarkan sudah seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah. Saya sepakat bahwa itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh adat dan nilai-nilai lokal yang ada. Solusi ini membuka cakrawala baru bagi dunia peradilan di Indonesia yang kini makin jauh dari rasa kepercayaan rakyatnya. Rakyat berusaha mencari keadilan lain di luar forum negara. Buku ini mengungkap bahwa pemahaman yuridis para yuris bukan satu-satunya makna sosial hukum yang mutlak diterima semua pihak sebagaimana kecenderungan deewasa ini. Lebih tepat dikatakan bahwa masing-masing individu maupunkelompok memiliki kesempatan untuk memaknai hukum dalam konteks pergumulan dan sistem situasi yang mereka hadapi. Buku ini sangat bagus karena mengungkap bagaimana pranata-pranata formal memang menikmati keadaan yang hampir seluruhnya monopoli dalam memaksa rakyat untuk

    KELEBIHAN & KEKURANGAN BUKU

  • 20

    memenuhi suatu aturan, namun pranata-pranata tersebut tidak mempunyai monopoli jenis apapun terhadap aneka bentuk pemaksaan efektif dan bujukan efektif lainnya pada seseorang. Kelebihan lain dari buku ini adalah bahwa buku tentang pilihan hukum dan penggunaan makna sosial ntuk sebagai perspektif sangat bermanfaat untuk mengkaji fenomena yang muncul dalam konteks pluralisme hukum. Sebab secara teoritis maupun faktual, pluralisme hukum merupakan realitas yang memungkinkan warga masyarakat melakukan pilihan norma dan dan forum hukum untukmenyelesaikan sengketa yang mereka hadapi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara sosiologis, aneka norma dan lembaga hukum yang ada, tidak lebih dari suatu kenyataan sosial yang dihadapi seseorang, dan sekalian itu dapat dimaknai secara sosial oleh warga masyarakat. Jelas di sini, bahwa warga masyarakatlah yang menentukan makna dari semua norma / forum hukum itu. Dengan kata lain secara faktual, bukan hukum yang mengontrol warga masyarakat, tetapi sebaliknya warga masyarkatlah yang mengontrol hukum. Dipilih tidaknya suatu norma atau forum hukum, sangat ditentukan oleh kebutuhan dan sistem situasi yang dihadapi sesorang. Tidak banyak kekurangan dari buku ini. Beberapa hal yang bisa saya kritiki sebagai berikut: 1. Masalah sistematika

    Dalam beberapa bab yang disampaikan menurut saya akan lebih sistematis jika maslah fungsi hukum dalam masyarakat yang ditulis di bab VIII akan lebih baik jika disajikan dalam bab awal. Dimana para pembaca akan lebih memahami fungsi hukum itu sendiri sebelum mengetahui lebih jauh dan memaknai lebih jauh tentang pilihan hukum yang akan ditempuh masyarakat. Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak. Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Dengan mengerti fungsi hukum akan lebih mudah juga memaknai makna sosial hukum. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Roberto M. Unger (2011;54), tampaknya hukum adalah subjek kajian yang bermanfaat karena upaya untuk memahami signifikansinya akan mengarahkan kita lansung menuju inti tiap-tiap masalah besar yang belum terpecahkan dalam teori sosial. Lebih jauh dikemukakan Roberto M. Unger, bahwa hukum terlihat dalam masalah metode. Setelah paham Aristoteles ditolak dalam pemikiran politik, fenomena atau gejala sosial perlu dijelaskan dan digambarkan dalam istilah-istilah yang berbeda dengan istilah-istilah tradisional untuk tujuan dan manusia. Namun, pada saat yang sama menjadi jelas bahwa kita memang mengandalkan peraturan-peraturan preskriktif. Peraturan-peraturan ini bukan sekedar fakta tanpa signifikansi moral bagi orang-orang yang

  • 21

    membuat, menerapkan, dan menaatinya, serta memberikan penghargaan atau kecaman dengan berpedoman pada peraturan-peraturan tersebut.

    2. Kajian dalam buku ini memerlukan analisis sosiologis dan antropologis yang lebih mendalam. Artinya sebaiknya harus mulai mempelajari proses-proses non formal yang terjadi di masyarakat . Peran analisis sosiologis dan antropologis digunakan, karena kajian ini ingin melihat berbagai aspek sosial-budaya dari kebijakan, yakni keterkaitan antara kebijakan dengan manusia-manusia pembuat dan pelaksana kebijakan tersebut. Pemelahan hukum secara sosiologi menunjukan bahwa hukum merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat. Yakni merupakan refleksi dari unsur unsur sebagai berikut: a. Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat. b. Hukum merupakan refleksi hak dari moralitas masyarakat maupun moralitas

    universal. c. Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu keadilan

    dan ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota masyarakat. Dalam masyarakat modern, hubungan antar warga tidak lagi sebatas kekerabatan, klen, suku dan sebagainya, tetapi lebih luas lagi menyangkut hubungan antara warga dan pemerintah. Perluasan konteks hubungan sosial ini sebagai akibat dari semakin terintegrasinya komunitas-komunitas lokal ke dalam organisasi negara-bangsa. Hubungan antar warga negara-bangsa diatur oleh suatu penyelenggara negara yang biasa dikenal sebagai pemerintah dan lembaga-lembaga legislatif. Institusi penyelenggara negara selalu berkeinginan untuk mempengaruhi masyarakat dengan usaha menata dan mengatur warga masyarakat. Dalam negara modern warga masyarakat diatur oleh berbagai peraturan yang tidak terhitung jumlahnya yang dibuat oleh kaum birokrat di pemerintahan. (Haviland dalam Britan dan Cohen, 1980b). Berbagai peraturan yang dikeluarkan itu adalah refleksi dari kebijakan institusi atau birokrasi negara. Untuk mengkaji suatu kebijakan, paling tidak ada dua cara yang harus diketahui, yaitu kajian yang melihat isi kebijakan (policy content) dan kajian yang melihat bagaimana kebijakan sebenarnya dibuat dan dilaksanakan (policy process). Kajian isi kebijakan (policy content) kebanyakan berupa analisis legal-normatif. Kajian antara lain ingin melihat konsistensi kebijakan yang ada dalam peraturan perundang-undangan, perubahan kebijakan dari waktu ke waktu serta ketercakupan prinsip-prinsip keadilan dalam isi kebijakan. Kajian proses kebijakan (policy process) lebih mengarah pada analisis sosiologis dan antropologis, disamping analisis yang berkembang dalam kajian organisasi (administrasi). Peraturan Nagari tidak bisa dilihat dari perspektif Hukum Negara saja, namun secara luas juga merupakan perwujudan dari kearifan lokal yang ada disuatu masyarakat hukum adat. Jika dahulunya, masyarakat adat identik dengan hukum adat yang tidak tertulis dan merupakan kesepakatan bersama dalam suatu kesatuan masyarakat hukum adat, maka saat ini hukum adat yang tidak tertulis itu diharapkan berevolusi menjadi sebuah aturan yang tertulis namun tetap bernafaskan kearifan lokal. Namun dalam perkembangan saat ini bagi masyarakat modern terjadi pergeseranpergeseran dimana akibat faktorfaktor tertentu menyebabkan kurang percayanya masyarakat terhadap hukum yang ada, diantaranya faktor penegak hukum yang menjadikan hukum atau aturan sebagai alasan untuk melakukan tindakantindakan yang dianggap oleh masyarakat mengganggu. Bahkan banyak masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh oknumoknum penegak hukum disebabkan keawaman mereka tentang masalah hukum sehingga dengan mudah dapat dimanfaatkan sebagai objek penderita. Dalam abad Ke-21 terjadi perkembangan diberbagai bidang hukum dimana

  • 22

    sebagian hukum disebagian negara sudah menyelesaikan pengaturannya secara tuntas, tetapi sebagian hukum di negara lain masih dalam proses pengaturannya yang berarti hukum dalam bidang-bidang tersebut masih dalam proses perubahannya. Hukum merupakan kaidah untuk mengatur masyarakat, karena itu hukum harus dapat mengikuti irama perkembangan masyarakat, bahkan hukum harus dapat mengarahkan dan mendorong berkembangnya masyarakat secara lebih tepat dan terkendali. Kerena terdapatnya ketertiban sebagai salah satu tujuan hukum, dengan begitu terdapat interaksi antara hukum dan perkembangan masyarakat. Namun faktor lain yang perlu diperhatikan juga adalah kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya sebaliknya semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor kepatuhan hukum. Sehingga proses perkembangan dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

    3. Dari penjelasan buku yang ada masalah hukum negara yang superlatif selayaknya dikaji secara tersendiri. Hal ini dilakukan agar pembaca secara mudah menangkap maksud mengapa orang sekarang cenderung menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan. Pertanyaan yang kemudian muncul apakah hukum negara begitu superlatif di atas norma-norma lain? Dan dapat efektif mengatur perilaku masyarakat Indonesia yang begitu plural? Pertemuan norma antara hukum negara dengan norma kebiasaan tidak selalu berwujud keterbauran yang padu/tidak padu, tetapi juga melahirkan benturan kesenjangan. Ada persaingan antar kebenaran dari hukum dan budaya; formal dan informal. Benturan yang timbul disekitar pertemuan hukum nasional dan hukum lokal melahirkan kemacetan pemberlakuan hukum ditingkat lokal. Terhadap gejala yang demikian itu, tidak sedikit orang memahaminya sebagai fenomena ketidaksadaran hukum, bukan dimengerti sebagai ketidakpatuhan hukum. Melalui proses intelektual dan proses hati nurani, pembaca akan lebih mengerti sampai pada kesepakatan bersama, yaitu berkehendak atas kebenaran dan kebaikan serta keindahan sebagai nilai yang berguna, bermanfaat bagi semua pihak. Nilai kegunaan (utility value) adalah hal yang benar, yang baik, yang indah karena bermanfaat bagi semua pihak. Nilai kegunaan adalah menyenangkan, saling menguntungkan, dan mensejahterakan semua pihak. Akhirnya manusia menjadi penentu, untuk berkehendak memilih yang benar menurut akal dan sekaligus baik menurut hati nurani karena pilihan itulah yang indah dan bermanfaat. Manusia kodrati ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu mengambil keputusan yang benar menurut akal (intelektual) dan baik serta indah menurut hati nurani. Ukuran benar menurut intelektual dan baik serta indah menurut hati nurani adalah bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain.

    4. Perlu dikaji apakah pengakuan terhadap masyarakat adat yang dilakukan oleh berbagai pihak saling menguatkan apa malah sebaliknya melemahkan. Konsep kerja masyarakat adat jelas berhubungan langsung dengan tanah. Diperlukan penegasan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai warga Negara dalam mengakses keadilan dan HAM. Bagaimana warga negara mempunyai HAM yang harus dijunjung tinggi oleh pemerintah sebagai pelindung rakyatnya dalam menegakkan HAM dan mencari sebuah keadilan. Mengabaikan aspek kehidupan yang dipedomani peraturan ini berarti mengabaikan makna subjektif prilaku. Karena itu harus ditentukan hubungan antara kajian ilmiah untuk mencari keteraturan faktual dalam masyarakat dengan penggunaan peraturan

  • 23

    dalam kehidupan sehari-hari. Inti teori masyarakat adalah menerangkan hubungan antara hukum yang menerangkan (law that describes) dan hukum yang bersifat mengatur (law that ordains). Kajian terhadap hukum berhubungan erat dengan masalah tatanan sosial. Doktrin kepentingan pribadi dan doktrin konsensus mencakup dan bergantung pada pandangan-pandangan yang bertentangan mengenai peraturan. Jika kita mengetahui dalam keadaan seperti apa berbagai jenis hukum akan muncul, mungkin kita pun mampu melihat batasan-batasan dan kegunaan kedua padangan dasar tentang tatanan itu dan menyusun cara untuk menyatakannnya. Resolusi untuk masalah komodernan mengharuskan kita menemukan hubungan antara ideologi dominan yang menempatkan hukum impersonal sebagai pusat masyarakat dan pengalaman keseharian taktala hukum tersebut hanya berdiri di pinggiran kehidupan sosial. Jadi kajian tentang posisi hukum dalam masyarakat modern mempersatukan hal-hal penting dalam teori sosial, namun juga mengarahkan hal-hal itu pada topik yang dapat didefenisikan secara sangat kongkrit. Dengan semua itu kita bisa mencermati apakah hukum lokal lebih bisa menguatkan dalam mencari keadilan dibandingkan hukum negara yang superlatif.