Responsi Umum Asma

29
BAB I PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit radang kronis pada saluran pernapasan yang sering terjadi pada masyarakat di berbagai negara diseluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, penyakit ini telah menunjukkan peningkatan prevalensi yang cukup sigifikan. Menurut data yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA) pada tahun 2011, diperkirakan sebanyak 300 juta manusia menderita asma. 1 Di Amerika Serikat, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh National Center for Health Statistics of the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2011), selama 2001 sampai dengan tahun 2009, proporsi penderita asma di segala usia meningkat setinggi 12,3%. 2 Sedangkan di Indonesia, dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi penyakit asma mencapai 4%. Selain itu, Sumatera Barat sebagai salah satu propinsi di Indonesia mencatat angka prevalensi asma sebesar 3,6% pada tahun 2007. 3 Asma merupakan penyakit saluran napas kronis yang dapat bersifat ringan, akan tetapi dapat menetap serta mengganggu aktivitas sehari-hari. Meskipun jarang menimbulkan kematian, penyakit ini sering menimbulkan 1

description

asma

Transcript of Responsi Umum Asma

Page 1: Responsi Umum Asma

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit radang kronis pada saluran pernapasan yang sering

terjadi pada masyarakat di berbagai negara diseluruh dunia. Dalam beberapa tahun

terakhir, penyakit ini telah menunjukkan peningkatan prevalensi yang cukup

sigifikan. Menurut data yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA)

pada tahun 2011, diperkirakan sebanyak 300 juta manusia menderita asma.1 Di

Amerika Serikat, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh National Center for Health

Statistics of the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2011), selama

2001 sampai dengan tahun 2009, proporsi penderita asma di segala usia meningkat

setinggi 12,3%.2 Sedangkan di Indonesia, dari data Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2007, prevalensi penyakit asma mencapai 4%. Selain itu, Sumatera

Barat sebagai salah satu propinsi di Indonesia mencatat angka prevalensi asma

sebesar 3,6% pada tahun 2007.3

Asma merupakan penyakit saluran napas kronis yang dapat bersifat ringan,

akan tetapi dapat menetap serta mengganggu aktivitas sehari-hari. Meskipun jarang

menimbulkan kematian, penyakit ini sering menimbulkan masalah dalam

beraktivitas. Asma dapat menimbulkan gangguan emosi seperti cemas dan depresi,

menurunkan produktivitas seseorang akibat tidak masuk kerja atau sekolah, serta

dapat menimbulkan kecacatan sehingga menurunkan kualitas hidup.4,5 Menurut

Imelda, dkk (2007), hubungan antara penurunan kualitas hidup dengan derajat asma

seseorang mempunyai korelasi yang positif, bahkan eksaserbasi asma yang berat

dapat mengancam kehidupan.4

Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pedoman penatalaksanaan

asma yang bertujuan untuk mencapai asma yang terkontrol. Namun pada

kenyataannya pedoman itu tidak diimplementasikan secara efektif dalam praktik

sehari-hari sehingga masih banyak terdapat keadaan asma yang tidak terkontrol.

Berbagai faktor berperan dalam menyebabkan keadaan asma yang tidak terkontrol,

1

Page 2: Responsi Umum Asma

diantaranya adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, merokok, asma derajat

berat, penggunaan obat kortikosteroid yang salah, genetik, penyakit komorbid,

kepatuhan berobat yang buruk, pengetahuan mengenai asma, dan berat badan

berlebih.6

2

Page 3: Responsi Umum Asma

BAB II

LAPORAN KASUS

Seorang pasien perempuan, ny.EK, usia 44 tahun, alamat Pineleng, agama Katolik,

suku Minahasa masuk rumah sakit tanggal 27 Agustus 2015 di Anggrek II, dengan

keluhan utama sesak napas. Sesak napas disertai mengi dirasakan memberat sejak 1

hari yang lalu, sesak napas dirasakan saat berjalan, melakukan aktivitas berat

terutama timbul pada malam hari, sesak napas dirasakan mengganggu aktivitas dan

tidur, gejala seperti ini muncul setiap lebih dari 3 kali dalam seminggu, mereda

dengan menggunakan berotec inhaler. Pasien masih bisa bicara berupa kalimat-

kalimat dan mengeluh timbul kemerahan dan gatal didaerah leher yang muncul

sekitar minggu yang lalu. Batuk kadang-kadang, berdahak berwarna putih- kuning

kehijauan. Tidak disertai dengan adanya demam. Nafsu makan menurun, BB normal,

BAB/BAK biasa.

Riwayat asma sejak kurang lebih 17 tahun, menggunakan berotec inhaler, salbutamol

dan metilprednisolon. Riwayat penyakit jantung, ginjal, paru, DM, hipertensi, asam

urat, kolesterol disangkal. Tidak ada riwayat merokok dan alkohol.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang

dengan kesadaran compos mentis dengan GCS E4V5M6. Tekanan darah 120/70

mmHg, denyut nadi 98 kali per menit, frekuensi pernapasan 26 kali per menit, dan

suhu tubuh 36,5oC, SpO2 92%. Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva

tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor dengan diameter 3mm/3mm dan

refleks cahaya kedua mata positif. Pada pemeriksaan leher didapatkan trakea letak

tengah tanpa pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan fisik dada

didapatkan pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, retraksi tidak ada. Pada

pemeriksaan jantung didapatkan tidak ada perubahan batas jantung kiri dan kanan.

Pada pemeriksaan paru, tidak ditemukan ronkhi, tetapi didapatkan wheezing pada

kedua lapangan paru. Pada pemeriksaan abdomen tidak ditemukan adanya nyeri

epigastrium, hepar dan lien tidak teraba. Pada pemeriksaan ekstremitas, akral hangat

3

Page 4: Responsi Umum Asma

dan tidak ada edema. Pada pemeriksaan laboratorium hematologi didapatkan leukosit

11.700/L, eritrosit 5 x 10^6/uL, hemoglobin 15 g/dL, hematokrit 44%, trombosit

251.000/uL, ureum 11 mg/dL, creatinin 0.7 mg/dL, natrium 139 mEq/L, kalium 3.60

mEq/L, chloride 105 mEq/L. Pasien didiagnosis dengan asma bronkial eksaserbasi

akut dengan infeksi sekunder. Tatalaksana awal untuk pasien ini adalah pemakaian O2

via nasal kanul 2 liter per menit, nebulizer combivent dengan pulmicort setiap 8 jam,

salbutamol 2 mg tiga kali sehari, ambroxol 30 mg tablet tiga kali sehari, injeksi

ceftriaxone 1 gram intravena dua kali sehari, dan dexamethasone 1 ampul tiga kali

sehari. Pada kasus ini direncanakan akan dilakukan pemeriksaan foto thoraks.

Pada perawatan hari pertama didapatkan keluhan sesak napas dan batuk. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran

compos mentis. Tekanan darah 110/60 mmHg, denyut nadi 88 kali per menit,

frekuensi pernapasan 24 kali per menit, dan suhu badan 36,1oC, SpO2 95%. Pada

pemeriksaan leher didapatkan trakea letak tengah tanpa pembesaran kelenjar getah

bening, JVP 5+0 cmH2O. Pada pemeriksaan fisik dada didapatkan pergerakan dinding

dada simetris kiri dan kanan, retraksi tidak ada. Pada pemeriksaan jantung didapatkan

tidak ada perubahan batas jantung kiri dan kanan. Pada pemeriksaan paru, tidak

ditemukan ronkhi, tetapi didapatkan wheezing pada kedua lapangan paru. Pada

pemeriksaan abdomen tidak ditemukan adanya nyeri epigastrium, hepar dan lien tidak

teraba. Pada pemeriksaan ekstremitas, akral hangat dan tidak ada edema. Pasien

didiagnosis dengan asma bronkial eksaserbasi akut dengan infeksi sekunder. Pasien

ditatalaksana dengan dipasang venflon, O2 via nasal kanul 2 liter per menit, nebulizer

combivent dengan pulmicort setiap 8 jam, salbutamol 2 mg tiga kali sehari, ambroxol

30 mg tablet tiga kali sehari, injeksi ceftriaxone 1 gram intravena dua kali sehari, dan

dexamethasone 1 ampul tiga kali sehari, berotec 2 puff tiga kali sehari.

Pada perawatan hari kedua, didapatkan pasien masih merasa sesak dan batuk.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,

kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 68 kali per

menit, frekuensi pernapasan 24 kali per menit, dan suhu badan 36,0oC, SpO2 95%.

4

Page 5: Responsi Umum Asma

Pada pemeriksaan fisik masih di dapatkan wheezing pada kedua lapangan paru.

Pasien didiagnosis dengan asma bronkial eksaserbasi akut dengan infeksi sekunder.

Pasien masih ditatalaksana dengan O2 via nasal kanul 2 liter per menit, nebulizer

combivent dengan pulmicort setiap 6 jam, salbutamol 2 mg tiga kali sehari,

ceftriaxone 1 gram intravena dua kali sehari (H-2), dexamethasone 1 ampul tiga kali

sehari (H-2), berotec 2 puff tiga kali sehari.

Pada perawatan hari ketiga, pasien mengeluh kadang masih merasa sesak dan

batuk. Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,

kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 70 kali per

menit, frekuensi pernapasan 24 kali per menit, dan suhu badan 36,5oC, SpO2 96%.

Pada pemeriksaan fisik dada didapatkan wheezing sedikit menghilang pada kedua

lapangan paru. Pasien didiagnosis dengan asma bronkial eksaserbasi akut dengan

infeksi sekunder. Pasien ditatalaksana dengan O2 2 liter per menit, nebulizer

combivent dan pulmicort setiap 6 jam, salbutamol 2 mg tiga kali sehari, ceftriaxone 1

gram intravena dua kali sehari (H-3), dexamethasone 1 ampul tiga kali sehari (H-3),

dan berotec 2 puff tiga kali sehari.

Pada perawatan hari keempat, didapatkan pasien merasa sesak hilang timbul,

dan masih disertai dengan batuk. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang,

kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 76 kali per

menit, frekuensi pernapasan 24 kali per menit, suhu badan 36,4oC, SpO2 97%. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan masih terdengar sedikit wheezing di kedua lapangan

paru. Pasien didiagnosis dengan asma bronkial eksaserbasi akut dengan infeksi

sekunder. Pasien ditatalaksana dengan O2 2 liter per menit, nebulizer combivent dan

pulmicort setiap 6 jam, salbutamol 2 mg tiga kali sehari, ceftriaxone 1 gram intravena

dua kali sehari (H-4), dexamethasone 1 ampul tiga kali sehari (H-4), dan berotec 2

puff tiga kali sehari, drips ½ ampul aminofilin dibolus dilanjutkan dengan drips 1 ½

ampul aminofilin dalam 500 cc dekstrose 5% (10 tetes per menit).

Pada perawatan hari kelima, didapatkan keluhan sesak berkurang dan masih

disertai dengan batuk. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos

5

Page 6: Responsi Umum Asma

mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 76 kali per menit, frekuensi

pernapasan 20 kali per menit, suhu badan 36,0oC, SpO2 96%. Pada pemeriksaan fisik

tidak didapatkan wheezing dikedua lapangan paru. Hasil pemeriksaan foto thoraks

kesan normal (tidak ada kelainan). Pasien didiagnosis dengan asma bronkial

eksaserbasi akut dengan infeksi sekunder. Pasien ditatalaksana dengan O2 2 liter per

menit, nebulizer combivent dan pulmicort setiap 6 jam, salbutamol 2 mg tiga kali

sehari, ceftriaxone 1 gram intravena dua kali sehari (H-5), dexamethasone 1 ampul

tiga kali sehari (H-5), berotec 2 puff tiga kali sehari, ½ ampul aminofilin dibolus

dilanjutkan dengan drips 1 ½ ampul aminofilin dalam 500 cc dekstrose 5% (10 tetes

per menit), vectrin dua kali sehari. Direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan

laboratorium darah lengkap.

Pada perawatan hari keenam, didapatkan pasien sudah tidak sesak napas tetapi

masih mengeluh batuk. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran

compos mentis. Tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 80 kali per menit,

frekuensi pernapasan 22 kali per menit, suhu badan 36,5oC, SpO2 98%. Hasil

pemeriksaan darah lengkap leukosit 11.400/uL, eritrosit 4,81 x 10^6/uL, hemoglobin

14,7 g/dL, hematokrit 44,7%, trombosit 307.000/uL. Pasien didiagnosis dengan asma

bronkial eksaserbasi akut dengan infeksi sekunder. Pasien ditatalaksana dengan O2 2

liter per menit(k/p), nebulizer combivent dan pulmicort setiap 6 jam, salbutamol 2

mg tiga kali sehari, ceftriaxone 1 gram intravena dua kali sehari (H-6),

dexamethasone 1 ampul tiga kali sehari (H-6), berotec 2 puff tiga kali sehari, ½

ampul aminofilin dibolus dilanjutkan dengan drips 1 ½ ampul aminofilin dalam 500

cc dekstrose 5% (10 tetes per menit), vectrin dua kali sehari.

Pada perawatan hari ketujuh, didapatkan keluhan batuk. Pada pemeriksaan

fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan

darah 110/70 mmHg, denyut nadi 76 kali per menit, frekuensi pernapasan 20 kali per

menit, suhu badan 36,3oC, SpO2 98%. Pada pemeriksaan fisik dada tidak didapatkan

wheezing pada kedua lapangan paru. Pasien didiagnosis dengan asma bronkial

terkontrol. Pasien ditatalaksana dengan O2 2 liter per menit (k/p), nebulizer combivent

6

Page 7: Responsi Umum Asma

dan pulmicort setiap 6 jam, cefixime 200mg dua kali sehari, methylprednisolone 4mg

tiga kali sehari (2 hari), 4mg dua kali sehari (2 hari), 4mg satu kali sehari (2 hari),

berotec 2 puff tiga kali sehari, vectrin dua kali sehari. Pasien direncanakan untuk

rawat jalan dan kontrol di poliklinik alergi imunologi.

7

Page 8: Responsi Umum Asma

BAB III

PEMBAHASAN

Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena

hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; yang

bersifat sementara/reversible.7

Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri

klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang

sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah

mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang

ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis

yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan

struktur saluran napas.8

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,

umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa

kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1,

tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa

menopause perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Umumnya prevalensi asma

anak lebih tinggi daripada dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi

dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan

kota yang lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-

7%.9

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain

allergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat

terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis

didominasi oleh antibody IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),

terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan

kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah

besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibody IgE terutama melekat

8

Page 9: Responsi Umum Asma

pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan

bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup allergen, terjadi fase

sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut akan meningkat. Alergen kemudian berikatan

dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini

berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang

dikeluarkan adalah histamin, leukotriene, faktor kemotaktik, eosinofil dan bradikinin.

Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus, dan spasme

otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.8

Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15

menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons

terhadap mediator sel mast terutama histamine yang bekerja langsung pada otot polos

bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam, bahkan kadang sampai

beberapa minggu. Sel- sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast, dan antigen

precenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.10,11,12

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast

intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran napas.

Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang

dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel saluran napas lebih

permeable dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga

meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang

dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel

mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada

keadaan tersebut, reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal

mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptide sensorik senyawa P,

neurokinin A, dan Calcitonin Gen Related Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang

menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,

hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.10,11,12

Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hiperaktivitas

bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter

9

Page 10: Responsi Umum Asma

objektif beratnya hiperaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur

hiperaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi

udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.8

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat

ditangani dengan baik, suara mengi (wheezing) berulang dan/ atau batuk kronik

berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis asma

didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis

klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk, dan

dada sakit.9

Pasien ini datang dengan keluhan sesak napas disertai mengi dirasakan

memberat sejak 1 hari yang lalu, sesak napas dirasakan saat berjalan, melakukan

aktivitas berat terutama timbul pada malam hari, gejala seperti ini muncul setiap lebih

dari 3 kali dalam seminggu, mereda dengan menggunakan berotec inhaler. Pasien

masih bisa bicara berupa kalimat-kalimat dan mengeluh timbul kemerahan dan gatal

didaerah leher yang muncul sekitar minggu yang lalu. Batuk kadang-kadang,

berdahak berwarna putih- kuning kehijauan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan bunyi

wheezing pada kedua lapangan paru. Sesuai dengan kepustakaan bahwa gejala asma,

yaitu batuk, sesak dengan mengi (wheezing) merupakan akibat dari obstruksi bronkus

yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.9

Pasien ini didiagnosis awal dengan asma bronkial eksaserbasi akut sesuai

dengan klasifikasi tingkat berat eksaserbasi asma.13

Tabel 1. klasifikasi tingkat berat eksaserbasi asma.

Parameter Serangan

ringan

Serangan

sedang

Serangan berat Ancaman henti

nafas – akut

berat

Sesak napas Berjalan sudah

sesak, masih

dapat berbaring

Berbicara sudah

sesak, lebih

enak duduk

Istirahat sudah

sesak, harus

duduk

membungkuk

10

Page 11: Responsi Umum Asma

Berbicara Dalam kalimat Berbicara dalam

suku kata

Berbicara kata

demi kata

Kesadaran Mungkin agitasi Biasanya agitasi Biasanya agitasi Mengantuk atau

bingung

Frequensi

pernapasan

Meningkat Meningkat Sering

>30x/menit

Retraksi otot-

otot tambahan

dan suprasternal

Biasanya tidak

ada

Biasanya ada Biasanya ada Gerakan torako-

abdominal

paradoksikal

Mengi Sedang sering

hanya akhir

ekspirasi

Keras Biasanya keras Tak ada bising

(silent chest)

Nadi/ menit <100 100-120 >120 Bradikardia

Pulsus

paradoksus

<10 mmHg Bisa ada 10-25

mmHg

Sering ada >25

mmHg

Jika taka da,

dicurigai

kelelahan otot

napas

APE pasca

bronkodilator,

% dari nilai

terbaik

>80% 60-80% <60%

PaO2 (diudara)

dan /atau PaCO2

Normal

<45 mmHg

>60 mmHg

<45 mmHg

>60 mmHg,

mungkin

sianosis

>45 mmHg,

mungkin gagal

napas

SaO2 (diudara) >95% 91-95% <90%

11

Page 12: Responsi Umum Asma

Tingkatan kontrol asma. (Penilaian terhadap kontrol klinis terkini (sebaiknya

lebih dari 4 minggu)13

Tabel 2. Tingkatan kontrol asma

Karakteristik Terkontrol Terkontrol sebagian Tidak terkontrol

Gejala sepanjang

hari

<2x dalam seminggu >2x dalam seminggu

Keterbatasan

aktivitas

Tidak ada Ada 3 atau lebih dari

tanda yang terdapat

pada terkontrol

sebagian.

Gejala malam hari/

terbangun malam

hari

Tidak ada Ada

Membutuhkan

reliever atau terapi

emergency

<2x dalam seminggu >2x dalam seminggu

Fungsi paru (PEF

atau VEP1)

Normal <80% dari prediksi

atau yang terbaik

secara individu (jika

telah diketahui)

Pada diagnosis akhir saat keluar RS pasien didiagosis dengan asma bronkial

terkontrol, karena gejala sesak napas <2x dalam seminggu pengobatan di RS, tidak

ada keterbatasan aktivitas, gejala pada malam hari tidak ada.

Tatalaksana asma menurut GINA (2011) mempunyai 4 komponen yang

dibutuhkan untuk mencapai dan mempertahakan kontrol asma. (1) Mengembangkan

kerjasama dokter dengan pasien, yaitu dengan edukasi pasien tentang asma dan

tatakelola asma yang perlu mereka kerjakan (menghindari faktor risiko,

menggunakan obat secara benar dan teratur sesuai yang telah ditentukan, menggerti

penggunaan obat pengontrol dan pelega, mengenal tanda pemburukan asma dan cara

mengatasinya, mampu memonitor asma, konsultasi bila diperlukan). (2) Mengenal

dan mengurangi paparan terhadap faktor risiko. Dapat tetap melakukan olahraga

sesuai kemampuannya dan bila perlu menggunakan obat asma terlebih dahulu

12

Page 13: Responsi Umum Asma

sebelum olahraga. (3) Evaluasi, terapi dan monitor asma. (4) Monitoring untuk

mempertahankan kontrol asma. Datang kontrol 1-3 bulan kemudaian dan seterusnya 3

bulan sekali. Bila ada eksaserbasi kontrol tiap 2-4 minggu, ditanyakan mengenai hasil

kontrol asma yang tercapai, kepatuhan pasien menggunakan inhaler dan PEF meter

secara benar, atau adanya masalah lain pada pasien.13

Tabel 3. Langkah penatalaksanaan berdasarkan kontrol.13

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5

Penyuluhan asma dan pengendalian lingkungan

Jika diperlukan

berikan Agonis

β2 aksi cepat

Agonis β2 aksi cepat jika dibutuhkan

Pilihan

Kontroler

Pilih salah satu Pilih salah satuTahap 3, tambah

satu atau lebih

Tahap 4 lalu

tambah satu

ICS dosis

rendah

ICS dosis

rendah ditambah

Agonis β2 kerja

lama

ICS dosis

sedang atau

dosis tinggi

ditambah

Agonis β2 kerja

lama

Glukokortikoid

oral (dosis

terkecil)

Leukotriene 0

modifier

ICS dosis tinggi

atau sedang

Leukotriene

modifier

Pengobatan anti

IgE

ICS dosis

rendah ditambah

leukotriene

modifier

Teofilin lepas

lambat

ICS dosis

rendah ditambah

teofilin lepas

lambat

13

Page 14: Responsi Umum Asma

Tabel 4. Daftar Obat yang umumnya dipakai.14

ObatNebuliser

(mg/ml)Oral (mg) Lama kerja (jam)

Antikolinergik

Ipratropium bromida 0,25 – 0,5 6-8

β2 agonis

Fenoterol

Salbutamol

Terbutalin

Formoterol

Salmeterol

0,5 – 2,0

2,5 – 5,0

5 – 10

2 – 4

2,5 – 5

4-6

4-6

4-6

12

12

Metilxantin

Aminofilin

Teofilin SR

200

100 – 400

4-6

12-24

Glukokortikosteroid

sistemik

Prednison

Metilprednisolon

5 – 60 (pil)

4, 8, 16 (pil)

Glukokortikosteroid

inhaler

Beklometasone

Budesonide

Triamsinolon

Flutikasone

0,2 – 0,4

0,2; 0,25; 0,5

40

Kombinasi β2 agonis (short-acting) dengan antikolinergik dalam satu inhaler

Fenoterol/

Ipratropium

Salbutamol/

Ipratropium

1,25 / 0,5

0,75 / 4,5

6-8

6-8

Kombinasi β2 agonis (long-acting) dengan glukokortikosteroid dalam satu inhaler

Formoterol/

14

Page 15: Responsi Umum Asma

Budesonide

Salmeterol/

Flutikasone

Obat-obatan yang digunakan untuk mengurangi respon saluran napas, contohnya

dengan penggunaan obat-obat anti asma yang terdiri dari pencegah (controller) dan

penghilang gejala (reliever).9

Obat pencegah yang didalamnya termasuk:

obat-obatan kortikosteroid hirup dan sistemik

- digunakan untuk mengurangi inflamasi bronkus

- mengurangi hipersensitivitas bronkus

Golongan Xantin: teofilin lepas lambat (TLL),

- Memberikan efek bronkodilatasi

Golongan agonis β2 : agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan

formoterol) dan oral,

- Untuk merelaksasi otot polos bronkus

Kromolin atau Nedrokromolin

- Untuk mencegah pelepasan mediator bronkokonstriksi dan inflamasi

dari sel mast saluran pernapasan.

obat-obat anti alergi/ imunomodulator, contohnya Anti IgE (Omalizumab)

yang diberikan secara subkutan dengan reaksi anafilaksis 0,1%

Obat-obatan penghilang gejala (reliever) yaitu obat-obat yang termasuk dalam

golongan agonis beta 2 hirup kerja pendek (fenoterol, salbutamol, terbutalin,

prokaterol),

kortikosteroid sistemik,

anti kolinergik hirup,

- menyebabkan bronkodilatasi melalui penghambatan asetilkolin.

teofilin kerja pendek,

15

Page 16: Responsi Umum Asma

agonis beta 2 oral pendek.9

Sesuai dengan kepustakaan bahwa pengobatan asma dapat dilakukan dengan

berbagai pengobatan, seperti (1) Mengurangi respon saluran napas, (2) Mencegah

pelepasan mediator, (3) Merelaksasi otot-otot polos bronkus. Berdasarkan GINA

2015 dalam penatalaksanaan pasien dengan asma bronkial eksaserbasi akut dibagi

dalam kategori ringan atau sedang, berat dan keadaan mengancam nyawa. Pasien ini

termasuk dalam kategori ringan atau sedang karena sekalipun sesak napas namun

masih bisa bicara dalam bentuk kalimat dan tidak ditemukan adanya retraksi pada

dinding dada dengan saturasi oksigen 92% dan diterapi dengan SABA 4-10 puff

setiap 20 menit dalam 1 jam pertama, prednisolone 1mg/kgBB dengan dosis

maksimal 50mg dan pemberian oksigen dengan target saturasi 93-95%.

Pada kasus ini pasien diberikan Oksigenasi, nebulizer dengan combivent dan

pulmicort, salbutamol 2 mg tiga kali sehari, injeksi ceftriaxone 1gr dua kali sehari,

injeksi dexamethasone 1 ampul tiga kali sehari, ½ ampul aminofilin dibolus

dilanjutkan dengan drips 1 ½ ampul aminofilin dalam 500 cc dekstrose 5% (10 tetes

per menit), methylprednisolone 4mg. Penatalaksanaan ini berdasarkan kriteria GINA

dilakukan pada pasien kategori berat yaitu berupa pemberian oksigen, inhalasi SABA

dan ipratropium bromide dan kortikosteroid sistemik.

BAB IV

KESIMPULAN

16

Page 17: Responsi Umum Asma

Telah dilaporkan kasus seorang penderita dengan diagnosis asma bronkial

eksaserbasi akut dengan sekunder infeksi. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik

dan penunjang yang dilakukan, pada pasien ini didapatkan batuk dan sesak napas saat

beraktivitas dan mengganggu tidur. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi

pernapasan meningkat, dan terdapat bunyi wheezing pada pemeriksaan auskultasi

pada thoraks. Pada pemeriksaan penunjang foto thoraks tidak didapatkan kelainan.

Dan pada kasus ini pasien telah diberikan terapi yang sesuai. Diharapkan lewat terapi

yang diberikan dapat mengurangi gejala serta meningkatkan kualitas hidup penderita.

DAFTAR PUSTAKA

17

Page 18: Responsi Umum Asma

1. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthmas management and prevention. Cape town: University of Cape Town Lung Institute; 2011.

2. Centers for disease control and Prevention (CDC). Vital signs; asthma prevalence, disease characteristics, and self-management education – United States 2001-2009. Morbidity and mortality weekly report. 2011; 60(17); 547-52.

3. Depkes RI. Asma. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (diunduh 2 september 2015). Tersedia dari: http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html.

4. Yulinda E. Faktor pencetus serangan asma pada penderita asma yang berobat di poliklinik paru RS. DR. M. Djamil Padang (skripsi). Padang: Universitas Andalas; 2007.

5. National asthma education and prevention program. Guidelines for the diagnosis and management of asthma. National Heart Lung, and Blood Institute (NHLBI). Department of Health and Human services, United States; 2007.

6. Atmoko W, Khairina H, Faisal P, Bobian E, Adisworo M, Yunus F. prevalens asma tidak terkontrol dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kontrol asma di poliklinik asma Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. J Respir Indo. 2011; 31:53-9.

7. Ohrui T, Yasuda H, Yamaha M, Matsui T, Sasaki H. Transiet relief of asthma symptoms during jaundice: a possible beneficial role of bilirubin. Department of Geriatic and Respiratory Medicine, Tohoku University School of Medicine.

8. Renggais I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia. 2008; 58: 444-51.

9. Sundaru H, Sukamto. Asma Bronkial. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi VI. Penerbit Interna Publishing.2014,h 478-88.

10. Global Strategy for asthma management and prevention. National Institutes of Health 2007.

11. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP, dkk. Allergy and asthma, the scenario in Indonesia. Dalam: Shaikh WA, penyunting. Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas Medical Publishers; 2006.707-36.

18

Page 19: Responsi Umum Asma

12. Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systemic review in European Journal of Allergy and Chronic Urticaria.63:646.

13. Dahlan Z. Asma Bronkiale. Dalam: Dahlan Z, Amin Z, Soeroto A, penyunting. Buku kompendium tatalaksana respirologi dan respirasi kritis. Jilid I. Penerbit PERPARI. H7-20.

14. Riyanto BS, Wulan HR, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi VI. Penerbit Interna Publishing.2014, h 1590-1607.

19