Responsi Umum Asma
-
Upload
simone-phetrusya-merielle-sumampouw -
Category
Documents
-
view
42 -
download
0
description
Transcript of Responsi Umum Asma
BAB I
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit radang kronis pada saluran pernapasan yang sering
terjadi pada masyarakat di berbagai negara diseluruh dunia. Dalam beberapa tahun
terakhir, penyakit ini telah menunjukkan peningkatan prevalensi yang cukup
sigifikan. Menurut data yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA)
pada tahun 2011, diperkirakan sebanyak 300 juta manusia menderita asma.1 Di
Amerika Serikat, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh National Center for Health
Statistics of the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2011), selama
2001 sampai dengan tahun 2009, proporsi penderita asma di segala usia meningkat
setinggi 12,3%.2 Sedangkan di Indonesia, dari data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, prevalensi penyakit asma mencapai 4%. Selain itu, Sumatera
Barat sebagai salah satu propinsi di Indonesia mencatat angka prevalensi asma
sebesar 3,6% pada tahun 2007.3
Asma merupakan penyakit saluran napas kronis yang dapat bersifat ringan,
akan tetapi dapat menetap serta mengganggu aktivitas sehari-hari. Meskipun jarang
menimbulkan kematian, penyakit ini sering menimbulkan masalah dalam
beraktivitas. Asma dapat menimbulkan gangguan emosi seperti cemas dan depresi,
menurunkan produktivitas seseorang akibat tidak masuk kerja atau sekolah, serta
dapat menimbulkan kecacatan sehingga menurunkan kualitas hidup.4,5 Menurut
Imelda, dkk (2007), hubungan antara penurunan kualitas hidup dengan derajat asma
seseorang mempunyai korelasi yang positif, bahkan eksaserbasi asma yang berat
dapat mengancam kehidupan.4
Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pedoman penatalaksanaan
asma yang bertujuan untuk mencapai asma yang terkontrol. Namun pada
kenyataannya pedoman itu tidak diimplementasikan secara efektif dalam praktik
sehari-hari sehingga masih banyak terdapat keadaan asma yang tidak terkontrol.
Berbagai faktor berperan dalam menyebabkan keadaan asma yang tidak terkontrol,
1
diantaranya adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, merokok, asma derajat
berat, penggunaan obat kortikosteroid yang salah, genetik, penyakit komorbid,
kepatuhan berobat yang buruk, pengetahuan mengenai asma, dan berat badan
berlebih.6
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang pasien perempuan, ny.EK, usia 44 tahun, alamat Pineleng, agama Katolik,
suku Minahasa masuk rumah sakit tanggal 27 Agustus 2015 di Anggrek II, dengan
keluhan utama sesak napas. Sesak napas disertai mengi dirasakan memberat sejak 1
hari yang lalu, sesak napas dirasakan saat berjalan, melakukan aktivitas berat
terutama timbul pada malam hari, sesak napas dirasakan mengganggu aktivitas dan
tidur, gejala seperti ini muncul setiap lebih dari 3 kali dalam seminggu, mereda
dengan menggunakan berotec inhaler. Pasien masih bisa bicara berupa kalimat-
kalimat dan mengeluh timbul kemerahan dan gatal didaerah leher yang muncul
sekitar minggu yang lalu. Batuk kadang-kadang, berdahak berwarna putih- kuning
kehijauan. Tidak disertai dengan adanya demam. Nafsu makan menurun, BB normal,
BAB/BAK biasa.
Riwayat asma sejak kurang lebih 17 tahun, menggunakan berotec inhaler, salbutamol
dan metilprednisolon. Riwayat penyakit jantung, ginjal, paru, DM, hipertensi, asam
urat, kolesterol disangkal. Tidak ada riwayat merokok dan alkohol.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dengan kesadaran compos mentis dengan GCS E4V5M6. Tekanan darah 120/70
mmHg, denyut nadi 98 kali per menit, frekuensi pernapasan 26 kali per menit, dan
suhu tubuh 36,5oC, SpO2 92%. Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva
tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor dengan diameter 3mm/3mm dan
refleks cahaya kedua mata positif. Pada pemeriksaan leher didapatkan trakea letak
tengah tanpa pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan fisik dada
didapatkan pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, retraksi tidak ada. Pada
pemeriksaan jantung didapatkan tidak ada perubahan batas jantung kiri dan kanan.
Pada pemeriksaan paru, tidak ditemukan ronkhi, tetapi didapatkan wheezing pada
kedua lapangan paru. Pada pemeriksaan abdomen tidak ditemukan adanya nyeri
epigastrium, hepar dan lien tidak teraba. Pada pemeriksaan ekstremitas, akral hangat
3
dan tidak ada edema. Pada pemeriksaan laboratorium hematologi didapatkan leukosit
11.700/L, eritrosit 5 x 10^6/uL, hemoglobin 15 g/dL, hematokrit 44%, trombosit
251.000/uL, ureum 11 mg/dL, creatinin 0.7 mg/dL, natrium 139 mEq/L, kalium 3.60
mEq/L, chloride 105 mEq/L. Pasien didiagnosis dengan asma bronkial eksaserbasi
akut dengan infeksi sekunder. Tatalaksana awal untuk pasien ini adalah pemakaian O2
via nasal kanul 2 liter per menit, nebulizer combivent dengan pulmicort setiap 8 jam,
salbutamol 2 mg tiga kali sehari, ambroxol 30 mg tablet tiga kali sehari, injeksi
ceftriaxone 1 gram intravena dua kali sehari, dan dexamethasone 1 ampul tiga kali
sehari. Pada kasus ini direncanakan akan dilakukan pemeriksaan foto thoraks.
Pada perawatan hari pertama didapatkan keluhan sesak napas dan batuk. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis. Tekanan darah 110/60 mmHg, denyut nadi 88 kali per menit,
frekuensi pernapasan 24 kali per menit, dan suhu badan 36,1oC, SpO2 95%. Pada
pemeriksaan leher didapatkan trakea letak tengah tanpa pembesaran kelenjar getah
bening, JVP 5+0 cmH2O. Pada pemeriksaan fisik dada didapatkan pergerakan dinding
dada simetris kiri dan kanan, retraksi tidak ada. Pada pemeriksaan jantung didapatkan
tidak ada perubahan batas jantung kiri dan kanan. Pada pemeriksaan paru, tidak
ditemukan ronkhi, tetapi didapatkan wheezing pada kedua lapangan paru. Pada
pemeriksaan abdomen tidak ditemukan adanya nyeri epigastrium, hepar dan lien tidak
teraba. Pada pemeriksaan ekstremitas, akral hangat dan tidak ada edema. Pasien
didiagnosis dengan asma bronkial eksaserbasi akut dengan infeksi sekunder. Pasien
ditatalaksana dengan dipasang venflon, O2 via nasal kanul 2 liter per menit, nebulizer
combivent dengan pulmicort setiap 8 jam, salbutamol 2 mg tiga kali sehari, ambroxol
30 mg tablet tiga kali sehari, injeksi ceftriaxone 1 gram intravena dua kali sehari, dan
dexamethasone 1 ampul tiga kali sehari, berotec 2 puff tiga kali sehari.
Pada perawatan hari kedua, didapatkan pasien masih merasa sesak dan batuk.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 68 kali per
menit, frekuensi pernapasan 24 kali per menit, dan suhu badan 36,0oC, SpO2 95%.
4
Pada pemeriksaan fisik masih di dapatkan wheezing pada kedua lapangan paru.
Pasien didiagnosis dengan asma bronkial eksaserbasi akut dengan infeksi sekunder.
Pasien masih ditatalaksana dengan O2 via nasal kanul 2 liter per menit, nebulizer
combivent dengan pulmicort setiap 6 jam, salbutamol 2 mg tiga kali sehari,
ceftriaxone 1 gram intravena dua kali sehari (H-2), dexamethasone 1 ampul tiga kali
sehari (H-2), berotec 2 puff tiga kali sehari.
Pada perawatan hari ketiga, pasien mengeluh kadang masih merasa sesak dan
batuk. Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 70 kali per
menit, frekuensi pernapasan 24 kali per menit, dan suhu badan 36,5oC, SpO2 96%.
Pada pemeriksaan fisik dada didapatkan wheezing sedikit menghilang pada kedua
lapangan paru. Pasien didiagnosis dengan asma bronkial eksaserbasi akut dengan
infeksi sekunder. Pasien ditatalaksana dengan O2 2 liter per menit, nebulizer
combivent dan pulmicort setiap 6 jam, salbutamol 2 mg tiga kali sehari, ceftriaxone 1
gram intravena dua kali sehari (H-3), dexamethasone 1 ampul tiga kali sehari (H-3),
dan berotec 2 puff tiga kali sehari.
Pada perawatan hari keempat, didapatkan pasien merasa sesak hilang timbul,
dan masih disertai dengan batuk. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 76 kali per
menit, frekuensi pernapasan 24 kali per menit, suhu badan 36,4oC, SpO2 97%. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan masih terdengar sedikit wheezing di kedua lapangan
paru. Pasien didiagnosis dengan asma bronkial eksaserbasi akut dengan infeksi
sekunder. Pasien ditatalaksana dengan O2 2 liter per menit, nebulizer combivent dan
pulmicort setiap 6 jam, salbutamol 2 mg tiga kali sehari, ceftriaxone 1 gram intravena
dua kali sehari (H-4), dexamethasone 1 ampul tiga kali sehari (H-4), dan berotec 2
puff tiga kali sehari, drips ½ ampul aminofilin dibolus dilanjutkan dengan drips 1 ½
ampul aminofilin dalam 500 cc dekstrose 5% (10 tetes per menit).
Pada perawatan hari kelima, didapatkan keluhan sesak berkurang dan masih
disertai dengan batuk. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos
5
mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 76 kali per menit, frekuensi
pernapasan 20 kali per menit, suhu badan 36,0oC, SpO2 96%. Pada pemeriksaan fisik
tidak didapatkan wheezing dikedua lapangan paru. Hasil pemeriksaan foto thoraks
kesan normal (tidak ada kelainan). Pasien didiagnosis dengan asma bronkial
eksaserbasi akut dengan infeksi sekunder. Pasien ditatalaksana dengan O2 2 liter per
menit, nebulizer combivent dan pulmicort setiap 6 jam, salbutamol 2 mg tiga kali
sehari, ceftriaxone 1 gram intravena dua kali sehari (H-5), dexamethasone 1 ampul
tiga kali sehari (H-5), berotec 2 puff tiga kali sehari, ½ ampul aminofilin dibolus
dilanjutkan dengan drips 1 ½ ampul aminofilin dalam 500 cc dekstrose 5% (10 tetes
per menit), vectrin dua kali sehari. Direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan
laboratorium darah lengkap.
Pada perawatan hari keenam, didapatkan pasien sudah tidak sesak napas tetapi
masih mengeluh batuk. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis. Tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 80 kali per menit,
frekuensi pernapasan 22 kali per menit, suhu badan 36,5oC, SpO2 98%. Hasil
pemeriksaan darah lengkap leukosit 11.400/uL, eritrosit 4,81 x 10^6/uL, hemoglobin
14,7 g/dL, hematokrit 44,7%, trombosit 307.000/uL. Pasien didiagnosis dengan asma
bronkial eksaserbasi akut dengan infeksi sekunder. Pasien ditatalaksana dengan O2 2
liter per menit(k/p), nebulizer combivent dan pulmicort setiap 6 jam, salbutamol 2
mg tiga kali sehari, ceftriaxone 1 gram intravena dua kali sehari (H-6),
dexamethasone 1 ampul tiga kali sehari (H-6), berotec 2 puff tiga kali sehari, ½
ampul aminofilin dibolus dilanjutkan dengan drips 1 ½ ampul aminofilin dalam 500
cc dekstrose 5% (10 tetes per menit), vectrin dua kali sehari.
Pada perawatan hari ketujuh, didapatkan keluhan batuk. Pada pemeriksaan
fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan
darah 110/70 mmHg, denyut nadi 76 kali per menit, frekuensi pernapasan 20 kali per
menit, suhu badan 36,3oC, SpO2 98%. Pada pemeriksaan fisik dada tidak didapatkan
wheezing pada kedua lapangan paru. Pasien didiagnosis dengan asma bronkial
terkontrol. Pasien ditatalaksana dengan O2 2 liter per menit (k/p), nebulizer combivent
6
dan pulmicort setiap 6 jam, cefixime 200mg dua kali sehari, methylprednisolone 4mg
tiga kali sehari (2 hari), 4mg dua kali sehari (2 hari), 4mg satu kali sehari (2 hari),
berotec 2 puff tiga kali sehari, vectrin dua kali sehari. Pasien direncanakan untuk
rawat jalan dan kontrol di poliklinik alergi imunologi.
7
BAB III
PEMBAHASAN
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; yang
bersifat sementara/reversible.7
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri
klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang
sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah
mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang
ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis
yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan
struktur saluran napas.8
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,
umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa
kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1,
tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Umumnya prevalensi asma
anak lebih tinggi daripada dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi
dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan
kota yang lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-
7%.9
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
allergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibody IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah
besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibody IgE terutama melekat
8
pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup allergen, terjadi fase
sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut akan meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotriene, faktor kemotaktik, eosinofil dan bradikinin.
Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus, dan spasme
otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.8
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15
menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamine yang bekerja langsung pada otot polos
bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam, bahkan kadang sampai
beberapa minggu. Sel- sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast, dan antigen
precenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.10,11,12
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel saluran napas lebih
permeable dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang
dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada
keadaan tersebut, reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal
mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptide sensorik senyawa P,
neurokinin A, dan Calcitonin Gen Related Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.10,11,12
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hiperaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
9
objektif beratnya hiperaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur
hiperaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi
udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.8
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, suara mengi (wheezing) berulang dan/ atau batuk kronik
berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis asma
didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis
klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk, dan
dada sakit.9
Pasien ini datang dengan keluhan sesak napas disertai mengi dirasakan
memberat sejak 1 hari yang lalu, sesak napas dirasakan saat berjalan, melakukan
aktivitas berat terutama timbul pada malam hari, gejala seperti ini muncul setiap lebih
dari 3 kali dalam seminggu, mereda dengan menggunakan berotec inhaler. Pasien
masih bisa bicara berupa kalimat-kalimat dan mengeluh timbul kemerahan dan gatal
didaerah leher yang muncul sekitar minggu yang lalu. Batuk kadang-kadang,
berdahak berwarna putih- kuning kehijauan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan bunyi
wheezing pada kedua lapangan paru. Sesuai dengan kepustakaan bahwa gejala asma,
yaitu batuk, sesak dengan mengi (wheezing) merupakan akibat dari obstruksi bronkus
yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.9
Pasien ini didiagnosis awal dengan asma bronkial eksaserbasi akut sesuai
dengan klasifikasi tingkat berat eksaserbasi asma.13
Tabel 1. klasifikasi tingkat berat eksaserbasi asma.
Parameter Serangan
ringan
Serangan
sedang
Serangan berat Ancaman henti
nafas – akut
berat
Sesak napas Berjalan sudah
sesak, masih
dapat berbaring
Berbicara sudah
sesak, lebih
enak duduk
Istirahat sudah
sesak, harus
duduk
membungkuk
10
Berbicara Dalam kalimat Berbicara dalam
suku kata
Berbicara kata
demi kata
Kesadaran Mungkin agitasi Biasanya agitasi Biasanya agitasi Mengantuk atau
bingung
Frequensi
pernapasan
Meningkat Meningkat Sering
>30x/menit
Retraksi otot-
otot tambahan
dan suprasternal
Biasanya tidak
ada
Biasanya ada Biasanya ada Gerakan torako-
abdominal
paradoksikal
Mengi Sedang sering
hanya akhir
ekspirasi
Keras Biasanya keras Tak ada bising
(silent chest)
Nadi/ menit <100 100-120 >120 Bradikardia
Pulsus
paradoksus
<10 mmHg Bisa ada 10-25
mmHg
Sering ada >25
mmHg
Jika taka da,
dicurigai
kelelahan otot
napas
APE pasca
bronkodilator,
% dari nilai
terbaik
>80% 60-80% <60%
PaO2 (diudara)
dan /atau PaCO2
Normal
<45 mmHg
>60 mmHg
<45 mmHg
>60 mmHg,
mungkin
sianosis
>45 mmHg,
mungkin gagal
napas
SaO2 (diudara) >95% 91-95% <90%
11
Tingkatan kontrol asma. (Penilaian terhadap kontrol klinis terkini (sebaiknya
lebih dari 4 minggu)13
Tabel 2. Tingkatan kontrol asma
Karakteristik Terkontrol Terkontrol sebagian Tidak terkontrol
Gejala sepanjang
hari
<2x dalam seminggu >2x dalam seminggu
Keterbatasan
aktivitas
Tidak ada Ada 3 atau lebih dari
tanda yang terdapat
pada terkontrol
sebagian.
Gejala malam hari/
terbangun malam
hari
Tidak ada Ada
Membutuhkan
reliever atau terapi
emergency
<2x dalam seminggu >2x dalam seminggu
Fungsi paru (PEF
atau VEP1)
Normal <80% dari prediksi
atau yang terbaik
secara individu (jika
telah diketahui)
Pada diagnosis akhir saat keluar RS pasien didiagosis dengan asma bronkial
terkontrol, karena gejala sesak napas <2x dalam seminggu pengobatan di RS, tidak
ada keterbatasan aktivitas, gejala pada malam hari tidak ada.
Tatalaksana asma menurut GINA (2011) mempunyai 4 komponen yang
dibutuhkan untuk mencapai dan mempertahakan kontrol asma. (1) Mengembangkan
kerjasama dokter dengan pasien, yaitu dengan edukasi pasien tentang asma dan
tatakelola asma yang perlu mereka kerjakan (menghindari faktor risiko,
menggunakan obat secara benar dan teratur sesuai yang telah ditentukan, menggerti
penggunaan obat pengontrol dan pelega, mengenal tanda pemburukan asma dan cara
mengatasinya, mampu memonitor asma, konsultasi bila diperlukan). (2) Mengenal
dan mengurangi paparan terhadap faktor risiko. Dapat tetap melakukan olahraga
sesuai kemampuannya dan bila perlu menggunakan obat asma terlebih dahulu
12
sebelum olahraga. (3) Evaluasi, terapi dan monitor asma. (4) Monitoring untuk
mempertahankan kontrol asma. Datang kontrol 1-3 bulan kemudaian dan seterusnya 3
bulan sekali. Bila ada eksaserbasi kontrol tiap 2-4 minggu, ditanyakan mengenai hasil
kontrol asma yang tercapai, kepatuhan pasien menggunakan inhaler dan PEF meter
secara benar, atau adanya masalah lain pada pasien.13
Tabel 3. Langkah penatalaksanaan berdasarkan kontrol.13
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5
Penyuluhan asma dan pengendalian lingkungan
Jika diperlukan
berikan Agonis
β2 aksi cepat
Agonis β2 aksi cepat jika dibutuhkan
Pilihan
Kontroler
Pilih salah satu Pilih salah satuTahap 3, tambah
satu atau lebih
Tahap 4 lalu
tambah satu
ICS dosis
rendah
ICS dosis
rendah ditambah
Agonis β2 kerja
lama
ICS dosis
sedang atau
dosis tinggi
ditambah
Agonis β2 kerja
lama
Glukokortikoid
oral (dosis
terkecil)
Leukotriene 0
modifier
ICS dosis tinggi
atau sedang
Leukotriene
modifier
Pengobatan anti
IgE
ICS dosis
rendah ditambah
leukotriene
modifier
Teofilin lepas
lambat
ICS dosis
rendah ditambah
teofilin lepas
lambat
13
Tabel 4. Daftar Obat yang umumnya dipakai.14
ObatNebuliser
(mg/ml)Oral (mg) Lama kerja (jam)
Antikolinergik
Ipratropium bromida 0,25 – 0,5 6-8
β2 agonis
Fenoterol
Salbutamol
Terbutalin
Formoterol
Salmeterol
0,5 – 2,0
2,5 – 5,0
5 – 10
2 – 4
2,5 – 5
4-6
4-6
4-6
12
12
Metilxantin
Aminofilin
Teofilin SR
200
100 – 400
4-6
12-24
Glukokortikosteroid
sistemik
Prednison
Metilprednisolon
5 – 60 (pil)
4, 8, 16 (pil)
Glukokortikosteroid
inhaler
Beklometasone
Budesonide
Triamsinolon
Flutikasone
0,2 – 0,4
0,2; 0,25; 0,5
40
Kombinasi β2 agonis (short-acting) dengan antikolinergik dalam satu inhaler
Fenoterol/
Ipratropium
Salbutamol/
Ipratropium
1,25 / 0,5
0,75 / 4,5
6-8
6-8
Kombinasi β2 agonis (long-acting) dengan glukokortikosteroid dalam satu inhaler
Formoterol/
14
Budesonide
Salmeterol/
Flutikasone
Obat-obatan yang digunakan untuk mengurangi respon saluran napas, contohnya
dengan penggunaan obat-obat anti asma yang terdiri dari pencegah (controller) dan
penghilang gejala (reliever).9
Obat pencegah yang didalamnya termasuk:
obat-obatan kortikosteroid hirup dan sistemik
- digunakan untuk mengurangi inflamasi bronkus
- mengurangi hipersensitivitas bronkus
Golongan Xantin: teofilin lepas lambat (TLL),
- Memberikan efek bronkodilatasi
Golongan agonis β2 : agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan
formoterol) dan oral,
- Untuk merelaksasi otot polos bronkus
Kromolin atau Nedrokromolin
- Untuk mencegah pelepasan mediator bronkokonstriksi dan inflamasi
dari sel mast saluran pernapasan.
obat-obat anti alergi/ imunomodulator, contohnya Anti IgE (Omalizumab)
yang diberikan secara subkutan dengan reaksi anafilaksis 0,1%
Obat-obatan penghilang gejala (reliever) yaitu obat-obat yang termasuk dalam
golongan agonis beta 2 hirup kerja pendek (fenoterol, salbutamol, terbutalin,
prokaterol),
kortikosteroid sistemik,
anti kolinergik hirup,
- menyebabkan bronkodilatasi melalui penghambatan asetilkolin.
teofilin kerja pendek,
15
agonis beta 2 oral pendek.9
Sesuai dengan kepustakaan bahwa pengobatan asma dapat dilakukan dengan
berbagai pengobatan, seperti (1) Mengurangi respon saluran napas, (2) Mencegah
pelepasan mediator, (3) Merelaksasi otot-otot polos bronkus. Berdasarkan GINA
2015 dalam penatalaksanaan pasien dengan asma bronkial eksaserbasi akut dibagi
dalam kategori ringan atau sedang, berat dan keadaan mengancam nyawa. Pasien ini
termasuk dalam kategori ringan atau sedang karena sekalipun sesak napas namun
masih bisa bicara dalam bentuk kalimat dan tidak ditemukan adanya retraksi pada
dinding dada dengan saturasi oksigen 92% dan diterapi dengan SABA 4-10 puff
setiap 20 menit dalam 1 jam pertama, prednisolone 1mg/kgBB dengan dosis
maksimal 50mg dan pemberian oksigen dengan target saturasi 93-95%.
Pada kasus ini pasien diberikan Oksigenasi, nebulizer dengan combivent dan
pulmicort, salbutamol 2 mg tiga kali sehari, injeksi ceftriaxone 1gr dua kali sehari,
injeksi dexamethasone 1 ampul tiga kali sehari, ½ ampul aminofilin dibolus
dilanjutkan dengan drips 1 ½ ampul aminofilin dalam 500 cc dekstrose 5% (10 tetes
per menit), methylprednisolone 4mg. Penatalaksanaan ini berdasarkan kriteria GINA
dilakukan pada pasien kategori berat yaitu berupa pemberian oksigen, inhalasi SABA
dan ipratropium bromide dan kortikosteroid sistemik.
BAB IV
KESIMPULAN
16
Telah dilaporkan kasus seorang penderita dengan diagnosis asma bronkial
eksaserbasi akut dengan sekunder infeksi. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan penunjang yang dilakukan, pada pasien ini didapatkan batuk dan sesak napas saat
beraktivitas dan mengganggu tidur. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
pernapasan meningkat, dan terdapat bunyi wheezing pada pemeriksaan auskultasi
pada thoraks. Pada pemeriksaan penunjang foto thoraks tidak didapatkan kelainan.
Dan pada kasus ini pasien telah diberikan terapi yang sesuai. Diharapkan lewat terapi
yang diberikan dapat mengurangi gejala serta meningkatkan kualitas hidup penderita.
DAFTAR PUSTAKA
17
1. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthmas management and prevention. Cape town: University of Cape Town Lung Institute; 2011.
2. Centers for disease control and Prevention (CDC). Vital signs; asthma prevalence, disease characteristics, and self-management education – United States 2001-2009. Morbidity and mortality weekly report. 2011; 60(17); 547-52.
3. Depkes RI. Asma. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (diunduh 2 september 2015). Tersedia dari: http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html.
4. Yulinda E. Faktor pencetus serangan asma pada penderita asma yang berobat di poliklinik paru RS. DR. M. Djamil Padang (skripsi). Padang: Universitas Andalas; 2007.
5. National asthma education and prevention program. Guidelines for the diagnosis and management of asthma. National Heart Lung, and Blood Institute (NHLBI). Department of Health and Human services, United States; 2007.
6. Atmoko W, Khairina H, Faisal P, Bobian E, Adisworo M, Yunus F. prevalens asma tidak terkontrol dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kontrol asma di poliklinik asma Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. J Respir Indo. 2011; 31:53-9.
7. Ohrui T, Yasuda H, Yamaha M, Matsui T, Sasaki H. Transiet relief of asthma symptoms during jaundice: a possible beneficial role of bilirubin. Department of Geriatic and Respiratory Medicine, Tohoku University School of Medicine.
8. Renggais I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia. 2008; 58: 444-51.
9. Sundaru H, Sukamto. Asma Bronkial. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi VI. Penerbit Interna Publishing.2014,h 478-88.
10. Global Strategy for asthma management and prevention. National Institutes of Health 2007.
11. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP, dkk. Allergy and asthma, the scenario in Indonesia. Dalam: Shaikh WA, penyunting. Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas Medical Publishers; 2006.707-36.
18
12. Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systemic review in European Journal of Allergy and Chronic Urticaria.63:646.
13. Dahlan Z. Asma Bronkiale. Dalam: Dahlan Z, Amin Z, Soeroto A, penyunting. Buku kompendium tatalaksana respirologi dan respirasi kritis. Jilid I. Penerbit PERPARI. H7-20.
14. Riyanto BS, Wulan HR, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi VI. Penerbit Interna Publishing.2014, h 1590-1607.
19