Refrat Hipertensi CKD

download Refrat Hipertensi CKD

of 17

Transcript of Refrat Hipertensi CKD

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    1/17

    1

    Referat Interna

    Penatalaksanaan Hipertensi pada

    Penyakit Ginjal Kronis

    Disusun oleh:

    Iput Syarhil Mustofa G9911112108

    Shinta Rizkiasih S G9911112130

    Pembimbing: Prof. DR. dr. Bambang , Sp.PD KGH FINASIM

    KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

    S U R A K A R T A

    2012

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    2/17

    2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Hipertensi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat meskipun obatnya

    telah sekitar tiga puluh tahun ditemukan. Hipertensi telah mempengaruhi kurang

    lebih 25% populasi dewasa di seluruh dunia. Prevalensinya diperkirakan meningkat

    sampai 60% pada tahun 2025. Kondisi ini merupakan faktor risiko mayor terjadinya

    penyakit kardiovaskuler dan penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia.

    Prevalensi yang tinggi ini juga merupakan penyebab penting terjadinya Endstage

    Kidney Disease (ESKD) (Whitworth, 2005)

    Ginjal dan tekanan darah mempunyai suatu hubungan yang unik. Penyakit ginjalkronis (PGK) merupakan penyebab sekaligus akibat dari hipertensi, dengan melalui

    proses yang multifaktorial. Lebih dari 80% pasien PGK mengalami hipertensi. Hasil

    uji klinis maupun studi observasional menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik

    merupakan prediktor kuat terjadinya ESKD oleh berbagai sebab termasuk hipertensi

    esensial, diabetes, dan glomerulonefritis (Toto, 2005).

    Hipertensi pada PGK seringkali bersifat menetap dan berkaitan dengan risiko

    morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yang tinggi dibandingkan dengan hipertensi

    tanpa disertai PGK. Hipertensi pada pasien dengan penyakit parenkim ginjal kronik

    baik diabetik maupun nondiabetik mempercepat berkurangnya fungsi ginjal seperti

    halnya proses lain seperti aterosklerosis (Asmarawati dan Baktijasa, 2011).

    Data-data epidemiologis dan uji klinis menunjukkan bahwa penurunan

    tekanan darah memperlambat perburukan PGK dan sekaligus menurunkan resiko

    kematian akibat penyakit kardiovaskuler (Toto, 2005). Penatalaksanaan hipertensi

    pada PGK selain bertujuan untuk menurunkan tekanan darah juga untuk mencegah

    perburukan fungsi ginjal (Sica, 2011). Kebanyakan pasien dengan hipertensi dan

    PGK akan memerlukan antihipertensi multipel untuk mencapai target tekanan darah

    sesuai rekomendasi. Proteinuria juga merupakan faktor resiko penting pada PGK

    sehingga penurunan proteinuria merupakan tujuan penting lainnya yang perlu dicapai

    pada penatalaksanaan hipertensi dan PGK (Toto, 2005).

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    3/17

    3

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. DefinisiHipertensi merupakan suatu kondisi dimana tekanan darah arterial tetap

    tinggi, dengan tidak memiliki sebab yang diketahui (hipertensi esensia, idiopatik

    atau primer) ataupun berkaitan dengan penyakit lain (hipertensi sekunder)

    (Dorland, 2007). Diagnosis hipertensi sendiri ditegakkan bila tekanan darah

    sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg , yang menetap

    pada pengukuran berulang minimal dua kali selama beberapa minggu, kecuali

    bila tekanan darah sangat tinggi yang memerlukan tindakan atau terapi segera

    (Aziza, 2007).

    NKF-KDOQI pada tahun 2002 telah menetapkan definisi Penyakit Ginjal

    Kronis (PGK) sebagai:

    1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainanstruktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi

    glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

    - Kelainan patologis

    - Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi

    darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests); atau

    2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan,dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

    Hipertensi pada penyakit ginjal kronis sangat sering muncul dan merupakan

    kondisi penyerta yang hampir tidak pernah berubah pada penyakit ginjal kronis.

    Hipertensi dapat berperan sebagai penyebab maupun konsekuensi pada penyakit

    ginjal kronis. Kondisi ini merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakitkardiovaskuler dan penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia. Prevalensi

    yang tinggi ini juga merupakan penyebab penting terjadinya Endstage Kidney

    Disease (ESKD) (Whitworth, 2005).

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    4/17

    4

    B. InsidensiDi Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei

    Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3%

    penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004.4

    Kelompok Kerja MONICA Jakarta pada tahun 2000 melaporkan prevalensi

    hipertensi di daerah urban adalah 31,7%. Sementara untuk daerah rural

    (Sukabumi), FKUI menemukan prevalensi sebesar 38,7%.

    Berdasarkan survey nasional terhadap sampel orang dewasa di Amerika,

    diperkirakan bahwa hipertensi terjadi pada 23.3% individu tanpa PGK, dan

    35.8% pada individu dengan PGK stage 1; 48.1% pada PGK stage 2; 59.9% pada

    PGK stage 3; dan 84.1% pada PGK stage 4-5. Prevalensi hipertensi jugabervariasi sesuai dengan penyebab PGK; dilaporkan bahwa hipertensi muncul

    pada pasien dengan stenosis arteri renalis (93%), nefropati diabetik (87%), and

    polycystic kidney disease (74%) (Tedla et al., 2011).

    Hipertensi yang berkaitan dengan ESRD saat ini diderita oleh 29% pasien

    yang diobati di Amerika (38% penduduk Afrika-Amerika dan 25% penduduk

    Amerika kulit putih). Sedangkan, di Eropa saat ini kejadiannya mencapai 21% di

    Perancis dan 27% di Italia (Martins et al., 2012)

    Sebuah penelitian di Madrid, Spanyol melaporkan bahwa hipertensi terjadi

    pada 60.5% dari 1.921 pasien dengan penyakit ginjal yang berbeda-beda. Dari

    angka tersebut 93% di antaranya disebabkan oleh renal vascular disease (93%),

    nefropati diabetic (87%), dan 74% adalah polycystic kidney disease. Sedangkan,

    63% dari pasien pielonefritis kronik dan 54% pasien glomerulonefritis didiagnosa

    mengalami hipertensi.

    C. Klasifikasi Penyakit Ginjal KronisKlasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan derajat penyakit menurut NKF-

    KDOQI tahun 2002, yaitu:

    1. Kerusakan ginjal dg GFR normal/meningkat : LFG > 90 ml/menit

    2. Kerusakan ginjal dg penurunan GFR ringan : LFG 6089 ml/menit

    3. Penurunan GFR sedang : LFG 30 - 59 ml/menit

    4. Penurunan GFR berat : LFG 15 - 29 ml/menit

    5. Gagal ginjal : LFG

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    5/17

    5

    D. Patogenesis1. Hipertensi secara Umum

    Komponen utama yang menentukan tekanan arterial adalah curah jantung

    dan tahanan perifer. Curah jantung ditentukan oleh volume sekuncup dan

    frekuensi denyut jantung, sementara volume sekuncup dipengaruhi oleh

    kontraktilitas miokard dan ukuran kompartemen vaskuler. Tahanan perifer

    ditentukan oleh perubahan anatomi dan fungsional pada arteri kecil (diameter

    lumen 100-400 um) dan arteriol. Mekanisme hipertensi antara lain ditentukan

    oleh volume intravaskuler, sistim saraf otonom, sistem renin-

    angiotensinaldosteron, dan mekanisme vaskuler.

    oVolume intravaskuler

    Volume intravaskuler merupakan penentu utama tekanan arterial.

    Natrium adalah komponen ion ekstraseluler dan berperan menentukan

    volume cairan ekstraseluler. Jika asupan NaCl melebihi kapasitas ginjal

    untuk mengekskresi natrium maka volume vaskuler akan meningkat

    diikuti dengan peningkatan curah jantung. Bagaimanapun juga,

    kebanyakan vascular beds (termasuk otak dan ginjal) mampu melakukan

    otoregulasi aliran darah. Jika aliran darah dipertahankan konstan pada

    kondisi peningkatan tekanan arterial, maka tahanan pada vaskuler tersebut

    harus dinaikkan. Peningkatan awal tekanan darah sebagai respon terhadap

    peningkatan volume vaskuler disebabkan oleh peningkatan curah jantung,

    bagaimanapun juga, lama kelamaan tahanan perifer akan meningkat dan

    curah jantung kembali ke arah normal. Pada saat tekanan arterial

    meningkat akibat tingginya asupan NaCl, ekskresi natrium lewat urin

    meningkat dan keseimbangan natrium dipertahankan. Mekanisme ini

    disebut fenomena pressure-natriuresis yang menimbulkan peningkatan

    ringan glomerular filtration rate (GFR), menurunkan kapasitas absorpsi

    tubulus renal, dan kemungkinan juga faktor hormonal seperti atrial

    natriuretic factor.

    Pada individu dengan gangguan kapasitas ekskresi natrium,

    diperlukan tekanan arterial yang lebih tinggi untuk mencapai natriuresis

    dan keseimbangan natrium. ESKD merupakan contoh ekstrim hipertensi

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    6/17

    6

    terkait volume. Pada sekitar 80% dari pasien-pasien ini, volume vaskuler

    dan hipertensi dapat dikontrol dengan dialisis adekuat. Sedangkan 20%

    lainnya mekanisme hipertensi berkaitan dengan peningkatan aktivitas

    sistem renin-angiotensin sehingga diperlukan hambatan farmakologis

    pada renin-angiotensin untuk mengontrol tekanan darah.

    (Kotchen, 2008)

    o Aktivitas Sistem Saraf OtonomSistem saraf otonom mempertahankan homeostasis kardiovaskuler

    melalui sinyal tekanan, volume, dan kemoreseptor. Refleks adrenergik

    mengatur tekanan darah pada jangka pendek, dan fungsi adrenergik

    bersamaan dengan faktor terkait volume dan hormonal berperan dalamregulasi tekanan arterial jangka panjang. Ketiga katekolamin endogen

    (norepinefrin, epinefrin, dan dopamin) berperan penting dalam regulasi

    kardiovaskuler. Neuron adrenergik membentuk norepinefrin dan dopamin

    (prekursor norepinefrin) dan disimpan di dalam vesikel pada neuron.

    Apabila neuron dirangsang, neurotransmiter ini akan dilepaskan ke celah

    sinaptik dan reseptor pada jaringan target. Selanjutnya, transmiter ini akan

    dimetabolisme atau diambil kembali oleh neuron.

    Beberapa refleks memodulasi tekanan darah dari menit ke menit.

    Salah satu barorefleks arterial diperantarai oleh ujung saraf sensoris yang

    berada di sinus karotikus dan arkus aorta. Perangsangan pada

    baroreseptor ini meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan arteri

    yang mengakibatkan penurunan respon simpatetik sehingga tekanan arteri

    dan denyut jantung menurun. Bagaimanapun juga, aktivitas barorefleks

    ini menurun atau beradaptasi dengan tingginya tekanan arterial sehingga

    baru bekerja pada tekanan yang lebih tinggi. Pasien dengan neuropati

    otonom dan gangguan fungsi barorefleks dapat memiliki tekanan darah

    yang labil dengan episode peningkatan yang sulit dikontrol. Obat-obatan

    yang menghambat sistem saraf simpatis merupakan antihipertensi yang

    poten.

    (Kotchen, 2008)

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    7/17

    7

    o Respon Sistem Renin-Angiotensin-AldosteronSistem renin-angiotensin-aldosteron berperan dalam regulasi tekanan

    arteri terutama melalui efek vasokonstriksi angiotensin II dan efek retensi

    natrium oleh aldosteron. Tiga stimulus utama yang merangsang sekresi

    renin yaitu: (1) menurunnya transpor NaCl di pars asenden loop of henle

    (mekanisme makula densa), (2) penurunan tekanan di dalam arteriol

    aferen ginjal (mekanisme baroreseptor), dan (3) stimulasi sistem saraf

    simpatis pada sel yang mensekre . Sebagai

    kebalikan, sekresi renin dihambat oleh peningkatan transport NaCl di pars

    asenden loop of henle, peningkatan tekanan di dalam arteriol aferen

    ginjal, dan blokade reseptor. Selain itu, sekresi renin juga dipengaruhioleh berbagai faktor humoral, termasuk angiotensin II. Angiotensin II

    secara langsung menghambat sekresi renin oleh reseptor angiotensin II

    tipe 1 pada sel juxtaglomerulus, dan sekresi renin meningkat sebagai

    respon terhadap blokade farmakologis pada reseptor angiotensin-

    converting enzyme (ACE) atau angiotensin II.

    Pada saat dilepaskan ke sirkulasi darah, renin aktif akan membelah

    angiotensinogen untuk membentuk angiotensin I. Angiotensin I kemudian

    diubah menjadi angiotensin II oleh ACE yang terdapat terutama di

    sirkulasi pulmonal. Angiotensin II merupakan presor poten dan faktor

    utama untuk sekresi aldosteron. Angiotensin II bekerja terutama pada

    reseptor angiotensin II tipe 1 (AT 1) yang terdapat pada membran sel.

    Reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2) tersebar di dalam ginjal dan

    mempunyai efek fungsional yang berlawanan dengan reseptor AT1.

    Reseptor AT2 menginduksi vasodilatasi, ekskresi natrium, dan

    menghambat pertumbuhan sel serta pembentukan matriks. Bukti-bukti

    eksperimental menunjukkan bahwa reseptor AT2 memperbaiki

    remodelling vaskuler dengan merangsang apoptosis sel otot polos dan

    berperan dalam regulasi laju filtrasi glomerulus. Blokade reseptor AT1

    menginduksi peningkatan aktivitas reseptor AT2.

    Hipertensi renovaskuler merupakan contoh lain hipertensi terkait

    renin. Obstruksi pada arteri renalis menyebabkan penurunan perfusi ginjal

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    8/17

    8

    sehingga merangsang sekresi renin. Seiring dengan perjalanan penyakit

    maka akan terjadi kerusakan ginjal sekunder.

    Angiotensin II merupakan faktor primer yang mengatur sintesis dan

    sekresi aldosteron oleh korteks adrenal zona glomerulosa. Sintesis

    aldosteron juga tergantung pada kalium dan sekresinya menurun pada

    individu dengan kalium rendah. Aldosteron adalah mineralokortikoid

    poten yang meningkatkan reabsorpsi natrium. Keseimbangan elektrik

    dipertahankan melalui pertukaran natrium dengan kalium dan ion

    hidrogen. Maka dari itu, peningkatan sekresi aldosteron akan

    menyebabkan hipokalemia dan alkalosis.

    (Kotchen, 2008)2. Hipertensi pada PGK

    Individu dengan ESKD sebagai akibat glomerulonefritis atau

    arteriosklerosis glomerulus, yang ditunjukkan dengan adanya hipertensi

    maligna, terjadi kerusakan arsitekstur glomerulus yang nyata. Hal ini

    menyebabkan iskemia juxtaglomerular apparatus (JGA) sehingga timbul

    gangguan sekresi renin. Penderita ESKD dengan peningkatan plasma renin

    activity (PRA) lebih sering disebabkan oleh glomerulonefritis atau

    arteriosklerosis daripada penyakit tubulointerstitial. Glomerulosklerosis

    menyebabkan penurunan progresif filtrasi glomerulus yang kemudian

    menurunkan paparan NaCl pada makula densa. Kondisi tersebut juga

    menyebabkan turunnya stimulasi baroreseptor pada region nefron yang

    kemudian meningkatkan sekresi renin oleh JGA dan memicu aktivasi sistem

    rennin-angiotensin-aldosteron (Agarwal, 2006).

    Terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal antara lain dapat disebabkan

    oleh beberapa mekanisme, yaitu:

    o Hipervolemia.Hipervolemia oleh karena retensi air dan natrium, efek ekses

    mineralokortikoid terhadap peningkatan reabsorpsi natrium dan air di

    tubuli distal, pemberian infus larutan garam fisiologik, koloid, atau

    transfusi darah yang berlebihan pada anak dengan laju filtrasi glomerulus

    yang buruk. Hipervolemia dapat menyebabkan curah jantung meningkat

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    9/17

    9

    dan mengakibatkan hipertensi. Keadaan ini sering terjadi pada

    glomerulonefritis dan penyakit ginjal kronis (Silbernagl dan Lang, 2006).

    o Gangguan sistem renin, angiotensin dan aldosteron.Renin adalah enzim yang diekskresi oleh sel aparatus juksta

    glomerulus. Bila terjadi penurunan aliran darah intrarenal dan penurunan

    laju filtrasi glomerulus, aparatus juksta glomerulus terangsang untuk

    mensekresi renin yang akan merubah angiotensinogen yang berasal dari

    hati, angiotensin I. Kemudian angiotensin I diubah oleh angiotensin

    converting enzyme menjadi angiotensin II. Angiotensin II menimbulkan

    vasokonstriksi pembuluh darah tepi, dan menyebabkan tekanan darah

    meningkat. Selanjutnya angiotensin II merangsang korteks adrenal untukmengeluarkan aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi natrium dan

    air di tubuli ginjal, dan menyebabkan tekanan darah meningkat

    (Silbernagl dan Lang, 2006).

    Gambar 1. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    10/17

    10

    o Berkurangnya zat vasodilatorZat vasodilator yang dihasilkan oleh medula ginjal yaitu prostaglandin

    A2, kilidin, dan bradikinin, berkurang pada penyakit ginjal kronik yang

    berperan penting dalam patofisiologi hipertensi renal. Adanya koarktasio

    aorta, feokromositoma, neuroblastoma, sindrom adrenogenital,

    hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing, dapat pula

    menimbulkan hipertensi dengan patofisiologi yang berbeda. Faktor-faktor

    lain yang dapat menimbulkan hipertensi sekunder pada anak antara lain,

    luka bakar, obat kontrasepsi, kortikosteroid, dan obat yang mengandung

    fenilepinefrin dan pseudoefedrin (Silbernagl dan Lang, 2006).

    Gambar 2. Skema Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis

    A. Penatalaksanaan1. Pencegahan

    a. Pencegahan primerPencegahan primer diberikan bagi orang sehat untuk mencegah sebelum

    gejala penyakit timbul. Kegiatan penyuluhan mengenai PGK kepada

    masyarakat luas untuk mengenali faktor risiko penyakit ginjal serta

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    11/17

    11

    mengenali gejala dini penyakit ginjal. Di samping itu perlu diberikan

    edukasi tentang kebiasaan yang mampu memelihara ginjal, seperti

    minum yang cukup, hindari obat yang merusak ginjal, dsb.

    b. Pencegahan sekunderPencegahan sekunder diberikan kepada orang-orang yang memiliki risiko

    tinggi mengalami PGK untuk melakukan deteksi dini terhadap PGK serta

    melakukan penanganan segera bila terdapat gejal dini PGK. Hal ini

    meliputi modifikasi gaya hidup, meliputi kontrol diet, melakukan

    aktivitas fisik, tidak merokok atau konsumsi alkohol, dan melakukan

    kontrol kesehatan rutin.

    c.

    Pencegahan tersierPencegahan tersier diberikan kepada pasien yang telah menderita PGK

    untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjut yang timbul akibat PGK.

    Termasuk di antaranya adalah mengontrol tekanan darah untuk

    mencegah perburukan ginjal, terapi segera bila terdapat ISK dan infeksi

    lainya, mencegah dan secepatnya memperbaiki gangguan hemodinamik,

    mencegah gangguan elektrolit, mencegah faktor sumbatan (misal batu),

    menghindari obat nefrotoksik, mengendalikan hiperglikemia, asidosis

    metabolik, serta melakukan terapi anemia.

    2. Terapia. Terapi konservatif

    Tujuan terapi konservatif pada penyakit ginjal kronis antara lain

    adalah menghambat memburuknya faal ginjal, meringankan keluhan

    akibat akumulasi toksin azotemia, mempertahankan metabolisme secara

    optimal, dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit. Salah satu

    prinsip tatalaksana konservatif yang sangat penting pada PGK adalah

    pengaturan diet.

    Diet yang diberikan harus rendah protein dan hal ini harus dihitung

    secara proporsional agar mampu mengurangi kadar BUN dan mencegah

    perburukan fungsi ginjal. Rekomendasi klinis terbaru mengenai jumlah

    protein yang diperbolehkan adalah 0,6 g/kgBB/hari untuk penderita PGK

    pradialisis yang stabil (Price dan Wilson, 2006). Namun, pemberian

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    12/17

    12

    kalori harus cukup, terutama dari bahan karbohidrat, dengan jumlah kalori

    yang diberikan lebih dari 35 Kkal/KgBB/hari.

    Di samping itu, diet juga harus rendah garam, yaitu sekitar 5 g/hari,

    untuk mencegah asupan Na yang berlebihan. Asupan kalium pada pasien

    juga perlu dibatasi sehubungan dengan hiperkalemia pada kebanyakan

    pasien PGK. Makanan yang mengandung banyak kalium, seperti buah-

    buahan yang segar, harus dibatasi.

    Kebutuhan cairan pada pasien PGK juga harus disesuaikan dengan

    jumlah urin dalam waktu 24 jam. Aturan umum untuk asupan cairan

    adalah keluaran urin dalam 24 jam + 500 ml yang mencerminkan

    kehilangan cairan yang tidak disadari (Price dan Wilson, 2006).b. Terapi antihipertensi

    Tujuan utama terapi antihipertensi pada PGK adalah untuk

    menurunkan baik tekanan sistemik maupun tekanan intraglomeruler.

    Penurunan tekanan darah sistemik dapat, tetapi tidak selalu, menurunkan

    tekanan intraglomeruler. Tujuan terapi lainnya adalah menurunkan

    ekskresi protein urin, mengurangi perburukan fungsi ginjal, dan

    mendapatkan efek kardioprotektif. Kebanyakan pasien PGK dan

    hipertensi memerlukan tiga atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai

    target tekanan darah

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    13/17

    13

    Gambar 3. Algoritme dariAmerican Diabetes Association, 2005; KDOdc-BP guidelines

    2004 untuk terapi hipertensi pada pasien PGK atau diabetes. *diuretik tiazid hanya boleh

    digunakan jika eGFR 50 ml/mnt, jika tidak sebaiknya digantikan diuretik loop.

    ACE-inhibitors dan ARB terutama menurunkan resistensi arteriol

    eferen sehingga menurunkan tekanan kapiler glomerulus. Obat-obatan ini

    dapat mengurangi akumulasi matriks protein mesangial yang kemudian

    dapat mencegah sklerosis kapiler glomerulus. Selain itu, ACE-inhibitorsdan ARB juga menurunkan permeabilitas glomerulus terhadap protein

    plasma (menurunkan proteinuria) tanpa merubah autoregulasi aliran darah

    ginjal (Prince dan Wilson, 2006). Kontrol tekanan darah yang adekuat

    pada pasien PGK sulit dicapai tanpa adanya diuresis yang efektif.

    Diuresis efektif juga dapat mengaktivasi RAS dan mengembalikan efek

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    14/17

    14

    antihipertensi melalui blokade RAS. Maka dari itu, penambahan diuretik

    pada ACE-inhibitors dapat bersifat sinergis.

    Calcium Channel Blockers (CCBs) merupakan vasodilator poten dan

    juga dapat berperan memperbaiki fungsi endotel pada pasien hipertensi

    seperti halnya ACE-inhibitors. CCB nondihidropiridin (misal verapamil,

    diltiazem), seperti halnya ACE-inhibitors dan ARB, dapat menurunkan

    tekanan glomeruler, akumulasi matriks mesangial dan permeabilitas

    glomerulus terhadap protein sehingga dapat mengurangi proteinuria.

    Beta blockers digunakan sebagai obat tambahan atau pengganti CCB

    pada pasien hipertensi dengan PGK, terutama apabila pasien tersebut juga

    mengalami gagal jantung, sindroma koroner akut, atau takikardi. Akantetapi, penggunaan obat-obatan beta blockers pada PGK sangat jarang,

    terutama pada pasien dengan PGK lanjut. Hal ini disebabkan oleh

    kekhawatiran akan efek obat ini pada fungsi ginjal dan metabolik.

    Pada PGK stadium 4 dapat diberikan diuretik loop. Pemberian

    diuretik hemat kalium pada pasien PGK stadium 4, yang sedang

    mendapat terapi ACE-inhibitors atau ARB, dan memiliki faktor risiko

    hiperkalemia harus dipertimbangkan dengan hati-hati mengingat efeknya

    terhadap konsentrasi kalium. Diuretik long acting atau kombinasi diuretik

    dengan antihipertensi lain sebaiknya lebih dipertimbangkan untuk

    meningkatkan kepatuhan pasien (Asmarawati dan Baktijasa, 2011).

    Tabel 1. Perbandingan efek renal pada obat antihipertensi dalam kaitannya dengan

    penyakit ginjal (RAS-inhibitors dan CCBs).

    o PGK stadium 5Pada PGK stadium 5, apapun etiologinya, memerlukan pengobatan

    khusus yang disebut sebagai terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    15/17

    15

    ginjal yang ideal mampu menggantikan fungsi faal ginjal. Ada beberapa

    jenis terapi pengganti ginjal yang dapat dilakukan, yaitu:

    a. Dialisis.Dialisis merupakan suatu proses difusi zat terlarut dan air secara

    pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair

    menuju kompartemen cair lainnya. Proses dialisis ini dapat menirukan

    eksresi dan fungsi pengaturan volume ginjal, tetapi tidak tepat untuk

    fungsi endokrin dan metabolik ginjal (Price dan Wilson, 2006).

    Hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan dua teknik utama

    yang digunakan dalam terapi dialisis, dan prinsip dasar keduanya

    samadifusi zat terlarut dan air dari plasma ke larutan dialisissebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu

    hingga konsentrasi atau tekanan zat terlarut sama di dua kompartemen

    tersebut (Price dan Wilson, 2006).

    b. Transplantasi Ginjal.Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang dapat

    dipilih untuk pasien PGK stadium akhir selain terapi pengganti

    dengan dialisis yang kualitas kehidupannya masih kurang

    dibandingkan dengan keberhasilan transplantasi. Namun, hingga saat

    ini ketersediaan ginjal dari cadaver maupun dari orang yang memiliki

    kaitan keluarga sehingga hal ini membatasi transplantasi ginjal

    sebagai pilihan pengobatan (Price dan Wilson, 2006).

    Kemampuan bertahan hidup pada transplantasi ginjal sealama 1

    tahun adalah lebih dari 85% untuk ginjal cadaver, dan lebih dari 95%

    untuk transplantasi dari donor yang masih hidup dengan HLA yang

    sesuai. Secara umum, semakin dekat kemiripan genetik antara donor

    dan resipien, semakin besar pula kemungkinan keberhasilan

    transplantasinya. Salah satu komplikasi dari transplantasi ginjal

    adalah adanya penolakan dari sel host, baik hiperakut, akut, maupun

    kronis (Price dan Wilson, 2006).

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    16/17

    16

    BAB III

    PENUTUP

    Hipertensi merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakit kardiovaskuler dan

    penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia. Ginjal dan tekanan darah mempunyai

    suatu hubungan yang unik. Pada satu sisi, disfungsi ginjal dapat meningkatkan

    tekanan darah, sementara tekanan darah yang tinggi dapat mempercepat hilangnya

    fungsi ginjal.

    Tujuan utama terapi antihipertensi pada PGK adalah untuk menurunkan baik

    tekanan sistemik maupun tekanan intraglomeruler serta menurunkan proteiuria.

    Target yang harus dicapai harus pada atau di bawah 130/80 mmHg untuk melindungiginjal, mencegah penyakit kardiovaskuler dan kerusakan organ. Pilihan

    antihipertensi utama pada PGK stadium 1-4 adalah obat yang bekerja menghambat

    RAS, dalam hal ini adalah ACE-inhibitor atau ARB. ACE-inhibitor dan ARB

    terutama menurunkan resistensi arteriol eferen sehingga menurunkan tekanan kapiler

    glomerulus serta menurunkan proteinuria. Diuresis efektif juga dapat mengaktivasi

    RAS dan mengembalikan efek antihipertensi melalui blokade RAS. Maka dari itu,

    penambahan diuretik pada ACE-inhibitor dapat bersifat sinergis. Calcium Channel

    Blockers (CCBs) juga dapat berperan memperbaiki fungsi endotel pada pasien

    hipertensi seperti halnya ACE-inhibitor . Beta blockers juga dapat digunakan sebagai

    obat tambahan, terutama apabila pasien tersebut juga mengalami gagal jantung,

    sindroma koroner akut, atau takikardi. Sedangkan, pada PGK stadium 5, apapun

    etiologinya, memerlukan pengobatan khusus yang disebut sebagai terapi pengganti

    ginjal.

  • 7/30/2019 Refrat Hipertensi CKD

    17/17

    17

    DAFTAR PUSTAKA

    Agarwal R. 2006. Management of hypertension in hemodialysis patients. Hemodial

    Int. 10:241248.

    Asmarawati TP dan Baktijasa B. 2011. Hipertensi dan Penyakit Ginjal Kronis.

    Tinjauan Kepustakaan SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK

    Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

    Aziza L. 2007. Peran antagonis kalsium dalam penatalaksanaan hipertensi. Maj

    Kedokt Indon. 57 (8): 259-264.

    Dorland, W.A. Newman. 2009. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 26. Jakarta:

    EGC.Kotchen TA. 2008. Hypertensive vascular disease. In: AS Fauci, editors. Harrison's

    Principles of Internal Medicine. New York. The McGraw-Hill Companies Inc.

    Martins D, Agodoa L, dan Norris KC. 2012. Hypertensive chronic kidney disease in

    african americans: strategies for improving care. Cleveland Clinic Journal of

    Med. 79(10): 726-734.

    Price SA dan Wilson LM. 2006.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit

    Edisi 6. Jakarta: EGC.

    Sica DA. 2011. Pharmacologic issues in treating hypertension in CKD. Adv Chronic

    Kidney Dis. 18: 42-47.

    Silbernagl S dan Lang F. 2006. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC

    Tedla FM, Brar A, Browne R, dan Brown C. 2011. Hypertension in chronic kidney

    disease: navigating the evidence.International Journal of Hypertension.

    Tessy A. 2007. Hipertensi pada Penyakit Ginjal. In: Sudoyo AW et al., editor.Buku

    Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: EGC.

    Toto RD. 2005. Management of hypertensive chronic kidney disease: Role of

    Calcium Channel Blockers.J Clin Hypertens. 7: 15-20.

    Whitworth JA. 2005. Progression of renal failurethe role of hypertension.Ann Acad

    Med Singapore. 34:8-15.