CKD HBO.docx
-
Upload
indrawpratama -
Category
Documents
-
view
77 -
download
6
Transcript of CKD HBO.docx
REFERATHUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN TERHADAP
PROGRESIFITAS PENYAKIT GINJAL KRONIS
Pembimbing:
Mayor Laut (K) dr. Titut Harnanik, M.Kes
Penyusun :
Indra Wira Pratama 2015.04.2.0072
Ivan Sanjaya 2015.04.2.0073
Izzah Faidah 2015.04.2.0074
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAHRSAL dr. RAMELAN SURABAYA
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Judul referat “Hubungan Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap
Progresifitas Penyakit Ginjal Kronis” telah diperiksa dan disetujui sebagai
salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
Dokter Muda di bagian LAKESLA.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan
topik “Hubungan Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Progresifitas
Penyakit Ginjal Kronis” dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah
satu tugas wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian
LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya, dengan harapan dapat
dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan
penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada:
a. Mayor Laut (K) dr. Titut Harnanik, M.Kes selaku Pembimbing
Referat.
b. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya.
c. Para perawat dan pegawai di LAKESLA RSAL dr. RAMELAN
Surabaya.
d. Kelompok DM 39 K yang bertugas di LAKESLA RSAL dr.
RAMELAN Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.
Surabaya, November 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal...........................................................................2
2.1.1. Aliran darah ginjal....................................................................................2
2.1.2. Nefron......................................................................................................3
2.1.3. Fenomena A-V shunt pada aliran darah ginjal........................................4
2.1.4. Kerentanan medula ginjal terhadap keadaan hipoxia..............................6
2.2 Penyakit Ginjal Kronis....................................................................................6
2.2.1. Definisi.....................................................................................................6
2.2.2. Kriteria.....................................................................................................7
2.2.3. Patofisiologi.............................................................................................7
2.2.4. Manifestasi Klinis...................................................................................10
2.3 Terapi Oksigen Hiperbarik...........................................................................10
2.3.1. Definisi...................................................................................................10
2.3.2. Aspek Fisika..........................................................................................11
2.3.3. Efek Fisiologis.......................................................................................13
2.3.4. Indikasi Terapi HBO..............................................................................17
2.3.5. Kontraindikasi Terapi HBO....................................................................18
2.3.6. Komplikasi Terapi HBO.........................................................................21
BAB 3 POTENSI TERAPI HBO DALAM MENGHAMBAT
PROGRESIFITAS CKD............................................................................22
3.1 HBOT memiliki peran dalam stabilisasi dan aktifasi HIF..............................22
3.2 HBOT meningkatkan kadar NO melalui eNOS............................................23
3.3 HBOT memiliki peran penghambatan terhadap kerusakan ginjal................24
3.4 Hubungan Terapi HBO Dengan Anemia Pada Nefropati Diabetik.................26
BAB 4 KESIMPULAN...........................................................................................27
REFERENSI..............................................................................................................28
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu keadaan dimana
terjadi penurunan fungsi dan kerusakan struktur ginjal secara progresif.
Berkurangnya fungsi ginjal ditentukan oleh laju filtrasi glomerulus (LFG),
atau kerusakan ginjal (dengan atau tanpa proteinuria)
PGK merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia.
The Third National Health and Examination Survey (NHANES III)
menunjukkan prevalensi PGK di Amerika Serikat meningkat dari 10%
pada tahun 1988-1994 menjadi 13,1% pada tahun 1999-2004. Penelitian
di Eropa, Australia, dan Asia juga mengkonfirmasikan meningkatnya
prevalensi dari penyakit ginjal kronik.
Penyebab PGK di Indonesia tersering yaitu, Glomerulonefritis
Kronik (40,12%), Obtruksi dan Infeksi (36,07 %), DM (6,13%), Idiopati
(5,52%), Sistemik Lupus Eritomatosus (4,17%), Ginjal Polikistik (2,21%),
Hipertensi Essensial (2,09%).
Pada salah satu studi mengatakan bahwa patofisiologi PGK
sebagian besar berkaitan dengan keadaan hipoksia. Sedangkan Terapi
Hiperbarik Oksigen (THBO) adalah terapi dengan pemberian masker
oksigen 100% murni yang diberikan pada ruangan bertekanan tinggi.
Sejauh ini HBOT sudah banyak diindikasikan sebagai terapi tambahan
pada berbagai penyakit seperti Diabetes Mellitus, wound healing, Buerger
disease, dll. Penggunaan terapi hiperbarik dalam pengobatan CKD masih
dapat terbilang asing. Beberapa penelitian pada hewan coba menunjukan
hasil yang dapat diaplikasikan pada pasien dengan PGK. Disini penulis
berusaha untuk menunjukan potensi terapi HBO terhadap progesifitas
penyakit ginjal kronis.
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal(1,2)
2.1.1 Aliran darah ginjalAliran darah yang menuju pada kedua ginjal normal adalah sekitar
22 persen dari cardiac output (sekitar 1100 ml/menit). Arteri ginjal
(A.Renalis) masuk ke ginjal di bagian hilum kemudian bercabang
membentuk A.Interlobaris, A. Arcuata, A. Interlobularis, yang kemudian
membentuk arteriol afferen dan kapiler dari glomerulus, dimana
dimulailah proses fltrasi dari cairan dan solut untuk membentuk urine.
Ujung akhir dari kapiler glomerulus kemudian bergabung membentuk
arteriole efferen yang kemudian membentuk jaringan kapiler kedua yaitu
peritubular cappilaries yang mengelilingi tubulus renalis. Kapiler
peritubulus kemudian akan mengalirkan darahnya ke sistem vena ginjal
yang berjalan sejajar dengan arteriol dari ginjal dan secara perlahan
membentuk vena interlobularis vena arcuata, vena interlobaris dan vena
renalis.
Kedua jaringan kapiler ginjal memiliki perbedaan tekanan
hidrostatik sesuai dengan fungsi dari kapiler tersebut. Jaringan kapiler
glomerulus memiliki tekanan hidrostatik yang besar (sebesar 60mmHg)
yang memungkinkan untuk terjadinya proses filtrasi, sedangkan jaringan
kapiler peritubular memiliki tekanan hidrostatik yang kecil (sebesar
13mmHg) yang menyebabkan terjadinya reabsorbsi daripada cairan.
Tekanan pada kedua jaringan kapiler (terutama kapiler glomerulus)
diregulasi secara ketat untuk mempertahankan keadaan stabil daripada
laju filtrasi glomerulus (GFR).
2.1.2 NefronNefron merupakan unit fungsional daripada ginjal, setiap nefron
dilewati oleh jaringan kapiler glomerulus di daerah Kapsula bowman,
cairan hasil filtrasi dari kapiler glomerulus akan menuju ke kapsula
bowman yang kemudian melewati tubulus proximal, dari tubulus proximal
kemudian cairan akan menuju lengkung henle (yang memiliki dua bagian
yaitu descending dan ascending) dengan bagian lengkungan bawahnya
yang mencapai medula daripada ginjal, pada ujung dari lengkung henle
terdapat segmen pendek yang dinamakan dengan macula densa yang
memiliki peran dalam pengaturan fungsi nefron. Cairan kemudian menuju
ke tubulus distal dan akhirnya berkhir pada ductus collectifus.
Pada tubulus daripada ginjal terjadi transport solute dari lumen dari
tubulus menuju ke kapiler peritubulus dan sebaliknya. Transpor ini terjadi
melalui dua jalur yaitu, Paracellular transport dan Celullar
transport(membrane transport). Paracellular transport merupakan transpor
pasif dimana cairan dan solut berpindah melalui celah sempit diantara sel
(Tight junction) tergantung dari muatan dan gradien dariada solut dan
lumen dari tiap tiap daerah tubulus. Cellular transport merupakan
campuran proses transport aktif dan pasif dimana cairan dan solut
berpindah melalui protein membrane seperti chanel, pompa dan
transporter. Proses transport aktif yang membutuhkan ATP pada tubulus
ginjal terjadi secara luas di seluruh daerah ginjal dan merupakan salah
satu proses dengan konsumsi oksigen utama pada ginjal.
2.1.3 Fenomena A-V shunt pada aliran darah ginjal(3,4,5,6,7,8,9)
Fungsi utama ginjal sebagai unit filtrasi dan pembentukan urine
mengharuskan aliran darah ginjal harus lebih besar daripada kebutuhan
metabolik daripada ginjal itu sendiri. Hal ini mengakiatkan ginjal yang
hanya menyusun 1% dari total masa tubuh menerima 22% daripada
cardiac output jantung. Jika dibandingkan, aliran darah ginjal lebih besar
lima kali lipat dibandingkan aliran darah jantung, namun konsumsi oksigen
daripada ginjal hanya setengah dari konsumsi oksigen otot jantung. Tanpa
mekanisme pembatasan, sudah tentu akan terjadi proses keracunan
oksigen pada jaringan ginjal ( ditandai dengan produksi yang berlebihan
daripada reactive oxygen spesies dan radikal bebas). Namun ternyata hal
ini tidak terjadi, penelitian daripadamenunjukan bahwa struktur dari arteri
dan vena pada ginjal berperan sebagai faktor pertahanan terhadap
keracunan daripada oksigen.
A-V shunt mengakibatkan tekanan parsial oksigen pada jaringan
ginjal (terutama cortex) relatif stabil pada berbagai kondisi aliran darah
ginjal. Peningkatan daripada aliran darah ginjal akan mengakibatkan
peningkatan daripada konsumsi oksigen daripada jaringan ginjal, hal ini
mengakibatkan peningkatan perbedaan gradien daripada arteri dan vena
renalis sehingga memperbesar shunt (agar tidak terjadi Hyperoxia).
Sebaliknya penurunan daripada aliran darah akan mengakibatkan
penurunan dari konsumsi oksigen jaringan ginjal yang kemudian
menurunkan perbedaan gradien arteri dan vena renalis yang menghambat
terjadinya shunt (sehingga mencegah terjadinya Hypoxia).
2.1.4 Kerentanan medula ginjal terhadap keadaan hipoxia(10)
Fungsi dari struktur struktur(glomerulus dan tubulus proximal) yang
terdapat pada cortex mengakibatkan cortex ginjal kaya akan aliran darah,
hal ini berbeda dengan medula ginjal dimana struktur yang terdapat pada
medula ginjal (lengkung henle) membutuhkan aliran darah yang sedikit
( hanya 10% dari total aliran darah ginjal) agar dapat menjalankan
fungsinya (reabsorbsi). Beberapa struktur dari medula ginjal(seperti papila
ginjal) relatif tidak terpengaruh dengan kondisi ini karena dapat
menjalankan metabolisme anaerob, namun struktur seperti thick
ascending limb walaupun dapat menjalankan metabolisme anaerob tetap
membutuhkan aktifitas mitochondria yang membutuhkan oksigen, hal ini
bertolak belakang dengan kondisi medula yang relatif hypoxia jika
dibandingkan dengan struktur lain. Keadaan ini diperparah dengan
adanya A-V shunt, pada keadaan hypoxia berat, perbedaan gradien
oksigen yang besar antara arteri dan vena renalis justru akan
mengakibatkan shunt yang akhirnya menurunkan tekanan parsial O2
jaringan. Untuk mengatasi hal ini, medula ginjal menggunakan mekanisme
kompensasi melalui jalur HIF-HER yang terutama menghasilkan NO yang
memiliki efek vasodilatasi ketika kadar oksigen sangat hypoxic. Gangguan
keseimbangan sistem ini dapat mengakibatkan kerusakan daerah medula
ginjal dengan cepat.
2.2 Penyakit Ginjal Kronis
2.2.1 DefinisiPenyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu kondisi dimana ginjal
tidak dapat menjalankan fungsinya untuk ekskresi sisa metabolisme
secara normal sehingga terjadi penumpukan sisa metabolisme dan cairan
di dalam tubuh dan sebagai akibatnya terjadi kerusakan yang progresif
dari struktur ginjal.
Menurut Askandar PGK adalah sindroma klinis karena penurunan
fungsi ginjal secara menetap akibat kerusakan nefron lebih dari 3 bulan.
2.2.2 Kriteria PGK Menurut K/DOQI1. Kerusakan ginjal (fungsional/struktural disertai atau tanpa
penurunan GFR) lebih dari atau sama dengan 3 bulan.
2. GFR <60ml/mt/1,73 m2 lebih dari atau sama dengan 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
2.2.3 PatofisiologiStudi studi awal banyak mengaitkan kerusakan pada gagal ginjal
kronis dengan kerusakan pada daerah glomerulus dari nefron. Namun
studi terbaru menunjukan bahwa kerusakan dapat berawal dari daerah
tubulointerstitial hal ini semakin dibuktikan dengan kerentanan akan
medula dari ginjal terhadap keadaan hypoxia.
Pada keadaan hypoxia akan terjadi aktifasi dari jalur HIF oleh sel
sel endotel yag berfungsi sebagai mekanisme kompensasi. Aktifasi dari
jalur HIF akan menimbulkan respon HRE terutama pengeluaran dari NO
yang bersifat Vasodilator untuk meningkatkan aliran darah dan secara
langsung meningkatkan pengiriman oksigen ke bagian yang hypoxic.
Pada keadaan patologis terjadi gangguan pada sistem HIF-HRE,
sehingga hypoxia tidak teratasi.
Pada hipertensi keadaan vasokonstriksi sistemik akan menghalangi
respon NO yang bersifat vasodilator, akibatnya keadaan hypoxia jaringan
tidak dapat teratasi secara sepenuhnya. Diabetes Mellitus secara
langsung akan meningkatkan produksi radikal bebas melalui produksi
AGE, radikal bebas juga secara langsung berikatan dengan NO sehingga
mekanisme vasodilator tidak terjadi dan keadaan hypoxia tidak teratasi.
Keadaan hypoxia yang tidak teratasi akan mengaktifkan jalur redox
signaling intraselular. Jalur ini akan meningkatkan produksi dari radikal
bebas dan juga mengaktifkan endothel yang akan memproduksi faktor
faktor migrasi leukosit. Akibatnya akan terjadi perlekatan dari leukosit
pada endotel, yang malah makin mengurangi permeabilitas kapiler dan
memperparah keadaan hypoxia. Apabila regenerasi endotel (dan tubulus)
oleh sel progenitor sekitar tidak dapat mengatasi kerusakan yang
ditimbulkan akibat hypoxia maka akan terjadi kerusakan struktural
permanen daerah tubulointersitial (dan kemudian nefron) yang ditandai
dengan penggantian jaringan tersebut dengan jaringan parut. Nefron yang
tersisa kemudian akan melakukan kompensasi berupa peningkatan
aktifitas (hiperfiltrasi) untuk mempertahankan fungsinya (stabilitas GFR)
namun hal ini akan semakin meningkatkan konsumsi oksigen dan
memperparah kondisi hypoxia, terjadilah suatu siklus yang semakin
memperparah kondisi ginjal.
Hypoxia
Redox Signaling
HIF-1
Pembentukan
superoxida dan radikal
bebas
Disfungsi Endotel
dan aktifasi
endotelium
Migrasi leucocyte
menuju ke
endothelium
Gangguan struktur
kapiler
Peritubular
capilary loss
Fibrosis Nefron
DMHipertensi
Hiperfiltrasi Nefron
lain
Hypoxia nefron
lain
Hypoxia
Teratasi
t
-
ESRD
HBO
X
2.2.4 Manifestasi KlinisPada dasarnya timbul karena penurunan fungsi ginjal, yaitu :
1. Kegagalan fungsi ekskresi, penurunan GFR, gangguan
reabsorbsi dan sekresi di tubulus. Akibatnya akan terjadi
penumpukan toksin uremik dan gangguan keseimbangan asam
basa.
2. Kegagalan fungsi hormonal
Penurunan eritropoetin
Penurunan vitamin D3 aktif
Gangguan sekresi renin
Umum : lemah, malaise, gangguan pertumbuhan, edema
Kulit : pucat,rapuh, gatal
KL : foetor uremi
Mata : fundus hipertensi, mata merah
CVS : hipertensi, sindroma overload, payah jantung
Respirasi : efusi pleura, edema paru, nafas Kussmaul
GI : anorexia, muntah, mual, gastritis, ulkus, kolitis,
perdarahan
Ginjal : nokturia, poliuria, haus, proteinuria, hematuria
Reproduksi : penurunan libido, impotensi, ginekomasti
Saraf : letargi, malaise, penurunan kesadaran
Tulang : renal osteodistrofi (ROD)
Sendi : gout, pseudogout
Darah : anemia, defisiensi imun
Endokrin : intoleransi glukosa, penurunan kadar testosteron
dan estrogen
Farmasi : penurunan eksresi lewat ginjal
2.3 Terapi Oksigen Hiperbarik2.3.1 Definisi
Oksigen hiperbarik (OHB) adalah bernapas dengan oksigen 100%
di bawah peningkatan tekanan atmosfer (Emi, 2014). Terapi oksigen
hiperbarik adalah pemberian oksigen bertekanan tinggi untuk pengobatan
yang dilaksanakan dalam RUBT (Rijadi, 2013). OHB merupakan
pengobatan yang dapat ditelusuri kembali ke tahun 1600-an. Pertama
ruang terkenal dibangun dan dijalankan oleh seorang pendeta Inggris
bernama Henshaw. Dia membangun sebuah struktur yang disebut
domicilium yang digunakan untuk mengobati banyak penyakit (Emi,
2014).
2.3.2 Aspek Fisika1. Tekanan
Berdasarkan percobaan Toricelli yang memutuskan untuk
mengukur berat udara yaitu sebanding dengan 760mmHg.
Selanjutnya Pascall mengembang percobaan Toricelli. Hasilnya
adalah tekanan yang dialami manusia sebagai akibat berat udara
dinamakan 1 atmosfer yang sebanding dengan tekanan sebesar
14.7 psi. Tekana dianggap konstan di atas permukaan laut.
2. Satuan Tekanan
Ada 4 istilah yang dipakai untuk menyebut tekanan gas :
1. Tekanan atmosfer :kg/cm2, Atmosfer Absolut (ATA), pounds
per square inch absolute (psia).
2. Tekanan barometer :mmHg
3. Tekanan manometer :Atmosfer gauge (ATG)
4. Tekanan absolut :tekanan kesuluruhan yang dialami,
besarnya adalah ATG+1. Persamaannya 1atm = 10,33 m air laut
= 33.07 feet air laut = 760 mmHg = 760 Torr
3. Hukum Fisika Dasar
1. Hukum Boyle
Volume suatu gas berbanding terbalik dengan tekanannya
pada temperatur tetap.
P1V1=P2V2=P3V3......=K
2. Hukum Dalton
Tekanan suatu campuran gas sama dengan jumlah tekanan
parsial masing masing gas.
P= P1+P2+P3+P4+.....
3. Hukum Henry
Banyaknya gas yang larut dalam cairan berbanding lurus
dengan tekanan gas tersebut pada temperatur tetap.
4. Hukum Charles
Pada volume tetap, temperatur suatu gas berbanding lurus
dengan tekanannya.
PV/T= K
4. Kepadatan
Bila tekanan naik, maka kepadatan udara yang dihirup juga naik
sehingga menyebabkan meningkatnya kerja pernafasan. Pada
orang normal hal ini hampir tidak berarti, akan tetapi dapat
menimbulkan kesulitan pada orang dengan gangguan pernafasan,
trakeostomi atau memakai tuba endotrakeal.
5. Suara
Orang yang mendapatkan tekanan lebih tinggi dari normal akan
mengalami perubahan kualitas suaranya.
6. Temperatur
Selama kompresi temperatur akan meningkat sedangkan saat
dekompresi turun. Untuk membuat suasana di dalam RUBT
nyaman dan aman adalah dengan memperabiki rancangan RBUT
dan sistem kontrolnya.
7.Komposisi udara
1. Nitrogen (N2) 78,084%
2. Argon (Ar) 0,934%
3. Oksigen (O2) 20,946%
4. Karbondioksida (CO2) 0,033%
5. Helium (He)
6. Krypton (Kr)
7. Hidrogen (H2)
8. Radon (Ra)
9. Xenon (Xe)
10.Karbonmonoksida (CO)
11.Neon (Ne)
Bila disederhanakan menjadi : nitrogen (N2) 79% , Oksigen (O2)
21% (Rijadi , 2013)
2.3.3 Efek Fisiologis1. Fase-fase respirasi
a. Fase Ventilasi
b. Fase Transportasi
c. Fase utilisasi
d. Fase difusi
2. Transportasi dan utilisasi oksigen
a. Hemoglobin
b. Oksigen Terlarut
c. Utilisasi Oksigen
d. Efek Kardiovaskular
e. Retensi CO2
Tabel 1.1 Mekanisme Fisiologi Hiperbarik Oksigen Terapi
Mechanism References Clinical Application
Hyperoxygenation* Boerema I[5]
Bassett BE[6]
Bird AD[7]
DCS/AGE
CO poisoning
Central retinal artery
occlusion
Crush injury/compartment
syndrome
Compromised grafts and
flaps
Severe blood loss
anemia
Decrease gas bubble size Boyle's law Air or gas embolism
Vasoconstriction †
Nylander G[8]
Sukoff MH[9]
Crush injury/compartment
syndrome
Thermal burns
Angiogenesis Knighton DR[10] Problem wounds
Compromised grafts and
flaps
Delayed radiation injury
Fibroblast
proliferation/collagen
synthesis
Hunt TK[11]
Problem wounds
Delayed radiation injury
Leukocyte oxidative killing ‡
Mader JT[12]
Park MK[13]
Mandell GL[14]
Necrotizing soft tissue
infections
Refractory osteomyelitis
Problem wounds
Reduces intravascular
leukocyte adherence
Zamboni
WA[15]
Crush injury/compartment
syndrome
Thom SR[16, 17]
Reduces lipid peroxidation Thom SR[18]
CO poisoning
Crush injury/compartment
syndrome
Toxin inhibition Van Unnik A[19] Clostridial myonecrosis
Antibiotic synergy
Mirhij NJ[20]
Keck PE[21]
Mendel V[22]
Muhvich KH[23]
Necrotizing soft tissue
infections
Refractory osteomyelitis
*Most oxygen carried in the blood is bound to hemoglobin, which is 97%
saturated at standard pressure. Some oxygen, however, is carried in
solution, and this portion is increased under hyperbaric conditions due to
Henry's law. Tissues at rest extract 5-6 mL of oxygen per deciliter of
blood, assuming normal perfusion. Administering 100% oxygen at
normobaric pressure increases the amount of oxygen dissolved in the
blood to 1.5 mL/dL; at 3 atmospheres, the dissolved-oxygen content is
approximately 6 mL/dL, which is more than enough to meet resting
cellular requirements without any contribution from hemoglobin. Because
the oxygen is in solution, it can reach areas where red blood cells may not
be able to pass and can also provide tissue oxygenation in the setting of
impaired hemoglobin concentration or function.
† Hyperoxia in normal tissues causes vasoconstriction, but this is
compensated by increased plasma oxygen content and microvascular
blood flow. This vasoconstrictive effect does, however, reduce
posttraumatic tissue edema, which contributes to the treatment of crush
injuries, compartment syndromes, and burns
‡ HBOT increases the generation of oxygen free radicals, which oxidize
proteins and membrane lipids, damage DNA, and inhibit bacterial
metabolic functions. HBO is particularly effective against anaerobes and
facilitates the oxygen-dependent peroxidase system by which leukocytes
kill bacteria.
2.3.4 Indikasi Terapi HBOIndikasi terapi HBO yang diterima secara universal:
Kondisi akut (terapi HBO harus diberikan sedini mungkin
dikombinasi dengan terapi konvensional)
1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan, luka
bermasalah, cangkok kulit yang mengalami reaksi
penolakan.
2. Crush injury, sindrom kompartemen dan penyakit
iskemi traumatik akut yang lain
3. Gas gangren/infeksi clostridium
4. Infeksi jaringan lunak yang necrotizing (jaringan
subkutan, otot, fascia)
5. Thermal burn
6. Anemia parah
7. Abses intrakranial
8. Post-anoxic encephalopathy
9. Luka bakar
10.Tuli mendadak
11. Iskemik okuler patologik
12. Emboli udara atau gas*
13.Penyakit dekompresi*
14.Keracunan karbon monoksida dan inhalasi asap.*
*Terapi kuratif/lini utama pengobatan
Kondisi kronis
1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan / luka
bermasalah (diabetes / vena dll)
2. Kerusakan jaringan akibat radiasi
3. Cangkok kulit dan flap (yang mengalami reaksi
penolakan/rejection)
4. Osteomyelitis kronis (refrakter). (Sahni, 2003)
2.3.5 Kontraindikasi Terapi HBO Kontraindikasi absolut
Pneumotoraks yang belum dirawat, kecuali bila sebelum pemberian
oksigen hiperbarik dapat dikerjakan tindakan bedah untuk
mengatasi pneumotoraks.
Kontraindikasi relatif
Beberapa keadaan yang memerlukan perhatian tapi bukan
merupakan kontraindikasi absolut pemakaian oksigen hiperbarik
adalah:
a. Infeksi saluran napas bagian atas
Menyulitkan penderita untuk melaksanakan ekualisasi. Dapat
ditolong dengan penggunaan dekongestan atau melakukan
miringotomi bilateral.
b. Sinusitis kronis
Sama dengan ISPA dapat diberikan dekongestan atau dilakukan
miringotomi bilateral.
c . Penyakit kejang
Menyebabkan penderita lebih mudah terserang konvulsi oksigen.
Bilamana perlu penderita dapat diberikan anti-konvulsan
sebelumnya.
d. Emfisema yang disertai retensi CO2
Ada kemungkinan bahwa penambahan oksigen lebih dari normal
akan menyebabkan penderita secara spontan berhenti bernafas
akibat rangsangan hipoksik. Pada penderita dengan penyakit
paru yang disertai retensi CO2, terapi oksigen hiperbarik dapat
dikerjakan bila penderita diintubasi atau memakai ventilator.
e. Panas tinggi yang tidak terkontrol
Merupakan predisposisi terjadinya konvulsi oksigen. Kemungkinan
ini dapat diperkecil dengan pemberian obat antipiretik juga dapat
dengan pemberian anti konvulsan.
f. Riwayat pneumotoraks spontan
Penderita yang mengalami pneumothorax spontan dalam RUBT
tunggal akan menimbulkan masalah tetapi di dalam RUBT kamar
ganda dapat dilakukan pertolongan-pertolongan yang memadai.
Sebab itu bagi penderita yang mempunyai riwayat pneumothorax
spontan harus dilakukan persiapan-persiapan untuk mengatasi hal
tersebut.
g. Riwayat operasi dada
Menyebabkan terjadinya luka dengan air trapping yang timbul saat
dekompresi. Setiap operasi dada harus diteliti kasus demi kasus
untuk menentukan langkah-langkah yang harus diambil. Tetapi
jelas dekompresi harus dilakukan secara lambat.
h. Riwayat operasi telinga
Operasi pada telinga dengan penempatan kawat atau topangan
plastik di dalam telinga setelah stapedoktomi, mungkin suatu
kontraindikasi pemakaian oksigen hiperbarik sebab perubahan
tekanan dapat mengganggu implan terseut konsultasi dengan
spesialis THT perlu dilakukan.
i. Kerusakan paru asimptomatik yang ditemukan pada penerangan
atau pemotretan dengan sinar x
Memerlukan proses dekompresi yang sangat lambat. Menurut
pengalaman, waktu dekompresi antara 5-10 menit tidak
menimbulkan masalah
j. Infeksi virus
Pada percobaan binatang ditemukan bahwa infeksi virus akan lebih
hebat bila binatang tersebut diberi oksigen hiperbarik. Dengan
alasan ini dianjurkan agar penderita yang terkena salesma
(common cold) menunda pengobatan dengan oksigen hiperbarik
sampai gejala akut menghilang apabila tidak memerlukan
pengobaran sehera dengan oksigen hiperbarik
k. Spherosits kongenital
Pada keadaan ini butir-butir eritrosit sangat fragil dan pemberian
oksigen hiperbarik dapat diikuti dengan hemolisis yang berat. Bila
memang pengobatan hiperbarik mutlak diperlukan, keadaan ini
tidak boleh jadi penghalang sehingga harus dipersiapkan langkah-
langkah yang perlu untuk mengatasi komplikasi yang mungkin
timbul.
l. Riwayat neuritis optik
Pada beberapa penderita dengan riwayat neuritis optik terjadinya
kebutaan dihubungkan dengan terapi oksigen hiperbarik. Namun
kasus yang terjadi sangat sedikit. Tetapi jika ada penderita dengan
riwayat neuritis optik diperkirakan mengalami gangguan
penglihatan yang berhubungan dengan retina, bagaimanapun
kecilnya pemberian oksigen hiperbarik harus segera dihentikan dan
perlu konsultasi dengan ahli mata. (Riyadi, 2013)
2.3.6 Komplikasi HBO Middle ear barotrauma
Sinus pain
Myopia and cataract Pulmonary barotrauma Oxygen seizures
Decompression sickness
Genetic effects
Claustrophobia (Jain,2000)
BAB 3POTENSI THBO DALAM MENGHAMBAT
PROGRESIFITAS PGK
3.1 HBOT memiliki peran dalam stabilisasi dan aktifasi HIFSeperti yang sudah djelaskan sebelumnya, HIF memiliki peran
dalam perlindungan terhadap kondisi hypoxia dari berbagai sel dalam
tubuh termasuk sel endotel dan tubulus. Pasien PGK (terutama dengan
diabetes) umumnya memiliki respon HIF yang terganggu. Penelitian
menunjukan bahwa HBOT dapat menstabilisasi dan mengaktifkan HIF
beserta responsya pada sel fibroblas. Pada penelitian ini digunakan sel
HDF yang dipaparkan dengan tekanan 2.5 ATA selama 1 jam kemudian
dilakukan observasi berturut turut selama 0,2,4 jam. Hasilnya pada
pengamatan pertama dan kedua dideteksi kadar HIF menurun namun
setelah 4 jam didapatkan peningkatan dan aktifasi dari HIF yang ditandai
dengan peningkatan pada kadar VEGF dan sdf 1 alpha.
(Peningkatan kadar HIF pada perlakuan hiperbarik tampaknya memiliki
efek yang berbeda antar jaringan, pada peneliitan yang menggunakan
jaringan saraf didapatkan kadar HIF yang menurun setelah perlakuan
hiperbarik)
3.2 HBOT meningkatkan kadar NO melalui eNOSPeneliitan dari Gallagher dkk menunjukan bahwa HBOT
meningkatkan NO baik BM-NO maupun eNO, hal ini cukup menarik
karena NO merupakan mediator yang dihasilkan saat keadaan hypoxia ,
namun terbukti bahwa keadaan hyperoxia yang ditimbulkan oleh HBOT
dapat merangsang produksi NO melalui mekanisme yang mirip.
.
Peningkatan kadar NO juga kemudian memiliki efek mobilisasi dari sel-sel
progenitor endothelial menuju ke bagian endotel yang rusak yang
kemudian dapat memperbaiki keadaan endotel tersebut (dimana
mekanisme ini sering terhambat pada pasien dengan keadaan diabetes).
Pada penelitian ini digunakan tikus yang dipaparkan pada keadaan 100%
oksien dengan tekanan 2.4 ATA selama 9- menit. Kadar NO diukur secara
langsung melalui elektroda yang ditanam dan secara tidak langsung
menggunakan Western Blot analysis
3.3 HBOT memiliki peran penghambatan terhadap kerusakan ginjalPeneliitan membandingkan antara 3 kelompok tikus yaitu tikus
yang diinduksi diabetes tanpa perlakuan HBOT, dengan HBOT tekanan
1.5 ATA dan kelompok terakhir dengan tekanan 2.4 ATA. Kerusakan
ginjal secara anatomis diukur menggunakan biomarker Clusterin, NAG,
NGAL, Cystatin C, dan Caspace, sedangkan fungsi filtrasi ginjal diukur
menggunakan kadar serum Creatinine dan kebocoran albumin.
Kadar biomarker pada semua kelompok tikus pada awalnya
mengalami peningkatan kemudian mengalami penurunan setelah minggu
ke-20, namun jika dibandingkan maka tampak penurunan yang signifikan
pada kelompok HBOT terutama pada kelompok HBOT dengan tekanan
2.4 ATA. Fluktuasi dari kadar biomarker menandakan terjadinya turnover
dari sel sel ginjal yang mengalami kerusakan, hal ini mengisyaratkan
bahwa turnover dari sel ginjal pada tikus dengan perlakuan HBOT dengan
tekanan 1.5 ATA terjadi lebih cepat.
Pada pengukuran fungsi ginjal, kadar total eksresi albumin mengalami
penurunan yang bermakna pada kelompok tikus yang diterapi HBOT.
3.4 Hubungan Terapi HBO Dengan Anemia Pada Nefropati Diabetik
Anemia lebih sering ditemukan pada penderita nefropati diabetik
atau end stage renal disease, penyebab utamanya yaitu penurunan
produksi eritropoietin. Pada penelitian yang dilakukan pada 20 penderita
nefropati diabetik stadium I dengan oksigen hiperbarik 2,4 ata, oksigen
100% 3x30 menit, interval 2x5 menit menghisap udara setiap hari selama
5 hari, hasilnya kadar eritropoietin sampel meningkat, kadar eritrosit
meningkat tetapi tidak bermakna, namun kadar hemoglobinnya belum
meningkat. Sehingga dapat diambil kesimpulan, pemberian terapi HBO
pada penderita nefropati diabetik stadium I sebagai terapi adjuvan
terhadap komplikasi anemia dapat meningkatkan kadar eritropoietin
sehingga berpotensi meningkatkan jumlah eritrosit tetapi belum dapat
meningkatkan kadar hemoglobin (Suyono, 2010).
BAB 4KESIMPULAN
Bukti bukti yang ada membuktikan potensi hiperbarik dalam
menghambat progresifitas PGK. Terapi hiperbarik pada hewan coba
menunjukan hasil hasil yang mendukung terhadap penggunaan hiperbarik
dalam pengobatan terhadap PGK.
REFERENSI
Bernadette P. Cabigas , Jidong Su , William Hutchins , Yang Shi , Richard B. Schaefer , René F. Recinos , Vani Nilakantan , Eric Kindwall , Jeffrey A. Niezgoda , John E. Baker. “Hyperoxic and hyperbaric-induced cardioprotection: Role of nitric oxide synthase 3” : http://dx.doi.org/10.1016/j.cardiores.2006.06.031 143-151
Gill, 2004. Hyperbaric oxygen: its uses, mechanisms of action and outcome. Oxford University Press Journal, 385-95.
Gullans SR, Hebert SC. Metabolic basis of ion transport. In: Brenner and Rector's The Kidney (5th ed.), edited by Brenner BM. Philadelphia, PA: WB Saunders, 1996, p. 211–246.
Guyton 2013, A. C Guyton, J E. Hall “Textbook of Medical Physiology”, 13th edition. Elsevier Saunders 2013
Harrison’s 2012, A. S. Fauci, D. L. Kasper, D. L. Longo, E. Braunwald, S. L. Hauser, J. L. Jameson and J. Loscalzo “Harrison’s Internal Medicine, 18th edition. McGraw-Hill Medical 2012
Irwanadi, C. Sindroma Glomerular dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi-2 Surabaya : Airlangga University Press 2015 Hal : 472
Katherine A. Gallagher, Stephen R. Thom, Omaida C. Velazquez, ”Diabetic impairments in NO-mediated endothelial progenitor cell mobilization and homing are reversed by hyperoxia and SDF-1α” J. Clin. Invest.117:1249–1259 (2007). doi:10.1172/JCI29710
Levy MN, Sauceda G. “Diffusion of oxygen from arterial to venous segments of renal capillaires”. Am J Physiol 196: 1336–1339, 1959
Levy MN. “Effect of variations of blood flow on renal oxygen extraction”. Am J Physiol 199: 13–18, 1960.
Liu KD, Chertow GM. Acute renal failure. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. Vol.2;1752-61.
Longo, D dkk. Nephrology dalam Harrison’s Manual of Medicine 18th ed. McGraw-Hill Companies 2013 Hal : 960, 968
Mimura, I. & Nangaku, M. Nat. Rev. “The suffocating kidney: tubulointerstitial hypoxia in end-stage renal disease”. Nephrol. 6, 667–678 2010.
Nunuk, M. Penyakit Ginjal Kronis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi-2 Surabaya : Airlangga University Press 2015 Hal : 484
O'Connor PM, Anderson WP, Kett MM, Evans RG. “Renal preglomerular arterial-venous O2 shunting is a structural anti-oxidant defence
mechanism of the renal cortex”. Clin Exp Pharmacol Physiol 33: 637–641, 2006.
Rabelink, T. J., wijewickrama, D. C. & de Koning, E. J. Peritubular endothelium: the Achilles heel of the kidney? Kidney Int. 72,926–930 (2007).
Rajeev Verma & Avijeet Chopra & Charles Giardina & Venkata Sabbisetti & Joan A. Smyth & Lawrence E. Hightower & George A. Perdrizet. “Hyperbaric oxygen therapy (HBOT) suppresses biomarkers of cell stress and kidney injury in diabetic mice” Cell Stress and Chaperones (2015) 20:495–505 DOI 10.1007/s12192-015-0574-3
Riyadi, 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik, Lakesla.
Sahni T 2003 Hyperbaric Oxygen Therapy : Current Trends and Applications, JAPI vol 51
Schurek HJ, Jost U, Baumgartl H, Bertram H, Heckmann U. Evidence for a preglomerular oxygen diffusion shunt in rat renal cortex. Am J Renal Fluid Electrolyte Physiol 259: F910–F915, 1990.
Stevens LM. Kidney failure. JAMA 2009;301(6):686.
Sunkari, V. G., Lind, F., Botusan, I. R., Kashif, A., Liu, Z.-J., Ylä-Herttuala, S., Brismar, K., Velazquez, O. and Catrina, S.-B. (2015), Hyperbaric oxygen therapy activates hypoxia-inducible factor 1 (HIF-1), which contributes to improved wound healing in diabetic mice. Wound Repair and Regeneration, 23: 98–103. doi: 10.1111/wrr.12253
Suyono, Handi. “Pengaruh Oksigen Hiperbarik Sebagai Terapi Adjuvan Terhadap Kadar Eritropoietin, Jumlah Eritrosit, dan Kadar Hemoglobin Pada Penderita Nefropati Diabetik Stadium I”. 2010. Surabaya : Airlangga University Library.
Tjokroprawiro A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto G. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya: Airlangga University Press 2007;221-33
Welch WJ, Baumgartl H, Lubbers D, Wilcox CS. Nephron pO2 and renal oxygen usage in the hypertensive rat kidney. Kidney Int 59: 230–237, 2001.