Refleksi Kasus Pasien Interna

download Refleksi Kasus Pasien Interna

of 9

Transcript of Refleksi Kasus Pasien Interna

  • 7/29/2019 Refleksi Kasus Pasien Interna

    1/9

    A. Identitas Pasien

    Nama : Bpk. RR

    Umur : 63 tahun

    Jenis Kelamin : L

    No.RM : 492014

    Diagnosis Kasus : Stroke non Hemoragik

    Diambil minggu ke- : 3

    B. Uraian Refleksi Kasus

    1. Resume Kasus Yang Diambil

    Pada tanggal 4 Mei 2012, OS datang dengan keluhan tiba-tiba saat sedang

    beraktivitas tidak dapat berbicara sejak 5 jam sebelum dibawa ke rumah sakit. OS

    tidak memiliki gangguan bicara sebelumnya. Keluhan disertai dengan tangan dan

    kaki kanan OS yang dirasakan lemas. Keluhan tidak didahului dengan kejadian

    trauma dan demam. Keluhan juga tidak disertai dengan penurunan kesadaran atau

    pingsan. OS belum pernah memeriksakan diri ke dokter dan belum mengkonsumsi

    obat apapun. Riwayat Hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat keluhan serupa (-),

    riwayat jatuh sebelumnya (-), dan riwayat demam (-). Dari hasil pemeriksaan

    diperoleh GCS saat datang E4VxM6, hamiparesis dextra dan afasia. Setelah itu OS

    dirawat di bangsal Kenanga. Dua hari setelah dirawat OS mengalami penurunan

    kesadaran dengan GCS E2VxM1, keadaan baru mambaik pada hari ke 6 dengan GCS

    E3VxM5.

    OS adalah pasien dengan Jamkesda non kuota yang dirawat di bangsal Kenanga

    selama 18 hari. OS sempat dipindahkan ke ruang isolasi (masih di bangsal yang

    sama) karena di ruangan sebelumnya terdapat pasien dengan Tb paru. Selama dirawat

    OS telah menjalani pemeriksaan laboratorium, CT Scan, pemasangan NGT,

  • 7/29/2019 Refleksi Kasus Pasien Interna

    2/9

    pemasangan DC, terapi farmakologi dan fisioterapi. Kondisi OS saat pulang sudah

    lebih baik, meskipun masih belum dapat berbicara dan masih mengalami hemiparesis

    dextra. Selama 18 hari OS hanya ditunggui oleh istrinya berinisial Ny.S (53 tahun).

    Beberapa kali OS dikunjungi kerabat, namun Ny.S lah yang selalu setia mendampingi

    OS.

    2. Latar Belakang Ketertarikan

    Perjalanan penyakit OS dan kesetiaan Ny.S adalah dua hal yang membuat

    penyusun tertarik untuk merefleksikan kasus ini. Selain itu, penyusun juga mengikuti

    perkembangan penyakit Bpk.RR, sehingga dapat merefleksikan menjadi sebuah

    laporan.

    3. Refleksi dari Aspek Etik

    Komisi Etik yang ada di berbagai Negara yang memberikan pendapat dan

    pegangan menggenai hak etika dalam ranah praktek kedokteran dengan

    memperhatikan beberapa asas yaitu :

    1. Yang pertama merupakan keinginan untuk bertindak yang didasarkan untuk selalu

    berbuat baik (beneficence) yang berarti seorang dokter harus menyediakan

    kemudahan bagi pasiennya dalam mengambil langkah positif.

    2. Tindakan yang dilakukan tidak bertujuan untuk kejahatan (non maleficence) yaitu

    seorang dokter selalu memilihkan semua bentuk pengobatan yang baik dan

    beresiko seminimal mungkin bagi pasiennya.

    3. Menghargai kebebasan setiap orang agar selalu bisa menentukan nasibnya sendiri

    (autonomy) yaitu seorang dokter menghormati pasiennya sebagai satu individu

    yang memiliki martabat dan berhak menentukan nasibnya sendiri.

    4. Tindakan yang dilakukan sesuai dengan hukum dan norma yang telah diakui di

    masyarakat (justice) yaitu seorang dokter memperlakukan semua pasiennya sama

    rata dan sama adil.

    (Anonim, 2010)

  • 7/29/2019 Refleksi Kasus Pasien Interna

    3/9

    Pada kasus Bpk. RR diatas etika yang digunakan merupakan asas non

    maleficence. Prinsip pengobatan yang dilakukan terhadap Bpk.RR adalah

    memperbaiki perfusi jaringan dan mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut

    dengan memberikan pelindung jaringan otak (Afiani, 2011). Sehingga secara klinis,

    kondisi Bpk.RR tidak semakin memburuk. Tindakan agar membuat keadaan Bpk.RR

    bertambah parah juga telah dilakukan dengan baik oleh paramedis setempat, yaitu

    dengan memindahkan ruang perawatan Bpk.RR terpisah dari pasien lain dengan

    penyakit infeksi karena pasien stroke memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk

    mengalami infeksi sehingga keaadaannya dapat semakin menurun.

    Selain prinsip non maleficence, prinsip lain yang diterapkan pada kasus

    Bpk.RR adalah prinsip beneficence yang terlihat pada saat planning terapi. Semua

    terapi tambahan yang diberikan adalah untuk kepentingan Bpk.RR seperti

    pemasangan NGT, pemasangan DC, dan pelaksanaan fisioterapi. Prinsip autonomy

    juga diterapkan dengan baik, dengan bukti adanya surat pernyataan untuk dilakukan

    tindakan-tindakan tersebut. Meski planning terapi yang dibuat untuk kepentingan

    Bpk.RR namun Bpk.RR berhak untuk menolak ataupun menerima terapi tersebut.

    Pada saat yang sama Bpk.RR sedang mengalami penurunan kesadaran sehingga

    pengambilan keputusan dapat diserahkan kepada orang yang bertanggung jawab

    terhadap Bpk RR, yaitu Ny.S selaku istrinya.

    Akan tetapi yang penyusun rasakan prinsip justice tidak terlaksana dengan

    baik. Bangsal Kenanga tempat Bpk.RR dirawat adalah bangsal kelas 3 yang jarang di

    visite oleh dokter jaga yang bertanggung jawab setiap harinya. Beberapa kali dokter

    jaga datang dan hanya melakukan kunjungan singkat, yaitu bertanya pada paramedis

    lain apakah ada masalah dan sebagainya. Tetapi tidak jarang, dokter jaga tersebut

    hanya mengunjungi pasien di bangsal kelas 1 dan kelas 2 saja padahal pasien kelas 3

    juga memiliki hak yang sama. Saat penyusun bertanya kepada paramedis yang lain,

    jawabannya sungguh ironi : Maklum mbak, ini kan pasien kelas 3 jadi jarang di

    visite

    Jika dikaitkan dengan hukum, pelayanan kesehatan adalah hak warga negara.

    Berdasarkan SK Menteri Kesehatan tahun 2007 dengan jelas mengatakan bahwa

    semua pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu,

  • 7/29/2019 Refleksi Kasus Pasien Interna

    4/9

    komprehensif dan holistik, maka diperlukan kebijakan pelayanan kesehatan di

    Indonesia yang memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk

    menyelenggarakan pelayanan pelayanan kesehatan (Depkes, 2007).

    4. Refleksi dari Aspek Sosial Ekonomi

    Bapak RR adalah salah satu pasien dengan Jamkesda Non-Kuota. Berdasarkan

    Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 menyatakan bahwa Jaminan

    Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Tengah yang selanjutnya disebut Jamkesda adalah

    suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan kesehatan daerah oleh Badan

    Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah di Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten /

    Kota. Sedangkan masyarakat miskin non kuota adalah masyarakat miskin yang

    belum memiliki jaminan pelayanan kesehatan dari Pemerintah. Sehingga dalam biaya

    pengobatan bapak RR mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah sebesar 50%,

    50% sisanya menjadi tanggungan pribadi. Pasien dengan Jamkesda non kuota akan

    mendapat bantuan penuh jika dirawat di RS Provinsi (Pemprov Jateng, 2009).

    Namun, dengan pertimbangan jarak dan lain-lain keluarga tidak membawa bapak RR

    ke RS Provinsi yang ada di Purwokerto.

    Setelah penyusun telusuri biaya bapak RR selama diwarat tidaklah sedikit.

    Dalam 5 hari perawatan, biaya obat, belum termasuk pelayanan mencapai hampir

    Rp.2.000.000,- Biaya itu semakin melambung jika ditambah dengan biaya jasa,

    pelayanan dan pemeriksaan yang cukup mahal. Sedangkan bapak RR adalah seorang

    petani yang tidak memiliki anak. Ny.S bercerita kepada penyusun bahwa untuk

    memenuhi biaya pengobatan suaminya, ia harus bekerja di rumah saudara sebagai

    pembantu rumah tangga. Tentu biayanya tetap tidak cukup karena gaji Ny.S dalam

    sebulan tidak sampai Rp.1.000.000,-, maka Ny.S mencari pinjaman sana sini untuk

    menutupi kekurangannya. Selain bantuan yang berdatangan dari kerabat dan keluarga

    bapak RR yang kebanyakan berada di Purbalingga. Setiap hari Ny.S selalu

    menemani bapak RR, kecuali pada saat dia harus bekerja, misalnya siang atau sore

    hari. Malam harinya Ny.S sudah kembali lagi ke RS untuk mendampingi bapak RR.

  • 7/29/2019 Refleksi Kasus Pasien Interna

    5/9

    Stroke menimbulkan dampak yang sangat besar dari segi ekonomi karena

    biaya pengobatan dan perawatan sangat tinggi. Selain itu stroke juga berdampak

    sosial dari gejala sisa karena penderita tidak dapat lagi bekerja seperti sediakala dan

    proses sosialisasinya dapat terhambat (Sutarto, 2010). Dalam hal sosial ekonomi,

    penderita stroke secara tidak langsung memang menjadi beban keluarga. Penelitian

    WHO menyatakan seperlima sampai dengan setengah dari penderita stroke

    mengalami kecacatan menahun yang mengakibatkan munculnya keputusasaan,

    merasa diri tidak berguna, tidak ada gairah hidup, disertai menurunnya keinginan

    berbicara, makan dan bekerja, sedangkan 25% penderita dapat bekerja seperti semula

    (Purna, 2010). Menurut WHO rata-rata pengeluaran untuk pasien stroke adalah

    sekitar 55.000-73.000 USD per tahun. Maka, diperlukan kesiapan pihak keluarga

    untuk menanggulangi hal tersebut. Indonesia, adalah bangsa yang dikenal dengan

    keramahan dan gotong royongnya, maka penyusun berharap pengobatan pasien

    stroke tidak hanya berhenti di RS kemudian dibiarkan begitu saja. Keluarga memiliki

    peran yang besar dalam proses pemulihan pasien stroke karena strategi

    penanggulangan stroke mencakup aspek preventif, terapi rehabilitasi, dan promotif

    (Batticaca, 2008).

    5. Refleksi dari Aspek Keislaman

    World Health Organization (WHO) pada tahun 1984 (dalam Hawari, 2005)

    menyatakan bahwa kesehatan manusia seutuhnya ditunjukkan oleh empat hal, yaitu

    sehat secara biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Witmer dan Sweeney

    (dalam Burke, Chauvin, & Miranti., 2005) menyatakan bahwa elemen spiritual

    dalam diri manusia, mengintegrasikan dan mempersatukan elemen kebutuhan

    fsik, emosi, dan intelektual di dalam tubuh manusia dalam pertumbuhan dan

    perkembangannya. Selain itu, Prest dan Keller (dalam Blume, 2006) menyatakan

    bahwa proses intervensi terhadap klien yang mempertimbangkan keyakinan

    agama yang dianut menjadi penting untuk menghindari resistensi apabila proses

    yang dilakukan dirasakan klien sebagai suatu hal yang berbeda dengan aturan

  • 7/29/2019 Refleksi Kasus Pasien Interna

    6/9

    agama yang diyakininya. Bagi umat Muslim, keimanan yang penting salah satunya

    adalah percaya pada wahyu Allah sebagai sumber pengetahuan yang sempurna

    (Hasan, 2006). Maka, setiap orang memiliki kebutuhan spiritual.

    Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau

    mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk

    mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa

    percaya dengan Tuhan (Carson, 1992). Maka dapat disimpulkan kebutuhan spiritual

    merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk

    mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan dan kebutuhan untuk memberikan dan

    mendapatkan maaf. Adapun adaptasi spiritual adalah proses penyesuaian diri dengan

    melakukan perubahan perilaku yang didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan

    yang dimiliki sesuai dengan agama yang dianutnya (Asmadi dalam Assidiqiy, 2001).

    Individu sebagai makhluk spiritual mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : diciptakan

    Tuhan dalam bentuk yang sempurna dibanding makhluk ciptaan lainnya, memiliki

    rohani/jiwa yang sempurna (akal, pikiran, perasaan dan kemauan), dan individu

    diciptakan sebagai khalifah (penguasa dan pengatur kehidupan) dimuka bumi.

    Kebutuhan spiritual ini telah difasilitasi dari RS dengan adanya jasa rohani islam

    yang rutin diberikan pada pasien-pasien yang membutuhkan.

    Mengingat pengobatan stroke yang panjang dan adanya gejala sisa, maka

    penderita stroke diharapkan memiliki kekuatan yang ekstra untuk menerima keadaan

    yang tidak lagi normal dan mau terus berusaha untuk mendapatkan pengobatan.

    Rasulullah pernah memaparkan perihal berobat dalam beberapa haditsnya. Di

    antaranya:

    1. Dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah bersabda:

    Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya

    maka dia akan sembuh dengan seizin Allah. (HR. Muslim)

    2. Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: Tidaklah Allah menurunkan sebuah

    penyakit melainkan menurunkan pula obatnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

  • 7/29/2019 Refleksi Kasus Pasien Interna

    7/9

    3. Dari Usamah bin Syarik z, bahwa beliau berkata: Aku pernah berada di samping

    Rasulullah. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, Wahai

    Rasulullah, bolehkah kami berobat? Beliau menjawab: Iya, wahai para hamba

    Allah, berobatlah. Sebab Allah tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan

    meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit. Mereka bertanya: Penyakit apa

    itu? Beliau menjawab: Penyakit tua. (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul

    Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini

    hasan shahih. Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadii menshahihkan hadits ini dalam

    kitabnya Al-Jami Ash-Shahih mimma Laisa fish Shahihain, 4/486).

    4. Dari Ibnu Masud z, bahwa Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah

    menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui

    oleh orang yang bisa mengeta-huinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa

    mengetahuinya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya

    dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Al-Bushiri menshahihkan hadits ini dalam

    Zawa`id-nya. Lihat takhrij Al-Arnauth atas Zadul Maad, 4/12-13.

    Dari penjelasan tersebut, maka telah jelas Islam memerintahkan agar berobat

    pada saat ditimpa penyakit. Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis

    tentang keharusan berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari Al

    Quran dan hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam upaya kesehatan dan

    pengobatan. Al-Quran menegaskan bahwa, "Barang siapa yang menghidupkan

    seseorang, maka dia bagaikan menghidupkan manusia semuanya..." (QS Al-

    Maidah [5): 32). Menghidupkan di sini bukan saja yang berarti memelihara

    kehidupan, tetapi juga dapat mencakup upaya memperpanjang harapan hidup

    dengan cara apa pun yang tidak melanggar hukum. Namun dalam ajaran Islam juga

    ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah sebab, sedangkan penyebab

    sesungguhnya di balik sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi

    Ibrahim a.s. yang diabadikan Al-Quran dalam surat Al-Syu'ara' (26): 80 : Apabila

    aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.

    Selain berobat, Islam juga mengajarkan untuk selalu bersabar dalam menghadapi

    sagala cobaan seperti yang juga dapat dilihat pada kasus Bpk.RR. Ny.S dan keluarga

  • 7/29/2019 Refleksi Kasus Pasien Interna

    8/9

    selalu sabar untuk menyelesaikan pengobatan Bpk.RR meskipun dalam berbagai

    keterbatasan. Ajaran untuk selalu bersabar terdantum dalam AI Qufan Sural AI

    Baqoroh ay at 115-157 yang artinya ."Dan sungguh akan Kamiberikan cobaan

    kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan hart a, jiwa dan buah-

    buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar..."

    DAFTAR PUSTAKA

    Afriani I.R., 2011. Tatalaksana Pasien Stroke Non Hemoragik. FK USU, Sumatera Utara.

    Ash-Shiddieqy, T. M. H. 2001.Al-Islam Jilid 1. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

    Al-Jauziyah, Ibnul Qoyyim (2000) I'lamitl Mmvaqi'in; Panduan Hiikum Islam (terjemahan). Jakarta:

    Pustaka Azzam.

    Al-Makhdali, Syaikh Rabi' bin Hadi Al Wadi'i (tanpa tahun). Syarh Ushulus Sunnah. Riyadh: Daarul

    Atsar.

    Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1946. Tafsir Al-Maraghiy (jilid I). Mesir: Al-Halabiy.

    Al-Maqdisy. Abu Muhammad Abdul Ghaniy bin Abdul Wahid Ali bin Surur. (tanpa tahun). Al

    Mihnah 'alal imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanhal. Beirut: Daarul Kutub al Hmiyyah.

    Batticaca, F. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.

    Karya Tulis Ilmiah. www.belbuk.com/asuhan-keperawatan-klien-dengan-gangguan-sistem.

    Diakses tanggal 24 Mei 2012.

    Blume, T. W., 2006.Becoming A Family Counselor. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.

  • 7/29/2019 Refleksi Kasus Pasien Interna

    9/9

    Burke, M. T., Chauvin, J. C., & Miranti, J. G. , 2005. Religious and Spiritual Issues in

    Counseling: Applications Across Diverse Populations. New York: Brunner-Routledge.

    Carson. Robert C., Butcher, James N. (1992). Abnormal Psychology and Modern Life.

    Ninth Edition. New York: Harpercollins Publisher.

    Departemen Agama Republik Indonesia. 2005. Al-Aliy: Al-Qur'an dan

    Terjemahannya. Bandung: Diponogoro.

    Gubernur Jawa Tengah. 20009. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun

    2009 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah

    Provinsi Jawa Tengah.

    Hasan, A. B. B. P.,2006.Psikologi Perkembangan Islami. PT.Raja Grafndo Persada, Jakarta.

    Hawari, D., 2005. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Fakultas Kedokteran

    Universitas Indonesia, Jakarta.

    Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik

    Indonesia Nomor : 812/Menkes/Sk/Vii/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif. Departemen

    Kesehatan, Jakarta.

    Purna, D. 2010. Hubungan Antara Kesabaran dengan Tingkat Depresi pada Penderita

    Paska Stroke. Skripsi-Universitas Muhammadiyah Surakarta

    Sutarto, D. 2010. Manfaatkan Golden Periode, Hindarkan Kecacatan Berat Akibat Stroke.

    Makalah-Universitas Yarsi. http://www.pdpersi.co.id. Diakses tanggal 24 Mei 2012.