Refrat Interna

57
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan penyakit yang banyak membutuhkan pengawasan baik dari pola makan, terapi, maupun komplikasinya. Salah satu komplikasi yang harus diwaspadai adalah kegawat daruratan hipoglikemia dan hiperglikemia yang harus segera mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat. Hipoglikemia adalah keadaan yang menunjukkan kadar glukosa darah di bawah normal, sebaliknya hiperglikemia adalah keadaan yang menunjukkan kadar glukosa darah di atas normal. Hipoglikemia dan hiperglikemia pada pasien diabetes mellitus tipe 1 (DMT 1) dan diabetes mellitus tipe 2 (DMT 2) merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Pengendalian glukosa darah yang baik dan lengkap didasarkan pada kondisi bebas dari hipoglikemia maupun hiperglikemia. Resiko hipoglikemia timbul akibat mekanisme dalam tubuh yang tidak sempurna dimana kadar insulin pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas

description

df

Transcript of Refrat Interna

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangDiabetes mellitus merupakan penyakit yang banyak membutuhkan pengawasan baik dari pola makan, terapi, maupun komplikasinya. Salah satu komplikasi yang harus diwaspadai adalah kegawat daruratan hipoglikemia dan hiperglikemia yang harus segera mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat. Hipoglikemia adalah keadaan yang menunjukkan kadar glukosa darah di bawah normal, sebaliknya hiperglikemia adalah keadaan yang menunjukkan kadar glukosa darah di atas normal. Hipoglikemia dan hiperglikemia pada pasien diabetes mellitus tipe 1 (DMT 1) dan diabetes mellitus tipe 2 (DMT 2) merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Pengendalian glukosa darah yang baik dan lengkap didasarkan pada kondisi bebas dari hipoglikemia maupun hiperglikemia. Resiko hipoglikemia timbul akibat mekanisme dalam tubuh yang tidak sempurna dimana kadar insulin pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman. Sedangkan resiko hiperglikemia timbul akibat adanya kadar gula dalam darah yang tidak terkontrol baik disebabkan karena pengawasan pengobatan dan pola makan yang tidak baik.Keadaan hipoglikemia dan hiperglikemia yang tidak terpantau dengan baik, dapat menyebabkan timbulnya kegawatan pada pasien diabetes mellitus. Kegawatan tersebut perlu mendapatkan penatalaksanaan yang tepat sehingga efek yang ditimbulakan tidak fatal hingga menyebabkan syok bahkan kematian.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAI. HipoglikemiaA. EpidemiologiHipoglikemia biasanya ditemukan pada pasien diabetes melitus. Sekitar 90% dari semua pasien yang menerima insulin mengalami episode hipoglikemia. Kejadian hipoglikemia sangat bervariasi, namun pada umumnya penderita diabetes mellitus tipe 1 memiliki rata-rata episode hipoglikemia simtomatik per minggu dan per tahun. Diperkirakan 2-4% dari mortalitas akibat diabetes melitus dikaitkan dengan hipoglikemia.Frekuensi hipoglikemia lebih rendah pada orang dengan diabetes mellitus tipe 2 dibandingkan tipe 1. Studi di Inggris menunjukkan bahwa pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 risiko hipoglikemia berat-rendah dalam beberapa tahun pertama (7%) dan meningkat menjadi 25% dalam perjalanan diabetes. Namun prevalensi diabetes mellitus tipe 2 adalah sekitar dua puluh kali lipat lebih tinggi dari diabetes mellitus tipe 1 dan banyak pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 akhirnya memerlukan pengobatan insulin, sehingga sebagian besar episode hipoglikemia terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2.

B. Patofisiologi Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh berlebihan. Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang terjadi setelah melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia juga dapat disebabkan antibodi pengikat insulin, yang dapat mengakibatkan tertundanya pelepasan insulin dari tubuh. Hipoglikemia juga dapat terjadi karena malproduksi insulin dari pankreas ketika terdapat tumor pankreas. Setelah hipoglikemia terjadi, efek yang paling banyak terjadi adalah naiknya nafsu makan dan stimulasi masif dari saraf simpatik yang menyebabkan takikardi, berkeringat, dan tremor.Ketika terjadi hipoglikemia tubuh sebenarnya akan terjadi mekanisme homeostasis dengan menstimulasi lepasnya hormon glukagon yang berfungsi untuk menghambat penyerapan, penyimpanan, dan peningkatan glukosa yang ada di dalam darah. Glukagon akan membuat glukosa tersedia bagi tubuh dan dapat meningkatkan proses glikogen dan glukoneogenesis. Akan tetapi, glukagon tidak memengaruhi penyerapan dan metabolisme glukosa di dalam sel (Carrol, 2007).

Gambar 1. Mekanisme regulasi glukosa pada tubuh manusia (Cryer, 2011).Selain itu, mekanisme tubuh untuk mengompensasi adalah dengan meningkatkan epinefrin, sehingga prekursor glukoneogenik dapat dimobilisasi dari sel otot dan sel lemak untuk produksi glukosa tambahan. Tubuh melakukan pertahanan terhadap turunnya glukosa darah dengan menaikkan asupan karbohidrat secara besar-besaran. Mekanisme pertahanan ini akan menimbukan gejala neurogenik seperti palpitasi, termor, adrenergik, kolinergik, dan berkeringat. Ketika hipoglikemia menjadi semakin parah maka mungkin juga dapat terjadi kebingungan, kejang, dan hilang kesadaran (Cryer, 2011).Hipoglikemia berat didefinisikan sebagai hipoglikemia yang tidak dapat di tangani oleh mekanisme homeostasis tubuh. Pada kondisi ini orang yang terkena hipoglikemia berat dapat kehilangan kesadaran atau merasa kebingungan. Walaupun penderita hipoglikemia berat akan terlihat sadar, tapi penderita akan terlihat lethargik (kelelahan) dan emosional. Hal ini disebabkan karena glukagon tidak dapat mengompensasi adanya insulin yang berlebihan. Sehingga terkadang ketika seseorang mengalami hipoglikemia berat dibutuhkan penyuntikkan glukagon. Penyuntikkan glukagon ini dapat diberikan dengan orang terdekat yang dilatih atau tenaga medis terlatih (Nelms et al, 2007).

C. Penegakkan DiagnosisMenurut Departement on Health and Human Service, secara harfiah hipoglikemia berarti kadar glukosa dalam darah menurun dari kadar normal. Walaupun kadar glukosa plasma pada puasa jarang melampaui 99mg/dl (5,5 mmol/L) tetapi kadar 330 mOsm/kg air menunjukkan defisit cairan yang berat.(12) Penentuan derajat dehidrasi dengan gejala klinis seringkali sukar dikerjakan, namun demikian beberapa gejala klinis yang dapat menolong untuk menentukan derajat dehidrasi adalah : - 5% : penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, takikardia - 10% : capillary rell time 3 detik, kelopak mata cekung- > 10% : pulsus arteri perifer lemah, hipotensi, syok, oliguria Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya adalah penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8 12 jam pertama dan sisanya dalam 12 16 jam berikutnya. Menurut perkiraan banyak ahli, total kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar 100 ml/kgBB, atau sebesar 5 8 liter. Pada pasien dewasa, terapi cairan awal langsung diberikan untuk ekspansi volume cairan intravaskular dan ekstravaskular dan menjaga perfusi ginjal. Terdapat beberapa kontroversi tentang jenis cairan yang dipergunakan. Tidak ada uji klinik yang membuktikan kelebihan pemakaian salah satu jenis cairan. Kebanyakan ahli menyarankan pemakaian cairan fisiologis (NaCl 0,9%) sebagai terapi awal untuk resusitasi cairan. Cairan fisiologis (NaCl 0,9%) diberikan dengan kecepatan 15 20 ml/kgBB/jam atau lebih selama jam pertama ( 1 1,5 liter). Sebuah sumber memberikan petunjuk praktis pemberian cairan sebagai berikut: 1 liter pada jam pertama, 1 liter dalam 2 jam berikutnya, kemudian 1 liter setiap 4 jam sampai pasien terehidrasi. Sumber lain menyarankan 1 1,5 lt pada jam pertama, selanjutnya 250 500 ml/jam pada jam berikutnya. Petunjuk ini haruslah disesuaikan dengan status hidrasi pasien. Pilihan cairan selanjutnya tergantung dari status hidrasi, kadar elektrolit serum, dan pengeluaran urine. Pada umumnya, cairan NaCl 0,45% diberikan jika kadar natrium serum tinggi (> 150 mEq/l), dan diberikan untuk mengkoreksi peningkatan kadar Na+ serum (corrected serum sodium) dengan kecepatan 4 14 ml/kgBB/jam serta agar perpindahan cairan antara intra dan ekstraselular terjadi secara gradual. Pemakaian cairan Ringer Laktat (RL) disarankan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi pada pemakaian normal saline dan berdasarkan strong- ion theory untuk asidosis (Stewart hypothesis).Sampai saat ini tidak didapatkan alasan yang meyakinkan tentang keuntungan pemakaian RL dibandingkan dengan NaCl 0,9%. Jika kadar Na serum rendah tetaplah mempergunakan cairan NaCl 0,9%. Setelah fungsi ginjal dinilai, infus cairan harus mengandung 20 30 mEq/l Kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat makan. Keberhasilan terapi cairan ditentukan dengan monitoring hemodinamik (perbaikan tekanan darah), pengukuran cairan masuk dan keluar, dan pemeriksaan klinis. Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan dalam jangka waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak melebihi 3 mOsm/kgH 2O/jam. Pada pasien dengan kelainan ginjal, jantung atau hati terutama orang tua, harus dilakukan pemantauan osmolalitas serum dan penilaian fungsi jantung, ginjal, dan status mental yang berkesinambungan selama resusitasi cairan untuk menghindari overload cairan iatrogenik. Untuk itu pemasangan Central Venous Pressure (CVP) monitor dapat sangat menolong. Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan diganti atau ditambahkan dengan cairan yang mengandung dextrose seperti (dextrose 5%, dextrose 5% pada NaCl 0,9%, atau dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan mengurangi kemunginan edema serebral akibat penurunan gula darah yang terlalu cepat.

Tabel 2. Perkiraan jumlah total defisit air dan elektrolit pada pasien KAD

b. Terapi Insulin Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang memadai. Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah diagnosis KAD ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai. Pemakaian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus intravena, intramuskular, ataupun subkutan. Sejak pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. Cara ini dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit. Pemberian insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi pilihan pada KAD yang disebutkan oleh beberapa literatur, sedangkan ADA menganjurkan insulin intravena tidak diberikan pada KAD derajat ringan. Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB, diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5 7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan dapat mengakibatkan aritmia jantung. Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan kecepatan 50 75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih tinggi. Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai tercapai penurunan gula darah konstan antara 50 75 mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05 0,1 u/kgBB/jam (3 6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5 10%. Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik. Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4 0,6 iu)/ kgBB yang terbagi menjadi setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara intramuskular atau subkutan 0,1 iu/kgBB/ jam, selanjutnya protokol penatalaksanaannya sama seperti pemberian drip intravena. Perbaikan ketonemia memerlukan waktu lebih lama daripada hiperglikemia. Pengukuran langsung -OHB (beta hidroksi butirat) pada darah merupakan metoda yang lebih disukai untuk pemantauan KAD. Selama terapi -OHB berubah menjadi asam asetoasetat, yang menandakan bahwa ketosis memburuk. Selama terapi KAD harus diperiksa kadar elektrolit, glukosa, BUN, serum kreatinin, osmolalitas, dan derajat keasaman vena setiap 2 4 jam, sumber lain menyebutkan bahwa kadar glukosa kapiler diperiksa tiap 1 2 jam. Pada KAD ringan, insulin regular dapat diberikan secara subkutan atau intramuskular setiap jam dengan efektifitas yang sama dengan pemberian intravena pada kadar gula darah yang rendah dan keton bodies yang rendah. Efektifitas pemberian insulin dengan intramuskular dan subkutan adalah sama, namun injeksi subkutan lebih mudah dan kurang menyakitkan pasien. Pasien dengan KAD ringan harus mendapatkan priming dose insulin regular 0,4 0,6 u/kgBB, setengah dosis sebagai bolus dan setengah dosis dengan subkutan atau injeksi intramuskular. Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau intramuskular 0,1 u/kgBB/jam. Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl, serum bikarbonat 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap 12 mEq/l. Saat ini, jika pasien NPO, lanjutkan insulin intravena dan pemberian cairan dan ditambah dengan insulin regular subkutan sesuai keperluan setiap 4 jam. Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 iu insulin tambahan setiap kenaikan gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat ditingkatkan 20 iu untuk gula darah 300 mg/dl. Ketika pasien mendapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan memakai kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau long acting insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah. Lebih mudah untuk melakukan transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi sebelum makan atau saat makan malam. Teruskan insulin intravena selama 1 2 jam setelah pergantian regimen dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang adekuat. Penghentian insulin tiba-tiba disertai dengan pemberian insulin subkutan yang terlambat dapat mengakibatkan kontrol yang buruk, sehingga diperlukan sedikit overlapping pemberian insulin intravena dan subkutan. Pasien yang diketahuidiabetes sebelumnya dapat diberikan insulin dengan dosis yang diberikan sebelum timbulnya KAD dan selanjutnya disesuaikan seperlunya. Pada pasien DM yang baru, insulin awal hendaknya 0,5 1,0 u/ kgBB/hari, diberikan terbagi menjadi sekurangnya 2 dosis dalam regimen yang termasuk short dan long acting insulin sampai dosis optimal tercapai, duapertiga dosis harian ini diberikan pagi hari dan sepertiganya diberikan sore hari sebagai split-mixed dose.

c. Penatalaksaan terhadap Infeksi yang Menyertai Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap faktor pencetus terjadinya KAD. Jika faktor pencetus infeksi belum dapat ditemukan, maka antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas.d. Terapi Pencegahan terhadap Deep Vein Thrombosis (DVT) Terapi pencegahan DVT diberikan terhadap penderita dengan risiko tinggi, terutama terhadap penderita yang tidak sadar, immobilisasi, orang tua, dan hiperosmolar berat. Dosis yang dianjurkan 5000 iu tiap 8 jam secara subkutan. Gambar 3. Bagan penatalaksanaan KAD

8. Pemantauan TerapiSemua pasien KAD harus mendapatkan evaluasi laboratorium yang komprehensif termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan profil kimia termasuk pemeriksaan elektrolit dan analisis gas darah. Pemberian cairan dan pengeluaran urine harus dimonitor secara hati-hati dan dicatat tiap jam. Pemeriksaan EKG harus dikerjakan kepada setiap pasien, khususnya mereka dengan risiko kardiovaskular.Terdapat bermacam pendapat tentang frekuensi pemeriksaan pada beberapa parameter yang ada. ADA merekomendasikan pemeriksaan glukosa, elektrolit, BUN, kreatinin, osmolalitas dan derajat keasaman vena tiap 2 4 jam sampai keadaan stabil tercapai. Sumber lain menyebutkan pemeriksaan gula darah tiap 1 2 jam, elktrolit setiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan, analisis gas darah; bila pH 7,1 selanjutnya setiap hari sampai stabil, kemudian cek juga tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan, temperatur, keadaan hidrasi, balans cairan dan waspada kemungkinan DIC.Pemeriksaan kadar gula darah yang sering adalah penting untuk menilai efikasi pemberian insulin dan mengubah dosis insulin ketika hasilnya tidak memuaskan. Ketika kadar gula darah 250 mg/dl, monitor kadar gula darah dapat lebih jarang (tiap 4 jam). Kadar elektrolit serum diperiksa dalam interval 2 jam sampai 6 8 jam terapi. Jumlah pemberian kalium sesuai kadar kalium, terapi fosfat sesuai indikasi. Titik terendah kadar kalium dan fosfat pada saat terapi terjadi 4-6 jam setelah mulainya terapi.9. KomplikasiKomplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah perbaikan tanpa diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah membaik mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan saline yang berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gap metabolic acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti garam natrium dan kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokemikal ini terjadi sementara dan tidak ada efek klinik signifikan kecuali pada kasus gagal ginjal akut atau oliguria ekstrem.Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa. Tidak didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema serebri pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran, letargi, penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan respirasi.

Tabel 3. Komplikasi Akibat Penatalaksanaan KADMeskipun mekanisme edema serebri belum diketahui, tampaknya hal ini merupakan akibat dari masuknya cairan ke susunan saraf pusat lewat mekanisme osmosis, ketika osmolaritas plasma menurun secara cepat saat terapi KAD. Pencegahan yang tepat dapat menurunkan risiko edema serebri pada pasien risiko tinggi, diantaranya penggantian cairan dan natrium secara bertahap pada pasien yang hiperosmolar (penurunan maksimal pada osmolalitas 2 mOsm/kgH2O/jam), dan penambahan dextrose untuk hidrasi ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl. Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak dapat sebagai komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan tekanan koloid osmotik yang merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan penurunan compliance paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai gradient oksigen alveolo-arteriolar yang lebar yang diukur pada awal pemeriksaan analisa gas darah atau dengan ronki pada paru pada pemeriksaan fisik tampaknya mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru.10. Diagnosis Bandinga. Hyperglicemic Hyperosmolar StateIalah suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hyperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis disertai penurunan kesadaran. Gejala klinik HHS sulit dibedakan dengan KAD terutama dari hasil laboratorium seperti kadar gula darah, keton, dan keseimbangan asam-basa belum diketahui hasilnya. Gejala klinik yang dapat dijadikan pegangan agar dapat membedakan KAD dengan HHS:1) Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu sekitar >60 tahun, semakin muda,semakin berkurang dan belum pernah ditemukan pada anak.2) Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM, atau diabetes tanpapengobatan insulin.3) Mempunyai penyakit dasar lain. Sekitar 80% penderita HHS mempunyaipenyakit ginjal dan kardiovaskular, tirotoksikosis dan penyakit cushing.4) Sering disebabkan obat-obatan antara lain tiazid, sterois, haloperidol,simetidin, dll5) Mempunyai factor pencetus seperti penyakit kardiovaskular, pankreatitis,operasi.Pemeriksaan dapat membantu membedakan KAD dengan HHS, adapunperbandingan hasil pemeriksaan KAD dengan HHS sebagaimana terlampirpada tabel 2.Angka kematian pada HHS lebih banyak dibandingkan KAD karena insidenlebih sering pada usia lanjut dan berhubungan dengan penyakit kardiovaskulardan dehidrasi. Angka kematian pada HHS sekitar 30-50%.b. Asidosis laktatMerupakan komplikasi yang sangat jarang akaibat terapi dengan metformin. Pasien datang biasanya dengan gejala malaise, anoreksia, muntah, pernapasankussmaul (cepat dan dalam). Kadar glukosa biasanya normal, tidak ditemukanbenda keton dalam urin, dan analis gas darah menunjukkan asidosis berat, aniongap meninggi. Terapi bersifat suportif dengan menghentikan penggunaan metformin.11. PencegahanFaktor pencetus utama KAD ialaha pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada system pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek, diare, demam, luka). Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada penatalaksanaan DM secara komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik dan akut melalui edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik.Khusus mengenai pencegahan KAD dan Hipoglikemia, program edukasi perlu menekankan pada cara-cara mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi mengenai pemberian insulin kerja cepat, target kadar glukosa darah pada saat sakit, mengatasi demam dan infeksi, memulai pemberian makanan cair mengandung karbohidrat dan garam yang mudah dicerna. Yang paling penting adalah agar tidak menghentikan pemberian insulin atau obat hiperglikemik oral dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau nasihat tenaga kesehatan yang professional. Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa sakit, dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah dan keton urin sendiri.12. PrognosisPada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu tinggi dan kadarhormon insulin yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumberenergi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak untuk sumber energi.Pemecahan lemak tersebut akan menghasilkan benda-benda keton dalam darah (ketosis). Ketosis menyebabkan derajat keasaman (pH) darah menurun atau disebutsebagai asidosis. Keduanya disebut sebagai ketoasidosis. Oleh karena itu prognosis pada KAD masih tergolong dubia, tergantung pada usia,adanya infark miokard akut, sepsis, syok. Pasien membutuhkan insulin dalam jangkapanjang dan kematian pada penyakit ini dalam jumlah kecil sekitar 5%.B. Hiperosmolar Non Ketotik (HONK)1. DefinisiHiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah suatu komplikasi akut dari diabetes melitus di mana penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma. Ini terjadi pada penderita diabetes tipe II. HONK merupakan sindrom berkaitan dengan kekurangan insulin secara relative, paling sering terjadi pada panderita NIDDM. Secara klinik diperlihatkan dengan hiperglikemia berat yang mengakibatkan hiperosmolar dan dehidrasi, tidak ada ketosis/ada tapi ringan dan gangguan neurologisHONK adalah keadaan koma akibat dari komplikasi diabetes melitus di mana terjadi gangguan metabolisme yang menyebabkan: kadar gula darah sangat tinggi, meningkatkan dehidrasi hipertonik dan tanpa disertai ketosis serum, biasa terjadi pada DM tipe II. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik NonKetotik ialah suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis, disertai penurunan kesadaran. Menurut Hudak dan Gallo (edisi VI) koma hiperosmolar adalah komplikasi dari diabetes yang ditandai dengan : a. Hiperosmolaritas dan kehilangan cairan yang hebat. b. Asidosis ringan. c. Sering terjadi koma dan kejang lokal.d. Kejadian terutama pada lansia.e. Angka kematian yang tinggi. 2. Etiologia. Insufisiensi insulin 1) DM, pankreatitis, pankreatektomi2) Agen pharmakologic (phenitoin, thiazid)b. Increase exogenous glukose1) Hiperalimentation (tpn)2) High kalori enteral feedingc. Increase endogenous glukosa1) Acute stress (ami, infeksi)2) Pharmakologic (glukokortikoid, steroid, thiroid)d. Infeksi: pneumonia, sepsis, gastroenteritis.e. Penyakit akut: perdarahan gastrointestinal, pankreatitits dan gangguan kardiovaskular.f. Pembedahan/operasi.g. Pemberian cairan hipertonik.h. Luka bakar.

Faktor risiko:a. Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun) b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman, atau IMT>27 (kg/m2) c. Tekanan darah tinggi (TD > 140/90 mmHg) d. Riwayat keluarga DM e. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram f. Riwayat DM pada kehamilan g. Dislipidemia (HDL250 mg/dl) h. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)

3. Manifestasi KlinikTanda dan gejala umum pada klien dengan HHNK adalah haus, kulit terasa hangat dan kering, mual dan muntah, nafsu makan menurun, nyeri abdomen, pusing, pandangan kabur, banyak kencing, mudah lelah.Gejala-gejala meliputi :a. Agak mengantuk, insiden stupor atau sering koma.b. Poliuria selam 1 -3 hari sebelum gejala klinis timbul.c. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau napas.d. Penipisan volume sangat berlebihan (dehidrasi, hipovolemi).e. Glukosa serum mencapai 600 mg/dl sampai 2400 mg/dl.f. Kadang-kadang terdapat gejala-gejala gastrointestinal.g. Hipernatremia.h. Kegagalan mekanisme haus yang mengakibatkan pencernaan air tidak adekuat.i. Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal (disorientasi, kejang setempat).j. Kerusakan fungsi ginjal.k. Kadar HCO3 kurang dari 10 mEq/L.l. Kadar CO2 normal.m. Celah anion kurang dari 7 mEq/L.n. Kalium serum biasanya normal.o. Tidak ada ketonemia.p. Asidosis ringan.

4. PatofisiologiSindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan glycogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan intraselluler. Bila klien tidak merasakan sensasi haus akan menyebabkan kekurangan cairan.Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga timbul glycosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan ( poliuria ). Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan dan diikuti hilangnya potasium, sodium dan phospat.Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik.Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia.Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem saraf pusat karena ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma.Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas darah dimana dapat mengakibatkan pembentukan bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral, jan5. Komplikasia. Koma.b. Gagal jantung.c. Gagal ginjal.d. Gangguan hati.6. Penatalaksanaan Medisa. Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan mengunkan cairanNACL bisa diberikan cairan isotonik atau hipotonik normal diguyur 1000 ml/jam sampai keadaan cairan intravaskular dan perfusi jaringan mulai membaik, baru diperhitungkan kekurangan dan diberikan dalam 12-48 jam. Pemberian cairan isotonil harus mendapatkan pertimbangan untuk pasien dengan kegagalan jantung, penyakit ginjal atau hipernatremia.Gklukosa 5% diberikan pada waktu kadar glukosa dalam sekitar 200-250 mg%.b. InsulinPada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien hipersemolar hiperglikemik non ketotik sensitif terhadap insulin dan diketahui pula bahwa pengobatan dengan insulin dosis rendah pada ketoasidosis diabetik sangat bermanfaat. Karena itu pelaksanaan pengobatan dapat menggunakan skema mirip proprotokol ketoasidosis diabetikc. KaliumKalium darah harus dipantau dengan baik. Bila terdapat tanda fungsi ginjal membaik, perhitungan kekurangan kalium harus segera diberikand. Hindari infeksi sekunderHati-hati dengan suntikan, permasalahan infus set, kateter

7. Pathway

< hormon insulin > hormon glukagon

akumulasi glukosa di plasma glikogenesis

transport kadar glukosa plasma glukosa ke sel hiperglikemia hemokonsentrasi

makanan sel < glikosuria viskositas darah tromboemboli

poliphagia diuresis osmotik >> gang. transport O2 hipertrofi ventrikel

poliuria iskemia jaringan Gagal Jantung

kehilangan cairan >> nekrosis otak

potasium,sodium, Koma G3 perfusi jaringan

phospat

imbalance elektrolit metabolisme anaerob kesadaran

merangsang dehidrasi asam laktat pusat hausJalan napas efektif

hiperosmolar fatigue polidipsiIntoleransi aktivitas

hipovolume

Vol. cairan < dari kebutuhan

BAB IIIKESIMPULAN

a. Hipoglikemia adalah keadaan yang menunjukkan kadar glukosa darah berada di bawah normal. b. Hipoglikemia dibagi menjadi tiga yaitu hipoglikemia pasca-makan, hipoglikemia puasa, dan hipoglikemia pasien rawat inap.c. Hipoglikemia disebabkan karena glukagon tidak dapat mengkompensasi insulin yang berlebihan.d. Manajemen hipoglikemia disesuaikan dengan tingkat keparahannya.e. Prognosis hipoglikemia dapat dinilai dari penyebab, nilai glukosa darah, dan waktu onset.f. Hyperglikemia, Hiperosmolar Non Ketogenik adalah sindrom berkaitan dengan kekurangan insulin secara relative, paling sering terjadi pada panderita NIDDM. g. Angka kematian HHNK 40-50%, lebih tinggi dari pada diabetik ketoasidosis. Karena pasien HHNK kebanyakan usianya tua dan seringkali mempunyai penyakit lain.h. Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. i. Penurunan insulin menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma. j. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan glycogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa plasma. k. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan hiperosmolar. l. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan intraseluler

m. KAD adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis yang merupakan salah satu komplikasi akut metabolik diabetes mellitus yang paling serius dan mengancam nyawa. Walaupun angka insidennya di Indonesia tidak begitu tinggi dibandingkan negara barat, kematian akibat KAD masih sering dijumpai, dimana kematian pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan patofisiologinya. n. Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid, dan yang terpenting adalah pemantauan pasien terus menerus. Penatalaksanaan KAD meliputi terapi cairan yang adekuat, pemberian insulin yang memadai, terapi kalium, bikarbonat, fosfat, magnesium, terapi terhadap keadaan hiperkloremik serta pemberian antibiotika sesuai dengan indikasi. Faktor yang sangat penting pula untuk diperhatikan adalah pengenalan terhadap komplikasi akibat terapi sehingga terapi yang diberikan tidak justru memperburuk kondisi pasien.

Daftar Pustaka

Anonymous. 2013. Hypoglycemia (Low Blood Sugar). California: Lucile Packard Childrens Hospital. available at {http://www.lpch.org/DiseaseHealthInfo/HealthLibrary/diabetes/hypo.html} diakses 7 Oktober 2013 pukul 19:00Carrol, Robert G. 2007. Elseviers Integrated Physiology. Philadelphia: Mosby Elsevier.Cryer, Philip E. 2011. Hypoglicemia During Therapy of Diabetes. Tersedia di diakses pada Kamis 3 Oktober 2013 21.22.Hamdy, O. 2013. Hypoglycemia. US: Harvard Medical Schoolavailable at {http://emedicine.medscape.com/article/122122-overview#aw2aab6b2b6} diakses 7 Oktober 2013 pukul 18:52Longo, Dan L, et al. 2011. Harrisons Principles of Internal Medicine 18th Edition. New York; McGraw-Hill Medical Publishing Divison.Manucci et al,. 2006. Incidence and prognostic significance of hypoglycemia in hospitalized non-diabetic elderly patients. USA: NCBI available at {http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17167310} diakses 7 Oktober 2013 pukul 18:40Nelms, Marcia, Kathryn P. Sucher., dan Sara Long. 2007. Nutrition Therapy and Pathophysiology. Belmont: Thomson Learning Inc.Silbernagl, Stefan, dan Florian Lang. 2010. Color Atlas of Pathophysiology 2nd Ed. New York: Thieme.Soemadji, DjokoWahono. 2009. BukuAjarIlmuPenyakitDalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.Sutanegara, Dwi. 2000. The epidemiology and management of diabetes mellitus in Indonesia. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4.. Jakarta: EGC.Asman. 1996. .Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: balai penerbit FKUI.

1. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. p.1874-7. 2. Van Zyl DG. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis. SA Fam Prac 2008;50:39-49. 3. Masharani U. Diabetic Ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Lange current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange; 2010. p.1111-5. 4. Chiasson JL. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis and The Hyperglycemic Hyperosmolar State. Canadian Medical Association Journal 2003;168(7): p.859-66. 5. Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and Management of Diabetic Ketoacidosis in Adults. Hospital Physician 2008. p. 21-35. 6. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15(1):28-35. 7. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crisis in Diabetes. Diabetes Care 2004;27(1):94- 102. 8. Alberti KG. Diabetic Acidosis, Hyperosmolar Coma, and Lactic Acidosis. In: Becker KL, editor. Principles and practice of endocrinology and metabolism. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p.1438-49. 9. Ennis ED, Kreisberg RA. Diabetic Ketoacidosis and The Hyperglycemic Hyperosmolar Syndrome. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors. Diabetes mellitus a fundamental and clinical text. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2000. p.336-46. 10. Wallace TM, Matthews DR. Recent Advances in The Monitoring and Management of Diabetic Ketoacidosis. Q J Med 2004;97(12):773-80. 11. Trachtenbarg DE. Diabetic Ketoacidosis. American Family Physician 2005;71(9): 1705-14. 12. Kitabachi AE, Wall BM. Management of Diabetic Ketoacidosis. American Family Physician 1999;60:455-64.13. Wolfsdore JW, Glaser N, Sperling MA. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents. Diabetes Care 2006;29(5):1150-6. 14. Powers AC. Diabetes Mellitus. In: Jameson JL, editor. Harrisons endocrinology. New York: McGraw-Hill;2006.p.283-332. 15. Guneysel O, Guralp I, Onur O. Bicarbonate Therapy in Diabetic Ketoacidosis. Bratisl Lek Listy 2009;109(10):453-4. NN. Diabetic Ketoacidosis, Epistaxis, Sepsis, Dyspneu. The medical student forum. Available at: http//.www.medkaau.com. Accessed on: September 23rd, 2012.

1. Hubungan antara diabetes melitus dengan hipoglikemiHiperinsulinisme dan takut makan.2. Hubungan thiamin dan alkohol dan hipoglikemi. Alkohol akan meningkatkan metabolisme karbohidrat, thiamin adalah anti-dotum untuk alkohol.3. Hipoglikemi pasca-makan normal atau abnormalAbnormal, biasanya karena hiperinsulinisme.

Penegakan diagnois hipoglikemia: TRIAS WHIPPLE

39