INTERNA ISI.doc
Transcript of INTERNA ISI.doc
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn.Hr Nama RS : RSUD Labuang Baji
Tanggal lahir : 2 Februari 1992
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Makassar
No.RM : 284915
Tanggal Pemeriksaan : 1 Oktober 2013
Dokter Jaga : dr. Masnah
Dokter Muda : Andi Firman Mubarak
1.2 DATA SUBJEKTIF
- Anamnesis : Autoanamnesis
- Keluhan Utama : Demam
- Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak ± 7 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit dan memberat 2 hari
terakhir, terus menerus meningkat saat sore dan malam hari. demam turun saat
siang hari tapi tidak sampai normal, badan selalu terasa hangat. Tidak ada keringat
malam, tidak ada perdarahan spontan.
- Tidak ada menggigil, tidak ada kejang. Pasien juga merasa sakit kepala,
terasa seperti dibebat dirasakan bersamaan dengan adanya demam.
- Tidak ada batuk, tidak ada lendir, tidak ada sesak.
- Ada mual tetapi tidak muntah dan pasien merasa nyeri pada perut di daerah
tengah perut dan tidak menjalar, nyeri perut dirasakan hilang timbul dan sifat
nyeri tumpul. Nyeri perut dialami bersamaan dengan demam.
BAB : Biasa kuning,belum 2 hari ini
BAK : Lancar kuning, kesan normal
1
Riwayat :
- Riwayat penyakit sebelumnya dengan keluhan yang sama tidak ada
- Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga ada yaitu adik kandung sekitar 3
minggu yang lalu.
- Riwayat minum obat penurun panas paracetamol tapi tidak ada perubahan.
- Riwayat kebiasaan makan tidak jelas
1.3 DATA OBJEKTIF
- Status present
Kesadaran : Composmentis
Derajat sakit : Sakit sedang
Status Gizi : Gizi baik BB = 49 Kg, TB = 150 Cm, IMT = 21,7 Kg/M2
- Tanda Vital
Tensi : 90/60 mmHg
Nadi : 100x/i
Pernafasan : 20x/i
Suhu : 38,1oC
- Kepala
Ekspresi : Biasa
Deformitas : Tidak ada
Simetris Muka : Kiri sama dengan kanan
Rambut : Hitam lurus sukar dicabut
- Mata
Eksoptalmus / Enoptalmus : Tidak ada
Gerakan : Dalam batas normal
Tekanan bola mata : Tn - Tn
Kelopak mata : Tidak ada edema palpebra
Konjungtiva : Tidak ada anemi
Kornea : Jernih, Refleks ada
2
Sklera : Ikterus Tidak ada
Pupil : Bulat, Isokor Ɵ 2,5mm
- Telinga
Tophi : Tidak ada
Pendengaran : Dalam batas normal
Nyeri Tekan di Prosesus Mastoideus : Tidak ada
- Hidung
Perdarahan : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
- Mulut
Bibir : Tidak sianosis, tidak kering
Tonsil : T1 – T1 Tidak hiperemis
Faring : Tidak hiperemis
Lidah : Ada lidah kotor (Tengah lidah putih, tepi lidah hiperemis)
Gigi geligi : Tidak ada caries
Gusi : Tidak ada perdarahan
- Leher
Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran
Kelenjar Gondok : Tidak ada pembesaran
DVS : R – 1 CmH2O
Pembuluh Darah : Tidak ada
Kaku Kuduk : Tidak ada
Tumor : Tidak ada
- Dada
Inspeksi : Simetris kiri sama dengan kanan
Bentuk : Normochest
3
Pembuluh darah : Tidak ada siper nevi
Buah dada : Dalam batas normal
Sela Iga : Tidak ada retraksi
Lain – lain : Tidak ada massa tumor, tidak ada nyeri tekan
- Paru
Palpasi : Fremitus raba : Kiri sama dengan kanan
: Nyeri tekan : Tidak ada
: Massa tumor : Tidak ada
Perkusi : Paru kiri : Sonor
: Paru kana : Sonor
: Batas paru - hepar : ICS VI Dekstra
: Batas paru belakang kanan : Vertebra Thorakal IX Dekstra
: Batas paru belakang kiri : Vertebra Thorakal X Sinistra
Auskultasi : Bunyi pernafasan : Vesikuler
: Bunyi tambahan : Tidak ada ronkhi,
tidak ada wheezing
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan : Linea parasternalis Dekstra
: Batas Kiri : Linea midclavicula Sinistra
: Batas Atas : ICS II Sinistra
: Batas Bawah : ICS V Sinistra
Auskultasi : BJ I/II : Murni Reguler
: Bunyi tambahan : Bising tidak ada
- Perut
Inspeksi : Datar ikut gerak nafas, Tidak ada caput medusa.
Palpasi : Ada nyeri tekan, di bagian tengah perut, tidak ada massa tumor
4
: Hati : Tidak teraba
: Limpa : Tidak teraba
: Ginjal : Tidak ada ballotement
: Lain – lain : Asites tidak ada
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Ada peristaltik, kesan menurun
- Punggung
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa tumor, tidak ada
deformitas
Nyerei ketok : Tidak ada
Auskultasi : Tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing
Gerakan : Dalam batas normal
Lain – lain : Tidak ada skoliosis
- Ekstremitas
Edema : Tidak ada
Eritema palmaris : Tidak ada
Rumpeleede test : Tidak ada
- Laboratorium
Darah rutin : Eritrosit 3.800.000
Trombosit 230.000
WBC 26.000
Hemoglobin 11,5 Gr/dl
Hematokrit 37%
Widal : Salmonella tyhpi O 1 / 320
: Salmonella typhi H 1 / 80
: Salmonella para typhi A (H) 1 / 80
: Salmonella para typhi B (H) 1 / 80
5
1.4 ASSESMENT
Demam Typhoid
1.5 PLANNING
- Pengobatan : Tirah baring
Makanan lunak rendah serat
IVFD RL 28 TPM
Paracetamol 500 MG 4 X 1 Tab
Cefriaxone 3Gr/24 jam/Intravenous
- Rencana Pemeriksaan : Darah Rutin
1.6 PROGNOSIS
- Ad Functionam : Dubia et Bonam
- Ad Sanationam : Dubia et Bonam
- Ad Vitam : Dubia et Bonam
1.7 RESUME
Seorang wanita 21 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan
demam, dialami sejak ± 7 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit dan
memberat 2 hari terakhir, terus menerus meningkat saat sore dan malam
hari. demam turun saat siang hari tapi tidak sampai normal, badan selalu
terasa hangat. Pasien juga merasa sakit kepala, terasa seperti dibebat
dirasakan bersamaan dengan adanya demam. Pasien juga merasa mual
tetapi tidak muntah dan pasien merasa nyeri pada perut di daerah tengah
perut dan tidak menjalar, nyeri perut dirasakan hilang timbul dan sifat
nyeri tumpul. Nyeri perut dialami bersamaan dengan demam. Buang air
besar biasa kuning,belum 2 hari ini, buang air kecil lancar kuning, kesan
normal. Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga ada yaitu adik
kandung sekitar 3 minggu yang lalu. Riwayat minum obat penurun panas
paracetamol tapi tidak ada perubahan. Riwayat kebiasaan makan tidak
jelas
6
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran pasien
composmentis, sakit sedang, gizi baik IMT 21,7 Kg/M2. Tanda vital tensi
90/60 mmHg, nadi 100x/I, pernafasan 20x/I dan suhu 38,10C. Pada
pemeriksaan mulut didapatkan lidah kotor (tengah lidah kotor, tepi lidah
hiperemis). Pada pemeriksaan thoraks, pulmo dan cor tidak didapatkan
kelainan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan di bagian
tengah perut dan sifat nyeri tumpul. Hasil laboratorium darah rutin
menunjukkan leukositosis yaitu 26.000, dan Widal Salmonella typhi O
1/320, salmonella typhi H 1/80, salmonella para typhi A (H) 1/80 dan
salmonella para typhi B (H) 1/80. Dari hasil pemeriksaan tersebut di atas
pasien ini didiagnosis dengan Demam Typhoid. Saat ini pasien telah
mendapatkan terapi berupa tirah baring, diet makanan lunak rendah serat,
IVFD RL 28 Tpm, paracetamol 500 Mg 4X1 tab, ceftriaxone 3Gr/24
jam/intravenous. Dengan rencana pemeriksaan berikutnya adalah kontrol
darah rutin. Prognosis dari pasien ini ad functionam dubia at bonam, ad
sanationam dubia et bonam dan ad vitam dubia et bonam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
2.1 DEFINISI
Demam typhoid adalah sistemik akut yang disebabkan oleh bakteri
salmonella typhi dan salmonella paratyphi.1
2.2 ETIOLOGI
Salmonella typhi merupakan basil gram-negatif, bersifat aerobic, bergerak
dengan rambut getar dan bersifat tidak berspora. Kuman ini mempunyai 3 macam
antigen 1
Antigen O (somatic), terletak pada lapisan luar yang mempunyai komponen
protein, lipopolisakarida (LPS) dan lipid. Sering disebut endotoksin.
Antiegn H (flagella), terdapat pada flagella, fimbriae dan pili dari kuman ,
berstruktur kimia protein.
Antigen Vi (antigen permukaan), pada selaput dinding kuman untuk melindungi
fagositosis dan berstruktur kimia protein.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Surveilans Departemen Kesehatan RI. Frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan
jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. 2
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait
dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (jawa barat) 157 kasus per 100.000
penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.
Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih
yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang
kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. 2
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun
1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.2
8
2.4 PATOGENESIS
Demam tifoid dan paratifoid tipe A, B, dan C disebabkan oleh Salmonella
enterica serovar typhi (S.typhi) dan serovar paratyphi A,B,dan C. Demam tifoid
yang disebabkan oleh S.typhi sangat menarik terutama oleh antigen yang terdapat
pada permukaan kapsulnya. Terdapat empat komponen antigenic pada S.typhi 1)
capsular Vi polyasaccharide yang terdapat pada lapisan luar yang kedua adalah
Lipopolyscacharidae (LPS) mangandung 2 determinan antigen dikenal sebagai
endotoksin merupakan rantai heteropolisakarida unit oligosakarida (O antigen)
yang terjalin ke inti melalui asam heteroligosakarida yang kovalen dalam
rangkaian lipiodal, acetylated glucosamine disaccharidae (lipid A) yang ketiga
adalah Flagella protein dikenal sebagai antigen H, mempunyai 2 bentuk fase 1 dan
fase 2, fase 1 antigennya lebih spesifik untuk S.typhi, flagella mengandung protein
disebut flagellin yang merupakan bagian yang penting dalam respon imun dan
yang ke empat adalah Outer Membrane Proteins (OMPs) proteinya terdiri atas
porin dan nonporin, protein porin berada di antara 2 lapis lipid pada permukaan
S.typhi berperan langsung pada proses pathogenesis dan merupakan antigen yang
penting terhadap respon imun host. Termasuk protein porin OmpB, C, D dan F
yang bersifat hidrofilik. Protein nonporin terdiri atas OmpA, termasuk lipoprotein
yang berperan sebagai reseptor bakteriosin dan juga mempunyai peran penting
untuk mempertahankan morfologi serta intergritas, membrane luar berinteraksi
dengan peptidoglikan. Munculnya penyakit infeksi demam tifoid terkait dengan
kelemahan sistem imun. Tingkat respon ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu: intensitas infeksi, faktor–faktor yang berkaitan dengan intensitas respons,
imun dari host, keadaan status sel T, fungsi sel T dan mungkin yang terpenting
adalah faktor genetik yang berinteraksi dengan faktor lain untuk menentukan hasil
akhir dari penyakit. Human leukocyte antigens ( HLA ) mempunyai pernan
penting dalam interkasi dari sel ke sel dalam kerangka sisten imun. 1
9
Gambar 1 : Diagram patogenesis demam tyfoid
Kuman Salmonella typhi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan
yang tecemar, kemudian kuman menembus mukosa usus masuk ke kelenjar limfe
usus. Kuman berkembang biak, kemudian melalui duktus torasikus masuk ke
dalam peredaran darah menuju sistem retikuloendotelial seperti hati, limfa dan
sumsusm tulang. Ini merupakan bakteremia yang pertama terjadi dalam 24-72 jam
setelah kuman masuk dan biasanya jarang terdiagnosis oleh karena penderita
belum menunjukkan gejala klinis. Bakteremia yang pertama yang hanya
sementara dan segera berakhir setelah kuman ini tidak hancur oleh fagositosis
oleh karena terlindung oleh kapsul Vi. Di dalam organ-organ ini kuman masih
terus berkembang biak dengan pesat, proses ini berlangsung selama 7 sampai 10
10
hari. Selanjutnya kuman masuk kembali kedalam peredaran darah dan
menimbulkan bakteremia yang kedua. 1,5,6
Adanya antigen dari kuman ini akan merangsang limfosit T mengeluarkan
suatu zat machrophag activating factor (MAF) yang mempengaruhi perubahan
morfologi pada makrofag dan mengakibatkan metabolisme yang sangat aktif,
lebih giat mematikan dan mencernakan bakteri. Makrofag pada keadaan ini
disebut angry macrofag. Pada mulanya kuman Salmonella typhi sangat sukar
difagositosis karena melindungi kapsel Vi, baru setelah beberapa lama kuman
berada didalam tubuh penderita terjadi perubahan pada kapsel Vi, (tidak diketahiu
sebabnya) sehingga kuman sekarang berhasil difagositosis (dicerna) oleh
makrofag. 1
Pada stadium bakteremia yang kedua ini kuman yang hancur akan
melepaskan endotoksin yaitu suatu kompleks lipopolisaksarida yang selanjutnya
akan mengaktifkan komplemen dan merangsang pelepasan pirogen endogen dari
sel PMN, makrofag dan sel sistem retikuloendotelial lainnya. Pirogen endogen ini
akan mempengaruhi pusat pengaturan suhu tubuh di hipotalamus dan
menimbulkan gejala demam. Secara singkat bahwa S.typhi menembus mukosa
yang rusak melalui bercak peyer dan kelenjar getah bening mesenterium untuk
masuk kedalam alirah darah dan menyebabkan infeksi sistemik , dan nakteri yang
berkembang bika dalam lumen usus atau kandung mepedu tidak dapat diakses
oleh pertahanan imun penjam, termasukIgA sekretorik. 1,7
Makrofag yang telah aktif memfagosit kuman akan mengeluarkan
interleukin-1 (IL-1 ; Limphocyte activating factor) yang akan merangsang T
helper cell dan menghasilkan menghasilkan interleukin-2 (IL-2 ; T cell growth
factor) yang selanjutnya akan menstimulasi limfosit T untuk lebih giat
berproliferasi dan berdiferensiasi. IL-1 mempunyai efek biologis sebagai bahan
pirogen sehingga dapat pula menimbulkan demam. 1
Sebagai reaksi pertahanan tubuh terhadap endotoksin selanjutnya adalah
timbulnya sistem imunitas sistemik, baik melalui aktivasi komplemen juga
melalui sel limfosit B yang oleh rangsangan endotoksin akan berubah menjadi sel
plasma dan membuat agglutinin O. seperti diketahui lipopolisakarida (endotoksin)
11
merupakan antigen yang “T-cell independent” sehingga O antigen ini setelah
diproses oleh makrofag dapat langsung merangsang limfosit B menjadi sel plasma
yang selanjutnya menghasilkan agglutinin O tanpa melauli limfosit T, sebaliknya
antigen Vi dan antigen H yang merupakan antigen yang T cell independent harus
merangsang limfosit T dahulu sebelum merangsang limfosit B untuk berubah
menjadi sel plasma dan membuat agglutinin H dan agglutinin Vi. Dengan
demikian maka agglutinin O terbentuk lebih dahulu daripada agglutinin H dan
agglutinin Vi. Agglutinin Ocepat menghilang dalam beberapa tahun. Sedangkan
agglutinin Vi menghilang setelah penderita sembuh tetapi cenderung menetap
pada karier. 1
2.5 GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang sering terjadi merupakan dampak dari sitokin
proinflomatori serta berbagai mediator kimia, maka muncul panas yang
berkepanjangan lebih dari 1 minggu, tipe panas stepladder yang mencapai 39-40 ,
kemudian panasnya berlangsung persiten, kontinu atau tipe remitten. Bersamaan
dengan munculnya gejala panas sering disertai dengan keluhan saluran cerna
seperti mual muntah, nyeri abdominal, diare dan konstipasi. Bakteremia kedua
terjadi setelah beberapa hari timbul gejala, lalu diperburuk dengan timbulnya
panas dingin atau anoreksia. Gejala ini disebut dengan demam tifoid akut dan
antibody spesifik yang terbentuk adalah antibodi IgM yang bertahan yang
selanjutnya digantikan dengan antibody IgG. Pada kondisi ini dapat terjadi sepsis
dan syok septik yang menyebabkan kematian jika tidak diobati (15%),
kekambuhan (10%), terjadi pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan
adekuat, menjadi karier pada 1-4%. Gejala yang tidak spesifik seperti malaise,
mengigil, sakit kepala, myalgia, dan batuk yang muncul pada awal perjalanan
penyakit. Apatis dan delirium terjadi pada 10-45%, bradikardia relatif, lidah kotor,
bercak Ros yang muncul pada awal penyakit namun lebih sering ditemukan pada
orang kulit putih . Hepatomegali lebih sering daripada splenomegaly biasanya
muncul pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Pada pemeriksaan
abdomen di dapatkan rasa nyeri lokal, maupun difus, terkadang juga disertai
dengan penurunan bising usus. 1
12
Keluhan dan gejala Demam tifoid
Periode Penyakit Keluhan Gejala Patologi
Minggu Pertama Panas berlangsung
insidious, tipe
panas stepladder,
mengigil, nyeri
kepala
Gangguan saluran
cerna
Bacteremia
Mingu Kedua Rash, nyeri
abdomen, diare,
konstipasi
Rose spots,
splenomegaly,
hepatomegali
Vaskulitis,
hyperplasia pada
peyer patches,
nodul tifoid pada
limpa dan hati
Minggu Ketiga Komplikasi :
perdarahan saluran
cerna, perforasi,
syok
Melena, ileus Ulserasi pada
peyer patches,
peritonitis
Minggu keempat
dst
Keluhan menurun,
relaps, penurun
BB
Tampak sakit
berat
Carrier kronik
Tabel 1 : Gejala klinis demam typhoid
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis tifoid dapat di tegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis/jasmani, pemeriksaan bekteriologi/ pemeriksaan laboratorium, radiologi. 5
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman s.tiphi. pada
uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.tiphy dengan
antibodi yang di sebut agglutinin. Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah
suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratrium. Maksud uji
widal adalah untuk menentukan adanya aglutini dalam serum penderita tersangka
13
demam tifoid yaitu: Aglutini O (dari tubuh kuman), Aglutini H(flagel kuman),
Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutini tersebut hanya aglutini O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Hasil dari tes widal dapat diinterpretasikan sebagai berikut, 8
- Titer “O” yang tinggi atau kenaikan titer (1:160 atau lebih) menunjukkan
adanya ifensi aktif
- Titer “H” yang tinggi (1:160 atau lebih ) menunjukka bahwa penderita pernah
divaksinasi atau pernah terkena infeksi
- Titer “Vi” yang tinggi tedapat pada carrier
Pembentuk agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat pada minggu ke empat , dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian di
ikuti dengan agglutinin H. pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap
di jumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 9-
12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.
Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:
- Pengobatan dini dengan antibiotic,
- Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid,
- Waktu pengambilan darah,
- Daerah endemic atau non endemic,
- Riwayat vaksinasi,
- Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam
tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi,
- Faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan
strain salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglitinin yang
bermakna diagtnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di
berbagai laboratorium setempat. 2
14
2) Uji Typhidot
Uji tyhphidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dam dapat mengidentifikasi secara spesifik
antibodi IgM dan IgG terhadap antigen s.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada
strip nitroselulosa. 5 Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar
76,6% dan efisiansi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan
spesifitas uji ini hamper sama dengan uji tubex yaitu 79% dan 89% degan 78%
dan 89%.5
Pada kasus reinfeksi, respons imun skunder (IgG) terinveksi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer.
Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan
menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama
uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang
ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada
tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih
sensitive (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan bila
dibandingkan dengan kultur. 5
3) Uji Tubex®
Uji tubex® merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-
S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-
O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida
s.typhi yang terkinjugasi pada partikel megnetiklatex. Hasil positif uji tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada S.typhi. infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif. 5
15
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang
mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap
anti-gen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakuakn
lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari 3-2 untuk infeksi
sekunder. Perlu diketahui bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak
dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk
mendeteksi infeksi lampau. 5
Pemeriksaan ini dilakkukan dengan menggunakan 3 macam komponen,
meliputi: 1). Tabung berbentuk V, yang juga berfungi untuk meningkatkan
sensitivitas, 2). Reagen A, yang mengandung partikel magnetic yang diselubungi
dengan antigen S.typhi O9, 3). Reagen B yang mengandung partikel lateks
berwarna biru yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi
dengan antibodi monoclonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakuakan
prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 µL) dicampurkan ke dalam tabung
dengan satu tetes (25 µL) reagen A. setelah itu reagen B (50 µL) di tambahkan
kedalam tabung. Hal tersebut di lakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-
tabung tersebut kemudian di letakkan pada rak tabung yang mengandung magnet
dan di putar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil
dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari
kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna larutan campuran yang dapat
bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan
skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada table berikut. 5
Skor Inter pretasi
16
<2 negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian,
apabila masih meragukan lakukan pengulangan
beberapa hari kemudian.
4-5 posotif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 positif Indikasi kuat infeksi tifoid
Tabel 2 : Interpretasi uji tubex
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum
tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A.
jika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak), komponen
magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan
membawa sserta pewarna yang dikandung oleh reagen B. sebagai akibatnya
terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum
yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi
pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada
megnet rak dan memberikan warna biru pada larutan. 5
4) Uji IgM dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi sntibodi IgM spesifik terhadap S.typhi
pada specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S.typhi dan anti IgM (sebagai
kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan
lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum di inkubasi dengan reagen dan
serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk di
simpanselama 2 tahun pada suhu 4-25º C di tempat kering tanpa paparan sinar
matahari. Pemeriksaan di muali dengan inkubasi strip pada larutan campuran
reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip
dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan
17
penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference stri.
Garis control harus terwarna dengan baik. 5
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai
penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia
dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%.
Pemeriksaan ini mudah da cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus
apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu
setelah timbulnya gejala.
5) Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
beberapa hal sbb: 1). Telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum
dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan hasil mungkin negative; 2). Volume darah yang
kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiakkan terlalu
sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside
langsung dimasukkan kedalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan
kuman;3). Riwayat vaksinisasi. Vaksinisasi di masa yang lampau menimbulkan
antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negatif; 4). Saat pengambilan darah setekah minggu
pertama, pada saat agglutinin semakin meningkat. 5
2.6 PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid yaitu :
1. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya
di tempat seperti makan, minum, mandi, BAK dan BAB akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi
pasien perlu diawasi untuk mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik
serta hegiene perorangan. Mobilisasi pada pasien tifoid adalah 5
18
Hari 1 è duduk 2 x 15 menit
Hari 2 è duduk 2 x 30 menit
Hari 3 è jalan
Hari 4 è pulang
2. Diet dan terapi penunjang, dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan
kesehatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting
dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang
kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin
turun dan proses penyembuhan menjadi lama. Di masa lampau penderita
tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar
dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan
dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut
ditujukan untuk menghindari perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. 5
3. Pemberian Antibiotik, dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman. Obat – obat anti mikroba yang sering digunakan untuk
mengobati tifoid antaralain adalah sebagai berikut 5
- Klomrafenikol. di indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan
utama untuk memgobati demam tifoid dengan dosis yang diberikan adalah
4x500mg secara per oral atau IV. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas
panas.
- Tiamfenikol : dosis dan efektivitas dari timafenikol pada demam tifoid
hampir sama dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologinya
lebih rendah, dosis tiamfenikol adalah 4x500mg.
- Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan sama dengan
klomrafenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80 mg trimethoprim) diberikan
selama 2 minggu.
- Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan
demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol dosis yang
dianjurkan adalah 50-150mg/kgBB digunakan selama 2 minggu
19
- Sefalosporin generasi ketiga hingga saat ini golongan sefalosporin generasi
ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis
yang dianjurkan adalah 3-4 gr dalam dekstrosa 100cc diberikan selama ½
jam perinfus sekali sehari diberikan selama 3 – 5 hari.
Selain memberikan terapi dengan antibiotic kita juga perlu memperhatikan
tuntutan tubuh lainnya yaitu
1. Kondisi hipermetabolik selama infeksi dengan pemenuhan nutrisi yang
adekuat, tinggi kalori dan protein serta memperhatikan keseimbangan
elektrolit
2. Suplemen yang mengandung beta karoten, vitamin C, E serta trace elemen
( misal Zn ) guna mendongkrak kinerja seperoksidase dismutase (SOD),
katalase, dan gluthatione ( GSH ) di sitosol dan meredam peran TNF
sehingga dapat menghadang laju proses kematian sel patologis dipercepat
akibat dampak negative dari ROS. ROS dapat mencetuskan timbulnya
krisis scavenger enzyme akibat defist berbagai komponen micronutrient
seperti Fe,Zn, selenium, vitamin C, vitamin B6, vitamin E atau
ketidakseimbangan beberapa zat makanan, seperti asam amino esensial
dapat pula menyebabkan rusaknya komponen system kekebalan tubuh
2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi pada sekitar 10-15% pasien terutama dalam minggu ke
dua atau lebih . Komplikasi utama adalah perdarahan saluran cerna, perforasi
usus, dan ensefalopati tifoid. Relaps dialami oleh 5 – 10% pasien dan terjadi 2 – 3
minggu steralah demam turun. Komplikasi demam tifoid 1, 5
Abdomen : Perforasi usus terutama ileum, perdarahan saluran cerna,
Hepatitis, kholestitis
Kardiovaskuler : Miokarditis Syok
Neuropskiatri: ensefalopati, delirium, psikotik, meningitis, gangguan
koordinasi
Respirasi : Bronchitis, Pneumonia
20
Hematologi: Anemia dan koagulasi intravascular diseminata KID
Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis
Komplikasi tulang : osteomyelitis, periostitis, atritis
Lain – lain abses fokal, Faringitis, Relaps , karier kronik
2.9 PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan
karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian
akibat demam tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun Negara,
mendatangkan devisa Negara yang bersal dari wisatawan mancanegara karena
telah hilangnya predikat Negara endemic dan hiperendemik sehingga mereka
tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata. 5
Preventing dan control penularan, tindakan preventif sebagai upaya
penularan dan peledakan kasus luar biasa ( KLB ) demam tifoid mencakup banyak
aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan factor
penjamu ( host ) serta lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk
memutuskan transmisi tifoid yaitu
1. Identifikasi dan eredikasi salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid
maupun kasus karier tifoid.
2. pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.typhi akut maupun
karier
3. Proteksi pada orang yang beseiko terinfeksi
Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier
dan akut. Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S.typhi ini
cukup sulit dan memerlukan biaya yang cukup besar baik ditinjau dari pribadi
maupun skala nasional. Cara pelaksanaanya dapat secara aktif yaitu mendatangi
sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instasi atau
swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi –populasi tertentu seperti
pengelola sarana makanan – minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran,
hotel sampai pabrik serta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait
21
dengan pelayanan pelayanan masyarakat yaitu petugas kesehatan, guru, petugas
kebersihan, pengelola sarana umum lainnya. 5
Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut
maupun karier dapat dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan
lingkingan sekita orang yang telah diketahui mengidap kuman S. typhi. 5
Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana
proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah
endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis
atau non endemis, tingkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan
perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu beresiko yaitu
golongan imunokompromais maupun golongan rentan. 5
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu
Daerah non endemic. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic
Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjual makanan – minuman
Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
Bila ada kejadian epidemik tifoid
Pencarian dan eliminasi sumber penularan
Pemeriksaan air minum dan mandi cuci kakus
Penyuluhan higien dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
Daerah endemik
Memasyarkatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standar prosedur kesehatan
Pengunjung kedaerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar.
DAFTAR PUSTAKA
22
1. Nasronudin.Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini & Mendatang.
Airangga University Press. Surabaya. 2011: Hal 187 – 198.
2. Sloane ethel.Anatomi dan Fisologi untuk Pemula. EGC. Jakarta. 2005:
Hal 283-289.
3. W.F.Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.EGC.Jakarta.2005: Hal 288
- 284
4. Sherwood Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi
6.EGC.Jakarta.2012: Hal 116 - 118
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.Buku Ajar Ilmu
Penyakit dalam .Interna Publishing. Jakarta.2010: Hal 2797-2805.
6. Unknown.typhoid abdominalis. 2012 [cited 2013februari 18];. Available
from http://www.findthatdoc.com/search-105702971-hPDF/download-
documents-jtptunimus-gdl-sitimuasar-5257-1-bab1-pdf.htm .
7. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 1.EGC.Jakarta.2007: hal 343
8. E.jawetz, Jl.meknick. Mikrobiologi Kedokteran Buku 1. EGC. Jakarta.
2005: Hal 189 - 195
23