REFERAT_HIV Dalam Kehamilan
Click here to load reader
-
Upload
chaerena-amri -
Category
Documents
-
view
51 -
download
2
description
Transcript of REFERAT_HIV Dalam Kehamilan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang menyerang kekebalan
tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. Menyerang salah satu jenis sel-sel darah
putih yang bertugas menangkal infeksi, sel darah putih tersebut terutama limfosit yang
memiliki CD4 sebagai sebuah marker alam penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Berkurangnya CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel
darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk
ke tubuh manusia. (KPA, 2007)
Sekitar 95% pasien terinfeksi HIV tinggal di negara berkembang, sekitar 12%
pasien terinfeksi HIV adalah wanita dan 85% pada usia reproduktif. Kasus HIV/AIDS
pada anak-anak di Indonesia meningkat 700 % dari tahun 2006 sampai 2010.
Kasus HIV pada anak paling sering ditemukan akibat transmisi dari ibu yang HIV positif
ke anaknya. Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam
kandungan, persalinan, dan menyusui. (CDC 2009; WHO 2009 ; KEMENKES RI, 2012)
Di Amerika Serikat, dilaporkan oleh pusat kontrol penyakit (The Center
for Disease Control =CDC), didapatkan selama tahun 2009 hanya didapatkan 7 kasus
baru HIV karena transmisi perinatal. Ini merupakan bukti bahwa penularan HIV karena
transmisi perinatal dapat dicegah. Dari data-data yang dikemukakan di atas, maka
pengendalian / pencegahan penularan HIV dan AIDS pada perempuan, anak dan
keluarga menjadi semakin penting dan tidak terpisahkan dari program penanggulangan
HIV dan AIDS secara umum. Resiko bayi tertular HIV dapat ditekan hingga 90%, bila
ibu mendapatkan terapi antiretroviral selama masa kehamilan. Dengan demikian
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak atau PMTCT menjadi penting, karena
sebagian besar ODHA perempuan berada pada usia subur dan lebih dari 90% kasus HIV
ditularkan dari ibu. (McFarland, Elizabeth 2003; Yunihastuti E dkk, 2003; PMCT Depkes 2008)
Kebanyakan penularan HIV terhadap janin / bayi terjadi saat persalinan, maka
pemberian pengobatan pada saat ini dan pemilihan persalinan yang tepat merupakan hal
yang sangat penting untuk melindungi infeksi HIV terhadap bayi Perinatal HIV Guidelines Working
Group
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
HIV merupakan suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili
Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2
yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang sampai
sekarang hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum
penyakit yang menimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab
sindrom defisiensi imun yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai Human T Cell-
Lymphotropic Virus Type III (HTLV-III), Lymphadenipathy-Associated Virus (LAV)
dan AIDS-Associated Virus. Zein, 2006
Penyebab paling sering kasus AIDS diseluruh dunia adalah HIV-1 karena
lebih infeksius daripada HIV-2. HIV secara primer menginfeksi komponen vital dari
sistem imunitas tubuh seperti Sel T CD4+ , makrophage, dan sel dendritik. Sel T
CD4+ yang berasal dari Tymus merupakan derivate limposit yang berperan sebagai
reseptor HIV. Seperti diketahui Sel T CD4+ sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan
fungsi imunitas tubuh, dan ketika jumlah Sel T CD4+ sangat menurun akan
menyebabkan munculnya manifestasi klinis atau AIDS Putu Surya IG. 2004; Cunningham FG, et al. 2010
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala atau
sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV.
Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman ataupun virus dan penyakit AIDS melemahkan atau merusak sistem
pertahanan tubuh ini, sehingga berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain. Yatim, 2006
B. EPIDEMIOLOGI
Tanggal 18 Juni 1981 tercatat dalam sejarah pertama kalinya muncul epidemi
AIDS ketika CDC ( Centre for Disease Control and Prevention ) melaporkan
sekelompok penderita Pneumocystis Carinii Pneumonia pada 5 orang gay di Los
Angeles USA pada awal 1980-an. Tahun 1982 CDC memperkenalkan istilah AIDS
untuk mendeskripsikan kumpulan gejala penyakit ini Wikipedia, 2010
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sampai Desember
2011 terdapat penambahan 21.031 kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
4162 kasus Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Sampai 31 Desember
2
2011, kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan sejak 1978 berjumlah masing –
masingnya 76.879 dan 29.879 kasus, dengan angka kematian 5.430 kasus. Menurut
data yang terkumpul sampai Desember 2011, Sumatera Barat sendiri menempati
urutan ke-12 setelah Papua, DKI Jakarta, Kepulauan Riau dan Sumatera Utara,
dengan 568 kasus HIV dan 428 kasus AIDS. Kemenkes, 2012
Terdapat perbedaan pola transmisi penularan HIV/AIDS antara negara industri
dan berkembang, dimana pada negara indusri didapatkan penularan terbesar ada pada
kelompok kaum homoseksual, diikuti kaum pemadat, dan terakhir adalah transmisi
perinatal. Sementara untuk Indonesia sendiri, berdasarkan data Kemenkes sampai
Desember 2011, didapatkan transmisi penularan terbesar adalah kaum heteroseksual
sebanyak 14.775 kasus, homoseksual 807 kasus, penyalahgunaan obat-obatan 9.392
kasus, transfusi darah 51 kasus, transmisi perinatal 730 kasus dan tidak diketahui 940
kasus. CDC, 2009; Kemenkes, 2012
Sekitar 95% pasien terinfeksi HIV tinggal di negara berkembang, sekitar 12%
pasien terinfeksi HIV adalah wanita, dimana 85%-nya ada pada usia reproduktif.
Kasus HIV/AIDS pada anak-anak Indonesia meningkat 70 persen dalam
empat tahun terakhir (2006-2010). Kasus HIV pada anak biasanya paling sering
ditemukan akibat transmisi dari ibu yang sudah memiliki HIV ke anaknya. Bila angka kelahiran
di Indonesia 2,5% maka setiap tahun akan ada 2.250 – 3.250 bayi yang lahir dari ibu
yang HIV positif. Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama
dalam kandungan, persalinan, dan menyusui. Di Amerika Serikat, seperti
dilaporkan oleh pusat kontrol penyakit (The Center for Disease
Control =CDC), didapatkan selama tahun 2009 hanya didapatkan 7 kasus baru HIV
karena transmisi perinatal. Ini merupakan bukti bahwa penularan HIV karena
transmisi perinatal dapat dicegah. CDC 2009; WHO 2009 ; KEMENKES RI, 2012
Penularan HIV ke anak-anak dari ibu HIV positif disebut sebagai Mother to
Child Transmission (MTCT). Penularan dari ibu ke anak / bayi terjadi melalui
penularan di dalam kandungan / in utero, saat kelahiran / peripartum dan melalui
pemberian Air Susu Ibu / ASI. Resiko bayi tertular HIV dapat ditekan hingga 98%,
bila ibu mendapatkan terapi Antietroviral (ARV) selama masa kehamilan CDC 2009; WHO 2009 ;
KEMENKES RI, 2012 .
C. TRANSMISI
3
Transmisi HIV mirip dengan penularan virus hepatitis B, dimana sexual
intercourse ( kontak seksual ) merupakan cara penularan yang paling sering. Secara
umum penularan HIV pada seseorang bisa melalui Putu Surya IG. 2004; DeCherney AH, et al. 2007 :
1. Kontak Seksual ( Homo atau Heteroseksual )
2. Transplasental dan ASI ( Penularan Vertikel dan atau Perinatal )
3. Terpapar dengan darah atau cairan jaringan yang terinfeksi HIV (Penularan
Parenteral ) seperti; transfusi darah, tertusuk jarum suntik, dsb.
Kemungkinan seorang wanita tertular dari seorang laki-laki pengidap HIV
adalah 20 kali lebih besar daripada kemungkinan seorang laki-laki tertular dari
seorang wanita pengidap HIV, oleh karena kemungkinan pada cairan sperma terdapat
titer HIV yang cukup tinggi. Penularan HIV pada petugas kesehatan di USA sekitar
0,3 %. Sedangakan penularan pada kulit hanya terjadi pada kontak yang intensif dan
lama ( Fauci AS & LaneHel, 1994 ) Minnesota, 2005
a. Transmisi Infeksi Maternal dan Fetal-Neonatal
Transmisi vertikal pada neonatus terjadi sekitar 30 % ( 20-50 %) pada ibu dengan
seropositif HIV. Laporan CDC pada tanggal 27 Februari 2004 berdasarkan hasil
penelitian selama 4 tahun menyebutkan rata-rata transmisi vertikal terjadi sekitar 3-10
%. Menurut Dr.Maryglen Fowler rata-rata transmisi berkisar 25 % sebelum
dikenalkannya obat antiretroviral. Di beberapa negara maju transmisi vertikal telah
menurun bahkan mencapai < 5 %, sebaliknya dinegara berkembang sangat sulit
mengendalikannya. Janin dapat dipengaruhi secara in utero melalui transfer virus
(Transplasental), pada saat persalinan melalui kontaminasi sekret dan darah ibu pada
jalan lahir (Transmisi Perinatal) dan setelah janin lahir melalui pemberian ASI (Post
Partum). Penularan secara intra uterine menyebabkan bayi mempunyai antibodi
terhadap HIV yang didapat secara pasif dari ibu dan tetap ada sampai bayi berumur
15-18 bulan. Antibodi terhadap HIV yang diperoleh janin in utero melalui jalur
transplasental akan habis pada usia bayi sekitar 18 bulan. Sehingga pada tes antibodi
pada bayi didapatkan hasil dengan nilai yang rendah. Minnesota, 2005; DeCherney AH, et al. 2007; Nurs J,et
al. 2003
Mekanisme pasti transmisi vertikal masih belum jelas. HIV dapat menginfeksi
pada usia kehamilan 8 mg sehingga terjadi abortus spontan. Sedangkan trasnmisi yang
terjadi pada kehamilan lanjut lebih responsif terhadap pengobatan dengan
antiretroviral yang dapat melewati barier plasenta. DeCherney AH, et al. 2007
4
Adanya penularan transplasental dibuktikan berdasarkan adanya virus HIV
yang dapat diidentifikasi pada spesimen dari abortus elektif (Lewis,dkk, 1990).
Menurut Blair, dkk (2004) rata-rata angka kehamilan diantara wanita yang terinfeksi
HIV meningkat secara signifikan pada era adanya terapi anti retroviral dibandingkan
pada era sebelum tahun 1996. Menurut Kourtis,dkk (2001) telah mengusulkan suatu
model untuk memperkirakan distribusi temporal dari trasmnisi vertikel. Mereka
memperkirakan sekitar 20 % transmisi terjadi sebelum kehamilan 3 bulan, 50 %
beberapa hari sebelum persalinan, dan 30 % dalam proses persalinan ( intra partum).
Sedangkan angka transmisi HIV melalui ASI cukup tinggi yaitu sekitar 30-40%.
Merupakan suatu kesulitan dalam menentukan faktor resiko transmisi apakah melalui
trasplasental dan atau didapat dalam proses persalinan (intrapartum). Salah satu
pendekatan untuk membedakan ini dengan melakukan pemeriksaan kultur HIV-1 atau
DNA Polymerase Chain Reaction Assay (PCR - Assay) dalam 48 jam pertama
kehidupan bayi. Tetapi tes virologik dalam 48 jam pertama kehidupan bayi ini tidak
selalu tersedia. Nurs J,et al. 2003; Grassman H. 2005; Putu Surya IG. 2004
b. Penularan intra uterin
HIV dapat melewati barier plasenta dan masuk kedalam tubuh bayi, walaupun
tidak selalu terjadi tapi dapat terjadi Penularan ini diketahui karena didapatkan HIV
pada jaringan Tymus, Lien, Paru dan Otak janin usia 20 miggu yang digugurkan dari
ibu pengidap HIV DeCherney AH, et al. 2007.
c. Penularan intra partum
Terjadinya penularan ini karena adanya kontak darah dan sekret ibu dengan bayi
pada saat persalinan DeCherney AH, et al. 2007; Cunningham FG, et al. 2010.
d. Penularan post partum
Penularan ini terjadi melalui pemberian ASI pada bayi baru lahir. Adanya
penularan ini dibuktikan dengan terdapatnya HIV yang diisolasi dari ASI. Meskipun
masih ada perbedaan pendapat mengenai hal ini karena adanya perbedaan hasil
penelitian, tetapi karena belum adanya vaksin untuk HIV dan kemungkinan penularan
ini tetap ada maka disepakati pemberian ASI pada bayi tetap masih dilarang. Putu Surya IG.
2004
Secara umum faktor yang mempengaruhi penularan perinatal HIV adalah
5
sebagai berikut:Putu Surya IG. 2004; Duta DC. 1998.
1. Faktor Virus
Semakin tinggi titer virus dalam tubuh ibu maka semakin tinggi tingkat
penularannya atau makin infeksius. Kadar RNA-HIV merupakan prediktor yang lebih
baik daripada jumlah sel T.
Kadar RNA-HIV 1000 kopi/ml → rerata transmisi vertikal 2 %
Kadar RNA-HIV 10000 kopi/ml → rerata transmisi vertikal 11 %
Kadar RNA-HIV 100000 kopi/ml → rerata transmisi vertikal 40 %
2. Faktor Host ( ibu hamil )
Berhubungan dengan daya tahan ibu hamil atau sistem kekebalan tubuh
( jumlah sel T CD4 ), nutrisi dan ada tidaknya anemia dalam kehamilan.
3. Faktor Obstetrik
Dipengaruhi oleh cara dan lamanya persalinan berlangsung, prosedur dan
peralatan yang digunakan selam kehamilan dan persalianan, internal fetal dan labor
monitoring selama persalinan, episiotomi, pemasangan kateter urine, forseps dan
vakum ekstraksi hanya dilakukan untuk menyelamatkan ibu dan janin, ruptur
membran artificial, resiko meningkat jika ketuban pecah > 4 jam sebelum persalinan.
4. Faktor Bayi
Tergantung pada kondisi bayi yaitu aterm atau premature dan ada tidaknya
lecet pada bayi akibat proses persalinan.
Transmisi vertikel HIV lebih sering pada persalian preterm terutama
dihubungkan dengan Prolong Rupture Membrane. Landesman,dkk (1996)
melaporkan bahwa transmisi HIV-1 saat lahir meningkat 15-25 % pada ibu hamil
yang ketubannya pecah lebih dari 4 jam Putu Surya IG. 2004
Transmisi perinatal HIV dapat dengan sangat akurat dihubungkan dengan
pengukuran kadar (titer) HIV-RNA plasma ibu. Dibawah ini ada grafik yang
menghubungkan rata-rata persentase infeksi neonatal dengan kadar plasma HIV-
RNA. Cunningham FG, et al. 2010
Menurut US. Public Health Service Guidelines (2003), morbiditas dan
mortalitas maternal tidak meningkat dengan kehamilan pada wanita yang asimptomatik
seropositif. Sebaliknya efek pada fetal outcome (luaran) dapat meningkat. Pada review
terhadap 634 wanita yang melahirkan sesudah kehamilan 24 minggu, Stratton,dkk
(1999) melaporkan efek fetal out come dihubungkan dengan kadar atau proporsi CD4+
yang kecil dari 15 % sedangkan pada wanita yang asimptomatik rata-rata persalinan
6
preterm 20 % dan IUGR sebesar 24 %.Putu Surya IG. 2004
D. GEJALA KLINIS
Gejala klinis AIDS secara primer tidak terjadi pada individu dengan imunitas
tubuh yang sehat. Masa inkubasi dari terpapar virus sampai munculnya gejala klinis
bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Gejala akut mirip dengan
gejala infeksi virus lainnya yang berlangsung kurang dari 10 hari. Gejala klinis paling
sering meliputi demam, keringat malam, lemah, letih, lesu, kemerahan pada kulit
(rash), sakit kepala, limphadenopati, penurunan berat badan, paringitis, mialgia,
artralgia, mual, muntah, dan diare. Setelah gejala akut reda, masuk pada tahap viremia
kronik (set poin) yang asimptomatik. Faktor pencetus yang menyebabkan gejala
berkembang secara progressif dari asimptomatik viremia menjadi AIDS masih belum
jelas, tapi butuh waktu lebih kurang 10 tahun (Fauci, 2003). Putu Surya IG. 2004; Cunningham FG, et al.
2010
Pada keadaan HIV positif dan ditemukan gejala klinis sehingga diagnosa
AIDS ditegakkan, general lymphadenopaty, oral hairy leukoplakia, aphtous ulcer, dan
trombositopenia sering terjadi. Jika sistem imunitas tubuh jelek, infeksi oppurtunistik
sering terjadi yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, parasit dan organisme
lainnya. Setiap sistem organ dapat dipengaruhi. Infeksi oppurtunistik yang sering
terjadi adalah esophageal atau pulmonary candidiasis, herpes simplek persisten, lesi
herpes zoster, condyloma akuminata, TBC, pneumonia cytomegalovirus, retinitis,
gangguan gastrointestinal, molluscum contagiosum, pneumocystis pneumonia,
toxoplasmosis, dan sebagainya. Gangguan neurologi juga sering, sekitar setengah dari
penderita mempunyai gejala gangguan SSP. Kadar CD4+ kurang dari 200/mm3
dipertimbangakn secara definitif untuk menegakkan diagnosa AIDS Putu Surya IG. 2004;
Cunningham FG, et al. 2010
Terdapat gejala ginekologik yang unik pada wanita penderita HIV seperti
gangguan menstruasi, neoplasma genital, PMS yang lainnya, dan kontrasepsi yang
overlap dengan kehamilan (Ceftin, 2003, Stuart dan Castano,2003). Kehamilan yang
berulang tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap klinis ataupun status
imunologis terhadap infeksi virus (Minkoff,dkk 2003). Penderita HIV-AIDS juga
mempunyai resiko yang meningkat untuk berkembanganya keganasan seperti
Sarcoma Kaposi, Ca.cervix, dan Lymphoma. Putu Surya IG. 2004; Cunningham FG, et al. 2010
Pada tahun 1991 secara umum tapi sukarela, screening prenatal
7
direkomendasikan oleh Institute of Medicine the CDC, American Academy
Pediatrics, dan American College Obstetric and Gynaecologic atau ACOG (1999,
2002, 2004). Sansom,dkk (2003) menganjurkan untuk mengulang tes HIV pada
trimester III kehamilan pada daerah dengan prevalensi 1 tiap 1000 orang pertahun
atau lebih tinggi terinfeksi HIV. Beberapa negara merekomendasikan tes HIV kedua
saat persalinan. Putu Surya IG. 2004
E. MANAJEMEN PENANGANAN PERSALINAN DAN POST PARTUM
DENGAN AIDS
1. Penanganan Intra Partum
Kewaspadaan menyeluruh atau Universal Precaution harus diperhatikan untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya penularan dari ibu ke bayi, penolong
maupun petugas kesehatan lainnya. Hindari memecahkan ketuban pada awal
persalinan, terjadinya partus lama, dan laserasi pada ibu maupun bayi. Oleh karena
itu pada keadaan kemacetan persalinan, maka tindakan SC adalah lebih baik
daripada memaksakan persalinan pervaginam Putu Surya IG. 2004; DeCherney AH, et al. 2007;Cunningham
FG, et al. 2010.
Petugas kesehatan harus memakai sarung tangan Vynil, bukan saja pada
pertolongan persalinan tetapi juga pada waktu membersihkan darah, bekas air
ketuban, dan bahan lain dari pasien yang melahirkan dengan HIV. Penolong
persalinan harus memakai kaca mata pelindung, masker, baju operasi yang tidak
tembus air, dan harus sering kali membersihkan dan mencuci tangan.
Membersihkan lender atau air ketuban dari mulut bayi hatus memakai mesin isap,
tidak dengan kateter yang diisap dengan mulut (Crombleholme W.R, 1990). Bayi
yang baru lahir segera dimandikan dengan air yang mengandung desinfektan yang
tidak menganggu bayi (Roongpisuthipong A, 1995) Cunningham FG, et al. 2010.
2. Penanganan Pasca Persalinan
Pada pasca persalinan dilakukan pencegahan terjadinya penularan melalui
ASI, disamping penularan parenteral melalui suntikan dan luka lecet pada bayi.
Pencegahan penularan dengan ASI dilakukan dengan mencegah pemberian ASI,
tetapi pada Negara yang sedang berkembang hal ini masih menjadi perdebatan
karena dikwatirkan bayi tidak mendapat pengganti ASI. Neonatus diberikan
Zidovudin syrup 2 mg/kgBB 4 kali sehari selama 6 minggu pertama kehidupannya.
8
Ibu pengidap HIV harus dinasehatkan untuk mencegah kehamilan berikutnya
dengan alat kontrasepsi. Metode kontrasepsi barier efektif mencegah transmisi
virus. Penggunaan secara simultan non oxynol-9 spermaticidal agent dapat
meningkatkan efektifitas disamping pendidikan kesehatan dengan praktek seksual
yang aman. Cunningham FG, et al. 2010, Anderson J.R,1995.
F. MANAJEMEN PERAWATAN BAYI BARU LAHIR DENGAN IBU HIV
POSITIF
1. Manajemen umum
Bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV positif maka :
- Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya, dan lakukan konseling pada
keluarga;
- Rawat bayi seperti bayi yang lain, dan perhatian khususnya pada
pencegahan infeksi;
- Bayi tetap diberi imunisasi rutin, kecuali terdapat tanda klinis defisiensi
imun yang berat, jangan diberi vaksin hidup (BCG, OPV, Campak,
MMR);
- Pada waktu pulang, periksa DL, hitung Lymphosit T, serologi anti HIV,
PCR DNA/RNA HIV.
Beri dukungan mental pada orang tuanya
Anjurkan suaminya memakai kondom, untuk pencegahan penularan infeksi.
2. Terapi Anti Retroviral
Tanpa pemberian Antiretrovirus, 25% bayi dengan ibu HIV positif akan tertular
sebelum dilahirkan atau pada waktu lahir, dan 15% tertular melalui ASI :
Tentukan apakah ibu sedang mendapat pengobatan Antiretrovirus untuk HIV,
atau mendapatkan pengobatan antiretroviral untuk mencegah transmisi dari
ibu ke bayinya.Tujuan pemberian Antiretro Viral terapi adalah untuk menekan
HIV viral load sampai tidak terdeteksi dan mempertahankan jumlah CD4 + sel
sampai mencapai lebih dari 25%( Cloherty).
Kelola bayi dan ibu sesuai dengan protokol dan kebijakan yang ada, tujuannya
untuk Profilaksis
9
- Bila ibu sudah mendapat Zidovudine (AZT) 4 minggu sebelum
melahirkan, maka setelah lahir bayi diberi AZT 2 mg/kg berat badan per
oral tiap 6 jam selama 6 minggu, dimulai sejak bayi umur 12 jam.
- Bila ibu sudah mendapat Nevirapine dosis tunggal selama proses
persalinan dan bayi masih berumur kurang dari 3 hari, segera beri bayi
Nevirapine dalam suspensi 2 mg/kg berat badan secara oral pada umur 12
jam.
- Untuk mencegah PCP, berikan TMP 2,5 mg/kgBB 2 x sehari, pemberian
3 kali seminggu, diberikan sejak bayi umur 6 minggu sampai diagnosis
HIV dapat disangkal (Polin), karena peak onset PCP adalah pada umur 3-9
bulan.
- Jadwalkan pemeriksaan tindak lanjut dalam 2 minggu untuk menilai
masalah pemberian minum dan pertumbuhan bayi (lihat Pemeriksaan
Tindak Lanjut).
3. Bila bayi sudah terkena HIV
- AZT untuk bayi cukup bulan sampai bayi berumur 90 hari:
Oral 2mg/kgBB tiap 6 jam atau
IV 1,5 mg/kgBB tiap 6 jam
Untuk bayi kurang bulan:
1,5 mg/kg BB tiap 12 jam sampai 2 minggu kemudian 22mg/kgB tiap 8
jam
- Nevirapin
Neonatus sampai umur 2 bulan
14 hari pertama 5 mg/kg atau 120 mg/m2 2 kali sehari
14 hari kedua 120 mg/m2 2 kali sehari
berikutnya 200 mg/m2 2 kali sehari sampai usia 2 bulan
4. Pemberian Minum
Lakukan konseling pada ibu tentang pilihan pemberian minum kepada
bayinya. Hargai dan dukunglah apapun pilihan ibu. Ijinkan ibu untuk membuat
pernyataan sendiri tentang pilihan yang terbaik untuk bayinya.
10
Terangkan kepada ibu bahwa menyusui dapat berisiko menularkan infeksi
HIV. Meskipun demikian, pemberian susu formula dapat meningkatkan risiko
kesakitan dan kematian, khususnya bila pemberian susu formula tidak
diberikan secara aman karena keterbatasan fasilitas air untuk mempersiapkan
atau karena tidak terjamin ketersediaannya oleh keluarga.
Terangkan pada Ibu tentang untung dan rugi pilihan cara pemberian minum :
- Susu formula dapat diberikan bila mudah didapat, dapat dijaga
kebersihannya dan selalu dapat tersedia;
- ASI Eksklusif dapat segera dihentikan bila susu formula sudah dapat
disediakan. Hentikan ASI pada saat memberikan susu formula;
- Rekomendasi yang biasa diberikan adalah memberikan ASI eksklusif
selama 6 bulan, kemudian dilanjutkan ASI ditambah makanan padat
setelah umur 6 bulan.
Dalam beberapa situasi, kemungkinan lain adalah :
- Memeras ASI dan menghangatkannya waktu akan diberikan;
- Pemberian ASI oleh Ibu susuan (”Wet Nursing”) yang jelas HIV negatif;
- Memberi ASI peras dari Ibu dengan HIV negatif.
Bantu ibu menilai kondisinya dan putuskan mana pilihan yang terbaik, dan
dukunglah pilihannya.
Bila ibu memilih untuk memberikan susu formula atau menyusui, berikan
petunjuk khusus (lihat bawah).
Apapun pilihan ibu, berilah petunjuk khusus (seperti dibawah ini) :
- Apabila memberikan susu formula, jelaskan bahwa selama 2 tahun ibu
harus menyediakannya termasuk makanan pendamping ASI;
- Bila tidak dapat menyediakan susu formula, sebagai alternatif diberikan
ASI secara eklusif dan segera dihentikan setelah tersedia susu formula;
- Semua bayi yang mendapatkan susu formula, perlu dilakukan tindak lanjut
dan beri dukungan kepada ibu cara menyediakan susu formula dengan
benar.
- Jangan memberikan minuman kombinasi (misal selang-seling antara susu
hewani, bubur buatan, susu formula, disamping pemberian ASI), karena
risiko terjadinya infeksi lebih tinggi dari pada bayi yang mendapatkan ASI
eksklusif.
11
Pemberian susu formula :
Ajari ibu cara mempersiapkan dan memberikan susu formula dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
Anjurkan ibu untuk memberi susu formula 8 kali sehari, dan beri lagi
apabila bayi menginginkan.
Beri ibu petunjuk secara tertulis cara mempersiapkan susu formula.
Jelaskan mengenai risiko memberi susu formula dan cara menghindarinya.
Bayi akan diare apabila tangan Ibu, air atau alat-alat yang digunakan tidak bersih
dan steril, atau bila susu yang disediakan terlalu lama tidak diminumkan.
Bayi tidak akan tumbuh baik apabila :
jumlah tiap kali minum terlalu sedikit;
frekuensi pemberiannya terlalu sedikit;
susu formula terlalu encer;
bayi mengalami diare.
5. Nasihati Ibu untuk mengamati apakah terdapat tanda bahaya pada bayinya,
seperti:
- Minum kurang dari 6 kali dalam sehari atau minum hanya sedikit;
- Diare;
- Berat badan sulit naik.
6. Nasihati Ibu untuk melakukan kunjungan tindak lanjut :
- Kunjungan rutin untuk memonitor pertumbuhan;
- Meberi dukungan cara-cara menyiapkan formula yang aman;
- Nasihati ibu untuk membawa bayinya bila sewaktu-waktu ditemukan tanda
bahaya (lihat atas).
7. Pemberian ASI
Bila ibu memilih menyusui, dukung dan hargai keputusannya.
Pastikan bayi melekat dan mengisap dengan baik untuk mencegah
terjadinya Mastitis dan gangguan pada puting susu.
Nasihati Ibu segera kembali apabila ada masalah pada payudara atau
putingnya, atau bayi mengalami kesulitan minum.
Pada minggu pertama, nasihati Ibu melakukan kunjungan ke rumah sakit
untuk menilai perlekatan dan posisi bayi waktu menyusu sudah baik, serta
keadaan payudara ibu.
12
Atur konseling selanjutnya untuk mempersiapkan kemungkinan ibu
menghentikan menyusui lebih awal.
8. Pemeriksaan tindak lanjut setelah pulang
Pemeriksaan darah PCR DNA/RNA dilakukan pada umur 1, 2, 4, 6 dan 18
bulan. Diagnosis HIV ditegakkan apabila pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV
POSITIP dua kali berturut selang satu minggu, bila keadaan demikian ditemukan,
mulai diberikan pengobatan Antiretro Virus.
G. KEWASPADAAN UNIVERSAL (UNIVERSAL PRECAUTION)
1. Definisi Kewaspadaan Universal
Kewaspadaan universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh
seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi dan didasarkan
pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik
berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007).
Pada semua sarana kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas dan praktek
dokter dan dokter gigi, tindakan yang dapat mengakibatkan luka atau tumpahan cairan
tubuh, atau penggunaan alat medis yang tidak steril, dapat menjadi sumber infeksi
penyakit tersebut pada petugas layanan kesehatan dan pasien lain. Jadi seharusnya ada
pedoman untuk mencegah kemungkinan penularan terjadi. Pedoman ini disebut sebagai
kewaspadaan universal. Harus ditekankan bahwa pedoman tersebut dibutuhkan tidak
hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV, tetapi yang tidak kalah penting
terhadap infeksi lain yang dapat berat dan sebetulnya lebih mudah menular.
2. Penerapan Kewaspadaan Universal
Pasien terinfeksi atau tidak, setiap petugas layanan kesehatan harus menerapkan
kewaspadaan universal secara penuh dalam hubungan dengan semua pasien (Menurut
pusat informasi penyakit infeksi nosocomial tahuan 2009).
Tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Cuci tangan selama 10-15 detik (pastikan sela-sela jari, punggung tangan,
ujung jari dan ibu jari digosok menyeluruh) dengan sabun di air mengalir
setelah berhubungan dengan pasien.
b. Pakai sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu yang basah atau
terkontaminasi dengan cairan tubuh.
13
c. Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan cairan
tubuh.
d. Tangani dan buang jarum suntik dan alat kesehatan tajam sekali pakai.
e. Bersihkan dan disinfeksikan tumpahan cairan tubuh pasien dengan
disinfektan.
f. Penanganan alat medis harus sesuai dengan standar disinfeksi dan sterilisasi.
g. Tangani semua bahan yang telah tercemar cairan tubuh pasien dengan cara
sterilisasi atau disinfeksi.
h. Pembuangan limbah sesuai dengan prosedur pembuangan limbah RS.
3. Alasan Kewaspadaan Universal Sering Diabaikan
Ada banyak alasan mengapa kewaspadaan universal tidak diterapkan, termasuk:
a. Petugas layanan kesehatan kurang pengetahuan.
b. Kurang dana untuk menyediakan pasokan yang dibutuhkan, misalnya sarung
tangan dan masker.
c. Penyediaan pasokan tersebut kurang.
d. Petugas layanan kesehatan ‘terlalu sibuk’.
e. Dianggap Odha harus ‘mengaku’ bahwa dirinya HIV-positif agar
kewaspadaan dapat dilakukan.
Kewaspadaan universal diciptakan untuk melindungi terhadap kecelakaan yang dapat
terjadi. Kecelakaan yang paling umum adalah tertusuk jarum suntik, yaitu jarum suntik
yang dipakai pada pasien menusuk kulit seorang petugas layanan kesehatan. Penelitian
menunjukkan bahwa risiko penularan rata-rata dalam kasus pasien yang bersangkutan
terinfeksi HIV adalah kurang lebih 0,3%, dibandingkan dengan 3% untuk hepatitis C dan
lebih dari 30% untuk hepatitis B. Jika darah dari pasien yang terinfeksi mengenai selaput
mukosa (misalnya masuk mata) petugas pelayanan kesehatan, risiko penularan HIV
adalah kurang lebih 0,1%. Walaupun belum ada data tentang kejadian serupa dengan
darah yang dicemar hepatitis B, risiko jelas jauh lebih tinggi (Pusat Informasi Penyakit
Infeksi Nosocomial, 2009).
14
15