REFERAT TTR PRINT.doc

45
TINJAUAN PUSTAKA GRAVE’S OPHTHALMOPATHY DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANNYA Disusun oleh : Dr. Satya Hutama P Pembimbing : Dr. A. Kentar Arimadyo, Sp.M Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 2013

description

ttr

Transcript of REFERAT TTR PRINT.doc

Page 1: REFERAT TTR PRINT.doc

TINJAUAN PUSTAKA

GRAVE’S OPHTHALMOPATHYDIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANNYA

Disusun oleh :

Dr. Satya Hutama P

Pembimbing :

Dr. A. Kentar Arimadyo, Sp.M

Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Semarang

2013

Page 2: REFERAT TTR PRINT.doc

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................... 1

BAB 2 PEMBAHASAN ......................................................................... 3

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1.1 KELENJAR THYROID ........................................... 3

2.1.2 CAVUM ORBITA .....................................................

2.2 PATOGENESIS GRAVES OPHTHALMOPATHY

2.3 DIAGNOSIS GRAVES OPHTHALMOPATHY

2.3.1 GEJALA DAN TANDA

2.3.2 PEMERIKSAAN FISIK

2.3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.4 TATALAKSANA GRAVES OPHTHALMOPATHY

BAB 3 KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: REFERAT TTR PRINT.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan mata yang menyertai hipertiroidisme mempunyai arti penting, karena

sebagian besar penderita kelainan mata akibat tiroid adalah penderita penyakit Graves. Istilah

umum penyakit Graves telah digunakan untuk menyebut hipertiroidisme yang disebabkan

oleh suatu penyakit autoimun. Pada penyakit Graves dapat ditemukan kelainan mata berupa

edema pretibial, kemosis, proptosis, dan clubbing fingers walaupun sangat jarang. Namun

walaupun oftalmopati sering dijumpai bersamaan dengan penyakit Graves, defek respon

imun pada oftalmopati berbeda dengan penyakit Graves. Sasaran respon imun pada

oftalmopati ialah otot ekstra orbital dan mungkin kelenjar lakrimal, sedangkan pada penyakit

Graves ialah sel-sel folikel tiroid.5,13

Istilah oftalmopati mempunyai arti yang luas yaitu mencakup semua kelainan mata

yang dapat menyertai hipertiroidisme. Beberapa istilah dapat dijumpai dalam kepustakaan

sehubungan dengan oftalmopati pada hipertiroidisme seperti oftalmopati tiroid, oftalmopati

Graves, penyakit mata tiroid, dan akhir-akhir ini  digunakan juga nama oftalmopati terkait

tiroid (thyroid associated ophthalmopathy). Istilah oftalmopati Graves lebih sering dipakai

oleh karena sebagian dari oftalmopati ditemukan pada penderita Graves. Hanya sebagian

kecil saja dapat dijumpai pada hipertiroidisme non Graves dan pada tiroiditis Hashimoto.5

Studi epidemiologi pada kulit putih Amerika tahun 1996 dengan TED menunjukkan

insidensi pada wanita 16 per 100.000 populasi per tahun, sementara pria 3 per 100.000

populasi /tahun. TED mempengaruhi wanita 6x lebih sering dari pria (86% vs 14%). Insiden

puncak terjadi pada usia 40-44 th dan 60-64 th pada wanita dan 45-49 th dan 65-69 th pada

pria. Umur median saat didiagnosis TED adalah 43 tahun. Perokok tujuh kali lebih beresiko

TED.15

Page 4: REFERAT TTR PRINT.doc

1

Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien oftalmopati Graves dapat bervariasi,

tergantung kepada stadiumnya. Awalnya pada stadium akut atau subakut akan ditemukan

tanda-tanda inflamasi, barulah setelah itu timbul tanda dan gejala lain yang menyertai sesuai

dengan stadium yang mengenai pasien, umumnya akan ditemukan fibrosis.

Sebagian besar penderita Graves akan mengunjungi ahli penyakit dalam karena

keluhan kardiovaskuler, sebagian lain ke ahli bedah atau ahli THT karena keluhan benjolan

di leher yang jelas, dan sebagian lagi akan mengunjungi ahli mata akibat kelainan mata

khususnya eksoftalmus. Mengingat hal itu, maka sudah selayaknya apabila oftalmopati

Graves harus dikenal, dari bentuk yang paling ringan sampai yang terberat.1

BAB II

Page 5: REFERAT TTR PRINT.doc

PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1.1 KELENJAR THYROID

Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4 - 4 cm, yaitu pada

akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara

branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum,

kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami migrasi ke bawah,

akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus

tiroglossus, berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini

akan menghilang pada usia dewasa, tetapi pada beberapa keadaan masih menetap,

sehingga dapat terjadi kelenjar di sepanjang jalan tersebut, yaitu antara kartilago

tiroid dengan basis lidah. Kegagalan menutupnya duktus akan mengakibatkan

terbentuknya kelenjar tiroid yang letaknya abnormal yang disebut persistensi

duktus tiroglossus11.

Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri atas dua lobus, yang

dihubungkan oleh isthmus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kapsul fibrosa

menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea sehingga pada setiap gerakan

menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar ke arah kranial, yang

merupakan ciri khas kelenjar tiroid. Sifat inilah yang digunakan di klinik untuk

menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid

atau tidak.

Setiap lobus tiroid yang berbentuk lonjong berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar

1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Pada orang dewasa beratnya berkisar antara 10-20

gram.Vaskularisasi kelenjar tiroid terdiri dari9 :

A.tiroidea superior berasal dari a. karotis komunis atau a. karotis eksterna

A. tiroidea inferior dari a. Subclavia

Page 6: REFERAT TTR PRINT.doc

Sedangkan sistem vena berasal dari pleksus perifolikular yang menyatu di

permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah ke

kelenjar tiroid diperkirakan 5 ml/gram kelenjar/ menit; dalam keadaan

hipertiroidisme aliran ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar

bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar9,11.

Gambar 1. Glandula Thyroid

Secara fungsional glandula thyroid terbagi dua bagian. Parafollicular (C) cell

mensekresi calcitonin dan tidak berperan dalam fisiologi thyroid. Thyroid folikel

terbentuk dari sel epitel selapis yang membungkus koloid, yang terdiri dari

thyroglobulin, tempat penyimpanan hormon T3 dan T4.

T4 (thyroxine) adalah produk sekret utama gland thyroid mengandung 4 atom

iodine.Deiodinisasi T4 yang terjadi di hepar dan ginjal, meningkatkan T3 –

triiodithyronin, hormon thyroid aktif metabolit. Hormon tiroid mengandung 59-

65% elemen yodium. Hormon T4 dan T3 berasal dari iodinasi cincin fenol residu

tirosin yang ada di tiroglobulin. Proses biosintesis hormon tiroid secara skematis

dapat dilihat dalam beberapa tahap, sebagian besar distimulir oleh TSH, yaitu11,12:

a. Tahap trapping ( penangkapan iodida )

b. Tahap oksidasi iodida menjadi iodium

c. Tahap organifikasi iodium menjadi monoiodotirosin dan diiodotirosin

d. Tahap penggabungan prekursor yang teriodinisasi

Page 7: REFERAT TTR PRINT.doc

e. Tahap penyimpanan

f. Tahap pelepasan hormon

Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4

endogen mengalami konversi lewat proses monodeiodinasi menjadi T3. Jaringan

yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan (konversi) ini ialah jaringan

hati, ginjal, jantung dan hipofisis. 80% serum T3 dibentuk dari deiodinisasi,sisanya

disekresi oleh thyroid. Hanya sedikit hormon yang beredar di plasma (0,02% total

T4 dan 0,3% total T3); sisanya terikat oleh thyroxine-binding globulin (TBG),

transthyretin, dan albumin.

Fungsi tiroid berhubungan dengan hipotalamus, hipofise, dan aktifitas thyroid.

Thyrotropin releasing hormon (TRH) disekresi hipotalamus, menyebabkan sintesis

dan pelepasan TSH dari hipofise anterior. TSH menstimulasi thyroid melepas T4

dan T3. T4 dan T3 menghambat pelepasan TSH dan TSH response ke TRH di

hipofise.

Peranan hormon thyroid adalah regulasi metabolisme sintesis protein di

jaringan. Perkembangan SSP normal membutuhkan hormon tiroid selama 2 tahun

pertama kehidupan. Hipotiroid kongenital menyebabkan retardasi mental

ireversibel (cretinisme). Pertumbuhan normal dan pematangan tulang juga

membutuhkan hormon yang cukup12.

Gambar 2. Regulasi Hormon Tiroid

Efek Metabolik Hormon Tiroid

Page 8: REFERAT TTR PRINT.doc

Kalorigenik

Termoregulasi

Metabolisme protein

Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar

bersifat katabolik.

Metabolisme karbohidrat

Bersifat diabetogenik, karena resorpsi intestinal meningkat, cadangan

glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis dan

degradasi insulin meningkat.

Metabolisme lipid

Meskipun T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi

kolesterol dan ekskresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat,

sehingga pada hiperfungsi tiroid kolesterol rendah. Sebaliknya pada

hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat2,6.

Efek Fisiologis Hormon Tiroid

Pertumbuhan fetus

Efek pada konsumsi oksigen, panas, dan pembentukan radikal bebas

Kedua peristiwa diatas dirangsang oleh T3 lewat Na+K+ATPase di semua

jaringan kecuali otak, testis dan limpa. Metabolisme basal meningkat.

Hormon tiroid menurunkan kadar superoksida dismutase hingga radikal

bebas anion superoksida meningkat.

Efek kardiovaskular

T3 menstimulasi: a) transkripsi miosin hc-β akibatnya kontraksi otot

miokard menguat. b) transkripsi Ca2+ ATPase di retikulum sarkoplasma

meningkatkan tonus diastolik. c) mengubah konsentrasi protein G, reseptor

adrenergik, sehingga akhirnya hormon tiroid ini mempunyai efek

Page 9: REFERAT TTR PRINT.doc

yonotropik positif. Secara klinis terlihat sebagai naiknya curah jantung dan

takikardia.

Efek simpatik

Karena bertambahnya reseptor adrenergik-beta miokard, otot skelet, lemak

dan limfosit, efek pasca reseptor dan menurunnya reseptor adrenergik alfa

miokard, maka sensitivitas terhadap katekolamin amat tinggi pada

hipertiroidisme dan sebaliknya pada hipotiroidisme.

Efek hematopoetik

Kebutuhan akan oksigen pada hipertiroidisme menyebabkan eritropoiesis

dan produksi eritropoetin meningkat.

Efek gastrointestinal

Pada hipertiroidisme motilitas usus meningkat. Kadang ada diare. Pada

hipotiroidisme terjadi obstipasi dan transit time gaster melambat.

Efek pada skelet

Hipertiroidisme dapat menyebabkan osteopenia. Dalam keadaan berat

mampu menghasilkan hiperkalsemia dan hiperkalsiuria

Efek neuromuskuler

Turn-over yang meningkat juga menyebabkan miopati. Kontraksi serta

relaksasi otot meningkat (hiperrefleksia)2,6.

2.1.2 CAVUM ORBITA

Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang

membentuk dinding orbita. Volume orbita dewasa kira-kira 30 cc dan bola mata

hanya menempati sekitar 1/5 bagian ruangannya. Lemak dan otot menempati

bagian terbesarnya. Perdarahan berasal dari A.Ophthalmica yang bercabang

menjadi : 1. Cabang menuju otot ekstraokuler, 2. A.Retina Sentralis, 3.

A.Ciliaris Posterior.

Mata terletak didalam 2 rongga orbita, dgn volume sekitar 30cm3 berbentuk

seperti buah pir,dengan nervus opticus diibaratkan tangkainya. Pintu masuk

orbita berkisar 35mm diameter vertikal & 45mm diameter horizontal. Pada

Page 10: REFERAT TTR PRINT.doc

orang dewasa, kedalaman orbita bervariasi dari 40-45mm dari apertura sampai

apex orbita3.

Tujuh tulang yang membentuk rongga orbita :

1. Frontal

2. Zygomatic

3. Maxilla

4. Ethmoid

5. Sphenoid

6. Lacrimal

7. Palatine

Atap Orbita

Disusun oleh Os. Frontalis dan alla minor Os.Sphenoid

Bangunan yang penting adalah fossa glandula lacrimalis terdapat lobus orbital

dari glandula lacrimalis ; fossa untuk trochlea dari tendo oblique superior 5mm

dibelakang rima orbita superior nasal dan supraorbital notch / foramen yang

menjadi saluran vasa supraorbital dan cab.N frontalis

Dinding Lateral Orbita

Disusun oleh Os. Zygomaticus dan alla mayor Os.Sphenoid

Bangunan yang penting adalah tuberculum of Whitnall, tendon cantus lateral,

check ligament rectus lateral, ligamentum Lockwood dan Whitnall, dan sutura

frontozygomatic 1cm diatas tuberculum. Dinding lateral orbita adalah dinding

yang paling tebal.

Dinding Medial Orbita

Disusun oleh Os.Ethmoid, Os.Lacrimalis,Os.Maxilla, dan Os.Sphenoid

Bangunan yang penting adalah sutura frontoethmoid yang merupakan pintu

masuk arteri ethmoid anterior dan posterior. Terdapat lamina papyracea,

dinding paling tipis yang membatasi Sinus Ethmoid dan Os. Maxilla.

Page 11: REFERAT TTR PRINT.doc

Dasar Orbita

Disusun oleh Os.Maxilla, Os.Palatina,dan Os.Zygomatic

Bangunan yang penting adalah Infraorbital groove dan infraorbital canal yang

berisi arteri infraorbital dan cabang maxillaris dari N.Trigeminus3,5.

Gambar 3. Cavum Orbita

Otot- Otot Ekstraokuler

Terdiri atas :

1. M.rectus : medial, lateral, superior, inferior

2. M.oblique : superior, inferior

3. M.levator palpebrae superioris

Page 12: REFERAT TTR PRINT.doc

Gambar 4.Otot-otot ekstraoculer

Muscle Origin Insertion Blood supply SizeMedial rectus

Inferior rectus

Lateral rectus

Superior rectus

Superior oblique

Annulus of Zinn

Annulus of Zinn at orbital apex

Annulus of Zinn spanning the superior orbital fissure

Annulus of Zinn at orbital apex

Medial to optic foramen,between

Medially,in horizontal meridian 5,5 mm from limbus

Inferiorly,in vertical meridian 6,5 mm from limbus

Laterally,in horizontal meridian 6,9 mm from limbus

Superiorly,in vertical meridian 7.7 mm dari limbus

To trochlea,through

Inferior muscular branch of ophthalmic artery

Inferior muscular branch of ophthalmic artery & intraorbital artery

Lacrimal artery

Superior muscular branch of ophthalmic artery

Superior muscular

40.8mm long;tendon : 3.7mm long,10.3mm wide

40mm long;tendon : 5.5mm long,9.8 mm wide

40.6mm long;tendon : 8 mm long,9.2 mm wide

41.8mm long;tendon : 5.8 mm long,10.6 mm wide

40mm long;tendon : 20

Page 13: REFERAT TTR PRINT.doc

Inferior oblique

Annulus of Zinn and periorbita

From a depression on orbital floor near orbital rim

pulley, at orbital rim,then hooking back under superior rectus, inserting posterior to center of rotation

Posterior inferior temporal quadrant at level of macula; posterior to center of rotation

branch of ophthalmic artery

Inferior branch of ophthalmic artery and infraorbital artery

mm long,10.8 mm wide

37mm long;tendon : 9.6 mm wide

Inervasi Otot Ekstraokular

M.rectus lateral diinervasi CN VI (abducens), M.Oblique superior

diinervasi CN IV (trochlear), levator palpebra superior,rectus superior,rectus

medial,rectus inferior, dan oblique inferior diinervasi oleh CN III. CN III

punya cabang superior dan inferior : cabang superior menginervasi levator

palpebra superior dan M.rectus superior, dan cabang inferior menginervasi

rectus medial,rectus inferior, dan oblique inferior5.

Struktur Periorbita

Hidung dan Sinus Paranasal

Tulang orbita berbatasan dengan cavum nasi dan sinus paranasal. Sinus

berguna untuk mengurangi berat tulang tengkorak, atau berfungsi sebagai

resonator suara. Proses patologis di tempat ini secara sekunder dapat

mempengaruhi orbita termasuk sinonasal carcinoma, inverted papiloma,

Zygomycoses,Wegener Granulomatosis, dan Mukokel seperti sinusitis yang

dapat menyebabkan selulitis atau abses orbita3,5.

Page 14: REFERAT TTR PRINT.doc

Gambar 5. Sinus Paranasal

2.2 PATOGENESIS GRAVES OPHTHALMOPATHY

Sampai akhir dekade ini, fokus riset in vitro bergeser dari ekstraocular

muscle/myocytes menuju ke orbital fibroblast sebagai target utama dari proses

inflamasi terkait dengan TED. Orbital fibrobalst memegang peranan dalam mengatur

proses inflamasi. Tidak seperti fibroblast dari bagian tubuh lainnya, orbital fibroblast

mengekspresikan reseptor CD40 , umumnya terdapat dalam sel B. Ketika dirangsang

oleh T-cell bound CD154, beberapa fibroblast proinflamatory gen akan aktif,

termasuk interleukin (IL-6), IL-8, dan prostaglandin E-2 PGE2 yang menyebabkan

sintesis hyaluronan dan glikosaminoglikan (GAG) meningkat. Peningkatan regulasi

sintesis GAG dianggap penting dalam patologi TED, dan itu terjadi 100x lipat pada

fibroblast orbita dibanding fibroblast abdomen.Regulasi ini ditekan melalui pemberian

kortikosteroid dosis terapi.

Peranan TSH-R dalam proses ini juga diperiksa intensif. Ekspresi TSH-R dapat

terjadi pada semua sel tubuh. Respon orbital fibroblast terhadap TSH-R bisa jadi

karena up-regulation TSH-R mRNA sintesis pada populasi sel ini. Sinyal melalui

reseptor ini pada orbital fibroblast menyebabkan adipogenesis,memacu ekspansi

kompartemen lemak orbita yang terlihat pada pasien TED15.

Page 15: REFERAT TTR PRINT.doc

Studi terbaru juga mengidentifikasi adanya peran IgG yang mengenali dan

mengaktifkan reseptor insulin-like growth factor I yang ada di permukaan

bermacam-macam sel,termasuk fibroblast.Antibodi jenis ini banyak ditemukan pada

pasien Graves disease dan bisa menyebabkan orbital patogenesis dengan

merangsang orbital fibroblast untuk mengeluarkan glycosaminoglycan,cytokin,dan

chemoattractants.Respon ini mungkin bisa menyebabkan inflamasi dan kongesti

orbital. Memanipulasi jalur ini dengan agen biologi seperti rituximab baru-baru ini

menunjukkan strategi terapi yang menjanjikan sebagai terapi pasien dengan TED

yang severe15. Secara spesifik, TED melibatkan reaksi autoimun organ spesifik

dimana Ig G menyebabkan perubahan7 :

1. Inflamasi otot extraocular

Pleomorphic cellular infiltration, berhubungan dengan peningkatan sekrresi

glycosaminoglycan dan imbibisi osmotic air. Otot membesar, dan bisa menekan

N2.Degenerasi serat otot menyebabkan fibrosis, yang menyebabkan restrictive

myopathy dan diplopia

2. Infiltrasi sel radang

Limfosit,plasma sel,makrofag, mast sel jaringan inteerstisial, lemak orbita,dan

gland lacrimal dengan akumulasi glycosaminoglycan dan retensi cairan.

Volume orbita meningkat dan TIO naik sekunder.

Gambar 6. Skema Patogenesis Graves Ophthalmopathy

Page 16: REFERAT TTR PRINT.doc

2.3 DIAGNOSIS GRAVES OPHTHALMOPATHY

2.3.1 MANIFESTASI KLINIS

Gejala

Dekade 3-4 dengan penurunan Berat badan tetapi nafsu makan baik, peningkatan

bowel frequency, berkeringat, heat intolerance, nervousness, irritability, palpitasi,

weakness, dan fatigue7,8

Tanda

a. External

Pembesaran tiroid difus, fine hand tremor, palmar erythema, keringat dingin,

clubbing fingers dan onycholysis (plummer nails), pretibial myxoedema –

dermopathy infiltratif ditandai peningkatan plaque pada sisi anterior kaki

meluas sampai dorsum pedis.

b. Kardiovaskular

Sinus tachycardi, atrial fibrilasi, premature ventricle beats, dan high output

heart failure

Manifestasi Klinis pada Mata7,8

1. Soft Tissue Involvement

Gejala dapat berupa grittiness, photophobia, lacrimasi, retrobulbar discomfort.

Didapatkan tanda-tanda epibulbar hyperemia yang merupakan tanda inflamasi;

Periorbital edema dibelakang septum orbita, berhubungan dengan kemosis

dan prolaps lemak retroseptal ke kelopak mata; Superior limbic

keratoconjungtivitis

Prinsip penanganan dengan Lubricants untuk melindungi ocular surface, anti

inflamasi topikal (steroid,NSAID,Cyclosporin), head elevation utk mencegah

periorbiutal edema, Eyelid taping untuk mengurangi exposure

2. Lid retraction

Disebabkan oleh :

1. Fibrotic contractur : pada M.Levator berhubungan dengan adhesi pada

orbital tissue, Fibrosis M.Rectus Inferior bisa menyebabkan retraksi

Page 17: REFERAT TTR PRINT.doc

2. Overaksi sekunder superior rectus complex : sebagai respon hypotropia

karena fibrosis rectus inferior. Retraksi palpebra inferior bisa karena

overaksi rectus inf karena fibrosis rectus superior

3. Overaksi M.Muller : overstimulasi simpatis karena kadar hormon

meningkat

Tanda :

Normalnya upper 2mm dari limbus, lid retraction bila ada scleral show.

1. Dalrymple sign : retraksi palpebra pada keadaan ortoforia

2. Kocher sign : disebut sebagai penampakan memandang ketakutan, yang

timbul saat fiksasi pada satu objek

3. Von Graefe sign : Palpebra superior tak dapat mengikuti gerak bola mata,

bila penderita melihat ke bawah. Palpebra superior tertinggal dalam

pergerakannya

3. Proptosis

Proptosis timbul akibat pergeseran bola mata kedepan akibat peningkatan

volume orbita yang dikelilingi oleh struktur keras berupa tulang. Proptosis

dapat aksial, unilateral atau bilateral, simetris atau asimetris yang timbul pada

sekitar 80% penderita Grave’s oftalmopati dan sering permanent. Proptosis

yang berat dapat menyulitkan penutupan palpebra.

4. Neuropati optik

Neuropati optik disebabkan oleh kompresi nervus optik ataupun aliran darah

yang memperdarahi nervus optic pada apex orbita oleh kongesti. Penekanan

ini, yang dapat timbul tanpa adanya proptosis yang bermakna. Gejalanya dapat

berupa kegagalan pada visus sentral. Oleh karena itu keadaan atau visus pasien

harus sering dikontrol.

Page 18: REFERAT TTR PRINT.doc

5. Miopati restriktif

Motilitas okular terbatas diawali oleh udem inflamasi dan berakhir dengan

fibrosis. Tekanan intraokular dapat meningkat pada pandangan keatas akibat

dari kompresi okular oleh m.rectus inferior yang fibrosis dan dapat timbul

glaukoma akibat penurunan aliran vena episklera. Tandanya dapat berupa

gangguan pergerakan mata berdasarkan frekuensi yang tersering yaitu

elevasi, abduksi, depresi, dan adduksi7,8.

Gambar 7. Manifestasi Klinis Graves Ophthalmopathy

2.3.2 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan mata dapat dilakukan mulai dari visus, slit lamp, funduskopi,

tonometri, eksoftalmometer, dimana normal penonjolan mata sekitar 12-20 mm.

Selain itu dapat pula dilakukan tes lapangan pandang1.

Protrusi dari mata merupakan gejala klinik yang penting dari penyakit mata.

Eksoftalmometer Hertel adalah sebuah alat yang telah diterima secara umum

untuk menilai kuantitas proptosis. Eksoftalmometer adalah alat yang dipegang

tangan dengan dua alat pengukur yang identik (masing-masing untuk mata satu),

yang dihubungkan dengan balok horizontal. Jarak antara kedua alat itu dapat

diubah dengan menggeser saling mendekat atau saling menjauh, dan masing-

masing memiliki takik yang tepat menahan tepi orbita lateral. Bila terpasang

Page 19: REFERAT TTR PRINT.doc

tepat, satu set cermin yang terpasang akan memantulkan bayangan samping

masing-masing mata di sisi sebuah skala pengukur, terbagi dalam milimeter2,6.

Jarak dari kornea ke tepian orbita biasanya berkisar dari 12 sampai 20 mm, dan

ukuran kedua matanya biasanya berselisih tidak lebih dari 2 mm. Jarak yang lebih

besar terdapat pada eksoftalmus, bisa unilateral atau bilateral2,6.

Gambar 8. Exophthalmometer Hertel

2.3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium12

Serum T4

Total serum T4 terdiri dari 2 bagian : fraksi ikatan protein dan free hormon. Levet

T4 total bisa berubah akibat perubahan tingkat TBG, sementara eutiroid kadar T4

tetap normal. TBG dan T4 meningkat pada kehamilan dan kontrasepsi oral,

sementara T4 free tetap normal.TBG dan T4 rendah menunjukkan penyakit kronis,

malnutrisi protein, hepatic failure, pemakaian glucocorticoid.

Laboratorium menilai T4 dengan radioimmunoassay. T4 free dihitung dengan

multiplikasi T4 dengan uptake resin T3.

Serum T3

T3 tidak merefleksikan fungsi glandula tiroid karena :

1. T3 bukan produk sekresi utama tiroid

2. Karena banyak faktor bisa mempengaruhi T3 seperti nutrisi,medikasi, dan

mekanisme regulasi enzim yang mengubah T4 jadi T3

T3 level diindikasi pada pasien T3 thyrotoxicosis, dimana T4 dan free T4 normal

tetapi T3 meningkat

Page 20: REFERAT TTR PRINT.doc

Serum TSH

TSH disekresi oleh hipofise memiliki mekanisme negative feedback oleh serum T4

ddan T3. TSH meningkat pada hypotiriod dan turun pada hipertiroid. Serum TSH

menrupakan indikator disfungsi thyroid.

Konsentrasi TSH sangat rendah sehingga cukup sulit menentukan TSH normal atau

turun. Dalam tahun terakhir, sudah bisa didteksi penurunan 0,005 mU/L cukup

untuk membedakan kondisi normal atau abnormal. TSH test berguna untuk :

1. Screening penyakit tiroid

2. Memonitor terapi pengganti pasien hipotiroid (berubah setelah 6-8 minggu

3. Monitor terapi supresif untuk nodul tiroid atau kanker.

Serum Thyroid hormone-binding Protein Test

Konsentrasi TBG diukur dengan immunoassay. Namun, kurang penting untuk

mengetahui level TBG pada klinis.

Radioactive iodine uptake

Test selama 24 jam untuk mengukur kemampuan tiroid untuk memproduksi satu

dosis radioactive iodine, radioactive iodine uptake (RAIU) tidak selalu

akurat.RAIU digunakan untuk pasien hyperthyroid disebabkan oleh Graves disease

(RAIU >30-40%) toxic nodular goiter (normal)atau subakut tiroiditis (<2-4%)

Test for antithyroid antibodi

Antibodi penyakit tiroid bisa ditemukan dalam darah. Yang umum thyroid

microsomal antibody 95% Hashimoto, 55% Graves disease, 10% pada dewasa

tanpa penyakit tiroid.Kemudian juga ditemukan antibodi thyroglobulin. Pasien

Graves memliki antibodi pada TSH reseptornya.Menstimulus thyriod hormon.

Serum level thyroid-stimulating immunoglobulin dan hilangnya antithyroproxidase

antibody merupakan faktor resiko Graves ophthalmopathy12.

Page 21: REFERAT TTR PRINT.doc

CT Scan16

CT scan mampu memberikan visualisasi yang baik dari otot ekstraokuler dan

lemak intraconal, begitu juga apex orbita. Pembesaran otot terjadi hampir

bersamaan pada badan otot, dan penebalan biasanya lebih dari 4 mm.Insersi otot

biasanya tidak membesar. Perlu diperhatikan apex orbita untuk mengetahui bukti

kompresi nervus opticus, yang teridentifikasi pada potongan coronal. Derajat

proptosis sehubungan dengan dinding lateral orbita bisa diukur dengan CT Scan.

Scan struktur tulang orbita dan sinus disekitarnya dilakukan bila akan dilakukan

orbital decompression. Penambahan lemak intraconal juga dapat berakibat

proptosis.

Gambar 9. Potongan axial menunjukkan pembesaran badan otot extraocular tanpa keterlibatan tendo otot

Gambar 10. Potongan coronal menunjukkan pembesaran otot extraocular didalam orbita

Page 22: REFERAT TTR PRINT.doc

Gambar 11. Potongan sagital menunjukkan penambahan lemak intraconal serta pembesaran ringan otot extraoculer

Akurasi cukup tinggi, untuk menegakkan diagnosis thyroid ophthalmopathy. USG

orbita juga memiliki akurasi tinggi serta lebih hemat dan mudah,membuat USG

lebih dipilih ketika dibutuhkan visualisasi serial. Tidak jarang dapat terjadi

misinterpretasi karena orbital myositis juga mirip thyroid ophthalmopathy. Kondisi

ini sering unilateral, dan insersi tendo otot ekstraoculer juga membesar. Tumor

metastasis otot ekstraokuler juga mirip TED, walaupun lesinya biasanya

berhubungan dengan metastasis tulang atau orbita. Namun, etiologi lain perlu

dipertimbangkan apabila ditemukan pembesaran M.Rectus Lateral saja, karena hal

itu hampir tidak pernah ada pada Thyroid Orbitopathy.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI juga memberikan gambaran yang baik dari otot ekstraokuler. Jumlah lemak

dan gambaran Nervus Opticus juga lebih baik dari CT Scan. Pembesaran otot

biasanya isointense pada T1-weighted image dan isointense sampai minimal

hiperintense pada T2-weighted image. Intensitas tinggi pada otot extraoculer di T1

jarang terlihat,yang menunjukkan adanya infiltrasi lemak. Penemuan ini dapat

membedakan thyroid orbitopathy dari pseudotumor.

Page 23: REFERAT TTR PRINT.doc

Gambar 12. MRI axial menunjukkan pembesaran massa otot

Gambar 13. MRI Axial menunjukkan pembesaran M.rectus Inferior

Gambar 14. MRI Coronal menunjukkan pembesaran M.Rectus Inferior kanan

Page 24: REFERAT TTR PRINT.doc

Gambar 15. MRI Corona menunjukkan penjepitan (crowding) N.Opticus akibat pembesaran Otot Ekstraoculer

Ultra Sonografi

USG Orbita sangat baik untuk diagnosis, dan temuan khas biasanya hiperrefleksi

otot ekstraocular yang membesar. Insersi tendo juga dapat dilihat dengan mudah.

Gambar 16. USG B-Scan menunjukkan pembesaran M.Rectus Medial serta visualisasi insersi tendo

Gambar 17. USG A-scan yang menunjukkan refleksi sedang sampai tinggi dari otot ekstra ocular

Orbital myositis juga menyerupai thyropid orbitopathy. Tetapi insersi tendo juga ikut membesar.Hal itu yang membedakan dari thyroid ophthalmopathy16.

Page 25: REFERAT TTR PRINT.doc

2.3.4 DIAGNOSIS

Diagnosis Graves Ophthalmopathy ditegakkan apabila memenuhi 2 dari 3

tanda yang meliputi5 :

1. Riwayat pengobatan disfungsi Tiroid yang meliputi salah satu dari

penyakit dibawah ini :

a. Graves hyperthyroidism

b. Hashimoto thyroiditis

c. Adanya thyroid antibodi vaskuler tanpa ditemukan distiroid : TSH-r

(TSH-reseptor) antibodi, Thyroid binding Inhibitory

Immunoglobulins (TBII), Thyroid stimulating Immunoglobulins

(TSI), dan antimicrosomal antibody.

2. Tanda Orbita Tipikal :

a. Retraksi palpebra unilateral atau bilateral

b. Proptosis unilateral atau bilateral

c. Restrictive strabismus dalam pola tertentu

d. Compressive optic neuropathy

e. Edema palpebra / eritema

f. Kemosis / edema caruncular

3. Bukti radiografis berupa pembesaran fusiform unilateral/bilateral satu

atau lebih dari :

a. M. Rectus Inferior

b. M. Rectus Medial

c. M.Rectus Superior

d. M.Rectus Lateral

Bila hanya ditemukan tanda-tanda orbita, sebaiknya diobservasi untuk

kemungkinan penyakit orbita yang lain atau evaluasi perkembangan distiroid.

Page 26: REFERAT TTR PRINT.doc

Selain kriteria diatas, didapatkan sistem klasifikasi lain yaitu14 :

The Mourits Classification System to Access Disease Activity in Graves

Ophthalmopathy14

Pain

Painfull,oppresive feeling on or behind globe

Pain on attempted up,side, or down gaze

Redness

Redness of the eyelids

Diffuse redness of the conjunctiva

Swelling

Chemosis

Swollen caruncle

Edema of the eyelids

Increase in proptosis of 2mm or more over a period of 1-3 months

Impaired function

Decrease in visual acuity of one or more lines of the Snellen chart (using a

pinhole) during a period of 1-3 months

Decrease of the eye movement in any direction equal to or more than 5

degrees during a period of 1-3 months

Sistem ini berdasarkan dari tanda-tanda inflamasi ( dolor, rubor, tumor, kalor,

functio laesa ). Untuk setiap tanda yang muncul,bernilai satu poin. Jumlah

keseluruhan poin menunjukkan derajat aktivitasnya.

Page 27: REFERAT TTR PRINT.doc

Klasifikasi lainnya yaitu NOSPECS yang diperkenalkan oleh Dr.Sidney C.

Werner tahun 1963, yang diperbarui oleh American Thyroid Association

(ATA). Klasifikasi ini juga dikenal sebagai klasifikasi ATA1,2.

Detailed classification of eye changes of Graves Disease (Modified 1977)

0 No physical signs or symptoms

I Only Signs

II Soft-tissue involvement with  symptoms and signs

  o Absent

  a Minimal

  b Moderate

  c Marked

III  Proptosis ≥ 3 mm in excess of upper normal limit, with/without symptoms

o Absent

a 3-4 mm increase over upper normal

b 5-7 mm increase

c 8 or more mm increase

IV  Extraocular muscle involvement,usually with diplopia,other symptoms/sign

   o Absent

   a Limitation of motion, at extreme gaze

   b Evident restriction of motion

   c Fixation of globe or globes

 V  Corneal involvement (primarity due to lagophthlmos)

   o Absent

   a Stippling or cornea

   b Ulceration

   c Clouding, necrosis, perforation

 VI  Sight lost caused by optic nerve involvement

   o Absent

   a Disc pallor or choking, or visual field defect acuity 20/20 to 20/60

Page 28: REFERAT TTR PRINT.doc

   b Same, acuity 20/70 to 20/200

   c Blindness (failure to perceive light), acuity less than 20/200

2.3.5 Diagnosis banding16

1. Pseudotumor Orbita

Terdapatnya nyeri yang lebih hebat dan progresifitasnya cepat. Pseudotumor

orbital lebih sering proptosis dibandingkan retraksi palpebra, dan lebih sering

hanya terdapat penebalan m.rectus lateralis.

2. Myositis Orbital

Merupakan penyakit inflamasi otot ekstraokular yang disertai dengan nyeri dan

diplopia. Penyakit ini menyebabkan restriksi pergerakan pada otot yang terkena.

Biasanya penyakit ini tidak dikaitkan dengan penyakit sistemik, namun

keabnormalitas tiroid harus disingkirkan. Pada CT-Scan dan MRI didapatkan

penebalan otot ekstraokular disertai penebalan tendon yang tidak ditemukan

pada Grave’s oftalmopati.

2.4 Tatalaksana Graves Ophthalmopathy

TED self limiting disease sekitar 1 tahun pada bukan perokok dan 2-3 tahun

pada perokok. Reaktivasinya terjadi pada 5-10% kasus.Treatment TED tergantung

dari gejala,pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang. Sebagian besar pasien

TED hanya membutuhkan terapi suportif, meliputi topikal eye lubricant. Pada kasus

tertentu cyclosporine topikal mampu menurunkan inflamasi ocular surface.

Mengubah life style seperti diet rendah garam mampu menurunkan retensi air dan

orbital edema. Tidur dengan kepala tempat tidur naik mengurangi retensi cairan di

orbita. Pemakaian kacamata menurunkan dry eye dan fotofobia. Bila ada diplopia

gunakan prisma.

Bila inflamasinya parah, mungkin perlu intervensi untuk mencegah corneal

exposure, globe subluxation,atau optic neuropathy. Terapi ditujukan untuk

menurunkan kongesti dan inflamasi orbita melalui pemakaian periocular

kortikosteroid, atau jika respon tak adekuat, digunakan Kortikosteroid sistemik atau

periocular radiotherapi atau memperluas volume orbita dengan operasi orbital

Page 29: REFERAT TTR PRINT.doc

decompresion. Hypertiroid diobati dengan antitiroid. Bila tidak berespon, dilakukan

radioactive iodine (RAI) sebagai modalitas terapi.

Beberapa pasien diterapi Kortikosteroid oral, walaupun ini adalah strategi

untuk pasien resiko tinggi, pemakaian dosis moderat prednisone 1mg/kg selama 3

bulan, selama itu thyroid gland mengecil, tapi tidak indikasi untuk resiko rendah.

Terapi I-131, methamizole, dan thyroxine mampu mencegah eksaserbasi.

20% pasien TED menjalani operasi (7% orbital decompression, 9% operasi

strabismus,13% operasi kelopak mata. Operasi bisa ditunda sampai penyakitnya

stabil. Kecuali keadaan darurat untuk menghambat kehilangan visus karena

kompresi neuropati optik atau corneal exposure . Operasi elektif dilakukan sampai

euthyroid dan tanda ophthalmologi stabil selama 6-9 bulan.

Kortikosteroid oral Prednisone 1 mg/kg selama 2-4 minggu sampai ada

perbaikan klinis. Dosis kemudian diturunkan berdasar respon klinis dari fungsi

nervus opticus. Pada keadaan yang parah atau progress cepat perlu dipertimbangkan

dengan Metil prednisolone iv. Liver Function Test perlu dilakukan sebelum dan

selama pemberian karena ada hubungan hepatotoxicity utk obat ini. Walaupun

efektif merehabilitasi kompresi Nervus Opticus, tetapi kortikosteroid dosis tinggi

memiliki efek samping sistemik yang membatasi pemberian jangka panjang.

Beberapa peneliti menganjurkan adjuvant terapi berupa orbital radiotherapy (200

cGy). Mekanismenya masih belum dipahami dengan jelas, tetapi disamping

sterilisasi limfosit temporer juga terminal diferensiasi fibroblast dan membunuh

tissue-bond monocyte sebagai antigen presentation. Catatan,terapi radiasi kontra

indikasi pada pasien Diabetes Melitus atau vaskulitis dan juga radiasi mampu

menyebabkan retinopathy12.

Beberapa studi membuktikan keefektifan orbital radiotherapy ini pada

treatment compressive N2 dalam mengurangi ketergantungan terhadap surgical

decompression. Namun clinical trial ttg keefektifan radiotherapy dengan terapi sham

tidak berbeda signiikan secara statistik.Keterbatasan trial ini adalah mengeksklusi

pasien dengan optic neuropathy, kritik median waktu dari onset TED sampai

radiotherapy adalah 1,3 tahun.

Orbital decompression walaupun secara sejarah dipakai untuk mengelola optic

neuropathy, kongesti orbita, dan advanced proptosis, dipakai sebagai prosedur

Page 30: REFERAT TTR PRINT.doc

elektif untuk mengembalikan posisi bola mata pada pasien tanpa sight-threatening

ophthalmopathy. Pada fase stabil, rencana operasi dekompresi ditentukan

berdasarkan review preoperatif untuk mengetahui seberapa banyak dekompresi yang

dibutuhkan serta CT scan preoperatif untuk mencari keterlibatan pembesaran otot

ekstraokuler dan ekspansi lemak pada proptosis. Typically, ada perbedaan pada

keterlibatan orbita, pasien < 40th menunjukkan pembesaran kompartemen lemak

orbita, sementara pasien >40th menunjukkan pembesaran otot ekstraokular.

Perbedaan ini menentukan efektifitas operasi dekompresi tulang atau lemak. Orbital

decompression mungkin mengganggu motilitas extraocular dan bila diindikasikan

perlu juga operasi strabismus5,15.

Jika terdapat diplopia pada posisi primer saat posisi membaca, operasi

strabismus perlu dilakukan. Prosedur koreksi retraksi palpebra untuk mengurangi

corneal exposure. Karena operasi otot extraocular mungkin mempengaruhi eyelid

retraction, operasi ini sebaiknya dilakukan terakhir.

Alternatif : Toxin Botulinum jarang digunakan untuk mengurangi tight orbit

secara temporer pada strabismus restrictive atau untuk melemahkan otot palpebra

superior untuk mengobati eyelid retraction.Terdapat keterbatasan teknik dan praktik

(kesulitan titrasi efek dan distribusi agen ke orbit, inefektivitas botulinum toxin pada

otot yang fibrosis), terapi ini jarang digunakan, tetapi mungkin berguna pada pasien

yang kontraindikasi operasi.

Follow up jangka panjang pasien menunjukkan kehilangan penglihatan akibat

optic neuropathy jarang dan diplopia persisten dapat dikoreksi dengan kacamata

prisma. 50% pasien menilai bahwa mata mereka terlihat normal, sementara 38%

kurang puas5,13,15.

Page 31: REFERAT TTR PRINT.doc

BAB III

KESIMPULAN

Kelainan mata yang menyertai hipertiroidisme mempunyai arti penting, karena sebagian

besar penderita kelainan mata akibat tiroid adalah penderita penyakit Graves. Istilah umum

penyakit Graves telah digunakan untuk menyebut hipertiroidisme yang disebabkan oleh suatu

penyakit autoimun.

Patofisiologi penyakit ini kemungkinan berhubungan dengan inflamasi fibroblast di Orbita

yang menyebabkan pembesaran otot ekstraocular dan penambahan massa lemak orbita yang

menyebabkan proptosis, diplopia, sampai optic neuropathy. Penegakan diagnosis Graves

Ophthalmopathy didasarkan beberapa kriteria didukung oleh pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, CT Scan, MRI, dan atau Ultra Sonografi Orbita.

Penatalaksanaan Graves Ophthalmopathy bermacam- macam tergantung dari derajat

keparahannya mulai dari medika mentosa, radiotherapy, sampai surgical decompression.

Selain itu faktor resiko seperti usia, ras, jenis kelamin, serta kebiasaan merokok tampak juga

berperan terhadap timbulnya penyakit ini.

Page 32: REFERAT TTR PRINT.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Adam, John MF.et al.2006. Oftalmopati Graves, Epidemiologi, Klasifikasi, Dan

Penatalaksanaan. Medan : Indonesia. Hal 4-8.

2. Ain, Kenneth.MD.et al.2005. The Complete Thyroid Book. Mc.Graw-Hill. USA. Hal 315-

320

3. Chalam, K.V.MD.et al.2011. Fundamentals and Principles of Ophthalmology- Basic and

Clinical Science Course Section 2. American Academy of Ophthalmology. San

Fransisco,CA : USA. Hal 5-21.

4. Chana, L.L.MD et al.2008. Graves Ophthalmopathy : The Bony Orbit in Optic Neuropathy,

Its Apical Angular Capacity, and Impact on Prediction of Risk. American Society of

Neuroradiology.

http://www.ajnr.org/content/30/3/597.full

5. Holds, John Bryan.MD, et al.2011.Orbit,Eyelids and Lacrimal System-Basic and Clinical

Science Course Section 7. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco,CA : USA.

Hal 47-55.

6. J M Kim, et al.2004. The Relation of Graves Ophthalmopathy to Circulating Thyroid

Hormone Status. The British Journal of Ophthalmology 88th Edition. Hal 72-74.

http://bjo.bmj.com/cgi/content/full/88/1/72#BIBL

7. Kanski, Jack J.,Brad Bowling.2011.Clinical Ophthalmology-A Systematic Approach.

Elsevier : China. Hal 84-89.

8. Kline, Lanning B.MD, et al.2011.Neuro-Ophthalmology-Basic and Clinical Science Course

Section 5. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco,CA : USA. Hal 331-334.

9. Lubis, Rohdiah R. 2009. Graves Ophthalmopathy. Medan : Indonesia. Hal 3,5.

10. Paridaens, Dion A, et al. 2000. Transconjunctival orbital decompression in Graves'

ophthalmopathy: lateral wall approach ab interno. British Journal of Ophthalmology 84th

Edition :775-781 .Rotterdam : Netherlands.

http://bjo.bmj.com/content/84/7/775.full

11. Price, Sylvia A. 1994. Patofisiologi- Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC : Jakarta.

Hal 1070-1076.

Page 33: REFERAT TTR PRINT.doc

12. Purdy, Eric P.MD, et al. 2011. Update on General Medicine – Basic and Clinical Science

Course Section 1. American Academy of Ophthalmology. San Fransisco,CA : USA. Hal 208-

211.

13. Raab, Edward L.MD, et al.2011.Pediatric Ophthalmology and Strabismus-Basic and

Clinical Science Course Section 6. American Academy of Ophthalmology. San

Fransisco,CA : USA. Hal 135-136.

14. Riordan-Eva, Paul.2007.Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. Mc Graw Hill Lange

: USA. Hal 318-320.

15. Rosa Jr., Robert H.MD, et al.2011.Ophthalmic Pathology and Intraocular Tumors-Basic

and Clinical Science Course Section 4. American Academy of Ophthalmology. San

Fransisco,CA : USA. Hal 232-233.

16. Yen, Michael T.MD. 2010. Imaging in Thyroid Ophthalmopathy.

http://emedicine.medscape.com/article/383412-overview#a23. Diakses tanggal 9

September 2013