Referat Tetanus

30
REFERAT TETANUS Pembimbing : Dr. Zaki, Sp.S Disusun oleh : Raditya Rezha Yanoura NIM : 201073008 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 1

description

tetanus

Transcript of Referat Tetanus

REFERAT

TETANUS

Pembimbing :

Dr. Zaki, Sp.S

Disusun oleh : Raditya Rezha Yanoura

NIM : 201073008

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

STASE SARAF RSUD BANJAR

2015

1

2

BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan

berat. Dan pada tahun 1890, ditemukan toksin yang dikenal dengan tetanospasmin,

yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan

mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.1

Secara keseluruhan, tingkat kematian penderita tetanus sekitar 45%. Klinis

tetanus bergantung terhadap pernah atau tidaknya seseorang mendapatkan vaksin

tetanus toksoid pada waktu selama hidup mereka. Yang pernah mendapatkan vaksin

klinisnya tidak begitu berat berbeda dengan yang tidak cukup divaksinasi atau tidak

divaksinasi sama sekali. Angka kematian di Amerika Serikat 6% bagi mereka yang

telah menerima 1-2 dosis toksoid tetanus, dibandingkan dengan 15% bagi mereka

yang tidak divaksinasi. Angka kematian di Amerika Serikat adalah 18% 2001-2008

dan 11% tahun 1995-1997, tingkat kematian sebesar 91% dilaporkan pada tahun

1947. Angka kematian yang tertinggi bagi orang-orang berusia 60 (40%)

dibandingkan dengan mereka yang berusia 20 sampai 59 tahun (8%)2.

Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama

disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi pada telinga, luka tusuk pada anak usia

sekolah, sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Di negara maju kasus

tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan

kebersihan selama proses kelahiran. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi, akan

tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula.

Oleh karena itu, kasus tetanus akan dibahas lebih lanjut pada referat ini baik dari

klinis penyakit hingga penatalaksaannya.2

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus

otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang

dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini merupakan basil gram positif

anaerob, bersifat nonencapsulated dan berbentuk spora, yang tahan panas,

pengeringan dan desinfektan.1

Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit yang disebakan

oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani

yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku

(rigid). Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil mengisolasi organisme dari

korban manusia yang terkena tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya dapat

dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani

yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi

di saat spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme

otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme global, kejang, dan

paralisis pernapasan. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui

luka pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi

tali pusat (tetanus neonatorum).3

2.2. Karakteristik Clostridium tetani

Clostridium tetani termasuk dalam bakteri gram positif, anaerob obligat, dapat

membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini

sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Bakteri ini dapat tahan walaupun telah

diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia

lainnya. Bakteri Clostridium tetani banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan

4

hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi

pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing,

tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan

menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang

menyerang bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu

tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanolysin tidak diketahui dengan pasti,

namun juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospasmin

merupakan toksin yang cukup kuat. Tetanospasmin merupakan protein dengan berat

molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan

enzim proteolitik4.

Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik. Kuman

tetanus tumbuh subur pada suhu 17o C dalam media kaldu daging dan media agar

darah. Demikian pula media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat

mengfermentasi glukosa2.

Gambar 1. Clostridium tetani13

2.3. Epidemiologi

Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat kejadian tetanus yang

dilaporkan telah menurun secara substansial sejak pertengahan 1940 karena

meluasnya penggunaan imunisasi terhadap tetanus (lihat grafik di bawah). Selain itu

sanitasi lingkungan yang bersih2.

5

Gambar 2. Penurunan kasus tetanus di Amerika Serikat karena ada program imunisasi nasional13

Namun berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia,

insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan

karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,

perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan

pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena itu tetanus masih

menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering oleh

karena tetanus neonatorum. Akhir- akhir ini dengan adanaya penyebarluasan program

imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara

drastis4.

2.4. Klasifikasi

Secara klinis, tetanus dibedakan atas6 :

a. Tetanus lokal

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada

daerah tempat dimana luka terjadi. Hal inilah merupakan tanda dari tetanus

lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa

bulan tanpa progresif dan biasanya menghilang secara bertahap.

Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi tetanus umum, tetapi dalam

bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal

tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai

6

secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis

antitoksin.

b. Tetanus umum

Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul

mendadak, trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai.

Spasme otot maseter dapat terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher

dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan dan iritabilitas.

Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik

berupa risus sardonicus yakni spasme otot-otot muka. Kontraksi otot

meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan kontraksi otot

punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang

tetani bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi

ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada dalam kesadaran

penuh.

c. Tetanus sefalik

Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di

kepala, wajah atau otitis media, termasuk adanya benda asing dalam rongga

hidung. Banyak kasus berkembang menjadi tipe umum.

Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII paling

sering terlibat. Tetanus Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang

setelah menembus luka mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf

kranial III dan adanya ptosis. Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV, IX,

X, XI, dapat sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa

hari bahkan berbulan-bulan.

Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas7 :

Grade I: ringan

a. Masa inkubasi lebih dari 14 hari.

b. Periode onset > 6 hari

7

c. Ttrismus positif tapi tidak berat

d. Sukar makan dan minum tetapi disfagi tidak ada

e. Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan

kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.

Grade II: sedang

a. Masa inkubasi 10-14 hari

b. Periode onset 3 hari atau kurang

c. Trismus dan disfagi ada

d. Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis

tidak ada

Grade III: berat

a. Masa inkubasi < 10 hari

b. Period of onset < 3 hari

c. Trismus dan disfagia berat

d. Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat

banyak dan takikardia.

2.5. Etiologi

Clostridium tetani termasuk kuman yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan

membentuk spora. Spora ini mampu bertahan hidup terhadap lingkungan panas,

antiseptic, dan jaringan tubuh, sampai berbulan-bulan. Kuman yang berbentuk batang

ini sering terdapat dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa menyebar lewat debu

atau tanah yang kotor, dan mengenai luka. Clostridium tetani merupakan kuman gram

positif, menghasilkan eksotoksin yang neurotoksik4.

2.6. Patogenesis dan Patofisiologi

Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif

anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi

bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera atau luka (masa inkubasi).

8

Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya

adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri,

botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang

berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis

dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang

terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan

dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat yang

tidak steril5.

Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel

vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang

rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh

melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada

tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul

sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction

serta saraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah

masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi,

kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke Sistem

Saraf Pusat (SSP). Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan

saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter

sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol atau eksitasi terus menerus dan

spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter.

Neuron, yang melepaskan Gamma Aminobutyric Acid (GABA) dan glisin,

neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin,

menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan

sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter

(trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang

berat, pada extremitas, otot-otot pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana

toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum yang

spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang

9

otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf

tepi terpendek yang berasal dari sistem saraf kranial, dengan gejala awal distorsi

wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher5.

Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi

gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran

kemih, dan neuromuskular. Spasme laring, hipertensi, gangguan irama janjung,

hiperfleksi, hiperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang

dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan

penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi

namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan teliti5.

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada

beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara5 :

a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat

pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

b. Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari

refleks synaptik di spinal cord.

c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral

ganglioside.

Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System

(ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikardia,

aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urin5.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan

meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi

trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin

tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang

kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul

spasme otot yang khas4.

10

Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu6:

a. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa

kekornu anterior susunan syaraf pusat

b. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri

kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.

Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk

bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut

lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian

biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi5.

2.7 Manifestasi klinis

Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari

dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis.

Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan

susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan

penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang5.

Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini

berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada

masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi

dalam tiga tahap, yaitu7 :

a. Tahap awal

Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan

gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa

penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita

selama infeksi tetanus masih berlangsung.

b. Tahap kedua

Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus).

Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai

gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan

11

ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat

menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.

Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.

Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik

ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami

luka.

Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat

dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami

tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi

yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.

c. Tahap ketiga

Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang

refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot.

Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena

adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan

sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin

lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.

Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat

menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah

tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga

dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini

disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas,

sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.

12

Gambar 3. Spasme otot akibat masuknya toksin dari kuman Clostridium tetani13

2.8 Diagnosis banding

Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, dapat dinilai dari

pemeriksaan fisik, tes laboratorium (dimana cairan serebrospinal normal dan

pemeriksaan darah rutin, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase dapat

meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap

atau tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang

tetap normal6.

a. Meningitis bakterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada da kesadaran penderita biasanya menurun.

Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan

cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan

glukosa menurun.

b. Poliomyelitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.

Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi

dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.

c. Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang

ditemukan, kejang bersifat klonik.

13

d. Tetani

Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan fosfat

dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan

biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.

Gambar 4. Diagnosis banding tetanus7

2.9 Penatalaksanaan

A. Umum

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan

peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai

pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai berikut8:

1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:

Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),

membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini

penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah penyuntikan

ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.

2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan

membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan

personde atau parenteral.

14

3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya dan tindakan

terhadap penderita

4. Oksigen, pernafasan buatan bila perlu.

5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

B. Khusus (Obat- obatan)10

1. Antibiotika

Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari, IM.

Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit/

kgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap

peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-

40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam

dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan

dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.

Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,

bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi

pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.

Tetrasiklin, eritromisin dan metronidazole dapat diberikan terutama bila

penderita alergi penisilin. Dosis yang diberikan :

a. Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis

b. Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.

c. Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB

tiap 6 jam

2. Anti Tetanus Toksin

Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk :

a. Toksin bebas dalam darah

15

b. Toksin bergabung dengan jaringan saraf

Yang dapat dinertalisir adalah toksin yang bebas dalam darah.

Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir

oleh antioksidan. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan : anamnesa

apakah ada riwayat alergi, tes kulit dan mata, dan harus sedia adrenalin

1:1000. Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat

heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaktik.

Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Berhrmann (1987)

dan Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000-100.000 u yang diberikan

setengah lewat i.v. dan setengahnya i.m. pemberian lewat i.v.diberikan selama

1-2 jam.

3. Antitoksin lainnya

Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan

dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan

secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of

globulin", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius.

4. Tetanus toksoid

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan

pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang

berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan

sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.

5. Antikonvulsan

Tabel 1. Jenis Antikonvulsan9

Jenis Obat Dosis Efek Samping

16

Diazepam

Meprobamat

Klorpromasin

Fenobarbital

0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan /

4 jam (IM)

300 – 400 mg/ 4 jam (IM)

25 – 75 mg/ 4 jam (IM)

50 – 100 mg/ 4 jam (IM)

Stupor, Koma

Tidak Ada

Hipotensi

Depresi pernafasan

Obat yang lazim digunakan ialah9 :

a. Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan

dosis 0,5 mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum

10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian

diazepam peroral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgbb/kali sehari

diberikan 6 kali.

b. Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang

sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis

diazepam dapat di tingkatkan sampai 480mg/hari dengan bantuan

ventilasi mekanik. Dapat pula dipertimbangkan penggunaan magnesium

sulfat, dila ada gangguan saraf otonom.

c. Fenobarbital. Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m.

Dilanjutkan dengan dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis.

2.10 Komplikasi10

1. Pada saluran pernapasan

Oleh karena spasme dapat terjadi pada otot-otot pernapasan dan spasme

otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena

akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur dan makanan dan

minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi, atelektasis akibat

obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal emfisema biasanya

terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

17

2. Pada kardiovaskular

Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa

takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.

3. Pada tulang dan otot

Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan

dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat

kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa.

4. Komplikasi yang lain :

a. Laserasi lidah akibat kejang

b. Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja

c. Demam yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang

menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

d. Kematian yang dapat terjadi akibat komplikasi, yaitu:

bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumothoraks.

2.11 Prognosis

Dipengaruhi oleh beberapa faktor11 :

1. Masa inkubasi

Makin panjang masa inkubasinya makin ringan penyakitnya, sebaliknya makin

pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila inkubasi < 7

hari tergolong berat.

2. Umur

Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya makin

buruk.

3. Onset

Onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus sampai

terjadinya kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosanya dapat buruk.

18

4. Demam

Pada tetanus tidak selalu ada febris. Adanya hiperpireksia prognosanya jelek.

5. Pengobatan

Pengobatan yang terlambat prognosanya buruk.

6. Ada tidaknya komplikasi

7. Frekusensi kejang

Semakin sering prognosanya makin buruk.

2.12 Pencegahan

Pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-

satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian

imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian

imunisasi aktif (DPT atau DT). Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih

baik daripada mengobatinya. Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai

bagian dari vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus) Bagi yang sudah dewasa sebaiknya

menerima booster. Selain itu perawatan luka yang benar dan anti tetanus serum untuk

profilaksis.12

BAB III

KESIMPULAN

19

Angka kejadian penyakit tetanus sudah mulai berkurang di negara maju,

namun berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, insiden

dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena

tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka

yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya

kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.

Tetanus adalah penyakit yang gejalanya adalah kekakuan dari otot, terutama

otot wajah dan leher. Hal ini disebabkan oleh masuknya spora dari kuman

Clostridium tetani yang masuk melalui luka pada tubuh walaupun luka itu kecil.

Berat ringannya penyakit ini tergantung dari masa inkubasi, onset, kejang lokal atau

umum dan ada atau tidaknya gangguan autonomik karena hal ini yang menyebabkan

kematian pada tetanus.

Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab

kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum. Akhir- akhir ini dengan

adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan

dan kematian menurun secara drastis.

DAFTAR PUSTAKA

20

1. Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, Jilid I, Balai Penerbit FK UI, Jakarta: 2006,

hal 474-476.

2. Widiyono. 2008. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan

pemberantasan. Edisi I. Jakarta : Erlangga

3. Mardjono, mahar. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta Dian Rakyat.hal 323-

324.

4. Soedarmo, Garna, dkk. 2008. Tetanus. Buku Ajar Infeksi Tropik. Jakarta : EGC

5. Farrar, Cook T. Tetanus. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry.

hal 292-301.

6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan Tetanus.

Health Technology Assesment Indonesian.

7. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta. hal 1777-1784

8. Misbach, Jusuf, dkk. 2006. Standar Pelayanan Medis & Standar Prosedur

Operasional Neurologi. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Sarafn Indonesia

(PERDOSSI).

9. Philip, Jevon & Beverley. 2008. Pemantauan Pasien Kritis. Edisi II. Jakarta :

Erlangga.

10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan Tetanus.

Jakarta.

11. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2006. Neurologi. Palembang : FK

UNSRI

12. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Editor : Harsono. 2007. Buku

Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada