Referat Sinusitis
-
Upload
alvin-bernard -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of Referat Sinusitis
Kata Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan ridho-NYA penulis dapat
menyelesaikan referat dengan judul “Sinusitis”.
Referat yang berjudul “Sinusitis” ini bertujuan untuk mengetahui tentang kelainan dan
mengenali sinusitis secara lebih luas melalui definisi, etiologi, patogenesis, faktor resiko,
epidemiologi, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi,
prognosis, dan pencegahan.
Penyusun menyadari dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan dan masih
banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik yang
membangun guna menambah ilmu dan pengetahuan penyusun dalam ruang lingkup Ilmu
Telinga, Hidung dan Tenggorokan, khususnya yang berhubungan dengan referat ini.
Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih pada seluruh pembimbing di Departemen THT
RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, atas ilmu dan bimbingannya selama ini, khususnya kepada dr.
Susilaningrum, SpTHT. selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini. Semoga referat ini
bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, Agustus 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, bahkan
dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan terseringdi seluruh dunia.
Sinusitis menyerang 1 dari 7 orang dewasa di United States,dengan lebih dari 30 juta
individu yang didiagnosis tiap tahunnya. Individudengan riwayat alergi atau asma berisiko
tinggi terjadinya rhinosinusitis. 1,2. Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18-75
tahun dan kemudian anak-anak berusia 15 tahun. Pada anak-anak berusia 5-10 tahun. Infeksi
saluranpernafasan dihubungkan dengan sinusitis akut.
Gejala dan tanda sinusitis sangat bervariasi dan sering terlihat agak samar sehingga
membingungkan pemeriksa. Sinusitis ini juga biasanya sudah terlambat saat sudah
didiagnosis terutama pada sinus maksilla dan sfenoid
Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan, deteksi
dini, terapi maupun rehabilitasi dari sinusitis ini. Untuk dapat bereperan dalam hal tersebut
dokter perlu mengetahui terlebih dahulu segala aspek dari sinusitis ini, meliputi definisi,
anatomi fisiologi sinus paranasal, epidemiologi dan etiologi, gejala dan tanda, patofisiologi ,
diagnosis, komplikasi, terapi maupun pencegahanya. Penulis berusaha untuk menuliskan
semua aspek tersebut dalam tinjauan pustaka referat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SINUS PARANASAL
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena
terbentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Terdapat empat pasang sinus
paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan
sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-
tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai
muara (ostium0 ke dalam rongga hidung.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan frontal.
Sinus maksila dan etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang
dari sinus etmoid anterior pada anak berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus
sphenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga
hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18
tahun.
1. SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
memiliki volume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Bentuk : Pyramid.
Batas :
Dinding anterior : permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,
Dinding posterior : permukaan infratemporal maksila
Dinding medial : dinding lateral rongga hidung
Dinding superior : dasar orbita
Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum
Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi snus maksila adalah :
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga melalui infundibulum
yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan
pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi
drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
2. SINUS FRONTAL
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus,
berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah
lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahhun dan akan mencapai
ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya
dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang
dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya
tidak berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm.
sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relative
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus frontal, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.
3. SINUS ETMOID
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan focus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.
Batas :
Atap sinus etmoid (fovea etmoidalis) : lamina kribosa
Dinding lateral : lamina papirasea yang tipis dan membatasi
sinus etmoid dari rongga orbita
Dinding belakang : sinus sfenoid
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletan diantara konka
media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan
letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus
medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina
basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid pposterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dan lamina basalis.
Di bagian terdepan sinus etmooid anterior ada bagian yang sempit, disebut ressesus
frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut
infundibulum, tempat bermuaranya sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di
ressesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
4. SINUS SFENOID
Sinus sphenoid terletak dalam os sphenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sphenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2
cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. volumenya bervariasi dari 5-7,5
ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sphenoid
akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi
pada dinding sinus sphenoid.
Batas superior : fosa serebri media dan kelenjar hipofisis
Batas inferior : atap nasofaring
Batas lateral : sinus kavernosus dan a. karotis interna
Batas posterior : fosa serebri posterior di daerah pons
KOMPLEKS OSTEOMEATAL
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu meatus medius, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit
dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM), terdiri dari infundibulum
etmoid yang terdapat di belakang prosessus unsinatus, rressesus frontalis, bula etmoid
dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.
SISTEM MUKOSILIAR
Seperti pada mukosa hidung, pada sinus paranasa juga terdapat mukosa bersilia dan
palut lendir di atasnya. Di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya. Lendir yang berasal dari sinus anterior yang bergabung di
infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba eustachius. Lendir
yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di ressesus sfenoetmoidalis,
dialirkan ke nasofaring di posterosuperior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis
didapati sekret pasca nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga
hidung.
FUNGSI SINUS PARANASAL
a. Sebagai pengatur kondisi udara
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus
kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus
tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan panas, melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya
sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang
dilindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Karena dengan adanya sinus paranasal akan mengurangi berat tulang muka.
Namun bula sinus paranasal diisi tulang, hanya akan memberikan pertambahan
berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tida bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada wakt bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus
Mucus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukosa
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
B. PEMERIKSAAN SINUS PARANASAL
Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi dari luar,
palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transiluminasi, pemeriksaan radiologic
dan sinoskopi.
a. Inspeksi
Yang diperhatikan adalah adakah pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi
sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukkan
sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan
sinusitis frontal akut.
Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah
terbentuk abses.
b. Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nheri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila.
Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di sinus frontal, yaitu pada bagian medial
atau atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus
medius.
c. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan dengan menggunakan speculum hidung dengan hati-hati dan dibuka saat
speculum sudah berada di dalam dan waktu mengeluarkannya jangan ditutup dulu di
dalam agar bulu hidung tidak terjepit. Perhatikan vestibulum, septum nasi, konka
inferior, konka media, konka superior, meatus sinus paranasal, mukosa rongga
hidung. .
d. Rinoskopi posterior
Untuk melohat daerah nasofaring, dengan menggunakan spatula lidah dan kaca
nasofaring yang telah dihangatkan dengan lampu spiritus untuk mencegah udara
pernafasan mengembun pada kaca. Sebelum kaca ini dimasukkan, suhu kaca tes dites
dulu dengan menempatkannya pada kulit belakang tangan kiri pemeriksa. Pasien
diminta membuka mulut, lidah 2/3 anterior ditekan dengan spatula lidah. Pasien
bernafas melalui mulut, supaya uvula terangkat ke atas dan kaca nasofaring yang
menghadap ke atas dimasukkan melalui mulut ke bawah uvula dan sampai
nasofaring. Setelah kaca berada di nasofaring, pasien diminta bernafas biasa melalui
hidung, uvula akan turun kembali dan nasofaring akan terbuka. Perhatikan bagian
belakang septum dan koana, kaca diputar ke lateral untuk melihat konka superior,
konka media dan konka inferior, serta meatus superior dan meatus media. Kaca
diputar lebih ke lateral lahi sehingga dapat dilihat torus tubarius, muara tuba
eustachius dan Fossa rossenmuler, lalu kaca diputar ke sisi lainnya.
e. Transiluminasi
Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas hanya dapat dipakai untuk
memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, dan tidak dapat menggantikan peranan
pemeriksaan radiologic. Pada oemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, dipakai
lampu khusus sebagai sumber cahaya dan pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang
gelap. Transiluminasi sinus maksila dilakukan dengan cara memasukkan sumber
cahaya ke dalam mulut dan bibir dikatupkan sehingga sumber cahaya tidak tampak
lagi. Setelah beberapa menit tampak daerah infraorbita terang seperti bulan sabit.
Untuk pemeriksaan sinus frontal, lampu diletakkan di daerah nawah sinus frontal
dekat kantus medius dan didaerah sinus frontal tampak cahaya terang. Gambaran
yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan normal, bila gambaran gelap
berarti mungkin sinusitis atau sinus yang tidak berkembang.
f. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologik untuk menilai sinus paranasal dengan posisi waters,
posteroanterior dan lateral. Posisi waters untuk menilai sinus maksila, frontal dan
etmoid. Posisi posteroanterior untuk menilai sinus frontal. Posisi latera untuk menilai
sinus frontal, sphenoid dan etmoid. Untuk melakukan penilaian kompleks
osteomeatal dilakukan pemeriksaan dengan CT scan potongan aksial dan koronal.
Indikasi CT scan hidung dan sinus paranasal adalah pada sinusitis kronik, trauma
(fraktur frontobasal) dan tunor.
g. Sinoskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop yang dimasukkan
melalui lubang yang di buat di meatus medius atau di fossa kanina. Dengan sinoskop
dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi,
tumor, kista, keadaan mukosa dan apakah ostium sinus terbuka atau tidak.
C. SINUSITIS PARANASAL
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paanasal. Umumnya dipicu atau
disertai dengan rhinitis sehingga sering disebut rinnosinusitis. Bila mengenai beberapa
sinus disebut multisinusitis, bila mengenaii seluruh sinus disebut pansinusitis. Sinus
maksila dan sinus etmoid paling sering terkena dibandingkan sinus frontal dan sinus
sphenoid. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena dapat menimbulkan komplikasi ke
orbita dan intrakranial.
Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan faktor predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,
kelainan anatomi, seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks
osteomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia
pada Sindrom Kartagener dan fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan fakrot penting penyebab sinusitis sehingga
perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan
rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi
lateral.
Faktor lain yang juga berperan adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering
serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama lama menyebabkan perubahan mukosa dan
merusak silia.
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar di dalam KOM. Mucus juga mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa
yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis
non bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik
untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
sebagai rhinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena adanya faktor predisposisi), infkamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak
dan ini merupaka rantai siklus yang terus berputar hingga akhirnya perubahan mukosa
menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan
ini mungkin diperlukan tindakan operasi.
Klasifikasi dan Mikrobiologi
1. SINUSITIS INFEKSIOSA
a. Sinusitis Akut
Gejala subjektif : Demam, malaise, nyeri kepala, wajah bengkak, terasa
penuh, nyeri pipi tumpul dan menusuk, gigi terasa nyeri
Gejala objektif :
Rinosk. Ant à Pus dalam hidung
Rinosk. Post à Sekret mukopurulen dalam nasofaring
Sinus maksilaris terasa nyeri pada palpasi dan perkusi
Penatalaksanaan :
Antibiotik spektrum luas
Dekongestan
Analgetik & kompres hangat pada wajah
Bila antibiotik gagal à irigasi antrum segera ( dapat dilakukan dengan 2 cara)
1) Sinusitis Maksilaris
Sinusitis maksilaris akut biasanya mengikuti infeksi saluran nafas atas yang
ringan. Alergi hidung yang kronik, benda asing dan deviasi septum nasi
merupakan factor – factor predisposisi yang paling sering ditemukan
Gejala : demam, malaise, nyeri kepala yang tidak jelas yang biasanya reda
dengan pemberian analgetik seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, nyeri tekan
pada pipi yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan dapat berbau busuk.
Pemeriksaan penunjang :
1. radiologi : radiogram harus dibuat dengan posisi tegak dan terlentang.
Gambaran radiologi mula – mula berupa penebalan mukosa, diikuti
dengan opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat
atau cairan yang memenuhi sinus, terbentuk air fluid level yang khas
akibat akumulasi pus.
2. USG
3. Hitung darah lengkap
4. Biakan hidung
Terapi :
1. farmakologik :
a. antibiotic spektrum luas seperti amoksisilin, ampisilin, eritromisin
+ sulfonamide
alternative lain : amoksisilin/klavulanat, sefalosklor, sefuroksim,
dan trimethoprim + sulfonamide
b. dekongestan : pseudoefedrin
c. tetes hidung poten
d. analgetik
2. kompres air hangat pada wajah untuk meredakan gejala
3. pengangkatan benda asing
4. koreksi bedah septum nasi yang berdeviasi
2) Sinusitis Etmoidalis
Gejala : nyeri dan nyeri tekan diantara kedua mata dan di atas jembatan
hidung, drainase dan sumbatan hidung
Terapi :
1. Farmakologik :
a. Antibiotik sistemik
b. Dekongestan hidung
c. Obat semprot atau tetes vasokonstriktor topikal
2. etmoidektomi : jika ancaman terjadi komplikasi atau perbaikan yang tidak
memadai
3) Sinusitis Frontalis
Gejala : gejala infeksi, nyeri kepala yang khas, Nyeri berlokasi di atas alis
mata, biasa pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian
perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam, dahi tersa nyeri bila
disentuh, tanda patognomonik adalah nyeri yang hebat pada palpasi atau
perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi, Radiogram memperlihatkan
adanya penebalan periosteum atau kekeruhan sinus yang menyeluruh, atau
suatu air fluid level.
Terapi :
1. farmakologik : antibiotic, dekongestan, tetes hidung vasokonstriktor
2. Drainase dengan teknik trepanasi bila terjadi kegagalan penyembuhan
segera atau timbul komplikasi.
4) Sinusitis Sfenoidalis
Gejala : nyeri kepala mengarah pada verteks kranium
b. Sinusitis Sub Akut
Gejala subjektif : akut, tanda radang (-)
Gejala objektif : sama seperti akut
Penatalaksanaan :
Medikamentosa = akut
Tindakan : - Diatermi
- Pungsi dan irigasi
- Antrostomi
c. Sinusitis Kronik
Berdasarkan kriteria International on Sinus Disease tahun 1993
Diagnosa Sinusitis Kronik :
2 gejala mayor, atau
1 gejala mayor + 2 gejala minor
Gejala Mayor
Wajah terasa nyeri/ tertekan
Wajah terasa penuh
Obstruksi nasal
Ingus bernanah / post nasal drip
Hiposmia / anosmia
Gejala Minor
Sakit kepala
Demam
Halitosis
Keletihan
Nyeri gigi
Batuk
Nyeri telinga/ terasa penuh, tertekan
Gejala objektif : Pada pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut
Tidak terdapat pembengkakan wajah
Rinoskopi ante-posterior = sinusitis akut
Penatalaksanaan :
Cari faktor predisposisi dan penyebab à terapi disesuaikan
Medikamentosa à antibiotik dan dekongestan
Pembedahan à Caldwell-Luc procedure, FESS
2. SINUSITIS NON INFEKSIOSA
Barosinusitis
Penyebab : gangguan ostium sehingga ostium tidak mampu menjaga keseimbangan
tekanan di dalam sinus
Penatalaksanaan : dekongestan sistemik dan topikal, antibiotik, menghindar dari
perubahan tekanan hingga pulihnya fungsi ostium sinus
Sinusitis Alergika
Polip hidung biasanya berasal dari sinus dan dapat memenuhi rongga sinus tersebut.
Penatalaksanaan :
1. Farmakoterapi :
a. Steroid (topikal dan sistemik)
b. Dekongestan
c. Antihistamin
2. Reseksi : jika menyumbat jalan nafas atau ostium sinus
3. Pembedahan sinus tambahan dengan teknik fenestra naso antrium atau sinus frontalis
jika polipoid meluas dan berulang. Jika polipoid menyerang konka dilakukan
turbinektomi parsial, bedah beku atau diatermi untuk mengecilkan konka.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA