Referat Rm
-
Upload
aiyasoraya -
Category
Documents
-
view
48 -
download
0
description
Transcript of Referat Rm
BAB 1PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera medula spinalis traumatik berupa lesi traumatik pada medula spinalis dengan
beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Dan salah satu penyebab gangguan
fungsi saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan yang
lebih banyak dijumpai pada usia produktif ini seringkali mengakibatkan penderita harus
terbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda karena tetraplegia atau paraplegia. Selain
itu, Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak berdayaan,
rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi yang tinggi.
Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian
(insidensi) trauma ini sekitar 11,5 – 53,4 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Belum
termasuk dalam data tersebut jumlah penderita yang meninggal pada saat terjadinya cedera
akut. Sedangkan 40% trauma spinal ini disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40%
luka tembak, olahraga, kecelakaan kerja. Lokasi trauma dislokasi cervical paling sering pada
C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3.
Menurut National Spinal Cord Injury Statistical Center (NSCISC, 2000), lebih dari
sepuluh tahun lalu angka kejadian antara pria dan wanita adalah 7 : 4, dengan rata-rata cedera
pada usia 31,8 tahun dengan 50% cedera pada usia 16-30 tahun. Setiap tahun di Amerika
Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu mengalami cedera medula spinalis. Sampai
tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak 183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan
cedera medula spinalis di negara tersebut.2 Di Amerika Serikat, pengeluaran rata-rata
tahunan untuk penderita cedera medula spinalis dengan tetraplegia tinggi (C1-C4) yaitu
sekitar Rp 8,8 miliar untuk tahun pertama dan Rp 1,5 miliar untuk tahun-tahun berikutnya.
Sementara estimasi pengeluaran untuk seumur hidup pada pasien yang sama yaitu sekitar Rp
39,3 miliar bila usia saat cedera adalah 25 tahun dan Rp 21,6 miliar bila usia saat cedera
adalah 50 tahun.
Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama dengan
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk mengetahui
epidemiologi penderita cedera medula spinalis dan yang mengalami paralisis di Amerika
Serikat. Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 5.596.000
orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi fungsional yang digunakan
dalam survei tersebut. 4 Sekitar 0,4% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000
orang dilaporkan mengalami paralisis dikarenakan oleh cedera medula spinalis dengan
penyebab yang paling sering adalah kecelakaan kerja (28%).
Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak di
Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%), diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%),
menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%).
Perbaikan dalam sistem pelayanan medis emergensi, perkembangan automobil yang
lebih aman, standar keamanan okupasional yang lebih baik dan regulasi yang lebih baik
dalam beberapa jenis olahraga tertentu telah memberikan dampak yang positif terhadap
kecenderungan demografi.Sementara insiden cedera medula spinalis traumatik menurun
secara keseluruhan, persentase cedera medula spinalis diakibatkan oleh kekerasan domestik
mulai meningkat.
Bila dibandingkan dengan negara maju, insiden cedera medula spinalis lebih tinggi di
negara yang sedang berkembang. Penyebab cedera medula spinalis di negara berkembang
bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar 49%
penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30% di Taiwan. Jatuh dari
ketinggian mewakili penyebab cedera medula spinalis lainnya dengan angka sebesar 36,5%
di Turki dan 21,2% di Jordania.
Di Bangladesh, penyebab cedera medula spinalis yang paling sering adalah jatuh saat
membawa beban berat di kepala dan kecelakaan lalu lintas. Penyebab lainnya yaitu luka
tembak (antara 1,9% dan 29,3% di Turki), luka tusuk (antara 1,38% dan 3,33% di Turki,
25,8% di Jordania) dan kecelakaan saat menyelam.
Secara keseluruhan, 60% pasien mengalami paraplegia dan 40% tetraplegia. Usia rata-
rata saat cedera adalah 30 tahun di Nigeria, 35,5 dan 15,1 tahun di Turki, 33 tahun di
Jordania dan 10-14 tahun di Bangladesh. Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 10:1
di Nigeria, 1,7 : 1 di Taiwan dan 5,8 : 1 di Jordania.
Cedera akut tulang belakang spinal cord merupakan penyebab yang paling sering dari
kecacatan dan kelemahan setelah trauma.Oleh karena itu, evaluasi dan pengobatan pada
cedera tulang belakang, spinal cord dan nerve roots memerlukan pendekatan yang
terintegrasi. Diagnosa dini, prevervasi fungsi spinal cord danpemeliharaan aligment dan
stabilitas merupakan kunci keberhasilan manajemen.Penanganan, rehabilitas spinal cord dan
kemajuan perkembangan multidisiplinertim trauma dan perkembangan metode modern dari
fusi cervical dan stabilitasmerupakan hal penting harus dikenal masyarakat
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari referat ini adalah apakah definisi, klasifikasi, penyebab,
pemeriksaan, penatalaksanaan serta rehabilitasi medik dalam menangani masalah cedera
medula spinalis.
C. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah sebagai tugas kepaniteraan klinik stase rehabilitasi
medik Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta di RSOT Prof Dr
Soeharso Surakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera yang mengenai
medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik, sensorik,
otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian.1
B. Epidemiologi
Menurut NSCISC, di USA terjadi 11.000 kasus cedera medula spinalis tiap tahun.1
Penyebab utama cedera medula spinalis antara lain kecelakaan (50,4%), terjatuh (23,8%),
dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (9%). Sisanya akibat kekerasan terutama luka
tembak dan kecelakaan kerja.1,3
C. Anatomi
Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat (SSP).Terbentang dari
foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut conus
terminalis atau conus medullaris (Gambar 1).Terbentang dibawah conus terminalis serabut-
serabut bukan saraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat.
8 pasang saraf servikal
12 pasang saraf torakal
5 pasang saraf lumbal
5 pasang saraf sakral
1 pasang saraf koksigeal
Gambar 1. Anatomi medula spinalis.4
Terdapat 31 pasang saraf spinal: 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf torakal, 5
pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral dan 1 pasang saraf koksigeal. Akar saraf lumbal
dan sakral terkumpul yang disebut dengan kauda equina.Setiap pasangan saraf keluar melalui
intervertebral foramina.Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga
oleh meningen spinal dan CSF.
Struktur internal medula spinalis terdiri dari substansi abu abu dan substansi
putih.Substansi Abu-abu membentuk seperti kupu-kupu dikelilingi bagian luarnya oleh
substansi putih.Terbagi menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior median fissure san
median septum yang disebut dengan posterior median septum.Keluar dari medula spinalis
merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal.Substansi abu-abu mengandung badan sel
dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, saraf sensoris dan motoris dan akson
terminal dari neuron. Substansi abu-abu membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga
bagian yaitu: anterior, posterior dan komisura abu-abu. Bagian posterior sebagai input
/afferent, anterior sebagai output/efferent, komisura abu-abu untuk refleks silang dan
substansi putih merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.
D. Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk dipahami, sehingga
dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat dengan tujuan untuk mengurangi
atau mencegah efek dari cedera sekunder.1
(A) (B)
Gambar 2. (A) Skema medula spinalis potongan sagital, A. Medula spinalisintak (sebelum
trauma), B. Medula spinalis setelah cedera.5
Pada skema (Gambar 2), menggambarkan kombinasi dari berbagai macam tipe cedera
medula spinalis.Banyak sel di medula spinalis mati seketika secara progresif setelah
terjadinya cedera.Kista biasanya terbentuk setelah cedera memar.Setelah mengalami luka
tusuk, sel dari sistem saraf perifer seringkali meenyebabkan daerah yang terkena tusuk
membentuk jaringan parut yang bergabung bersama astrosit, sel progenitor, dan
mikroglia.Akson asending dan desending banyak yang terganggu dan gagal memperbaiki
diri.Beberapa akson membentuk sirkuit baru, akson dapat menembus kedalam trabekula dan
dibentuk oleh sel ependim.Segmen akson bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag.
Sebagian remielinasi muncul spontan, yang terbanyak dari sel schwan.5
Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi vertebra yang
parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medula atau distraksi
aksial dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan (stretch) padamedula.
Biasanya cedera medula spinalis disertai subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari vertebra
yang menekan medula diantara tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang belakang
jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan tulang lain atau fragmen
diskus intervertebralis dapat menekan ke dalam kanalis spinalis dan menjepit medula dan
arteri spinalis. Cedera seringkali terjadi pada orang tua dengan artritis degeneratif dan
stenosis vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligantum flavum yang
terletak di kanalis vertebra posterior dari medula. Medula spinalis terjepit diantara spurs
(osteofit) anterior dari tulang yang mengalami artritis dan posterior dari ligamentum flavum,
sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan sebutan sindroma medula sentral.2
Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera primer dan
sekunder.1 Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula spinalis, pertama adalah
dampak cedera disertai kompresi persisten, pada umumnya terjadi akibat fragmen tulang
yang menyebabkan kompresi pada spinal, fraktur dislokasi, dan rupture diskus akut. Kedua,
Dampak cedera disertai kompresi sementara, dapat terjadi misalnya pada seseorang dengan
penyakit degeneratif tulang cervikal yang mengalami cedera hiperekstensi.Ketiga adalah
distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan pada bidang aksial akibat distraksi
yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau adanya dislokasi yang menyebabkan
pergeseran atau peregangan dari medula spinalis dan atau asupan darahnya.Biasanya
mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan radiologis dan pada umumnya terjadi pada
anak-anak dimana vertebranya masih terdiri dari tulang rawan, ototnya masih belum
berkembang sempurna, dan ligamennya masih lemah.Pada orang dewasa, cedera medula
spinalis tanpa disertai kelainan radiologis umumnya terjadi pada seseorang dengan penyakit
degeneratif tulang belakang.Keempat yaitu laserasi atau transeksi, dapat terjadi akibat luka
tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau distraksi yang parah. Laserasi dapat terjadi
mulai dari cedera yang ringan sampai transeksi lengkap.1
Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan sebagian
mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi substansia grisea lebih
lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap awal akan terjadi perdarahan pada
medula spinalis dilanjutkan dengan terganggunya aliran darah medulla spinalis menyebabkan
hipoksi dan iskemia sehingga terjadi infark lokal. Hal ini menyebabkan substansia grisea
rusak.1
Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena kebutuhan metaboliknya
yang tinggi.Saraf yang mengalami trauma secara fisik terganggu dan ketebalan myelinnya
berkurang.Perdarahan mikro (mikrohemorrages) atau edema di sekitar saraf yang mengalami
cedera, dapat menyebabkan saraf tersebut semakin terganggu. Hal tersebut yang mendasari
pemikiran bahwa substansia grisea mengalami kerusakan yang ireversibel selama satu jam
pertama, sedangkan substansia alba mengalami kerusakan selama 72 jam setelah cedera.1
Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan patologis akan
hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera memicu timbulnya kaskade yang
terdiri dari akumulasi produksi asam amino, neurotransmiter, eicosanoid vasoaktif, radikal
bebas oksigen, dan produk dari peroksidasi lipid.Program jalur kematian sel juga teraktivasi.
Terjadi kehilangan darah dari barier medula akibat edema dan peningkatan tekanan jaringan.2
Selama berlangsungnya perdarahan pada medula, maka suplai darah menjadi terbatas,
sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan kerusakan medula lebih lanjut sehingga
timbul cedera sekunder.1,2 Cedera sekunder meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular
seperti perdarahan dan reperfusi-iskemia, eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi
kalsium dan gangguan cairan elektrolit, trauma imunologik, apoptosis, gangguan fungsi
mitokondria, dan proses lainnya.1
E. Klasifikasi
Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA) berdasarkan
hubungan antara kelengkapan dan level cedera dengan defisit neurologis yang timbul
(Gambar 3):6
1. Komplit: Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang tersisa pada segmen sakral S4-S5
2. Inkomplit: Terdapat fungsi sensorik tanpa fungsi motorik di bawah lesi termasuk segmen
sakral S4-S5.
3. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh memiliki
kekuatan otot kurang dari 3.
4. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh memiliki
kekuatan otot 3 atau lebih.
5. Normal: Fungsi motorik dan sensorik normal.
Gambar 3.Kategori pasien cedera medula spinalis berdasarkan tingkat dan derajatdefisit
neurologis menurut sistem ASIA.6
F. Manifestasi Klinis
Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan kehilangan fungsi saraf
sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu, hilangnya reflek pada segment dibawah
lesi, termasuk bulbokavernosus, kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan
reflek tendon dalam. Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah dan
kadar ion pada lesi. Pada trauma medula spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa fungsi
di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis dapat kembali
seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi kembali membaik secara
bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah trauma.2
Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik dapat
menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi dari terjadinya
cedera. Defisit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang atau tersisa) dapat digambarkan
dari pola kerusakan medula dan radiks dorsalis demikian juga sebaliknya, antara lain:2,6,7
1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan fungsi
transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah lesi.
Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang parah mereduksi diameter
kanalis spinalis dan menghancurkan medula. Konsekuensinya bisa terjadi paraplegia atau
quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi otonomik termasuk fungsi
bowel, bladder dan sensorik.
2. Lesi Inkomplit
a. Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada separuh bagian
ventral medula (traktus spinotalamikus dan traktus kortikospinal) dengan kolumna
dorsalis yang masih intak dan sensasi raba (propioseptif), tekan dan posisi masih
terjaga, meskipun terjadi paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri (nosiseptif
dan termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan mekanisme herniasi diskus akut
atau iskemia dari oklusi arteri spinal.
b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medula spinalis secara ekstensif pada
salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan (paralisis) dan kehilangan kontrol
motorik, perasaan propioseptif ipsilateral serta persepsi nyeri (nosiseptif dan
termosepsi) kontralateral di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi akibat luka tusuk
atau tembak.
c. Sindrom medula sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada sentral medula
spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai cedera yang konkusif. Cedera
tersebut mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas atas lebih buruk dibandingkan
ekstremitas bawah disertai parestesi. Namun, sensasi perianal serta motorik dan
sensorik ekstrimitas inferior masih terjaga karena distal kaki dan serabut saraf
sensorik dan motorik sacral sebagian besar terletak di perifer medula servikal. Lesi ini
terjadi akibat mekanisme kompresi sementara dari medula servikal akibat ligamentum
flavum yang tertekuk selama trauma hiperekstensi leher. Sindroma ini muncul pada
pasien stenosis servikal.
d. Sindroma konus medularis. Cedera pada regio torakolumbar dapat menyebabkan sel
saraf pada ujung medula spinalis rusak, menjalar ke serabut kortikospinal, dan radiks
dorsaliss lumbosakral disertai disfungsi upper motor neuron (UMN) dan lower motor
neuron (LMN).
e. Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang atau ekstrusi
diskus pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks dorsalis kompresi lumbosakral
dibawah konus medularis. Pada umumnya terdapat disfungsi bowel dan bladder,
parestesi, dan paralisis.
Gambar 4.Pola Cedera medula spinalis.6
G. Pemeriksaan Fisik
Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma. Deteksi awal cedera
medula spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa (sequele) pada fungsi neurologik.
Pasien yang diduga mengalami cedera medula spinalis harus dilakukan imobilisasi dengan
menggunakan collar servikal (collar brace) dan papan (backboards).2
(a) (b)
Gambar 5. A. Collar servikal, B. backboards.
Di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit/ puskesmas) dilakukan penanganan terhadap
hipoventilasi, hipoksia, dan hiperkanea (yang biasanya ditemukan pada cedera medula
servikal tinggi).Selain itu juga dapat terjadi hipotensi yang disertai bradikardi, akibat
hilangnya inervasi simpatik pada jantung saat terjadi cedera medula servikal yang disebut
syok neurogenik. Hilangnya inervasi simpatik juga dapat menyebabkan ileus paralitik
disertai sekuestrasi cairan abdomen, distensi kandung kemih, dan hipotermi.2
Setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adannya fraktur vertebra yang tidak stabil
hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto rontgen). Resusitasi terhadap hipotensi dan
hipoventilasi harus segera dilakukan. Jika pasien sadar, riwayat kejadian harus ditanyakan,
termasuk mekanisme terjadinya cedera, dan adanya nyeri dan gejala neurologik lain yang
timbul. Adanya keluhan berupa parestesi harus di perhatikan.Sakit kepala hebat, terutaama
sakit kepala daerah oksipital, biasanya disertai fraktur odontoid atau hangman's fracture
(fraktur bilateral dari pedikel C2).Palpasi pada pasien dengan menggerakan vertebra minimal
didapatkan nyeri tekan atau deformitas.Untuk mengetahui adanya paralisis, pasien diminta
untuk menggerakkan tangannya sendiri dan diberikan tahanan.Refleks tendon dalam harus
dievaluasi pada lengan dan kaki, berkurang atau hilangnya reflek tersebut dapat membantu
pemeriksa mengetahui letak lesi.
Gambar 6. Tingkat sensorik dan motorik dari medula spinalis.2
Hilangnya reflex abdomen (kontraksi akibat stimulasi kulit abdomen bagian bawah),
menunjukkan adanya lesi di region T9-11.Hilangnya reflek kremasterika (kontraksi otot
skrotal sebagai respon dari rangsangan yang diberikan di paha medial) menunjukkan adany
lesi di medula T12-L1.Adanya reflek bulbokavernosus (kontraksi sphincter ani dengan
melakukan kompresi pada penis atau klitoris atau dengan menurunkan tekanan trigonum
bladder dengan balon kateter foley ketika kateter secara gentle ditarik keluar) menunjukkan
bahwa jalur sensorik dan motorik sacral masih berfungsi.Hilangnya reflek bulbokavernosus
terjadi pada syok spinal atau cedera radiks dorsalis.Pemeriksaan sensoris pada ekstrimitas,
dada, leher, dan wajah harus dilakukan untuk mengetahui tingkat sensasi sensorik yang
berkurang atau hilang. Sensasi pada sebagian region sacral hampir selalu disebabkan cedera
inkomplit.2
Jika pasien perlu dipindahkan, maka harus menggunakan tekhnik fireman’s carry atau
log-roll, yaitu dibutuhkan minimal tiga orang pada masing-masing sisidengan orang keempat
yang memimpin gerakan sekaligus mempertahankan posisikepala dengan traksi aksial secara
gentle (4-7 kg) menggunakan satu tangan padadagu (chin) dan tangan lainnya pada oksiput.2
Gambar 7. Metode log-roll untuk memindahkan korban dengan cedera medulla spinalis.8
H. Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada traumavertebra.2
Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk penilaian cepat tentang kondisi tulang
spinal.6 Foto lateral paling dapat memberikan informasi dan harus dilakukan pemeriksaan
terhadap alignment (kelurusan) dari aspek anterior dan posterior yang berbatasan dengan
vertebra torakalis serta pemeriksaan angulasi spinal di setiap level. Jaringan lunak
paravertebra atau prevertebral yang bengkak biasanya merupakan indikasi perdarahan pada
daerah yang fraktur atau ligament yang rusak. Foto anterioposterior regio thoraks dan level
lainnya dapat menunjukkan vertebra torakalis yang bergeser ke lateral atau menunjukkan
luasnyapedikel yang rusak.2 Visualisasi adekuat dari spinal servikal bawah dan torak atas
seringkali tidak mungkin karena adanya korset bahu. Foto polos komplit pada spinal servikal
meliputi gambaran mulut terbuka yang menunjukkan adanya prosesodontoid dan masa lateral
C1 pada pasien yang diduga mengalami traumaservikal.2,6 Gambaran oblik dari servikal atau
lumbal akan menunjukkan adanyafraktur atau dislokasi.
Computed tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal dapat menggambarkan
anatomi tulang dan fraktur terutama C7-T1 yang tidak tampak pada foto polos, 2,6 MRI
memberikan gambaran yang sempurna dari vertebra, diskus, dan medula spinalis serta
merupakan prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan cedera medula spinalis.2,6 Kanalis
yang mengalami subluksasi, herdiasi diskus akut atau rusaknya ligamen jelas tampak pada
MRI. Selain itu, MRI juga dapat mendeteksi EDH atau kerusakan medula spinalis itu sendiri,
termasuk kontusio atau daerah yang mengalami iskemi.6
I. Diagnosis
Tanda penting untuk diagnosis antara lain:2
1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma
2. Mati rasa atau kesemutan (parestesi) anggota badan atau ekstrimitas
3. Kelemahan atau paralisis
4. Kehilangan fungsi pencernaan dan kandung kencing
5. Gambaran radiologis
J. Diagnosis Banding
Pemeriksaan fungsi motorik dan sensorik secara lengkap dapat digunakan untuk
mengklasifikasikan cedera medula spinalis dan membedakan dengan kondisi patologis
lainnya. Seringkali perubahan status mental akibat cedera otak atau intoksikasi mempersulit
pemeriksaan maupun dalam menegakkan diagnostik. Faktor komplikasi diagnosis banding
lainnya termasuk cedera saraf sekunder pada fraktur ekstremitas. Pemeriksaan neurologis
lengkap dan kemampuan memahamianatomi dari sistem saraf perifer penting untuk membuat
diagnosis yang tepat. Selain itu juga, perlu dipikirkan adanya gangguan psikiatri atau
gangguan sekunder lainnya. Diagnosis ini dapat di tegakkan dengan dilakukannya
pemeriksaan neurologik yang lengkap. Kira-kira 60% pasien dengan cedera medula spinalis
mengalami cedera pada sistem organ lainnya dan disertai fraktur spinal.2
K. Tatalaksana
Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga terapi keduanya
juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik. Transeksi anatomikal dari
medula spinalis hampir tidak pernah terjadi pada cedera medula spinalis pada manusia. Oleh
karena itu, penting sekali untuk melindungi jaringan spinal yang masih bertahan. Pertama,
didapatkan riwayat cedera. Kedua, dilakukan perawatan untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut (cedera sekunder) dan mendeteksi fungsi neurologik yang memburuk sehingga dapat
dilakukan tindakan koreksi. Ketiga, pasien dirawat hingga kondisi optimal supaya
memungkinkan dilakukan perbaikan dan penyembuhan sistem saraf. Keempat, evaluasi dan
rehabilitasi pasien harus dilakukan secara aktif untuk memaksimalkan fungsi yang masih
bertahan meskipun jaringan saraf tidak berfungsi. Prinsip tersebut harus disertai dengan
meminimalisir biaya secara ekonomi, sosial dan dan emosional dari cedera medula spinalis.2
1. Medikamentosa (Steroid Dosis Spinal)
Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) danNASCIS-3,
pasien dewasa dengan akut, nonpenetrating cedera medula spinalis dapat diterapi dengan
metilprednisolon segera saat diketahui mengalami cedera medula spinalis. Pasien
diberikan metilprednisolon 30 mg/kg berat badan secaraintravena dalam delapan jam, dan
terutama dalam tiga jam setelah cedera,dilanjutkan dengan infus metilprednisolon 5,4
mg/kg berat badan tiap jam 45 menitsetelah pemberian pertama. Jika pasien mendapatkan
bolus metilprednisolon antara3-8 jam setelah cedera, maka seharusnya pasien tersebut
menerima infusmetilprednisolon selama 48 jam sedangkan jika pemberian
metilprednisolon dalamtiga jam setelah cedera, maka pemberian infus prednisolon
diberikan selama 24jam.2,6 Penelitian menunjukkan akan terjadi pemulihan motorik dan
sensorik dalam6 minggu, 6 bulan dan 1 tahun pada pasien yang menerima
metilprednisolon. Akan tetapi, penggunaan kortikosteroid belum jelas kesepakatannya,
hal ini karenatimbulnya efek samping berupa pneumonia. Steroid dosis spinal juga
kontraindikasi untuk pasien dengan luka tembak atau cedera radiks dorsalis (kauda
ekuina), atau hamil, kurang dari 14 tahun, atau dalam pengobatan steroid jangka panjang,
serta hipotermi (salah satu gejala yang timbul pada cedera medulla spinalis).6
2. Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi medik adalah suatu proses pemulihan dan pengembangan
bagi penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsinya secara wajar.
Pelayanan rehabilitasi medik adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan terpadu
dengan pendekatan medik, psikososial, edukasional, vokasional untuk mencapai
kemampuan fungsional semaksimal mungkin. Hasil yang di harapkan pada penderita
cedera medula spinalis adalah mencapai penampilan fungsional semaksimal mungkin
sesuai dengan sisa-sisa kemampuan yang masih ada untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien, dan mencegah komplikasi.
a. Fisioterapi
Tujuan Fisioterapi antara lain adalah:
Mengurangi nyeri
Meningkatkan kekuatan otot-otot tungkai
Mencegah atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai
Meningkatkan ROM tungkai
Merangsang dan mengembalikan rasa sensasi
Mengembalikan ke ADL yang mandiri
Program Latihan Fisioterapi antara lain:
Menjaga fungsi respirasi: breath exercise, glossopharyngeal breath, airshift
manuever, strengthening, stretching, coughing, chest fisioterapi. Bertujuan untuk
meningkatkan kondisi umum serta mengatasi komplikasi paru akibat tirah baring
(bed rest). Perhatian pada: Trauma pada dada dan perut pada paraplegia
(gangguan diafragma).
Perubahan posisi (pencegahan pressure sores, kontraktur, inhibisi spastisitas,
mengkoreksi kelurusan dari fraktur).
Latihan ROM (pasif dan aktif) dan penguluran untuk mencegah kontraktur dan
adanya keterbatasan lingkup gerak sendi pada bagian yang lesi.
Penguatan yang tersisa dan yang sehat (selective).
Bladder training yang dilakukan untuk menjaga kontraktilitas otot detrusor.
Orientasi pada posisi vertikal sedini mungkin setelah cedera stabil.
Perhatian terhadap gerak yang boleh/tidak boleh pada cedera yang stabil/tak
stabil.
b. Ortotik Prostetik
Pada pasien cedera medula spinalis penetapan alat bantu ambulasi : kursi roda,
crutches, walker bisa digunakan. Setelah berbaring lurus untuk beberapa waktu
selama periode awal pasien harus berkembang oleh fisioterapis untuk duduk tegak di
kursi roda. Ini adalah proses bertahap yang bergerak pasien ke posisi tegak terlalu
cepat dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang parah. Sebuah kursi roda
dengan kaki terletak mengangkat dan kembali miring digunakan pada awalnya
sampai pasien mampu mentoleransi kursi tegak. Latihan teratur keseimbangan duduk
adalah penting dibawah pengawasan yang ketat dari fisioterapis sebagai kontrol
batang diperlukan untuk hidup mandiri. Setelah transfer duduk dikuasai ke kursi roda
dan penguatan dapat bekerja. Tahap pertama pembelajaran keseimbangan duduk yang
baik, memperkuat otot dan transfer kursi roda kini telah dikuasai dan itu adalah waktu
untuk rehabilitasitersisa untuk mengambil tempat di Unit Luka Spinal.
c. Okupasi Terapi
Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki
fungsi ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-
hari/activities of daily living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal
mungkinAlat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal dengan
cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban pada spinal.Pada
umumnya penggunaan cervical collars (colar brace) tidak adekuat untuk C1,C2 atau
servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses brace diatas torak dan leher,
meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak. Minerva braces meningkatkan
stabilisasi servikal pada daerah diatas torak hingga dagu dan oksiput. Pemasangan
alat yang disebut halo-vest paling banyak memberikan stabilisasi servikaleksternal.
Empat buah pin di pasangkan pada skul (tengkorak kepala) untuk mengunci halo
ring. Stabilisasi lumbal juga dapat digunakan sebagai torakolumbalortose.6
(A) (B) (C)
Gambar 8.Alat ortose rigid, A. Cervicothoracic orthoses brace, B. Minerva brace, C.
Halo ring.9
Fiksasi skeletal dengan Gardner-Wells tongs atau halo traction dapat dilakukan
di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau halter traction dapat digunakan sementara.
Thoraciter tractions anhald lumbar fractures dilakukan dengan mempertahankan
pasien pada posisi netral, log rol diperlukan untuk penatalaksanaan dalam merawat
kulit dan pulmonary.2
(A) (B)
Gambar 9.Fiksasi, A. Gardner wells tongs, B. Cervical Halter skin traction.10
d. Psikologi dan Petugas Sosial Medik
Evaluasi, memotivasi, dan membantu secara finansial dan masalah dalam
kehidupan sehari-hari pasien.
L. Komplikasi
Penyebab utama kematian setelah cedera medula spinalis secara potensial dapat dicegah.
Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai infeksi saluran kencing berulang
adalah dengan melakukan kateterisasi bladder intermiten secara hati-hati. Ulkus dekubitus
mudah terbentuk pada tulang yang menonjol pada area yang teranestesi, hal tersebut dapat
dicegah dengan dengan caraturning ofpatients dan memutar tempat tidur. Pasien dengan
defisit motorik disertai cedera medula spinalis memiliki resiko tinggi thrombosis vena
dalam.Pasien sebaiknyamendapatkan low-molecular-weight heparin, pneumatic compression
stockingsatau keduanya sebagai profilaksis.
M. Prognosis
Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang mempengaruhi
lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas cederamedula spinalis sebesar
20%. Dalam jangka lama, pasien dengan kehilangan fungsimotorik dan sensorik komplit
dalam 72 jam, fungsinya tidak mungkin kembali,namun hingga 90% pasien dengan lesi
inkomplit dapat mulai berjalan 1 tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda lebih
mudah mengalami penyembuhan. Sindroma medula anterior prognosisnya tidak sebaik
sindroma medula inkomplit, sindroma medula sentral, dan Brown Squard’s
sindrome.Penyebab utama kematian sindroma medula spinalis meliputi penyakit
respiratorikdan kardiak. Rehabilitasi juga termasuk dukungan emosional dan edukasi
pasiententang aktifitas harian dan latihan bekerja.2
BAB III
KESIMPULAN
Cedera medula spinalis merupakan semua bentuk cedera yang mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya baik motorik, sensorik, otonom dan reflek. Selain itu, merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis seperti kecacatan dan kelemahan. Oleh karena itu, evaluasi dan pengobatan pada cedera medula spinalis, spinal cord dan nerve roots memerlukan pendekatan yang terintegrasi. sehingga diagnosa dini, prevervasi fungsi spinal cord dan pemeliharaan aligment dan stabilitas merupakan kunci keberhasilan manajemen.
Klasifikasi cedera medula spinalis menurut skala ASIA ada 5 yaitu A, B, C, D, E. Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi, sehingga menimbulkan gangguan fungsi organ (impairment), gangguan fungsional (disability) dan limitasi dalam partisipasi (handicap) pada penderitanya sehingga diagnosa dini, prevervasi fungsi spinal cord dan pemeliharaan aligment dan stabilitas merupakan kunci keberhasilan manajemen, yaitu dengan memaksimalkan fungsi yang ada untuk kemandirian, meningkatkan kebugaran kardiorespirasi, dan mencegah komplikasi sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dumont, Randall J; Okonkwo, David O; Verma, Subodh ; Hurlbert, C John; Boulos, Paul T;
Dumont, Aaron S;. (2001). Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms.
Clinical Neuropharmacology , 24 (5), 254-264.
2. Manley , Geoffrey T; Rosenthal, Guy; Papanastasio, Alexande M; Pitts, Larry H;. (2006).
Spinal Cord Injury. In G. M. Doherty, Current Surgical Diagnosis & Treatment (Vol. 37).
California: McGraw-Hill. Liverman, Catharyn, T., Altevogt, Bruce, M., Joy, Janet, E., and
Johnson, Richard, T. Editors. 2005. Spinal Cord Injury: Progress, Promise, and Priorities.
Washington, D.C.:The National Academies Press. [serial online].
http://www.nap.edu/openbook.php?record_id=11253&page=R1.
3. Feneis, Heinz; Dauber, Wolfgang;. (2000). Pocket Atlas of Anatomy Based on the
International Nomenclature Fourth Edition, fully rivised. Ney York: Thieme.
4. Thuret, Sandrine; Moon, Lawrence D.F; Gage, Fred H. (2006). Therapeutic Intervention
After Spinal Cord Injury. Nature Publishing Group , 7, 628-640.
5. Schwartz, S. I., Shires, G. T., Spencer, F. C., Daly, J. M., Fischer, J. E., & Galloway, A. C.
(2010). Principles of Surgery Companion Handbook. USA: McGraw-Hill.
6. Kaye, Andrew H. (2006). Nerve injuries, peripheral nerve entrapments and spinal cord
compression. In J. J. Tjandra, G. J. Clunie, A. H. Kaye, & J. A. Smith, Text Book of Surgery
Third Edition (Vol. 51). Massachusetts: Blackwell Publishing.
7. Anonim. Management of Bone Injuries. [Serial Online].
http://www.freeed.net/sweethaven/MedTech/MedTech/default.asp?iNum=0411&uNum=2.
(23
8. September 2011).
9. Miller-Keane. 2003. Encyclopedia and Dictionary of Medicine, Nursing, and Allied Health,
Seventh Edition. by Saunders, an imprint of Elsevier, Inc. All 19 rights reserved. [Serial
Online]. http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/Cervico-Thoraco-Lumbo-
Sacral+Orthosis. (23 September 2011)
10. Anonim. Primary Surgery Vol.2 – Trauma :The spine: Skeletal traction.[Serial Online].
http://www.primary-surgery.org/ps/vol2/html/sect0232.html. (23 September 2011)