REFERAT RADIOLOGI

59
BAB 1. PENDAHULUAN Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik adalah kehilangan atau penurunan fungsi ginjal yang sudah lanjut dan bertahap serta bersifat menahun sehingga ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan perlu dilakukan perawatan dan pengobatan yang serius. 1 CKD dapat berkembang cepat 2-3 bulan dan dapat pula berkembang dalam waktu yang sangat lama 30-40 tahun. 2 Chronic Kidney Disease telah menjadi kekhawatiran yang berkembang di dunia karena prevalensinya yang meningkat serta hasil akhirnya yang buruk. Di Amerika serikat penderita CKD mencapai 20 juta yang berarti 1 dari 9 orang dewasa. Meskipun teknik dialisis dan transplantasi makin berkembang namun prognosis gagal ginjal tetap buruk. Sistem pendataan ginjal di Amerika Serikat pada tahun 2001 menunjukkan angka lebih dari 76.500 kematian pasien dengan End Stage Renal Disease (ESRD), angka ini seakan tidak berubah selama satu dekade terakhir. Morbiditas gagal ginjal juga cukup tinggi di mana pasien yang menjalani dialysis rata-rata 4 (empat) kondisi komorbid, 15 (lima belas) hari perawatan Rumah Sakit (RS) per tahun, dan kualitas hidup yang lebih 1

description

Referat Radiologi

Transcript of REFERAT RADIOLOGI

Page 1: REFERAT RADIOLOGI

BAB 1. PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik adalah kehilangan

atau penurunan fungsi ginjal yang sudah lanjut dan bertahap serta bersifat menahun

sehingga ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan perlu dilakukan perawatan dan

pengobatan yang serius.1 CKD dapat berkembang cepat 2-3 bulan dan dapat pula

berkembang dalam waktu yang sangat lama 30-40 tahun.2

Chronic Kidney Disease telah menjadi kekhawatiran yang berkembang di

dunia karena prevalensinya yang meningkat serta hasil akhirnya yang buruk. Di

Amerika serikat penderita CKD mencapai 20 juta yang berarti 1 dari 9 orang dewasa.

Meskipun teknik dialisis dan transplantasi makin berkembang namun prognosis gagal

ginjal tetap buruk. Sistem pendataan ginjal di Amerika Serikat pada tahun 2001

menunjukkan angka lebih dari 76.500 kematian pasien dengan End Stage Renal

Disease (ESRD), angka ini seakan tidak berubah selama satu dekade terakhir.

Morbiditas gagal ginjal juga cukup tinggi di mana pasien yang menjalani dialysis

rata-rata 4 (empat) kondisi komorbid, 15 (lima belas) hari perawatan Rumah Sakit

(RS) per tahun, dan kualitas hidup yang lebih rendah dari rata-rata populasi. Jumlah

pasien dengan tingkat CKD yang lebih dini lebih besar namun mortalitas, morbiditas,

hari perawatan RS per tahun, dan kualitas hidup belum diteliti lebih lanjut. Sebagian

besar penderita tidak menyadari penyakit tersebut karena CKD asimtomatik sampai ia

berkembang dengan signifikan.3

Menurut Rahardjo (1996) dalam Lubis (2006), diperkirakan jumlah penderita

gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10 %

setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian epidemiologi tentang prevalensi penyakit

ginjal kronik di Indonesia. Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia

diperkirakan insidens dan prevalensi penyakit ginjal kronik masing-masing berkisar

100 - 150/ 1 juta penduduk dan 200 - 250/ 1 juta penduduk.

1

Page 2: REFERAT RADIOLOGI

Pendekatan diagnosis pada gagal ginjal kronik dapat menggunakan temuan

gambaran klinis, laboratoris, radiologis dan histopatologi ginjal.Temuan ginjal kecil

ekogenik bilateral (<10 cm) menggunakan USG mendukung dianosis CKD,

meskipun ginjal yang normal atau besar dapat pada gagal ginjal yang disebabkan

penyakit ginjal polikistik dewasa, nefropati diabetik, nefropati terkait HIV, mieloma

multipel, amiloidosis, dan uropati obstruktif. Bukti radiologis osteodistrofi ginjal

merupakan temuan lain yang bermakna, karena perubahan pada x-ray karena

hiperparatiroidisme sekunder tidak muncul kecuali jika tingkat paratiroid telah

meningkat selama 1 tahun.1

2

Page 3: REFERAT RADIOLOGI

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronis

2.1.1 Definisi

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi

dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang

progresif, dan pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai

dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang

memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi

ginjal (Suwitra, 2006).

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik 1. Kelainan ginjal berupa kelainan

struktural atau fungsional, dengan manifestasi klinis dan kerusakan ginjal secara

laboratorik atau kelainan pada pemeriksaan radiologi, dengan atau tanpa

penurunan fungsi ginjal (penurunan LFG) yang berlangsung > 3 bulan. 2.

Penurunan LFG < 60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama > 3

bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (National Kidney Foundation, 2002).

2.1.2 Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berbentuk  seperti kacang yang pada

orang dewasa berukuran panjang 10-13 cm (4 -5 inci), lebar: 5-7,5 cm (2-3

inci), dan berat + 150 gram. Persentase berat ginjal: 0,5% dari berat tubuh.

Terdapat sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan

posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang

lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak

ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra

T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12.

3

Page 4: REFERAT RADIOLOGI

Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-

kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah

pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal

kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri (Graaf, 2001).

Ginjal merupakan sepasang organ retro peritoneum yang terletak

sepanjang batas musculus psoas dibawah diagfragma dan dekat dengan

columna vertebralis (Sabiston. 1994). Ren dextra letaknya lebih rendah

daripada ren sinister karena besarnya lobus hepatis dextra. Masing-masing ren

memiliki facies anterior dan facies posterior, margo medialis dan margo

lateralis, extremitas superior dan extremitas posterior.

Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke

medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-struktur

pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan

meninggalkan ginjal posterior (Moore, 2002).

Gambar 1. Anatomi Ginjal

4

Page 5: REFERAT RADIOLOGI

Gambar 2. Letak ginjal tampak posterior

Besar dan berat ginjal sangat bervariasi ; hal ini tergantung pada jenis

kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Pada autopsi klinis

didapatkan bahwa ukuran ginjal orang dewasa rata-rata adalah 11.5 cm x 6 cm

x 3.5 cm. Beratnya bervariasi antara 120-170 gram atau kurang lebih 0.4% dari

berat badan (Moore, 2002).

Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut

kapsula fibrosa (true kapsul) ginjal dan diuar kapsul ini terdapat jaringan lemak

perirenal. Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula

adrenal / suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama

ginjal dan jaringan lemak perirenal dibungkus oleh fasia Gerota. Fasia ini

berfungsi sebagai barier yang menghambat meluasnya perdarahan dari

5

Page 6: REFERAT RADIOLOGI

parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urine pada saat terjadi trauma

ginjal. Selain itu fasia Gerota dapat pula berfungsi sebagai barier dalam

menghambat penyebaran infeksi atau menghambat metastasis tumor ginjal ke

organ sekitarnya. Di luar fasia Gerota terdapat jarinagan lemak retroperitoneal

atau disebut jaringan lemak para renal (Moore, 2002).

Di sebelah posterior, Ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang

tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII sedangkan disebelah anterior dilindungi

oleh organ-organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon,

dan duodenum; sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas,

jejenum, dan kolon (Moore, 2002).

Secara anatomis ginjal terbagi menjadi dua bagian yaitu korteks dan

medulla ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron sedangkan di

dalam medula banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional

terkecil dari ginjal yang terdiri atas, tubulus kontortus proksimal, tubulus

kontortus distalis, dan duktus kolegentes. Darah yang membawa sisa-sisa hasil

metabolisme tubuh difiltrasi di dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal,

beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-zat

hasil sisa metabolisme mengalami sekresi bersama air membentuk urine.

Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan

menghasilkan urine 1-2 liter. Urine yang terbentuk di dalam nefron disalurkan

melalui piramida ke sistem pelvikalikes ginjal untuk kemudian disalurkan ke

dalam ureter. Sistem pelvikalikes ginjal terdiri atas kaliks minor,

infundibulum, kaliks mayor, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa sistem

pelvikalikes terdiri atas epitel transisional dan dindingnya terdiri atas otot

polos yang mampu berkontraksi untuk mengalirkan urine sampai ke ureter

(Moore, 2002).

6

Page 7: REFERAT RADIOLOGI

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan

cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan

melalui vena sentralis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem

arteri ginjal adalah end arteri yaitu arteri yang tidak mempunyai anstomosis

dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada

salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah

yang dilayaninya.

Gambar 3. vaskularisasi ginjal

2.1.3 Epidemiologi

Di Amerika serikat penderita CKD mencapai 20 juta yang berarti 1 dari

9 orang dewasa. Meskipun teknik dialisis dan transplantasi makin berkembang

namun prognosis gagal ginjal tetap buruk. Sistem pendataan ginjal di Amerika

7

Page 8: REFERAT RADIOLOGI

Serikat pada tahun 2001 menunjukkan angka lebih dari 76.500 kematian pasien

dengan End Stage Renal Disease (ESRD), angka ini seakan tidak berubah

selama satu dekade terakhir.

Menurut Rahardjo (1996) dalam Lubis (2006), diperkirakan jumlah

penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya

sekitar 10 % setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian epidemiologi tentang

prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia. Dari data di beberapa pusat

nefrologi di Indonesia diperkirakan insidens dan prevalensi penyakit ginjal

kronik masing-masing berkisar 100 - 150/ 1 juta penduduk dan 200 - 250/ 1 juta

penduduk.

2.1.4 Etiologi

Umumnya penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsik

difus dan menahun. Hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir

dengan penyakit ginjal kronik. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti nefropati

obstruktif dapat menyebabakan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan penyakit

ginjal kronik (Sukandar, 2006). Menurut data yang sampai saat ini dikumpulkan oleh

Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi

terbanyak sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),

hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).

1. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan

difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis

berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik seperti lupus eritomatosus sistemik,

poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang

berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan

8

Page 9: REFERAT RADIOLOGI

dapat berakhir dengan penyakit ginjal kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan

dengan amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun

seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid dan myeloma (Sukandar,

2006).

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang

etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi

tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,

glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila

penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder

apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,

lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis

(Prodjosudjadi, 2006).

Gambaran klinis glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan

secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat

medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar,

2006).

2. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005)

diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-

duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini

dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.

Gejalanya sangat bervariasi.

Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak

menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang

9

Page 10: REFERAT RADIOLOGI

air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat

berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke

dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).

3. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah

diastolik ≥ 90 mmHg (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi

menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak

diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga

hipertensi renal (Sidabutar, 1998).

Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu

penyebab penyakit ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir

dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10% (Sukandar, 2006).

4. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau

material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat

ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di

medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai

keadaan atau penyakit. Ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling

sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal

polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru

bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Glomerulonefritis, hipertensi esensial, dan

pielonefritis merupakan penyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar 60%.

Penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan

10

Page 11: REFERAT RADIOLOGI

nefropati obstruktif hanya 15- 20% (Sukandar, 2006). Kira-kira 10-15% pasien-

pasien penyakit ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal kongenital seperti sindrom

Alport, penyakit Fabbry, sindrom nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan

amiloidosis (Sukandar, 2006).

Pada orang dewasa penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan infeksi

saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang 9 dijumpai, kecuali

tuberkulosis, abses multipel. Nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat

pengobatan yang adekuat (Sukandar, 2006).

2.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit

dan atas dasar diagnosis etiologi. CKD jarang reversibel dan mengarah pada penurunan

progresif fungsi ginjal. Hal ini terjadi bahkan setelah kejadian yang memicu telah

disingkirkan. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi nefron-nefron yang

tersisa dengan hiperfiltrasi, dan angka Glomerus Filtration Rate pada nefron-nefron

tersebut di atas normal. Adaptasi ini memberikan beban pada nefron-nefron tersisa

dan menyebabkan sklerosis glomerular progresif dan fibrosis intersisial, yang

menunjukkan bahwa hiperfiltrasi memperburuk fungsi ginjal.

Definisi tidak dapat berdasarkan nilai kreatinin serum (Creatinin Clearence

Test) semata karena korelasi non-linear antara nilai kreatinin serum dengan GFR.

Namun demikian prediksi GFR dapat dilakukan dengan memasukkan nilai kreatinin

serum ke dalam persamaan tertentu dengan mempertimbangkan pula jenis kelamin,

usia, ras, dan ukuran tubuh.

Caranya, cukup mengukur kadar kreatinin darah (sCr: serum Creatinin), bisa

diketahui persentase fungsi ginjal dari GFR-nya dengan rumus :

11

Page 12: REFERAT RADIOLOGI

Laki-laki GFR = (140 - umur) x (BB)/ (serum Creatinin x 72)

Wanita GFR = (140 - umur) x (BB) x 0.85/ (serum Creatinin x 72)

Literatur barat memiliki kecenderungan terkini adalah menggantikan

persamaan yang terdahulu yaitu persamaan Cockcroft-Gault dengan persamaan dari

studi Modification of Diet in Renal Disease (MDRD). Selain melibatkan lebih banyak

variabel persamaan MDRD juga memprediksi GFR lebih baik daripada persamaan

Cockcroft-Gault dengan bias dan dan sebaran yang lebih sedikit. Sebuah studi dalam

100 pasien menunjukkan bahwa persamaan Cockcroft-Gault memiliki bias –14%

sampai dengan +25% dan 75% perkiraan termasuk dalam 30% nilai GFR yang

diukur. Tiga penelitian mengenai persamaan MDRD menunjukkan bias –3% sampai

dengan +3% dan 90% perkiraan termasuk dalam 30% nilai GFR yang diukur.

Terdapat beberapa persamaan MDRD namun yang banyak diadopsi dalam Clinical

Practice Guidelines adalah versi singkat dengan empat variabel, yaitu

GFR (ml/menit/1,73 m2) = 186 x (SCr)-1,154 x (Usia dalam tahun)-0,203

dengan penyesuaian dikalikan 0,742 untuk perempuan dan 1,21 untuk ras kulit

hitam

Pengukuran klirens kreatinin menggunakan penampungan urin 24 jam tidak

memberikan perkiraan GFR yang lebih tepat dibandingkan menggunakan persamaan.

Klasifikasi derajat penyakit, dikelompokkan atas penurunan faal ginjal berdasarkan LFG sesuai rekomendasi NKF-KDOQI:

Tabel 2.1.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Derajat Penyakit

Derajat Deskripsi LFG (mL/menit/1,73 m²)

12

Page 13: REFERAT RADIOLOGI

1

2

Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau meninggi

Kerusakan ginjal disertai penurunan ringan LFG

≥ 90

60-89

3 Penurunan moderat LFG 30-59

4 Penurunan berat LFG 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialysis

(National Kidney Foundation, 2002).

2.1.6 Patogenesis dan Patofisiologi

Teori yang paling dapat diterima adalah hiperfiltrasi pada nefron ginjal yang

tersisa setelah terjadi kehilangan nefron akibat lesi. Peningkatan tekanan

glomerular menyebabkan hiperfiltrasi ini. Hiperfiltrasi terjadi sebagai konsekuensi

adaptif untuk mempertahankan laju filtrasi glomerulus (LFG), namun kemudian

akan menyebabkan cedera pada glomerulus. Permeabilitas glomerulus yang abnormal

umum terjadi pada gangguan glomerular, dengan proteinuria sebagai tanda klinis

(Conchol, 2005).

13

Page 14: REFERAT RADIOLOGI

14

Page 15: REFERAT RADIOLOGI

15

Gambar 4. Patofisiologi CKD

Page 16: REFERAT RADIOLOGI

2.1.7 Gambaran Klinis

Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom

azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ

seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput

serosa, dan kelainan neuropsikiatri (Sukandar, 2006).

1. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom dan normositer, sering ditemukan pada

pasien gagal ginjal kronik. Anemia sangat bervariasi bila ureum darah

lebih dari 100 mg% atau penjernihan kreatinin kurang dari 25 ml per

menit (Sukandar, 2006).

2. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian

pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.

Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai

hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk

amonia (NH3). Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau

rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan

saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan

diet protein dan antibiotika (Sukandar, 2006).

3. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada

sebagian kecil pasien penyakit ginjal kronik. Gangguan visus cepat

hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan penyakit ginjal

kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata

menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris.

Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi

maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal

16

Page 17: REFERAT RADIOLOGI

kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada konjungtiva

menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan

hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa

pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme

sekunder atau tertier (Sukandar, 2006).

17

Page 18: REFERAT RADIOLOGI

4. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum

jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder.

Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan

paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak

jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan

dinamakan urea frost (Sukandar, 2006).

5. Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering

dijumpai pada penyakit ginjal kronik terutama pada stadium

terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi

mutlak untuk segera dilakukan dialisis (Sukandar, 2006).

6. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi,

insomnia, depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,

dan tidak jarang dengan gejala psikosis. Kelainan mental ringan atau

berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis,

dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas). Pada

kelainan neurologi, kejang otot atau muscular twitching sering

ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat,

kemudian terjun menjadi koma (Sukandar, 2006).

7. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif pada penyakit ginjal kronik

sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,

penyebaran kalsifikasi mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada

pasien penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Hal ini

dapat menyebabkan gagal faal jantung (Sukandar, 2006).

18

Page 19: REFERAT RADIOLOGI

8. Hipertensi

Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor

turut memegang peranan seperti keseimbangan natrium, aktivitas sistem

renin- angiotensin-aldosteron, penurunan zat dipresor dari medulla

ginjal, aktivitas sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik lainnya

seperti cardiac output dan hipokalsemia (Sukandar, 2006).

Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan volume

plasma (VP) dan volume cairan ekstraselular (VCES). Ekspansi VP akan

mempertinggi tekanan pengisiaan jantung (cardiac filling pressure) dan

cardiac output pressure (COP). Kenaikan COP akan mempertinggi tonus

arteriol (capacitance) dan pengecilan diameter arteriol sehinga tahanan

perifer meningkat. Kenaikan tonus vaskuler akan menimbulkan

aktivasi mekanisme umpan balik (feed-back mechanism) sehingga

terjadi penurunan COP sampai mendekati batas normal tetapi kenaikan

tekanan darah arterial masih dipertahankan (Sukandar, 2006).

Sinus karotis mempunyai faal sebagai penyangga (buffer) yang

mengatur tekanan darah pada manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan darah

selalu dipertahankan normal oleh sistem mekanisme penyangga tersebut.

Pada pasien azotemia, mekanisme penyangga dari sinus karotikus tidak

berfungsi lagi untuk mengatur tekanan darah karena telah terjadi

perubahan volume dan tonus pembuluh darah arteriol (Sukandar, 2006).

2.1.8 Diagnosis

Menurut (Sukandar, 2006) pendekatan diagnosis Penyakit Ginjal

Kronik (PGK) mempunyai sasaran berikut :

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

2. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi

3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

19

Page 20: REFERAT RADIOLOGI

4. Menentukan strategi terapi rasional

5. Menentukan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila

dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari

anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang

diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang

berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi PGK,

perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal

(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan

laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ

dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal (Sukandar, 2006).

2. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Ureum serum, nilai normal 20 – 40 mg/dl

Kreatinin serum, nilai normal 0.5 – 1.5 mg/dl

Asam urat serum, nilai normal pada pria berkisar 3,5 – 7 mg/dl dan

wanita 2,6 – 6 mg/dl. 

Kadar Hb, nilai normal pada pria adalah 13 gr% - 18 gr%, dan wanita

adalah 11,5 gr% - 16,5 gr%

b. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,

yaitu:

20

Page 21: REFERAT RADIOLOGI

Foto polos abdomen

Pada foto polos abdomen perhatikan dan ukur kontur ginjal.

Pada foto polos kontur ginjal sering tidak tervisualisasi. Pielografi

retrograde

Pielografi retrograde adalah pemasukan zat kontras melalui

kateter ke dalam ureter dan pelvis ginjal yang dapat dilakukan selama

sistoskopi. Dilakukan untuk mendeteksi batu ginjal, tumor, hyperplasia

prostat, penyebab dari hematuria dan infeksi saluran kemih, dan

mengeluarkan batu ginjal.

BNO-IVP

Pemeriksaan IVP untuk mengetahui adanya kelainan pada

sistem urinary, dengan melihat kerja ginjal dan sistem urinary pasien.

Dengan IVP dapat diketahui adanya kelainan pada sistem tractus

urinary dari batu ginjal, pembesaran prostat, dan tumor pada ginjal,

ureter dan blass Kontra Indikasinya adalah alergi terhadap media

kontras, pasien yang mempunyai kelainan atau penyakit jantung,

pasien dengan riwayat atau dalam serangan jantung, neonates, diabetes

mellitus tidak terkontrol, pasien yang sedang dalam keadaan kolik, dan

hasil ureum dan kreatinin yang tidak dalam batas normal

21

Page 22: REFERAT RADIOLOGI

22

Gambar 4. Conventional plain film of the abdomen called a KUB (Kidneys, Ureters, Bladder) obtained following adminstration of IV contrast for IV urography shows normal collecting system. Calyces (arrows), renal pelvis (P), ureters (*) and bladder(B).

Page 23: REFERAT RADIOLOGI

Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan penunjang radiologis yang umumnya dilakukan

pada pasien gagal ginjal adalah pemeriksaan dengan ultrasonografi.

USG saat ini digunakan sebagai pemeriksaan pertama secara rutin pada

keadaan gagal ginjal yang digunakan untuk memperoleh informasi

tentang parenkim, sistem collecting dan pembuluh darah ginjal.6 Gagal

ginjal kronik pada umumnya diikuti dengan kenaikan kadar kreatinin

dan menimbulkan gambaran ultrasonografi gagal ginjal kronik.1  

Pemeriksaan ultrasonografi pada gagal ginjal untuk mengetahui

adanya pembesaran ginjal, kristal, batu ginjal, mengkaji aliran urin

dalam ginjal.3 USG abdomen pada pasien gagal ginjal kronik biasanya

ditandai dengan korteks yang lebih hiperechoic hingga hampir sama

dengan sinus renalis.Selain itu dapat ditemukan pula ukuran ginjal

yang mengecil dan batas korteks medula yang tidak jelas.  Pada

pemeriksaan USG gambaran hiperechoic pada parenkim ginjal kanan

dapat menimbulkan kecurigaan adanya radang pada ginjal kanan.

Normalnya, parenkim ginjal pada bagian korteks memiliki

sonodensitas yang lebih rendah dari pada hepar, sehingga bersifat

hipoechoic.

Sonodensitas yang lebih tinggi dapat ditemukan pada parenkim

sinus renalis karena komposisi lemak yang dimilikinya. Gambaran

sonodensitas parenkim yang meningkat mungkin disebabkan proses

inflamasi akibat riwayat konsumsi jamu dan obat-obatan yang sangat

mungkin bersifat nefrotoksik.

Besar kedua ginjal yang masih normal pada USG menandakan

proses penyakit ginjal kronik yang masih awal dimana berkurangnya

massa ginjal belum jelas terlihat. Gambaran PCS yang tidak melebar

23

Page 24: REFERAT RADIOLOGI

dan tidak ditemukannya batu pada struktur ginjal kanan dan kiri dapat

menyingkirkan kemungkinan proses obstruktif sebagai etiologi.

Nefrotomogram

24

Gambar 5. This elderly male patient presented with symptoms of medical renal disease. Sonography of the kidneys revealed:

1) bilateral echogenic (hyperechoic renal cortex) kidneys

2) both kidneys appear small in size (atrophic)

3) reduced thickness (thinning) of renal cortex (10mm.)

4) reduction in cortico-medullary differentiation

These ultrasound images are diagnostic of chronic medical renal disease (or chronic renal failure). All ultrasound images above (taken using Toshiba Nemio-XG Color Doppler imaging system, by Joe Antony, MD, India.

Page 25: REFERAT RADIOLOGI

Nefrotomogram adalah serangkaian gambar sinar-x dari ginjal.

Sinar-x diambil dari sudutyang berbeda dan menunjukkan ginjal dengan

jelas, tanpa bayangan dari organ-organ di sekitarnya.

25

Gambar 6. UPJO in a 24-year-old patient.

(a) Distal obstructive ureter was not displayed by IVU image.

(b) Oblique reconstructed imaging of CTU images showed left side hydronephrosis and distal obstructive ureter.

(c) Detection of the ventral crossing artery at the ureteropelvic junction by axial CTU image.

Page 26: REFERAT RADIOLOGI

Nefrogram

Pemeriksaan Renograf dapat melihat adanya gejala kelainan ginjal.

Hasil yang diperoleh dari renograf adalah grafik renogram. Teknik

Renografi untuk memeriksa fungsi ginjal telah dikenal sejak tahun 1950-

an. Alat renograf menggunakan radioisotop sebagai perunut (tracer) yang

dimasukkan ke dalam tubuh pasien. Indikasi pemeriksaan renografi dapat

dilakukan atas permintaan dokter untuk pasien dengan berbagai latar

belakang klinis gangguan fungsi ginjal. Renografi dalam sistem pelayanan

kesehatan dapat berperan sebagai sarana screening diagnostic maupun

sebagai sarana pemantauan hasil pengobatan atau tindakan medis.

Waktu yang diperlukan untuk persiapan dan pemeriksaan pasien

relatif singkat. Dosis isotop yang lebih aman (seperempat dari yang

diperlukan pada penggunaan kamera gamma), kelengkapan perangkat

lunak (software) yang mudah digunakan (user friendly) dan kesederhanaan

alat yang tidak memerlukan personil terdidik khusus (high skill personnel)

untuk pengoperasian dan perawatan alat, serta biaya investasi yang kurang

dari sepersepuluh kamera gamma, sehingga biaya operasional per pasien

sangat ekonomis. Renograf Dual Probes sesuai untuk rumah sakit kecil

yang belum memiliki kamera gamma, ataupun rumah sakit sibuk yang

berusaha mengurangi beban penggunaan kamera gamma yang telah ada

untuk pemeriksaan ginjal.

Radioisotop yang dikandung oleh ginjal akan menjadi sumber

radiasi bagi alat renograf. Selanjutnya radiasi yang dipancarkan akan

dideteksi oleh suatu detector yang terdaoat pada alat renograf. Dalam

kedokteran nuklir, pengamatan terhadap perunut yang dilakukan dari luar

tubuh penderita disebut pengamatan “in-vivo” yang artinya memasukkan

radioisotop γ ke dalam tubuh manusia.

Pada prinsipnya alat renograf bekerja sebagai alat pencacah

aktivitas perunut radioisotop yang terkandung oleh ginjal. Suatu perunut

26

Page 27: REFERAT RADIOLOGI

radioisotope I-131 disuntikkan pada tubuh pasien secara intravena.

Parunut akan dibawa oleh darah ke organ-organ tubuh dan disebarkan ke

seluruh pembuluh darah yang ada di organ-organ tersebut, yang berakhir

di ginjal. Pada ginjal perunut dikumpulkan pada pelvis renalis, kemudian

bersama-sama zat lain yang tidak berguna dibuang melalui urine. Peristiwa

mengalirnya perunut radioaktif dalam pembuluh-pembuluh ginjal

dideteksi oleh detector yang diletakkan tepat pada posisi organ ginjal. Dari

pemantauan detector dihasilkan laju cacahan atau jumlah pulse per detik

Tabel 4. Dosis Dewasa untuk Renogram

Persiapan pemeriksaan renografi yaitu yakinkan peralatan telah

disiapkan sesuai radiofarmaka yang akan digunakan (setting LLD-ULD)

dan telah dilakukan uji kesetabilan (chi-square test). Berikan kepada

pasien air minum (hydrate) sebanyak 250 s/d 500 ml sebelum prosedur

pemeriksaan. Pasien diminta buang air kecil sebelum pengaturan posisi

pemeriksaan. Isikan data pasien pada form file baru (pada komputer).

Atur posisi pasien (duduk atau tiduran), arahkan masing-masing

probe ke ginjal kiri dan kanan, pasien diminta untuk tidak menggerakkan

punggung selama pemeriksaan. Ketepatan posisi dan pengaturan arah

probe sangat menentukan keberhasilan pengukuran. Kunci posisi

kursi/tempat tidur pasien dan detektor probes agar tidak berubah selama

pengukuran. Injeksikan radiofarmaka secara intravena pada lengan kanan

atau lengan kiri pasien (gunakan bolus teknik), serentak dengan injeksi

mulailah pengukuran. Pengukuran berlangsung selama 18 s/d 20 menit dan

dapat diperpanjang sampai 40 menit apabila diperlukan.

27

Page 28: REFERAT RADIOLOGI

Pada dasarnya metoda renografi adalah memonitor kedatangan,

sekresi, ekskresi (arrival, uptake, transit and elimination) dari

radiofarmaka pada ginjal sesaat setelah injeksi intravena. Pemonitoran dari

luar tubuh ini dimungkinkan karena radiofarmaka yang digunakan

mengandung isotop yang memancarkan radiasi gamma. Hasil pengukuran

adalah berupa kurva renogram.

Fisiologis renogram (normal) terdiri atas 3 segmen (fase) :

o Fase I : Memberikan informasi tentang kapasitas respon

renovaskuler. Kurva memiliki up-slope yang tajam dan

berlangsung cepat (sekitar 30 detik).

o Fase II : Memberikan informasi tentang kapasitas uptake,

konsentrasi dan sekresi jaringan parenchym ginjal (nephron).

Kurva memiliki up-slope yang lebih landai dan berlangsung kurang

dari 5 menit.

o Fase III : Memberikan informasi tentang kapasitas ekskresi atau

eliminasi kedua ginjal. Kurva menurun (downslope) dimulai dari

puncak fase II sampai akhir pemeriksaan.

Ketiga fase merupakan refleksi keadaan urodinamik kedua ginjal.

Gangguan pada masing-masing fase memiliki makna klinis yang berbeda.

Walaupun secara komprehensip dapat saling mempengaruhi.8

28

Page 29: REFERAT RADIOLOGI

Gambar 7. Pola renogram untuk kondisi ginjal tertentu

2.1.9 Terapi

a. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal

ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi

toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan

memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.3

Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah

atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat

merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus

adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan

keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan

memelihara status gizi.

Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat

supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual

tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal

disease).

29

Page 30: REFERAT RADIOLOGI

b. Terapi simtomatik

Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum

kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis

metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium

bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau

serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

Anemia

Transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC) merupakan salah

satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian

transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian

mendadak.

Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang

sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan

keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan

gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut

sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi

dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan

kulit.

Kelainan neuromuskular

30

Page 31: REFERAT RADIOLOGI

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi

hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi

subtotal paratiroidektomi.

Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular

yang diderita.

c. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium

5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat

berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.3

Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk

mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi

dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap

akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi

dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang

termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,

ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan

cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,

muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%

dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8

mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan

sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.

31

Page 32: REFERAT RADIOLOGI

Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya

adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney).

Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang

tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya

yang mahal.

Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory

Peritoneal Dialysis(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di

Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang

tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita

penyakit sistem kardiovaskular, pasienpasien yang cenderung akan

mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan

pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal

ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien

nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi

non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi

untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari

pusat ginjal.

Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal

(anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal,

yaitu:

Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih

seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya

mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah

Kualitas hidup normal kembali

Masa hidup (survival rate) lebih lama

32

Page 33: REFERAT RADIOLOGI

Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan

dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.

2.1.10 Prognosis

Prognosis gagal ginjal kronis kurang baik, akibat terjadi

komplikasi penyakit.  Faktor prognosis yang mempengaruhi meliputi

komplikasi penyakit anemia, asidosis metabolik, hiperkalemia, tekanan

darah yang cenderung tidak normal, edema, edema paru, fluktuasi berat

badan, dan penyakit dasar batu ginjal, glomerulonefretis, hipertensi,

diabetes melitus, dan penyakit dasar yang lainnya. Faktor umur, jenis

kelamin dan frekuensi hemodialisis juga perlu dipertimbangkan.

Penelitian dilakukan di laboratorium instalansi hemodialisis rumah

sakit dr Soetomo Surabaya, waktu studi 3 tahun dan Januari 1998 sampai

dengan Desember 2000. Berdasar hasil pengamatan terhadap lembar

observasi pasien gagal ginjal kronis ditemukan 258 orang pasien yang

digunakan sebagai anggota populasi ada 4 faktor prognosis gagal ginjal

kronis yaitu penyakit dasar yang lain ( PDL), edema paru (EP), frekuensi

hemodialisis (FHD) dan fluktuasi berat badan (FBB) berpengaruh nyata

terhadap waktu survival berarti belum terkoreksi dengan baik oleh terapi

hemodialisis, sedangkan faktor prognosis lainnya sudah terkoreksi dengan

baik.9

2.2 Penyakit Ginjal Akut

33

Page 34: REFERAT RADIOLOGI

Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung

kemih yang dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks

ginjal dan ureter yang dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal.

Obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik,

sehingga tekanan di ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung

kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal, tetapi jika obstruksi

terjadi di salah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan maka hanya satu

ginjal saja yang rusak.

Obstruksi parsial atau intermiten dapat disebabkan oleh batu renal yang

terbentuk di piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi

dapat diakibatkan oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut

akibat abses atau inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan

dapat sebagai akibat dari bentuk abnormal di pangkal ureter atau posisi ginjal

yang salah, yang menyebabkan ureter berpilin atau kaku. Pada pria lansia ,

penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada pintu kandung kemih akibat

pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi pada kehamilan akibat

pembesaran uterus.

Apapun penyebabnya adanya akumulasi urin di piala ginjal akan

menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat ini atrofi ginjal terjadi.

Ketika salah satu ginjal sedang mengalami kerusakan bertahap, maka ginjal yang

lain akan membesar secara bertahap (hipertropi kompensatori), akibatnya fungsi

renal terganggu.

Hidronefrosis biasanya terjadi akibat adanya sumbatan pada sambungan

ureteropelvik (sambungan antara ureter dan pelvis renalis) antara lain oleh karena

kelainan struktural, misalnya jika masuknya ureter ke dalam pelvis renalis terlalu

tinggi, kemudian oleh karena lilitan pada sambungan ureteropelvik akibat ginjal

bergeser ke bawah, adanya batu di dalam pelvis renalis, maupun adanya

penekanan pada ureter oleh jaringan fibrosa,arteri atau vena yang letaknya

abnormal ataupun tumor.

Hidronefrosis juga bisa terjadi akibat adanya penyumbatan dibawah

sambungan ureteropelvik atau karena arus balik air kemih dari kandung kemih

34

Page 35: REFERAT RADIOLOGI

batu di dalam ureter,adanya tumor di dalam atau di dekat ureter, adanya

penyempitan ureter akibat cacat bawaan, cedera, infeksi, terapi penyinaran atau

pembedahan, adanya kelainan pada otot atau saraf di kandung kemih atau ureter,

adanya pembentukan jaringan fibrosa di dalam atau di sekeliling ureter akibat

pembedahan, rontgen atau obat-obatan (terutama metisergid), adanya ureterokel

(penonjolan ujung bawah ureter ke dalam kandung kemih), adanya kanker

kandung kemih, leher rahim, rahim, prostat atau organ panggul lainnya, adanya

sumbatan yang menghalangi aliran air kemih dari kandung kemih ke uretra akibat

pembesaran prostat, peradangan atau kanker, adanya arus balik air kemih dari

kandung kemih akibat cacat bawaan atau cedera, ataupun oleh karena adanya

infeksi saluran kemih yang berat, yang untuk sementara waktu menghalangi

kontraksi ureter. Pada pria lansia , penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada

pintu kandung kemih akibat pembesaran prostat.

Hidronefrosis juga dapat terjadi pada kehamilan akibat pembesaran uterus.

Apapun penyebabnya adanya akumulasi urin di piala ginjal akan menyebabkan

distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat ini atrofi ginjal terjadi. Ketika salah satu

ginjal sedang mengalami kerusakan bertahap, maka ginjal yang lain akan

membesar secara bertahap (hipertrofi kompensatori), akhirnya fungsi renal

terganggu. Gejalanya tergantung pada penyebab penyumbatan, lokasi

penyumbatan serta lamanya penyumbatan.Jika penyumbatan timbul dengan cepat

(hidronefrosis akut), biasanya akan menyebabkan kolik renalis ( nyeri yang luar

biasa di daerah antara tulang rusuk dan tulang panggul) pada sisi ginjal yang

terkena.Jika penyumbatan berkembang secara perlahan (hidronefrosis kronis),

bisa tidak menimbulkan gejala atau nyeri tumpul di daerah antara tulang rusuk

dan tulang pinggul).

Pemeriksaan radiologi khususnya ultrasonografi didapatkan hasil adanya

pembesaran dari ginjal kiri dan pelebaran dari sistem pelvi kalises, namun tidak

didapatkan adanya batu atau nodul. Sehingga didapatkan kesan moderate

hidronephrosis. Pada setiap pemeriksaan traktus urinarius sebaiknya diawali

dengan pembuatan foto polos abdomen (FPA). Yang harus diperhatikan disini

adalah kontur, ukuran, dan posisi kedua ginjal. Dapat pula dilihat kalsifikasi

35

Page 36: REFERAT RADIOLOGI

dalam kista dan tumor, batu radioopak dan perkapuran dalam ginjal. Interpretasi

terhadap kalsifikasi saluran ginjal harus dilakukan secara hati – hati karena

flebolit dalam kelenjar mesenterika dan vena pelvis sering disalahartikan sebagai

batu ureter.

Pemeriksaan UIV akan menghasilkan sebuah gambaran yang disebut

dengan pielogram. Pada pielogram normal, akan didapatkan gambaran bentuk

kedua ginjal seperti kacang. Kutub atas ginjal kiri setinggi vertebra Th11, batas

bawahnya setinggi korpus vertebra L3. Ginjal kanan letaknya kira – kira 2 cm

lebih rendah daripada yang kiri. Pada pernafasan, kedua ginjal bergerak, dan

pergerakan ini dapat dilihat dengan fluoroskopi. Arah sumbu ke bawah dan lateral

sejajar dengan muskuli psoas kanan dan kiri. Dengan adanya lemak perirenal,

ginjal menjadi lebih jelas terlihat. Hal ini terutama dapat dilihat pada orang

gemuk. Pelvis renis lalu dilanjutkan dengan kalik mayor, biasanya berjumlah 2

buah. Dari kalik mayor dilanjutkan dengan kalik minor yang jumlahnya antara 6 –

14 buah. Kedua ureter berjalan lurus dari pelvis renis ke daerah pertengahan

sakrum dan berputar ke belakang lateral dalam suatu arkus, turun ke bawah dan

masuk ke dalam dan depan untuk memasuki trigonum vesika urinaria. Tiga

tempat penyempitan ureter normal adalah pada ureteropelvical junction,

ureterovesical junction, dan persilangan pembuluh darah iliaka. Pemeriksaan USG

ginjal merupakan pemeriksaan yang tidak invasif. Sebelum pemeriksaan, pasien

dipuasakan untuk meminimalkan gas di usus yang dapat menghalangi

pemeriksaan. Penilaian UIV sangat dibutuhkan untuk menetukan posisi ginjal dan

daerah yang perlu dinilai lebih lanjut. Fokus transduser yang digunakan sekitar 5

cm, 2,5 – 3,5 MHz cukup memadai. Lakukan irisan transversal untuk

menentukanlokasi aksis ginjal, diikuti dengan irisan – irisan longitudinal, bila

perlu gunakan magnifikasi. Ginjal turut bergerak pada pernapasan, sehingga

pasien diminta untuk menahan napas pada inspirasi dalam. Penilaian kutub atas

ginjal paling baik dengan sektor transduser melalui celah iga. Ginjal kanan dapat

diperiksa dengan pasien pada posisi supine, left lateral decubitus, dan pronasi.

Sementara untuk ginjal kiri, digunakan posisi right lateral decubitus dan pronasi.

Posisi supine tidak dianjurkan untuk memeriksa ginjal kiri karena gambaran ginjal

36

Page 37: REFERAT RADIOLOGI

terganggu oleh gambaran udara lambung dan usus. Sonic window yang digunakan

adalah otot perut belakang dan posterolateral serta celah iga. Pada ginjal kanan,

hepar juga digunakan sebagai sonic window, sedangkan pada ginjal kiri yang

dipakai adalah lambung yang berisi air. USG dapat memberikan keterangan

tentang ukuran, bentuk, letak, dan struktur anatomi dalam ginjal.

Pemeriksaan MRI secara umum, memiliki peran yang terbatas dalam

penegakan hidronefrosis karena membutuhkan waktu dan biaya yang panjang.

Bagaimanapun, dalam kasus kehamilan, dimana radiasi ionisasi harus

dihindarkan, MRI dapat berperan. MR urography dapat digunakan sebagaimana

tindakan tambahan yang aman pada evaluasi ultrasonografi untuk membantu

membedakan proses fisiologis dari penyebab kasus patologis. Secara spesifik,

MRI dapat membantu klinisi menyajikan gambaran yang detail mengenai ukuran

dan lokasi obstruksi yang spesifik jika ada. CT scan memegang peranan penting

dalam mengevaluasi hidronefrosis dan hidroureter. Unenhanced helical CT scan

merupakan pilihan modalitas gambaran untuk memeriksa kemungkinan kalkulus

sekarang ini. Hal ini dikarenakan CT scan memiliki tingkat sensitivitas 97%,

spesifitas 96% dan 97 % dalam ketepatan diagnosis batu. Banyak batu yang

tampak seperti gambaran radiolusen seperti batu asam urat dapat terlihat pada CT

scan. Terkecuali satu batu yang berasal dari HIV protease inhibitors (indinavir),

yang tidak terlihat pada CT scan.

37

Page 38: REFERAT RADIOLOGI

38

Page 39: REFERAT RADIOLOGI

BAB 3. KESIMPULAN

Chronic Kidney Disease (CKD) menurut National Kidney Foundation

(NKF) di Amerika Serikat didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau laju filtrasi

glomerolus (GFR) < 60 mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Kadar

ureum >40 mg/dl dan kreatinin >1.5 mg/dl dapat menjadi suati tanda adanya

gangguan fungsi ginjal. Etiologi CKD dari yang terbanyak yaitu glomerulonefritis

(25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).

Gambaran klinis pasien CKD yaitu lemas, penurunan nafsu makan, edema.

Pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosis CKD yaitu kadar

ureum >40 mg/dl dan kreatinin serum >1.5 mg/dl. Pemeriksaan penunjang

radiologi berupa foto polos abdomen, BNO-IVP, pielografi retrograde,

ultrasonografi (USG), nefrotomogram, dan pemeriksaan renografi. USG saat ini

digunakan sebagai pemeriksaan pertama secara rutin pada keadaan gagal ginjal

yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang parenkim, sistem collecting

dan pembuluh darah ginjal. Sedangkan renogram dapat melihat adanya gejala

kelainan ginjal. Hasil yang diperoleh dari renogram adalah grafik renografi.

Penatlaksanaan CKD berupa terapi konservatif, terapi simptomatik, dan

terapi pengganti ginjal dimana terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit

ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut

dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal. Prognosis

gagal ginjal kronis kurang baik, akibat terjadi komplikasi penyakit.

39

Page 40: REFERAT RADIOLOGI

DAFTAR PUSTAKA

1. Purwahyudi, Ari. Chronic Kidney Disease. Chronic Kidney Disease 2010

Mar 28 (citied 2012 Jan 30). Available at

http://aripurwahyudi.com/intensive-care/chronic-kidney-disease.htm

2. Hukari, Dwi. Leaflet Chronic Kidney Disease. Leaflet Manajemen Nyeri

2010 Apr 04 (citied 2012 Jan 30). Available at http://rentalhikari.word-

press.com/2010/04/04/leaflat-chronic-kidney-disease.htm

3. Nurdin HM. Chronic Kidney Disease. Be Smart and Educated 2010 Aug

16 (citied 2012 Jan 30). Available at

http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/chronic-kidney-disease.html

4. Van de Graaf KM. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill

Companies; 2001

5. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke-2. Jakarta:

EGC; 2001.

6. Rasad, Sjahriar. (2005). Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

7. Antony, Joe. Chronic Renal Failure. Ultrasound Images of Diseases of the

Kidneys 2007 (citied 2012 Jan 30). Available at http://www.ultrasound-

images.com

8. Wahid. Renograf Dual Probes Sebagai Pendeteksi Fungsi Ginjal.

Instrumentasi Medis Fisika UI 2011 Mei 21 (citied 2012 Feb 10).

Available at http://medical-instruments11.blogspot.com/2011/05/renograf-

dual-probes.html

9. Suharto. Penerapan Model PH Cox pada Studi Pasien Gagal Ginjal Kronik

2004 Feb 19 (citied 2012 Feb 08). Available at

http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s2-2004-suharto-969-co

40

Page 41: REFERAT RADIOLOGI

41