Referat Luka Bakar
-
Upload
bambang-supriyadi -
Category
Documents
-
view
42 -
download
8
description
Transcript of Referat Luka Bakar
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Luka bakar menjadi masalah perawatan kritis yang menyulitkan dan cukup
prevalen. Fasilitas khusus terutama berfokus pada penstabilan pasien, pencegahan
infeksi, dan optimalisasi pemulihan fungsional. Penelitian luka bakar telah
membangkitkan minat yang berkelanjutan dalam beberapa dekade lalu, dan
beberapa kemajuan penting telah menghasilkan stabilisasi pasien secara efektif
dan penurunan tingkat kematian khususnya pada pasien muda dan pasien dengan
luka bakar yang agak luas. Akan tetapi, bagi dokter intensivist, seringkali muncul
tantangan yang membuat dukungan dan proses stabilisasi pasien menjadi rumit.
Terlebih lagi, luka bakar merupakan masalah kompleks dan menimbulkan
kesulitan-kesulitan unik yang membutuhkan intervensi terakhir atau rehabilitasi
sepanjang hidup. Disamping perbaikan stabilisasi dan perawatan pasien,
penelitian mengenai perawatan luka bakar telah menghasilkan kemajuan yang
selanjutnya akan memperbaiki pemulihan fungsional.1
Cedera termal akut yang membutuhkan pengobatan medis dialami oleh
hampir setengah juta orang Amerika setiap tahun, dengan sekitar 40.000 rawat
inap dan 3.400 kematian setiap tahunnya.1 Tingkat kelangsungan hidup untuk
pasien luka bakar yang rawat inap telah membaik secara konsisten selama empat
dekade terakhir dan sekarang sebanyak 97% pasien masuk di rumah sakit khusus
luka bakar.2,3 Hal ini umumnya dapat dikaitkan dengan penurunan ukuran luka
bakar secara nasional, perbaikan perawatan kritis luka bakar, dan kemajuan dalam
perawatan dan pengobatan luka bakar yang telah didorong melalui penelitian
seperti yang tercermin dalam meningkatnya publikasi tentang luka bakar selama
beberapa dekade silam.4,5 Sejak Kongres Internasional Pertama tentang Luka
Bakar lebih dari 50 tahun lalu, kemajuan telah dicapai dalam beberapa daerah
penyelenggara dan juga dicapai kemajuan penting dalam resusitasi dini,
penatalaksanaan infeksi, eksisi luka dan penutupan luka, dan penatalaksanaan
cairan telah membantu dalam mengurangi kematian akibat luka bakar.6,7
1
Infeksi luka bakar adalah komplikasi serius cedera termal. Meskipun saat
ini radang paru-paru (pneumonia) merupakan infeksi paling serius pada pasien
dengan luka bakar, infeksi luka bakar masih merupakan komplikasi serius yang
khas pada pasien luka bakar. Metode penatalaksanaan cedera termal telah
berevolusi selama 50 tahun terakhir. Evolusi ini disertai dengan perubahan
etiologi, epidemiologi, dan pendekatan untuk mencegah infeksi luka bakar. Di
tahun 1950, 1960, dan 1970-an dan di pertengahan 1980-an, luka bakar ditangani
dengan metode pemaparan, dengan aplikasi antimikroba topikal untuk luka bakar
permukaan dan debridemen (pembuangan jaringan mati) secara bertahap dengan
hidroterapi perendaman. Karena eksisi dini luka bakar dan penutupan luka
menjadi fokus utama penatalaksanaan luka bakar, disertai dengan perubahan dari
hidroterapi perendaman menjadi hidroterapi mandi, tingkat infeksi luka bakar
tampak menurun. Sangat sedikit penelitian tentang epidemiologi infeksi luka
bakar dilakukan sejak perubahan pendekatan penatalaksanaan cedera termal ini.
Sangat sedikit data yang ada mengenai epidemiologi infeksi luka bakar dari era
eksisi dini dan penutupan. Diperlukan data tentang tingkatan infeksi luka bakar
yang dieksisi dan ditutup, etiologi infeksi ini, dan epidemiologi serta pencegahan
infeksi semacam itu. Diperlukan penelitian tambahan tentang indikasi profilaksis
topikal dan antimikroba dan dekontaminasi saluran cerna secara selektif.
Cedera termal adalah jenis trauma serius yang membutuhkan penanganan
di unit khusus. Diperkirakan ~2.5 juta orang di Amerika Serikat mengalami luka
bakar yang memerlukan penanganan medis setiap tahun. Lebih dari 100.000
pasien dirawat di rumah sakit, dan ada ~12,000 kematian per tahun akibat cedera
termal.244
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Luka Bakar
Luka bakar adalah sejenis cedera pada daging atau kulit yang disebabkan
oleh panas, listrik, bahan kimia, gesekan, atau radiasi. Luka bakar yang hanya
mempengaruhi kulit bagian luar dikenal sebagai luka bakar superfisial atau derajat
I. Bila cedera menembus beberapa lapisan di bawahnya, hal ini disebut luka bakar
sebagian lapisan kulit atau derajat II. Pada Luka bakar yang mengenai seluruh
lapisan kulit atau derajat III, cedera meluas ke seluruh lapisan kulit. Sedangkan
luka bakar derajat IV melibatkan cedera ke jaringan yang lebih dalam, seperti otot
atau tulang.167
2.2 Tanda dan Gejala
Karakteristik luka bakar bergantung pada kedalamannya. Luka bakar
superfisial menyebabkan nyeri selama dua atau tiga hari, yang dilanjutkan dengan
pengelupasan kulit selama beberapa hari berikutnya.171,172 Individu yang menderita
luka bakar berat mungkin menunjukkan perasaan tidak nyaman atau mengeluhkan
adanya tekanan dibandingkan nyeri. Luka bakar yang mengenai seluruh lapisan
kulit mungkin sepenuhnya tidak sensitif terhadap sentuhan ringan atau tusukan.
Luka bakar superfisial biasanya berwarna merah, sedangkan luka bakar berat bisa
berwarna merah muda, putih atau hitam.172 Luka bakar di sekitar mulut atau
rambut yang terbakar di dalam hidung bisa mengindikasikan terjadinya luka bakar
di saluran napas, tetapi temuan ini sifatnya tidak pasti. Tanda-tanda yang lebih
mengkhawatirkan meliputi: sesak napas, serak, dan stridor atau mengi.173 Rasa
gatal umum dialami selama proses penyembuhan, serta terjadi pada 90% orang
3
dewasa dan hampir semua anak.174 Mati rasa atau kesemutan masih dapat
dirasakan dalam waktu yang lama setelah cedera listrik.175 Luka bakar juga bisa
menyebabkan gangguan emosional dan psikologis.169
2.3 Etiologi
Luka bakar disebabkan oleh berbagai sumber eksternal yang dapat
digolongkan menjadi panas, kimia, listrik, dan radiasi.179 Di Amerika Serikat,
penyebab paling umum dari luka bakar adalah: kebakaran atau api (44%),
melepuh (33%), benda panas (9%), listrik (4%), dan bahan kimia (3%).180
Sebagian besar (69%) cedera luka bakar terjadi di rumah atau tempat kerja
(9%),170 dan kebanyakan adalah akibat kecelakaan, sementara 2% disebabkan oleh
serangan orang lain, dan 1-2% disebabkan oleh percobaan bunuh diri.169 Sumber-
sumber ini bisa menyebabkan cedera inhalasi di saluran napas dan/atau paru-paru,
dengan tingkat kejadian sekitar 6%.181
Cedera luka bakar lebih umum terjadi pada orang miskin. Merokok merupakan
faktor risiko, tetapi konsumsi alkohol bukan merupakan faktor risiko. Luka bakar
yang berhubungan dengan api lebih umum terjadi pada iklim yang lebih dingin.179
Faktor risiko spesifik di negara berkembang meliputi memasak dengan api
terbuka atau di atas lantai167 serta gangguan perkembangan pada anak dan
penyakit kronis pada orang dewasa.182
2.3.1 Panas atau termal
Di Amerika Serikat, api dan cairan panas adalah penyebab luka bakar yang
paling umum.181 Dari semua kasus kebakaran rumah yang mengakibatkan
kematian, 25% disebabkan oleh rokok dan 22% disebabkan oleh alat pemanas.
Hampir separuh cedera diakibatkan oleh upaya memadamkan kebakaran.167
4
Melepuh disebabkan oleh cairan panas atau gas dan paling umum terjadi karena
paparan pada minuman panas, suhu air keran yang panas di bak mandi atau
pancuran, minyak goreng yang panas, atau uap.183 Cedera lepuh paling umum
terjadi pada anak di bawah usia lima tahun176 dan, di Amerika Serikat dan
Australia, populasi ini mencakup sekitar dua pertiga dari seluruh kasus luka
bakar.181 Kontak dengan benda panas adalah penyebab dari 20-30% kasus luka
bakar pada anak.181 Pada umumnya, lepuh adalah luka bakar derajat I atau II, tapi
bisa juga mengakibatkan luka bakar derajat III, terutama karena kontak yang
lama.184 Kembang api adalah penyebab umum luka bakar selama musim liburan di
banyak negara.185 Hal ini khususnya merupakan faktor risiko bagi remaja pria.186
2.3.2 Bahan kimia
Bahan kimia menyebabkan 2 sampai 11% dari semua kasus luka bakar dan
menyebabkan hingga 30% kematian yang berkaitan dengan luka bakar.187 Luka
bakar kimia bisa disebabkan oleh lebih dari 25.000 bahan kimia,176 kebanyakan di
antaranya adalah basa keras (55%) atau asam keras (26%).187 Kebanyakan
kematian akibat luka bakar kimia terjadi akibat menelan bahan kimia tersebut
ingesti.176 Penyebab umumnya meliputi: asam sulfat yang biasa ditemukan pada
pembersih toilet, sodium hipoklorit yang biasa ditemukan pada pemutih, dan
hidrokarbon berhalogen yang biasa ditemukan pada penghilang cat.176 Asam
hidrofluorida bisa menyebabkan luka bakar dalam yang mungkin tidak
menimbulkan gejala hingga beberapa saat setelah terpapar.188 Asam format bisa
menyebabkan kerusakan sel darah merah dalam jumlah besar.173
2.3.3 Listrik
5
Luka bakar atau cedera listrik digolongkan menjadi cedera listrik tegangan
tinggi (1000 volt atau lebih), cedera listrik tegangan rendah (kurang dari
1000 volt), atau luka bakar kilat yang disebabkan oleh busur listrik.176 Penyebab
paling umum dari luka bakar listrik pada anak-anak adalah kabel listrik (60%) dan
saklar listrik (14%).181 Petir juga bisa mengakibatkan luka bakar listrik.189 Faktor
risiko tersambar petir meliputi aktivitas luar ruangan seperti mendaki gunung,
golf, dan olahraga di lapangan, serta bekerja di luar ruangan. Angka kematian
akibat sambaran petir adalah sekitar 10%.175
Meskipun cedera listrik terutama mengakibatkan luka bakar, cedera ini juga bisa
mengakibatkan patah tulang atau dislokasi karena trauma tumpul atau kontraksi
otot. Pada cedera listrik tegangan tinggi, sebagian besar kerusakan mungkin
terjadi di bagian dalam tubuh, sehingga sejauh mana cedera terjadi tidak dapat
dinilai dengan pemeriksaan kulit saja. Kontak dengan tegangan rendah maupun
tinggi bisa mengakibatkan aritmia jantung atau serangan jantung.175
2.3.4 Radiasi
Luka bakar radiasi bisa disebabkan oleh paparan berlarut-larut terhadap
sinar ultraviolet (seperti dari matahari, bilik pewarna kulit atau pengelasan busur)
atau dari radiasi pengion (seperti dari terapi radiasi, sinar-X atau debu
radioaktif).190 Paparan sinar matahari adalah penyebab paling umum dari luka
bakar radiasi dan penyebab paling umum dari luka bakar superfisial secara
keseluruhan.191 Jenis kulit seseorang akan secara bermakna menentukan
kerentanannya dalam mengalami sengatan matahari.192 Efek radiasi pengion pada
kulit tergantung pada jumlah paparan ke area tersebut, di mana kerontokan rambut
terlihat setelah paparan sebesar 3 Gy, kemerahan terlihat setelah paparan sebesar
6
10 Gy, pengelupasan kulit basah setelah paparan sebesar 20 Gy, dan nekrosis
setelah paparan sebesar 30 Gy. Kemerahan, bila terjadi, mungkin tidak muncul
hingga beberapa saat setelah terpapar. Pengobatan luka bakar radiasi sama seperti
luka bakar lainnya.193 Luka bakar gelombang mikro terjadi karena pemanasan
termal yang disebabkan oleh gelombang mikro. Meskipun paparan selama dua
detik bisa mengakibatkan cedera, secara keseluruhan kasus ini jarang terjadi.194
2.3.5 Bukan Kecelakaan
Dari semua pasien yang dirawat karena lepuh atau luka bakar api,
3Templat:Endash10% disebabkan oleh serangan orang lain. Alasannya mencakup:
penganiayaan anak, konflik pribadi, penganiayaan pasangan, penganiayaan orang
tua, dan konflik bisnis.195 Cedera rendam atau lepuh rendam mungkin
mengindikasikan penganiayaan anak. Cedera ini terjadi ketika salah satu anggota
tubuh atau bagian bawah tubuh (pantat atau perineum) ditahan di bawah
permukaan air panas. Ini biasanya mengakibatkan batasan atas yang tajam dan
seringkali simetris.184 Tanda-tanda kemungkinan penganiayaan lainnya meliputi:
luka bakar melingkar, tidak adanya tanda cipratan, luka bakar dengan kedalaman
yang sama, dan ditemukannya tanda-tanda penelantaran atau penganiayaan
lainnya.196
Pembakaran pengantin, merupakan suatu bentuk kekerasan dalam rumah
tangga, yang terjadi pada sejumlah budaya seperti misalnya di India dimana
perempuan dibakar karena pihak suami atau keluarganya menganggap mas kawin
dari pihak perempuan tidak memadai.197,198 Di Pakistan, luka bakar asam
merupakan penyebab dari 13% dari luka bakar disengaja, dan umumnya
berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga.196 Pembakaran-diri
7
(membakar diri sebagai bentuk protes) juga merupakan sesuatu yang relatif umum
di antara perempuan India.169
2.4 Patofisiologi
Luka bakar termal dari sumber kering (api atau nyala api) dan sumber
basah (melepuh) menyebabkan kira-kira 80% dari semua kasus luka bakar yang
dilaporkan8 dan dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalalaman luka bakarnya.9,10
Selain cedera lokal di lokasi luka bakar, cedera termal parah pada luas kulit 20%
dari total luas permukaan tubuh (TBA) atau lebih luas menyebabkan respons
sistemik akut yang secara kolektif dikenal dengan syok hipovolemik.11 Syok
hipovolemik ditandai oleh peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan tekanan
hidrostatik di mikrovaskulatur, gerakan protein dan cairan dari ruang intravaskular
ke ruang interstisial, peningkatan resistensi vaskuler sistemik, berkurangnya
output jantung, dan hipovolemia yang memerlukan resusitasi cairan.12 Edema
yang terbentuk di ruang interstisial dengan cepat terbentuk dalam 8 jam pertama
setelah luka bakar, dan terus terbentuk secara perlahan setidaknya selama 18
jam.13 Kebutuhan volume untuk resusitasi dapat diperkirakan dengan ukuran total
luka bakar dan berat badan pasien (atau luas permukaan tubuh). Faktor lain yang
mempengaruhi kebutuhan volume ini adalah ada atau tidaknya cedera inhalasi,
tingkat ketebalan-penuh luka bakar, dan waktu sejak cedera terjadi.12 Kecepatan
infus cairan yang sebenarnya kemudian dititrasi tiap jam, berdasarkan kecukupan
respons fisiologis, seperti output urin.14
Setelah berhasilnya resusitasi, pasien dengan luka bakar yang lebih lebar
kemudian memasuki masa hipermetabolisme yang lebih lama, peradangan kronis,
8
dan berkurangnya masa tubuh tanpa lemak (lean mass) yang kesemuanya
mungkin dapat mengganggu penyembuhan luka. Selain itu, peningkatan
kerentanan terhadap infeksi karena status kekebalan yang berubah dapat
menyebabkan sepsis, selanjutnya memperburuk inflamasi sistemik.16
Hipermetabolisme berkelanjutan dan peradangan mengganggu penyembuhan luka
melalui tertundanya re-epitelisasi.17,18 Tingkat peradangan dan hipermetabolisme
berkaitan dengan tingkat19 dan kedalaman luka bakar karena luka bakar yang lebih
dalam menunjukkan kadar peredaran sitokin yang lebih tinggi20 dan respons
hipermetabolik yang lebih besar.21 Demikian pula dengan luasnya luka bakar
menjadi penentu lamanya rawat inap di rumah sakit19,22 dan kematian.19,23
Menurut satu model, luka bakar dapat dibagi menjadi tiga zona berdasarkan
tingkat keparahan kerusakan jaringan dan perubahan aliran darah.10,24-26 Bagian
tengah dari luka, yang dikenal sebagai zona koagulasi, terkena panas dalam
jumlah paling besar dan menderita kerusakan yang paling parah. Protein
mengalami denaturasi di atas 41°C (106 °F), sehingga panas yang berlebihan di
lokasi cedera akan menyebabkan denaturasi protein yang luas, degradasi, dan
koagulasi, yang menyebabkan nekrosis jaringan. Di sekitar zona pusat koagulasi
adalah zona stasis, atau zona iskemia, yang ditandai dengan perfusi menurun dan
jaringan yang kemungkinan besar dapat diselamatkan.10 Pada zona ini, hipoksia
dan iskemia dapat menyebabkan nekrosis jaringan dalam waktu 48 jam sejak
cidera jika tidak diberikan intervensi.27 Mekanisme yang mendasari apoptosis dan
nekrosis dalam zona iskemik masih kurang dipahami, tetapi tampaknya
melibatkan autofagi langsung dalam 24 jam pertama setelah cedera dan apoptosis
onset tertunda sekitar 24 sampai 48 jam pasca luka bakar.27 Penelitian lain
9
menunjukkan apoptosis menjadi aktif lebih awal yaitu 30 menit pasca luka bakar28
tergantung pada intensitas luka bakar.29 Tekanan oksidatif mungkin memainkan
peran dalam perkembangan nekrosis, seperti halnya penelitian praklinis yang telah
menunjukkan pengurangan nekrosis yang menjanjikan dengan pemberian
antioksidan sistemik.30 Daerah terluar dari luka bakar adalah zona hiperemia yang
menerima tambahan aliran darah melalui vasodilatasi inflamasi dan kemungkinan
akan pulih, dengan menghambat infeksi atau cedera lainnya.25
Meskipun luka bakar berbeda dengan luka lainnya dalam beberapa hal,
seperti tingkat peradangan sistemik31, namun penyembuhan semua luka
merupakan proses dinamis dengan fase-fase yang tumpang tindih32 (Tabel 1).
Fase inflamasi awal membawa neutrofil dan monosit ke lokasi cedera
melalui vasodilatasi lokal dan ekstravasasi cairan, dengan demikian memulai
sebuah respons imun yang kemudian ditopang oleh rekrutmen makrofag oleh
kemokin.31 Fase inflamasi berfungsi tidak hanya untuk mencegah infeksi selama
penyembuhan, tetapi juga untuk mendegradasi jaringan nekrotik dan
mengaktifkan sinyal yang diperlukan untuk perbaikan luka.33 Setelah respons
inflamasi dan tumpang tindih dengan respons inflamasi, fase proliferasi ditandai
10
dengan aktivasi keratinosit dan fibroblas oleh sitokin dan faktor pertumbuhan.34
Dalam fase ini, keratinosit bermigrasi di atas luka untuk membantu penutupan dan
pemulihan jaringan pembuluh darah dimana ini merupakan fase sangat penting
dalam proces penyembuhan luka.35 Jaringan komunikasi antara stroma, endotel,
dan sel-sel kekebalan tubuh ini menentukan proses penyembuhan, termasuk
penutupan dan revaskularisasi.
Tumpang tindih dengan fase proliferatif, fase akhir penyembuhan melibatkan
remodeling luka.36 Selama fase remodeling, bekas luka mengalami maturasi31
ketika kolagen dan elastin diendapkan dan secara terus menerus dibentuk kembali
ketika fibroblas menjadi miofibroblas.37 Miofibroblas mengadopsi fenotipe
kontraktil, dan dengan demikian dilibatkan dalam kontraktur luka.38 Konversi dari
fibroblas ke miofibroblas mengendalikan keseimbangan yang rumit antara
kontraksi dan re-epitelisasi, yang sebagian, menentukan pliabilitas/kelenturan luka
yang diperbaiki.39 Selain konversi fibroblas, apoptosis keratinosit dan sel-sel
inflamasi merupakan langkah-langkah kunci dalam penghentian penyembuhan
luka dan keseluruhan tampilan akhir luka.40
11
2.5 Diagnosis
Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman, mekanisme
cedera, luasan dan cedera lain yang diakibatkan oleh luka bakar tersebut.
Klasifikasi yang paling umum digunakan adalah yang berdasarkan kedalaman
luka bakar. Kedalaman dari luka bakar biasanya ditentukan berdasarkan
pemeriksaan, walaupun kadang dapat juga dilakukan pemeriksaan biopsi.176
Biasanya sangat sulit untuk menentukan kedalaman luka bakar hanya dengan satu
kali pemeriksaan sehingga perlu dilakukan pemeriksaan ulang dalam beberapa
hari.173 Pada pasien dengan keluhan sakit kepala atau pusing dan menderita luka
12
bakar karena api, harus dipertimbangkan keracunan karbon monoksida.202
Keracunan sianida juga perlu dipertimbangkan.173
2.5.1 Ukuran
Ukuran luka bakar ditentukan berdasarkan persentase dari luas permukaan
tubuh (LPB) yang terkena luka bakar sebagian atau seluruh lapisan kulit.[10] Luka
bakar derajat satu hanya menunjukkan warna merah dan tidak melepuh tidak
termasuk kedalam perkiraan ini.176 Kebanyakan luka bakar (70%) mengenai
kurang dari 10% LPB.181
Terdapat beberapa cara untuk menentukan LPB, didalamnya termasuk
"aturan sembilan", tabel Lund dan Browder, serta perkiraan berdasarkan ukuran
telapak tangan seseorang.171 "Aturan sembilan" sangat mudah diingat tetapi hanya
akurat untuk orang yang berusia lebih dari 16 tahun.171 Estimasi yang lebih akurat
akan diperoleh bila menggunakan tabel Lund dan Browder, yang juga
mempertimbangkan berbagai proporsi bagian tubuh pada orang dewasa dan anak-
anak.171 Ukuran telapak tangan seseorang (termasuk telapak dan jari) mendekati
1% dari LPBnya.171
13
2.5.2 Tingkat Keparahan
Untuk menentukan apakah diperlukan Referensi untuk dibawa ke pusat
perawatan khusus luka bakar, Asosiasi Luka Bakar Amerika merancang suatu
sistem klasifikasi. Pada sistem ini, luka bakar diklasifikasikan menjadi berat,
sedang, dan ringan. Keadaan ini dinilai berdasrkan sejumlah faktor, di antaranya
adalah luas permukaan total tubuh yang terkena, adanya luka bakar pada bagian
tubuh tertentu, usia penderita, dan cedera lain yang terkait.202 Luka bakar ringan
pada umumnya dapat diatasi di rumah, luka bakar sedang biasanya dapat diatasi di
rumah sakit, luka bakar berat harus ditangani di pusat perawatan khusus luka
bakar.202
14
2.6 Pencegahan
Berdasarkan sejarah, sekitar setengah dari luka bakar dapat dicegah.167
Program pencegahan luka bakar secara signifikan telah menurunkan tingkat
kejadian luka bakar yang bersifat serius.199 Tindakan pencegahan termasuk:
membatasi suhu air panas, alarm asap, sistem penyemprot air, konstruksi
bangunan yang sesuai, dan pakaian tahan api.167 Para ahli menganjurkan
pengaturan pemanas air di bawah suhu 48.8 °C (119.8 °F).181 Tindakan lain untuk
menghindari lepuh adalah dengan mengukur suhu air mandi dengan termometer,
dan meletakkan pelindung cipratan pada kompor.199 Walaupun pengaruh peraturan
penggunaan kembang api masih belum jelas, terdapat bukti sementara bahwa
peraturan ini bermanfaat203 dengan adanya rekomendasi pembatasan penjualan
kembang api kepada anak-anak.181
2.6.1 Pencegahan Infeksi Luka Bakar
Alat pelindung diri untuk mencegah penularan mikroorganisme ke
pasien yang digunakan pada dekade sebelumnya terus menjadi elemen penting
untuk mengontrol infeksi dalam perawatan luka bakar secara modern. Di satu
fasilitas perawatan luka bakar, penelitian dilakukan untuk menentukan bagaimana
cara terefektif mengisolasi pasien dengan luka bakar untuk mencegah penularan
mikroorganisme.156 Selama tahap 1 (baseline) penelitian bertahap tersebut, penulis
menetapkan bahwa 63% pasien dikolonisasi dengan mikroorganisme penanda
yang muncul di hari 4-8 penelitian. Tahap 2 mengikuti pendidikan bagi petugas
pusat penanganan luka bakar tentang penggunaan teknik isolasi yang tepat.
Pendekatan ini tidak mengubah tingkat kolonisasi. Pada tahap 3, penggunaan
prosedur resmi isolasi yang disederhanakan mengurangi tingkat kolonisasi dari
15
63% menjadi 33%, dan kolonisasi yang melambat secara signifikan (7,8-21 hari)
teramati pada pasien yang dikolonisasi P. aeruginosa. Prosedur resmi isolasi yang
disederhanakan dipastikan efektif ketika prosedur itu dievaluasi kembali di fase 4.
Tujuan dari perubahan teknik hidroterapi dari perendaman ke mandi
adalah untuk mengurangi penularan mikroorganisme ke luka bakar. Tidak jelas
apa pengaruh dari perubahan teknik hidroterapi terhadap epidemiologi infeksi
luka bakar.
Meskipun agen antimikroba topikal terus digunakan, peran mereka tidak
jelas untuk luka yang dibuat oleh eksisi dini dan penutupan luka. Mereka dapat
diaplikasikan pada luka bakar sebelum eksisi dan pada luka yang eksisinya
ditunda atau tidak bisa dieksisi. Mengingat efek negatif dari agen antimikroba
topikal dan pemilihan jamur dan bakteri yang resisten bagi kolonisasi permukaan
luka bakar, penggunaan antimikroba topikal di era eksisi luka bakar memerlukan
penelitian lebih lanjut.154
Pengaruh eksisi luka bakar terhadap epidemiologi infeksi luka bakar tidak
jelas. Dengan mengurangi jalan masuknya, eksisi dan penutupan luka bisa
mengurangi terjadinya infeksi luka bakar, tetapi efek tersebut belum dibuktikan
dengan uji klinis acak prospektif kecuali pada kasus luka bakar ≤15% dari
TBSA.155
Ada kemungkinan bahwa, ketika luka bakar dieksisi dan daerah eksisi itu
ditutup dengan auto transplantasi (autografting) atau ditutup sementara dengan
allograft atau bahan lainnya, kepadatan kolonisasi mikroba di daerah cedera akan
berkurang. Ini akan mengurangi tempat hidup mikroorganisme yang dibentuk oleh
16
luka bakar kolektif pasien di fasilitas perawatan luka bakar. Sepengetahuan saya,
ini belum pernah diteliti.
Saluran GI tetap menjadi tempat hidup utama dan sarana potensial
penularan mikroorganisme yang mengkolonisasi luka bakar. Ini terjadi terutama
pada luka bakar yang luas.153,157 Tempat hidup P. aeruginosa yang mengkolonisasi
saluran GI pasien dengan luka bakar terdiri dari tangan petugas medis,
lingkungan, dan makanan.153,158-160
Selain penggunaan penghalang, pendekatan untuk mengontrol saluran GI
sebagai tempat hidup dan sarana penularan dilakukan dengan berupaya menekan
atau menghilangkan mikroorganisme di saluran GI. Pendekatan ini dilakukan
untuk mengatur kombinasi agen antimikroba oral. Profilaksis ini disebut
"dekontaminasi usus secara selektif" (SDD).
Beberapa penelitian tentang SDD yang melibatkan pasien dengan luka
bakar telah diterbitkan.161-166 Kombinasi agen antimikroba yang paling umum
digunakan adalah neomycin, eritromisin, polimiksin, tobramycin, trimethoprim-
sulfamethoxazole, amfoterisin B, dan nistatin. Dua antimikroba antibakteri
biasanya dikombinasikan dengan agen antijamur. Empat dari 6 penelitian bersifat
prospektif, tetapi hanya 1 yang merupakan penelitian acak, obat-plasebo,
tersamar-ganda (randomized, controlled-placebo, double-blinded) yang
prospektif.166 Sayangnya, penelitian terakhir mungkin kurang mampu mendeteksi
perbedaan klinis yang signifikan antara 11 pasien yang menerima profilaksis dan
12 subyek kontrol yang menerima plasebo. Penulis tidak melaporkan tingkat α,
kekuatan penelitian ini, atau perbedaan antara kelompok perlakuan dan kelompok
plasebo yang mereka coba deteksi.
17
2.7 Penatalaksanaan
Tindakan resusitasi dimulai dengan menilai dan menstabilkan jalan napas,
pernapasan, serta sirkulasi penderita.171Jika dicurigai terjadi cedera inhalasi,
mungkin diperlukan intubasi awal.173 Penanganan ini kemudian diikuti dengan
penanganan luka bakar itu sendiri. Seseorang dengan luka bakar yang luas dapat
dibungkus menggunakan kain seprei bersih sampai tiba di rumah sakit.173 Karena
luka bakar mudah terkena infeksi, suntikan booster tetanus harus diberikan bila
pasien tersebut belum mendapatkan imunisasi tetanus ini dalam jangka lima tahun
terakhir.204 Di Amerika Serikat, 95% dari penderita luka bakar yang masuk ke unit
gawat darurat dirawat dan diperbolehkan pulang, sementara 5% memerlukan
perawatan di rumah sakit.169 Pada luka bakar berat, pemberian asupan makanan
dini sangat penting.200 Oksigenasi hiperbarik mungkin dapat beguna sebagai
tambahan dari penanganan secara tradisional.205
2.7.1 Cairan Intravena
Pada penderita dengan perfusi jaringan yang buruk, harus diberikan bolus
larutan kristaloid isotonik.171 Pada anak-anak dengan kondisi luka bakar lebih dari
10-20% LPB dan pada dewasa dengan kondisi luka bakar lebih dari 15% LPB
harus ditindaklanjuti dengan resusitasi cairan formal dan pemantauan.171,206,207 Bila
memungkinkan, tindakan ini harus dilakukan sebelum ke rumah sakit bagi
penderita dengan luka bakar lebih luas dari 25% LPB.206 Formula Parkland dapat
membantu menentukan volume cairan intravena yang diperlukan dalam waktu
24 jam pertama. Formula ini didasarkan atas LPB dan berat badan orang yang
terkena luka bakar. Setengah dari jumlah cairan ini harus diberikan pada 8 jam
18
pertama, dan sisanya diberikan pada sisa waktu 16 jam. Jangka waktu ini dimulai
sejak luka bakar bakar terjadi, bukan dari saat resusitasi cairan diberikan.Pada
anak diperlukan pemberian cairan rumatan tambahan berupa glukosa.173 Selain itu,
penderita dengan cedera inhalasi memerlukan lebih banyak cairan.208 Sementara
resusitasi cairan yang tidak cukup dapat menyebabkan masalah, resusitasi yang
berlebihan juga dapat berakibat buruk.209 Formula ini hanya merupakan pedoman,
dengan infus yang ideal diberikan berdasarkan keluaran urin yaitu >30 mL/h pada
orang dewasa atau >1mL/kg pada anak-anak dan tekanan darah arteri rata-rata
lebih tinggi dari 60 mmHg.173
Walaupun Larutan ringer laktat sering digunakan, tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa larutan ini lebih baik dari larutan salin normal.171 Cairan
kristaloid tampak sama baiknya dengan cairan koloid, dan karena koloid lebih
mahal, penggunaan cairan ini tidak dianjurkan.210 Transfusi darah sangat jarang
diperlukan.176 Transfusi darah hanya dianjurkan bila kadar hemoglobin turun di
bawah 60-80 g/L (6-8 g/dL)211 karena adanya risiko komplikasi.173 Kateter
intravena dapat dipasang melalui kulit yang terbakar bila diperlukan, atau dapat
juga menggunakan infus intraoseus.173
2.7.2 Perawatan Luka
Pendinginan dini (selama 30 menit pertama sejak terjadinya luka bakar)
akan mengurangi kedalaman luka bakar dan nyeri, tetapi harus dilakukan dengan
hati-hati karena pendinginan berlebih dapat menimbulkan hipotermia.171,176
Tindakan ini harus dilakukan dengan menggunakan air dingin 10–25 °C (50.0–
77.0 °F) dan bukan air es, karena air es dapat menyebabkan cedera yang lebih
parah.171,199 Luka bakar karena bahan kimia memerlukan irigasi yang ekstensif.171
19
Membersihkan, pembersihan jaringan mati menggunakan sabun dan air , dan
penggunaan pembalut merupakan aspek yang penting dalam penanganan luka
bakar. Bila terdapat lepuh yang utuh, tidak terlalu jelas apa yang harus dilakukan.
Beberapa bukti sementara mendukung dibiarkannya lepuh ini apa adanya. Luka
bakar derajat dua memerlukan evaluasi kembali setelah dua hari.199
Pada penatalaksanaan luka bakar derajat satu dan dua, tidak ditemukan
bukti nyata untuk menentukan tipe pembalutan yang harus digunakan.212,213
Biasanya tidak masalah untuk membiarkan luka bakar tingkat satu tanpa
pembalutan.199 Pemberian antibiotik oles umumnya disarankan, walaupun
pemakaian obat ini tidak didukung oleh bukti yang cukup.214 Perak sulfadiazine
(suatu jenis antibiotik) tidak dianjurkan untuk dipakai karena berpotensi
memperlambat waktu penyembuhan.213 Masih belum ada cukup bukti yang
mendukung penggunaan balutan yang mengandung perak215 atau terapi luka
tekanan negatif.216
2.7.3 Pengobatan
Luka bakar bisa sangat menyakitkan dan terdapat berbagai pilihan yang
bisa digunakan untuk mengatasi rasa sakit. Pilihannya meliputi analgesik
sederhana (seperti ibuprofen dan asetaminofen) dan opioid seperti morfin.
Benzodiazepin bisa digunakan sebagai tambahan untuk analgesik guna membantu
menurunkan kecemasan.199 Selama proses penyembuhan, antihistamin, pijat, atau
stimulasi saraf transkutaneus bisa digunakan untuk membantu mengatasi rasa
gatal.174 Namun, antihistamin hanya efektif untuk tujuan ini pada 20% orang.217
Terdapat bukti sementara yang mendukung penggunaan gabapentin174 dan
20
penggunaan obat tersebut beralasan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan
dengan antihistamin.218
Antibiotik intravena dianjurkan sebelum pembedahan pada pasien yang
mengalami luka bakar luas (>60% LPB).219 Templat:Hingga, panduan yang ada
tidak menganjurkan penggunaan antibiotik secara umum karena adanya
kekhawatiran mengenai resistensi antibiotik214 dan meningkatnya risiko infeksi
jamur.173 Namun bukti sementara menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik
intravena bisa memperbaiki tingkat kelangsungan hidup pada pasien yang
mengalami luka bakar luas dan berat.214 Eritropoietin belum ditemukan efektif
untuk mencegah atau mengobati anemia pada orang yang mengalami luka
bakar.173 Pada luka bakar yang disebabkan oleh asam hidrofluorat, kalsium
glukonat merupakan antidot khusus dan bisa digunakan secara intravena dan/atau
dioleskan.188
2.7.4 Pembedahan
Luka yang memerlukan penutupan dengan pembedahan menggunakan
cangkok kulit atau flap (biasanya untuk luka bakar yang lebih dari luka bakar
ketebalan lengkap berukuran kecil) harus ditangani sesegera mungkin.220 Luka
bakar melingkar pada anggota gerak atau dada mungkin memerlukan bedah
segera untuk membuang kulit mati, yang dikenal sebagai eskarotomi.221 Tindakan
ini dilakukan untuk menangani atau mencegah masalah dengan sirkulasi jauh, atau
ventilasi.221 Belum jelas apakah bedah eskarotomi berguna untuk luka bahar pada
leher atau jari.221 Fasiotomi mungkin diperlukan untuk luka bakar akibat sengatan
listrik.221
21
Eksisi dini dan pencangkokan telah menjadi standar perawatan selama
beberapa dekade. Kebanyakan penelitian telah menunjukkan bahwa eksisi dalam
waktu 24 hingga 48 jam setelah cedera berkorelasi dengan penurunan kehilangan
darah, infeksi, lamanya rawat inap di rumah sakit dan kematian, serta peningkatan
pengambilan cangkokan105-108, meskipun penurunan angka kematian hanya terjadi
pada pasien tanpa cedera inhalasi.109 Karena salah satu tantangan utama dalam
pengobatan cedera termal akut adalah mencegah infeksi, maka mengeksisi eskar
dan menutupi luka sedini mungkin sangatlah penting. Standar untuk penutupan
cepat dan permanen untuk luka bakar ketebalan penuh (full-thickness burns)
adalah cangkok sebagian ketebalan kulit atau disebut split thickness skin graft
(STSG) dari lokasi kulit donor yang tidak cedera pada pasien yang sama
(autograf). Pencangkokan demikian menyediakan penutupan yang cukup tanpa
resiko penolakan, meskipun meta-analisis belum menentukan tingkat kegagalan
cangkok STSG pada pasien luka bakar. STSG ini dapat menyatu dengan rasio
ekspansi bervariasi untuk menambah daerah penutupan, namun tetap ada
kekhawatiran mengenai efek meshing terhadap rentang gerak110 dan tingkat
penyembuhan di lokasi cangkokan kulit. Di sisi lain, lokasi donor terasa sakit dan
menimbulkan beban penyembuhan luka pada pasien itu sendiri. Beragam balutan
telah digunakan untuk menutup lokasi donor selama penyembuhan dengan hasil
yang bervariasi.112
Pasien dengan luka bakar yang lebih luas sering membutuhkan penutupan
sementara dengan alograf, kenograf, pengganti kulit, atau analog dermal karena
lokasi donor tidak cukup atau tidak tersedia. Alograf atau jaringan yang diambil
dari donor manusia yang masih hidup atau donor manusia yang telah meninggal,
22
dan kenograf yang diambil dari spesies yang berbeda, mendorong re-epitelialisasi
dan mempersiapkan dasaran luka untuk autograf, yang meningkatkan tingkat
penyembuhan bila dibanding dengan pembalutan biasa.113 Sebuah meta-analisis
terbaru menunjukkan bahwa karena alograf dan kenograf tampaknya sama-sama
efektif, kenograf mungkin menjadi pilihan utama untuk meningkatkan
keselamatan pasien dan mengurangi biaya pengobatan.114 Namun, harus hati-hati
dalam menarik kesimpulan yang luas dari meta-analisis ini karena penelitian yang
dikutip kurang terstandarisasi dan rincian kritis seperti kedalaman dan ukuran luka
bakar, dan banyak penelitian yang dikutip hanyalah sekedar laporan anekdot.
Alograf kadaver dianggap sebagai bahan terbaik untuk penutupan sementara
pada luka eksisi pada pasien dengan luka bakar luas dan mematikan serta
kurangnya lokasi donor. Alograft kadaver tersebut juga merupakan bahan pilihan
untuk perlindungan autograft yang terhubung secara luas (3:1 atau rasio meshing
lebih tinggi) selama penyembuhan. Dalam kasus terakhir, alograft diaplikasikan
dengan mesh autograft dengan cara sandwich.
Sudah ada berbagai macam pengganti kulit dan analog dermal115-119 (Tabel 2)
secara garis besar dapat dibagi menjadi pengganti epidermis atau pengganti
dermis.120,121 Pengganti epidermis secara normal tebalnya hanya beberapa lapisan
sel dan memiliki sedikit komponen dermal normal. Biasanya tebal hanya beberapa
lapisan sel dan kurangnya komponen dermal yang normal.122,123 Sudah ada dermal
pengganti yang dapat dibeli seperti matriks aselular, umumnya berasal dari
manusia - misalnya, Alloderm (LifeCell, Bridgewater, NJ, USA) atau GraftJacket
(KCI, San Antonio, TX, USA) – atau sumber lain (misalnya, Integra, Integra
LifeSciences, Plainsboro, NJ, USA). Biobrane (Smith & Nephew, London, UK)
23
adalah bahan bilaminar semisintetik yang terdiri atas nilon-mesh dermal analog
(terikat dengan kolagen porsin) dan analog epidermal silikon. Biobrane digunakan
untuk penutupan sementara luka bakar dangkal dan lokasi donor.124,125 Produk
yang sekarang sedang dikembangkan ini mengintegrasikan konsep perancah
dermal yang secara aktif mendorong revaskularisasi dengan memasukkan sel
induk dan faktor pertumbuhan untuk menciptakan kembali lingkungan mikro
selular yang baik.126,127
Tersedia banyak pilihan balutan.128,129 Pemilihan balutan yang tepat
tergantung pada beberapa faktor, termasuk kedalaman luka bakar, kondisi dasaran
luka, lokasi luka, retensi kelembaban yang dibutuhkan dan drainase, frekuensi
penggantian balutan yang dibutuhkan serta biaya. Meski banyak faktor harus
24
dipertimbangkan dalam pemilihan balutan, tujuan dari pemilihan balutan yang
paling tepat adalah perlindungan terjadinya kontaminasi (bakteri atau sejenisnya)
dan perlindungan kerusakan fisik dengan memungkinkan pertukaran gas dan
retensi kelembaban serta menyediakan kenyamanan untuk meningkatkan
pemulihan fungsional. Pendekatan tradisional untuk perawatan luka bakar yang
dikembangkan di Pusat Luka Bakar Angkatan Darat Amerika Serikat berupa
penggantian krim asetat mafenide di pagi hari dan krim silver sulfadiazin di
malam hari, dengan balutan kasa digunakan di atas krim. Baru-baru ini, balutan
yang diisi silver dan balutan lainnya telah diperkenalkan. Kelas balutan utama
yaitu: alginate, misalnya, Aquacel (ConvaTec, Bridgewater, NJ, USA), atau
Comfeel (Coloplast, Minneapolis, MN, USA), atau Sorbsan (Mylan, Morgantown,
WV, USA); antimikroba, misalnya Acticoat (Smith & Nephew, London, UK) atau
Silverlon (Argentum, Geneva, IL, USA); kolagen, misalnya Fibracol (Johnson &
Johnson, New Brunswick, NJ) atau Puracol (Medline, Mundelein, IL, USA);
hidrokoloid, misalnya Duoderm (ConvaTec, Bridgewater, NJ, USA), Granuflex
(ConvaTec, Bridgewater, NJ, USA), atau Tegaderm (3M, Maplewood, MN,
USA); hidrogel, misalnya Dermagel (Maximilian Zenho & Co, Brussels, Belgia),
SilvaSorb (Medline, Mundelein, IL, USA), atau Skintegrity (Medline, Mundelein,
IL, USA); dan busa poliuretan, misalnya Allevyn (Smith & Nephew, London,
UK) atau Lyofoam (Molnycke, Gothenburg, Swedia). Secara khusus, banyak dari
balutan ini menunjukkan kemampuan antimikroba melalui peresapan perak, tetapi
hasil penelitian baru-baru ini menunjukkan perak dapat menunda penyembuhan
luka dan seharusnya tidak digunakan secara rutin pada kulit donor yang tidak
terinfeksi130,131 meskipun balutan perak dapat mengurangi nyeri luka.132 Pada
25
pasien dengan luka bakar luas dan dalam, antimikroba yang manjur harus menjadi
prioritas pertama dalam perawatan luka bakar.
Kemungkinan lain, teknik berbasis sel untuk penutupan lebih permanen telah
menghasilkan kemajuan. Penelitian tentang kultur sel epitel telah menghasilkan
kemajuan penting, terutama berkaitan dengan waktu kultur. Pilihan berbasis
kultur seperti Episel (Genzyme, Cambridge, MA, USA), menggunakan biopsi
kecil dari kulit pasien untuk memberikan keratinosit, yang diekspansi selama 2
sampai 3 minggu (untuk Episel, dengan keberadaan fibroblas murin yang
proliferasinya ditahan) menjadi autograft epidermal konfluen. Pilihan lainnya,
seperti ReCell (Avita, Nocrthridge, CA, USA), mengambil biopsi kecil dari kulit
pasien dan mempersiapkan campuran keratinosit, melanosit, dan sel-sel induk
dalam formulasi cair untuk disemprotkan ke luka bakar yang dieksisi selama
operasi yang sama.133-135 Teknik ini dapat mengurangi jumlah kulit donor yang
diperlukan untuk pengobatan luka bakar yang besar, yang secara signifikan
mengurangi waktu penyembuhan baik bagi bagian tubuh yang menjadi donor dan
bagian yang terbakar, dan meningkatkan keberhasilan keseluruhan cangkokan dan
kualitas bekas luka.136 Perlu dilakukan riset lanjutan tentang pilihan penutupan
berbasis sel sebelum penerapannya secara luas dapat direkomendasikan.
2.7.5 Keratinosit dan Sel Induk
Seperti disebutkan sebelumnya, keratinosit memainkan peran penting
dalam penutupan luka. Aktivasi sitokin menyebabkan keratinosit bermigrasi
dalam fase proliferasi, yang menyebabkan penutupan dan pemulihan jaringan
vaskular.35 Keratinosit bisa juga diaktifkan dengan agonis reseptor mu opioid59
tetapi peran agonis ini pada inflamasi dan penutupan luka masih belum jelas.57,58
26
Meskipun sudah dilakukan studi positif dengan EpiDex (Modex, Lausanne,
Swiss) - pengganti kulit autologus yang direkayasa dan berdiferensiasi penuh
yang berasal dari keratinosit menunjukkan efektivitas yang sebanding dengan
split-thickness skin graft (cangkok sebagian ketebalan kulit) dalam penutupan
luka dan penyembuhan137 - hasilnya belum diwujudkan dalam opsi yang layak
secara klinis. Studi yang mengevaluasi ekspansi keratinosit pada fibroblas
manusia setelah ekstraksi tripsin138, dan menggunakan kulit yang direkayasa
dengan keratinosit pada matriks fibrin139, telah menunjukkan perbaikan
penyembuhan luka bakar. Analisis retrospektif tentang keratinosit autologus
menunjukkan bahwa allogeneic yang dikultur atau keratinosit autologous dapat
mempercepat penyembuhan luka.140,141 Secara bersama-sama, dampak dari pilihan
penutupan sel yang dimediasi oleh keratinosit di masa mendatang cukup
menjanjikan, tetapi penelitian lebih lanjut perlu dilakukan.134 Selain itu,
pengobatan berbasis keratinosit harus dilaksanakan dengan hati-hati, karena
aktivasi keratinosit yang berlebihan berkontribusi pada berkembangnya jaringan
parut hipertrofik.43,142
Penggunaan sel induk dewasa, termasuk sel induk sumsum tulang, sel induk
folikel rambut, dan sel induk adiposa, dalam perawatan luka bakar akut
merupakan topik yang menarik.143 Penambahan sel induk sumsum tulang pada
luka kronis yang tidak sembuh-sembuh menyebabkan engraftment sel dan
meningkatkan penyembuhan luka.144,145 Selain itu, sejumlah penelitian telah
melaporkan bahwa sel induk sumsum tulang dapat ber-transdiferensiasi ke
beberapa jenis sel kulit.146 Mekanisme kerja sel induk sumsum tulang pada luka
bakar belum sepenuhnya dijelaskan, tapi modulasi inflamasi terjadi setelah radiasi
27
luka bakar pada manusia.147 Demikian pula, sel induk adiposa mempercepat re-
epitelisasi melalui aktivasi parakrin dari sel inang melalui sekresi faktor
pertumbuhan.148,149 Juga, sel induk folikel rambut mampu menghasilkan epidermis
berlapis pada luka bakar manusia.150 Selain itu, kemungkinan untuk menghasilkan
kulit seluler setara sedang dikembangkan. Sel induk folikel rambut telah
dimasukkan ke dalam produk, seperti Integra, untuk menyelidiki penyembuhan
luka.151 Sebuah pengganti kulit yang dikultur yang menggunakan sel induk
adiposa dan keratinosit telah dikembangkan yang menghasilkan
stratifikasi/perlapisan epidermal, dermal, dan hipodermal.152 Selain itu, sel induk
adiposa manusia yang biasanya dibuang telah diisolasi dari jaringan eskar luka
bakar yang di-debridemen dan digunakan untuk menghasilkan konstruk tiga lapis
berpembuluh darah. Data yang menjanjikan tentang sel induk non-embrio seperti
ini telah membangkitkan minat dalam pengembangan dan penerapan masa depan
dan tidak diragukan lagi penelitian selanjutnya akan menghasilkan hasil yang
menarik.
2.7.6 Pengobatan Alternatif
Madu sudah digunakan sejak zaman kuno untuk membantu penyembuhan
luka dan mungkin bermanfaat untuk luka bakar derajat pertama dan kedua.222,223
Belum cukup bukti untuk penggunaan lidah buaya.224 Walaupun perak
sulfadiazine mungkin bermanfaat untuk menurunkan rasa sakit,177 dan tinjauan
pustaka yang dilakukan pada tahun 2007 menemukan bukti sementara yang
menunjukkan bahwa perak sulfadiazine dapat memperbaiki waktu penyembuhan
225 tinjauan pustaka selanjutnya yang dilakukan pada tahun 2012 tidak
28
menunjukkan perbaikan penyembuhan luka dengan penggunaan perak
sulfadiasin.224
Ada sedikit bukti bahwa vitamin E dapat membantu menyembuhkan
keloid atau bekas luka.226 Penggunaan mentega tidak dianjurkan.227 Di negara
berpendapatan rendah, sepertiga luka bakar diobati dengan obat tradisional, yang
dapat meliputi pengolesan telur, lumpur, daun atau kotoran sapi.182 Penanganan
dengan pembedahan terbatas pada beberapa kasus karena sumber daya dan
ketersediaan keuangan yang tidak mencukupi.182 Ada sejumlah metode lain yang
bisa digunakan sebagai tambahan untuk pengobatan guna menurunkan rasa sakit
dan kecemasan termasuk: terapi realitas maya, hipnosis, dan pendekatan perilaku
seperti teknik pengalihan perhatian.218
2.7.7 Optimalisasi penyembuhan luka bakar
2.7.7.1 Inflamasi
Inflamasi sangat penting untuk keberhasilan penyembuhan luka bakar, dan
mediator inflamasi (sitokin, kinin, lipid, dan sebagainya) memberikan sinyal
kekebalan tubuh untuk merekrut leukosit dan makrofag yang berfungsi memulai
fase proliferatif.37 Re-epitelisasi, atau penutupan luka, dalam fase proliferasi
melalui aktivasi keratinosit dan fibroblas, atau migrasi dari folikel rambut yang
berdiferensiasi dan analog epidermal lainnya,41,42 dimediasi oleh sitokin yang
direkrut dalam fase inflamasi. Meski hal ini menunjukkan bahwa inflamasi
penting untuk penyembuhan luka, jalur inflamasi yang menyimpang juga telah
dikaitkan dengan jaringan parut hipertrofik, dan pengobatan anti-inflamasi
berpotensi memperburuk gejala dan penundaan penyembuhan luka.40,43,44
29
Edema penting yang diinisiasi oleh beberapa faktor termasuk vasodilatasi,
aktivitas osmotik ekstravaskular, dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler
sering menyertai inflamasi.45 Edema dan inflamasi yang berlebihan atau
berkepanjangan memperburuk rasa sakit serta mengganggu penyembuhan
luka.17,18 Menariknya, penelitian menunjukkan bahwa bila tidak ada infeksi,
inflamasi mungkin tidak diperlukan untuk perbaikan jaringan.46 Karena inflamasi
dapat memiliki dampak menguntungkan dan merugikan pada proses
penyembuhan luka bakar, tantangan klinisnya terletak pada penatalaksanaan,
dengan penerapan terapi intervensi hanya bila inflamasi dan edema menjadi
berlebihan.
Pengobatan inflamasi pada luka bakar yang lebar tentu sulit dilakukan, seperti
halnya baru-baru ini dibahas secara rinci di bagian lain.16 Pengobatan anti-
inflamasi tradisional yang berfokus pada penghambatan sintesis prostaglandin,
seperti obat anti-inflamasi nonsteroid atau glukokortikoid, mengganggu
penyembuhan luka.47 Namun, pemberian steroid telah terbukti mengurangi
inflamasi, nyeri, dan memperpendek rawat inap rumah sakit pada pasien luka
bakar dalam beberapa penelitian kecil.48,49 Eksisi dini dan pencangkokan/grafting
telah menjadi standar baku untuk pengobatan luka bakar dengan ketebalan penuh
dan ketebalan parsial.52-54 Waktu debridemen bertepatan dengan fase
penyembuhan inflamasi, ketika parut bakar yang dihilangkan selama eksisi
merupakan sarang inflamasi dan kaya makanan untuk proliferasi bakteri.
Pengobatan anti-inflamasi non tradisional, seperti opioid, telah mendapatkan
perhatian yang cukup besar tetapi belum mengubah hasil praklinis yang
menjanjikan ke dalam praktek klinis untuk penyembuhan luka. Meski mayoritas
30
penelitian pada hewan telah menunjukkan efek anti-inflamasi yang konsisten dari
opioid terhadap neuron perifer55, penelitian klinis telah menunjukkan sedikit efek
atau tidak ada efeknya pada inflamasi.56 Selanjutnya, morfin topikal menunda fase
inflamasi dini dan mempercepat fase proliferasi akhir57,58, yang didukung oleh
studi in vitro yang menunjukkan stimulasi opioid terhadap migrasi keratinosit.59
Uji klinis skala besar yang mengevaluasi efikasi opioid pada penyembuhan luka
belum dilakukan.60
2.7.7.2 Infeksi
Kulit berfungsi sebagai penghalang terhadap lingkungan eksternal untuk
mempertahankan atau menjaga homeostasis cairan dan suhu tubuh, disamping
juga memberikan informasi sensorik beserta metabolisme dan dukungan
imunologi. Kerusakan pada penghalang (barrier) ini setelah luka bakar akan
mengganggu sistem kekebalan tubuh bawaan dan meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi bakteri.61 Infeksi luka bakar didefinisikan dengan Pseudomonas
aeruginosa pada model tikus62,63, dimana teramati adanya perkembangan berikut:
kolonisasi luka bakar; invasi ke dalam jaringan bawah dalam waktu 5 hari;
penghancuran jaringan granulasi; lesi hematogen viseral; dan leukopenia,
hipotermia, dan kematian. Pasien luka bakar berisiko tinggi terinfeksi64, terutama
oleh infeksi resisten-obat65, yang sering menyebabkan rawat inap lebih lama bagi
pasien, tertundanya penyembuhan luka, biaya lebih tinggi, dan kematian yang
lebih tinggi pula.66 Infeksi dapat menyebabkan perkembangan respons kekebalan
yang kuat, yang disertai dengan sepsis atau syok septik, yang mengakibatkan
hipotensi dan gangguan perfusi organ akhir, termasuk kulit-- semua proses yang
menunda penyembuhan luka. Selain itu, penyebab utama kematian setelah luka
31
bakar parah adalah sepsis dan kegagalan multiorgan67-69, sehingga pencegahan dan
penatalaksanaan infeksi menjadi perhatian utama dalam pengobatan pasien luka
bakar. Diagnosis infeksi dini yang akurat sulit dilakukan: Protein C-reaktif dan
jumlah sel darah putih paling sering digunakan, karena kekuatan diagnostik dari
procalcitonin diragukan pada luka bakar.70 Definisi konsensus tentang sepsis dan
infeksi telah diajukan baru-baru ini yang lebih relevan dengan populasi luka bakar
dan sering digunakan secara klinis akan tetapi masih memerlukan validasi.
Penatalaksanaan infeksi luka bakar telah ditinjau secara luas di bagian
lain.61,64-66,72-77 Sejak adopsi antibiotik topikal, seperti mafenide di tahun 1960 dan
silver sulfadiazin pada 1970-an, dan eksisi dini serta pencangkokan pada 1970-an
dan sesudahnya, infeksi sistemik dan kematian telah menurun secara
konsisten.68,72,78 Namun, infeksi bakteri gram-positif dan gram negatif masih tetap
menjadi salah satu penyebab kematian yang paling umum yang menyertai luka
bakar.73 Kultur bakteri dapat membantu dalam pemilihan antibiotik yang sesuai,
terutama dalam kasus bakteri resisten obat, tapi parameter farmakokinetik yang
berubah pada pasien luka bakar harus dipertimbangkan dan dosisnya harus
disesuaikan untuk memaksimalkan kemanjuran antibiotik.79 Yang penting, obat
antimikroba topikal yang efektif belum ada untuk infeksi jamur invasif, dan
infeksi luka jamur dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih besar pada luka
bakar besar (> 30% TBSA).80 Karena memperlihatkan kematian yang tinggi,
kecurigaan akan adanya infeksi luka bakar memerlukan diagnosis cepat, sering
kali dengan histopatologi, dan eksisi atau re-eksisi luka.
32
2.7.7.3 Nutrisi
Hipermetabolisme berkelanjutan, peningkatan hormon, dan penyusutan
otot setelah cedera luka bakar parah semua berkontribusi terhadap hasil klinis
dengan besaran dan durasi yang unik untuk luka bakar.81,82 Jadi, pengurangan
dampak hipermetabolik dan penyediaan gizi yang cukup merupakan faktor kunci
yang mempengaruhi penyembuhan dan pemulihan83 luka bakar seperti halnya
telah diulas di bagian yang lain.84 Ada keseimbangan yang sulit antara kebutuhan
kalori tambahan untuk memenuhi permintaan dari hipermetabolisme dan
konsekuensi dari konsumsi gizi berlebih. Dukungan nutrisi setelah cedera luka
bakar merupakan masalah yang kompleks. Misalnya, eksisi dini dan pemberian
makan agresif pada anak-anak tidak mengurangi pengeluaran energi tetapi
dikaitkan dengan penurunan katabolisme protein otot, penurunan tingkat sepsis
luka bakar, dan jumlah bakteri yang lebih rendah dari jaringan yang dipotong.85
Pada orang dewasa, dukungan nutrisi dini berkorelasi dengan masa rawat inap
lebih pendek, penyembuhan luka yang cepat dan menurunnya risiko infeksi.86
Beberapa faktor gizi harus diperhatikan. Sebagai contoh, konsumsi
karbohidrat berlebih dapat menyebabkan hiperglikemia87 yang dapat
memperburuk inflamasi sistemik dan degradasi otot.88,89 Selanjutnya, konsumsi
lemak berlebih dapat meningkatkan keadaan imunosupresi90; dan karena luka
bakar berat juga dapat mengakibatkan imunosupresi91, peningkatan keadaan
imunosupresi ini dapat meningkatkan risiko infeksi dan sepsis. Asupan
karbohidrat dan lemak pada pasien luka bakar selain itu harus dipantau lebih ketat.
Panduan bantuan nutrisi untuk pasien luka bakar bervariasi, tetapi rekomendasi
33
konsensus telah diberikan oleh Asosiasi Luka Bakar Amerika dan Himpunan
Nutrisi Parenteral dan Enteral Amerika untuk karbohidrat, protein, dan lemak.84
Disamping dukungan asam amino dan vitamin84, pemberian insulin telah
terbukti mengurangi waktu penyembuhan dengan menurunkan katabolisme
protein dan meningkatkan sintesis protein otot rangka.92-96 Dibutukan riset lebih
lanjut untuk mengoptimalkan pemberian insulin, karena banyak faktor
pertumbuhan rekombinan seperti faktor pertumbuhan epidermal dan transforming
growth factor, sering terkendala biaya.93 Obat anabolik lain seperti oxandrolone,
terbukti meningkatkan pemulihan lean body mass, mengurangi masa rawat inap
dan memperbaiki hasil secara keseluruhan, termasuk penyembuhan luka bakar.97-
100 Selain itu, meski teori konvensional menunjukkan bahwa kadar hemoglobin
harus dipertahankan di atas 10 g/dl untuk mendorong penyembuhan luka101, bukti
awal menunjukkan bahwa anemia ringan sampai sedang tidak berpengaruh pada
keberhasilan cangkok jika perfusi dipertahankan dengan volume sirkulasi yang
tepat.102 Hasil dari uji multisenter, acak, terkontrol (ClinicalTrials.gov
NCT01079247) yang membandingkan transfusi darah dengan volume yang lebih
rendah (target hemoglobin 7 - 8 g/dl) dan volume konvensional (target
hemoglobin >10 g/dl) untuk kohort pasien skala besar diharapkan segera dan
mungkin menghasilkan pedoman klinis yang lebih definitif tentang volume
transfusi darah.
2.8 Prognosis
Progonosisnya lebih buruk bagi orang dengan luka bakar luas, orang yang
berusia tua, dan wanita.176 Terjadinya cedera karena menghirup asap, cedera
34
signifikan lain seperti patah tulang panjang, dan penyakit penyerta yang bersifat
serius (misalnya penyakit jantung, diabetes, penyakit psikiatrik, dan keinginan
untuk bunuh diri) juga mempengaruhi prognosis.176 Rata-rata, dari pasien yang
dirawat inap di pusat perawatan luka bakar di Amerika Serikat, 4% meninggal,181
dengan hasil perawatan untuk tiap orang bergantung pada tingkat keparahan
cedera luka bakar. Contohnya, tingkat mortalitas penderita rawat inap dengan luka
bakar kurang dari 10% LPB adalah sebesar kurang dari 1%, sementara penderita
rawat inap dengan luka bakar 90% LPB memiliki tingkat mortalitas 85%.228 Di
Afghanistan, orang dengan luka bakar lebih dari 60% LPB jarang dapat bertahan
hidup.181 Skor Baux secara historis sudah digunakan untuk menentukan prognosis
luka bakar berat; namun, dengan perbaikan dalam teknik perawatan, data ini tidak
lagi begitu akurat.173 Skor tersebut ditentukan dengan menambahkan ukuran luka
bakar (% LPB) pada usia penderita, yang dulunya lebih kurang sama dengan
risiko kematian.173
2.9 Komplikasi
Sejumlah komplikasi bisa muncul, dan infeksi merupakan komplikasi
yang paling umum terjadi.181 Berdasarkan urutan frekuensi terjadinya, mulai dari
yang paling sering sampai yang paling jarang, komplikasi untuk luka bakar dapat
meliputi: pneumonia, selulit, infeksi saluran kencing dan kegagalan pernafasan.181
Faktor risiko untuk infeksi termasuk: luka bakar dengan lebih dari 30% LPB, luka
bakar ketebalan lengkap, usia ekstrim (muda atau tua), atau luka bakar yang
terjadi pada kaki atau perineum.229 Pneumonia umumnya terjadi pada mereka
dengan cedera inhalasi.173
35
Anemia sekunder pada luka bakar ketebalan lengkap dengan LPB lebih
dari 10% sering ditemukan.171 Luka bakar karena listrik bisa menyebabkan
sindrom kompartemen atau rabdomiolisis karena kerusakan otot.173 Penggumpalan
darah dalam vena kaki diperkirakan terjadi pada 6% hingga 25% orang.173
Keadaan hipermetabolik yang mungkin tidak sembuh selama bertahun-tahun
setelah luka bakar berat menyebabkan penurunan kepadatan tulang dan hilangnya
massa otot.200 Keloid bisa terjadi sebagai akibat dari luka bakar, terutama pada
orang yang berusia muda dan berkulit gelap.226 Setelah mengalami luka bakar,
anak-anak mungkin mengalami trauma dan mengalami gangguan stress paska
trauma.230 Bekas luka juga bisa mengakibatkan gangguan citra tubuh.230 Di
Negara-negara berkembang, luka bakar parah bisa mengakibatkan isolasi sosial,
kemiskinan ekstrim dan di kalangan anak-anak pengucilan.169
BAB 3
DAFTAR PUSTAKA
1. Gibran NS, Wiechman S, Meyer W, Edelman L, Fauerbach J, Gibbons L, et al.
American Burn Association consensus statements. J Burn Care Res.
2013;34:361–5.
2. Mann R, Heimbach D. Prognosis and treatment of burns. West J Med.
36
1996;165:215–20.
3. American Burn Association. Burn incidence and treatment in the United
States: 2013 fact sheet. 2013. http://www.ameriburn.org/resources_
factsheet.php. Accessed 12 May 2015.
Rowan et al. Critical Care (2015) 19:243 Page 8 of 12
4. Sen S, Palmieri T, Greenhalgh D. Review of burn research for the year 2013.
J Burn Care Res. 2014;35:362–8.
5. Wolf SE, Arnoldo BD. The year in burns 2011. Burns. 2012;38:1096–108.
6. Burd A. Research in burns – present and future. Indian J Plast Surg.
2010;43:S11–4.
7. Thomas SJ, Kramer GC, Herndon DN. Burns: military options and tactical
solutions. J Trauma. 2003;54:S207–18.
8. American Burn Association. National Burn Repository 2014. 2014.
http://www.ameriburn.org/2014NBRAnnualReport.pdf. Accessed 12 May 2015.
9. Kagan RJ, Peck MD, Ahrenholz DH, Hickerson WL, Holmes J, Korentager R,
et al. Surgical management of the burn wound and use of skin substitutes:
an expert panel white paper. J Burn Care Res. 2013;34:e60–79.
10. Nisanci M, Eski M, Sahin I, Ilgan S, Isik S. Saving the zone of stasis in burns
with activated protein C: an experimental study in rats. Burns.
2010;36:397–402.
11. Robins EV. Burn shock. Crit Care Nurs Clin North Am. 1990;2:299–307.
12. Pham TN, Cancio LC, Gibran NS, American Burn Association. American Burn
Association practice guidelines burn shock resuscitation. J Burn Care Res.
2008;29:257–66.
13. Shirani KZ, Vaughan GM, Mason Jr AD, Pruitt Jr BA. Update on current
37
therapeutic approaches in burns. Shock. 1996;5:4–16.
14. Dries DJ. Management of burn injuries – recent developments in
resuscitation, infection control and outcomes research. Scand J Trauma
Resusc Emerg Med. 2009;17:14.
15. Porter C, Hurren NM, Herndon DN, Borsheim E. Whole body and skeletal
muscle protein turnover in recovery from burns. Int J Burns Trauma.
2013;3:9–17.
16. Farina Jr JA, Rosique MJ, Rosique RG. Curbing inflammation in burn
patients. Int J Inflamm. 2013;2013:715645.
17. Edgar DW, Fish JS, Gomez M, Wood FM. Local and systemic treatments for
acute edema after burn injury: a systematic review of the literature. J Burn
Care Res. 2011;32:334–47.
18. Sommer K, Sander AL, Albig M, Weber R, Henrich D, Frank J, et al. Delayed
wound repair in sepsis is associated with reduced local pro-inflammatory
cytokine expression. PLoS One. 2013;8, e73992.
19. Wilmore DW, Long JM, Mason Jr AD, Skreen RW, Pruitt Jr BA.
Catecholamines: mediator of the hypermetabolic response to thermal
injury. Ann Surg. 1974;180:653–69.
20. Sakallioglu AE, Basaran O, Karakayali H, Ozdemir BH, Yucel M, Arat Z, et al.
Interactions of systemic immune response and local wound healing in
different burn depths: an experimental study on rats. J Burn Care Res.
2006;27:357–66.
21. Pereira CT, Herndon DN. The pharmacologic modulation of the
hypermetabolic response to burns. Adv Surg. 2005;39:245–61.
22. Hussain A, Dunn KW. Predicting length of stay in thermal burns: a
38
systematic review of prognostic factors. Burns. 2013;39:1331–40.
23. Colohan SM. Predicting prognosis in thermal burns with associated
inhalational injury: a systematic review of prognostic factors in adult burn
victims. J Burn Care Res. 2010;31:529–39.
24. Jackson DM. The diagnosis of the depth of burning. Br J Surg.
1953;40:588–96.
25. Hettiaratchy S, Dziewulski P. ABC of burns: pathophysiology and types of
burns. BMJ. 2004;328:1427–9.
26. Kowalske KJ. Burn wound care. Phys Med Rehab Clin North Am.
2011;22:213–27.
27. Tan JQ, Zhang HH, Lei ZJ, Ren P, Deng C, Li XY, et al. The roles of
autophagy and apoptosis in burn wound progression in rats. Burns.
2013;39:1551–6.
28. Singer AJ, McClain SA, Taira BR, Guerriero JL, Zong W. Apoptosis and
necrosis in the ischemic zone adjacent to third degree burns. Acad Emerg
Med. 2008;15:549–54.
29. Matylevitch NP, Schuschereba ST, Mata JR, Gilligan GR, Lawlor DF, Goodwin
CW, et al. Apoptosis and accidental cell death in cultured human
keratinocytes after thermal injury. Am J Pathol. 1998;153:567–77.
30. Deniz M, Borman H, Seyhan T, Haberal M. An effective antioxidant drug on
prevention of the necrosis of zone of stasis: N-acetylcysteine. Burns.
2013;39:320–5.
31. Tiwari VK. Burn wound: how it differs from other wounds? Indian J Plast
Surg. 2012;45:364–73.
32. Gurtner GC, Werner S, Barrandon Y, Longaker MT. Wound repair and
39
regeneration. Nature. 2008;453:314–21.
33. Reinke JM, Sorg H. Wound repair and regeneration. Eur Surg Res.
2012;49:35–43.
34. Werner S, Krieg T, Smola H. Keratinocyte–fibroblast interactions in wound
healing. J Invest Dermatol. 2007;127:998–1008.
35. Pastar I, Stojadinovic O, Yin NC, Ramirez H, Nusbaum AG, Sawaya A, et al.
Epithelialization in wound healing: a comprehensive review. Adv Wound
Care. 2014;3:445–64.
36. Widgerow AD. Cellular/extracellular matrix cross-talk in scar evolution and
control. Wound Repair Regen. 2011;19:117–33.
37. Singer AJ, Clark RA. Cutaneous wound healing. N Engl J Med. 1999;341:738–46.
38. Hinz B. Formation and function of the myofibroblast during tissue repair.
J Invest Dermatol. 2007;127:526–37.
39. Snowden JM. Wound closure: an analysis of the relative contributions of
contraction and epithelialization. J Surg Res. 1984;37:453–63.
40. Shih B, Garside E, McGrouther DA, Bayat A. Molecular dissection of
abnormal wound healing processes resulting in keloid disease. Wound
Repair Regen. 2010;18:139–53.
41. Claudinot S, Nicolas M, Oshima H, Rochat A, Barrandon Y. Long-term
renewal of hair follicles from clonogenic multipotent stem cells. Proc Natl
Acad Sci U S A. 2005;102:14677–82.
42. Ito M, Liu Y, Yang Z, Nguyen J, Liang F, Morris RJ, et al. Stem cells in the
hair follicle bulge contribute to wound repair but not to homeostasis of the
epidermis. Nat Med. 2005;11:1351–4.
43. Curran TA, Ghahary A. Evidence of a role for fibrocyte and keratinocyte-like
40
cells in the formation of hypertrophic scars. J Burn Care Res. 2013;34:227–31.
44. Tabas I, Glass CK. Anti-inflammatory therapy in chronic disease: challenges
and opportunities. Science. 2013;339:166–72.
45. Arturson G. Forty years in burns research – the postburn inflammatory
response. Burns. 2000;26:599–604.
46. Szpaderska AM, DiPietro LA. Inflammation in surgical wound healing: friend
or foe? Surgery. 2005;137:571–3.
47. Franz MG, Steed DL, Robson MC. Optimizing healing of the acute wound
by minimizing complications. Curr Probl Surg. 2007;44:691–763.
48. Stubhaug A, Romundstad L, Kaasa T, Breivik H. Methylprednisolone and
ketorolac rapidly reduce hyperalgesia around a skin burn injury and
increase pressure pain thresholds. Acta Anaesthesiol Scand.
2007;51:1138–46.
49. Huang G, Liang B, Liu G, Liu K, Ding Z. Low dose of glucocorticoid
decreases the incidence of complications in severely burned patients by
attenuating systemic inflammation. J Crit Care. 2015;30:e7–11.
50. Janzekovic Z. A new concept in the early excision and immediate grafting
of burns. J Trauma. 1970;10:1103–8.
51. Orgill DP. Excision and skin grafting of thermal burns. N Engl J Med.
2009;360:893–901.
52. Barret JP, Herndon DN. Effects of burn wound excision on bacterial
colonization and invasion. Plast Reconstruct Surg. 2003;111:744–50.
discussion 751–2.
53. Cramer LM, McCormack CR, Carroll DB. Progressive partial excision and early
graftin in lethal burns. Plast Reconstruct Surg Transplant Bull. 1962;30:595–9.
41
54. Engrav LH, Heimbach DM, Reus JL, Harnar TJ, Marvin JA. Early excision and
grafting vs. nonoperative treatment of burns of indeterminant depth: a
randomized prospective study. J Trauma. 1983;23:1001–4.
55. Stein C, Kuchler S. Non-analgesic effects of opioids: peripheral opioid effects
on inflammation and wound healing. Curr Pharm Des. 2012;18:6053–69.
56. Brack A, Rittner HL, Stein C. Immunosuppressive effects of opioids – clinical
relevance. J Neuroimmune Pharmacol. 2011;6:490–502.
57. Rook JM, Hasan W, McCarson KE. Morphine-induced early delays in wound
closure: involvement of sensory neuropeptides and modification of neurokinin
receptor expression. Biochem Pharmacol. 2009;77:1747–55.
58. Rook JM, McCarson KE. Delay of cutaneous wound closure by morphine via
local blockade of peripheral tachykinin release. Biochem Pharmacol.
2007;74:752–7.
59. Bigliardi PL, Buchner S, Rufli T, Bigliardi-Qi M. Specific stimulation of
migration of human keratinocytes by mu-opiate receptor agonists. J Recept
Signal Transduct Res. 2002;22:191–9.
60. Stein C, Kuchler S. Targeting inflammation and wound healing by opioids.
Trends Pharmacol Sci. 2013;34:303–12.
61. Church D, Elsayed S, Reid O, Winston B, Lindsay R. Burn wound infections.
Clin Microbiol Rev. 2006;19:403–34.
62. Teplitz C, Davis D, Walker HL, Raulston GL, Mason Jr AD, Moncrief JA.
Pseudomonas burn wound sepsis. II Hematogenous infection at the
Rowan et al. Critical Care (2015) 19:243 Page 9 of 12
junction of the burn wound and the unburned hypodermis. J Surg Res.
1964;4:217–22.
42
63. Teplitz C, Davis D, Mason Jr AD, Moncrief JA. Pseudomonas burn wound
sepsis. I Pathogenesis of experimental pseudomonas burn wound sepsis.
J Surg Res. 1964;4:200–16.
64. Coban YK. Infection control in severely burned patients. World J Crit Care
Med. 2012;1:94–101.
65. Branski LK, Al-Mousawi A, Rivero H, Jeschke MG, Sanford AP, Herndon DN.
Emerging infections in burns. Surg Infect. 2009;10:389–97.
66. Shupp JW, Pavlovich AR, Jeng JC, Pezzullo JC, Oetgen WJ, Jaskille AD, et al.
Epidemiology of bloodstream infections in burn-injured patients: a review
of the national burn repository. J Burn Care Res. 2010;31:521–8.
67. Bloemsma GC, Dokter J, Boxma H, Oen IM. Mortality and causes of death in
a burn centre. Burns. 2008;34:1103–7.
68. Chipp E, Milner CS, Blackburn AV. Sepsis in burns: a review of current
practice and future therapies. Ann Plastic Surg. 2010;65:228–36.
69. Williams FN, Herndon DN, Hawkins HK, Lee JO, Cox RA, Kulp GA, et al. The
leading causes of death after burn injury in a single pediatric burn center.
Crit Care. 2009;13:R183.
70. Mann EA, Wood GL, Wade CE. Use of procalcitonin for the detection of
sepsis in the critically ill burn patient: a systematic review of the literature.
Burns. 2011;37:549–58.
71. Greenhalgh DG, Saffle JR, Holmes JH, Gamelli RL, Palmieri TL, Horton JW,
et al. American Burn Association consensus conference to define sepsis and
infection in burns. J Burn Care Res. 2007;28:776–90.
72. D'Avignon LC, Chung KK, Saffle JR, Renz EM, Cancio LC. Prevention of
43
Combat-Related Infections Guidelines Panel. Prevention of infections
associated with combat-related burn injuries. J Trauma. 2011;71:S282–9.
73. D'Avignon LC, Hogan BK, Murray CK, Loo FL, Hospenthal DR, Cancio LC,
et al. Contribution of bacterial and viral infections to attributable
mortality in patients with severe burns: an autopsy series. Burns.
2010;36:773–9.
74. Hospenthal DR, Murray CK, Andersen RC, Bell RB, Calhoun JH, Cancio LC,
et al. Guidelines for the prevention of infections associated with
combat-related injuries: 2011 update: endorsed by the Infectious
Diseases Society of America and the Surgical Infection Society. J Trauma.
2011;71:S210–34.
75. Hospenthal DR, Murray CK, Andersen RC, Blice JP, Calhoun JH, Cancio LC,
et al. Guidelines for the prevention of infection after combat-related injuries.
J Trauma. 2008;64:S211–20.
76. Rafla K, Tredget EE. Infection control in the burn unit. Burns. 2011;37:5–15.
77. Rowley-Conwy G. Infection prevention and treatment in patients with major
burn injuries. Nurs Stand. 2010;25:51–2. 54, 56–8 passim.
78. Brown TP, Cancio LC, McManus AT, Mason Jr AD. Survival benefit conferred
by topical antimicrobial preparations in burn patients: a historical
perspective. J Trauma. 2004;56:863–6.
79. Roberts JA, Abdul-Aziz MH, Lipman J, Mouton JW, Vinks AA, Felton TW,
et al. Individualised antibiotic dosing for patients who are critically ill:
challenges and potential solutions. Lancet Infect Dis. 2014;14:498–509.
80. Horvath EE, Murray CK, Vaughan GM, Chung KK, Hospenthal DR, Wade CE,
et al. Fungal wound infection (not colonization) is independently associated
44
with mortality in burn patients. Ann Surg. 2007;245:978–85.
81. Herndon DN, Tompkins RG. Support of the metabolic response to burn
injury. Lancet. 2004;363:1895–902.
82. Williams FN, Herndon DN, Jeschke MG. The hypermetabolic response to
burn injury and interventions to modify this response. Clin Plast Surg.
2009;36:583–96.
83. Andel H, Kamolz LP, Horauf K, Zimpfer M. Nutrition and anabolic agents in
burned patients. Burns. 2003;29:592–5.
84. Abdullahi A, Jeschke MG. Nutrition and anabolic pharmacotherapies in the
care of burn patients. Nutr Clin Pract. 2014;29:621–30.
85. Hart DW, Wolf SE, Chinkes DL, Beauford RB, Mlcak RP, Heggers JP, et al.
Effects of early excision and aggressive enteral feeding on
hypermetabolism, catabolism, and sepsis after severe burn. J Trauma.
2003;54:755–61. discussion 761–4.
86. Mosier MJ, Pham TN, Klein MB, Gibran NS, Arnoldo BD, Gamelli RL, et al.
Early enteral nutrition in burns: compliance with guidelines and associated
outcomes in a multicenter study. J Burn Care Res. 2011;32:104–9.
87. Mecott GA, Al-Mousawi AM, Gauglitz GG, Herndon DN, Jeschke MG. The
role of hyperglycemia in burned patients: evidence-based studies.
Shock. 2010;33:5–13.
88. Gore DC, Chinkes DL, Hart DW, Wolf SE, Herndon DN, Sanford AP.
Hyperglycemia exacerbates muscle protein catabolism in burn-injured
patients. Crit Care Med. 2002;30:2438–42.
89. Kulp GA, Tilton RG, Herndon DN, Jeschke MG. Hyperglycemia exacerbates
burn-induced liver inflammation via noncanonical nuclear factor-kappaB
pathway activation. Mol Med. 2012;18:948–56.
45
90. Cunningham-Rundles S, McNeeley DF, Moon A. Mechanisms of nutrient
modulation of the immune response. J Allergy Clin Immunol.
2005;115:1119–28. quiz 1129.
91. Schwacha MG, Chaudry IH. The cellular basis of post-burn immunosuppression:
macrophages and mediators. Int J Mol Med. 2002;10:239–43.
92. Ferrando AA, Chinkes DL, Wolf SE, Matin S, Herndon DN, Wolfe RR. A
submaximal dose of insulin promotes net skeletal muscle protein synthesis
in patients with severe burns. Ann Surg. 1999;229:11–8.
93. Hrynyk M, Neufeld RJ. Insulin and wound healing. Burns. 2014;40:1433–46.
94. Pidcoke HF, Baer LA, Wu X, Wolf SE, Aden JK, Wade CE. Insulin effects on
glucose tolerance, hypermetabolic response, and circadian-metabolic
protein expression in a rat burn and disuse model. Am J Physiol Regul
Integr Comp Physiol. 2014;307:R1–10.
95. Pidcoke HF, Wade CE, Wolf SE. Insulin and the burned patient. Crit Care
Med. 2007;35:S524–30.
96. Sakurai Y, Aarsland A, Herndon DN, Chinkes DL, Pierre E, Nguyen TT, et al.
Stimulation of muscle protein synthesis by long-term insulin infusion in
severely burned patients. Ann Surg. 1995;222:283–94.
97. Hart DW, Wolf SE, Ramzy PI, Chinkes DL, Beauford RB, Ferrando AA, et al.
Anabolic effects of oxandrolone after severe burn. Ann Surg. 2001;233:556–64.
98. Tuvdendorj D, Chinkes DL, Zhang XJ, Suman OE, Aarsland A, Ferrando A,
et al. Long-term oxandrolone treatment increases muscle protein net
deposition via improving amino acid utilization in pediatric patients 6
months after burn injury. Surgery. 2011;149:645–53.
99. Wolf SE, Edelman LS, Kemalyan N, Donison L, Cross J, Underwood M, et al.
46
Effects of oxandrolone on outcome measures in the severely burned: a
multicenter prospective randomized double-blind trial. J Burn Care Res.
2006;27:131–9. discussion 140–1.
100. Wolf SE, Thomas SJ, Dasu MR, Ferrando AA, Chinkes DL, Wolfe RR, et al.
Improved net protein balance, lean mass, and gene expression changes
with oxandrolone treatment in the severely burned. Ann Surg.
2003;237:801–10. discussion 810–1.
101. Bains JW, Crawford DT, Ketcham AS. Effect of chronic anemia on wound
tensile strength: correlation with blood volume, total red blood cell volume
and proteins. Ann Surg. 1966;164:243–6.
102. Agarwal P, Prajapati B, Sharma D. Evaluation of skin graft take following
post-burn raw area in normovolaemic anaemia. Indian J Plast Surg.
2009;42:195–8.
103. Namdar T, Stollwerck PL, Stang FH, Eisenbeiss W, Siemers F, Mailander P,
et al. Impact of hypernatremia on burn wound healing: results of an
exploratory, retrospective study. Ostomy Wound Manage. 2011;57:30–4.
104. Nitzschke SL, Aden JK, Serio-Melvin ML, Shingleton SK, Chung KK, Waters JA,
et al. Wound healing trajectories in burn patients and their impact on
mortality. J Burn Care Res. 2014;35:474–9.
105. Desai MH, Herndon DN, Broemeling L, Barrow RE, Nichols Jr RJ, Rutan RL.
Early burn wound excision significantly reduces blood loss. Ann Surg.
1990;211:753–9. discussion 759–62.
106. Herndon DN, Barrow RE, Rutan RL, Rutan TC, Desai MH, Abston S. A
comparison of conservative versus early excision. Therapies in severely
burned patients. Ann Surg. 1989;209:547–52. discussion 552–3.
47
107. Saaiq M, Zaib S, Ahmad S. Early excision and grafting versus delayed
excision and grafting of deep thermal burns up to 40 % total body
surface area: a comparison of outcome. Ann Burns Fire Disasters.
2012;25:143–7.
108. Vinita P, Khare NA, Chandramouli M, Nilesh S, Sumit B. Comparative analysis of
early excision and grafting vs delayed grafting in burn patients in a developing
country. J Burn Care Res. 2014; doi:10.1097/BCR.0b013e31827e4ed6.
109. Ong YS, Samuel M, Song C. Meta-analysis of early excision of burns. Burns.
2006;32:145–50.
110. Schwanholt C, Greenhalgh DG, Warden GD. A comparison of full-thickness
versus split-thickness autografts for the coverage of deep palm burns in the
very young pediatric patient. J Burn Care Rehab. 1993;14:29–33.
111. Akan M, Yildirim S, Misirlioglu A, Ulusoy G, Akoz T, Avci G. An alternative
method to minimize pain in the split-thickness skin graft donor site. Plast
Reconstruct Surg. 2003;111:2243–9.
Rowan et al. Critical Care (2015) 19:243 Page 10 of 12
112. Voineskos SH, Ayeni OA, McKnight L, Thoma A. Systematic review of skin
graft donor-site dressings. Plast Reconstruct Surg. 2009;124:298–306.
113. Hermans MH. Preservation methods of allografts and their (lack of)
influence on clinical results in partial thickness burns. Burns. 2011;37:873–81.
114. Hermans MH. Porcine xenografts vs. (cryopreserved) allografts in the
management of partial thickness burns: is there a clinical difference? Burns.
2014;40:408–15.
115. Ehrenreich M, Ruszczak Z. Tissue-engineered temporary wound coverings.
48
Important options for the clinician. Acta Dermatovenerol Alp Pannonica
Adriat. 2006;15:5–13.
116. Ehrenreich M, Ruszczak Z. Update on tissue-engineered biological dressings.
Tissue Eng. 2006;12:2407–24.
117. Groeber F, Holeiter M, Hampel M, Hinderer S, Schenke-Layland K. Skin tissue
engineering – in vivo and in vitro applications. Clin Plast Surg.
2012;39:33–58.
118. Mansbridge J. Skin tissue engineering. J Biomater Sci Polym Ed.
2008;19:955–68.
119. Mansbridge JN. Tissue-engineered skin substitutes in regenerative medicine.
Curr Opin Biotechnol. 2009;20:563–7.
120. Catalano E, Cochis A, Varoni E, Rimondini L, Azzimonti B. Tissue-engineered
skin substitutes: an overview. J Artif. 2013;16:397–403.
121. Shevchenko RV, James SL, James SE. A review of tissue-engineered skin
bioconstructs available for skin reconstruction. J R Soc Interface. 2010;7:229–58.
122. Atiyeh BS, Costagliola M. Cultured epithelial autograft (CEA) in burn
treatment: three decades later. Burns. 2007;33:405–13.
123. Fang T, Lineaweaver WC, Sailes FC, Kisner C, Zhang F. Clinical application of
cultured epithelial autografts on acellular dermal matrices in the treatment
of extended burn injuries. Ann Plast Surg. 2014;73:509–15.
124. Jeschke MG, Finnerty CC, Shahrokhi S, Branski LK, Dibildox M, Organization
ABA, et al. Wound coverage technologies in burn care: novel techniques.
J Burn Care Res. 2013;34:612–20.
49
125. Supp DM, Boyce ST. Engineered skin substitutes: practices and potentials.
Clin Dermatol. 2005;23:403–12.
126. Kampmann A, Lindhorst D, Schumann P, Zimmerer R, Kokemuller H, Rucker
M, et al. Additive effect of mesenchymal stem cells and VEGF to
vascularization of PLGA scaffolds. Microvasc Res. 2013;90:71–9.
127. Park KM, Gerecht S. Harnessing developmental processes for vascular
engineering and regeneration. Development. 2014;141:2760–9.
128. Broussard KC, Powers JG. Wound dressings: selecting the most appropriate
type. Am J Clin Dermatol. 2013;14:449–59.
129. Wasiak J, Cleland H, Campbell F, Spinks A. Dressings for superficial and
partial thickness burns. Cochrane Database Syst Rev. 2013;3, CD002106.
130. Aziz Z, Abu SF, Chong NJ. A systematic review of silver-containing dressings
and topical silver agents (used with dressings) for burn wounds. Burns.
2012;38:307–18.
131. Nikkhah D, Gilbert P, Booth S, Dheansa B. Should we be using silver based
compounds for donor site dressing in thermal burns? Burns.
2013;39:1324–5.
132. Abboud EC, Legare TB, Settle JC, Boubekri AM, Barillo DJ, Marcet JE, et al.
Do silver-based wound dressings reduce pain? A prospective study and
review of the literature. Burns. 2014;40:S40–7.
133. Navarro FA, Stoner ML, Park CS, Huertas JC, Lee HB, Wood FM, et al.
Sprayed keratinocyte suspensions accelerate epidermal coverage in a
porcine microwound model. J Burn Care Rehab. 2000;21:513–8.
134. Wood FM, Kolybaba ML, Allen P. The use of cultured epithelial autograft in
50
the treatment of major burn wounds: eleven years of clinical experience.
Burns. 2006;32:538–44.
135. Wood FM, Kolybaba ML, Allen P. The use of cultured epithelial autograft in
the treatment of major burn injuries: a critical review of the literature. Burns.
2006;32:395–401.
136. Tenenhaus M, Rennekampff HO. Surgical advances in burn and
reconstructive plastic surgery: new and emerging technologies. Clin Plast
Surg. 2012;39:435–43.
137. Tausche AK, Skaria M, Bohlen L, Liebold K, Hafner J, Friedlein H, et al. An
autologous epidermal equivalent tissue-engineered from follicular outer
root sheath keratinocytes is as effective as split-thickness skin autograft in
recalcitrant vascular leg ulcers. Wound Repair Regen. 2003;11:248–52.
138. Bisson F, Rochefort E, Lavoie A, Larouche D, Zaniolo K, Simard-Bisson C,
et al. Irradiated human dermal fibroblasts are as efficient as mouse
fibroblasts as a feeder layer to improve human epidermal cell culture lifespan.
Int J Mol Sci. 2013;14:4684–704.
139. Idrus RB, Rameli MA, Low KC, Law JX, Chua KH, Latiff MB, et al. Full-thickness
skin wound healing using autologous keratinocytes and dermal fibroblasts
with fibrin: bilayered versus single-layered substitute. Adv Skin Wound Care.
2014;27:171–80.
140. Auxenfans C, Menet V, Catherine Z, Shipkov H, Lacroix P, Bertin-Maghit M,
et al. Cultured autologous keratinocytes in the treatment of large and deep
burns: a retrospective study over 15 years. Burns. 2015;41:71–9.
141. Auxenfans C, Shipkov H, Bach C, Catherine Z, Lacroix P, Bertin-Maghit M,
et al. Cultured allogenic keratinocytes for extensive burns: a retrospective
51
study over 15 years. Burns. 2014;40:82–8.
142. van der Veer WM, Bloemen MC, Ulrich MM, Molema G, van Zuijlen PP,
Middelkoop E, et al. Potential cellular and molecular causes of hypertrophic
scar formation. Burns. 2009;35:15–29.
143. Lewis CJ. Stem cell application in acute burn care and reconstruction.
J Wound Care. 2013;22:7–8. 10, 12–6.
144. Badiavas EV. The potential of bone marrow cells to orchestrate homeostasis
and healing in skin. Blood Cells Mol Dis. 2004;32:21–3.
145. Badiavas EV, Abedi M, Butmarc J, Falanga V, Quesenberry P. Participation of
bone marrow derived cells in cutaneous wound healing. J Cell Physiol.
2003;196:245–50.
146. Sasaki M, Abe R, Fujita Y, Ando S, Inokuma D, Shimizu H. Mesenchymal
stem cells are recruited into wounded skin and contribute to wound repair
by transdifferentiation into multiple skin cell type. J Immunol.
2008;180:2581–7.
147. Bey E, Prat M, Duhamel P, Benderitter M, Brachet M, Trompier F, et al.
Emerging therapy for improving wound repair of severe radiation burns
using local bone marrow-derived stem cell administrations. Wound Repair
Regen. 2010;18:50–8.
148. Kim WS, Park BS, Sung JH, Yang JM, Park SB, Kwak SJ, et al. Wound healing
effect of adipose-derived stem cells: a critical role of secretory factors on
human dermal fibroblasts. J Dermatol Sci. 2007;48:15–24.
149. Nakagami H, Maeda K, Morishita R, Iguchi S, Nishikawa T, Takami Y, et al.
Novel autologous cell therapy in ischemic limb disease through growth
factor secretion by cultured adipose tissue-derived stromal cells. Arterioscler
52
Thromb Vasc Biol. 2005;25:2542–7.
150. Kurata S, Itami S, Terashi H, Takayasu S. Successful transplantation of cultured
human outer root sheath cells as epithelium. Ann Plast Surg. 1994;33:290–4.
151. Navsaria HA, Ojeh NO, Moiemen N, Griffiths MA, Frame JD.
Reepithelialization of a full-thickness burn from stem cells of hair follicles
micrografted into a tissue-engineered dermal template (Integra). Plast
Reconstruct Surg. 2004;113:978–81.
152. Trottier V, Marceau-Fortier G, Germain L, Vincent C, Fradette J. IFATS collection:
using human adipose-derived stem/stromal cells for the production of new
skin substitutes. Stem Cells. 2008;26:2713–23.
153. Lowbury EJL, Fox J. The epidemiology of infection with Pseudomonas
pyocyanea in a burns unit. J Hyg 1954; 52:403–16.
154. Pruitt BA Jr. The diagnosis and treatment of infection in the burn
patient. Burns Incl Therm Inj 1984; 11:79–91.
155. Sørensen B, Fisker NP, Steensen JP, Kalaja E. Acute excision or exposure
treatment? Final results of a three-year randomized controlled clinical
trial. Scand J Plast Reconstr Surg 1984; 18:87–93.
156. Lee JJ, Marvin JA, Heimbach DM, Grube BJ, Engrav LH. Infection
control in a burn center. J Burn Care Rehabil 1990; 11:575–80.
157. Fleming RYD, Ziegler ST, Walton MA, Herndon DN, Heggers JP. Influence
of burn size on the incidence of contamination of burn wounds
by fecal organisms. J Burn Care Rehabil 1991; 12:510–5.
158. Holder IA. Epidemiology of Pseudomonas aeruginosa in a burns hospital.
In: Young VM, ed. Pseudomonas aeruginosa: ecological aspects
and patient colonization. New York: Raven Press, 1977:77–95.
53
159. Kominos SD, Copeland CE, Delenko CA. Pseudomonas aeruginosa from
vegetables, salads, and other foods served to patients with burns. In:
Young VM, ed. Pseudomonas aeruginosa: ecological aspects and patient
colonization. New York: Raven Press, 1977:59–75.
160. Kominos SD, Copeland CE, Grosiak B, Postic B. Introduction of Pseudomonas
aeruginosa into a hospital via vegetables. Appl Microbiol
1972; 24:567–70.
161. Jarrett F, Balish E, Moylan JA, Ellerbe S. Clinical experience with prophylactic
antibiotic bowel suppression in burn patients. Surgery
1978; 83:523–7.
162. Manson WL, Westerveld AW, Klasen HJ. Saue¨r EW. Selective intestinal
decontamination of the digestive tract for infection prophylaxis in
severely burned patients. Scand J Plast Reconstr Surg Hand Surg
1987; 21:269–72.
163. Deutsch DH, Miller SF, Finley RK Jr. The use of intestinal antibiotics
to delay or prevent infections in patients with burns. J Burn Care
Rehabil 1990; 11:436–42.
164. Manson WL, Klasen HJ, Sauer EW, Olieman A. Selective intestinal
decontamination for prevention of wound colonization in severely
burned patients: a retrospective analysis. Burns 1992; 18:98–102.
165. Mackie DP, van Hertum WAJ, Schumburg T, Kuijper EC, Knape P.
Prevention of infection in burns: preliminary experience with selective
decontamination of the digestive tract in patients with extensive injuries.
J Trauma 1992; 32:570–5.
166. Barret JP, Jeschke MG, Herndon DN. Selective decontamination of the
54
digestive tract in severely burned pediatric patients. Burns 2001; 27:
439–45.
167. Herndon D (ed.). “Chapter 4: Prevention of Burn Injuries”.
Total burn care (4th ed.). Edinburgh: Saunders.
7
p. 46. ISBN 978-1-4377-2786-9.
168. Herndon D (ed.). “Chapter 1: A Brief History of Acute
Burn Care Management”. Total burn care (4th ed.). Edinburgh:
Saunders. p. 1. ISBN 978-1-4377-2786-9.
169. Peck, MD (November 2011). “Epidemiology of
burns throughout the world. Part I: Distribution
and risk factors”. Burns : journal of the International
Society for Burn Injuries 37 (7): 1087–100.
doi:10.1016/j.burns.2011.06.005. PMID 21802856.
170. “Burn Incidence and Treatment in the United States: 2012
Fact Sheet”. American Burn Association. 2012. Retrieved
20 April 2013.
171. Granger, Joyce (Jan 2009). “An Evidence-Based Approach
to Pediatric Burns”. Pediatric Emergency Medicine
Practice 6 (1).
172. Herndon D (ed.). “Chapter 10: Evaluation of the burn
wound: management decisions”. Total burn care (4th ed.).
Edinburgh: Saunders. p. 127. ISBN 978-1-4377-2786-9.
173. Brunicardi, Charles (2010). “Chapter 8: Burns”.
Schwartz’s principles of surgery (9th ed.). New York:
McGraw-Hill, Medical Pub. Division. ISBN 978-0-07-
55
154769-7.
174. Goutos, I; Dziewulski, P; Richardson, PM (Mar–Apr
2009). “Pruritus in burns: review article”. Journal
of burn care & research : official publication
of the American Burn Association 30 (2): 221–8.
doi:10.1097/BCR.0b013e318198a2fa. PMID 19165110.
175. Marx, John (2010). “Chapter 140: Electrical and Lightning
Injuries”. Rosen’s emergency medicine : concepts and
clinical practice (7th ed.). Philadelphia: Mosby/Elsevier.
ISBN 0-323-05472-2.
176. Tintinalli, Judith E. (2010). Emergency Medicine: A Comprehensive
Study Guide (Emergency Medicine (Tintinalli)).
New York: McGraw-Hill Companies. pp. 1374–1386.
ISBN 0-07-148480-9.
177. Lloyd, EC; Rodgers, BC; Michener, M; Williams, MS
(Jan 1, 2012). “Outpatient burns: prevention and
care.”. American family physician 85 (1): 25–32. PMID
22230304.
178. Buttaro, Terry (2012). Primary Care: A Collaborative
Practice. Elsevier Health Sciences. p. 236. ISBN 978-
0-323-07585-5.
179. Kowalski, Caroline Bunker Rosdahl, Mary T. (2008).
Textbook of basic nursing (9th ed.). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. p. 1109. ISBN 978-0-7817-
6521-3.
180. National Burn Repository Pg. i
56
181. Herndon D (ed.). “Chapter 3: Epidemiological, Demographic,
and Outcome Characteristics of Burn Injury”.
Total burn care (4th ed.). Edinburgh: Saunders. p. 23.
ISBN 978-1-4377-2786-9.
182. Forjuoh, SN (August 2006). “Burns in low- and
middle-income countries: a review of available literature
on descriptive epidemiology, risk factors, treatment,
and prevention.”. Burns : journal of the International
Society for Burn Injuries 32 (5): 529–37.
doi:10.1016/j.burns.2006.04.002. PMID 16777340.
183. Eisen, Sarah; Murphy, Catherine (2009). Murphy,
Catherine; Gardiner, Mark; Sarah Eisen, eds. Training
in paediatrics : the essential curriculum. Oxford: Oxford
University Press. p. 36. ISBN 978-0-19-922773-0.
184. Maguire, S; Moynihan, S; Mann, M; Potokar, T; Kemp,
AM (December 2008). “A systematic review of the features
that indicate intentional scalds in children.”. Burns
: journal of the International Society for Burn Injuries 34
(8): 1072–81. doi:10.1016/j.burns.2008.02.011. PMID
18538478.
185. Peden, Margie (2008). World report on child injury prevention.
Geneva, Switzerland: World Health Organization.
p. 86. ISBN 978-92-4-156357-4.
186. World Health Organization. “World report on child injury
prevention” (PDF).
187. Hardwicke, J; Hunter, T; Staruch, R; Moiemen, N (May
57
2012). “Chemical burns--an historical comparison and
review of the literature.”. Burns : journal of the International
Society for Burn Injuries 38 (3): 383–7.
doi:10.1016/j.burns.2011.09.014. PMID 22037150.
188. Makarovsky, I; Markel, G; Dushnitsky, T; Eisenkraft, A
(May 2008). “Hydrogen fluoride--the protoplasmic poison.”.
The Israel Medical Association journal : IMAJ 10
(5): 381–5. PMID 18605366.
189. Edlich, RF; Farinholt, HM; Winters, KL; Britt, LD;
Long WB, 3rd (2005). “Modern concepts of treatment
and prevention of lightning injuries.”. Journal of
long-term effects of medical implants 15 (2): 185–96.
doi:10.1615/jlongtermeffmedimplants.v15.i2.60. PMID
15777170.
190. Prahlow, Joseph (2010). Forensic pathology for police,
death investigators, and forensic scientists. Totowa, N.J.:
Humana. p. 485. ISBN 978-1-59745-404-9.
191. Kearns RD, Cairns CB, Holmes JH, Rich PB, Cairns BA
(January 2013). “Thermal burn care: a review of best
practices. What should prehospital providers do for these
patients?". EMS World 42 (1): 43–51. PMID 23393776.
192. Balk SJ, Council on Environmental Health, Section on
Dermatology (March 2011). “Ultraviolet radiation: a
hazard to children and adolescents.”. Pediatrics 127
(3): e791–817. doi:10.1542/peds.2010-3502. PMID
21357345.
58
193. Marx, John (2010). “Chapter 144: Radiation Injuries”.
Rosen’s emergency medicine : concepts and clinical practice
(7th ed.). Philadelphia: Mosby/Elsevier. ISBN 0-
323-05472-2.
194. Krieger, John (2001). Clinical environmental health and
toxic exposures (2nd ed.). Philadelphia, Pa. [u.a.]: Lippincott
Williams & Wilkins. p. 205. ISBN 978-0-683-
08027-8.
8 10 REFERENCES
195. Peck, MD (August 2012). “Epidemiology of
burns throughout the World. Part II: intentional
burns in adults.”. Burns : journal of the International
Society for Burn Injuries 38 (5): 630–7.
doi:10.1016/j.burns.2011.12.028. PMID 22325849.
196. Herndon D (ed.). “Chapter 61: Intential burn injuries”.
Total burn care (4th ed.). Edinburgh: Saunders. pp. 689–
698. ISBN 978-1-4377-2786-9.
197. Jutla, RK; Heimbach, D (Mar–Apr 2004). “Love
burns: An essay about bride burning in India.”. The
Journal of burn care & rehabilitation 25 (2): 165–
70. doi:10.1097/01.bcr.0000111929.70876.1f. PMID
15091143.
198. Peden, Margie (2008). World report on child injury prevention.
Geneva, Switzerland: World Health Organization.
p. 82. ISBN 978-92-4-156357-4.
199. Marx, John (2010). “Chapter 60: Thermal Burns”.
59
Rosen’s emergency medicine : concepts and clinical practice
(7th ed.). Philadelphia: Mosby/Elsevier. ISBN 978-
0-323-05472-0.
200. Rojas Y, Finnerty CC, Radhakrishnan RS, Herndon DN
(December 2012). “Burns: an update on current pharmacotherapy”.
Expert Opin Pharmacother 13 (17): 2485–94.
doi:10.1517/14656566.2012.738195. PMC 3576016.
PMID 23121414.
201. Hannon, Ruth (2010). Porth pathophysiology : concepts of
altered health states (1st Canadian ed.). Philadelphia, PA:
Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins.
p. 1516. ISBN 978-1-60547-781-7.
202. Garmel, edited by S.V. Mahadevan, Gus M. (2012).
An introduction to clinical emergency medicine (2nd ed.).
Cambridge: Cambridge University Press. pp. 216–219.
ISBN 978-0-521-74776-9.
203. Jeschke, Marc (2012). Handbook of Burns Volume 1:
Acute Burn Care. Springer. p. 46. ISBN 978-3-7091-
0348-7.
204. Klingensmith M, ed. (2007). The Washington manual of
surgery (5th ed.). Philadelphia, Pa.: Lippincott Williams
& Wilkins. p. 422. ISBN 978-0-7817-7447-5.
205. Cianci, P; Slade JB, Jr; Sato, RM; Faulkner, J (Jan–
Feb 2013). “Adjunctive hyperbaric oxygen therapy in
the treatment of thermal burns.”. Undersea & hyperbaric
medicine : journal of the Undersea and Hyperbaric Medical
60
Society, Inc 40 (1): 89–108. PMID 23397872.
206. Enoch, S; Roshan, A; Shah, M (Apr 8, 2009).
“Emergency and early management of burns and
scalds.”. BMJ (Clinical research ed.) 338: b1037.
doi:10.1136/bmj.b1037. PMID 19357185.
207. Hettiaratchy, S; Papini, R (Jul 10, 2004). “Initial management
of a major burn: II--assessment and resuscitation.”.
BMJ (Clinical research ed.) 329 (7457): 101–3.
doi:10.1136/bmj.329.7457.101. PMID 15242917.
208. Jeschke, Marc (2012). Handbook of Burns Volume 1:
Acute Burn Care. Springer. p. 77. ISBN 978-3-7091-
0348-7.
209. Endorf, FW; Ahrenholz, D (December 2011). “Burn
management.”. Current opinion in critical care 17 (6):
601–5. doi:10.1097/MCC.0b013e32834c563f. PMID
21986459.
210. Perel, P; Roberts, I (Jun 13, 2012). Perel, Pablo,
ed. “Colloids versus crystalloids for fluid resuscitation
in critically ill patients”. Cochrane database
of systematic reviews (Online) 6: CD000567.
doi:10.1002/14651858.CD000567.pub5. PMID
22696320.
211. Curinga, G; Jain, A; Feldman, M; Prosciak, M; Phillips,
B; Milner, S (August 2011). “Red blood cell transfusion
following burn.”. Burns : journal of the International
Society for Burn Injuries 37 (5): 742–52.
61
doi:10.1016/j.burns.2011.01.016. PMID 21367529.
212. Wasiak, J; Cleland, H; Campbell, F; Spinks, A (Mar 28,
2013). “Dressings for superficial and partial thickness
burns.”. Cochrane database of systematic reviews (Online)
3: CD002106. doi:10.1002/14651858.CD002106.pub4.
PMID 23543513.
213. Wasiak J, Cleland H, Campbell F (2008). Wasiak,
Jason, ed. “Dressings for superficial and partial
thickness burns”. Cochrane Database Syst Rev (4):
CD002106. doi:10.1002/14651858.CD002106.pub3.
PMID 18843629.
214. Avni T, Levcovich A, Ad-El DD, Leibovici L, Paul
M (2010). “Prophylactic antibiotics for burns patients:
systematic review and meta-analysis”. BMJ 340:
c241. doi:10.1136/bmj.c241. PMC 2822136. PMID
20156911.
215. Wasiak, J; Cleland, H; Campbell, F; Spinks, A (Mar 28,
2013). “Dressings for superficial and partial thickness
burns.”. The Cochrane database of systematic reviews
3: CD002106. doi:10.1002/14651858.CD002106.pub4.
PMID 23543513.
216. Storm-Versloot, MN; Vos, CG; Ubbink, DT; Vermeulen,
H (Mar 17, 2010). Storm-Versloot, Marja N,
ed. “Topical silver for preventing wound infection”.
Cochrane database of systematic reviews (Online) (3):
CD006478. doi:10.1002/14651858.CD006478.pub2.
62
PMID 20238345.
217. Dumville, JC; Munson, C; Christie, J (15 December
2014). “Negative pressure wound therapy
for partial-thickness burns.”. The Cochrane
database of systematic reviews 12: CD006215.
doi:10.1002/14651858.CD006215.pub4. PMID
25500895.
218. Zachariah, JR; Rao, AL; Prabha, R; Gupta, AK; Paul,
MK; Lamba, S (August 2012). “Post burn pruritus--a review
of current treatment options.”. Burns : journal of
the International Society for Burn Injuries 38 (5): 621–9.
doi:10.1016/j.burns.2011.12.003. PMID 22244605.
219. Herndon D (ed.). “Chapter 64: Management of pain and
other discomforts in burned patients”. Total burn care
(4th ed.). Edinburgh: Saunders. p. 726. ISBN 978-1-
4377-2786-9.
9
220. Wasiak, J; Mahar, PD; McGuinness, SK; Spinks,
A; Danilla, S; Cleland, H; Tan, HB (Oct 17, 2014).
“Intravenous lidocaine for the treatment of background
or procedural burn pain.”. The Cochrane
database of systematic reviews 10: CD005622.
doi:10.1002/14651858.CD005622.pub4. PMID
25321859.
221. Herndon D (ed.). “Chapter 31: Etiology and prevention
of multisystem organ failure”. Total burn care (4th ed.).
63
Edinburgh: Saunders. p. 664. ISBN 978-1-4377-2786-9.
222. Breederveld, RS; Tuinebreijer, WE (Sep 15,
2014). “Recombinant human growth hormone for
treating burns and donor sites.”. The Cochrane
database of systematic reviews 9: CD008990.
doi:10.1002/14651858.CD008990.pub3. PMID
25222766.
223. Jeschke, Marc (2012). Handbook of Burns Volume 1:
Acute Burn Care. Springer. p. 266. ISBN 978-3-7091-
0348-7.
224. Orgill, DP; Piccolo, N (Sep–Oct 2009). “Escharotomy
and decompressive therapies in burns.”. Journal
of burn care & research : official publication
of the American Burn Association 30 (5): 759–
68. doi:10.1097/BCR.0b013e3181b47cd3. PMID
19692906.
225. Wijesinghe, M; Weatherall, M; Perrin, K; Beasley, R
(May 22, 2009). “Honey in the treatment of burns: a
systematic review and meta-analysis of its efficacy.”. The
New Zealand medical journal 122 (1295): 47–60. PMID
19648986.
226. Jull, AB; Cullum, N; Dumville, JC; Westby, MJ;
Deshpande, S; Walker, N (6 March 2015). “Honey
as a topical treatment for wounds.”. The Cochrane
database of systematic reviews 3: CD005083.
doi:10.1002/14651858.CD005083.pub4. PMID
64
25742878.
227. Dat, AD; Poon, F; Pham, KB; Doust, J (Feb 15, 2012).
“Aloe vera for treating acute and chronic wounds.”.
Cochrane database of systematic reviews (Online) 2:
CD008762. doi:10.1002/14651858.CD008762.pub2.
PMID 22336851.
228. Maenthaisong, R; Chaiyakunapruk, N; Niruntraporn, S;
Kongkaew, C (September 2007). “The efficacy of aloe
vera used for burn wound healing: a systematic review.”.
Burns : journal of the International Society for Burn Injuries
33 (6): 713–8. doi:10.1016/j.burns.2006.10.384.
PMID 17499928.
229. Bahramsoltani, R; Farzaei, MH; Rahimi, R (September
2014). “Medicinal plants and their natural components as
future drugs for the treatment of burn wounds: an integrative
review.”. Archives of dermatological research 306
(7): 601–17. doi:10.1007/s00403-014-1474-6. PMID
24895176.
230. Juckett, G; Hartman-Adams, H (Aug 1, 2009). “Management
of keloids and hypertrophic scars.”. American
family physician 80 (3): 253–60. PMID 19621835.
231. Cox, Carol Turkington, Jeffrey S. Dover ; medical illustrations,
Birck (2007). The encyclopedia of skin and skin
disorders (3rd ed.). New York, NY: Facts on File. p. 64.
ISBN 978-0-8160-7509-6.
232. National Burn Repository, Pg. 10
65
233. Young, Christopher King, Fred M. Henretig, ed.
(2008). Textbook of pediatric emergency procedures (2nd
ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott
Williams & Wilkins. p. 1077. ISBN 978-0-7817-5386-
9.
234. Roberts, edited by Michael C. (2009). Handbook of pediatric
psychology. (4th ed.). New York: Guilford. p. 421.
ISBN 978-1-60918-175-8.
235. “WHO Disease and injury country estimates”. World
Health Organization. 2009. Retrieved Nov 11, 2009.
236. Lozano, R (Dec 15, 2012). “Global and regional mortality
from 235 causes of death for 20 age groups in 1990
and 2010: a systematic analysis for the Global Burden
of Disease Study 2010.”. Lancet 380 (9859): 2095–128.
doi:10.1016/S0140-6736(12)61728-0. PMID 23245604.
237. Edlich, RF; Farinholt, HM; Winters, KL; Britt, LD;
Long WB, 3rd (2005). “Modern concepts of treatment
and prevention of electrical burns.”. Journal of
long-term effects of medical implants 15 (5): 511–32.
doi:10.1615/jlongtermeffmedimplants.v15.i5.50. PMID
16218900.
238. Ahuja, RB; Bhattacharya, S (Aug 21, 2004). “Burns
in the developing world and burn disasters.”.
BMJ (Clinical research ed.) 329 (7463): 447–9.
doi:10.1136/bmj.329.7463.447. PMC 514214. PMID
15321905.
66
239. Gupta (2003). Textbook of Surgery. Jaypee Brothers Publishers.
p. 42. ISBN 978-81-7179-965-7.
240. Pećanac, M.; Janjić, Z.; Komarcević, A.; Pajić, M.;
Dobanovacki, D.; Misković, SS. (2013). “Burns treatment
in ancient times.”. Med Pregl 66 (5-6): 263–7.
doi:10.1016/s0264-410x(02)00603-5. PMID 23888738.
241. Song, David. Plastic surgery. (3rd ed.). Edinburgh: Saunders.
p. 393.e1. ISBN 978-1-4557-1055-3.
242. Wylock, Paul (2010). The life and times of Guillaume
Dupuytren, 1777–1835. Brussels: Brussels University
Press. p. 60. ISBN 978-90-5487-572-7.
67