Referat Konjungtivitis-Flikten FIX

19
REFERAT KONJUNGTIVITIS FLIKTEN Dokter Pembimbing : dr. !. N"nik S#$% Di&'&'n O(e) : Ame(*" Le&m"n" +,+.+-.+ KEPANITERAAN KLINIK IL%U PEN/AKIT %ATA RU%A SAKIT U%U% DAERA SE%ARANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

description

mata

Transcript of Referat Konjungtivitis-Flikten FIX

REFERAT KONJUNGTIVITIS FLIKTEN

Dokter Pembimbing :

dr. Hj. Nanik Sp>MDisusun Oleh :

Amelya Lesmana

030.09.011KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATARUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

LEMBAR PENGESAHAN

Nama

: Amelya LesmanaNIM

: 030 09 011Fakultas

: Kedokteran

Universitas

: Universitas Trisakti Jakarta

Tingkat

: Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang Pendidikan

: Ilmu Penyakit MataPeriode Kepaniteraan Klinik: 1 Desember 2014 3 Januari 2015Judul

: konjungtivitis fliktenDiajukan

: Desember 2014

Telah dierima dan disetujui sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Semarang.Mengetahui, Dokter Pembiming dr. Hj. Nanik Sp.M

BAB I

PENDAHULUANKonjungtivitis flikten atau oftalmia fliktenularis adalah peradangan konjungtiva bulbar yang terjadi akibat adanya reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap bakteri atau antigen tertentu. Pada umumnya, reaksi ini terjadi terhadap tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranulma venereal, leimaniasis, infeksi parasit, dan infeksi di tempat lain dalam tubuh. Pada konjungtiva akan terlihat adanya tonjolan kemerahan yang terdiri atas kumpulan sel limfoid dibawah sel epitel yang disebut flikten1Kelainan ini sering ditemukan pada anak-anak terutama pada anak dengan gizi kurang atau sering mendapat radang saluran nafas atas. Sebuah penelitian yang dilakukan di India menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab tersering terjadinya konjungtivitis flikten, kemudian diikuti oleh helmintiasis dan infeksi stafilokokus2. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana tuberkulosis menjadi salah satu pencetus tersering pada anak dengan gizi kurang dan dapat juga terjadi pada orang dewasa3.Pada konjungtivitis flikten ditemukan bintik putih yang dikelilingi daerah hiperemi, hal ini dapat terjadi unilateral ataupun mengenai kedua bola mata. Sedangkan secara histopatologis akan terlihat kumpulan sel leukosit neutrofil yang dikelilingi oleh sel limfosit, makrofag, dan sel datia berinti banyak.Gejala subyektif yang sering dikeluhkan pasien adalah keluar air mata berlebih, iritasi dengan rasa sakit, rasa silau ringan hingga berat, dan bila mengenai kornea maka akan dikeluhan adanya blefarospasme. Sedangkan gejala obyektif yang umum ditemukan adalah: mata merah dan terlihat kumpulan pembuluh darah yang mengelilingi suatu tonjolan bulat dengan warna kuning kelabu seperti seperti mikroabses di sekitar limbus.Penyakit yang disebabkan oleh reaksi antigen ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan dalam 2 minggu, namun tetap ada kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan konjungtivitis flikten meliputi pemberian steroid topikal, midriatika bila terjadi penyulit kornea, kacamata hitam untuk menghindari silau yang sakit, antibiotik salep mata terutama saat sebelum tidur, dan air mata buatan. Namun, pengobatan yang paling tepat adalah mencari penyebab dari konjungtivitis, seperti: tuberkulosis, blefaritis stafilokokus kronik, dan limfogranuloma venerea. Pengobatan tambahan untuk perbaikan gizi terutama pada anak-anak seperti vitamin dan asupan makanan tambahan juga berperan penting dalam proses penyembuhan. Penyulit dalam kasus ini adalah menyebarnya flikten ke dalam kornea atau terjadinya reaksi sekunder sehingga timbul abses1.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi

Konjungtiva merupakan selaput lendir atau disebut juga sebagai lapisan mukosa. Konjungtiva terdiri atas epitel sel kolumnar bertingkat yang melapisi bagian sklera bola mata dan kelopak mata bagian dalam. Pada epitel kolumnar bertingkat terdapat sel goblet yang berfungsi untuk menghasilkan musin dan air mata sehingga dapat melembabkan bola mata dan mempermudah kelopak mata untuk membuka ataupun menutup. Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian, yaitu2: Konjungtiva tarsal atau palpebra berada di bagian posterior kelopak mata dan sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva tarsal superior dan inferior akan menutupi jaringan episklera disepanjang bola mata sampai berbatasan dengan konjungtiva bulbar.

Konjungtiva bulbar menempel secara longgar pada septum orbital di bagian forniks dan dapat dilipat berkali-kali, hal ini untuk mempermudah pergerakan mata dan pembesaran kelenjar air mata. Konjungtiva bulbar juga secara longgar kapsul tenon dan seluruh permukaan sklera.

Konjungtiva fornises atau forniks merupakan tempat peralihan antara konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbar.

Gambar 1: Anatomi konjungtivaKonjungtiva diperdarahi oleh arteri siliaris anterior yang berasal dari arteri oftalmikus serta diperdarahi oleh arteri palpebra dimana kedua arteri ini beranastomosis. Arteri siliaris anterior berjalan mengikuti otot rektus penggerak bola mata kecuali otot rektus lateralis. Konjungtiva mendapat persarafan dari saraf oftalmikus cabang trigeminus. Sedangkan kelenjar getah bening lapisan-lapisan kelopak mata berasal dari pleksus kelenjar getah bening.3Histologis lapisan konjungtiva adalah epitel konjungtiva yang terdiri atas 2 sampai 5 lapis sel kolumnar, superfisial, dan basal. Epitel konjungtiva disekitar limbus, karunkel, dan perbatasan kelopak mata terdapat sel epitel gepeng. Sel epitel superfisial terdiri atas sel bulat atau sel goblet yang menghasilkan musin dan air mata sehingga dapat melembabkan bola mata serta mempermudah kelopak mata untuk membuka atau menutup. Sel epitel basal yang berada lebih dalam dari pada sel epitel superfisial dan berada di sekitar limbus memiliki pigmen yang memberi warna.2,3Stroma konjungtiva terdiri atas lapisan adenoid di bagian superfisial dan lapisan fibrosa di bagian dalam. Lapisan adenoid merupakan jaringan limfoid dan dibeberapa area mata dapat memiliki bentuk follicle-like tanpa sentral germinatikum. Lapisan adenoid ini baru akan berkembang saat usia beranjak 2-3 bulan. Sedangkan lapisan fibrosa merupakan jaringan ikat yang melekat pada tarsal. Selain itu, pada stroma konjungtiva juga terdapat kelenjar aksesoris (kelenjar krause dan kelenjar wolfring) yang mirip dengan fungsi dan struktur kelenjar lakrimasi. Kelenjar krause lebih banyak berada pada forniks superior dari pada forniks inferior dan kelenjar wolfring berada pada margin superior tarsus bagian atas.3Patofisiologi

Flikten adalah tonjolan sebesar jarum pentul yang terutama terletak di daerah limbus, berwarna kemerah-merahan. Flikten konjungtiva mulai berupa lesi kecil, umumnya diameter 1-3 mm, keras, merah, menonjol dan dikelilingi zona hiperemi1. Flikten umumnya bersifat unilateral dan terjadi di limbus, namun ada juga yang terjadi di kornea, bulbus dan tarsus. Pada limbus sering berbentuk segitiga dengan apeks mengarah ke kornea. Di daerah ini terbentuk pusat putih kelabu yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari6. Secara histologis, flikten adalah kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel limfosit, makrofag dan kadang-kadang sel datia berinti banyak4.

Gambar 2. Flikten pada konjungtiva tarsal

Timbulnya flikten adalah manifestasi hipersensitivitas tipe IV terhadap terhadap patogen yang biasanya adalah m. tuberkulosis, stafilokokus, coccidioidomikosis, candida, helmintes, virus herpes simpleks, toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada margo palpebra dan infeksi fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus urogenital.Hipersensitivitas tipe IV adalah reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ dan reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ spesifik yang etiologinya adalah proses inflamasi10. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan, sel Th17 akan didominasi oleh neutrofil.5

Gambar 3: Skema reaksi hipersensitivitas tipe IV

Reaksi yang terjadi pada hipersensitivitas ini dibagi menjadi 2 tahap utama:

a. Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+. Sel inimengenali susunan peptida yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan menyekresikan IL2 yang berfungsi sebagai autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsived sel T. Perbedaan antara antigen-stimulated sel T dengan Th1 atau Th17 terlihat pada produksi sitokin oleh APC (sel dendritik dan makrofag) saat aktivasi sel T. APC memproduksi IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T menjadi Th1. IFN- akan diproduksi oleh sel Th1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi Th17. Beberapa dari diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama waktu yang lama.

b. Respon terhadap diferensiasi sel T efektorapabila terjadi pajanan antigen yang berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel Th1 akan menyekresikan sitokin (umumnya IFN-) yang bertanggung jawab dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN- mengaktivasi makrofag yang akan memfagositosis dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II, yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga menyekresikan TNF, IL1, dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi. IL12 juga merupakan hasil produksi makrofag yang akan memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi akan berlanjut sehingga jaringan luka akan menjadi semakin luas.

Th17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan self antigen dalam penyakit autoimun. Sel Th17 akan menyekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses inflamasi. Th17 juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri.6Reaksi oleh sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen. Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi oleh sel T dengan langsung melawan histokompatibilitas antigen tersebut. Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+8. Penghancuran sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel.6,7Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh sel T yaitu CTLs yang mengenali sel target akan menyekresikan kompleks yang berisikan perforin, granzymes, dan protein yang disebut serglisin yang akan masuk ke sel target melalui proses endositosis7. Dalam sitoplasma, sel target perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi kaspase, yang akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan fast ligand, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat berikatan dengan fast expressed pada sel target dan memicu apoptosis.

Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-) yang terlibat dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terpapar oleh beberapa agen kontak.7KlasifikasiSecara klinis konjungtivitis flikten dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:1. Konjungtivitis flikten

Tanda-tanda inflamasi tidak jelas, tidak menyebar, hanya terbatas pada tempat flikten, sekret hampir tidak ada

Gambar 4: Konjungtivitis flikten2. Konjungtivitis fliktenularis

Tanda-tanda inflamasi jelas dan sekret dapat berupa mukopurulen. Konjungtivitis fliktenularis biasanya timbul karena infeksi sekunder bakteri.Gambar 5: Konjungtivitis fliktenularis e.c infeksi sekunder bakteriFaktor PredisposisiBeberapa faktor predisposisi terjadinya konjungtivitis flikten, yaitu5,8:1. Usia

Umumnya terjadi pada usia 3-15 tahun.2. Jenis kelamin

Lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki.3. Nutrisi atau gizi

Sering terjadi pada anak dengan gizi kurang.4. Lingkungan

Faktor kebersihan yang kurang memadai dan lingkungan yang padat penduduk dapat meningkatkan resiko konjungtivitis flikten.5. Musim atau cuaca

Dapat terjadi pada setiap musim namun insidensi meningkat pada musim panas. DiagnosisPenegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan menilai dari gejala dan hasil pemeriksaan penunjang sebagai berikut:a. Gejala subjektifKonjungtivitis flikten menyebabkan iritasi dengan keluhan rasa sakit, mata merah, dan lakrimasi. Jika kornea ikut terlibat maka akan ditemukan keluhan fotofobia dan gangguan penglihatan.b. Gejala objektif

Konjungtivitis Flikten Simpel

Terlihat nodul putih kemerahan yang dikelilingi daerah hiperemis (pelebaran pembuluh darah konjungtiva) pada daerah sekitar limbus dan konjungtiva bulbar. Pada umumnya nodul hanya soliter namun dapat juga tumbuh lebih dari satu.9

Gambar 6: Lesi soliter pada konjungtivitis flikten simpel

Konjungtivitis Flikten NecrotizingTerdapat flikten besar yang disertai proses nekrosis dan ulserasi sehingga memungkin terjadinya severe pustular congjunctivitis

Gambar 7: Konjungtivitis flikten e.c Tuberkulosis

Gambar 8: Ulserasi pada konjungtivitis flikten

Konjungtivitis Flikten MilierTerdapat multipel flikten yang berbentuk lingkaran disekitar limbus ataupun menyebar secara tidak merata.

Gambar 9: Flikten multipel di sekeliling limbus

Gambar 10: Flikten multipel dengan tanda inflamasi yang jelasc. Histopatologi

Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan kumpulan sel leukosit netrofil yang dikelilingi oleh sel limfosit, sel makrofag, dan sel datia berinti banyak. Pembuluh darah yang memperdarahi flikten mengalami proliferasi endotel dan sel epitel dibagian atas mengalami degenerasi.

d. Laboratorium

Dapat dilakukan pemeriksaan tinja jika dicurigai helmintiasis, pemeriksaan darah untuk mengetahui infeksi, dan kultur konjungtiva. Pemeriksaan sekret dengan pewarnaan gram dapat membantu mengidentifikasi penyebab maupun infeksi sekunder. PenatalaksaanPenyebab primer dari penyakit ini harus diketahui dan ditangani terlebih dahulu, misalnya melalui pencarian infeksi fokal di telinga, hidung, tenggorokan, atau gigi. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah, urine, feses maupun foto toraks seringkali dilibatkan dalam usaha tersebut.Kortikosteroid topikal seperti Dexamethasone atau Prednisolone dalam sediaan obat tetes atau salep mata perlu diberikan karena dasar dari timbulnya konjungtivitis fliktenularis adalah hipersensitivitas tipe lambat. Kerja dari kortikosteroid adalah menginhibisi aktivasi sel T sebagai mediator inflamasi yang utama dalam proses ini, sehingga respon proliferatif dan produksi sitokin berkurang.

Kombinasi kortikosteroid dengan antibiotik seperti Kloramfenikol lebih dianjurkan mengingat banyak kemungkinan terdapat infeksi bakteri sekunder10. Jika terdapat kondisi blefaritis atau masalah dermatologis yang lain, pemberian Doksisiklin oral dapat dipertimbangkan5. Pada anak-anak dengan usia di bawah 8 tahun dan wanita hamil, Eritromisin dapat menggantikan penggunaan Doksisiklin.

Sikloplegik hanya dibutuhkan jika dicurigai adanya iritis. Dapat juga diberikan Roboransia yang mengandung vitamin A, B kompleks, dan C untuk memperbaiki keadaan secara general. Pada pemberian kortikosteroid lokal dalam jangka waktu lama perlu diwaspadai kontraindikasi dan adanya berbagai faktor penyulit antara lain infeksi sekunder jamur atau virus, munculnya Glaukoma maupun Katarak.9,10Prognosis

Dengan penatalaksanaan yang komprehensif, umumnya konjungtivitis flikten akan sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan bekas kecuali flikten pada limbus.

Gambar 11: Bekas flikten pada limbus

Prognosis menjadi relatif lebih buruk jika terjadi flikten pada kornea, abses kornea karena infeksi sekunder bakteri, dan perforasi kornea dalam luas yang terbatas. Namun beberapa keadaan penyulit tersebut dapat diatasi dengan penatalaksanaan yang memadai.10 BAB III

KESIMPULANKonjungtivitis flikten adalah radang pada konjungtiva dengan pembentukan satu atau lebih tonjolan kecil (flikten), yang diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe IV.Kondisi ini merupakan reaksi alergi terhadap endogen tuberkulosis, stafilokokus, coccidioidomikosis, candida, helmintes, virus herpes simpleks, toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada margo palpebra dan infeksi fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus urogenital.Gejala klinis biasanya ringan, berupa lakrimasi berlebihan, mata merah setempat, dan iritasi dengan rasa sakit. Blefarospasme dapat terjadi jika terdapat pus mukopuruluen karena infeksi bakteri. Konjungtivitis fliktenularis harus dibedakan dengan kondisi serupa yang juga bersifat superfisial melalui prosedur anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi secara seksama.

Dasar dari penatalaksanaan penyakit ini adalah mengatasi penyakit yang mendasarinya dengan proses diagnostik dan terapi yang komprehensif. Korstikosteroid topikal wajib digunakan dalam kasus ini. Antibiotik topikal dan sistemik dapat digunakan sebagai terapi kombinasi jika terdapat infeksi sekunder.

Dengan terapi yang memadai, prognosis kasus ini umumnya baik, tanpa komplikasi yang berarti.DAFTAR PUSTAKA1. Sidarta Ilyas. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3, Cetakan ke-3. Jakarta: FKUI; 2009. p134-135.2. J. Rohatgi dan U. Dhaliwal. Phyctenular Eye Disease: A Reppraisal. Elsevier Science Inc. 2000; 44-146-150. 3. Arnold Sorsby The Aetiology of Phlyctenular Opthalmia. Pub Med Central [online]. 2002. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1143405/?page=84. American Optometric Association. Care of the Patient with Conjunctivitis, Edisi ke-2. St. Louis; 20025. Paul Roirdan, Taylor Asbury, dan John P. Whitcher. Vaughan and Asbury General Opthalmology. Edisi ke-17. New York: McGraw-Hill; 2007.6. Gerard J. Tortora dan Bryan H. Derrickson. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi ke-5. New York: Wiley; 2005.7. Reinhard Putz dan Reinhard Pabst. Sobotta, Atlas Anatomi Manusia. Edisi ke-22, Jilid ke-1. Alih bahasa oleh dr. Y. Joko Suyono. Jakarta: EGC; 2007. 8. Vijay Kumar, Nelo Fausto, dan Abul Abbas. Robin and Cotran Pathologic Basis of Disease. Edisi ke-7. Los Angeles: Saunders; 2004. p720.9. Ian R. Tizard. Immunology, an Introduction. Edisi ke-4. Orlando: Saunders; 1994. p 298-299, 482-484.10. Betram G. Katzung. Basic and Clinical Pharmacology. Edisi ke-10. Singapura: McGraw-Hill; 2007. p870.