REFERAT konjungtivitis folikularis

download REFERAT konjungtivitis folikularis

of 23

description

refrat

Transcript of REFERAT konjungtivitis folikularis

HALAMAN PENGESAHAN

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Virus adalah penyebab umum dari konjungtivitis pada pasien di semua usia. Berbagai jenis virus bertanggungjawab terhadap terjadinya infeksi konjungtiva; bagaimanapun adenovirus merupakan penyebab yang paling umum dan virus herpes simplex (HSV) lebih banyak menimbulkan problem yang sulit. Penyebab umum yang lebih sedikit adalah virus varisella-zoster (VZV), picornavirus (enterovirus 70, coxsackie A24), poxvirus (molluscum contagiosum, vaccinia) dan Human Imunodeficiency virus (HIV). Jarang terjadi, konjungtivitis dapat terlihat bersama-sama selama infeksi sistemik dengan virus influenza, Epstein-Barr Virus, paromyxovirus (campak, mumps, Newcastle), dan rubella.

Konjungtivitis viral, walaupun pada umumnya tidak berat dan self-limited, tetapi cenderung untuk berkembang lebih lama dibandingkan konjungtivitis bakterial akut, selama lebih kurang 2-4 minggu. Infeksi kronis telah dilaporkan dan sequelae berkenaan dengan penglihatan jangka panjang luar biasa. Peradangan yang disebabkan virus biasanya ditandai reaksi akut konjungtival follikular dan adenopathy preauricular.Konjungtivitis virus merupakan penyakit mata yang umum dijumpai di seluruh dunia, sering terjadi epidemik di dalam keluarga-keluarga, sekolah, kantor, dan organisasi militer. Namun demikian banyak kasus tidak mendapat perhatian medis, dan statistik akurat untuk penyakit ini tidak tersedia (Scott, 2004).

I.2. Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang konjungtivitis follikularis virus.BAB II

TINJAUAN PUSTAKAII.1. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang tipis dan transparan yang membungkus permukaan belakang kelopak dan permukaan depan bola mata. Konjungtiva terbagi menjadi 3 bagian yaitu konjungtiva palpebra (membungkus permukaan belakang palpebra), konjungtiva bulbi (membungkus permukaan depan bola mata), dan konjungtiva fornik (tempat peralihan konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbi) (Allen, 1968)

A. Konjungtiva Palpebra

Konjungtiva palpebra berhubungan sangat erat dengan tarsus, gambaran dari glandula Meibom yang ada di dalamnya tampak membayang sebagai garis sejajar berwarna putih. Permukaan licin, dicelah konjungtiva terdapat kelenjar Henle. Histologis terdiri dari sel epitel silindris. Di bawahnya, stroma dengan bentuk adenoid dengan banyak pembuluh getah bening (Wijana, 1993).B. Konjungtiva Bulbi

Tipis dan tembus pandang, meliputi bagian anterior bulbus okuli. Di bawah konjungtiva bulbi terdapat kapsula tenon. Struktur sama dengan konjungtiva palpebra, tetapi tidak mempunyai kelenjar. Dari limbus, epitel konjungtiva meneruskan diri sebagai epitel kornea. Di dekat kantus internus, konjungtiva bulbi membentuk plika semilunaris yang mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang mengandung rambut dan kelenjar yang disebut karunkula (Wijana, 1993).

C. Konjungtiva FornikStrukturnya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan dengan jaringan di bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan dan juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata. Dengan berkelok-keloknya konjungtiva ini, pergerakan mata menjadi lebih mudah. Di bawah konjungtiva fornik superior terdapat glandula lakrimal dari kraus. Melalui konjungtiva fornik superior juga terdapat muara saluran air mata (Wijana, 1993).D. Perdarahan

Berasal dari a. konjungtivalis posterior dan a. siliaris anterior, yang berasal dari a. siliaris anterior berjalan ke depan mengikuti m. rectus menembus sclera dekat limbus untuk mencapai bagian dalam mata. Juga memberi cabang-cabang yang mengelilingi kornea dan memberi makanan kepada kornea. Antara kedua arteri ini terdapat anastomosis (Wijana, 1993).

E. Persarafan

Berasal dari N.V (I), yang berakhir sebagai ujung-ujung yang lepas terutama di bagian palpebra (Wijana, 1993).

II.2. Definisi

Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata. Konjungtivitis dibedakan dalam bentuk akut dan kronis. Konjungtivitis dapat disebabkan bakteri, gonore, virus, fungus, klamidia, dan alergi. Konjungtivitis biasanya akan mengenai kedua mata akibat mudah menular ke mata yang sebelahnya. Bila terdapat hanya pada salah satu mata, maka hal ini biasanya disebabkan oleh alergi atau moluscum contagiosum (Ilyas, 1998).

Gambaran klinis yang terlihat pada konjungtivitis dapat berupa hiperemi bulbi (injeksi konjungtiva), lakrimasi, eksudat dengan sekret yang lebih nyata di pagi hari, pseudoptosis akibat kelopak mata membengkak, kemosis, hipertrofi papil, follikel, membran dan pseudomembran, granulasi, flikten, mata seperti ada benda asing, dan adenopati preaurikuler (Ilyas, 2002).

Konjungtivitis follikularis adalah peradangan pada konjungtiva yang disertai dengan pembentukan follikel. (Ilyas, 1998). Follikel pada dasarnya adalah suatu benjolan yang dihasilkan kelenjar limfe yang sebenarnya serupa baik dalam struktur maupun fungsi dengan nodus limfatikus yang ditemukan pada intestinum. Follikel terbentuk oleh limfosit mononuklear besar yang terletak pada lapisan adenoid pada konjungtiva yang normal. Dalam merespon iritasi yang konstan, limfosit-limfosit tersebut menginfiltrasi sehingga memadati di daerah subepitel konjungtiva. Dengan cara tersebut terjadi tumpukan yang luar biasa tegas sehingga terbentuk tempelan-tempelan yang terlokalisir (Ghozi, 2000).II.3. Epidemiologi Konjungtivitis yang disebabkan virus adalah suatu penyakit mata yang umum terjadi di seluruh dunia. Oleh karena umum dijumpai banyak kasus tidak mendapat perhatian medis, statistik akurat terhadap penyakit tersebut tidak tersedia. Konjungtivitis virus ini sering terjadi epidemik di dalam keluarga-keluarga, sekolah, kantor, dan organisasi berbentuk militer.Kebanyakan kasus konjungtivitis yang disebabkan virus adalah ringan dan self-limited, tetapi beberapa mempunyai potensi menghasilkan infeksi / peradangan kronis dan menimbulkan berbagai kesulitan visual. Sekuele berkenaan dengan penglihatan jangka panjang adalah luar biasa. Konjungtivitis virus dapat terjadi dengan perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan, juga dapat menyerang semua kelompok umur. Adenovirus mempengaruhi pasien usia 20-40 tahun. HSV dan VZV umumnya mempengaruhi bayi dan anak-anak. Herpes zoster opthalmicus disebabkan reaktivasi dari infeksi latent VZV dan dapat hadir disemua kelompok usia. Khas ditemukan, picornavirus mempengaruhi anak dan orang dewasa di dalam kelas sosial ekonomi yang lebih rendah (Scott, 2004).

II.4. Etiologi

Berbagai virus dapat bertanggungjawab terhadap infeksi konjungtiva. Adenovirus menjadi penyebab yang paling umum dan virus herpes simpleks (HSV) lebih banyak menimbulkan masalah. Penyebab umum yang lebih sedikit meliputi virus varicella zoster (VZV), picornavirus (enterovirus 70, coxsackie A24), poxvirus (molluscum contagoisum, vaccinia) (Scott, 2004). II.5. Klasifikasi Konjungtivitis follikularis virus terdiri dari Konjungtivitis follikularis virus akut dan konjungtivitis follikularis virus kronik.Konjungtivitis follikularis virus akut terdiri dari :1. Keratokonjungtivitis Epidemika

2. Demam Faringokonjungtival (Pharyngoconjuctival Fever)

3. Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks4. Konjungtivitis Hemoragika Akut5. Konjungtivitis New CastleKonjungtivitis follikularis virus kronik terdiri dari :

1. Konjungtivitis Moluscum contagiosum2. Konjungtivitis Varicella-Zoster (Vaughan et al., 2000)II.6. Patofisiologi

Adenovirus merupakan penyebab yang paling umum dari konjungtivitis virus. Sub tipe konjungtivitis adenoviral meliputi keratokonjungtivitis epidemika (pink eye) dan demam farigokonjungtiva. Transmisi terjadi melalui kontak dengan udara pernafasan (droplet) penderita infeksi saluran pernafasan atas, perpindahan virus dari jari seseorang ke konjungtiva permukaan kelopak mata atau melalui kolam renang yang terkontaminasi. Setelah masa inkubasi 5-12 hari, penyakit masuk tahap yang akut, menyebabkan sekret serous, konjungtiva hiperemi, dan timbulnya follikel. Follikel limfoid meningkat, dengan lesi avaskular dari ukuran 0,2-2 mm. Mereka mempunyai pusat limfoid germinal yang memberi respon terhadap agen-agen infeksius.

Adenovirus tipe 8 dapat berkembang biak di dalam jaringan lunak epitel kornea yang menghasilkan karakteristik keratitis dan infiltrat subepitelial. Bersama dengan respon imun terhadap antigen virus, menyebabkan limfosit terkumpul di dalam stroma anterior superfisial, hanya di bawah epithelium. Kadang-kadang terbentuk suatu membran konjungtival, yang terdiri dari fibrin dan leukosit.

Infeksi primer herpes simpleks okular, umum terjadi pada anak-anak. Dan biasanya berhubungan dengan terjadinya follikular konjungtivitis. Infeksi konjungtiva umumnya disebabkan virus herpes simpleks (HSV) tipe I, walaupun tipe II mungkin juga sebagai penyebab, terutama pada neonatus. Infeksi yang rekuren, khas ditemukan pada orang dewasa, yang umumnya dihubungkan dengan keterlibatan kornea.

Virus varicella zoster dapat mempengaruhi konjungtiva selama infeksi primer (chikenpox) atau infeksi sekunder (zoster). Infeksi dapat disebabkan kontak langsung dengan kulit yang terinfeksi VZV atau zoster atau melalui inhalasi sekresi pernafasan yang infeksius.

Picornavirus menyebabkan suatu konjungtivitis hemoragik akut. Secara klinis mirip dengan konjungtivitis adenoviral, tetapi dengan gejala yang lebih hebat dan hemoragik. Infeksi ini sangat menular dan dapat terjadi ledakan epidemik.

Molluscum contagiosum dapat menyebabkan terjadinya konjungtivitis follikular kronis, yang terjadi sebagai akibat sekunder dari mekanisme pencegahan masuknya partikel virus ke konjungtiva melalui lesi iritatif di mata.Virus vaccinia sudah jarang ditemui sebagai penyebab konjungtivitis, karena hilangnya penyakit cacar (Smallpox), sehingga pemberian vaksinasinya jarang dilakukan. Infeksi terjadi secara kebetulan melalui inokulasi partikel virus dari tangan penderita (Scott, 2004).II.7. Gejala Klinis dan PenatalaksanaanRiwayat: Anamnesis harus difokuskan untuk mendapatkan informasi, yang dapat digunakan untuk membantu membedakan berbagai agen etiologi dari infeksi virus.a. Menanyakan tentang kapan mulai terkena serangan, onset, waktu timbulnya gejala okular dan sistemik, beratnya gejala dan frekwensi timbulnya gejala, faktor resiko yang mendukung (durasi), dan pemaparan dari lingkungan dan pribadi.

b. Pasien dengan konjungtivitis adenoviral dapat diperoleh riwayat dimana pasien baru saja terekspose seseorang dengan mata merah di rumah, sekolah, tempat kerja, atau mempunyai riwayat sedang menderita gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas. Infeksi yang mengenai mata dapat unilateral atau bilateral.

c. Pasien mengeluh mata terasa gatal, sensasi benda asing di mata, lakrimasi, mata merah, fotofobia (dengan keterlibatan kornea seperti pada keratokonjungtivitis epidemik)

d. Manifestasi sistemik jarang, kecuali pada kasus demam faringokonjungtival.

e. Infeksi primer HSV okular sebagian besar mempengaruhi bayi dan anak-anak, tetapi mungkin juga individu dari segala usia. Pasien pada umumnya mengeluhkan adanya mata merah, iritasi, dan lakrimasi. Sering disertai keterlibatan kulit kelopak mata berupa lesi vesikel yang multipel.f. VZV ditandai oleh erupsi vesikel yang general, demam dan gejala konstitusional. Infeksi mata umumnya unilateral, dan timbulnya lesi papul kecil-kecil yang merata terdapat di sepanjang tepi palpebra atau di limbus dan mungkin disertai timbulnya konjungtivitis follikuler yang ringan.g. Herpes zoster opthalmikus menunjukkan reaktivasi dari infeksi laten VZV pada ganglion trigeminal. Ini ditandai oleh keluhan gejala prodromal, berupa demam, malaise, mual, muntah, dan nyeri serta lesi kulit di sepanjang dermatom nervus trigeminus cabang oftalmika. Keterlibatan konjungtiva meliputi hiperemi, konjungtivitis follikular atau papilar, serta timbulnya suatu sekret serous atau mukopurulen.h. Konjungtivitis hemoragik akut telah dilaporkan epidemik bersama-sama dengan 2 picornavirus utama yakni, enterovirus 70 dan Coxsackie A24, yang mempengaruhi kebanyakan anak-anak dan orang dewasa muda dari kelas ekonomi yang lebih rendah. Pasien mengalami onset yang cepat, dengan sekret serous, sensasi benda asing, rasa terbakar di mata, dan fotofobia setelah 24 jam terpapar.i. Molluscum contagiosum dapat menyebabkan suatu konjungtivitis follikular kronis bersama-sama dengan suatu lesi iritatif di kelopak mata. Umumnya adalah suatu lesi kecil, meninggi, berupa nodul-nodul, putih seperti mutiara, mengkilat, membentuk cekungan di sentral yang terdapat di margo palpebra. Lesi yang multipel bisa muncul terutama pada pasien dengan HIV positif.j. Virus lain lebih sedikit menjadi penyebab konjungtivitis. Biasanya konjungtivitis terjadi bersama-sama suatu penyakit sistemik dan bersama dengan infeksi yang disebabkan virus influensa, Epstein-Barr virus, paramyxovirus (measles, mumps, Newcastle), rubella, HIV (Scott, 2004; Rassner, 1995).Konjungtivitis Follikularis Virus Akut

1. Keratokonjungtivitis Epidemika

Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada satu mata saja dan biasanya mata pertama lebih parah. Pada awalnya pasien akan merasa adanya infeksi dengan nyeri sedang dan air mata kemudian diikuti dalam 5-14 hari oleh fotofobia, keratitis epitel dan kekeruhan subepitel bulat. Sensasi kornea normal, nodul preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas, udema palpebra, kemosis dan hyperemia konjungtiva yang menandai fase akutnya, sering pada satu mata saja dan biasanya mata pertama lebih parah. Follikel dan perdarahan konjungtiva sering muncul pada 48 jam. Dapat terbentuk pseudomembran (dan kadang-kadang membran sejati) dan mungkin diikuti pemadatan atau pembentukan symblepharon (Vaughan, et al., 2000, 1998).

Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu, kekeruhan sub epitel terutama terdapat dipusat kornea, bukan di tepian dan menetap selama berbulan-bulan namun dapat menyembuh tanpa meninggalkan parut.

Keratokonjungtivitis epidemika terutama disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 ( subgroup D dari adenovirus manusia ). Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear primer, bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil. Keratokonjungtivitis epidemika pada dewasa terbatas pada luar mata, namun pada anak-anak mungkin terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti : demam, sakit tenggorokan, otitis media dan diare.

Keratokonjungtivitis epidemika ini sangat infeksius, penularan diperkirakan melalui udara pernapasan (droplet ) atau langsung dari jaringan tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kuramg steril atau pemakaian larutan yang terkontaminasi, larutan mata terutama anestetika topikal mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat penyedot meteri terinfeksi dari konjungtiva atau silia (Vaughan, et al., 2000). Sering juga penularan melalui kolam renang selain akibat wabah (Ilyas, 1998).

Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan memakai penetes steril pribadi atau dengan memakai penetes kemasan unit dose, cuci tangan secara teratur diantara pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat yang menyentuh mata (tonometer).

Sekarang ini belum ada terapi spesifik namun kompres dingin akan mengurangi beberapa gejala., Kertikosteroid selama konjungtivitis akut dapat memperpanjang keterlibatan kornea sehingga harus dihindari. Anti bakteri diberikan bila terjadi super infeksi bakterial (Vaughan, et al., 2000, 1998).2. Demam Faringokonjugtivital

Demam faringokonjungtivital ditandai dengan demam 38,3 - 40 C (101-104F ), sakit tenggorokan dan konjungtivitis follikuler pada satu atau dua mata. Follikel sering sangat menonjol pada kedua konjungtiva dan pada mukosa faring. Penyakit ini dapat bilateral atau unilateral, mata merah dan lakrimasi sering terjadi dan mungkin ada keratitis superior untuk sementara, serta kadang-kadang sedikit kekeruhan di daerah subepitel. Yang khas adalah limfadenopati preaurikuler (tidak nyeri tekan). Sindrom ini mungkin tidak lengkap hanya terdiri dari satu atau dua tanda utama ( demam, konjungtivitis dan faringitis ).

Kausa umumnya oleh adenovirus type 3 dan kadang type 4 dan 7. Virus dapat dibiakkan dalam sel HeLa dan ditetapkan oleh tes netralisasi. Virus dapat juga didiagnisis secara serologi dengan meningkatnya titer antibodi penetral virus. Kerokan konjungtiva mengandung sel mononuclear, dan tidak ada bakteri yang tumbuh dalam biakan.

Untuk terapi tidak ada pengobatan yang spesifik. Antibiotik atau sulfa untuk mencegah infeksi sekunder dan memperpendek waktu sakit (Wijana, 1993) Konjungtivitis sembuh sendiri, umumnya dalam sekitar 10 hari (Vaughan, et al., 2000, 1998).3. Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks

Biasanya terdapat pada anak kecil. Merupakan keadaan yang luar biasa yang ditandai dengan pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, bertahi mata mukoid, sakit dan fotofobia ringan. Terjadi pada infeksi primer HSV atau selama episode kambuh herpes mata. Keadaan ini sering disertai keratitis herpes simpleks, dengan kornea yang menampakkan lesi-lesi epitelial tersendiri yang umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus-ulkus epitelial yang bercabang banyak (dendritik). Bentuk konjungvitisnya adalah folikuler atau lebih jarang pseudomembranosa. Vesikel kadang-kadang muncul dipalpebra dan tepian palpebra, disertai edema hebat pada palpebra. Khas, terdapat sebuah nodus preaurikuler yang nyeri tekan.

Pada pembiakan atau dalam kerokan tidak ditemukan adanya bakteri. Jika konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama mononuklear, namun jika pseudomembran, reaksinya terutama polimorfonuklear akibat kemotaksis dari tempat nekrosis. Inklusi intranuklear (karena marginasi kromatin) tampak dalam sel konjungtiva dan kornea. Ditemukannya sel-sel epitelial raksasa mempunyai nilai diagnostik.

Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah aplikator berujung kain kering di atas konjungtiva dan memindahkan sel-sel terinfeksi ke jaringan biakan.

Konjungtivitis HSV dapat berlangsung 2-3 minggu, dan jika timbul pseudomembran, dapat meninggalkan parut linear halus atau parut datar. Komplikasi dapat berupa keterlibatan kornea (termaksuk dendrit) dan vesikel pada kulit. Meskipun virus herpes type 1 adalah penyebab kebanyakan kasus mata, namun type 2 adalah penyebab umum pada neonatus dan jarang dewasa. Pada neonatus, mungkin terdapat penyebab umum yang disertai ensefalitis, korioretinitis, hepatitis dsb. Setiap infeksi HSV pada nenonatus harus diobati dengan obat antivirus (acyclovir) dan dipantau di RS.

Konjungtivitis terdapat pada anak diatas 1 tahun pada dewasa, umumnya sembuh sendiri. Namun antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea. Untuk ulkus kornea diperlukan debridemen kornea dengan hati-hati, meneteskan obat antivirus dan menutup mata selama 24 jam. Antivirus topical sendiri harus diberikan 7-10 hari, trifluridine tiap 2 jam sewaktu bangun atau salep vidarabine 5 kali sehari, atau idoxuridine 0,1 %, 1 tetes tiap jam sewaktu bangun dan 1 tetes tiap 2 jam waktu malam.

Keratitis herpes dapat pula diobati dengan salep acyclovir 3 % 5 kal sehari selama 10 hari atau dengan acyclovir oral 400 mg 5 kali sehari selama 7 hari. Penggunaan kortikosteroid merupakan kontraindikasi karena makin memperburuk infeksi herpes simplek dan mengkonversi penyakit dari penyakit proses tumbuh sendiri yang singkat menjadi infeksi yang sangat panjang dan berat (Vaughan, et al., 2000, 1998).4. Konjungtivitis Hemoragika Akut

Pertama kali diketahui di Ghana tahun 1969. Konjungtivitis ini disebabkan enterovirus type 70 dan kadang-kadang oleh coxsackie virus A24. Khas, inkubasinya pendek (8-48 jam) dan berlangsung singkat (5-7 hari). Gejala dan tandanya adalah sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak mengeluarkan air mata, merah edema pelpebra dan hemoragi subkonjungtivital. Kadang-kadang terjadi kemosis.

Hemoragi subkonjungtival umumnya difus namun dapat berupa bintik-bintik pada awalnya, dimulai dikonjungtiva bulbi superior dan menyebar ke bawah. Kebanyakan pasien mengalami limfadenopati prearikuler, follikel konjungtiva dan keratitis epitelial.

Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke orang dan oleh fomite seperti seprei, alat-alat optik yang terkontaminasi dan air.

Penyakit ini dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya simtomatik. Pengobatan antibiotik spektrum luas, sulfasetamid dapat dipergunakan untik mencegah infeksi sekunder. Penyembuhan dapat terjadi dalam 5-7 hari. (Vaughan, et al., 2000, 1998; Ilyas, 2002).

5. Konjungtivitis Newcastle

Konjungtivitis Newcastle adalah penyakit yang jarang di dapat, ditandai sensasi terbakar, gatal, sakit, merah, mata berair dan (jarang) penglihatan kabur. Keadaan ini dijumpai berupa epidemik kecil diantara pekerja peternakan unggas atau ayam, yang menangani unggas yang sakit atau diantara dokter hewan atau petugas laboratorium yang bekerja dengan vaksin hidup atau virus.

Konjungtivitis ini mirip yang disebabkan oleh virus lain, dengan kemosis, nodul preaurikuler kecil, dan follikel-follikel pada tarsus superior dan inferior. tidak ada pengobatan spesifik untuk penyakit yang dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu kurang dari 1 minggu (Vaughan, et al., 2000, 1998). Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi sekunder disertai obat-obat simtomatik (Ilyas, 2002).Konjungtivitis Follikularis Viral Kronis1. Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum

Sebuah nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra dan alis mata dapat menimbulkan konjungtivitis follikuler menahun unilateral, keratitis superior, dan panus superior, dan mungkin menyerupai trakoma. Reaksi radang, yang terutama mononuklear (berbeda dengan reaksi pada trakoma), dengan lesi bulat, berombak, putih mutiara, non radang dengan bagian pusat, adalah khas molluscum contagiosum. Biopsi menampakkan inklusi sitoplasma eosinofilik, yang memenuhi seluruh sitoplasma sel yang membesar, mendesak inti ke satu sisi.

Eksisi, insisi sederhana nodul yang memungkinkan darah tepi memasukinya, atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitisnya. Pada kasus yang sangat jarang (dalam kepustakaan hanya tercatat dua kasus), nodul molluscum timbul di konjungtiva. Dalam hal ini eksisi nodul juga menyembuhkan konjungtivitisnya (Vaughan et al., 2000, 1998).2. Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster

Hiperemi dan konjungtivitis infiltratif disertai dengan erupsi vesikuler khas sepanjang penyebaran dermatom nervus trigeminus cabang oftalmika adalah khas herpes zoster. Konjungtivitisnya biasanya papiler, namun pernah ditemukan follikel, pseudomembran, dan vesikel temporer, yang kemudian berulserasi. Limfonodus preaurikuler yang nyeri tekan terdapat pada awal penyakit. Parut pada palpebra, entropion, dan bulu mata salah arah adalah sekuele.

Lesi palpebra dari varicella, yang mirip lesi kulit di tempat lain, mungkin timbul di tepian palpebra maupun palpebra dan sering meninggalkan parut. Sering timbul konjungtivitis eksudatif ringan, tetapi lesi konjunhtiva yang jelas (kecuali pada limbus) sangat jarang terjadi. Lesi di limbus menyerupai phlyctenula dan dapat melalui tahap-tahap vesikel, papula dan ulkus. Kornea didekatnya mengalami infiltrasi dan bertambah pembuluhnya.

Pada zoster maupun varicella, kerokan dari vesikel pelpebra mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear; kerokan dari konjungtiva pada varicella dan dari vesikel konjungtiva pada zoster mengandung sel raksasa dan monosit.

Diagnosis biasanya ditegakkan dengan ditemukannya sel raksasa pada pewarnaan Giemsa, kultur virus dan sel inklusi intranuklear. Terapi acyclovir 800 mg oral 5 kali sehari selama 7 sampai 10 hari, jika diberi pada awal penyakit, mungkin dapat mengurangi dan menghambat beratnya penyakit. Pada kasus rekurent dapat diberikan 400-800 mg per oral selama 7-10 hari. Walaupun diduga steroid mengurangi penyulit akan tetapi dapat mengakibatkan penyebaran sistemik. Pada 2 minggu pertama dapat diberi analgetik untuk menghilangkan rasa sakit (Scott, 2004; Vaughan, et al., 2000, 1998).II.8. Follow upA. Pasien Rawat Jalana. Pasien dengan konjungtivitis, terutama yang sepakat dengan pengobatan, memerlukan follow up. Pasien perlu kontrol dalam 1-3 minggu atau lebih cepat, jika menunjukkan kondisi memburuk yang signifikan.

b. Pasien dengan konjungtivitis yang menggunakan contact lens harus diberitahu untuk melepaskan kontak lensanya sampai tanda dan gejala sudah hilang (Scott, 2004).B. Preventifa. Pencegahan transmisi terutama pada fasilitas pelayanan kesehatan adalah sangat penting. Mencuci tangan dengan seksama sebelum memeriksa setiap pasien, membersihkan instrumen secara benar, dan mengganti secara berkala tetes mata yang sering digunakan.b. Penting menggunakan ruang pemeriksaan khusus untuk penyakit infeksius, sebagaimana pentingnya pendidikan kesehatan terhadap tenaga medis dan pasien sendiri.

c. Pasien harus diberitahu bahwa menderita penyakit menular dan melakukan tindakan isolasi selama sedikitnya 2 minggu, atau selama masih menderita mata merah dan lakrimasi (Scott, 2004).C. KomplikasiKomplikasi yang dapat terjadi meliputi : Keratitis pungtata dengan infiltrat di subepitelial, superinfeksi bakteri, ulserasi kornea dengan keratokonjungtivitis, dan infeksi kronis.

Keratitis epitelial dapat terjadi bersamaan dengan konjungtivitis viral erosi epitelial pungtata yang di tunjukkan dengan tes fluoresin (+), merupakan karakteristik dari viral keratitis. Meskipun jarang terjadi, perubahan morfologi tersebut sudah cukup sebagai bukti yang jelas untuk dilakukannya identifikasi tipe virus spesifik sebagai agen etiologi. apabila konjungtivitis persisten atau menghebat, gangguan di stroma anterior, di subepitel dapat terjadi. Secara umum, kelainan di stroma atau subepitelial adalah sementara, meskipun pada akhirnya dapat terjadi keratitis epitelial yang persisten. Pada kasus infeksi adenoviral, abnormalitas stroma dapat persisten untuk berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Lama setelah terjadi perubahan epitelial. Pada kasus yang demikian, infiltrat subepitelial pada awalnya dapat dipertimbangkan sebagai akibat proses imunologi yang dihasilkan dari reaksi antigen antibodi. Jika infiltrat ini terletak di daerah pupil, dapat menyebabkan penurunan visus dan atau penglihatan yang kabur ( Scott, 2004; Wijana, 1993). D. Prognosis

Kebanyakan kasus konjungtivitis virus akut, bersifat benigna, dan self-limited. Infeksi pada umumnya sembuh secara spontan dalam 2-4 minggu. Infiltrat subepitelial dapat bertahan selama beberapa bulan, dan jika berada pada axis visual dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan atau penglihatan kabur (Scott, 2004).E. Pendidikan Pasien

Untuk menghindari kepanikan dari pasien, sangat membantu untuk menginformasikan mengenai gejala yang akan memberat selama 4-7 hari pertama setelah onset, sebelum timbulnya gejala yang lain dan mungkin tidak berkurang selama 2-4 minggu. Fase infeksius dari penyakit ini harus diperhatikan dan diperlukan isolasi yang memadai baik di tempat kerja atau sekolah untuk mencegah terjadinya epidemik di kedua tempat tersebut (Scott, 2004).F. Pendidikan untuk Tenaga Medis

Dokter dapat tertular dari pasien yang dipercayai menderita konjungtivitis virus akuisita pada ruangan mereka, sehingga perlu dilakukan pencegahan transmisi, baik dari pasien ke pasien maupun dari pasien ke dokter. Tindakan yang disarankan meliputi tidak diperbolehkannya pasien dengan mata merah menunggu di ruang tunggu umum, diperlukan ruang pemeriksaan yang khusus untuk pasien dengan mata merah, kemudian dilakukan sterilisasi pada ruang pemeriksaan setelah memeriksa pasien dengan mata merah, tidak berjabat tangan dengan pasien yang menderita mata merah (setelah diberikan informasi tentang alasan), menyentuh bola mata mereka dengan menggunakan aplikator, tidak menggunakan jari secara langsung, mencuci tangan sesegera mungkin setelah memeriksa pasien (Scott, 2004).

BAB IIIKESIMPULANVirus adalah penyebab umum dari konjungtivitis pada pasien di semua usia. Berbagai jenis virus bertanggungjawab terhadap terjadinya infeksi konjungtiva; bagaimanapun adenovirus merupakan penyebab yang paling umum dan virus herpes simplex (HSV) lebih banyak menimbulkan problem yang sulit. Penyebab umum yang lebih sedikit adalah virus varisella-zoster (VZV), picornavirus (enterovirus 70, coxsackie A24), poxvirus (molluscum contagiosum, vaccinia) dan Human Imunodeficiency virus (HIV). Jarang terjadi konjungtivitis ditemui selama infeksi sistemik dari virus influenza, Epstein-Barr Virus, paromyxovirus (campak, penyakit gondok, Newcastle), dan rubella.

Konjungtivitis virus dapat terjadi dengan perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan, juga dapat menyerang semua kelompok umur.Konjungtivitis viral, walaupun pada umumnya tidak berat dan self-limited, tetapi cenderung untuk berkembang lebih lama dibandingkan konjungtivitis bakterial akut, selama lebih kurang 2-4 minggu, sehingga selain terapi antiviral, dibutuhkan juga pemberian antibiotik untuk kasus-kasus yang dikhawatirkan berkembang menjadi infeksi sekunder.Komplikasi yang dapat terjadi meliputi keratitis pungtata dengan infiltrat di subepitelial, superinfeksi bakteri, ulserasi kornea dengan keratokonjungtivitis, dan infeksi kronis. DAFTAR PUSTAKAAnonim, Conjunctivitis Viral. URL : http : // Site : www. revoptom. Com / handbook/ sect 29.htmGhozi, M. 2000. Buku Ajar Oftalmologi. FK UMY. Yogyakarta : 54 - 60Ilyas, S. 2002. Ilmu Penyakit Mata. 2nd ed. Cetakan ke-1. FKUI. Jakarta : 124.

Ilyas, S. 2004. Ilmu Penyakit Mata. 3th ed. FKUI. Jakarta :128 - 132.Ilyas, S., Tanzil, M., Salamun dan Azhar, Z. 2000. Sari Ilmu Penyakit Mata. 2 nd ed. FKUI. Jakarta: 27 - 34.

Rassner, G. 1995. Buku Ajar dan Atlas Dermatologi. 4th ed. EGC. Jakarta : 45 - 46.Scott, U. 2004. Conjunctivitis Viral. URL : http: // Site : www. eMedicine. comVaughan, D., Asbury, T., and Eva P.R. 1998. General Ophtalmology. 15st ed, Prentice Hall International Inc. USA : 100 - 103.

Vaughan, D., Asbury, T., and Eva P.R. 2000. Oftalmologi Umum. 14st ed. Editor : Suyono, J., Widya Medika, Jakarta : 109 - 112.

Wijana, N. 1993. Ilmu Penyakit Mata. 1st ed. Jakarta : 55 - 58.

PAGE 8