Referat Guillain Barre Syndrome Gafuran

17
1 BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF REFERAT FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2014 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR GUILLAIN-BARRE SYNDROME OLEH : ABDUL GAFUR ZULKARNAIN 10542 0059 09 PEMBIMBING dr. Artha Bayu Duarsa, Sp.S DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014

description

Referat GBS gafuranPenyakit guillain barre syndrome atau yang biasa disingkat penyakit GBS adalah gangguan sistem kekebalan tubuh yang menyerang saraf

Transcript of Referat Guillain Barre Syndrome Gafuran

  • 1

    BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF REFERAT

    FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2014

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

    GUILLAIN-BARRE SYNDROME

    OLEH :

    ABDUL GAFUR ZULKARNAIN

    10542 0059 09

    PEMBIMBING

    dr. Artha Bayu Duarsa, Sp.S

    DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

    BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

    2014

  • 2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Fungsi utama sistem saraf adalah mendeteksi, menganalisis, dan

    menyalurkan informasi. Informasi dikumpulkan oleh sistem sensorik,

    diintegrasikan oleh otak, dan digunakan untuk menghasilkan sinyal kejalur

    motorik dan autonom untuk mengontrol gerakan serta fungsi organ viseral dan

    endokrin. Berbagai kegiatan ini dikontrol oleh neuron, yang saling berhubungan

    untuk membentuk jaringan sinyal yang membentuk sistem motorik dan sensorik.

    Selain neuron, sistem saraf mengandung sel neuroglia yang memiliki beragam

    fungsi imunologis dan penunjang serta memodulasi aktivitas neuron.1

    Sindrom Guillain-Barre, juga dikenal dengan nama poli-neuritis infeksiosa

    atau polineuritis idiopatik akut, merupakan bentuk polineuritis yang akut,

    progresif cepat, serta berpotensi fatal dan menyebabkan kelemahan otot serta

    gangguan sensoris.2

    Secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan

    arefleksia. Secara patologi SGB memiliki 2 pola gambaran patologi, yaitu: bentuk

    demielinisasi dan aksonopati. Demielinisasi segmental pada SGB dihubungkan

    dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi.3

    Sindrom ini dapat terjadi pada segala usia meskipun paling sering ditemukan

    pada usia antara 30-50 tahun. SGB dialami laki-laki dan perempuan sama

  • 3

    seringnya. Kesembuhan terjadi spontan dan komplet pada 95% pasien sekalipun

    gangguan motorik atau refleks yang ringan dapat menetap pada kaki dan tungkai.

    Prognosis sindrom ini paling baik jika keluhan dan gejala sudah menghilang

    sebelum 15 hingga 20 hari sesudah awitan penyakit.2

    Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang

    cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan

    penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada

    beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya

    mempunyai prognosa yang baik.4

    Suatu penyakit dianggap sebagai auto-imunologik jika faktor persyaratan di

    bawah ini terpenuhi.8

    Lesi yang mendasari penyakit mengandung unsur-unsur respon imunologik

    yang terdiri dari respon antibody dan respon CMI (cel-mediated immunity) 8

    1. Sel plasma mengandung antibodi

    2. B-sel dan T sel harus terbukti aktif melaksanakan respon imunologik

    3. Limfoblas serta fagosit harus ikut melengkapi gambaran radang

    setempat.

    Antibody harus ditemukan dan pembuatannya harus ditiru, penyakitnya

    harus dapat ditularkan kepada binatang percobaan dengan pemasukan

    limfosit yang berasal dari penderita, faktor yang menghilangkan toleransi

    imunologik harus ada, serta masa bebas gejala yang merupakan masa

  • 4

    berlangsungnya proses penyerapan substansi auto-antigen dan pembuatan

    auto-antibody harus ada.8

    Adapun penyakit-penyakit susunan saraf yang memenuhi syarat tersebut di

    atas ialah Ensefalomielitis diseminata Akuta, Skeloris multipleks,

    Polineuritis akuta postinfeksiosa (sindrom Guillain-Barre-Strohl), Miastenia

    gravis, dan Polimielitis.9

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    II.1 Definisi

    Sindrom Guillain-Barre (poliradikuloneuropati demielinasi inflamatorik

    akut) merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai

    dengan kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan

    cepat menjalar ke otot-otor proksimal. Terjadi demielinasi segmental dan sel-sel

    inflamasi kronik yang mengenai radiks saraf serta saraf perifer. Kelainan ini

    dimediasi oleh imun dan sering terjadi sesudah infeksi virus (sitomegalovirus,

    Virus Epstein Barr) atau campylobacter jejuni.5

    II.2 Struktur dan Fungsi Normal Sistem saraf

    Fungsi utama neuron adalah menerima, memadukan, dan menyalurkan

    informasi ke sel lain. Neuron terdiri dari tiga bagian: dendrit, yaitu tonjolan

    memanjang yang menerima informasi dari lingkungan atau dari neuron lain;

    badan sel, yang mengandung nukleus dan akson, yang panjangnya dapat mencapai

    1 meter dan menghantarkan impuls ke otot, kelenjar, atau neuron lain. Sebagian

    besar neuron bersifat multipolar, yang mengandung satu akson dan beberapa

  • 6

    dendrit. Neuron bipolar memiliki satu dendrit dan satu akson dan ditemukan di

    ganglion cochleare dan vestibulare, retina, serta mukosa olfaktorik. Ganglion

    sensorik spinal mengandung neuron-neuron pseudounipolar yang memiliki suatu

    tonjolan yang keluar dari badan sel dan terbagi menjadi dua cabang, satu

    memanjang ke medula spinalis dan yang lain memanjang ke perifer. Akson dan

    dendrit biasanya bercabang-cabang secara ekstensif di bagian ujungnya.

    Percabangan dendrit dapat sangat rumit, dengan akibat bahwa satu neuron dapat

    menerima ribuan masukan. Setiap cabang akson berakhir di sel berikutnya di

    sinaps, yakni suatu struktur khusus untuk menyalurkan informasi dari akson ke

    otot, ke kelenjar atau ke neuron lain. Sinyal merambat secara elektris di

    sepanjang akson.1

    Mielinisasi meningkatkan kecepatan hantaran potensial aksi. Mielin

    terutama terdiri dari lipid. Selaput mielin berfungsi sebagai insulator, sperti karet

    yang membungkus kabel listrik, untuk mencegah arus bocor menembus bagian

    membran yang bermielin. Mielin sebenarnya bukan bagian dari sel saraf tetapi

    terdiri dari sel-sel pembentuk mielin terpisah yang membungkus diri mengelilingi

    akson seperti kue bolu gulung. Hilangnya mielin memperlambat transmisi impuls

    pada neuron yang terkena. Pembentukan jaringan parut berkaitan dengan

    kerusakan mielin dapat juga merusak akson dibawahnya yang semakin

    menggangu perambatan potensial aksi.7

    Susunan saraf mempunyai reaksi imunologik terhadap antigen-antigen yang

    berasal dari susunan saraf itu sendiri. Autoantigenik neural ini tidak patologik

  • 7

    selama toleransi imunologik masih ada. Tetapi karena suatu sebab, toleransi

    imunologik itu dapat dihilangkan dan timbullah proses auto-imunopatologik yang

    mengakibatkan timbulnya kerusakan jaringan. Apa yang dinamakan sel T itu

    ternyata sebuah limfosit yang mempunyai struktur kimiawi lipopolisakarida.

    Menurut teori yang diuraikan maka beberapa penyakit nerologik disebabkan oleh

    proses imunopatologik dan auto-imunopatologik. Namun demikian yang

    dianggap imunologik atau autoimunologik dapat diperbaiki dengan farmaka

    yang dinamakan imunosupresor.8

    II.3 Epidemiologi

    Guillain-Barr Syndrome merupakan penyakit neurologi yang cukup jarang,

    angka insidensi GBS dari 2 penelitian epidemiologi terdahulu dapat dilihat pada

    penelitian yang dilakukan Ress, dkk (1998) dengan metode dan subyek yaitu

    prospektif 1 tahun, 97 pasien didiagnosa GBS dimana angka insiden per 100.000

    penduduk adalah 1,2 dan peneltian yang dilakukan Casmiro dkk (1998) dengan

    metode dan subyek yaitu prospektif studi 2 tahun, 87 pasien didiagnosa GBS,

    dimana angka insiden per 100.000 penduduk adalah 1,1.4

    Penelitian yang dilakukan oleh Ress, dkk (1998) menunjukkan bahwa rasio

    laki-laki dan perempuan adalah 0.8/1. Rata-rata umur (SD) adalah 47.7 tahun

    (19.5) dan berkisar antara 5 sampai 85 tahun. Sementara penelitian Casmiro, dkk

    (1998) menunjukkan bahwa puncak insidensi adalah pada usia 60-69 tahun

    dengan angka insidensi 2,34/100.000 penduduk.3 Data di Indonesia mengenai

    gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa

  • 8

    insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun)

    dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian

    di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan

    usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi

    pergantian musim hujan dan kemarau.4

    II.4 Etiologi

    Penyebab sindrom Guillein-Barre sampai saat ini belum diketahui

    (idiotaptik) dan termasuk dalam kelompok penyakit autoimun. Akibat suatu

    infeksi atau kedaan tertentu yang mendahului GBS akan timbul autoantibodi atau

    imunitas seluler terhadap jaringan saraf perifer.9

    II.5 Patofisiologi

    Manifestasi patologis yang utama adalah demielinisasi segmental saraf

    perifer. Keadaan ini menghalangi transmisi impuls elektris yang normal

    disepanjang radiks saraf sensoris. Karena sindrom ini menyebabkan inflamasi dan

    perubahan degeneratif pada radiks saraf posterior (sensoris) maupun anterior

    (motorik), maka tanda-tanda gangguan sensoris dan motorik akan terjadi secara

    bersamaan.2

    Mekanisme imun seluler dan humoral tampak ikut berperan, lesi inflamasi

    awal akan menyebabkan infiltrasi limfosit dan makrofag pada komponen mielin.

    Pada gambaran dengan mikroskop elektron tampak bahwa makrofag merusak

    selubung mielin. Faktor imun humoral seperti antibodi, antimielin dan

    komplemen ikut berperan dalam proses opsonisasi makrofag pada sel Schwann.

  • 9

    Proses ini dapat diamati baik pada radiks saraf, saraf tepi, dan saraf kranialis.

    Sitokin ikut pula berperan, hal ini ditunjukkan dengan korelasi klinik Tumor

    Necrotic Factor (TNF) dengan beratnya kelainan elektrofisiologik. Respon imun

    pada SGB dipercaya langsung menyerang komponen glikolipid dari aksolemma

    dan selubung mielin. Antibodi pada saraf perifer akan mengaktivasi sistem

    komplemen dan makrofag, sehingga akan muncul sitotoksisitas seluler yang

    tergantung pada antibodi terhadap komponen mielin dan aksolemma. Kerusakan

    selubung mielin akan menyebabkan demielinisasi segmental, yang menyebabkan

    menurunnya kecepatan hantar saraf dan conduction block. SGB tipe aksonal

    disebut pula sebagai Acute Motor Aaxonal Neuropathy (AMAN), yang terutama

    ditandai oleh kerusakan aksonal yang nyata, dan ditunjukkan dengan Compound

    Muscle Action Potential (CMAP) distal yang rendah.3

    Kejadian SGB sering didahului oleh hal-hal berikut: (1) infeksi tractus

    respiratorius atau tractus gastrointestinal (pada2/3 kasus), (2) vaksinasi, (3)

    malignancy, (4) obat-obatan, dan (5) kehamilan. Mekanisme yang mendasari

    munculnya SGB adalah respon abnormal sel T akibat infeksi. Sel T CD4 helper

    berperan banyak, bersama dengan antigen GM1 gangliosida.3

    Temuan histopatologik dominan adalah infiltrasi saraf perifer oleh

    makrofag dan limfosit reaktif, dan demielinisasi segmental. CSS biasanya

    memperlihatkan peningkatan kandungan protein, tetapi reaksi selnya minimal.6

    II.6 Tanda dan Gejala

    Gejala timbul secara progresif dan meliputi:2

  • 10

    1. Kelemahan otot yang simetris (tanda neurologi utama) dan muncul pertama-

    tama pada tungkai (tipe asenden) yang kemudian meluas ke lengan serta

    mengenai nervus fasialis dalam 24 hingga 72 jam akibat terganggunya

    transmisi impuls melalui radiks saraf anterior

    2. Kelemahan otot yang pertama-tama terasa pada lengan (tipe descenden) atau

    terjadi sekaligus pada lengan dan tungkai akibat terganggunya transmisi impuls

    melalui radiks syaraf anterior.

    3. Tidak terdapat kelemahan otot atau hanya mengenai nervus fasialis (pada

    bentuk yang ringan).

    4. Parestesia yang kadang-kadang mendahului kelemahan otot, tetapi akan

    menghilang dengan cepat; keluhan ini terjadi karena terganggunya transmisi

    impuls melalui radiks syaraf dorsalis.

    5. Diplegia yang mungkin disertai oftalmoplegia (paralisis okuler) akibat

    terganggunya transmisi impuls melalui radiks saraf motorik dan terkenanya

    nervus kranialis III,IV, serta VI.

    6. Disfagia atau Disartria dan yang lebih jarang terjadi, kelemahan otot yang

    dipersarafi nervus kranialis XI (nervus aksesorius spinalis)

    7. Hipotonia dan arefleksia akibat terganggunya lengkung refleks.

    Penegakan diagnosa SGB, yaitu secara klinis, berbagai pemeriksaan penunjang

    lain (LP, seroimunologi, dan neurofisiologi) yang dapat membantu dalam

    penegakan diagnosa.

    II.7 Diagnosis

  • 11

    Diagnosis GSB berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis yang spesifik,

    disosiasi sito albuminik dan kelainan elektrofisiologis (EMG).9

    Kriteria klinik yang dipakai secara luas dalam diagnosa SGB adalah kriteria

    Asbury, yaitu sebagai berikut:3

    Kriteria diagnosis

    a. Kriteria yang harus ada

    1. Kelemahan progresif lebih dari 1 anggota gerak

    2. Hiporefleksia atau arefleksia

    b. Menunjang diagnosa

    1. Progresivitas sampai 4 minggu

    2. Relatif simetris

    3. Gangguan sensoris ringan

    4. Katerlibatan saraf kranial (paling sering N VII)

    5. Perbaikan dalam 4 minggu

    6. Disfungsi autonom ringan

    7. Tanpa demam

    8. Protein LCS meningkat setelah 1 minggu

    9. Leukosit LCS

  • 12

    3. Leukosit LCS >50/mm2

    4. Gangguan sensoris berbatas nyata

    d. Mengeksklusikan diagnosa

    1. Gangguan sensoris saja

    2. Terdiagnosa sebagai polineuropati lain

    II.8 Pemeriksaan penunjang

    1. Pemeriksaan laboratorium9

    Gambaran Laboratorium yang paling menonjol adalah peninggian kadar

    protein dalam cairan otak > 0,5 mg % Tanpa diikuti peningkatan jumlah

    sel, Hal ini disebut disosiasi sitoalbuminik. Peninggian kadar protein

    dalam cairan otak dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit, dan

    mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear kurang

    dari 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak

    ditemukan peningkatan jumlah protein dalam sel. Imunoglobulin bisa

    meningkat, bisa timbul hiponatremi pada beberapa penderita yang

    disebabkan oleh SIADH.

    2. Pemeriksaan Elektromiografi9

    Gambaran penderita GBS antara lain 1) Kecepatan hantaran saraf motorik

    dan sensorik melambat, 2) Distal motor latensi memanjang, 3) Kecepatan

    hantaran gelombang F melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen

    proksimal dan radiks saraf.

    II.9 Penatalaksanaan

  • 13

    Penanganan yang pertama bersifat supportif meliputi intubasi endotrakea

    atau trakeotomi jika gangguan pada otot-otot pernapasan membuat pasien sulit

    mengeluarkan dahak.2

    Kaji dan atasi disfungsi pernafasan. Jika otot pernapasan melemah, lakukan

    perekaman kapasitas vitas secara serial. Gunakan respirometer dengan mouthpiece

    atau masker untuk bedside testing.2

    Lakukan pemeriksaan gas darah arteri. Karena penyakit neuromuskular

    menimbulkan hipoventilasi disertai hipoksemia dan hiperkapnia, awasi tekanan

    parsial oksigen arterial (PaO2) yang bila berada dibawah 70 mmHg menandakan

    gagal napas.2 Pilihan terapi farmakologi yang direkomendasikan adalah sebagai

    berikut:3

    Pertukaran plasma (plasma exchange) bermanfaat bila dikerjakan dalam

    waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per

    exchange adalah 40-50 ml/Kg. Dalam waktu 7-14 hari, dilakukan 3-5 kali plasma

    exchange.9

    Pengobatan dengan menggunakan imunoglubulin dapat bermanfaat untuk

    GBS. Dosis imunoglobulin 0,4 gr/kg selama lima hari.9

    Pemakaian kortikosteroid pada GBS masih diragukan manfaatnya, namun

    ada yang berpendapat bahwa pemakaian kortikosteroid pada fase dini mungkin

    bermanfaat.9

    Penggunaan terapi imunoglobulin (Ig) relatif lebih sederhana dan lebih

    mudah dibandingkan dengan plasma exchange. Kajian yang dilakukan oleh Bril,

    dkk (1999) menunjukkan bahwa penggunaan terapi Ig pada pasien SGB sama

  • 14

    efektifnya dengan plasmaparesis, apabila terapi diberikan dalam 2 minggu pasca

    onset penyakit. Persatuan dokter spesialis saraf di Inggris.3

    II.10 Diagnosis Banding

    Diagnosis banding dari GBS adalah poliomielitis, Botulisme, Hysterical

    Paralysis, Neuropati toksik, Diphtheritic paralisi, porfiria intermitten akut,

    Neuropati karena timbal, Mielitis akut.9

    II.11 Prognosis

    Kematian penderita GBS berkisar antara 2%-10% dengan penyebab

    kematian karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru,

    dan emboli paru. Sebagian besar penderita (60 80%) sembuh secara sempurna

    dalam waktu 6 bula, sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan

    dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki.

    Sekitar 3 5 % penderita mengalami relaps.9

    Kajian yang dilakukan oleh Berger dan Pulley, (2000) memperlihatkan

    bahwa prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit, derajat degenerasi

    aksonal, dan umur pasien. Faktor prediktor prognosis yang buruk dalam penelitian

    Lyu dkk, (1997) adalah : (1) usia > 40 tahun, (2) amplitudo CMAP yang rendah,

    dan (3) perlunya ventilasi mekanik. Sebuah penelitian prospektif lain dengan

    waktu follow-up 1 tahun terhadap 79 pasien SGB dilakukan oleh Ress dkk, (1998)

    memperlihatkan bahwa usia tua (>=60 tahun) merupakan faktor prediktor

    prognosis yang buruk untuk tidak tercapainya pemulihan sempurna (p=0.05; odds

    ratio 0.35; 95% CI 0.12-1.00). Penelitian lain oleh Kuwabara dkk, (2001)

    menunjukkan bahwa refleks tendo yang positif merupakan salah satu prediktor

  • 15

    tercapainya pemulihan SGB yang cepat (skala Hughes meningkat 2 skor dalam

    waktu 14 hari) (44% : 9%, p=0,01).3

    BAB III

    KESIMPULAN

    Sindrom Guillain-Barre (poliradikuloneuropati demielinasi inflamatorik

    akut) merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai

    dengan kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan

    cepat menjalar ke otot-otor proksimal. Terjadi demielinasi segmental dan sel-sel

    inflamasi kronik yang mengenai radiks saraf serta saraf perifer. Penyebab GBS

    sampai saat ini belum diketahui penyebabnya dan termasuk kelompok penyakit

    autoimun akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahuluinya. Gejala

    dini yang biasanya dirasakan adalah kelemahan otot yang simetris (tanda

    neurologi utama), parestesia pada kaki dan tangan dengan kelemahan dari lengan.

    Paralisis dari tungkai dahulu dan kemudian disusul dengan kelemahan dari

    lengan. Paralisis dari tungkai dan lengan itu memperlihatkan tanda-tanda LMN.

    Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

    eletromiografi. Pada umumnya pengobatan GBS meliputi plasma exchange,

  • 16

    Imunoglonulin, dan pemakaian kortikosteroid. Pemakaian kortikosteroid masih

    diragukan manfaatnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Ganong William F, Stephen J Mcphee. Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju Kedokteran Klinis edisi 5. Penerbit EGC, Jakarta, 2007.

    2. P. Kowalak Jennifer, William Wels, dkk. Guillan-Barre Sindrome dalam Professional Guide To Pathophysiology. Penerbit EGC, Jakarta, 2011.

    3. Pinzon Rizaldy. Sindrom Guillan-Barre : Kajian Pustaka. Jurnal Kedokteran: Dexa Medica, Jakarta, 2007.

    4. Iskandar Japardi, Sindroma Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Di akses pada

    repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1958/1/bedahiskandar%20japa

    rdi46.pdf.

    5. Robbins, Cotran. Penyakit saraf perifer dalam Dasar Patologis Penyakit. Penerbit EGC, Jakarta, 2010.

    6. Kumar Penyakit Sistem saraf perifer dalam Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7. Penerbit EGC, Jakarta, 2007.

    7. Sherwood Laurale. Fisiologi Neuron dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke sistem. Penerbit EGC, Jakarta 2010.

    8. Mahar Mardjono. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 2009.

    9. Buku Staf medis fungsional neurologis RS pelamonia

  • 17