Referat Gangguan Psikiatri Pada Epilepsi

19
REFERAT Gangguan Psikiatri pada Epilepsi Oleh : Gita Puspitasari (11.2014.147) Pembimbing : Dr. Andri, SpKJ, FAPM FAKULTAS KEDOKTERAN KRISTEN KRIDA WACANA KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JIWA PERIODE : 30 Maret 2015 – 2 Mei 2015 JAKARTA 2015

description

gangguan psikomotor

Transcript of Referat Gangguan Psikiatri Pada Epilepsi

REFERATGangguan Psikiatri pada Epilepsi

Oleh :

Gita Puspitasari (11.2014.147)

Pembimbing :

Dr. Andri, SpKJ, FAPMFAKULTAS KEDOKTERAN KRISTEN KRIDA WACANA

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JIWA

PERIODE : 30 Maret 2015 2 Mei 2015

JAKARTA 2015

KATA PENGANTAR

Puji Syukur ksmi panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Referat Ilmu Kedokteran Jiwa dengan judul Gangguan Psikiatri pada Epilepsi.

Referat ini saya susun sebagai tugas dalam menempuh kepaniteraan klinik, bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Andri, Sp.KJ, FAPM selaku Pembimbing yang telah membimbing dalam pembuatan referat ini.

2. Seluruh staf SMF Ilmu Kedokteran Jiwa, dan berbagai pihak yang telah membantu penyusunan referat ini.

Kami menyadari bahwa dalam referat ini, masih banyak kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan penulisan referat ini. Semoga bisa menjadi bahan informasi dan dapat bermanfaat bagi banyak pihak.Jakarta, 22 April 2015

PenulisDAFTAR ISI

KATAPENGANTAR.2

DAFTAR ISI...........3BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...4

BAB II : PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN.........51. Definisi.............52. Etiologi......6

3. Epidemiologi .........64. Klasifikasi ...................... ............................75. Patofisiologi.....................................................................................................106. Penatalaksanaan......................107. Prognosi .....................11BAB III:PENUTUP.....12DAFTARPUSTAKA..........13BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Psikosis merupakan gejala gangguan mental yang berat dimana seseorang kehilangan kemampuan untuk mengenali realistis atau berhubungan dengan orang lain dan mereka biasanya berprilaku dengan cara yang tidak tepat dan aneh. Psikosis muncul sebagai gejala dari sejumlah gangguan mental, gangguan suasana hati dan lain sebagainya. bentuk gangguan mental yang ditandai dengan adanya diorganisasi kognitif, diorientasi waktu, ruang, orang, serta adanya gangguan dalam emosionalnya. Gejala psikosis yang dapat tejadi seperti ilusi, delusi, halusinasi dan lain sebagainya. Penyakit ini cukup serius sehingga perlu penanganan yang cepat, apabila penanganan tidak dilakukan pada saat yang tepat psikosis akan terjadi dalam kurun waktu yang lama.

Gangguan mental organik didefinisikan sebagai gangguan yang memiliki dasar organik yang patologi yang dapat diidentifikasikan seperti tumor otak, penyakit cerebrovaskular, intosifikasi obat. Gangguan mental organik umumnya terdapat gangguan fungsi kognitif, sensorium, persepsi, isi pikir, serta suasana perasaan dan emosi.

Epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu secara mendadak dan sangat cepat. Secara klinis epilepsi merupakan gangguan paroksismal dimana cetusan neuron neuron di korteks serebri mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. 1BAB II

PEMBAHASAN

Definisi

Epilepsi merupakan kelianan serebral yang di tandai dengan faktor predisposisi menetap untuk mengalami kejang selanjutnya dan terdapat konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial dari kondisi ini. Epilepsi merupakan manisfestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, namun dengan gejala tunggal khas yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron-neuron di otak secara berlebihan dan paroksismal.1Epilepsi adalah salah satu gangguan susunan saraf pusat yang terjadi karena pelepasan neuron pada korteks serebri yang mengakibatkan penuruan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku emosional yang intermiten dan stereotipik. Keadaan ini yang mempengaruhi timbulnya perubahan perilaku pada penderita epilepsi. Pada perubahan perilaku selama dan sesudah kejang, gangguan epileptogenik yang melibatkan fungsi sering berlanjut sampai pada periode postictal dan interictal. Kerusakan fungsi kognitif secara umum mempengaruhi perhatian, memori, kecepatan berpikir, dan bahasa sama seperti pada fungsi sosial dan perilaku. Perubahan perilaku meliputi gangguan mood, depresi, ansietas, dan psikosis. 2Pada pasien epilepsi terjadi kehilangan kesadaran, hal ini disebabkan karena instabilitas dari neuron-neuron pada korteks. Sebelum terjadinya serangan epilepsi, terdapat gejala aura, yaitu penderita merasa pusing, merasa tidak enak pada perut dan punggungnya dalam beberapa detik. Penderita menjadi bingung dan merasakan getaran-getaran dingin, sehingga dia tidak dapat mempersiapkan diri terhadap serangan kejang. Lalu penderita mengalami aura-stupor, yaitu rasa seperti terbius dan tidak berdaya, serta merasakan kelumpuhan atau kekakuan pada sebagian anggota badannya. 2Etiologi

Hampir setengah dari keseluruhan kasus epilepsi bersifat idiopatik yang tidak dapat diketemukan adanya suatu lesi organik di otak. Penyebab utama terjadinya kejang dapat terjadi oleh karena adanya gangguan metabolik seperti hipoglikemia, hipomagnesemmia, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Atau dapat juga oleh karena adanya riwayat trauma serebrovaskular, stroke, penyakit demielinisasi. Epilepsi juga dapat terjadi karena adanya infeksi virus pada wanita hamil, seperti sifilis, toksoplasma virus rubella, virus sitomegalo atau herpes simplek, dapat menimbulkan epilepsi. Disamping itu adanya infeksi pada susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis. Konsumsi alkohol atau narkoba oleh wanita hamil dapat merusak otak janin sehingga dapat menyebabkan epilepsi. Penggunaan konsumsi alkohol secara tiba-tiba pada seorang alkoholik; penghentian secara tiba-tiba obat tertentu seperti obat anti epilepsi; keracunan Karbon Monoksida (CO), timah atau air raksa; injeksi heroin atau kokain, dapat pula menimbulkan epilepsi. 2

Terpaparnya seorang wanita hamil dengan sinar X atau sinar radioaktif lainnya, terutama pada tiga bulan pertama kehamilan, dapat menyebabkan kerusakan otak. Trauma yang menyebabkan cedera otak pada bayi selam proses persalinan maupun trauma kepala yang dialami seseorang pada semua usia dapat menimbulkan epilepsi. 2Epidemiologi

Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50 pasien baru terdiagnosis per 10.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000 kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Data dari WHO menyebutkan bahwa dari banyak studi menunjukkan rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000 penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Meskipun di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi, tapi sebagai suatu negara berkembang yang berpenduduk berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta.1,2

Penilitian epidemiologi tentang insiden dan prevalensi terjadinya psikopatologi diantara serangan kejang masih sedikit. Namun penilitian yang ada memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi problem psikiatri di antara pasine-pasien epilepsi dibandingkan pada pasien tanpa epilepsi.2Klasifikasi

Kejang tonic klonik, serangan ini merupakan yang paling berat. Sewaktu terjadi serangan kesadaran hilang dan penderita mengalami kejang-kejang. Nafasnya terhenti, mulutnya bergetar, dan rahangnya terkatup kuat. Lengan dan kaki terlentang kaku dan kejang-kejang, serta tangannya mengepal. Kemudian penderita terjatuh. Mungkin juga penderita merasa sakit, lalu menangis dan mengerang-erang, kemudian jatuh pingsan, tidak ingat sesuatupun juga. Mukanya menjadi kelam, lalu jadi pucat. Saat serangan terjadi, penderita dapat kehilangan kontrol diri, sehingga dapat kencing atau buang air besar yang tak terkendali, atau menggigit lidahnya.3Dengan masuknya oksigen dalam paruparu, kejang dan kekakuannya menurun. Tangan dan kaki tetap bergerak-gerak tapi mulutnya berbui. Setelah sadar, penderita mengalami kebingungan dan keletihan, dan dapat tertidur. Saat terjaga, penderita mungkin tidak ingat kejadian saat terjadi serangan, meski lidahnya sakit atau mengompol. Penderita yang mengalami kekejangan tesebut memiliki resiko mendapatkan kecelakaan,seperti melikai diri sendiri, menggigit lidahnya hingga putus, atau tenggelam, terluka, atau terbakar.3

Absences (Petit Mal) Biasanya penderita tidak kehilangan kesadarannya. Ia berhenti sebentar, memandang kosong ke depan atau ke lantai, lalu berjalan kembali. Seringkali terdapat gerakan-gerakan pada kening dan alis, atau gerak ritmis pada kelopak mata, dekat telinga, bibir dan hidung. Barang yang sedang dipegannya, dapat terjatuh. Petit mal ini banyak dialami oleh perempuan, terutama mereka yang sedang mengalami periode sekitar pubertas. Elektroensefalogerafi ( EEG) menghasilkan pola karakteristik aktivitas paku dan gelombang (spike and wave) tiga kali perdetik. Pada keadaan yang jarang, epilepsi petitmal dengan onset dewasa dapat ditandai oleh episode psikotik atau delirium yang tiba-tiba dan rekuren yang tampak dan menghilang secara tiba-tiba gejala dapat disertai dengan riwayat terjatuh atau pingsan. 3Kejang parsial diklasifikasikan sebagai sederhana tanpa perubahan kesadaran atau kompleks dengan perubahan kesadaran Sedikit lebih banyak dari setengah semua pasien dengan kejang parsial mengalami kejang parsial kompleks; istilah lain yang digunakan untuk kejang parsial kompleks adalah epilepsi lobus temporalis, kejang psikomotor, dan epilepsi limbik tetapi istilah tersebut bukan merupakan penjelasan situasi klinis yang akurat. 3 Secara umum penggolongan gangguan prilaku yang di temukan pada pasien epilepsi menjadi preiktal, iktal, dan interiktal.41. Preiktal

Pada preiktal aura pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi otonomik seperti rasa penuh di perut, kemerahan, dan perubahan pada pernafasan, dan sensai kognitif seprti deja vu, jamais vu, pikiran dipaksakan, dan keadaan seperti mimpi. Keadaan afektif dirasakan rasa takut, panik, depresi, dan elasi.42. Iktal

Perilaku singkat, kacau, dan tanpa hambatan menandai kejadian iktal. Gejala kognitif meliputi amnesia untuk waktu selama kejang dan periode penyelesaian delirium setelah kejang. Fokus kejang dapat ditemukan di EEG dalam 25 sampai 50% dari semua pasien dengan epilepsi parsial kompleks. Penggunaan elektroda sementara sphenoidal atau anterior dan kurang tidur EEG dapat meningkatkan kemungkinan menemukan suatu kelainan EEG. EEG yang normal Multiple sering diperoleh untuk pasien dengan epilepsi parsial kompleks, sehingga pada EEG normal tidak dapat digunakan untuk mengecualikan diagnosis epilepsi parsial kompleks. 43. Interiktal

a. Gangguan Kepribadian

Kelainan psikiatri yang paling sering dilaporkan pada pasien dengan epilepsi adalah gangguan kepribadian, dan ini sangat mungkin terjadi pada pasien dengan epilepsi lobus temporal. Gambaran yang paling umum adalah perubahan perilaku seksual. Sindrom dalam bentuk lengkap relatif jarang terjadi, bahkan pada mereka dengan kejang parsial kompleks asal lobus temporal. Banyak pasien tidak terpengaruh oleh gangguan kepribadian, yang lainnya menderita berbagai gangguan yang berbeda mencolok dari sindrom klasik. 4

Gejala viskositas kepribadian biasanya paling nyata dalam percakapan pasien, yang kemungkinan akan menjadi lambat, serius, membosankan, bertele-tele, terlalu penuh dengan rincian yang tidak penting, dan sering mendalam. Pendengar dapat tumbuh bosan tapi tidak dapat menemukan cara sopan dan sukses untuk melepaskan diri dari percakapan. Kecenderungan berbicara, sering tercermin dalam tulisan pasien, menghasilkan gejala yang dikenal sebagai hypergraphia, yang beberapa dokter mempertimbangkan hampir patognomonik untuk epilepsi parsial kompleks. 4

Perubahan perilaku seksual dapat dimanifestasikan oleh hypersexuality; penyimpangan dalam minat seksual, seperti fetisisme dan transvestisme, dan, paling sering, hyposexuality. Hyposexuality ini ditandai baik oleh kurangnya minat dalam hal-hal seksual dan dengan gairah seksual berkurang. Beberapa pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks sebelum pubertas mungkin gagal untuk mencapai tingkat normal minat seksual setelah pubertas, meskipun karakteristik ini mungkin tidak mengganggu pasien. Untuk pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks setelah pubertas, perubahan minat seksual mungkin mengganggu dan mengkhawatirkan. 4b. Gejala psikotik

Psikotik interiktal lebih umum daripada psikosis iktal. Skizofrenia-seperti episode interiktal dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi, terutama mereka yang berasal lobus temporal. Diperkirakan 10 persen dari semua pasien dengan epilepsi parsial kompleks memiliki gejala psikotik. Faktor risiko termasuk gejala jenis kelamin wanita, kidal, timbulnya kejang selama masa pubertas, dan lesi sisi kiri. 4

Timbulnya gejala psikotik pada epilepsi adalah variabel. Secara klasik, gejala psikotik muncul pada pasien yang memiliki epilepsi untuk waktu yang lama, dan timbulnya gejala psikotik didahului oleh perkembangan perubahan kepribadian terkait dengan aktivitas otak epilepsi. Gejala yang paling karakteristik dari psikosis adalah halusinasi dan delusi paranoid. Pasien biasanya tetap hangat dan tepat dalam mempengaruhi, berbeda dengan kelainan mempengaruhi sering terlihat pada pasien dengan skizofrenia. Gejala-gejala gangguan berpikir pada pasien dengan epilepsi psikotik paling sering yang melibatkan konseptualisasi dan sifat terperinci, bukan gejala skizofrenia klasik memblokir dan kelonggaran. 4c. Gejala Gangguan suasana hati

Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania, dipandang kurang sering pada epilepsi daripada seperti skizofrenia gejala. Gejala-gejala gangguan mood yang memang terjadi cenderung episodik dan muncul paling sering ketika fokus epilepsi mempengaruhi lobus temporal dari belahan otak dominan. Pentingnya gejala gangguan mood dapat dibuktikan oleh peningkatan kejadian percobaan bunuh diri pada orang dengan epilepsi. 4Patofsiologi

Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate merupakan sub unit dari reseptor nikotinik begitu juga halnya dengan voltage-gate berupa kanal natrium dan kalium. Peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesama neuron.5

Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti GABA yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggung jawab terhadap memori dan proses belajar. Timbulnya serangan kejang adalah kemugkinan adanya ketidakseimbangan antara asetilkolin yanng merupakan neurotransmitter sel-sel otak. Asetilkolin menyebabkan depolarisasi, yang dalam jumlah berlebihan menimbulkan kejang. Sedang GABA menimbulkan hiperpolarissasi, yang sebaliknya akan merendahkan eksitabilitas dan menekan timbulnya kejang. Berbagai kondisi yang mengganggu metabolisme otak seperti penyakit metabolik, racun, beberapa obat dan putus obat, dapat menimbulkan pengaruh yang sama. 5Penatalaksanaan

Obat-obat antiepilepsi lebih dikenal sebagai obat antikonvuksan. Walupun memiliki efek anti kejang juga diduga memiliki aktivitas sebagai psikotropik. Carabamazepin dan valproat memiliki kemampuan antimanik dan mood stabilizer. Mekanisme kerja obat antikonvulsan terbagi menjadi 2 mekanisme penting, yaitu mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epilepton di dalam fokus epilepsi dan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron yang normal akibat pegaruh fokus epilepsi. Mekanisme kerja lain sampai saat ini belum banyak diketauhi secara jelasnya hanya dikatakan bahwa berbagai obat antikonvulsan diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologi otak terutama mempengarui inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja sebagai antikonvulsan.5

Dalam pengobatan pasien epilepsi dengan gangguan psikiatri hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengatasi epilepsinya dengan obat antikonvulsan sepeti carbamazepin, asam valporoat, gabapentin dan lamotigine. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah obat antipsikotik yang menurunkan ambang kejang. Hal ketiga perlu disadari adanay potensi terjadinya interaksi anatara antikonvulsan dan antipsikotik. Biasanya antikonvulsan meningkatkan metabolisme antipsikotik dengan akibat penurunan efek terapinya. Sebaliknya penghentian antikonvulsan dapat mencetuskan peningkatan pada konnsentrasi antipsikotik. 5

Carbamazepin dan Asam valproik mungkin membantu dalam mengendalikan gejala iritabilitas dan meledaknya agresi, karena mereka adalah obat antipsikotik tipikal. Carbamazepin efektif untuk epilepsi parsial terutama epilepsi parsial kompleks, epilepsi umum tonik-klonik, maupun kombinasi kedua jenis epilepsi ini. Mekanisme kerja carbamazepin ini adalah inhibisi kanal Na dan inhibisi Ca. Untuk enghindari efek samping, pemberian perlu di titrasi untuk mencapai kadar terapeutik. Pada pasien dewasa dimulai dengan dosis 100-200 mg atau 2dd 100 mg kemudian 3-7 hari di tingkatkan menjadi 2dd 200 mg. Asam valproat sangat efektif untuk abses, dan epilepsi umum primer. Efek toksis sedian ini adalah gangguan saluran pencernaan dan efek sedasi.5Prognosis

Kebanyakan pasien dengan epilepsi memiliki prognosis baik bila kejang dapat dikontrol dengan antikonvulsan. Sebagian besar pasien tidak mengalami gangguan psikiatri dan hanya terjadi bila megalami kejang yang tidak terkontrol dalan jangka panjang. Untuk masalah perilaku, obat anti konvulsan atau operasi mungkin dapat mengatasi beberapa gejala seperti agresi, tetapi nungkin tidak dapat mencegah munculnya gejala lain seperti psikosis dan perilaku suicidal. 2BAB III

Penutup

Kesimpulan

Ganguan mental organik merupakan gangguan-gangguan yang dikaitkan dengan disfungsi otak secara temporer atau permanen. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang terjadi karena pelepasan neuron pada korteks serebri yang mengakibatkan penuruan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku emosional yang intermiten dan stereotipik. Pada epilepsi dapat timbul perubahan perilaku, perubahan perilaku dapat terjadi selama dan sesudah kejang. Gangguan mental organik merupakan gangguan pada mental yang disebabkan oleh adanya gangguan atau penyakit pada fisik. Umumnya disebabkan oleh adanya gangguan pada otak serta fungsi jaringan-jaringan otak. Hal ini mengakibatkan berkurangnya tau rusaknya fungsi-fungsi kognitif, yaitu antara lain daya ingat, daya pikir daya konsentrasi dan perhatian; juga dapat mempengaruhi emosi.

Biasanya pada epilepsi dengan perubahan prilaku terjadi pada episode postictal dan intertical. Epilepsi juga dapat terjadi kerusakan fungsi kognitif secara umum mempengaruhi perhatian, memmori, kecepatan berpikir dan bahasa sama seperti pada fungsi sosial dan perilaku. Perubahan perilaku meliputi gangguan mood, depresi, ansietas dan psikosis. Epilesi terjadi karena terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik. Timbulnya serangan kejang adalah kemugkinan adanya ketidakseimbangan antara asetilkolin yanng merupakan neurotransmitter sel-sel otak. Asetilkolin menyebabkan depolarisasi, yang dalam jumlah berlebihan menimbulkan kejang. Pengobatak pada gangguan psikosis dengan epilepsi adalah dengan memberikan antikonvulsan kemudian di imbangi dengan pemberian antipsikotik. Daftar Pustaka

1. Ginsberg L. Lecture notes neurology.Edisi 8. Jakarta: Erlangga; 2007.h. 79.2. Kusumarawdhani AAAA. Gangguan mental organik lainnya. Dalam: Elvira SD, Hadisukanti G. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. Jakarta: FKUI; 2013.h. 110-115. 3. Ropper Allan H.,MD, Brown Robert H., MD. Epilepsy and Other Seizure Disorders: Adams and Victors Prinsiples of Neurology. 8th edition . New York: The McGraw-Hill Companies; 2005.h. 271-313.4. Kaplan & sadock. Buku ajar psikiatri klinis. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2010.h. 75. 5. Dewanto G, Riyanto B. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009.h. 74-5. 13