Referat CA

15
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan individu unik yang tidak bisa disamakan dengan orang dewasa, baik dari segi fisik, emosi, pola pikir maupun perlakuan terhadap anak, membutuhkan spesialisasi perlakuan khusus dan emosi yang stabil. Pada anak tertumpu tanggungjawab yang besar sebagai harapan masa depan bangsa. Kebutuhan dasar yang sangat penting bagi seorang anak adalah adanya kasih sayang, perhatian dan dorongan yang harus dipenuhi orangtua. Selain itu, keterlibatan anak dalam pengalaman positif akan menunjang perkembangan mental anak ke arah yang lebih sehat. Banyak cara yang diterapkan orang tua dalam mendidik anak. Ada yang mengutamakan kasih sayang, komunikasi yang baik dan pendekatan yang lebih bersifat afektif. Namun, ada pula yang menggunakan kekerasan sebagai salah satu metode dalam menerapkan kepatuhan dan pendisiplinan anak. Kekerasan terhadap anak dipilih sebagai cara untuk mengubah perilaku anak dan membentuk perilaku yang diharapkan. Kekerasan pada anak disebut juga Child abuse (CA) yaitu suatu tindak kekerasan fisik, emosi, seksual, dan penelantaran yang dilakukan oleh orang tua, paman, bibi dan pihak lain terhadap seorang anak sehingga menyebabkan perlukaan terhadap kondisi fisik dan emosi anak. Secara umum, kekerasan pada anak dapat berupa kekerasan fisik, mental, kekerasan seksual, pedofilia, anak bayi dibuang, aborsi, pernikahan dibawah umur, kasus tenaga kerja dibawah umur, anak-anak yang dipekerjakan sebagai PSK dan kasus perceraian. Semua kasus ini berobjek kepada anak yang tentu saja akan berdampak buruk pada perkembangan dan kepribadian anak Dalam bidang kedokteran sendiri, Child abuse pertama kali dilaporkan pada tahun 1860, di Perancis. Dimana 320 anak meninggal dengan kecurigaan akibat perlakuan yang salah. Hampir 3 juta kasus penganiayaan fisik dan seksual pada anak terjadi pada tahun 1992. Lebih dari 100 anak meninggal setiap tahunnya karena penganiayaan 1

description

karsinoma

Transcript of Referat CA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak merupakan individu unik yang tidak bisa disamakan dengan orang dewasa, baik dari

segi fisik, emosi, pola pikir maupun perlakuan terhadap anak, membutuhkan spesialisasi

perlakuan khusus dan emosi yang stabil. Pada anak tertumpu tanggungjawab yang besar

sebagai harapan masa depan bangsa.

Kebutuhan dasar yang sangat penting bagi seorang anak adalah adanya kasih sayang,

perhatian dan dorongan yang harus dipenuhi orangtua. Selain itu, keterlibatan anak dalam

pengalaman positif akan menunjang perkembangan mental anak ke arah yang lebih sehat.

Banyak cara yang diterapkan orang tua dalam mendidik anak. Ada yang mengutamakan

kasih sayang, komunikasi yang baik dan pendekatan yang lebih bersifat afektif. Namun,

ada pula yang menggunakan kekerasan sebagai salah satu metode dalam menerapkan

kepatuhan dan pendisiplinan anak. Kekerasan terhadap anak dipilih sebagai cara untuk

mengubah perilaku anak dan membentuk perilaku yang diharapkan.

Kekerasan pada anak disebut juga Child abuse (CA) yaitu suatu tindak kekerasan fisik,

emosi, seksual, dan penelantaran yang dilakukan oleh orang tua, paman, bibi dan pihak

lain terhadap seorang anak sehingga menyebabkan perlukaan terhadap kondisi fisik dan

emosi anak. Secara umum, kekerasan pada anak dapat berupa kekerasan fisik, mental,

kekerasan seksual, pedofilia, anak bayi dibuang, aborsi, pernikahan dibawah umur, kasus

tenaga kerja dibawah umur, anak-anak yang dipekerjakan sebagai PSK dan kasus

perceraian. Semua kasus ini berobjek kepada anak yang tentu saja akan berdampak buruk

pada perkembangan dan kepribadian anak

Dalam bidang kedokteran sendiri, Child abuse pertama kali dilaporkan pada tahun 1860,

di Perancis. Dimana 320 anak meninggal dengan kecurigaan akibat perlakuan yang salah.

Hampir 3 juta kasus penganiayaan fisik dan seksual pada anak terjadi pada tahun 1992.

Lebih dari 100 anak meninggal setiap tahunnya karena penganiayaan dan pengabaian.

Untuk penganiayaan seksual, paling sering terjadi pada anak perempuan. Di Indonesia

ditemukan 160 kasus penganiayaan fisik, 72 kasus penganiayaan mental dan 27 kasus

1

penganiayaan seksual. Sedangkan menurut data YKAI didapatkan tahun 1994 tercatat 172

kasus, tahun 1995 meningkat menjadi 421 asus dan tahun 1996 m3njadi 476 kasus.

Kekerasan yang terjadi pada anak tidak hanya terjadi dalam lingkungan keluarga.

Lingkungan rumah dan sekolah adalah lahan subur dan sumber utama terjadinya

kekerasan, karena anak lebih banyak berinteraksi dengan orang tua, pengasuh atau guru.

Kasus kekerasan pada anak adalah kasus yang sangat pelik. Dimana jenis kasusnya

beragam, interpretasi mengenai kekerasan pun masih penuh dengan perdebatan. Sebagian

orang menganggap bahwa kasus kekerasan digunakan sebagai hak otonominya dan

bersifat pribadi sehingga orang lain tidak boleh mengetahuinyakarena termasuk aib yang

harus ditutupi.dengan alasan ini, sehingga banyak kasus kekerasan yang tidak dapat

diungkap.

Setiap negara mempunyai undang-undang yang menjelaskan tanggung jawab legal untuk

melaporkan jika terdapat kecurigaan penganiayaan anak. Kasus ini harus dilaporkan ke

lembaga layanan perlindungan anak. Yang dapat menagadakan pelaporan adalah perawat,

dokter, dokter gigi, dokter anak, psikolog, dan ahli terapi wicara serta guru sekolah. Di

Indonesia, hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang

pasalnya berkaitan dengan jenis dan akibat pencederaan anak. Selain itu, kemunculan UU

no 23 tahun 2002 tentang eprlindungan anak, menjadi secercah cahaya untuk mengurangi

terjadinya Child abuse.

1.2 Batasan Masalah

Dalam referat ini membahas mengenai Child abuse, aspek hukum yang berkaitan dengan

kasus Child abuse dan peran dokter dalam pemeriksaan kasus Child abuse

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan dan pemahaman

mengenai Child abuse, aspek hukum yang mengaturnya dan peran dokter dalam

pemeriksaan kasus Child abuse. Selain itu, juga dalam rangka tugas dalam menjalankan

kepaniteraan klinik di bagian ilmu kedoktera forensik RSUP Dr. M. Djamil Padang.

2

1.4 Metoda Penulisan

Metode penulisan yang dipakai dalam penulisan referat ini berupa tinjauan kepustakaan

yang diambil dari berbagai literatur.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. Child Abuse (Kekerasan Pada Anak)

2.1 Definisi

Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum memberikan definisi ataupun

pengertian atas istilah child abuse and neglect dalam bahasa Indonesia. Beberapa istilah

sempat diajukan namun belum pernah disepakati secara nasional istilah mana yang

disepakati sebagai istilah pengganti child abuse and neglect. Beberapa istilah tersebut

adalah “penganiayaan dan penelantaran anak”, kekerasan terhadap anak, perlakuan salah

terhadap anak atau penyalahgunaan anak.

Kekerasan pada anak (child abuse) merupakan perlakuan dari orang dewasa atau anak

yang usianya lebih tua dengan menggunakan kekuasaan atau otoritasnya, terhadap anak

yang tidak berdaya yang seharusnya berada di bawah tanggung-jawab dan atau

pengasuhnya, yang dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan, bahkan cacat.

Penganiayaan bisa fisik, seksual maupun emosional.

2.2 Insiden

Child abuse pertama kali dilaporkan pada tahun 1860, di Perancis. Dimana 320 anak

meninggal dengan kecurigaan akibat perlakuan yang salah. Hampir 3 juta kasus

penganiayaan fisik dan seksual pada anak terjadi pada tahun 1992. Lebih dari 100 anak

meninggal setiap tahunnya karena penganiayaan dan pengabaian. Untuk penganiayaan

seksual, paling sering terjadi pada anak perempuan. Di Indonesia ditemukan 160 kasus

penganiayaan fisik, 72 kasus penganiayaan mental dan 27 kasus penganiayaan seksual.

Sedangkan menurut data YKAI didapatkan tahun 1994 tercatat 172 kasus, tahun 1995

meningkat menjadi 421 asus dan tahun 1996 m3njadi 476 kasus.

2.3 Klasifikasi

Child abuse and neglect adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun

emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi

lain, yang mengakibatkan cedera/ kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan

anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh-kembang anak, atau martabat anak, yang

dilakukan dalam konteks hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan.

4

Physical abuse terhadap anak adalah kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata

atau pun potensial terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi,

yang layaknya berada dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan

tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.

Orang tua ataupun pengasuh dapat memiliki atau tidak memiliki niat untuk menyakiti

anaknya, atau cedera dapat pula merupakan hasil dari hukuman disiplin yang berlebihan.

Sexual abuse terhadap anak adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia

sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan, atau oleh

karena perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang

melanggar hukum atau pantangan masyarakat.

Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang

dewasa atau anak lain yang baik dari usia ataupun perkembangannya memiliki hubungan

tanggungjawab, kepercayaan atau kekuasaan; aktivitas tersebut ditujukan untuk

memberikan kepuasan bagi orang tersebut.

Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi,

pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada anak

untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan (molestation, fondling),

memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, incest,

perkosaan, dan sodomi.

Emotional abuse terhadap anak adalah meliputi kegagalan penyediaan lingkungan yang

mendukung dan memadai bagi perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang

dapat dijadikan figure primer, sehingga anak dapat berkembang secara stabil dan dengan

pencapaian kemampuan sosial dan emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi

pribadinya dan dalam konteks lingkungannya. Kekerasan emosional dapat juga

merupakan suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan

mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan

sosial. Perbuatan-perbuatan tersebut harus dilakukan dalam kendali orang tua atau orang

lain dalam posisi hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan terhadap si

anak.

2.4 Aspek Hukum

Aspek Hukum Kasus Child Abuse

5

1. Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak(UUPA)

Perlindungan yang diberikan oleh UUPA terhadap anak korban tindak pidana

kekerasan dapat dilihat pada beberapa ketentuan pasal yang terChild Abusetum

dalam UUPA sebagai berikut:

a. Pasal 77

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:

a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami

kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi

sosialnya; atau

b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit

atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

b. Pasal 78

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum,

anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara

ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban

penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza),

anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan

pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5

(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta

rupiah).

c. Pasal 80

1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau

penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh

puluh dua juta rupiah).

2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

6

3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

d. Pasal 81

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling

singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta

rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap

orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,

atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

e. Pasal 82

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk

anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3

(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)

dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2. Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga(PKDRT)

UU PKDRT menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap

perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga(pasal 1 ayat 1)Pelaku pada umumnya adalah suami dan yang

menjadi korban adalah isteri dan atau anak-anaknya.Ketentuan pidana penjara atau

denda baik lamanya waktu penjara dan besar pidana diatur dalam Bab VII pasal 44

sampai pasal 53.

7

a. Pasal 44

1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup rumah

tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00

(lima belas juta rupiah).

2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban

mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama

10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta

rupiah).

3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan

matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami

terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan

untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-

hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda

paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

b. Pasal 45

1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah

tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00

(sembilan juta rupiah).

2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami

terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan

untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-

hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda

paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

c. Pasal 46

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud

pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua betas)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta

8

rupiah).

d. Pasal 47

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya

melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara

paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua

betas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta

rupiah).

e. Pasal 48

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47

mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh

sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya

selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut,

gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak

berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5

(lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda

paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling

banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

f. Pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling

banyak Rp 15.000.000,00 (lima betas juta rupiah), setiap orang yang:

a.    menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

b.    menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).

g. Pasal 50

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan

pidana tambahan berupa:

a.    pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari

korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari

pelaku;

9

b.    penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan

lembaga tertentu.

h. Pasal 51

Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)

merupakan delik aduan.

i. Pasal 52

Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)

merupakan delik aduan.

j. Pasal 53

Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang

dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.

k. Pasal 54

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan

menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain

dalam Undang-undang ini.

l. Pasal 55

Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah

cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu

alat bukti yang sah lainnya.

2.5 Peran Dokter dalam Kasus Child Abuse

Dokter, perawat, dan staf kesehatan lainnya memainkan peran penting dalam sistem

perlindungan anak di setiap komunitas. Peran kunci pemberi layanan kesehatan termasuk

mengidentifikasi dan melaporkan kecurigaan kasus Child Abuse; mendiagnosis dan

melakukan tatalaksana (medis dan psikiatris) bagi anak korban Child Abuse dan

keluarganya; memberikan konsultasi pada CPS menyangkut aspek medis Child Abuse;

berpartisipasi dalam tim konsultan kasus multidisiplin dalam masyarakat; memberikan

kesaksian ahli pada proses pengadilan perlindungan anak; memberikan pendidikan bagi

orangtua mengenai kebutuhan, cara menjaga, dan tatalaksana anak; mengenali dan

memberikan dukungan bagi keluarga yang memiliki faktor risiko Child Abuse;

10

membangun dan melaksanakan program pencegahan primer; dan memberikan pelatihan

bagi tenaga profesional medis dan nonmedis menyangkut aspek medis Child Abuse.

Layanan kesehatan mental adalah PREREQUISITE untuk semua sistem komunitas yang

dibuat untuk mencegah dan menatalaksana Child Abuse. Psikiater, psikolog, pekerja sosial,

dan tenaga profesional kesehatan mental lainnya harus mampu mengenali dan melaporkan

kasus yang dicurigai Child Abuse; melakukan evaluasi yang diperlukan bagi anak korban

Child Abuse dan keluarganya; memberikan terapi pada anak koban Child Abuse dan

keluarganya; memberikan konsultasi klinis pada CPS; memberikan kesaksian ahli pada

proses pengadilan perlindungan anak; menyelenggarakan self-help groups untuk orangtua

yang menjadi pelaku atau memiliki risiko melakukan Child Abuse pada anaknya;

membentuk dan melaksanakan program pencegahan; dan berpartisipasi dalam tim

multidisiplin.

.

11