Referat CA
-
Upload
ayuniputri -
Category
Documents
-
view
20 -
download
5
description
Transcript of Referat CA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak merupakan individu unik yang tidak bisa disamakan dengan orang dewasa, baik dari
segi fisik, emosi, pola pikir maupun perlakuan terhadap anak, membutuhkan spesialisasi
perlakuan khusus dan emosi yang stabil. Pada anak tertumpu tanggungjawab yang besar
sebagai harapan masa depan bangsa.
Kebutuhan dasar yang sangat penting bagi seorang anak adalah adanya kasih sayang,
perhatian dan dorongan yang harus dipenuhi orangtua. Selain itu, keterlibatan anak dalam
pengalaman positif akan menunjang perkembangan mental anak ke arah yang lebih sehat.
Banyak cara yang diterapkan orang tua dalam mendidik anak. Ada yang mengutamakan
kasih sayang, komunikasi yang baik dan pendekatan yang lebih bersifat afektif. Namun,
ada pula yang menggunakan kekerasan sebagai salah satu metode dalam menerapkan
kepatuhan dan pendisiplinan anak. Kekerasan terhadap anak dipilih sebagai cara untuk
mengubah perilaku anak dan membentuk perilaku yang diharapkan.
Kekerasan pada anak disebut juga Child abuse (CA) yaitu suatu tindak kekerasan fisik,
emosi, seksual, dan penelantaran yang dilakukan oleh orang tua, paman, bibi dan pihak
lain terhadap seorang anak sehingga menyebabkan perlukaan terhadap kondisi fisik dan
emosi anak. Secara umum, kekerasan pada anak dapat berupa kekerasan fisik, mental,
kekerasan seksual, pedofilia, anak bayi dibuang, aborsi, pernikahan dibawah umur, kasus
tenaga kerja dibawah umur, anak-anak yang dipekerjakan sebagai PSK dan kasus
perceraian. Semua kasus ini berobjek kepada anak yang tentu saja akan berdampak buruk
pada perkembangan dan kepribadian anak
Dalam bidang kedokteran sendiri, Child abuse pertama kali dilaporkan pada tahun 1860,
di Perancis. Dimana 320 anak meninggal dengan kecurigaan akibat perlakuan yang salah.
Hampir 3 juta kasus penganiayaan fisik dan seksual pada anak terjadi pada tahun 1992.
Lebih dari 100 anak meninggal setiap tahunnya karena penganiayaan dan pengabaian.
Untuk penganiayaan seksual, paling sering terjadi pada anak perempuan. Di Indonesia
ditemukan 160 kasus penganiayaan fisik, 72 kasus penganiayaan mental dan 27 kasus
1
penganiayaan seksual. Sedangkan menurut data YKAI didapatkan tahun 1994 tercatat 172
kasus, tahun 1995 meningkat menjadi 421 asus dan tahun 1996 m3njadi 476 kasus.
Kekerasan yang terjadi pada anak tidak hanya terjadi dalam lingkungan keluarga.
Lingkungan rumah dan sekolah adalah lahan subur dan sumber utama terjadinya
kekerasan, karena anak lebih banyak berinteraksi dengan orang tua, pengasuh atau guru.
Kasus kekerasan pada anak adalah kasus yang sangat pelik. Dimana jenis kasusnya
beragam, interpretasi mengenai kekerasan pun masih penuh dengan perdebatan. Sebagian
orang menganggap bahwa kasus kekerasan digunakan sebagai hak otonominya dan
bersifat pribadi sehingga orang lain tidak boleh mengetahuinyakarena termasuk aib yang
harus ditutupi.dengan alasan ini, sehingga banyak kasus kekerasan yang tidak dapat
diungkap.
Setiap negara mempunyai undang-undang yang menjelaskan tanggung jawab legal untuk
melaporkan jika terdapat kecurigaan penganiayaan anak. Kasus ini harus dilaporkan ke
lembaga layanan perlindungan anak. Yang dapat menagadakan pelaporan adalah perawat,
dokter, dokter gigi, dokter anak, psikolog, dan ahli terapi wicara serta guru sekolah. Di
Indonesia, hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang
pasalnya berkaitan dengan jenis dan akibat pencederaan anak. Selain itu, kemunculan UU
no 23 tahun 2002 tentang eprlindungan anak, menjadi secercah cahaya untuk mengurangi
terjadinya Child abuse.
1.2 Batasan Masalah
Dalam referat ini membahas mengenai Child abuse, aspek hukum yang berkaitan dengan
kasus Child abuse dan peran dokter dalam pemeriksaan kasus Child abuse
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan dan pemahaman
mengenai Child abuse, aspek hukum yang mengaturnya dan peran dokter dalam
pemeriksaan kasus Child abuse. Selain itu, juga dalam rangka tugas dalam menjalankan
kepaniteraan klinik di bagian ilmu kedoktera forensik RSUP Dr. M. Djamil Padang.
2
1.4 Metoda Penulisan
Metode penulisan yang dipakai dalam penulisan referat ini berupa tinjauan kepustakaan
yang diambil dari berbagai literatur.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Child Abuse (Kekerasan Pada Anak)
2.1 Definisi
Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum memberikan definisi ataupun
pengertian atas istilah child abuse and neglect dalam bahasa Indonesia. Beberapa istilah
sempat diajukan namun belum pernah disepakati secara nasional istilah mana yang
disepakati sebagai istilah pengganti child abuse and neglect. Beberapa istilah tersebut
adalah “penganiayaan dan penelantaran anak”, kekerasan terhadap anak, perlakuan salah
terhadap anak atau penyalahgunaan anak.
Kekerasan pada anak (child abuse) merupakan perlakuan dari orang dewasa atau anak
yang usianya lebih tua dengan menggunakan kekuasaan atau otoritasnya, terhadap anak
yang tidak berdaya yang seharusnya berada di bawah tanggung-jawab dan atau
pengasuhnya, yang dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan, bahkan cacat.
Penganiayaan bisa fisik, seksual maupun emosional.
2.2 Insiden
Child abuse pertama kali dilaporkan pada tahun 1860, di Perancis. Dimana 320 anak
meninggal dengan kecurigaan akibat perlakuan yang salah. Hampir 3 juta kasus
penganiayaan fisik dan seksual pada anak terjadi pada tahun 1992. Lebih dari 100 anak
meninggal setiap tahunnya karena penganiayaan dan pengabaian. Untuk penganiayaan
seksual, paling sering terjadi pada anak perempuan. Di Indonesia ditemukan 160 kasus
penganiayaan fisik, 72 kasus penganiayaan mental dan 27 kasus penganiayaan seksual.
Sedangkan menurut data YKAI didapatkan tahun 1994 tercatat 172 kasus, tahun 1995
meningkat menjadi 421 asus dan tahun 1996 m3njadi 476 kasus.
2.3 Klasifikasi
Child abuse and neglect adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun
emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi
lain, yang mengakibatkan cedera/ kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan
anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh-kembang anak, atau martabat anak, yang
dilakukan dalam konteks hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
4
Physical abuse terhadap anak adalah kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata
atau pun potensial terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi,
yang layaknya berada dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan
tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Orang tua ataupun pengasuh dapat memiliki atau tidak memiliki niat untuk menyakiti
anaknya, atau cedera dapat pula merupakan hasil dari hukuman disiplin yang berlebihan.
Sexual abuse terhadap anak adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia
sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan, atau oleh
karena perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang
melanggar hukum atau pantangan masyarakat.
Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang
dewasa atau anak lain yang baik dari usia ataupun perkembangannya memiliki hubungan
tanggungjawab, kepercayaan atau kekuasaan; aktivitas tersebut ditujukan untuk
memberikan kepuasan bagi orang tersebut.
Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi,
pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada anak
untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan (molestation, fondling),
memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, incest,
perkosaan, dan sodomi.
Emotional abuse terhadap anak adalah meliputi kegagalan penyediaan lingkungan yang
mendukung dan memadai bagi perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang
dapat dijadikan figure primer, sehingga anak dapat berkembang secara stabil dan dengan
pencapaian kemampuan sosial dan emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi
pribadinya dan dalam konteks lingkungannya. Kekerasan emosional dapat juga
merupakan suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan
mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan
sosial. Perbuatan-perbuatan tersebut harus dilakukan dalam kendali orang tua atau orang
lain dalam posisi hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan terhadap si
anak.
2.4 Aspek Hukum
Aspek Hukum Kasus Child Abuse
5
1. Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak(UUPA)
Perlindungan yang diberikan oleh UUPA terhadap anak korban tindak pidana
kekerasan dapat dilihat pada beberapa ketentuan pasal yang terChild Abusetum
dalam UUPA sebagai berikut:
a. Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:
a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya; atau
b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit
atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
b. Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara
ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza),
anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan
pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
c. Pasal 80
1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh
puluh dua juta rupiah).
2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
6
3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
d. Pasal 81
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
e. Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2. Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga(PKDRT)
UU PKDRT menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga(pasal 1 ayat 1)Pelaku pada umumnya adalah suami dan yang
menjadi korban adalah isteri dan atau anak-anaknya.Ketentuan pidana penjara atau
denda baik lamanya waktu penjara dan besar pidana diatur dalam Bab VII pasal 44
sampai pasal 53.
7
a. Pasal 44
1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00
(lima belas juta rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).
3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-
hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
b. Pasal 45
1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00
(sembilan juta rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-
hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
c. Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua betas)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta
8
rupiah).
d. Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua
betas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
e. Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya
selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut,
gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak
berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda
paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
f. Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima betas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
g. Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa:
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari
pelaku;
9
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.
h. Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan.
i. Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan.
j. Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
k. Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan
menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang ini.
l. Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu
alat bukti yang sah lainnya.
2.5 Peran Dokter dalam Kasus Child Abuse
Dokter, perawat, dan staf kesehatan lainnya memainkan peran penting dalam sistem
perlindungan anak di setiap komunitas. Peran kunci pemberi layanan kesehatan termasuk
mengidentifikasi dan melaporkan kecurigaan kasus Child Abuse; mendiagnosis dan
melakukan tatalaksana (medis dan psikiatris) bagi anak korban Child Abuse dan
keluarganya; memberikan konsultasi pada CPS menyangkut aspek medis Child Abuse;
berpartisipasi dalam tim konsultan kasus multidisiplin dalam masyarakat; memberikan
kesaksian ahli pada proses pengadilan perlindungan anak; memberikan pendidikan bagi
orangtua mengenai kebutuhan, cara menjaga, dan tatalaksana anak; mengenali dan
memberikan dukungan bagi keluarga yang memiliki faktor risiko Child Abuse;
10
membangun dan melaksanakan program pencegahan primer; dan memberikan pelatihan
bagi tenaga profesional medis dan nonmedis menyangkut aspek medis Child Abuse.
Layanan kesehatan mental adalah PREREQUISITE untuk semua sistem komunitas yang
dibuat untuk mencegah dan menatalaksana Child Abuse. Psikiater, psikolog, pekerja sosial,
dan tenaga profesional kesehatan mental lainnya harus mampu mengenali dan melaporkan
kasus yang dicurigai Child Abuse; melakukan evaluasi yang diperlukan bagi anak korban
Child Abuse dan keluarganya; memberikan terapi pada anak koban Child Abuse dan
keluarganya; memberikan konsultasi klinis pada CPS; memberikan kesaksian ahli pada
proses pengadilan perlindungan anak; menyelenggarakan self-help groups untuk orangtua
yang menjadi pelaku atau memiliki risiko melakukan Child Abuse pada anaknya;
membentuk dan melaksanakan program pencegahan; dan berpartisipasi dalam tim
multidisiplin.
.
11