referat bioetik forensik
Transcript of referat bioetik forensik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi bioetik
Sepanjang perjalanan sejarah dunia Kedokteran, banyak defenisi dan
paham mengenai bioetika yang dilontarkan oleh para ahli etika dari berbagai
belahan dunia. Pendapat pendapat ini dibuat untuk merumuskan suatu pemahaman
bersama tentang apa itu bioetika.
Bioetika berasal dari kata bios yang berati kehidupan dan ethos yang
berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika merupakan studi
interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang
biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa
mendatang. Bioetika mencakup isu-isu sosial, agama, ekonomi, dan hukum
bahkan politik. Bioetika selain membicarakan bidang medis, seperti abortus,
euthanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi butan, dan rekayasa genetik,
membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup
kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan tradisional, lingkungan
kerja, demografi, dan sebagainya. Bioetika memberi perhatian yang besar pula
terhadap penelitian kesehatan pada manusia dan hewan percobaan.
Menurut F. Abel, Bioetika adalah studi interdisipliner tentang masalah-
masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan kedokteran, tidak
hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi
juga memperhitungkan timbulnya masalah pada masa yang akan datang
4
5
2.1.1 Kaidah dasar bioetik
1. Beneficence
Beneficence (tindakan berbuat baik) merupakan positif dari segi tidak
merugikan. Tindakan berbuat baik menuntut kita harus membantu orang lain demi
kepentingan mereka dengan memastikan ia tidak membawa risiko kepada diri
sendiri. Kita mempunyai kewajiban untuk memperhatikan kesejahteraan orang
lain dan menolong mereka dengan batas kerugian diri sendiri. Tahapan dalam
melakukan kebaikan ada empat. Pertama, kondisi dimana orang yang kita bantu
akan mengalami bahaya besar atau risiko kehilangan sesuatu yang penting.
Kedua, adanya pemikiran bahwa saya sanggup melakukan sesuatu yang secara
langsung menyumbangkan untuk mencegah terjadinya kerugian atau kehilangan
bagi orang tersebut. Ketiga, perbuatan saya kemungkinan akan mencegah
terjadinya kerugian atau kehilangan tersebut. Keempat, akan ada manfaat yang
diterima orang tersebut sebagai akibat perbuatan saya. Beneficence terbagi kepada
General beneficence dan Specific beneficence. General beneficence merangkumi
hal-hal seperti melindungi dan mempertahankan hak yang lain, mencegah terjadi
kerugian pada yang lain dan menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada
orang lain. General beneficence adalah berbuat baik kepada siapa pun. Specific
beneficence adalah apabila tindakan baik ditujukan pada orang yang kita kenal,
pasien orang cacat dan sebagainya. Di dalam bioetika, beneficence merangkumi
mengutamakan kepentingan pasien, maksimilasikan akibat-akibat baik dan
memandang pasien tidak hanya menguntungkan dokter.
6
2. Non-Maleficence
Non-maleficence bermaksud tidak merugikan adalah berdasarkan prinsip
Primum non nocere yang bermaksud above all do no harm atau yang terpenting
tidak merugikan. Ini adalah prinsip dasar yang diambil dari tradisi Hipokratik.
Asas non-malificence ialah kita berkewajiban untuk tidak mencelakakan.
Kerugian yang harus dihindar terutama adalah kerugian fisik atau bisa meliputi
juga kerugian terhadap kepentingan seseorang. Metode tradisional untuk
memeriksa boleh tidak adanya resiko atau efek-efek yang merugikan adalah
prinsip double effect. Prinsip double effect ini harus memenuhi empat syarat.
Pertama, apa yang mau kita lakukan tidak boleh bersifat tidak baik dari segi
moral. Kedua, kerugian yang sedang kita pertimbangkan itu tidak boleh menjadi
sarana untuk mencapai efek yang baik. Ketiga, efek yang tidak baik atau
merugikan itu tidak boleh dimaksudkan. Dan yang keempat, harus ada alasan
proposional untuk melakukan perbuatannya, bagaimanapun akibat perbuatan itu.
Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal seperti pasien dalam
keadaan sangat darurat atau beresiko hilangnya sesuatu yang penting, dokter
sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut, tindakan dokter tadi efektif,
dan bermanfaat bagi pasien lebih banyak daripada kerugian dokter.
3. Autonomy
Autonomy atau self-determination adalah suatu bentuk kebebasan
bertindak, di mana seseorang mengambil keputusan sesuai dengan rencana yang
ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan atau campur tangan pihak luar.
Terdapat dua unsur autonomy, yang pertama adalah kemampuan untuk
mengambil keputusan tentang suatu rencana bertindak yang tertentu. Yang kedua,
7
harus mampu untuk mewujudkan rencananya menjadi kenyataan. Autonomy
menuntut bahwa kita sendiri menentukan siapakah kita ini dan bersedia untuk
bertanggungjawab atas pilihan itu. Autonomy seorang pasien ialah pasien sebagai
manusia yang berakal budi tidak boleh dijadikan semata-mata alat tetapi tujuan.
Prinsip autonomy adalah dasar dari doktrin informed consent. Tindakan medis
terhadap pasien harus mendapat persetujuan dari pasien dulu, setelah diberi
informasi dan penerangan.
4. Justice
Justice bermaksud keadilan. Keadilaan adalah pembagian manfaat dan
beban, serta pembagian barang dan jasa menurut standar yang adil. Justice adalah
memberi perlakuan yang sama untuk setiap orang. Memberi sumbangan relatif
terhadap kebahagiaan diukur dari kebutuhan mereka. Menurut pengorbanan relatif
sama, diukur dengan kemampuan mereka. Terdapat dua jenis keadilan, keadilan
komparatif dan distributif. Keadilan komparatif adalah apa yang diterima oleh
satu orang atau grup ditentukan dengan membandingkan orang atau grup lain
yang juga berhak berdasarkan kebutuhan. Keadilan distributiv adalah kebajikan
membagikan dengan cara merata secara material kepada setiap orang andil yang
sama, setiap orang sesuai dengan kebutuhannya, setiap orang sesuai upayanya,
sesuai kontribusinya jasanya. Kasus-kasus yang sejenis harus diperlakukan
dengan cara sejenis dan kasus-kasus yang tidak sejenis boleh diperlakukan dengan
cara tidak sejenis.
Perbedaan etik dan norma-norma budaya harus dipertimbangkan.
Meskipun prinsip prinsip etik tentang beneficence, non maleficence, autonomy
dan justice dapat diterima di seluruh budaya, tetapi prioritas prinsip-prinsip
8
tersebut dapat bervariasi antara kebudayaan yang berbeda. Di Amerika Serikat
sebagian besar penekanan pada otonomi individual. Di Eropa lebih menekankan
pada penyedia layanan kesehatan otonomi yang menjadi tugas mereka dalam
mengambil keputusan bila timbul masalah. Sedangkan di Asia keputusan
kelompok masyarakat mendominasi keputusan yang diambil.
2.2 Resusitasi Jantung Paru (RJP)
2.2.1 Definisi
Resusitasi atau reanimasi mempunyai arti harfiah menghidupkan kembali,
dimaksudkan sebagai sebuah prosedur medis yang bertujuan mengembalikan
fungsi dari sistem kardiovaskular dan atau sistem respirasi pada seseorang yang
sedang mengalami episode henti jantung atau paru berlanjut menjadi kematian
biologis, lebih dikenal dengan nama resusitasi jantung paru (RJP).6
Henti jantung merupakan kegagalan mendadak dari jantung untuk
mempertahankan sirkulasi yang adekuat. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrilasi
ventrikel, asystole, atau ketiadaan aktivitas kelistrikan jantung. Penting untuk
mengetahui bahwa apakah tindakan RJP akan memberikan pengaruh pada kondisi
pasien atau tidak, karena jika memberikan pengaruh yang efektif maka harus
dilaksankan dengan secepatnya dan akan lebih baik jika dilakukan kurang dari 3
menit setelah henti jantung terjadi.7
RJP merupakan salah satu bentuk intervensi medis yang memerlukan
perhatian yang lebih. RJP terdiri dari beberapa teknik yang dirancang untuk
memperbaiki sirkulasi dan respirasi pada kejadian henti jantung atau paru. RJP
merupakan serangkaian prosedur medis yang dirancang untuk mengembalikan
9
fungsi pernapasan dan sirkulasi pada seseorang yang mengalami henti napas,
hilangnya denyut jantung, atau kehilangan kedua fungsi tersebut.2
RJP bentuk yang paling sederhana adalah dari mulut ke mulut dan
insuflasi kompresi dada, hal ini diajarkan kepada orang-orang untuk digunakan
dalam situasi darurat. Defibrillator eksternal otomatis (AED) sekarang tersedia
untuk digunakan oleh orang awam. Di rumah sakit, RJP biasanya dilakukan oleh
tim terlatih yang bertugas untuk panggilan darurat. Teknik RJP meliputi kompresi
dada tertutup, intubasi dengan ventilasi, elektrokonversi aritmia, dan penggunaan
obat-obatan kardiotonik dan vasopresin.2,4
The Joint Commision on Accreditation of Health Care Organizations
mengharuskan rumah sakit memiliki kebijakan resmi mengenai RJP. Biasanya,
kebijakan tersebut mengharuskan RJP menjadi urutan tetap, yaitu RJP akan
dilakukan pada setiap pasien yang menderita serangan jantung atau pernapasan
tanpa perintah tertulis yang biasanya diperlukan untuk mengotorisasi prosedur
rumah sakit. Kebijakan itu mengharuskan suatu perintah tertulis untuk
mengotorisasi kelalaian RJP untuk pasien tertentu. Dengan demikian, dokter bisa
tidak melakukan RJP ketika ada pernyataan tertentu bahwa itu harus tidak
dilakukan. Pernyataan ini disebut do not resuscitate (DNR) atau do not attempt
resuscitation (DNAR) dan sering ditetapkan sebagai no code. Kelalaian RJP
setelah menilai cardiopulmonary akan mengakibatkan kematian pasien.
10
2.2.2 Indikasi dilakukan RJP
a. Henti Napas
Penyebab dari henti napas primer (respiratory arrest) dapat berupa banyak
hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik,
tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglottis, tercekik
(suffocation), trauma dan lain-lain. Jika henti napas mendapatkan
pertolongan segera maka pasien akan terselamatkan hidupnya dan
sebaliknya jika terlambat akan berakibat henti jantung.
b. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) merupakan ketidaksanggupan curah
jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya
secara mendadak dan dapat kembali normal, jika dilakukan tindakan yang
tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung
ditandai dengan denyut nadi besar tak teraba, sianosis atau pucat sekali,
pernapasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil dan tidak bereaksi
terhadap rangsang cahaya, dan pasien tidak sadar.
2.2.3 Kontraindikasi dilakukannya RJP
1. Fraktur Kosta, trauma thorax
2. Pneumothorax, Emphysema berat
3. Cardiac tamponade
4. Cardiac arrest lebih dari 5-6 menit
11
5. Keadaan terminal penyakit yang tidak dapat disembuhkan, misalnya Gagal
Ginjal Kronis.
2.2.4 Penghentian RJP
1. Jika penderita sudah tidak memberikan respon yang stabil.
2. Pupil dilatasi maksimal
3. Tidak ada respon spontan setelah RJP selama 15-30 menit
4. Gambaran EKG sudah flat
2.3 Do Not Resuscitate (DNR)
Keputusan untuk menulis perintah DNR harus didasarkan pada dua
pertimbangan penting. Yang pertama adalah penilaian bahwa RJP akan sangat
tidak mungkin untuk berhasil dalam memulihkan irama jantung kembali ke
normal. Kedua didasarkan pada preferensi pasien, Seperti yang diungkapkan oleh
salah satu pasien atau pengganti. Preferensi pasien seringkali mencerminkan
penilaian mereka sendiri terhadap kualitas hidup senidiri. Kedua aspek harus
dinilai dalam setiap keputusan untuk menulis perintah DNR.
1. Indikasi dan kontraindikasi medis untuk DNR
Semua orang yang menderita henti kardiorespirasi tak terduga harus
dilakukan RJP, kecuali:
A. Pasien memiliki perintah DNR.
B. Ada bukti yang meyakinkan bahwa pasien sudah mati, seperti rigor
mortis, pemenggalan kepala, atau sianosis
12
C. Tidak ada manfaat fisiologis yang dapat diharapkan karena fungsi vital
telah memburuk meskipun telah diberikan terapi maksimal untuk
kondisi seperti syok kardiogenik.
2. Permintaan DNR sepihak
Hal ini didapatkan dari persetujuan dari pasien atau wali pasien untuk
tidak dilakukan RJP. Namun, ahli etika medis memberikan beberapa pertanyaan,
apakah pernah secara etis dapat diterima oleh seorang dokter untuk membuat
keputusan sepihak, yaitu keputusan untuk tidak melakukan resusitasi tanpa
persetujuan dari pasien atau wali pasien, bahkan mungkin dalam menghadapi
keberatan dari pasien atau pengganti. Mereka yang mendukung keputusan sepihak
berpendapat bahwa penilaian medis untuk tidak melakukan RJP bukan indikasi
medis ketika akan probabilistic yang sia-sia. Dalam kasus seperti itu, mereka
berpendapat, tidak harus ditawarkan sebagai pilihan klinis yang wajar. Mereka
yang menolak keputusan sepihak mempertahankan bahwa pasien harus selalu
memiliki hak untuk menolak atau memilih RJP, Karena keputusan tentang tujuan
pengobatan, dan kemungkinan diterima untuk mencapai tujuan tersebut adalah
pertimbangan nilai yang hanya dapat dibuat oleh pasien tersebut. Tergantung pada
tujuan bahkan kesempatan terkecil untuk kesuksesan resusitasi kepada pasien.
para kritikus juga mencatat bahwa ada kekurangan kesepakatan tentang apa yang
dimaksud dengan "sia-sia" dan bahwa dokter tidak konsisten dalam aplikasi
mereka dalam konsep kesia-siaan. Akhirnya, mereka juga memperingatkan bahwa
keputusan sepihak terbuka bagi minoritas biasa terhadap resiko ras dan pasien lain
yang mungkin mengalami diskriminasi.
13
3. Dokumentasi permintaan DNR
Dokter harus jelas menulis dan menandatangani perintah DNR dalam
grafik pasien. Catatan kemajuan harus mencakup fakta-fakta medis dan pendapat
yang mendasari tatanan dan ringkasan dari diskusi dengan pasien, konsultan, staf,
dan keluarga. Status permintaan harus diubah jika diperlukan karena kondisi
pasien. Semua orang yang terlibat dengan perawatan pasien harus diberitahu
tentang permintaan DNR dan dasar pemikirannya. karena penelitian telah
menunjukkan bahwa DNR berarti hal yang berbeda untuk praktisi yang berbeda,
dokter menulis permintaan harus berhati-hati untuk mendokumentasikan
persyaratan spesifik dari permintaan. Keputusan untuk menahan atau menarik
intervensi selain DNR harus dicatat dengan penulisan perintah khusus bukan
menggunakan urutan DNR untuk menutupi berbagai keputusan. Penulisan
permintaan DNR seharusnya tidak memiliki bantalan langsung pada setiap
pengobatan selain RJP. Dokter harus ingat bahwa banyak pasien untuk
permintaan DNR bertahan untuk menunggu surat persetujuan permintaan pasien
dikeluarkan dari rumah sakit. Jika pasien diterima kembali, Permintaan DNR yang
ada di grafik pasien dari pengakuan sebelumnya harus ditinjau bersama pasien
dan pengganti dan dalam indikasi medis yang jelas.
Jika perintah DNR belum ditulis, pasien dianggap menjadi "kode penuh".
umum, petugas rumah dan perawat yang ingin mengetahui kode status pasien
sakit parah atau dengan pengganti, terutama jika pengakuan pasien yang tiba-tiba
dan tak terduga. jika pasien untuk siapa kode status belum ditentukan menderita
serangan jantung, upaya pernafasan yang wajar harus berlaku, kecuali dalam
sebuah contoh dari kesia-siaan fisiologis yang jelas.
14
4. Portabilitas DNR
Pasien untuk permintaan DNR telah ditulis di rumah sakit mungkin debit
dengan harapan bahwa mereka akan segera mati. Dan pasien ingin mati di rumah
sendiri daripada di rumah sakit. Anggota keluarga terkadang memanggil bantuan
darurat jika pasien mengalami kondisi krisis di rumah. Di Amerika Serikat,
paramedis yang datang ke rumah pasien untuk memberikan resusitasi biasanya
tidak menanyakan perihal adanya advance directive yang dimiliki pasien, dan
kemudian memberikan resusitasi tanda mempertimbangkan keinginan pasien.
Seiring dengan perkembangan waktu, dikembangkanlah cara-cara untuk
melindungi pilihan individual pasien yang sudah dibuat sebelumnya, yakni untuk
tidak menerima resusitasi. Metode ini disebut sebagai portable DNR. Metode ini
berupa benda-benda yang sudah dibentuk secara standar seperti gelang, kalung
ataupun kartu yang dapat disimpan pada dompet pasien untuk menandakan bahwa
pasien memiliki permintaan tertentu yang berkaitan dengan aspek medis terhadap
dirinya. Bagi pasien yang memiliki benda-benda yang seperti yang tersebut diatas,
maka petugas paramedic yang dtaang tidak diperkenankan melakukan RJP jika
diperlukan, meskipun perawatan dan pengobatan lainnya dapat dilakukan.
5. Partial codes dan slow codes
Istilah slow codes diartikan sebagai tindakan RJP yang dilakukan dengan
tenaga yang tidak maksimal pada pasien dengan henti jantung atau henti paru
dengan tujuan memperlihatkan pada keluarga bahwa ada yang dilakukan untuk
menstabilkan kondisi pasien. Tindakan ini biasa dilakukan pada 2 kondisi, yakni:
15
1. Ketika RJP dipertimbangkan sebagai tindakan yang sia-sia jika dilakukan
pada pasien dengan kondisi tertentu, namun belum ada diskusi tentang
keadaan pasien dengan keluarga ataupun pasien sendiri.
2. Ketika keluarga meminta dilakukan resusitasi terhadap pasien, namun
tindakan tersebut sudah tidak memberikan pengaruh yang berarti untuk
perbaikan kondisi pasien.
Slow codes adalah tindakan yang dimanipulatif dan tidak bermoral, karena
menurut penelitian klinis pasien sangat jarang dapat sukses diresusitasi dengan
menggunakan tindakan ini.
Partial codes merupakan tindakan resusitasi yang dilakukan dengan
memilah-milah. Misalnya melakukan kompresi dada, membantu pernapasan
dengan ambu bag dan memberikan obat-obatan kardiotonik, namun tidak
melakukan intubasi. Tindakan ini tidak disarankan untuk dilakukan. Hal ini
dikarenakan RJP harus dilakukan sebagai suatu tindakan yang sudah terintegrasi
dan tersusun.
6. Tipe permintaan DNR
Keberagaman pasien, penyakit, dan pengobatan membuat perintah DNR
harus dilakukan penyesuaian sewaktu-waktu. Beberapa contoh pelayanan DNR
yang biasa dilakukan:
DNR pada perawatan
Jenis perintah DNR tipe ini dilakukan langsung ketika pasien
melakukan permintaan. Meliputi pelayanan kesehatan sebelum dan
setelah terjadinya henti jantung ataupun henti paru, termasuk tidak
16
diberikannya obat-obatan resusitasi pada saat akan terjadi henti jantung
atau henti paru. Permintaan ini biasanya diminta oleh pasien dengan
penyakit yang tidak bisa disembuhkan, harapan hidup yang kecil,
kemungkinan bertahan dari RJP yang sedikit, dan keinginan untuk
membiarkan terjadinya kematian secara alami tanpa diberikan
intervensi.
DNR pada henti kardiorespirasi
Jenis DNR ini diberlakukan ketika pasien mengalami henti jantung
atau henti paru. Obat-obat resusitasi masih diberikan pada saat
sebelum terjadinya henti jantung ataupun henti paru, namun tidak saat
kedua kondisi ini terlah terjadi pada pasien. Tipe DNR ini adalah DNR
yang paling sering ditemui sebagai permintaan oleh pasien dan
ditemukan pada rekam medis pasien.
DNR spesifik
Tipe DNR spesifik adalah tipe DNR yang jelas menyebutkan
permintaan dari pasien. Tindakan resusitasi apa yang tidak diinginkan
pasien, waktu yang bagaimana tidak dilakukan lagi resusitasi,
terangkum dalam permintaan DNR tipe ini. Permintaan DNR ini
biasanya tidak bersifat portable dan hanya bisa dilakukan pada rumah
sakit yang memang menjadi tempat pasien biasa mendapatkan
pelayanan medis.
17
2.3.1 Kriteria Pasien Kompeten dan tidak kompeten mengambil keputusan DNR
Kriteria pasien kompeten
1. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa yang telah berusia lebih dari
18 tahun, yang memikili kapasitas yang adekuat untuk membuat keputusan
dan memiliki kesadaran untuk menanggung resiko dari keputusan yang
dibuat.
2. Pasien yang kompeten telah dengan sadar membuat keputusan untuk
melakukan DNR setelah mendengarkan penjelasan tentang segala hal yang
berhubungan dengan tindakan tersebut dan konsekuensinya. Jika terdapat
keraguan, maka pasien dapat berkonsultasi dengan komite etik rumah
sakit.
3. Jika pasien memang kompeten untuk mengambil keputusan tersebut maka
persetujuan keluarga, petugas medis, atau pengambilan keputusan lainnya
tidak dibutuhkan untuk mensahkan keputusan. Adanya ketidaksetujuan
dari keluarga tidak bisa membatalkan keputusan yang diambi9l oleh
pasien yang kompeten.
Kriteria pasien tidak kompeten
1. Seorang pasien yang tidak kompeten adalah pasien yang berusia dibawah
18 tahun, dan atau memiliki retardasi mental sehingga tidak dapat
memutuskan atau mempertanggungjawabkan keoutusan yang diambil
seputar DNR.
2. Ketika menangani pasien yang tidak berkompeten, seorang dokter perlu
memikirkan keputusan medis seperti apa yang sekiranya tidak akan efektif
18
jika diberikan untuk mengantisipasi adanya keinginan pasien membuat
pernyataan DNR.
3. Pada pasien yang tidak kompeten, yang lebih penting untuk dipikirkan
oleh seorang dokter adalah bahwa tindakan permintaan DNR tidak dapat
disetujui oleh dokter yang merawat. Dikarenakan hal tersebut, dokter
harus berdiskusi dengan keluarga pasien untuk mengambil keputusan yang
menyangkut keinginan pasien.
4. Jika pasien mengikuti suatu asuransi, maka dokter yang merawat harus
mengikuti keputusan yang sudah dimiliki oleh asuransi tempat pasien ikut.
Dokter yang merawat perlu mendiskusikan keaadaan pasien dengan dokter
perusahaan yang dimiliki oleh pihak asuransi pasien.
5. Jika pasien memiliki pelindung yang ditunjuk, dokter harus mengikuti
keputusan yang diambil oleh pelindung pasien. Dokter harus
mendiskusikan keadaanpasien dengan pelindung yang memiliki otoritas
terhadap perawatan medis pasien. Dokumen yang berhubungan dengan
hubungan pasien dan pelindung harus disertakan dlaam rekam medis
pasien.
6. Seorang dokter tidak dibenarkan secara etik untuk mempertahankan atau
mengambil keputusan terhadap intervensi yang menyangkut pilihan hidup
pasien. Jika pandangan dokter secara medis berbeda dengan pihak pasien
maka keluarga, wali yang ditunjuk, ataupun pelindung pasien berhak
mencari pandangan lain tentang keadaan pasien pada dokter lainnya. Jika
hal ini terjadi, maka dokter yang merawat pasien harus memberikan
19
tanggung jawab merawat pasien pada dokter yang dipercaya oleh keluarga
untuk merawat pasien.
2.3.2 Advance Directive
Advance directive atau petunjuk perawatan mendatang adalah suatu
dokumen sah secara hukum, yang ditulis sebelum pasien menderita penyakit yang
bersifat incapacitating, pernyataan ekspresi dari pikiran pasien, tentang
kepeduliannya terhadap keinginan, atau preferensi pada akhir kehidupan. Petunjuk
ini meleluasakan pasien untuk menyatakan preferensinya mengenai perawatan
medis. Terdiri dari dua jenis dokumen yaitu:
Living will
Living Will atau surat wasiat yang menginstruksikan dokter yang
merawat pasien tersebut untuk tidak memberikan pengobatan untuk
memperpanjang hidup jika pasien menderita penyakit yang bersifat
terminal condition atau permanently unconscious. Dalam surat wasiat
ini juga harus dituliskan apabila pasien tidak menginginkan perawatan
seperti pemberian makanan atau minuman melalui alat bantuan.
Durable Power of Attorney for Health care.
Durable Power of Attorney for Health Care atau surat kuasa tanpa waktu tertentu
untuk perawatan kesehatan adalah dokumen yang memberikan wewenang pada
orang yang pasien tunjuk untuk bertindak sebagai wakil pasien untuk membuat
keputusan medis bagi pasien jika dirinya menjadi tidak mampu melakukannya
sendiri. pasien dapat menyertakan petunjuk tentang perawatan apa yang
diinginkan atau tidak diinginkan, berapa lama pasien ingin mencoba pengobatan
20
yang memungkinkan kesembuhan dalam dokumen ini. Adapun urutan prioritas
pembuat keputusan untuk wali yang ditunjuk adalah sebagai berikut:
(1) pasangannya, (2) anak dewasa, (3) orang tua, (4) saudara kandung, (5) orang
yang dipilih pasien sebagai wali pengganti apabila pasien nanti dalam keadaan
inkapasitas dan (6) perawat kesehatan yang profesional yang ditunjuk oleh
hukum. Pengganti atau wali/pengampu harus membuat keputusan yang sesuai
dengan keinginan pasien pada saat pasien tidak mempunyai kapasitas dalam
mengambil keputusan. Jika keinginan pasien tidak diketahui maka keputusan yang
diambil harus berdasarkan kepentingan yang terbaik untuk pasien.
Dokumen-dokumen ini dapat diubah sewaktu-waktu isinya atas
sekehendak pasien. Perbedaan dari kedua jenis dokumen ini adalah, surat wasiat
berlaku apabila pasien sudah tidak memiliki harapan untuk hidup, sedangkan surat
kuasa tanpa waktu tertentu untuk perawatan kesehatan berlaku bilamana pasien
menjadi tidak mampu untuk membuat keputusan – misalnya, sewaktu operasi,
atau bahkan bila pasien dalam keadaan tidak sadar sementara. Dokumen-dokumen
ini dapat dicabut atau dibatalkan oleh pasien secara lisan atau tertulis setiap saat.
Beberapa hal yang memepengaruhi dokumen-dokumen ini seperti perceraian yang
membuat perwalian pengambilan hak keputusan medis menjadi berakhir jika yang
menjadi wali adalah pasangan dari pasien dan pasien belum mencantumkan nama
alternative di dalam dokumen milik pasien. Salinan dari dokumen-dokumen ini
dimiliki oleh dokter, rumah sakit, keluarga dan orang yang dipilih oeh pasien
unutk menjadi walinya dalam mengambil keputusan medis, atau disimpan pada
tempat perawatan jangka panjang, misalnya panti jompo.
21
2.3.3 Konflik yang terjadi antara permintaan DNR dan Advance directive
Konflik yang terjadi antara permintaan DNR dan keinginan pasien yang
tertuang di dalam Advance directive yang harus diikuti ketika seseorang menjadi
tidakefektif dalam berkomunikasi, berada dalam keadaan sekarat, atau penurunan
kesadaran yang berkelanjutan, maka instruksi yang harus diikuti secara bertahap:
1. Living will yang dimiliki oleh orang yang secara permanen mengalami
penurunan kesadaran
2. Durable Power of Attorney for Health care yang telah dimiliki pasien
3. Permintaan DNR