REFERAT ANASTESI
description
Transcript of REFERAT ANASTESI
HIPERTERMIA MALIGNA
REFERAT
Disusun oleh : Ervina (07120110011)
Pembimbing : dr. Eka Purwanto, Sp. AN
Kelompok : 71
KEPANITRAAN KLINIK ILMU ANASTESIOLOGI
RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 13 JULI – 15 AGUSTUS 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................1
BAB I.............................................................................................................................2
PENDAHULUAN.........................................................................................................2
BAB II............................................................................................................................3
HIPERTERMIA MALIGNA.........................................................................................3
2.1 Definisi................................................................................................................3
2.2 Epidemiologi.......................................................................................................4
2.3 Patofisiologi........................................................................................................4
2.4 Manifestasi Klinis...............................................................................................6
2.5 Diagnosis.............................................................................................................9
2.5.1 Diagnosis Klinis.........................................................................................9
2.5.2 Diagnosis Laboratorium...........................................................................12
2.6 Tatalaksana........................................................................................................14
2.6.1 Tatalaksana Anastesi................................................................................14
2.6.2 Tatalaksana Krisis Hipertermia Maligna.................................................16
2.6.3 Tatalaksana Post Krisis Hipertermia Maligna.........................................21
2.7 Pencegahan........................................................................................................21
BAB III........................................................................................................................23
KESIMPULAN............................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................25
1
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertermia maligna atau malignant hyperthermia adalah suatu kondisi yang
sangat jarang terjadi, namun sangat berbahaya dan mengancam nyawa, yang
biasanya dipicu oleh paparan obat-obatan tertentu yang biasanya dipakai untuk
anastesi umum.1 Obat-obat pencetus hipertensi maligna biasanya merupakan agen
anastesi volatil, seperti halotan, isofluran, enfluran, dan lain-lain, serta agen
pemblokir neuromuskuler, seperti succinylcholine. Hipertermi maligna merupakan
penyakit genetik yang diwariskan dalam keluarga. Hipertermi maligna dapat
terjadi segera setelah paparan obat-obat anastesi atau beberapa menit bahkan
sampai beberapa jam setelah paparan. Serangan atau krisis hipertermia maligna
ditandai dengan timbulnya gejala-gejala, yaitu meningkatnya kekakuan otot,
peningkatan suhu tubuh, takikardia, dan asidosis.
Hipertermia maligna merupakan suatu penyakit silent disease. Oleh karena itu,
seringkali tidak dapat didiagnosis atau misdiagnosed. Tingkat mortalitas akibat
hipertermia maligna berkisar sekitar >80% apabila tidak ditangani dengan segera.
Namun, tingkat mortalitas akibat hipertermia maligna jika dilakukan penanganan
segera hanya sekitar 10%. Dari perbedaan tingkat mortalitas tersebut, maka sangat
penting bagi kita untuk dapat menegakkan diagnosis hipertermia maligna dengan
cepat, serta mengetahui dengan pasti bagaimana tatalaksana hipertermia maligna.
2
BAB II
HIPERTERMIA MALIGNA
2.1 Definisi
Hipertermia maligna, atau yang dikenal juga dengan nama malignant
hyperpyrexia atau hyperthermia of anesthesia, adalah suatu kondisi mengancam
jiwa yang timbul akibat peningkatan konsumsi dari energi tubuh setelah paparan
obat anastesi. Hipertermia maligna merupakan suatu kelainan genetik yang
melibatkan otot skeletal.1 Oleh karena itu, untuk menyingkirkan risiko terjadinya
hipertemia maligna, sebelum operasi dapat ditanyakan apakah ada riwayat pasien
atau keluarga pasien yang mengalami demam tinggi atau meninggal setelah
anastesi umum. Pasien yang memiliki riwayat tersebut dapat dikelompokkan ke
dalam pasien susceptible terhadap hipertermia maligna dan dapat dianjurkan
supaya menggunakan gelang medis untuk menghindari diberikannya obat-obat
anastesi pemicu krisis hipertermia maligna.
Hipertermia maligna termasuk ke dalam penyakit autosomal dominan, artinya
penyakit ini dapat timbul meskipun hanya ada satu gen yang cacat dari salah satu
orang tua. Terdapat 6 lokus genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini, dan
lokus genetik yang paling sering menimbulkan penyakit ini adalah mutasi lengan
panjang kromosom 19, yaitu gen reseptor Ryanodine (RYR1).1 Gen ini penting
dalam proses membukanya protein yang membantu proses perjalanan ion kalsium
(Ca2+).
Gambar 1. Mutasi gen reseptor Ryanodine (RYR1)
3
2.2 Epidemiologi
Insiden dari episode serangan hipertermia atau krisis hipertermia maligna adalah
1 : 15,000 pada anak-anak dan 1 : 40,000 pada orang dewasa.2 Sekitar 50% dari
pasien yang mengalami krisis hipertensi maligna atau serangan hipertermi
maligna sebelumnya pernah menerima paparan dari obat-obat anastesi umum
tanpa menimbulkan gejala sebelumnya. Rata-rata, penderita membutuhkan tiga
kali paparan sebelum serangan dapat timbul dan dikenali sebagai krisis hipertermi
maligna, meskipun krisis hipertermia juga dapat berkembang pada paparan
pertama. Laki-laki lebih cenderung dapat mengalami krisis hipertermi maligna
dibanding perempuan. Hipertermia maligna juga lebih sering ditemukan pada
remaja dan dewasa muda, dibandingkan pada orang tua, terutama yang berusia
lebih dari 50 tahun. Anak-anak yang menderita hipertermia maligna biasanya juga
menderita rheumatoid arthritis. Beberapa penyakit musculoskeletal, seperti
myotonia, osteogenesis imperfect, King-Denborough syndrome, dan Duchenne’s
muscular dystrophy, juga sering ditemukan bersamaan dengan kejadian krisis
hipertermia maligna. Beberapa prosedur operasi bedah juga ada yang berkaitan
dengan peningkatan kejadian hipertermi maligna, yaitu tonsilektomi,
adenoidektomi, operasi strabismus, dan cleft palate surgery.3
2.3 Patofisiologi
Tabel 1. Obat-obat anastesi pemicu krisis hipertermia maligna
Hipertermia maligna sering terjadi setelah dipicu oleh paparan agen anastesi
inhalasi, yaitu halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, desfluran, dan obat
pelumpuh otot non depolarisasi, yaitu suksinilkolin.4 Namun, beberapa penelitian
4
menyebutkan bahwa hipertermia maligna juga dapat dipicu oleh stress, seperti
olahraga berlebihan atau cuaca panas.5 Pada 50-70% kasus hipertermia maligna,
ditemukan mutasi pada reseptor Ryanodine (RYR1). RYR1 terletak di retikulum
sarkoplasma, yaitu bagian dari otot skeletal atau otot rangka yang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan Ca2+. Ca2+ akan keluar dan berikatan dengan aktin
dan myosin, yang merupakan proses dari kontraksi otot. Setelah kontraksi otot
selesai, Ca2+ akan kembali ke dalam retikulum sarkoplasma yang dimediasi oleh
Sarcoplasmic Endoplasmic Reticulum Ca ATPase. RYR1 akan terbuka apabila
ada peningkatan ion Ca2+ intraselular yang dimediasi oleh kanal Ca2+ tipe L,
sehingga akan menghasilkan peningkatan drastis jumlah ion Ca2+ intraseluler yang
menyebabkan kontraksi otot. RYR1 memiliki 2 sisi, yaitu sisi A dan sisi I. Sisi A
memiliki afinitas terhadap ion Ca2+ yang tinggi, sehingga lebih berperan dalam
pembukaan RYR1. Sisi I memiliki afinitas terhadap ion Ca2+ yang lebih rendah,
sehingga lebih berperan saat RYR1 menutup.
Obat-obat anastesi inhalasi yang dapat memicu terjadinya hipertermia maligna
meningkatkan afinitas ion Ca2+ di sisi A dan menurunkan afinitas ion Ca2+ di sisi I.
Mg2+ juga diketahui berpengaruh pada RYR1, karena membuat penutupan RYR1
baik di sisi I maupun di sisi A. Jika terjadi mutasi, afinitas RYR1 untuk Mg2+ akan
berkurang. Jika Mg2+ berkurang, Ca2+ akan semakin banyak, karena threshold
untuk aktivasi diturunkan, sementara threshold untuk deaktivasi ditingkatkan.2
Gambar 2. Patofisiologi hipertermia maligna
5
Ca2+ yang berlebihan akan disekuestrasi. Proses sekuestrasi tersebut
membutuhkan banyak adenosine trifosfat (ATP). Konsumsi ATP dalam jumlah
banyak akan menghasilkan panas yang berlebihan dan menyebabkan hipertermia.
Selain itu, pemecahan ATP dan panas berlebihan akan menghancurkan sel-sel otot
skeletal atau rhabdomyolysis. Hasil penghancuran tersebut akan bocor keluar ke
sirkulasi, berupa K+, mioglobin, creatine, fosfat, dan creatine kinase. Pemecahan
ATP berlebihan juga menyebabkan tidak terkontrolnya metabolism aerob dan
anaerob. Keadaan hipermetabolik yang terjadi menjelaskan tingginya konsumsi
O2 dan produksi CO2, yang menyebabkan asidosis laktat dan hipertermia. Selain
itu, mutasi RYR1 yang menyebabkan pelepasan mendadak Ca2+ dalam jumlah
banyak dari retikulum sarkoplasma, mengakibatkan troponin tidak diinhibisi.
Tidak adanya inhibisi dari troponin menyebabkan kontraksi otot skeletal yang
berkelanjutan.6
2.4 Manifestasi Klinis
Gambar 3. Manifestasi klinis hipertermia maligna
6
Manifestasi klinis dari hipertermia maligna dapat timbul beberapa menit setelah
paparan obat-obatan anastesi, namun dapat muncul juga setelah beberapa jam
hingga pasien telah berada di ruang pemulihan. Onset dan progresivitas
hipertermia maligna yang sangat bervariasi dipengaruhi oleh peningkatan ion Ca2+
intraselular, obat-obat anastesi tertentu, konsentrasi obat dalam otot skeletal, dan
sejumlah variabel fisiologis lainnya.
Manifestasi klinis hipertermia maligna yang paling awal adalah succinylcholine-
induced masseter muscle rigidity (MMR) atau adanya generalized muscle rigidity,
takikardia, dan hiperkapnia atau hiperkarbia. Jika dua dari gejala ini telah muncul,
kemungkinan besar bahwa penderita manifestasi klinis tersebut sedang mengalami
episode krisis hipertermia maligna. Masseter Muscle Rigidity (MMR) atau sering
disebut “Jaws of Steel” dapat terlihat dari sulitnya atau terdapatnya hambatan
dalam melakukan intubasi yang berlangsung selama 2 menit.7 Rigiditas pertama
kali akan muncul pada otot masseter, karena banyak mengandung miofilamen tipe
I yang memiliki afinitas tinggi terhadap ion Ca2+. MMR tidak akan hilang atau
berkurang meskipun diberikan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Pasien yang
mengalami MMR harus dipantau mioglobinuria dan gejala-gejala hipertermia
maligna lainnya selama 12-24 jam setelahnya. Selain itu, pemeriksaan serum CK
setelah 24 jam juga sebaiknya dilakukan. MMR biasanya akan menghilang secara
spontan setelah 5 menit, dan disusul oleh generalized muscle rigidity yang muncul
secara tiba-tiba.8
Takipnea akan sangat terlihat jika penderita tidak diberikan obat pelumpuh otot.
Manifestasi klinis yang lain yang timbul adalah akibat dari overaktivitas dari saraf
simpatis, yang terlihat sebagai takikardia, aritmia, hipertensi, mottled cyanosis.
Aritmia yang terjadi adalah premature ventricular contractions, sebagai akibat
dari peningkatan pelepasan ion K+. Hipertermia akan timbul belakangan dan
menjadi manifestasi klinis akhir. Suhu tubuh dapat naik sebanyak 1oc setiap 5
menit. Hipertensi yang timbul dapat diikuti oleh hipotensi jika terjadi depresi
sistem kardiovaskular. Penghancuran otot-otot skeletal akan menyebabkan
7
mioglobin keluar ke sirkulasi dan menyebabkan mioglobinemia dan
mioglobinuria, yang ditandai dengan urin yang berwarna gelap dan keruh.2
Tabel 2. Manifestasi klinis hipertermia maligna
Dari hasil pemeriksaan laboratorium, ditemukan beberapa ciri khas pada kasus-
kasus hipertermia maligna. Rhabdomyolysis dapat dibuktikan dari pemeriksaan
serum creatine kinase dan serum mioglobin, serta dari pemeriksaan urin untuk
menemukan adanya mioglobinuria.8 Dari analisa gas darah, didapatkan
hiperkapnia disertai dengan asidosis campuran metabolik dan respiratorik. Selain
itu, juga didapatkan peningkatan end tidal CO2 (ETCO2), yang merupakan tanda
awal dan yang paling sensitif dalam menentukan diagnosa hipertermia maligna.
ETCO2 adalah pengukuran grafis karbon dioksida selama ekspirasi. Hiperkalemia
dan hipermagnesemia juga dapat ditemukan dalam pemeriksaan laboratorium.
Saturasi vena oksigen campuran akan menurun di bawah batas normal.
Konsentrasi ion Ca2+ dalam serum akan meningkat pada awalnya dan akan
menurun pada akhirnya. Serum mioglobin, creatine kinase (CK), lactic
dehydrogenase, dan level aldolase akan meningkat. Jika serum CK setelah 12-18
8
jam setelah anastesi mencapai 20,000 IU/L, diagnosis hipertemia maligna dapat
langsung ditegakkan.
Tabel 3. Hasil pemeriksaan laboratorium hipertermia maligna
2.5 Diagnosis
Hipertermia maligna termasuk dalam kelompok silent disease, yaitu penyakit
yang awalnya tidak menimbulkan gejala sama sekali, tetapi dapat mengancam
nyawa secara tiba-tiba. Oleh karena itu, diagnosa hipertermia maligna harus
ditegakkan sedini mungkin agar dapat ditangani dengan segera. Tingkat mortalitas
akibat hipertermia maligna berkisar sekitar >80% apabila tidak ditangani dengan
segera. Namun, tingkat mortalitas akibat hipertermia maligna jika dilakukan
penanganan segera hanya sekitar 10%.4
2.5.1 Diagnosis Klinis
Diagnosa klinis dari hipertermia maligna dapat ditegakkan jika terdapat
manifestasi klinis seperti yang telah dijelaskan di atas. Terdapat Grading Score
untuk menegakkan diagnosis hipertermia maligna.
9
Berikut adalah grading scale yang dipakai untuk menentukan diagnosis
hipertermia maligna.9
Interpreting the raw score: MH rank and qualitative likelihood
Raw Score Range MH Rank Description of Likelihood
0 1 Almost never
3-9 2 Unlikely
10-19 3 Somewhat less than likely
20-34 4 Somewhat greater than likely
35-49 5 Very likely
50+ 6 Almost certain
Clinical Indicators for Use in Determining the Malignant Hyperthermia
(MH) Raw Score
Process I: Rigidity
Indicator Points
Generalized muscular rigidity (in absence of shivering due
to hypothermia, or during or immediately following emergence
from inhalational general anesthesia) 15
Masseter spasm shortly following succinylcholine administration 15
Process II: Muscle Breakdown
Indicator Points
Elevated creatine kinase >20,000 IU after anesthetic
that included succinylcholine 15
Elevated creatine kinase >10,000 IU after anesthetic
without succinylcholine 15
Cola colored urine in perioperative period 10
Myoglobin in urine >60 mg/L 5
Myoglobin in serum >170 mg/L 5
Blood/plasma/serum K+ > 6 mEq/L (in absence of
renal failure) 3
Process III: Respiratory Acidosis
10
Indicator Points
PETCO2>55 mmHg with appropriately controlled ventilation
15
Arterial PaCO2>60 mmHg with appropriately controlled
ventilation 15
PETCO2 >60 mmHg with spontaneous ventilation 15
Arterial PaCO2>65 mmHg with spontaneous ventilation 15
Inappropriate hypercarbia (in anesthesiologist's judgment) 15
Inappropriate tachypnea 10
Process IV: Temperature Increase
Indicator Points
Inappropriately rapid increase in temperature
(in anesthesiologist's judgment) 15
Inappropriately increased temperature > 38.8°C (101.8°F) in the
perioperative period (in anesthesiologist's judgment) 10
Process V: Cardiac Involvement
Indicator Points
Inappropriate sinus tachycardia 3
Ventricular tachycardia or ventricular fibrillation 3
Other indicators that are not part of a single process†
Indicator Points
Arterial base excess more negative than -8 mEq/L 10
Arterial pH <7.25 10
Rapid reversal of MH signs of metabolic and/or respiratory acidosis
with iv dantrolene 5
2.5.2 Diagnosis Laboratorium
11
Selain itu, untuk menegakkan diagnosa hipertermia maligna, juga dapat dilakukan
muscle testing dan genetic testing. Muscle testing dapat dilakukan dengan
melakukan Caffeine Halothane Contracture Test (CHCT) atau In Vitro
Contracture Test (IVCT). CHCT atau IVCT merupakan gold standard untuk
menegakkan diagnosis hipertemia maligna.8 Menurut protokol European
Malignant Hyperthermia Group (EMHG), IVCT memiliki sensitivitas 99% dan
spesifisitas 93,6%. Sedangkan, menurut North American Malignant Hyperthermia
Group (NAMHG), IVCT memiliki sensitivitas 97% dan spesifisitas 78%.
Yang termasuk dalam kandidat untuk melakukan tes ini adalah bagi mereka yang
memiliki keluarga dengan riwayat hipertermia maligna sebelumnya dan bagi
mereka yang telah terbukti susceptible dengan hipertermia maligna. Para kandidat
tes ini lalu menjalani prosedur biopsi jaringan otot quadriceps kira-kira sebanyak
2 gram. Prosedur biopsi dilakukan dengan pemilihan teknik anastesi dan
menggunakan obat-obatan yang tidak bersifat memicu munculnya hipertermia
maligna. Setelah itu, dilakukan contracture test dalam waktu 5 jam setelah
pengambilan jaringan atau biopsi dilakukan. Tes kontraktur otot tersebut
dilakukan bersamaan dengan penambahan konsentrasi kafein dan halotan ke
dalam jaringan otot. Viabilitas dari jaringan dipertahankan dengan pemberian
stimulasi listrik berulang.
Tes dilakukan sebanyak 3 kali, yang terdiri dari static caffeine (SC), static
halothane (SH), dan dynamic halothane (DH). Ambang batas dari IVCT ini
adalah konsentrasi obat terendah yang dapat menimbulkan kontraksi setidaknya
0,2 gram jaringan otot. Tes kontraktur ini dinyatakan positif apabila jaringan otot
mengalami kontraksi pada konsentrasi sama dengan atau lebih rendah dari 2% v/v
halotan atau 2 mmol/l kafein.10 Dengan kata lain, jika dibandingkan dengan orang
normal, otot penderita hipertermia maligna akan berkontraksi pada konsentrasi
kafein dan halotan yang lebih rendah.
12
Menurut protokol EMHG, hasil tes IVCT dikelompokkan menjadi tiga kelompok,
yaitu Malignant Hypertermia Susceptible (MHS), Malignant Hyperthermia
Normal (MHN), dan Malignant Hyperthermia Equivocal (MHE).10 Seseorang
dikelompokkan ke dalam Malignant Hypertermia Susceptible (MHS) jika kedua
tes kafein dan halotan sama-sama positif. Seseorang dikelompokkan ke dalam
Malignant Hyperthermia Normal (MHN) jika kedua tes negatif. Dan seseorang
dikelompokkan ke dalam Malignant Hyperthermia Equivocal (MHE) jika hanya
salah satu tes yang bersifat positif, baik kafein maupun halotan. Namun, otot
normal memiliki kemungkinan untuk berkontraksi jika ada paparan kafein tinggi,
sedangkan hanya otot abnormal yang berkontraksi saat ada paparan dari halotan.
Menurut protokol NAMHG, hasil tes hanya dikelompokkan menjadi Malignant
Hypertermia Susceptible (MHS), yaitu jika salah satu hasil tes kafein ataupun
halotan positif, dan Malignant Hyperthermia Normal (MHN), yaitu jika kedua tes
negatif. Protokol EMHG memiliki tingkat false positive yang lebih rendah
dibandingkan jika harus mengikuti protokol NAMHG.
Jika seseorang telah mengikuti tes ini dan mendapatkan hasil positif, maka
keluarganya, terutama kerabat tingkat pertama, juga harus mengikuti tes ini
dikarenakan hipertermia maligna merupakan penyakit genetik. Kelemahan dari
IVCT adalah biayanya yang mahal dan IVCT merupakan prosedur invasif. Oleh
karena itu, diperlukan pertimbangan yang sangat hati-hati untuk menentukan
apakah seseorang memang memerlukan tes ini. Anak dibawah usia 10 tahun tidak
dianjurkan mengikuti IVCT.
Selain muscle testing, genetic testing dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis hipertermia maligna.11 Genetic testing berupa analisis
DNA, memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan dari tes ini adalah mengurangi
jumlah pasien yang harus menjalani prosedur IVCT yang merupakan prosedur
invasif dan memungkinkan orang-orang yang tidak diperkenankan mengikuti
IVCT, yaitu anak-anak dan lansia, untuk mengikuti tes untuk menegakkan
diagnosis hipertermia maligna. Namun, genetic testing ini juga memiliki
kelemahan, yaitu tidak dapat digunakan sebagai alat screening. Tes genetik ini
13
hanya dapat mengidentifikasikan 25-30% kasus hipertermia maligna. Tes ini
berarti jika didapatkan kontraksi otot atau dapat dikategorikan ke dalam kelompok
“very likely” menurut grading score dari hipertermia maligna.
Berbeda halnya dengan IVCT, tes genetik untuk menegakkan diagnosis
hipertermia maligna hanya membutuhkan spesimen darah. Namun, tes genetik
memerlukan waktu lama, yaitu sekitar lebih dari 3 bulan.11 Dikatakan suatu
hipertermia maligna apabila terdapat kelainan genetik heterogen dengan
setidaknya lima lokus kerentanan teridentifikasi.
2.6 Tatalaksana
Tatalaksana hipertermia maligna dibedakan menjadi tiga, yaitu tatalaksana
anastesi untuk pasien yang susceptible terhadap hipertermia maligna, tatalaksana
saat episode serangan atau krisis hipertermia maligna, dan tatalaksana setelah
episode serangan hipertermia maligna atau post krisis hipertermia maligna.
2.6.1 Tatalaksana Anastesi
Tatalaksana anastesi untuk pasien yang susceptible terhadap hipertermia maligna
terdiri dari mengenali gejala atau manifestasi klinis dari hipertermia maligna serta
bagaimana cara penanganannya. Selain itu, saat proses anastesi diharapkan tidak
menggunakan obat-obatan anastesi yang sering memicu timbulnya krisis
hipertermia maligna, seperti halotan, isuofluran, enfluran, ataupun suksinilkolin.
Saat operasi berlangsung, gunakan mesin anastesi yang bersih, melakukan
pengecekan terhadap konsentrasi CO2 yang keluar saat ekspirasi, melakukan
pengecekan suhu tubuh, dan harus selalu menyiapkan malignant hyperthermia kit
(MH kit) atau malignant hyperthermia cart (MH cart). MH cart adalah
seperangkat alat-alat dan obat-obatan yang sudah disiapkan berdasarkan protokol
penatalaksanaan hipertermia maligna yang telah disusun dalam troli, sehingga
dapat digunakan kapanpun dalam keadaan emergensi.
14
Gambar 4. Malignant Hyperthermia cart
Rekomendasi alat dan bahan yang harus disediakan dalam MH cart :
5 buah spuit 60 mL
4 buah penflon 16G, 4 buah penflon 18G, 4 buah penflon 20G
penflon 22G
penflon 24G
cairan IV
NGT berbagai ukuran
2 buah spuit Toomey 60 mL dengan adaptor
Foley catheter tray
Urine bag
Urine collection container
Urinalysis test strips
Irrigation tray with 60 mL irrigation syringe
10-12 kantung saline yang disimpan di dalam kulkas atau pendingin
Kantung plastik kecil dan besar untuk es batu
Ember untuk es batu
6 buah spuit 3 mL atau ABG kit untuk analisa gas darah
Tabung sampel darah
Steri-drape
Pulmonary artery, esophageal, nasopharyngeal, tympanic membrane,
15
bladder, rectal temperature probes
Blood administration sets and pumps
CVP kits dalam berbagai ukuran
Transducer kits for arterial and CVP cannulation
Gastric lavage set with three-way indwelling catheter for insertion into the
rectum
Rekomendasi obat-obatan yang harus disediakan dalam MH cart :
36 buah vial Dantrolene 20 mg
36 buah vial sterile water 100 mL
5 buah vial sodium bicarbonate 8.4% 50 mL
10 buah vial 20% Mannitol 50 mL
4 buah spuit yang telah diisi furosemide 2 mL
1 buah vial insulin 100-U
2 buah vial dextrose 50% dilarutkan di air 50mL
2 buah vial calcium chloride 100 mL
3 buah vial heparin 1000-U
3 buah spuit yang berisi lidocaine 2%, 100mg/5mL atau 100mg/10mL.
Namun, lidocaine tidak boleh digunakan pada aritmia yang disebabkan
oleh hyperkalemia, karena dapat menyebabkan asistol.
2.6.2 Tatalaksana Krisis Hipertermia Maligna
Mengingat bahwa tingkat mortalitas pasien dengan krisis hipertermia
maligna antara yang ditangani dengan yang tidak ditangani sangat berbeda
jauh, pengetahuan tentang penatalaksanaan krisis hipertermia maligna
sangatlah penting. Tingkat mortalitas akibat hipertermia maligna berkisar
sekitar >80% apabila tidak ditangani dengan segera. Namun, tingkat
mortalitas akibat hipertermia maligna jika dilakukan penanganan segera
hanya sekitar 10%. Tatalaksana saat krisis hipertermia maligna
menggunakan protokol yang telah dberikan oleh Malignant Hyperthermia
Association of the United States.2
16
Tabel 4. Protokol tatalaksana krisis hipertermia maligna
Tindakan pertama yang dilakukan saat terjadinya episode serangan atau krisis
hipertermia maligna adalah menghentikan agen anastesi yang dapat memicu
serangan atau krisis tersebut. Operasi tetap dapat dilanjutkan dengan
menggunakan agen anastesi yang berbeda dan mesin anastesi yang berbeda juga,
untuk menghindari kemungkinan terjadinya episode serangan kedua karena ada
residu dari agen anastesi pemicu. Sekarang ini, mulai digunakan activated
charcoal dalam mesin anatesi sebagai penyaring dan telah menunjukkan hasil
positif. Filter yang terbuat dari arang aktif ini telah terbukti berhasil menurunkan
konsentrasi sevofluran, isofluran, dan desfluran hingga kurang dari sama dengan 5
ppm dalam waktu 2 menit. Namun, kekurangan dari filter arang aktif ini adalah
filter dapat menjadi jenuh atau saturated setelah pemakaian 1 jam, sehingga perlu
diganti yang baru setiap 1 jam.
Setelah itu, penanganan selanjutnya adalah hiperventilasi dengan memberikan O2
100% dengan kecepatan tinggi atau dengan kecepatan 10L/min. Hiperventilasi ini
17
bertujuan untuk mengatasi masalah hiperkapnia, asidosis metabolik, dan
meningkatkan konsumsi O2. Setelah dilakukannya hiperventilasi, diharapkan
ETCO2 menurun hingga kurang dari 55 mmHg.
Pemberian dantrolene untuk krisis hipertermia maligna sangat penting. Setiap vial
dantrolene mengandung 20 mg bubuk dantrolene berwarna orange dan 3 g
mannitol, yang kemudian diencerkan dengan menggunakan 60 mL air steril.
Dosis pemberian awal 2,5 mg/kg BB bolus secara intravena. Jika gejala terus
berlanjut, dantrolene terus diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB setiap 5 menit,
dengan dosis maksimal 10 mg/kg BB, sampai episode serangan terhenti atau
semua manifestasi klinis hipertermia maligna berhenti. Setelah krisis hipertermia
maligna teratasi, dantrolene tetap diberikan setiap 6 jam dengan dosis 1 mg/kg BB
secara intravena dalam waktu 24-48 jam.2 Pemberian tetap dantrolene setelah
krisis hipertemia maligna teratasi bertujuan untuk mencegah relapse atau
kekambuhan. Episode serangan hipertermia maligna kedua dapat terjadi setelah
24 jam sejak episode serangan pertama. Setelah pemberian dantrolene, serum
creatinine kinase harus tetap dicek setiap harinya sampai jumlahnya kembali
normal.
Gambar 5. Dantrolene
Dantrolene, hydrated 1-(((5-(4- nitrophenyl)-2-furanyl)-methylene)amino)-2,4-
imidazolidine dione sodium salt, merupakan turunan dari hidantoin, yang biasanya
digunakan sebagai muscle relaxant. Namun, struktur dan farmakologis dari
dantrolene sangat berbeda dengan muscle relaxant lainnya. Mekanisme kerja
dantrolene adalah merelaksasi otot skeletal dengan cara menghambat pelepasan
18
ion Ca2+ dari sarkoplasma retikulum.12 Kekuatan kontraksi otot dapat diturunkan
hingga 75-80%. Waktu paruh dari dantrolene adalah sekitar 12 jam. Dantrolene
dimetabolime sebagian besar oleh hepar menjadi 5-hydroxydantrolene, dan
diekskresi melalui urin dan empedu.
Phlebitis dapat terjadi setelah pemberian dantrolene intravena yang bersifat
alkaloid, dan pengompresan dengan air hangat serta elevasi daerah yang terkena
phlebitis dapat dilakukan sebagai terapi. Selain phlebitis, kelemahan otot juga
dapat terjadi setelah pemberian dantrolene. Gagal napas dan masalah
gastrointestinal juga dapat timbul setelah pemberian dantrolene intravena, namun
hanya terjadi pada sekitar 3% kasus. Sementara, pemberian dantrolene oral kronis
sering dihubungkan dengan gangguan fungsi hepar, karena dantrolene memiliki
sifat hepatotoksik. Oleh karena itu, pemeriksaan fungsi hepar harus secara rutin
dilakukan. Dantrolene juga tidak disarankan untuk diberikan bagi ibu hamil pada
saat operasi caesar. Dantrolene dapat menembus sawar plasenta dan dapat
menyebabkan floppy child syndrome pada neonatus. Dantrolene juga dapat
menyebabkan atonia uteri pada ibu yang sedang menjalani operasi Caesar.
Dantrolene tidak boleh diberikan bersamaan dengan calcium channel blocker,
karena akan menyebabkan hiperkalemia dan depresi miokardium yang
mengancam nyawa. Pemberian muscle relaxant lainnya yang bersamaan dengan
pemberian dantrolene akan menghasilkan efek sinergis, sehingga menyebabkan
kelumpuhan otot yang lebih lama daripada seharusnya. Ini disebabkan karena
penurunan pelepasan neurotransmitter asetilkolin yang dipengaruhi oleh
penurunan pelepasan ion Ca2+. Asetilkolin seharusnya akan berikatan dengan
reseptor kolinergik yang berfungsi untuk kontraksi otot-otot skeletal. Gagal napas
merupakan hal yang paling ditakutkan jika kelumpuhan otot berlangsung lama
dan berlangsung semakin parah.
Infus sodium bikarbonat dengan dosis 1-2 mEq/kg (dosis maksimum pemberian
50mEq) diberikan segera setelah pemberian dantrolene untuk mengatasi masalah
asidosis metabolik. Hipertermia dikoreksi dengan meletakkan ice packs atau
19
kantung yang telah diisi es batu pada permukaan kulit torso, axilla, dan groin atau
selangkangan. Selain itu, koreksi hipertermia juga dapat dilakukan dari dalam
tubuh dengan pemberian cairan infus atau saline dingin yang telah diletakkan di
dalam lemari pendingin. Infus harus dihentikan ketika suhu tubuh sudah mencapai
38oc untuk menghindari risiko hipotermia.13 Hiperkalemia dikoreksi dengan
pemberian sodium bikarbonat, pemberian kalsium klorida, dan pemberian glukosa
serta insulin. Untuk dewasa, dosis pemberian glukosa adalah 50 gram disertai
dengan insulin 10 U. Sedangkan, untuk anak-anak, dosis pemberian glukosa 25
gram disertai dengan insulin 5 U. Insulin dilarutkan dalam 50 mL dextrose 50%.
Aritmia dapat dikoreksi dengan pemberian lidocaine 2%, procainamide 200 mg
intravena, atau amiodarone 150mg/3mL. Lidocaine dan procainamide tidak boleh
diberikan pada aritmia yang disebabkan karena hiperkalemia, karena dapat
menyebabkan asistol.
Mannitol dan furosemide dapat diberikan untuk melancarkan jalannya urin dan
mencegah terjadinya gagal ginjal. Dosis mannitol 0,25 gr/kg BB IV dan dosis
furosemide 1mg/kg BB IV, diberikan maksimal 4 kali dosis anjuran. Pada
hipertermia maligna, sel-sel otot skeletal mengalami kerusakan dan menyebabkan
mioglobin keluar dan terakumulasi di dalam ginjal. Akumulasi mioglobin ini
mengobstruksi jalannya urin dan dapat menyebabkan gagal ginjal. Mannitol dan
furosemide dihentikan pemberiannya apabila urine output lebih dari sama dengan
2ml/kgBB/jam.4
Setelah semua masalah terkoreksi, monitor urine output, elektrolit, tes pembekuan
darah, analisa gas darah, dan capnograph. Urine output harus terus dimonitor
untuk menghindari terjadinya nekrosis tubular akut dan mioglobinuria.
Pengambilan darah untuk pemeriksaan elektrolit dilakukan setiap 10 menit.
Elektrolit yang diperiksa adalah sodium, potasium, klorida, kalsium, fosfat, dan
magnesium. Pemeriksaan analisa gas darah juga dilakukan setiap 5-10 menit.
20
2.6.3 Tatalaksana Post Krisis Hipertermia Maligna
Setelah krisis hipertermia maligna sudah teratasi, pasien masih tetap harus
dipantau hingga stabil. Tanda-tanda bahwa pasien yang mengalami krisis
hipertermia maligna sudah stabil, meliputi ETCO2 sudah menurun atau kembali
normal, nadi kembali stabil, sudah diberikan dantrolene intravena, suhu tubuh
sudah menurun, dan generalized muscle rigidity sudah menghilang. Jika tanda-
tanda stabil ini sudah terpenuhi, pasien dapat segera dipindahkan ke ICU.
Jika pasien sudah dipindah ke ICU, pasien yang telah mengalami krisis
hipertermia maligna akan tetap diberikan pengobatan dantrolene selama 24-48
jam setelahnya. Oral dantrolene dapat diberikan dengan dosis 4-8 mg/kgBB/hari
dibagi menjadi 3-4 dosis diberikan selama 1-3 hari setelah krisis hipertermia
maligna. Dantrolene intravena juga dapat diberikan ketika dantrolene oral tidak
tersedia dengan dosis awal 1mg/kg BB. Pasien yang telah mengalami krisis
hipertermia maligna memiliki kemungkinan sekitar 25% untuk mengalami
serangan kedua krisis hipertermia dalam beberapa jam setelah serangan pertama,
yang disebut dengan malignant hyperthermia recrudescence.13 Monitoring dari
pasien post krisis hipertemia maligna juga penting dilakukan untuk menghindari
komplikasi hipertermia maligna, seperti disseminated intravascular coagulation
(DIC) dan mioglobinuria yang menyebabkan gagal ginjal.
2.7 Pencegahan
Tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah dengan menanyakan riwayat
anastesi menyeluruh untuk menentukan kemungkinan pasien atau anggota
keluarga pasien pernah mengalami episode serangan atau krisis hipertermia
maligna. Ketika kecurigaan timbul, pemakaian obat-obat anastesi pemicu harus
dihindari dan pasien dibius menggunakan obat-obat anastesi yang dianggap aman.
Pemberian dantrolene sebagai profilaksis terjadinya episode serangan atau krisis
hipertermia maligna sudah tidak lagi disarankan.12 Awalnya, profilaksis
21
dantrolene disarankan bagi pasien yang susceptible dengan hipertermia maligna.
Dosis pemberian dantrolene oral sebagai profilaksis adalah 4-8 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3-4 kali pemberian dan diberikan 1-2 hari sebelum operasi
dilakukan. Dan dosis pemberian dantrolene intravena sebagai profilaksis adalah
2,5 mg/kgBB diberikan 1-2 jam sebelum operasi dengan pemberian melalui infus
selama 1 jam. Namun, karena efek samping yang ditimbulkan oleh dantrolene
juga merugikan, keuntungan pemberian profilaksis dantrolene tidak berarti.
Sekarang ini, profilaksis yang dilakukan adalah menyiapkan MH cart agar
tatalaksana emergensi dapat dengan segera dilakukan jika terjadi krisis
hipertermia maligna.
22
BAB III
KESIMPULAN
Hipertermia maligna adalah suatu kondisi yang sangat jarang terjadi, namun
sangat berbahaya dan mengancam nyawa, yang biasanya dipicu oleh paparan
obat-obatan tertentu yang biasanya dipakai untuk anastesi umum. Obat-obat
pencetus hipertensi maligna biasanya merupakan agen anastesi volatil, seperti
halotan, isofluran, enfluran, dan lain-lain, serta agen pemblokir neuromuskuler,
seperti succinylcholine. Hipertermia maligna bersifat genetik dan termasuk ke
dalam penyakit autosomal dominan, artinya penyakit ini dapat timbul meskipun
hanya ada satu gen yang cacat dari salah satu orang tua. Mutasi genetik yang
paling sering menyebabkan hipertermia maligna adalah mutasi gen reseptor
Ryanodine (RYR1).
Mutasi dari reseptor Ryanodine akan menyebabkan peningkatan Ca2+ intraselular.
Ca2+ berperan dalam kontraksi otot skeletal. Ca2+ yang berlebihan akan
disekuestrasi. Proses sekuestrasi tersebut membutuhkan banyak adenosine
trifosfat (ATP). Konsumsi ATP dalam jumlah banyak akan menghasilkan panas,
asam laktat, dan CO2. Hal ini yang menyebabkan timbulnya manifestasi klinis
seperti generalized muscle rigidity, suhu tubuh yang meningkat atau hipertermia,
asidosis campuran metabolik dan respiratorik, dan peningkatan ETCO2. Sel-sel
otot juga akan rusak dan dapat terlihat dari pemeriksaan laboratorium, yaitu
meningkatnya serum creatine kinase, serum mioglobin, dan mioglobinuria.
Diagnosis hipertermia maligna harus segera ditegakkan untuk dapat melakukan
penanganan secepatnya. Diagnosis dapat ditegakkan melalui diagnosis klinis dan
diagnosis laboratorium, yaitu IVCT dan pemeriksaan genetik. Tatalaksana
hipertermia maligna dibagi menjadi tiga, yaitu tatalaksana anastesi untuk pasien
yang susceptible terhadap hipertermia maligna, tatalaksana saat episode serangan
atau krisis hipertermia maligna, dan tatalaksana setelah episode serangan
hipertermia maligna atau post krisis hipertermia maligna. Tatalaksana anastesi
untuk pasien yang susceptible terhadap hipertermia maligna adalah menghindari
23
paparan obat-obat anastesi pemicu dan selalu menyediakan malignant
hyperthermia cart di ruang operasi. Tatalaksana untuk krisis hipertermia maligna
mengikuti protokol yang telah dibuat, dengan obat pilihan pertama, yaitu
dantrolene. Mekanisme kerja dantrolene adalah merelaksasi otot skeletal dengan
cara menghambat pelepasan ion Ca2+ dari sarkoplasma reticulum. Koreksi
masalah-masalah yang timbul, seperti hyperkalemia, aritmia, asidosis, dan lain-
lain juga harus ditangani sesuai tatalaksana dalam protokol. Setelah krisis
hipertermia maligna sudah teratasi, tatalaksana post krisis tetap harus dilakukan,
yaitu pemberian dantrolene selama 24-36 jam berikutnya dan monitoring teratur
untuk mencegah terjadinya episode serangan kedua dan komplikasi yang dapat
ditimbulkan dari hipertermia maligna, seperti DIC dan gagal ginjal.
Pencegahan hipertermia maligna dapat dilakukan dengan cara menanyakan
riwayat anastesi lengkap sebelum dilakukannya operasi agar dapat memilih obat-
obat anastesi yang akan digunakan dan dengan selalu menyiapkan malignant
hyperthermia cart di ruang operasi. Pemberian dantrolene sebagai profilaksis
hipertermia maligna sebelum dilakukannya operasi sudah tidak lagi dianjurkan,
karena keuntungan yang didapat dari pemberian profilaksis tidak sebanding
dengan efek samping yang dapat ditimbulkan dantrolene.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Mhaus.org. Healthcare Professionals - Malignant Hyperthermia
Association of the United States [Internet]. 2015 [cited 2 August 2015].
Available from: http://www.mhaus.org/healthcare-professionals.
2. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Morgan & Mikhail's Clinical
Anesthesiology. 5th ed. New York: McGraw Hill Education; 2013.
3. Greco R. Malignant Hyperthermia: What are the First Signs?. The ASF
Source [Internet]. 2008 [cited 2 August 2015];:1;10. Available from:
http://www.aaaasf.org/newsletters/ASF_Summer2008.pdf
4. Association of Surgical Technologist. Guideline Statement for Malignant
Hyperthermia in the Perioperative Environment [Internet]. 2013 [cited 2
August 2015]. Available from:
http://www.ast.org/uploadedFiles/Main_Site/Content/About_Us/Guideline
_Malignant_Hyperthermia.pdf
5. Orphanet. Malignant Hyperthermia [Internet]. 2013 [cited 2 August 2015].
Available from:
https://www.orpha.net/data/patho/Pro/en/Emergency_MalignantHyperther
mia-enPro649.pdf
6. McCance K, Huether S, Brashers V, Rote N. Pathophysiology: The
Biology Basis for Disease in Adults and Children. 6th ed. Missouri:
Mosby Elsevier; 2010.
7. Onofrei M, Bromhead H. Malignant Hyperthermia. Anaesthesia Tutorial
of the Week. 2009;:1-6.
8. Malignant Hyperthermia: Advances in Clinical Management and
Diagnosis. Oxford Journals [Internet]. 2000 [cited 4 August
2015];85(1):118-128. Available from:
http://bja.oxfordjournals.org/content/85/1/118.full
9. Larach M, Localio R, Allen G, Denborough M, Elis R, Rosenberg H. A
Clinical Grading Scale to Predict Malignant Hyperthermia Susceptibility.
American Society of Anasthesiologist. 1994;80(4):771.
25
10. Kim T, Rosenbergh H, Nami N. Current Concepts in the Understanding of
Malignant Hyperthermia. Anesthesiology News [Internet]. 2014 [cited 3
August 2015];:1-5. Available from:
http://www.anesthesiologynews.com/download/MalignantHyperthermia_
AN0214_WM.pdf.
11. Waddington M. Malignant Hyperthermia: Investigation for the
Uninitiated. Australasian Anaesthesia 2005. 2005;:41-50.
12. Krause T, Gerbershagen U, Fiege M, Wappler F. Dantrolene: A review of
its pharmacology, therapeutic use and new developments. Anaesthesia.
2004;59(1):364-373.
13. American Association of Nurse Anesthetist. Malignant Hyperthermia
Crisis Preparedness and Treatment [Internet]. 2014 [cited 5 August 2015].
Available from:
http://www.aana.com/resources2/professionalpractice/Documents/Maligna
nt%20Hyperthermia%20Crisis%20Preparedness%20and
%20Treatment.pdf
26