REFERAT ANASTESI

41
HIPERTERMIA MALIGNA REFERAT Disusun oleh : Ervina (07120110011) Pembimbing : dr. Eka Purwanto, Sp. AN Kelompok : 71

description

Hipertermia maligna atau malignant hyperthermia adalah suatu kondisi yang sangat jarang terjadi, namun sangat berbahaya dan mengancam nyawa, yang biasanya dipicu oleh paparan obat-obatan tertentu yang biasanya dipakai untuk anastesi umum.1 Obat-obat pencetus hipertensi maligna biasanya merupakan agen anastesi volatil, seperti halotan, isofluran, enfluran, dan lain-lain, serta agen pemblokir neuromuskuler, seperti succinylcholine. Hipertermi maligna merupakan penyakit genetik yang diwariskan dalam keluarga. Hipertermi maligna dapat terjadi segera setelah paparan obat-obat anastesi atau beberapa menit bahkan sampai beberapa jam setelah paparan. Serangan atau krisis hipertermia maligna ditandai dengan timbulnya gejala-gejala, yaitu meningkatnya kekakuan otot, peningkatan suhu tubuh, takikardia, dan asidosis. Hipertermia maligna merupakan suatu penyakit silent disease. Oleh karena itu, seringkali tidak dapat didiagnosis atau misdiagnosed. Tingkat mortalitas akibat hipertermia maligna berkisar sekitar >80% apabila tidak ditangani dengan segera. Namun, tingkat mortalitas akibat hipertermia maligna jika dilakukan penanganan segera hanya sekitar 10%. Dari perbedaan tingkat mortalitas tersebut, maka sangat penting bagi kita untuk dapat menegakkan diagnosis hipertermia maligna dengan cepat, serta mengetahui dengan pasti bagaimana tatalaksana hipertermia maligna. DefinisiHipertermia maligna, atau yang dikenal juga dengan nama malignant hyperpyrexia atau hyperthermia of anesthesia, adalah suatu kondisi mengancam jiwa yang timbul akibat peningkatan konsumsi dari energi tubuh setelah paparan obat anastesi. Hipertermia maligna merupakan suatu kelainan genetik yang melibatkan otot skeletal.1 Oleh karena itu, untuk menyingkirkan risiko terjadinya hipertemia maligna, sebelum operasi dapat ditanyakan apakah ada riwayat pasien atau keluarga pasien yang mengalami demam tinggi atau meninggal setelah anastesi umum. Pasien yang memiliki riwayat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam pasien susceptible terhadap hipertermia maligna dan dapat dianjurkan supaya menggunakan gelang medis untuk menghindari diberikannya obat-obat anastesi pemicu krisis hipertermia maligna.Hipertermia maligna termasuk ke dalam penyakit autosomal dominan, artinya penyakit ini dapat timbul meskipun hanya ada satu gen yang cacat dari salah satu orang tua. Terdapat 6 lokus genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini, dan lokus genetik yang paling sering menimbulkan penyakit ini adalah mutasi lengan panjang kromosom 19, yaitu gen reseptor Ryanodine (RYR1).1 Gen ini penting dalam proses membukanya protein yang membantu proses perjalanan ion kalsium (Ca2+).Gambar 1. Mutasi gen reseptor Ryanodine (RYR1)2.2 EpidemiologiInsiden dari episode serangan hipertermia atau krisis hipertermia maligna adalah 1 : 15,000 pada anak-anak dan 1 : 40,000 pada orang dewasa.2 Sekitar 50% dari pasien yang mengalami krisis hipertensi maligna atau serangan hipertermi maligna sebelumnya pernah menerima paparan dari obat-obat anastesi umum tanpa menimbulkan gejala sebelumnya. Rata-rata, penderita membutuhkan tiga kali paparan sebelum serangan dapat timbul dan dikenali sebagai krisis hipertermi maligna, meskipun krisis hipertermia juga dapat berkembang pada paparan pertama. Laki-laki lebih cenderung dapat mengalami krisis hipertermi maligna dibanding perempuan. Hipertermia maligna juga lebih sering ditemukan pada remaja dan dewasa muda, dibandingkan pada orang tua, terutama yang berusia lebih dari 50 tahun. Anak-anak yang menderita hipertermia maligna biasanya juga menderita rheumatoid arthritis. Beberapa penyakit musculoskeletal, seperti myotonia, osteogenesis imperfect, King-Denborough syndrome, dan Duchenne’s muscular dystrophy, juga sering ditemukan bersamaan dengan kejadian krisis hipertermia maligna. Beberapa prosedur operasi bedah juga ada yang berkaitan dengan peningkatan kejadian hipertermi maligna, yaitu tonsilektomi, adenoidektomi, operasi strabismus, dan cl

Transcript of REFERAT ANASTESI

Page 1: REFERAT ANASTESI

HIPERTERMIA MALIGNA

REFERAT

Disusun oleh : Ervina (07120110011)

Pembimbing : dr. Eka Purwanto, Sp. AN

Kelompok : 71

KEPANITRAAN KLINIK ILMU ANASTESIOLOGI

RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE 13 JULI – 15 AGUSTUS 2015

Page 2: REFERAT ANASTESI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................1

BAB I.............................................................................................................................2

PENDAHULUAN.........................................................................................................2

BAB II............................................................................................................................3

HIPERTERMIA MALIGNA.........................................................................................3

2.1 Definisi................................................................................................................3

2.2 Epidemiologi.......................................................................................................4

2.3 Patofisiologi........................................................................................................4

2.4 Manifestasi Klinis...............................................................................................6

2.5 Diagnosis.............................................................................................................9

2.5.1 Diagnosis Klinis.........................................................................................9

2.5.2 Diagnosis Laboratorium...........................................................................12

2.6 Tatalaksana........................................................................................................14

2.6.1 Tatalaksana Anastesi................................................................................14

2.6.2 Tatalaksana Krisis Hipertermia Maligna.................................................16

2.6.3 Tatalaksana Post Krisis Hipertermia Maligna.........................................21

2.7 Pencegahan........................................................................................................21

BAB III........................................................................................................................23

KESIMPULAN............................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................25

1

Page 3: REFERAT ANASTESI

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertermia maligna atau malignant hyperthermia adalah suatu kondisi yang

sangat jarang terjadi, namun sangat berbahaya dan mengancam nyawa, yang

biasanya dipicu oleh paparan obat-obatan tertentu yang biasanya dipakai untuk

anastesi umum.1 Obat-obat pencetus hipertensi maligna biasanya merupakan agen

anastesi volatil, seperti halotan, isofluran, enfluran, dan lain-lain, serta agen

pemblokir neuromuskuler, seperti succinylcholine. Hipertermi maligna merupakan

penyakit genetik yang diwariskan dalam keluarga. Hipertermi maligna dapat

terjadi segera setelah paparan obat-obat anastesi atau beberapa menit bahkan

sampai beberapa jam setelah paparan. Serangan atau krisis hipertermia maligna

ditandai dengan timbulnya gejala-gejala, yaitu meningkatnya kekakuan otot,

peningkatan suhu tubuh, takikardia, dan asidosis.

Hipertermia maligna merupakan suatu penyakit silent disease. Oleh karena itu,

seringkali tidak dapat didiagnosis atau misdiagnosed. Tingkat mortalitas akibat

hipertermia maligna berkisar sekitar >80% apabila tidak ditangani dengan segera.

Namun, tingkat mortalitas akibat hipertermia maligna jika dilakukan penanganan

segera hanya sekitar 10%. Dari perbedaan tingkat mortalitas tersebut, maka sangat

penting bagi kita untuk dapat menegakkan diagnosis hipertermia maligna dengan

cepat, serta mengetahui dengan pasti bagaimana tatalaksana hipertermia maligna.

2

Page 4: REFERAT ANASTESI

BAB II

HIPERTERMIA MALIGNA

2.1 Definisi

Hipertermia maligna, atau yang dikenal juga dengan nama malignant

hyperpyrexia atau hyperthermia of anesthesia, adalah suatu kondisi mengancam

jiwa yang timbul akibat peningkatan konsumsi dari energi tubuh setelah paparan

obat anastesi. Hipertermia maligna merupakan suatu kelainan genetik yang

melibatkan otot skeletal.1 Oleh karena itu, untuk menyingkirkan risiko terjadinya

hipertemia maligna, sebelum operasi dapat ditanyakan apakah ada riwayat pasien

atau keluarga pasien yang mengalami demam tinggi atau meninggal setelah

anastesi umum. Pasien yang memiliki riwayat tersebut dapat dikelompokkan ke

dalam pasien susceptible terhadap hipertermia maligna dan dapat dianjurkan

supaya menggunakan gelang medis untuk menghindari diberikannya obat-obat

anastesi pemicu krisis hipertermia maligna.

Hipertermia maligna termasuk ke dalam penyakit autosomal dominan, artinya

penyakit ini dapat timbul meskipun hanya ada satu gen yang cacat dari salah satu

orang tua. Terdapat 6 lokus genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini, dan

lokus genetik yang paling sering menimbulkan penyakit ini adalah mutasi lengan

panjang kromosom 19, yaitu gen reseptor Ryanodine (RYR1).1 Gen ini penting

dalam proses membukanya protein yang membantu proses perjalanan ion kalsium

(Ca2+).

Gambar 1. Mutasi gen reseptor Ryanodine (RYR1)

3

Page 5: REFERAT ANASTESI

2.2 Epidemiologi

Insiden dari episode serangan hipertermia atau krisis hipertermia maligna adalah

1 : 15,000 pada anak-anak dan 1 : 40,000 pada orang dewasa.2 Sekitar 50% dari

pasien yang mengalami krisis hipertensi maligna atau serangan hipertermi

maligna sebelumnya pernah menerima paparan dari obat-obat anastesi umum

tanpa menimbulkan gejala sebelumnya. Rata-rata, penderita membutuhkan tiga

kali paparan sebelum serangan dapat timbul dan dikenali sebagai krisis hipertermi

maligna, meskipun krisis hipertermia juga dapat berkembang pada paparan

pertama. Laki-laki lebih cenderung dapat mengalami krisis hipertermi maligna

dibanding perempuan. Hipertermia maligna juga lebih sering ditemukan pada

remaja dan dewasa muda, dibandingkan pada orang tua, terutama yang berusia

lebih dari 50 tahun. Anak-anak yang menderita hipertermia maligna biasanya juga

menderita rheumatoid arthritis. Beberapa penyakit musculoskeletal, seperti

myotonia, osteogenesis imperfect, King-Denborough syndrome, dan Duchenne’s

muscular dystrophy, juga sering ditemukan bersamaan dengan kejadian krisis

hipertermia maligna. Beberapa prosedur operasi bedah juga ada yang berkaitan

dengan peningkatan kejadian hipertermi maligna, yaitu tonsilektomi,

adenoidektomi, operasi strabismus, dan cleft palate surgery.3

2.3 Patofisiologi

Tabel 1. Obat-obat anastesi pemicu krisis hipertermia maligna

Hipertermia maligna sering terjadi setelah dipicu oleh paparan agen anastesi

inhalasi, yaitu halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, desfluran, dan obat

pelumpuh otot non depolarisasi, yaitu suksinilkolin.4 Namun, beberapa penelitian

4

Page 6: REFERAT ANASTESI

menyebutkan bahwa hipertermia maligna juga dapat dipicu oleh stress, seperti

olahraga berlebihan atau cuaca panas.5 Pada 50-70% kasus hipertermia maligna,

ditemukan mutasi pada reseptor Ryanodine (RYR1). RYR1 terletak di retikulum

sarkoplasma, yaitu bagian dari otot skeletal atau otot rangka yang berfungsi

sebagai tempat penyimpanan Ca2+. Ca2+ akan keluar dan berikatan dengan aktin

dan myosin, yang merupakan proses dari kontraksi otot. Setelah kontraksi otot

selesai, Ca2+ akan kembali ke dalam retikulum sarkoplasma yang dimediasi oleh

Sarcoplasmic Endoplasmic Reticulum Ca ATPase. RYR1 akan terbuka apabila

ada peningkatan ion Ca2+ intraselular yang dimediasi oleh kanal Ca2+ tipe L,

sehingga akan menghasilkan peningkatan drastis jumlah ion Ca2+ intraseluler yang

menyebabkan kontraksi otot. RYR1 memiliki 2 sisi, yaitu sisi A dan sisi I. Sisi A

memiliki afinitas terhadap ion Ca2+ yang tinggi, sehingga lebih berperan dalam

pembukaan RYR1. Sisi I memiliki afinitas terhadap ion Ca2+ yang lebih rendah,

sehingga lebih berperan saat RYR1 menutup.

Obat-obat anastesi inhalasi yang dapat memicu terjadinya hipertermia maligna

meningkatkan afinitas ion Ca2+ di sisi A dan menurunkan afinitas ion Ca2+ di sisi I.

Mg2+ juga diketahui berpengaruh pada RYR1, karena membuat penutupan RYR1

baik di sisi I maupun di sisi A. Jika terjadi mutasi, afinitas RYR1 untuk Mg2+ akan

berkurang. Jika Mg2+ berkurang, Ca2+ akan semakin banyak, karena threshold

untuk aktivasi diturunkan, sementara threshold untuk deaktivasi ditingkatkan.2

Gambar 2. Patofisiologi hipertermia maligna

5

Page 7: REFERAT ANASTESI

Ca2+ yang berlebihan akan disekuestrasi. Proses sekuestrasi tersebut

membutuhkan banyak adenosine trifosfat (ATP). Konsumsi ATP dalam jumlah

banyak akan menghasilkan panas yang berlebihan dan menyebabkan hipertermia.

Selain itu, pemecahan ATP dan panas berlebihan akan menghancurkan sel-sel otot

skeletal atau rhabdomyolysis. Hasil penghancuran tersebut akan bocor keluar ke

sirkulasi, berupa K+, mioglobin, creatine, fosfat, dan creatine kinase. Pemecahan

ATP berlebihan juga menyebabkan tidak terkontrolnya metabolism aerob dan

anaerob. Keadaan hipermetabolik yang terjadi menjelaskan tingginya konsumsi

O2 dan produksi CO2, yang menyebabkan asidosis laktat dan hipertermia. Selain

itu, mutasi RYR1 yang menyebabkan pelepasan mendadak Ca2+ dalam jumlah

banyak dari retikulum sarkoplasma, mengakibatkan troponin tidak diinhibisi.

Tidak adanya inhibisi dari troponin menyebabkan kontraksi otot skeletal yang

berkelanjutan.6

2.4 Manifestasi Klinis

Gambar 3. Manifestasi klinis hipertermia maligna

6

Page 8: REFERAT ANASTESI

Manifestasi klinis dari hipertermia maligna dapat timbul beberapa menit setelah

paparan obat-obatan anastesi, namun dapat muncul juga setelah beberapa jam

hingga pasien telah berada di ruang pemulihan. Onset dan progresivitas

hipertermia maligna yang sangat bervariasi dipengaruhi oleh peningkatan ion Ca2+

intraselular, obat-obat anastesi tertentu, konsentrasi obat dalam otot skeletal, dan

sejumlah variabel fisiologis lainnya.

Manifestasi klinis hipertermia maligna yang paling awal adalah succinylcholine-

induced masseter muscle rigidity (MMR) atau adanya generalized muscle rigidity,

takikardia, dan hiperkapnia atau hiperkarbia. Jika dua dari gejala ini telah muncul,

kemungkinan besar bahwa penderita manifestasi klinis tersebut sedang mengalami

episode krisis hipertermia maligna. Masseter Muscle Rigidity (MMR) atau sering

disebut “Jaws of Steel” dapat terlihat dari sulitnya atau terdapatnya hambatan

dalam melakukan intubasi yang berlangsung selama 2 menit.7 Rigiditas pertama

kali akan muncul pada otot masseter, karena banyak mengandung miofilamen tipe

I yang memiliki afinitas tinggi terhadap ion Ca2+. MMR tidak akan hilang atau

berkurang meskipun diberikan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Pasien yang

mengalami MMR harus dipantau mioglobinuria dan gejala-gejala hipertermia

maligna lainnya selama 12-24 jam setelahnya. Selain itu, pemeriksaan serum CK

setelah 24 jam juga sebaiknya dilakukan. MMR biasanya akan menghilang secara

spontan setelah 5 menit, dan disusul oleh generalized muscle rigidity yang muncul

secara tiba-tiba.8

Takipnea akan sangat terlihat jika penderita tidak diberikan obat pelumpuh otot.

Manifestasi klinis yang lain yang timbul adalah akibat dari overaktivitas dari saraf

simpatis, yang terlihat sebagai takikardia, aritmia, hipertensi, mottled cyanosis.

Aritmia yang terjadi adalah premature ventricular contractions, sebagai akibat

dari peningkatan pelepasan ion K+. Hipertermia akan timbul belakangan dan

menjadi manifestasi klinis akhir. Suhu tubuh dapat naik sebanyak 1oc setiap 5

menit. Hipertensi yang timbul dapat diikuti oleh hipotensi jika terjadi depresi

sistem kardiovaskular. Penghancuran otot-otot skeletal akan menyebabkan

7

Page 9: REFERAT ANASTESI

mioglobin keluar ke sirkulasi dan menyebabkan mioglobinemia dan

mioglobinuria, yang ditandai dengan urin yang berwarna gelap dan keruh.2

Tabel 2. Manifestasi klinis hipertermia maligna

Dari hasil pemeriksaan laboratorium, ditemukan beberapa ciri khas pada kasus-

kasus hipertermia maligna. Rhabdomyolysis dapat dibuktikan dari pemeriksaan

serum creatine kinase dan serum mioglobin, serta dari pemeriksaan urin untuk

menemukan adanya mioglobinuria.8 Dari analisa gas darah, didapatkan

hiperkapnia disertai dengan asidosis campuran metabolik dan respiratorik. Selain

itu, juga didapatkan peningkatan end tidal CO2 (ETCO2), yang merupakan tanda

awal dan yang paling sensitif dalam menentukan diagnosa hipertermia maligna.

ETCO2 adalah pengukuran grafis karbon dioksida selama ekspirasi. Hiperkalemia

dan hipermagnesemia juga dapat ditemukan dalam pemeriksaan laboratorium.

Saturasi vena oksigen campuran akan menurun di bawah batas normal.

Konsentrasi ion Ca2+ dalam serum akan meningkat pada awalnya dan akan

menurun pada akhirnya. Serum mioglobin, creatine kinase (CK), lactic

dehydrogenase, dan level aldolase akan meningkat. Jika serum CK setelah 12-18

8

Page 10: REFERAT ANASTESI

jam setelah anastesi mencapai 20,000 IU/L, diagnosis hipertemia maligna dapat

langsung ditegakkan.

Tabel 3. Hasil pemeriksaan laboratorium hipertermia maligna

2.5 Diagnosis

Hipertermia maligna termasuk dalam kelompok silent disease, yaitu penyakit

yang awalnya tidak menimbulkan gejala sama sekali, tetapi dapat mengancam

nyawa secara tiba-tiba. Oleh karena itu, diagnosa hipertermia maligna harus

ditegakkan sedini mungkin agar dapat ditangani dengan segera. Tingkat mortalitas

akibat hipertermia maligna berkisar sekitar >80% apabila tidak ditangani dengan

segera. Namun, tingkat mortalitas akibat hipertermia maligna jika dilakukan

penanganan segera hanya sekitar 10%.4

2.5.1 Diagnosis Klinis

Diagnosa klinis dari hipertermia maligna dapat ditegakkan jika terdapat

manifestasi klinis seperti yang telah dijelaskan di atas. Terdapat Grading Score

untuk menegakkan diagnosis hipertermia maligna.

9

Page 11: REFERAT ANASTESI

Berikut adalah grading scale yang dipakai untuk menentukan diagnosis

hipertermia maligna.9

Interpreting the raw score: MH rank and qualitative likelihood

Raw Score Range MH Rank Description of Likelihood

0 1 Almost never

3-9 2 Unlikely

10-19 3 Somewhat less than likely

20-34 4 Somewhat greater than likely

35-49 5 Very likely

50+ 6 Almost certain

Clinical Indicators for Use in Determining the Malignant Hyperthermia

(MH) Raw Score

Process I: Rigidity

Indicator Points

Generalized muscular rigidity (in absence of shivering due

to hypothermia, or during or immediately following emergence

from inhalational general anesthesia) 15

Masseter spasm shortly following succinylcholine administration 15

Process II: Muscle Breakdown

Indicator Points

Elevated creatine kinase >20,000 IU after anesthetic

that included succinylcholine 15

Elevated creatine kinase >10,000 IU after anesthetic

without succinylcholine 15

Cola colored urine in perioperative period 10

Myoglobin in urine >60 mg/L 5

Myoglobin in serum >170 mg/L 5

Blood/plasma/serum K+ > 6 mEq/L (in absence of

renal failure) 3

Process III: Respiratory Acidosis

10

Page 12: REFERAT ANASTESI

Indicator Points

PETCO2>55 mmHg with appropriately controlled ventilation

15

Arterial PaCO2>60 mmHg with appropriately controlled

ventilation 15

PETCO2 >60 mmHg with spontaneous ventilation 15

Arterial PaCO2>65 mmHg with spontaneous ventilation 15

Inappropriate hypercarbia (in anesthesiologist's judgment) 15

Inappropriate tachypnea 10

Process IV: Temperature Increase

Indicator Points

Inappropriately rapid increase in temperature

(in anesthesiologist's judgment) 15

Inappropriately increased temperature > 38.8°C (101.8°F) in the

perioperative period (in anesthesiologist's judgment) 10

Process V: Cardiac Involvement

Indicator Points

Inappropriate sinus tachycardia 3

Ventricular tachycardia or ventricular fibrillation 3

Other indicators that are not part of a single process†

Indicator Points

Arterial base excess more negative than -8 mEq/L 10

Arterial pH <7.25 10

Rapid reversal of MH signs of metabolic and/or respiratory acidosis

with iv dantrolene 5

2.5.2 Diagnosis Laboratorium

11

Page 13: REFERAT ANASTESI

Selain itu, untuk menegakkan diagnosa hipertermia maligna, juga dapat dilakukan

muscle testing dan genetic testing. Muscle testing dapat dilakukan dengan

melakukan Caffeine Halothane Contracture Test (CHCT) atau In Vitro

Contracture Test (IVCT). CHCT atau IVCT merupakan gold standard untuk

menegakkan diagnosis hipertemia maligna.8 Menurut protokol European

Malignant Hyperthermia Group (EMHG), IVCT memiliki sensitivitas 99% dan

spesifisitas 93,6%. Sedangkan, menurut North American Malignant Hyperthermia

Group (NAMHG), IVCT memiliki sensitivitas 97% dan spesifisitas 78%.

Yang termasuk dalam kandidat untuk melakukan tes ini adalah bagi mereka yang

memiliki keluarga dengan riwayat hipertermia maligna sebelumnya dan bagi

mereka yang telah terbukti susceptible dengan hipertermia maligna. Para kandidat

tes ini lalu menjalani prosedur biopsi jaringan otot quadriceps kira-kira sebanyak

2 gram. Prosedur biopsi dilakukan dengan pemilihan teknik anastesi dan

menggunakan obat-obatan yang tidak bersifat memicu munculnya hipertermia

maligna. Setelah itu, dilakukan contracture test dalam waktu 5 jam setelah

pengambilan jaringan atau biopsi dilakukan. Tes kontraktur otot tersebut

dilakukan bersamaan dengan penambahan konsentrasi kafein dan halotan ke

dalam jaringan otot. Viabilitas dari jaringan dipertahankan dengan pemberian

stimulasi listrik berulang.

Tes dilakukan sebanyak 3 kali, yang terdiri dari static caffeine (SC), static

halothane (SH), dan dynamic halothane (DH). Ambang batas dari IVCT ini

adalah konsentrasi obat terendah yang dapat menimbulkan kontraksi setidaknya

0,2 gram jaringan otot. Tes kontraktur ini dinyatakan positif apabila jaringan otot

mengalami kontraksi pada konsentrasi sama dengan atau lebih rendah dari 2% v/v

halotan atau 2 mmol/l kafein.10 Dengan kata lain, jika dibandingkan dengan orang

normal, otot penderita hipertermia maligna akan berkontraksi pada konsentrasi

kafein dan halotan yang lebih rendah.

12

Page 14: REFERAT ANASTESI

Menurut protokol EMHG, hasil tes IVCT dikelompokkan menjadi tiga kelompok,

yaitu Malignant Hypertermia Susceptible (MHS), Malignant Hyperthermia

Normal (MHN), dan Malignant Hyperthermia Equivocal (MHE).10 Seseorang

dikelompokkan ke dalam Malignant Hypertermia Susceptible (MHS) jika kedua

tes kafein dan halotan sama-sama positif. Seseorang dikelompokkan ke dalam

Malignant Hyperthermia Normal (MHN) jika kedua tes negatif. Dan seseorang

dikelompokkan ke dalam Malignant Hyperthermia Equivocal (MHE) jika hanya

salah satu tes yang bersifat positif, baik kafein maupun halotan. Namun, otot

normal memiliki kemungkinan untuk berkontraksi jika ada paparan kafein tinggi,

sedangkan hanya otot abnormal yang berkontraksi saat ada paparan dari halotan.

Menurut protokol NAMHG, hasil tes hanya dikelompokkan menjadi Malignant

Hypertermia Susceptible (MHS), yaitu jika salah satu hasil tes kafein ataupun

halotan positif, dan Malignant Hyperthermia Normal (MHN), yaitu jika kedua tes

negatif. Protokol EMHG memiliki tingkat false positive yang lebih rendah

dibandingkan jika harus mengikuti protokol NAMHG.

Jika seseorang telah mengikuti tes ini dan mendapatkan hasil positif, maka

keluarganya, terutama kerabat tingkat pertama, juga harus mengikuti tes ini

dikarenakan hipertermia maligna merupakan penyakit genetik. Kelemahan dari

IVCT adalah biayanya yang mahal dan IVCT merupakan prosedur invasif. Oleh

karena itu, diperlukan pertimbangan yang sangat hati-hati untuk menentukan

apakah seseorang memang memerlukan tes ini. Anak dibawah usia 10 tahun tidak

dianjurkan mengikuti IVCT.

Selain muscle testing, genetic testing dapat dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosis hipertermia maligna.11 Genetic testing berupa analisis

DNA, memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan dari tes ini adalah mengurangi

jumlah pasien yang harus menjalani prosedur IVCT yang merupakan prosedur

invasif dan memungkinkan orang-orang yang tidak diperkenankan mengikuti

IVCT, yaitu anak-anak dan lansia, untuk mengikuti tes untuk menegakkan

diagnosis hipertermia maligna. Namun, genetic testing ini juga memiliki

kelemahan, yaitu tidak dapat digunakan sebagai alat screening. Tes genetik ini

13

Page 15: REFERAT ANASTESI

hanya dapat mengidentifikasikan 25-30% kasus hipertermia maligna. Tes ini

berarti jika didapatkan kontraksi otot atau dapat dikategorikan ke dalam kelompok

“very likely” menurut grading score dari hipertermia maligna.

Berbeda halnya dengan IVCT, tes genetik untuk menegakkan diagnosis

hipertermia maligna hanya membutuhkan spesimen darah. Namun, tes genetik

memerlukan waktu lama, yaitu sekitar lebih dari 3 bulan.11 Dikatakan suatu

hipertermia maligna apabila terdapat kelainan genetik heterogen dengan

setidaknya lima lokus kerentanan teridentifikasi.

2.6 Tatalaksana

Tatalaksana hipertermia maligna dibedakan menjadi tiga, yaitu tatalaksana

anastesi untuk pasien yang susceptible terhadap hipertermia maligna, tatalaksana

saat episode serangan atau krisis hipertermia maligna, dan tatalaksana setelah

episode serangan hipertermia maligna atau post krisis hipertermia maligna.

2.6.1 Tatalaksana Anastesi

Tatalaksana anastesi untuk pasien yang susceptible terhadap hipertermia maligna

terdiri dari mengenali gejala atau manifestasi klinis dari hipertermia maligna serta

bagaimana cara penanganannya. Selain itu, saat proses anastesi diharapkan tidak

menggunakan obat-obatan anastesi yang sering memicu timbulnya krisis

hipertermia maligna, seperti halotan, isuofluran, enfluran, ataupun suksinilkolin.

Saat operasi berlangsung, gunakan mesin anastesi yang bersih, melakukan

pengecekan terhadap konsentrasi CO2 yang keluar saat ekspirasi, melakukan

pengecekan suhu tubuh, dan harus selalu menyiapkan malignant hyperthermia kit

(MH kit) atau malignant hyperthermia cart (MH cart). MH cart adalah

seperangkat alat-alat dan obat-obatan yang sudah disiapkan berdasarkan protokol

penatalaksanaan hipertermia maligna yang telah disusun dalam troli, sehingga

dapat digunakan kapanpun dalam keadaan emergensi.

14

Page 16: REFERAT ANASTESI

Gambar 4. Malignant Hyperthermia cart

Rekomendasi alat dan bahan yang harus disediakan dalam MH cart :

5 buah spuit 60 mL

4 buah penflon 16G, 4 buah penflon 18G, 4 buah penflon 20G

penflon 22G

penflon 24G

cairan IV

NGT berbagai ukuran

2 buah spuit Toomey 60 mL dengan adaptor

Foley catheter tray

Urine bag

Urine collection container

Urinalysis test strips

Irrigation tray with 60 mL irrigation syringe

10-12 kantung saline yang disimpan di dalam kulkas atau pendingin

Kantung plastik kecil dan besar untuk es batu

Ember untuk es batu

6 buah spuit 3 mL atau ABG kit untuk analisa gas darah

Tabung sampel darah

Steri-drape

Pulmonary artery, esophageal, nasopharyngeal, tympanic membrane,

15

Page 17: REFERAT ANASTESI

bladder, rectal temperature probes

Blood administration sets and pumps

CVP kits dalam berbagai ukuran

Transducer kits for arterial and CVP cannulation

Gastric lavage set with three-way indwelling catheter for insertion into the

rectum

Rekomendasi obat-obatan yang harus disediakan dalam MH cart :

36 buah vial Dantrolene 20 mg

36 buah vial sterile water 100 mL

5 buah vial sodium bicarbonate 8.4% 50 mL

10 buah vial 20% Mannitol 50 mL

4 buah spuit yang telah diisi furosemide 2 mL

1 buah vial insulin 100-U

2 buah vial dextrose 50% dilarutkan di air 50mL

2 buah vial calcium chloride 100 mL

3 buah vial heparin 1000-U

3 buah spuit yang berisi lidocaine 2%, 100mg/5mL atau 100mg/10mL.

Namun, lidocaine tidak boleh digunakan pada aritmia yang disebabkan

oleh hyperkalemia, karena dapat menyebabkan asistol.

2.6.2 Tatalaksana Krisis Hipertermia Maligna

Mengingat bahwa tingkat mortalitas pasien dengan krisis hipertermia

maligna antara yang ditangani dengan yang tidak ditangani sangat berbeda

jauh, pengetahuan tentang penatalaksanaan krisis hipertermia maligna

sangatlah penting. Tingkat mortalitas akibat hipertermia maligna berkisar

sekitar >80% apabila tidak ditangani dengan segera. Namun, tingkat

mortalitas akibat hipertermia maligna jika dilakukan penanganan segera

hanya sekitar 10%. Tatalaksana saat krisis hipertermia maligna

menggunakan protokol yang telah dberikan oleh Malignant Hyperthermia

Association of the United States.2

16

Page 18: REFERAT ANASTESI

Tabel 4. Protokol tatalaksana krisis hipertermia maligna

Tindakan pertama yang dilakukan saat terjadinya episode serangan atau krisis

hipertermia maligna adalah menghentikan agen anastesi yang dapat memicu

serangan atau krisis tersebut. Operasi tetap dapat dilanjutkan dengan

menggunakan agen anastesi yang berbeda dan mesin anastesi yang berbeda juga,

untuk menghindari kemungkinan terjadinya episode serangan kedua karena ada

residu dari agen anastesi pemicu. Sekarang ini, mulai digunakan activated

charcoal dalam mesin anatesi sebagai penyaring dan telah menunjukkan hasil

positif. Filter yang terbuat dari arang aktif ini telah terbukti berhasil menurunkan

konsentrasi sevofluran, isofluran, dan desfluran hingga kurang dari sama dengan 5

ppm dalam waktu 2 menit. Namun, kekurangan dari filter arang aktif ini adalah

filter dapat menjadi jenuh atau saturated setelah pemakaian 1 jam, sehingga perlu

diganti yang baru setiap 1 jam.

Setelah itu, penanganan selanjutnya adalah hiperventilasi dengan memberikan O2

100% dengan kecepatan tinggi atau dengan kecepatan 10L/min. Hiperventilasi ini

17

Page 19: REFERAT ANASTESI

bertujuan untuk mengatasi masalah hiperkapnia, asidosis metabolik, dan

meningkatkan konsumsi O2. Setelah dilakukannya hiperventilasi, diharapkan

ETCO2 menurun hingga kurang dari 55 mmHg.

Pemberian dantrolene untuk krisis hipertermia maligna sangat penting. Setiap vial

dantrolene mengandung 20 mg bubuk dantrolene berwarna orange dan 3 g

mannitol, yang kemudian diencerkan dengan menggunakan 60 mL air steril.

Dosis pemberian awal 2,5 mg/kg BB bolus secara intravena. Jika gejala terus

berlanjut, dantrolene terus diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB setiap 5 menit,

dengan dosis maksimal 10 mg/kg BB, sampai episode serangan terhenti atau

semua manifestasi klinis hipertermia maligna berhenti. Setelah krisis hipertermia

maligna teratasi, dantrolene tetap diberikan setiap 6 jam dengan dosis 1 mg/kg BB

secara intravena dalam waktu 24-48 jam.2 Pemberian tetap dantrolene setelah

krisis hipertemia maligna teratasi bertujuan untuk mencegah relapse atau

kekambuhan. Episode serangan hipertermia maligna kedua dapat terjadi setelah

24 jam sejak episode serangan pertama. Setelah pemberian dantrolene, serum

creatinine kinase harus tetap dicek setiap harinya sampai jumlahnya kembali

normal.

Gambar 5. Dantrolene

Dantrolene, hydrated 1-(((5-(4- nitrophenyl)-2-furanyl)-methylene)amino)-2,4-

imidazolidine dione sodium salt, merupakan turunan dari hidantoin, yang biasanya

digunakan sebagai muscle relaxant. Namun, struktur dan farmakologis dari

dantrolene sangat berbeda dengan muscle relaxant lainnya. Mekanisme kerja

dantrolene adalah merelaksasi otot skeletal dengan cara menghambat pelepasan

18

Page 20: REFERAT ANASTESI

ion Ca2+ dari sarkoplasma retikulum.12 Kekuatan kontraksi otot dapat diturunkan

hingga 75-80%. Waktu paruh dari dantrolene adalah sekitar 12 jam. Dantrolene

dimetabolime sebagian besar oleh hepar menjadi 5-hydroxydantrolene, dan

diekskresi melalui urin dan empedu.

Phlebitis dapat terjadi setelah pemberian dantrolene intravena yang bersifat

alkaloid, dan pengompresan dengan air hangat serta elevasi daerah yang terkena

phlebitis dapat dilakukan sebagai terapi. Selain phlebitis, kelemahan otot juga

dapat terjadi setelah pemberian dantrolene. Gagal napas dan masalah

gastrointestinal juga dapat timbul setelah pemberian dantrolene intravena, namun

hanya terjadi pada sekitar 3% kasus. Sementara, pemberian dantrolene oral kronis

sering dihubungkan dengan gangguan fungsi hepar, karena dantrolene memiliki

sifat hepatotoksik. Oleh karena itu, pemeriksaan fungsi hepar harus secara rutin

dilakukan. Dantrolene juga tidak disarankan untuk diberikan bagi ibu hamil pada

saat operasi caesar. Dantrolene dapat menembus sawar plasenta dan dapat

menyebabkan floppy child syndrome pada neonatus. Dantrolene juga dapat

menyebabkan atonia uteri pada ibu yang sedang menjalani operasi Caesar.

Dantrolene tidak boleh diberikan bersamaan dengan calcium channel blocker,

karena akan menyebabkan hiperkalemia dan depresi miokardium yang

mengancam nyawa. Pemberian muscle relaxant lainnya yang bersamaan dengan

pemberian dantrolene akan menghasilkan efek sinergis, sehingga menyebabkan

kelumpuhan otot yang lebih lama daripada seharusnya. Ini disebabkan karena

penurunan pelepasan neurotransmitter asetilkolin yang dipengaruhi oleh

penurunan pelepasan ion Ca2+. Asetilkolin seharusnya akan berikatan dengan

reseptor kolinergik yang berfungsi untuk kontraksi otot-otot skeletal. Gagal napas

merupakan hal yang paling ditakutkan jika kelumpuhan otot berlangsung lama

dan berlangsung semakin parah.

Infus sodium bikarbonat dengan dosis 1-2 mEq/kg (dosis maksimum pemberian

50mEq) diberikan segera setelah pemberian dantrolene untuk mengatasi masalah

asidosis metabolik. Hipertermia dikoreksi dengan meletakkan ice packs atau

19

Page 21: REFERAT ANASTESI

kantung yang telah diisi es batu pada permukaan kulit torso, axilla, dan groin atau

selangkangan. Selain itu, koreksi hipertermia juga dapat dilakukan dari dalam

tubuh dengan pemberian cairan infus atau saline dingin yang telah diletakkan di

dalam lemari pendingin. Infus harus dihentikan ketika suhu tubuh sudah mencapai

38oc untuk menghindari risiko hipotermia.13 Hiperkalemia dikoreksi dengan

pemberian sodium bikarbonat, pemberian kalsium klorida, dan pemberian glukosa

serta insulin. Untuk dewasa, dosis pemberian glukosa adalah 50 gram disertai

dengan insulin 10 U. Sedangkan, untuk anak-anak, dosis pemberian glukosa 25

gram disertai dengan insulin 5 U. Insulin dilarutkan dalam 50 mL dextrose 50%.

Aritmia dapat dikoreksi dengan pemberian lidocaine 2%, procainamide 200 mg

intravena, atau amiodarone 150mg/3mL. Lidocaine dan procainamide tidak boleh

diberikan pada aritmia yang disebabkan karena hiperkalemia, karena dapat

menyebabkan asistol.

Mannitol dan furosemide dapat diberikan untuk melancarkan jalannya urin dan

mencegah terjadinya gagal ginjal. Dosis mannitol 0,25 gr/kg BB IV dan dosis

furosemide 1mg/kg BB IV, diberikan maksimal 4 kali dosis anjuran. Pada

hipertermia maligna, sel-sel otot skeletal mengalami kerusakan dan menyebabkan

mioglobin keluar dan terakumulasi di dalam ginjal. Akumulasi mioglobin ini

mengobstruksi jalannya urin dan dapat menyebabkan gagal ginjal. Mannitol dan

furosemide dihentikan pemberiannya apabila urine output lebih dari sama dengan

2ml/kgBB/jam.4

Setelah semua masalah terkoreksi, monitor urine output, elektrolit, tes pembekuan

darah, analisa gas darah, dan capnograph. Urine output harus terus dimonitor

untuk menghindari terjadinya nekrosis tubular akut dan mioglobinuria.

Pengambilan darah untuk pemeriksaan elektrolit dilakukan setiap 10 menit.

Elektrolit yang diperiksa adalah sodium, potasium, klorida, kalsium, fosfat, dan

magnesium. Pemeriksaan analisa gas darah juga dilakukan setiap 5-10 menit.

20

Page 22: REFERAT ANASTESI

2.6.3 Tatalaksana Post Krisis Hipertermia Maligna

Setelah krisis hipertermia maligna sudah teratasi, pasien masih tetap harus

dipantau hingga stabil. Tanda-tanda bahwa pasien yang mengalami krisis

hipertermia maligna sudah stabil, meliputi ETCO2 sudah menurun atau kembali

normal, nadi kembali stabil, sudah diberikan dantrolene intravena, suhu tubuh

sudah menurun, dan generalized muscle rigidity sudah menghilang. Jika tanda-

tanda stabil ini sudah terpenuhi, pasien dapat segera dipindahkan ke ICU.

Jika pasien sudah dipindah ke ICU, pasien yang telah mengalami krisis

hipertermia maligna akan tetap diberikan pengobatan dantrolene selama 24-48

jam setelahnya. Oral dantrolene dapat diberikan dengan dosis 4-8 mg/kgBB/hari

dibagi menjadi 3-4 dosis diberikan selama 1-3 hari setelah krisis hipertermia

maligna. Dantrolene intravena juga dapat diberikan ketika dantrolene oral tidak

tersedia dengan dosis awal 1mg/kg BB. Pasien yang telah mengalami krisis

hipertermia maligna memiliki kemungkinan sekitar 25% untuk mengalami

serangan kedua krisis hipertermia dalam beberapa jam setelah serangan pertama,

yang disebut dengan malignant hyperthermia recrudescence.13 Monitoring dari

pasien post krisis hipertemia maligna juga penting dilakukan untuk menghindari

komplikasi hipertermia maligna, seperti disseminated intravascular coagulation

(DIC) dan mioglobinuria yang menyebabkan gagal ginjal.

2.7 Pencegahan

Tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah dengan menanyakan riwayat

anastesi menyeluruh untuk menentukan kemungkinan pasien atau anggota

keluarga pasien pernah mengalami episode serangan atau krisis hipertermia

maligna. Ketika kecurigaan timbul, pemakaian obat-obat anastesi pemicu harus

dihindari dan pasien dibius menggunakan obat-obat anastesi yang dianggap aman.

Pemberian dantrolene sebagai profilaksis terjadinya episode serangan atau krisis

hipertermia maligna sudah tidak lagi disarankan.12 Awalnya, profilaksis

21

Page 23: REFERAT ANASTESI

dantrolene disarankan bagi pasien yang susceptible dengan hipertermia maligna.

Dosis pemberian dantrolene oral sebagai profilaksis adalah 4-8 mg/kgBB/hari

dibagi dalam 3-4 kali pemberian dan diberikan 1-2 hari sebelum operasi

dilakukan. Dan dosis pemberian dantrolene intravena sebagai profilaksis adalah

2,5 mg/kgBB diberikan 1-2 jam sebelum operasi dengan pemberian melalui infus

selama 1 jam. Namun, karena efek samping yang ditimbulkan oleh dantrolene

juga merugikan, keuntungan pemberian profilaksis dantrolene tidak berarti.

Sekarang ini, profilaksis yang dilakukan adalah menyiapkan MH cart agar

tatalaksana emergensi dapat dengan segera dilakukan jika terjadi krisis

hipertermia maligna.

22

Page 24: REFERAT ANASTESI

BAB III

KESIMPULAN

Hipertermia maligna adalah suatu kondisi yang sangat jarang terjadi, namun

sangat berbahaya dan mengancam nyawa, yang biasanya dipicu oleh paparan

obat-obatan tertentu yang biasanya dipakai untuk anastesi umum. Obat-obat

pencetus hipertensi maligna biasanya merupakan agen anastesi volatil, seperti

halotan, isofluran, enfluran, dan lain-lain, serta agen pemblokir neuromuskuler,

seperti succinylcholine. Hipertermia maligna bersifat genetik dan termasuk ke

dalam penyakit autosomal dominan, artinya penyakit ini dapat timbul meskipun

hanya ada satu gen yang cacat dari salah satu orang tua. Mutasi genetik yang

paling sering menyebabkan hipertermia maligna adalah mutasi gen reseptor

Ryanodine (RYR1).

Mutasi dari reseptor Ryanodine akan menyebabkan peningkatan Ca2+ intraselular.

Ca2+ berperan dalam kontraksi otot skeletal. Ca2+ yang berlebihan akan

disekuestrasi. Proses sekuestrasi tersebut membutuhkan banyak adenosine

trifosfat (ATP). Konsumsi ATP dalam jumlah banyak akan menghasilkan panas,

asam laktat, dan CO2. Hal ini yang menyebabkan timbulnya manifestasi klinis

seperti generalized muscle rigidity, suhu tubuh yang meningkat atau hipertermia,

asidosis campuran metabolik dan respiratorik, dan peningkatan ETCO2. Sel-sel

otot juga akan rusak dan dapat terlihat dari pemeriksaan laboratorium, yaitu

meningkatnya serum creatine kinase, serum mioglobin, dan mioglobinuria.

Diagnosis hipertermia maligna harus segera ditegakkan untuk dapat melakukan

penanganan secepatnya. Diagnosis dapat ditegakkan melalui diagnosis klinis dan

diagnosis laboratorium, yaitu IVCT dan pemeriksaan genetik. Tatalaksana

hipertermia maligna dibagi menjadi tiga, yaitu tatalaksana anastesi untuk pasien

yang susceptible terhadap hipertermia maligna, tatalaksana saat episode serangan

atau krisis hipertermia maligna, dan tatalaksana setelah episode serangan

hipertermia maligna atau post krisis hipertermia maligna. Tatalaksana anastesi

untuk pasien yang susceptible terhadap hipertermia maligna adalah menghindari

23

Page 25: REFERAT ANASTESI

paparan obat-obat anastesi pemicu dan selalu menyediakan malignant

hyperthermia cart di ruang operasi. Tatalaksana untuk krisis hipertermia maligna

mengikuti protokol yang telah dibuat, dengan obat pilihan pertama, yaitu

dantrolene. Mekanisme kerja dantrolene adalah merelaksasi otot skeletal dengan

cara menghambat pelepasan ion Ca2+ dari sarkoplasma reticulum. Koreksi

masalah-masalah yang timbul, seperti hyperkalemia, aritmia, asidosis, dan lain-

lain juga harus ditangani sesuai tatalaksana dalam protokol. Setelah krisis

hipertermia maligna sudah teratasi, tatalaksana post krisis tetap harus dilakukan,

yaitu pemberian dantrolene selama 24-36 jam berikutnya dan monitoring teratur

untuk mencegah terjadinya episode serangan kedua dan komplikasi yang dapat

ditimbulkan dari hipertermia maligna, seperti DIC dan gagal ginjal.

Pencegahan hipertermia maligna dapat dilakukan dengan cara menanyakan

riwayat anastesi lengkap sebelum dilakukannya operasi agar dapat memilih obat-

obat anastesi yang akan digunakan dan dengan selalu menyiapkan malignant

hyperthermia cart di ruang operasi. Pemberian dantrolene sebagai profilaksis

hipertermia maligna sebelum dilakukannya operasi sudah tidak lagi dianjurkan,

karena keuntungan yang didapat dari pemberian profilaksis tidak sebanding

dengan efek samping yang dapat ditimbulkan dantrolene.

24

Page 26: REFERAT ANASTESI

DAFTAR PUSTAKA

1. Mhaus.org. Healthcare Professionals - Malignant Hyperthermia

Association of the United States [Internet]. 2015 [cited 2 August 2015].

Available from: http://www.mhaus.org/healthcare-professionals.

2. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Morgan & Mikhail's Clinical

Anesthesiology. 5th ed. New York: McGraw Hill Education; 2013.

3. Greco R. Malignant Hyperthermia: What are the First Signs?. The ASF

Source [Internet]. 2008 [cited 2 August 2015];:1;10. Available from:

http://www.aaaasf.org/newsletters/ASF_Summer2008.pdf

4. Association of Surgical Technologist. Guideline Statement for Malignant

Hyperthermia in the Perioperative Environment [Internet]. 2013 [cited 2

August 2015]. Available from:

http://www.ast.org/uploadedFiles/Main_Site/Content/About_Us/Guideline

_Malignant_Hyperthermia.pdf

5. Orphanet. Malignant Hyperthermia [Internet]. 2013 [cited 2 August 2015].

Available from:

https://www.orpha.net/data/patho/Pro/en/Emergency_MalignantHyperther

mia-enPro649.pdf

6. McCance K, Huether S, Brashers V, Rote N. Pathophysiology: The

Biology Basis for Disease in Adults and Children. 6th ed. Missouri:

Mosby Elsevier; 2010.

7. Onofrei M, Bromhead H. Malignant Hyperthermia. Anaesthesia Tutorial

of the Week. 2009;:1-6.

8. Malignant Hyperthermia: Advances in Clinical Management and

Diagnosis. Oxford Journals [Internet]. 2000 [cited 4 August

2015];85(1):118-128. Available from:

http://bja.oxfordjournals.org/content/85/1/118.full

9. Larach M, Localio R, Allen G, Denborough M, Elis R, Rosenberg H. A

Clinical Grading Scale to Predict Malignant Hyperthermia Susceptibility.

American Society of Anasthesiologist. 1994;80(4):771.

25

Page 27: REFERAT ANASTESI

10. Kim T, Rosenbergh H, Nami N. Current Concepts in the Understanding of

Malignant Hyperthermia. Anesthesiology News [Internet]. 2014 [cited 3

August 2015];:1-5. Available from:

http://www.anesthesiologynews.com/download/MalignantHyperthermia_

AN0214_WM.pdf.

11. Waddington M. Malignant Hyperthermia: Investigation for the

Uninitiated. Australasian Anaesthesia 2005. 2005;:41-50.

12. Krause T, Gerbershagen U, Fiege M, Wappler F. Dantrolene: A review of

its pharmacology, therapeutic use and new developments. Anaesthesia.

2004;59(1):364-373.

13. American Association of Nurse Anesthetist. Malignant Hyperthermia

Crisis Preparedness and Treatment [Internet]. 2014 [cited 5 August 2015].

Available from:

http://www.aana.com/resources2/professionalpractice/Documents/Maligna

nt%20Hyperthermia%20Crisis%20Preparedness%20and

%20Treatment.pdf

26