Referat Amebiasis Bab I II III

30
BAB I PENDAHULUAN Disentri adalah sejumlah kelainan yang ditandai dengan adanya peradangan usus terutama kolon dan disertai dengan nyeri pada perut, tenesmus dan buang air besar yang sering serta mengandung darah dan lendir. Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba). 1 Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, colitis ameba) adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus Entamoeba Histolytica. 1 Disentri amoeba tersebar hampir ke seluruh dunia terutama di negara yang sedang berkembang yang berada di daerah tropis 3 . Hal ini dikarenakan faktor kepadatan penduduk, higiene individu, sanitasi lingkungan dan kondisi sosial ekonomi serta kultural yang menunjang. Penyakit ini biasanya menyerang anak dengan usia lebih dari 5 tahun. 2 Spesies Entamoeba menyerang 10% populasi didunia. Prevalensi yang tinggi mencapai 50 persen di Asia, Afrika dan Amerika Selatan 6 . Di Amerika Serikat, insiden disentri amoeba mencapai 1-5%. 2 1

description

referat anak

Transcript of Referat Amebiasis Bab I II III

BAB I

PENDAHULUAN

Disentri adalah sejumlah kelainan yang ditandai dengan adanya peradangan usus

terutama kolon dan disertai dengan nyeri pada perut, tenesmus dan buang air besar yang

sering serta mengandung darah dan lendir.

Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan

kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit ini dapat disebabkan

oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba).1

Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, colitis ameba) adalah penyakit infeksi

usus besar yang disebabkan oleh parasit usus Entamoeba Histolytica.1

Disentri amoeba tersebar hampir ke seluruh dunia terutama di negara yang sedang

berkembang yang berada di daerah tropis3. Hal ini dikarenakan faktor kepadatan

penduduk, higiene individu, sanitasi lingkungan dan kondisi sosial ekonomi serta kultural

yang menunjang. Penyakit ini biasanya menyerang anak dengan usia lebih dari 5 tahun.2

Spesies Entamoeba menyerang 10% populasi didunia. Prevalensi yang tinggi

mencapai 50 persen di Asia, Afrika dan Amerika Selatan6. Di Amerika Serikat, insiden

disentri amoeba mencapai 1-5%.2

Angka kejadian disentri amoeba di Indonesia sampai saat ini masih belum ada,

akan tetapi berdasarkan laporan dari beberapa rumah sakit besar dapat diperkirakan

insidens amebiasis cukup tinggi. Penularan dapat terjadi lewat beberapa cara misalnya

pencemaran air minum, pupuk kotoran manusia, vektor lalat dan kecoak.

Mengingat bahwa penyakit disentri amoeba merupakan salah satu penyakit

dengan prevalensi yang cukup tinggi terutama insiden terjadi pada anak usia lebih dari 5

tahun sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi pula baik dari

orang tua, masyarakat maupun petugas kesehatan dan penting untuk diketahui dengan

benar informasi tentang penyakit ini, sehingga penyakit ini dapat diidentifikasi dan

penanganannya pun dapat dilakukan secara dini dengan cara yang tepat.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi1

Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, colitis ameba) adalah penyakit infeksi

usus besar yang disebabkan oleh parasit usus Entamoeba Histolytica.

2.2 Etiologi5,10

Entamoeba histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai

mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi

mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding

usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi.

Siklus hidup ameba ada 2 macam bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat

bergerak dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensial (<10

mm) dan trofozoit patogen (>10 mm).

Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala

penyakit. Bila pasien mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Pada

pemeriksaan tinja di bawah mikroskop tampak trofozoit bergerak aktif dengan

pseudopodinya dan dibatasi oleh ektoplasma yang terang seperti kaca. Di dalamnya ada

endoplasma yang berbentuk butir-butir kecil dan sebuah inti di dalamnya. Sementara

trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun

di luar usus (ekstraintestinal), mengakibatkan gejala disentri. Diameternya lebih besar

dari trofozoit komensal (sampai 50 mm) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya

karena trofozoit ini sering menelan eritrosit (haematophagus trophozoite). Bentuk

trofozoit ini bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala penyakit namun cepat mati

apabila berada di luar tubuh manusia.

Bentuk kista ada 2 macam yaitu kista muda dan kista dewasa. Kista muda berinti

satu mengandung satu gelembung glikogen dan badan-badan kromatoid yang berbentuk

batang berujung tumpul. Kista dewasa berinti empat. Kista hanya terbentuk dan dijumpai

2

di dalam lumen usus, tidak dapat terbentuk di luar tubuh dan tidak dapat dijumpai di

dalam dinding usus atau di jaringan tubuh di luar usus.

Bentuk kista bertanggung jawab terhadap penularan penyakit, dapat hidup lama di

luar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung, dan kadar klor standard di dalam

sistem air minum. Diduga faktor kekeringan akibat penyerapan air sepanjang usus besar

menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista. E. histolytica oleh beberapa penulis dibagi

menjadi dua ras yaitu ras besar dan ras kecil, bergantung pada apakah dapat membentuk

kista berdiameter lebih besar atau lebih kecil dari 10 mm. strain kecil ternyata tidak

patogen terhadap manusia dan dinyatakan sebagai spesies tersendiri yaitu E. hartmanni.

Gambar 2.1. Skematis E. histolytica

3

Gambar 2.2. Trofozoit dan kista Entamoeba histolytica

2.3 Patogenesis dan Patofisiologi5,10

Trofozoit mula-mula hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar, dapat

berubah menjadi patogen, menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Faktor yang

menyebabkan perubahan sifat trofozoit tersebut sampai saat ini masih belum diketahui

dengan pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi)

ameba, maupun lingkungannya mempunyai peran. Faktor-faktor yang dapat menurunkan

kerentanan tubuh misalnya kehamilan, kurang gizi, penyakit keganasan, obat-obat

imunosupresif, dan kortikosteroid. Sifat keganasan ameba ditentukan oleh strainnya.

Strain ameba di daerah tropis ternyata lebih ganas dari pada strain di daerah

sedang. Akan tetapi sifat keganasan tersebut tidak stabil, dapat berubah apabila keadaan

lingkungan mengizinkan. Ameba yang ganas dapat memproduksi enzim

fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis

jaringan dinding usus. Bentuk ulkus ameba sangat khas yaitu di lapisan mukosa

berbentuk kecil, tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung).

Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi

reaksi radang yang minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Gambaran

ini sangat berbeda dengan disentri basiler, dimana mukosa usus antara ulkus meradang.

Pada pemeriksaan mikroskopik eksudat ulkus tampak sel leukosit dalam jumlah banyak,

akan tetapi lebih sedikit jika dibandingkan dengan disentri basiler. Tampak pula kristal

Charcot Leyden dan kadang-kadang ditemukan trofozoit. Ulkus yang terjadi dapat

4

menimbulkan perdarahan dan apabila menembus lapisan muscular akan terjadi perforasi

dan peritonitis. Ulkus dapat terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan

frekuensi dan urut-urutan tempatnya adalah sekum, kolon asenden, rectum,sigmoid,

apendiks dan ileum terminalis. Infeksi kronik dapat menimbulkan reaksi terbentuknya

masa jaringan granulasi yang disebut ameboma, yang sering terjadi di daerah sekum dan

sigmoid. Dari ulkus di dalam dinding usus besar, ameba dapat mengadakan metastasis ke

hati lewat cabang vena porta dan menimbulkan abses hati. Embolisasi lewat pembuluh

darah atau pembuluh getah bening dapat pula terjadi ke paru, otak, atau limpa dan

menimbulkan abses di sana, akan tetapi peristiwa ini jarang terjadi.

Infeksi terjadi jika menelan kista matang dari parasit. Ameba ini masuk ke dalam

usus dan dapat menginfeksi jaringan hospes, hidup di lumen usus besar tanpa invasi atau

menjadi kista. Jika sistem kekebalan tubuh lemah maka akan terjadi invasi ameba ke

jaringan. Bentuk histolitika akan memasuki mukosa usus besar yang utuh dan

mengeluarkan enzim dan dapat menghancurkan jaringan. Enzim ini yaitu cystein

proteinase yang disebut histolisin. Invasi pada jaringan menyebabkan sel-sel darah merah

dimakan oleh trofozoit dan menyebabkan perdarahan. Trofozoit ini memasuki jaringan

usus dan merusak epitel dari usus besar dengan memproduksi enzim proteolitik . Luka-

luka akibat destruksi epitel dapat dangkal karena hanya mukosa atau dapat juga dalam

jika mengenai submukosa. Pada submukosa trofozoit memperbanyak diri dan

menimbulkan mikroabses yang akhirnya menimbulkan ulkus. Dengan peristaltik usus,

bentuk ini dikeluarkan bersama isi ulkus rongga usus dan dikeluarkan bersama tinja.

Tinja ini disebut disentri yaitu tinja yang bercampur lendir dan darah.

2.4 Klasifikasi

Berdasarkan berat ringannya gejala yang ditimbulkan maka amebiasis dapat

dibagi menjadi carrier (cyst passer), amebiasis intestinal ringan (disentri ameba ringan),

amebiasis intestinal sedang (disentri ameba sedang), disentri ameba berat dan disentri

ameba kronik.6

5

A. Carrier (Cyst Passer)

Pasien tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan karen

ameba yang berada di dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke

dinding usus.6

B. Amebiasis Intestinal Ringan (Disentri Ameba Ringan)

Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya

mengeluh perut kembung dan kadang-kadang nyeri perut ringan. Dapat timbul

diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang-kadang tinja

bercampur darah dan lendir. Sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid. Jarang

nyeri di daerah epigastrium yang mirip ulkus peptik, keadaan tersebut

bergantung kepada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik,

tanpa atau disertai demam ringan (subfebril). Kadang–kadang terdapat

hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.6

C. Amebiasis Intestinal Sedang (Disentri Ameba Sedang)

Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi

pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari, tinja disertai darah dan

lendir. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan, disertai

hepatomegali yang nyeri tekan.6

D. Disentri Ameba Berat

Keluhan dan gejala klinis lebih hebat lagi. Penderita mengalami diare disertai

darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (40oC-40,5oC),

disertai mual dan anemia. Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan

pemeriksaan sigmoidoskopi karena dapat mengakibatkan perforasi usus.6

E. Disentri Ameba Kronik

Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, serangan-serangan diare

diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan

berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala

6

neurasthenia. Serangan diare biasanya terjadi karena kelelahan, demam atau

makanan yang sukar dicerna.6

2.5 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan tinja

Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat

penting. Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk

pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar. Kadang diperlukan

pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan sebaiknya dilakukan

sebelum pasien mendapat pengobatan.2

Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari

bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan. Dengan sediaan

langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau seperti mutiara. Di dalamnya

terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk batang dengan ujung tumpul,

sedangkan inti tidak tampak. Untuk dapat melihat intinya, dapat digunakan larutan

lugol. Akan tetapi dengan larutan lugol ini badan-badan kromatoid tidak tampak. Bila

jumlah kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metode konsentrasi

dengan larutan seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan seng sulfat kista akan

terapung di permukaan sedangkan dengan larutan eterformalin kista akan mengendap.

Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu diperlukan

tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang

mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat trofozoit yang

masih bergerak aktif seperti keong dengan menggunakan pseudopodinya yang seperti

kaca. Jika tinja berdarah, akan tampak amoeba dengan eritrosit di dalamnya. Bentik

inti akan nampak jelas bila dibuat sediaan dengan larutan eosin.2

B. Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi

Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan

gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan amoeba.

Akan tetapi pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Pada pemeriksaan ini akan

7

didapatkan ulkus yang khas dengan tepi menonjol, tertutup eksudat kekuningan,

mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal.2

C. Foto rontgen kolon

Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena seringkali

ulkus tidak tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto rontgen kolon dengan

barium enema tampak ulkus disertai spasme otot. Pada ameboma nampak filling

defect yang mirip karsinoma.2

D. Pemeriksaan uji serologi

Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati

amebik dan epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba menembus jaringan

(invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien abses hati dan disentri

amoeba dan negatif pada carrier. Hasil uji serologis positif belum tentu menderita

amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti bukan amebiasis.2

2.6 Diagnosis

Diagonosis pada disentri ameba dapat ditegakan dengan anamnesis, pemeriksaan

fisik serta pemeriksaan laboratorium. Pada disentri amoeba ringan penderita biasanya

mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali

sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang juga tinja bercampur darah dan lendir.

Terdapat sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium.

Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik,

tanpa atau sedikit demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali yang tidak

atau sedikit nyeri tekan.8

Sedangkan pada disentri amoeba sedang, keluhan pasien dan gejala klinis lebih

berat dibanding disentri ringan, tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-

hari. Tinja biasanya disertai lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan

lemah badan disertai hepatomegali yang nyeri ringan. Pada disentri amoeba berat keluhan

dan gejala klinis lebih berat lagi. Penderita mengalami diare disertai darah yang banyak,

lebih dari 15 kali sehari, demam tinggi (400 C-40,50C) disertai mual dan anemia.

8

Sedangkan pada disentri amoeba kronik gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan,

serangan-serangan diare diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini

dapat berjalan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan

gejala neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya dikarenakan kelelahan, demam

atau makanan yang sulit dicerna.8

Pada pasien yang mengalami diare atau disentri pada keadaan yang lebih lanjut

dapat menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi dapat timbul jika diare berat dan asupan oral

terbatas karena nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi

bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil

dengan warna urine gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik.

Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan sebagai berikut8 :

a. Keadaan klinis

Dehidrasi menurut keadaan klinisnya dapat dibagi atas 3 tingkatan yaitu :

Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5%BB) : gambaran klinisnya turgor kurang,

suara serak (vox cholerica), pasien belum jatuh dalam presyok.

Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8%BB) : turgor buruk, suara serak, pasien jatuh

dalam presyok atau syok, nadi cepat.

Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10%BB) : tanda dehidrasi sedang ditambah

kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaku, sianosis.

b. Berat jenis plasma

Pada dehidrasi BJ plasma meningkat, klasifikasinya sebagai berikut :

Dehidrasi berat : BJ plasma 1,032-1,040

Dehidrasi sedang : BJ plasma 1,028-1,032

Dehidrasi ringan : BJ plasma 1,025-1,028

Pemeriksaan tinja sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Tinja penderita

amebiasis tidak banyak mengandung leukosit, tetapi banyak mengandung bakteri.

Diagnosis pasti dari pemeriksaan tinja makroskopis dan mikroskopis dapat ditegakkan

bila ditemukan trofozoid motil yang mengandung eritrosit dari sampel tinja segar. Akan

tetapi dengan diketemukan ameba tersebut tidak berarti menyingkirkan kemungkinan

9

diagnosis penyakit lain, karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain

pada seorang pasien. Sering amebiasis terdapat bersamaan dengan karsinoma usus besar.

Oleh karena itu bila pasien amebiasis yang telah mendapat pengobatan spesifik

masih tetap mengeluh perutnya sakit, perlu dilakukan pemeriksaan lain misalnya

endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan tinja.

2.7 Diagnosa Banding

Adapun diagnose banding disentri amoeba adalah sebagai berikut6,7 :

1. Disentri amuba

Timbulnya penyakit biasanya perlahan-lahan, diare awal tidak ada/jarang.

Toksemia ringan dapat terjadi, tenesmus jarang dan sakit berbatas. Tinja

biasanya besar, terus menerus, asam, berdarah, bila berbentuk biasanya

tercampur lendir. Lokasi tersering daerah sekum dan kolon asendens, jarang

mengenai ileum. Ulkus yang ditimbulkan dengan gaung yang khas seperti

botol.

2. Disentri basiler

Penyakit ini biasanya timbul secara akut, sering disertai adanya toksemia,

tenesmus akan tetapi sakit biasanya sifatnya umum. Tinja biasanya kecil-

kecil, banyak, tak berbau, alkalis, berlendir, nanah dan berdarah, bila tinja

berbentuk dilapisi lendir. Daerah yang terserang biasanya sigmoid dan dapat

juga menyerang ileum. Biasanya daerah yang terserang akan mengalami

hiperemia superfisial ulseratif dan selaput lendir akan menebal.

3. Eschericiae coli

a. Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC)

Patogenesisnya seperti Shigelosis yaitu melekat dan menginvasi epitel usus

sehingga menyebabkan kematian sel dan respon radang cepat (secara klinis

dikenal sebagai kolitis). Serogroup ini menyebabkan lesi seperti disentri

basiller, ulserasi atau perdarahan dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear

10

dengan khas edem mukosa dan submukosa. Manifestasi klinis berupa demam,

toksisitas sistemik, nyeri kejang abdomen, tenesmus, dan diare cair atau darah.

b. Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)

Manifestasi klinis dari EHEC dapat menyebabkan penyakit diare sendiri atau

dengan nyeri abdomen. Diare pada mulanya cair tapi beberapa hari menjadi

berdarah (kolitis hemoragik). Meskipun gambarannya sama dengan Shigelosis

yang membedakan adalah terjadinya demam yang merupakan manifestasi

yang tidak lazim. Beberapa infeksi disertai dengan sindrom hemolitik uremik.

2.8 Komplikasi

Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri ameba, baik berat maupun ringan.

Sering sumber penyakit di usus sudah tidak menunjukkan gejala lagi atau hanya

menunjukkan gejala ringan, sehingga yang menonjol adalah gejala penyulitnya

(komplikasi). Berdasarkan lokasinya, penyulit tersebut dapat dibagi menjadi sebagia

berikut7 :

2.8.1. Komplikasi intestinal

a. Perdarahan usus

Terjadi apabila ameba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan merusak

pembuluh darah. Bila perdarahan hebat dapat berakibat fatal.

b. Perforasi usus

Terjadi apabila abses menembus lapisan muscular dinding usus besar. Sering

mengakibatkan peritonitis yang mortilitasnya tinggi.

c. Ameboma

Terjadi akibat infeksi kronik yang mengakibatkan reaksi terbentuknya massa

jaringan granulasi. Biasa terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid. Sering

mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus.

d. Intususepsi

Sering terjadi di daerah sekum yang memerlukan tindakan operasi segera.

e. Penyempitan usus (striktura)

Dapat terjadi pada disentri kronik, akibat terbentuknya jaringan ikat atau akibat

ameboma.

11

2.8.2. Komplikasi ekstra intestinal

a. Amebiasis hati

Abses hati ameba merupakan penyulit ekstra intestinal yang paling

sering terjadi. Abses dapat timbul beberapa minggu, bulan atau tahun sesudah

infeksi ameba, kadang-kadang terjadi tanpa diketahui menderita disentri

ameba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi ameba dan

dinding usus besar lewat vena porta. Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang

merupakan stadium dini abses hati, kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil

(mikro abses), yang akan bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal

yang besar. Dapat pula terjadi abses majemuk. Abses berisi nanah kental yang

steril tidak berbau, berwarna kecoklatan (cho-colate paste) terdiri atas

jaringan sel hati yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang berwarna

kuning kehijauan karena bercampur dengan cairan empedu7.

Pasien sering mengeluh nyeri spontan di perut kanan atas, kalau

berjalan posisinya membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan

diatasnya. Hati teraba di bawah lengkung iga, nyeri tekan disertai demam

tinggi yang bersifat intermitten atau remiten. Kadang-kadang terasa nyeri

tekan local di daerah antara iga ke-8, ke-9, dan ke-10. Pada pemeriksaan

laboratorium ditemukan leukositosis moderate (15.000-25.000/mm3) yang

terdiri atas 70% leukosit polimorfonuklear7.

b. Amebiasis pleuropulmonal

Abses paru dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding usus

besar. Penderita batuk-batuk dengan sputum berwarna kecoklatan.

c. Abses otak, limpa dan organ lain

Abses otak, limpa dan organ lain dapat terjadi akibat embolisasi ameba

langsung dari dinding usus besar maupun dari abses hati walaupun sangat

jarang terjadi.

12

d. Amebiasis kulit

Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar. Sering terjadi di

daerah perianal atau di dinding perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal

akibat invasi ameba yang berasal dari anus.

2.9 Tatalaksana

2.9.1. Amebiasis asimptomatik (carrier atau cyst passer)

Carrier atau cyst passer walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis

sebaiknya diobati. Hal ini disebabkan karena ameba yang hidup sebagai komensial

di dalam lumen usus besar, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi patogen.

Trofozoit banyak dijumpai di lumen usus besar tanpa atau sedikit sekali

menimbulkan kelainan mukosa usus. Ulkus yang ditimbulkan hanya superficial,

tidak mencapai lapisan submukosa. Kelainan tersebut tidak menyebabkan

gangguan peristaltik usus sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala klinis.

Obat yang diberikan adalah amebisid luminal, misalnya10 :

Diloksanit furoat (diloxanite furoate). Dosis 3 x 500 mg sehari, selama

10 hari. Saat ini obat ini merupakan amebisid luminal pilihan, karena

efektivitasnya cukup tinggi (80-85%), sedangkan efek sampingnya sangat

minimal hanya berupa mual dan kembung.

Diyodohidroksikin (diiodohydroxykuin). Dosis 3 x 600 mg sehari,

selama 10 hari

Yodoklorohidroksikin (iodochlorohydroxykuin) atau kliokinol

(cliokuinol). Dosis 3 x 250 mg sehari, selama 10 hari. Kedua obat tersebut

termasuk halogenated hydroxykuinolin yang cukup efektif sebagai

amebisid luminal. Efektivitasnya 60-70%. Efek samping yang terjadi

biasanya ringan berupa mual dan muntah.

Karbarson (carbarsone). Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari.

Bisthmuth glycoarsanilate. Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari. Kedua

obat tersebut merupakan obat golongan arsen, yang saat ini sudah jarang

dipakai lagi. Sering timbul efek samping diare.

13

Klefamid (clefamide). Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10-13 hari.

Paromomycin. Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari.

Oleh karena ada kemungkinan invasi amuba ke mukosa usus besar, maka

walaupun tidak mengakibatkan gangguan peristaltic usus, dianjurkan

untuk menambah amebisid jaringan sebagai profilaksis. Obat amebisid

jaringan yang dapat dipakai adalah :

Klorokuin difosfat. Dosis 2 x 500 mg sehari, selama 1-2 hari, kemudian

dilanjutkan dengan 2 x 250 mg sehari, selama 7-12 hari. Konsentrasi obat

di dalam jaringan terutama jaringan hati sangat tinggi sehingga dipakai

untuk profilaksis timbulnya abses hati ameba. Efek samping obat berupa

mual, pusing dan nyeri kepala. Pemberian jangka lama dapat

mengakibatkan retinopati. Tidak dianjurkan untuk diberikan kepada

wanita hamil karena dapat menyebabkan anak lahir tuli.

Metronidazol. Dosis 50 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis selama 5-7

hari.

Tinidazol. Dosis 50 mg/kg berat badan atau 2 g sehari, selama 2-3 hari.

Ornidazol. Dosis 50-60 mg/kg berat badan atau 2 g sehari, selama 3 hari.

Ketiga obat tersebut termasuk golongan nitroimidazol yang dapat bekerja

baik di dalam lumen usus, di dalam dinding usus maupun di luar usus.

Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, pusing dan nyeri

kepala.

2.9.2. Disentri ameba ringan-sedang

Pada pasien ditemukan ulkus di mukosa usus besar yang dapat mencapai

lapisan submukosa dan dapat mengakibatkan gangguan peristaltik usus. Pasien akan

mengalami diare atau disentri, tetapi tidak berat, sehingga tidak memerlukan infuse

cairan elektrolit atau transfuse darah. Oleh karena didapatkan trofozoit di dalam

lumen dan di dalam dinding usus besar, maka sebagai obat pilihan adalah

14

metronidazole dengan dosis 3 x 750 mg sehari selama 5-10 hari. Dapat pula dipakai

tinidazole atau ornidazole dengan dosis seperti tersebut di atas.

Oleh karena pada pasien yang sudah sembuh dengan pengobatan

metronidazole dapat timbul abses hati ameba dalam jangka waktu 3-4 bulan

kemudian, maka dianjurkan untuk menambah dengan obat amebisid luminal. Obat

ini akan memberantas sumber trofozoit di dalam lumen usus. Dapat dipakai

diyodohidroksikin, kliokinol atau diloksanid furoat dengan dosis seperti tersebut di

atas. Dapat pula diberi tetrasiklin dengan dosis 4 x 500 mg sehari selama 5 hari.

2.9.3. Disentri ameba berat

Pasien ini tidak hanya memerlukan obat amebisid saja, tetapi juga

memerlukan infuse cairan elektrolit atau transfusi darah. Selain pengobatan seperti

pada disenti ameba ringan dan sedang perlu ditambah emetin atau dehidroemetin.

Obat ini diberikan secara suntikan intramuscular atau subkutan yang dalam. Dosis

emetin 1 mg/kg berat badan sehari (maksimum 60 mg sehari) selama 3-5 hari;

dehidroemetin 11,5 mg/kg berat badan sehari (maksimum 90 mg sehari) selama 3-5

hari. Penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit dan tirah baring selama

pengobatan. Hal ini disebabkan karena bahaya efek samping emetin terhadap

jantung. Pemberian dosis tinggi dapat mengakibatkan nekrosis otot jantung dan

penderita meninggal mendadak. Oleh karena itu, penderita perlu diobservasi dengan

teliti, terutama tekanan darah, denyut nadi dan elektrokardiografi.

Penatalaksanaan pada pasien diare dan disentri yang mengalami dehidrasi

dapat dilakukan dengan pengganti cairan/rehidrasi. Bila keadaan umum baik tidak

dehidrasi, asupan cairan yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari

buah, sup, dll. Bila pasien kehilangan cairan yang banyak dan dehidrasi,

penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan

cairan isotonik mengandung elektrolit dan gula harus diberikan. Terapi rehidrasi

oral murah, efektif dan lebih praktis dari pada cairan intravena. Cairan oral antara

lain pedialit, oralit, dll. Cairan infus antara lain ringer laktat, dll. Cairan diberikan

50-200 ml/kgBB/24 jam tergantung kebutuhan dan status hidrasi.

15

Untuk memberikan rehidrasi pada pasien perlu dinilai dulu derajat dehidrasi.

Dehidrasi terdiri dari dehidrasi ringan, sedang dan berat. Ringan bila pasien

mengalami kekurangan cairan 2-5% dari berat badan. Sedang bila pasien

kehilangan cairan 5-8% dari berat badan. Berat bila pasien kehilangan cairan 8-

10% dari berat badan.

Prinsip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai

dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Macam-macam pemberian cairan

adalah sebagai berikut :

a. BJ plasma dengan rumus :

BJ plasma - 1,025

Kebutuhan cairan = x BB x 4 ml

0,001

b. Metode Pierce berdasarkan klinis :

Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan : 5% x BB (kg)

Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan : 8% x BB (kg)

Dehidrasi berat, kebutuhan cairan : 10% x BB (kg)

c. Metoden Daldiyono berdasarkan skor klinis :

Skor

Kebutuhan cairan = x 10% x kgBB x 1 liter

15

Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan per

oral (sebanyak mungkin sedikit demi sedikit). Bila skor lebih dari atau sama

3 disertai syok diberikan cairan per intravena.

16

Tabel 2.2. Skor Penilaian Klinis Dehidrasi

Klinis Skor

Rasa haus/muntah 1

Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg 1

Tekanan darah sistolik <60 mmHg 2

Frekuensi nadi > 120 kali/menit 1

Kesadaran apatis 1

Kesadaran somnolen, sopor, koma 2

Frekuensi nafas > 30 kali/menit 1

Facies cholerica 2

Vox cholerica 2

Turgor kulit menurun 1

Washer woman’s hand 1

Ekstremitas dingin 1

Sianosis 2

Umur 50-60 tahun -1

Umur >60 tahun -2

Cairan rehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui selang

nasogastrik atau intravena.

17

Bila dehidrasi sedang/berat sebaiknya pasien diberikan cairan melalui infuse

pembuluh darah. Sedangkan dehidrasi ringan/sedang pada pasien masih

dapat diberikan cairan per oral atau selang nasogastrik, kecuali bila ada

kontraindikasi atau oral/saluran cerna atas tak dapat dipakai. Pemberian per

oral diberikan larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 g glukosa,

3,5 g NaCl, 2,5 g Natrium Bikarbonat dan 1,5 g KCl setiap liter. Contoh

oralit generic, renalyte, pharolit, dll. Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas

sebagai berikut :

a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial) : jumlah total kebutuhan cairan

menurut BJ plasma atau skor Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam

ini agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin.

b. Satu jam berikut/jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan

berdasarkan kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi

inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari

3 dapat diganti cairan per oral.

c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan

cairan melalui tinja dan Insensible Water Loss (IWL).

2.10 Prognosis

Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan

pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan ameba terhadap obat yang diberikan.

Pada umumnya prognosis amebiasis adalah baik terutama yang tanpa komplikasi.2

18

BAB III

KESIMPULAN

1. Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali dapat menyebabkan

kematian. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) maupun amoeba

(disentri amoeba). Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, colitis ameba) adalah

penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus Entamoeba Histolytica.

2. Berdasarkan berat ringannya gejala yang ditimbulkan amebiasis dapat dibagi menjadi

carrier (cyst passer), amebiasis intestinal ringan (disentri ameba ringan), amebiasis

intestinal sedang (disentri ameba sedang), disentri ameba berat dan disentri ameba

kronik.

3. Ada banyak pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis

amebiasis, salah satunya adalah pemeriksaan tinja yang merupakan pemeriksaan

laboratorium yang sangat penting.

4. Hampir semua obat amebisid tidak dapat bekerja efektif di semua tempat tersebut,

terutama bila diberikan obat tunggal. Oleh karena itu sering digunakan kombinasi obat

untuk meningkatkan hasil pengobatan. Metronidazol, Tinidazol, dan Ornidazol ketiga

obat tersebut termasuk golongan nitroimidazol yang dapat bekerja baik di dalam lumen

usus, di dalam dinding usus maupun di luar usus. Terapi pengobatan untuk anak,

19

penyakit yang disebabkan oleh parasit entamoeba hystolitica diberikan metronidazol 50

mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 5-7 hari.

5. Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri ameba, baik berat maupun ringan. Sering

sumber penyakit di usus sudah tidak menunjukkan gejala lagi atau hanya menunjukkan

gejala ringan, sehingga yang menonjol adalah gejala penyulitnya (komplikasi).

Berdasarkan lokasinya, dibagi menjadi komplikasi intestinal dan komplikasi ekstra

intestinal.

20