referat
-
Upload
ela-shintya -
Category
Documents
-
view
88 -
download
2
description
Transcript of referat
BAB I
PENDAHULUAN
Multiple sclerosis adalah penyakit demielinisasi dari central nervous
system (otak dan atau medula spinalis). Degenerasi mielin di multiple sclerosis
adalah karena proses autoimun. Beberapa faktor seperti keturunan dan pengaruh
lingkungan, mungkin termasuk infeksi virus, juga tampaknya berperan.1
Multiple sclerosis merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling
sering menyerang dewasa muda. Secara global, diperkirakan prevalensi rata-rata
multiple sclerosis adalah 30 per 100 000. Secara regional, prevalensi diperkirakan
rata-rata multiple sclerosis adalah terbesar di Eropa (80 per 100 000), diikuti oleh
Mediterania Timur (14,9), Amerika (8.3), Pasifik Barat (5), Asia Tenggara (2,8),
dan Afrika (0,3).2,3
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada area dengan suhu sedang
dibandingkan daerah iklim tropis. Penyakit ini lebih sering terjadi pada
perempuan daripada laki-laki (1,5:1). Penyakit dapat terjadi pada segala usia,
walaupun onset pertama jarang terjadi pada anak-anak dan orang usia lanjut.
Biasanya usia munculnya gejala antara 20-40 tahun.4
Gejala awal multiple sclerosis adalah pandangan kabur, diplopia, distorsi
warna merah-hijau, atau bahkan kebutaan pada satu mata. Kebanyakan pasien
multiple sclerosis mengalami kelemahan otot pada kaki mereka dan kesulitan
dalam koordinasi dan keseimbangan. Gejala ini mungkin cukup berat sehingga
mengganggu berjalan atau bahkan berdiri. Dalam kasus terburuk, multiple
sclerosis dapat menghasilkan kelumpuhan. Kebanyakan orang dengan multiple
sclerosis juga menunjukkan parestesia, sementara perasaan sensoris yang
abnormal seperti mati rasa dan sensasi kebas atau baal. Beberapa juga mungkin
mengalami rasa sakit seperti nyeri ekstremitas dan neuralgia trigeminal tipikal.4,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DefinisiMultiple sclerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak dan
sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba dan
merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya
dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses autoimun. Focal
lymphocytic infiltration atau sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke
dalam sirkulasi menembus sawar darah otak (blood brain barrier) secara
terus-menerus menuju lokasi dan melakukan penyerangan pada antigen
myelin pada sistem saraf pusat seperti yang umum terjadi pada setiap infeksi.
Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi, kerusakan pada myelin
(demielinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis, dan proses degenerative.
Substansi lemak yang dikenal sebagai mielin (mengelilingi dan
membungkus serat saraf dan sebagai fasilitator konduksi dari transmisi
impuls saraf) mengalami kerusakan secara intermiten (demielinisasi).
Demielinisasi menyebabkan ‘scar’ dan mengerasnya (sclerotik=skleros
(Mesir) dari serat saraf pada otak, medulla spinalis, batang otak, dan nervus
optikus, yang menyebabkan hantaran impuls saraf menjadi lambat dan
akibatnya terjadi kelemahan, gangguan sensorik, nyeri dan gangguan
penglihatan.
Akibat demielinisasi neuron menjadi kurang efisien dalam potensial
aksi. Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron yang terdemyelinisasi
akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls tersebut, terjadi kelemahan
dan kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan sensorik tertentu di
berbagai bagian tubuh.
B. Epidemiologi
Multiple sclerosis merupakan salah satu gangguan neurologis yang
paling sering menyerang dewasa muda. Secara global, diperkirakan
prevalensi rata-rata multiple sclerosis adalah 30 per 100 000. Secara regional,
prevalensi diperkirakan rata-rata multiple sclerosis adalah terbesar di Eropa
(80 per 100 000), diikuti oleh Mediterania Timur (14,9), Amerika (8.3),
Pasifik Barat (5), Asia Tenggara (2,8), dan Afrika (0,3).2,3
Kejadian multiple sclerosis (yakni, jumlah kasus baru per tahun) adalah
4-6 per 100.000 penduduk per tahun. Dalam populasi etnis campuran, insiden
dan prevalensi tertinggi adalah pada orang keturunan Eropa. Terdapat juga
bukti bahwa orang yang dilahirkan pada daerah yang berisiko tinggi multiole
sclerosis akan membawa risiko tersebut jika mereka pindah ke area dengan
risiko rendah dan sebaliknya, tetapi hanya jika perpindahan terjadi pada usia
remaja.1,4
C. Etiologi
Penyebab dari multiple sclerosis tetap tidak diketahui, walaupun
kegiatan penelitian dibidang ini sudah banyak dilakukan. Hipotesis yang tidak
terhitung banyaknya sudah diajukan. Sebagian besar multiple sclerosis di
Eropa adalah tipe HLA-A3, B7, DW2 dan DR2. Selama serangan akut, jumlah
sel-sel supresor dalam darah perifer berkurang. Penelitian eksperimental
mendukung teori dari infeksi slow virus atau reaksi autoimun. Walaupun titer
campak yang meningkat sering terdapat pada pasien multiple sclerosis, tetapi
virus campak tidak dapat dianggap sebagai virus yang bertanggung jawab
untuk penyakit ini.
Patogenesis dari multiple sclerosis sebagian komplemen dan sebagian
berlawanan dengan mekanisme autoimun, teori ini didukung oleh model
percobaan ensefalomielitis alergika eksperimental pada binatang. Pada tahun-
tahun terakhir ini, perjalanan penyakit yang berulang telah ditemukan pada
binatang percobaan. Suatu sensitisasi yang terlambat terhadap protein
sensefalitogenik dari SSP telah diperlihatkan terjadi melalui reaksi imun
seluler. Limfosit yang tersensitisasi merupakan karier yang paling penting dari
proses ini.5
Peran mekanisme imun pada patogenesis multiple sclerosis didukung
beberapa temuan, seperti adanya sel inflamasi kronik pada plak aktif dan
hubungan kondisi ini dengan gen spesifik pada kompleks histokompatibilitas
mayor (major histocompatibility, MHC). Banyak gangguan autoimun yang
ternyata berhubungan dengan kelompok gen ini.2
Hubungan dengan MHC merupakan salah satu bukti pengaruh
komponen genetik dalam etiologi multiple sclerosis, begitu pula adanya kasus
pada keluarga, dan temuan peningkatan kejadian pada kasus kembar identik
(monozigot) dibandingkan kembar nonidentik (dizigot). Akan tetapi, belum
ditemukan gen tunggal yang penting untuk terjadinya multiple sclerosis.3
Fokal area dari destruksi mielin di dalam multiple sclerosis terjadi dengan
latar belakang suatu proses radang yang didominasi oleh penyusupan dari T-
limfosit, hematogen makrofag, aktivasi dari lokal mikroglia, dan adanya
sedikit B-limfosit atau sel-sel plasma. Proses peradangan ini berhubungan
dengan peningkatan berbagai cytokines di dalam lesi multiple sclerosis,
mencakup interleukin-1,2,4,6,10,12, gamma-interferon (c-IFN), tumor
necrosis alfa factor (TNF-a), dan transforming growth beta faktor (TGF-b).6
D. Gejala klinis
Sindrom klinis pada multiple sclerosis secara klasik ditemukan adanya
gangguan yang bersifat relaps dan remisi yang mengenai sistem saraf dengan
onset pada usia muda, dengan variasi gambaran klinis yang ditemukan sering
beragam, variasi ini termasuk dalam hal onset usia, manifestasi awal, frekuensi,
berat ringannya penyakit dan gejala sisa relaps, tingkat progresifitas dan
banyaknya gejala neurology yang timbul 1,2,3
Variasi gambaran klinis ini menggambarkan banyaknya atau luasnya
daerah system saraf yang rusak (multiple sclerosis plak). Secara umum seorang
dokter mencurigai suatu kasus multiple sclerosis bila ditemukan gejala :
Pasien mendapat 2 serangan dari gangguan neurologi (tiap serangan lebih
dari 24 jam dan berlangsung lebih dari 1 bulan), atau
Perkembangan gejala yang progresif secara perlahan selama periode
paling sedikit 6 bulan
Gejala atau simptom yang timbul pada MS dapat berupa
1. Gangguan penglihatan
Sebagian besar pasien menderita gangguan penglihatan sebagai gejala-
gejala awal. Dapat terjadi kekaburan penglihatan, lapang pandang yang abnormal
dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun pada kedua mata. Salah satu
mata mungkin mengalami kebutaan total selama beberapa jam sampai beberapa
hari. Gangguan-gangguan visual ini mungkin diakibatkan oleh neuritis saraf
optikus. Selain itu, juga ditemukan diplopia akibat lesi pada batang otak yang
menyerang nukleus atau serabut-serabut traktus dari otot-otot ekstraokular dan
nistagmus.
Neuritis Optika adalah gangguan penglihatan yang paling sering terjadi
14-23% kasus dan 50%, biasanya muncul secara akut atau subakut dan unilateral
dengan diikuti rasa nyeri pada mata terutama dengan adanya gerakan bola mata.
Neuritis Optika bilateral sangat jarang terjadi, bila ditemukan biasanya asimetris
dan lebih berat pada satu mata. Neuritis optika bilateral biasanya terjadi pada anak
dan ras Asia.
2. Gangguan sensorik
Gangguan sensorik merupakan gejala awal yang paling sering ditemukan
pada multiple sclerosis (21-55%) dan berkembang/timbul hamper pada semua
pasien multiple sclerosis. Hipestesi (baal), parestesi (kesemutan), disestesi (rasa
terbakar) dan hiperestesi adalah gejala yang tersering.Gangguan ini dapat timbul
disemua daerah distribusi, satu atau lebih dari satu anggota gerak,,wajah atau
badan (trunkal).Pasien sering datang dengan keluhan rasa baal atau kesemutan
dimulai pada satu kaki yang merambat keatas (ascending) pada satu sisi kemudian
kesisi yang lain (kontra sisi).
Gangguan sensorik dapat naik keatas dengan suatu level sensorik dan
biasanya diikuti dengan gangguan keseimbangan, kelemahan, gangguan BAK,
konstipasi dan munculnya tanda Lhermitte’s bila kepala difleksikan secara pasif,
timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan lengan. Hal ini mungkin
disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi sensitivitasnya meningkat
terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala.
3. Gangguan kognitif
Masalah kognitif seperti kesulitan berkonsentrasi, gangguan memori, dan
gangguan mental terdapat pada 40-70 % pasien multiple sclerosis. Banyak
penderita multiple sclerosis meninggalkan pekerjaannya akibat masalah diatas.
Pada ± 10% kasus, disfungsi mental berat dan demensia dapat tejadi. Gangguan
ini mungkin berhubungan dengan depresi yang dilaporkan ditemukan pada 25-
50% kasus multiple sclerosis.
Ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa depresi pada multiple
sclerosis bukan karena masalah psikologi,umur atau lamanya menderita penyakit
tetapi dipengaruhi oleh jumlah lesi yang ditemukan pada gambaran MRI
(Swirsky-Sacchetti T et al 1992). Atrofi otak, pembesaran ventrikel dan
menipisnya korpus kalosum juga penyebab gejala gangguan kognitif diatas.
4. Gangguan Gerakan Bola Mata
Gangguan gerakan bola mata sering terjadi pada pasien MS biasanya
berhubungan dengan gangguan saraf penggerak bola mata, Nervus cranial VI,III
dan jarang pada nervus VI. Nistagmus adalah gejala yang paling sering muncul
(Dell’Osso, Daroff, Troost, 1990) berupa “jelly like nystagmus” berupa gerakan
cepat dengan amplitudo kecil. Internuklear ophtalmoplegia (INO) juga sering
ditemukan, dan bila ditemukan bilateral biasanya didapatkan juga adanya
nistagmus vertical dan upward gaze.
5. Gangguan Motorik
Gejala awal motorik ditemukan pada 32-41% kasus multiple sclerosis dan
lebih dari 60% kasus multiple sclerosis mempunyai gejala motorik. Gangguan
motorik terjadi akibat terlibatnya traktus piramidalis yang menyebabkan
kelemahan, spastisitas, gangguan gerakan tangkas, dan hiperrefleks. Gangguan ini
dapat timbul akut atau kronik progresif dengan kelemahan satu atau lebih anggota
gerak, kelemahan otot wajah, kekakuan tungkai yang dapat menyebabkan
gangguan dalam berjalan dan keseimbangan atau terjadi suatu spastisitas. Latihan
atau panas biasanya menyebabkan gejala memburuk.
Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada
multiple sclerosis meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula
spinalis dapat menyebabkan sindroma Brown-Sequard atau mielitis transversa
yang mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris), level sensorik dan
gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau hiperrefleksia bilateral
dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi yang lebih sering
dan merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang khas, meskipun kelemahan
hanya pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat
menyebabkan gejala kram otot pada pasien multiple sclerosis. Kelelahan atau
fatigue merupakan gejala non spesifik pada multiple sclerosis dan terjadi pada
hampir 90% pasien multiple sclerosis. Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik
pada waktu exercise berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun
kelelahan/kelambatan mental.
6. Gangguan Cerebelum
Gangguan cerebellum menimbulkan gangguan keseimbangan, gangguan
koordinasi dan “slurred speech”. Bisa juga terjadi tremor intensi pada anggota
gerak kepala. Berjalan terganggu karena adanya ataksia trunkus. Nistagmus,
gerakan saccadic, dismetria okuli, scanning speech dapat terjadi. Gejala
cerebellum biasanya bercampur dengan gejala traktus piramidalis.
7. Gangguan Berkemih, BAB dan disfungsi seksual
Gangguan berkemih merupakan salah satu gejala multiple sclerosis yang
sering ditemukan. Pada saat awal terjadi “urgency dan frekuensi” kemudian
terjadi inkontinensia urin. Konstipasi lebih sering ditemukan (39-53%)
dibandingkan inkontinensia alvi. Hal diatas merupakan masalah yang serius bagi
penderita multiple sclerosis karena dapat menyebabkan infeksi pada saluran
kemih.
Gangguan seksual terjadi pada lebih dari 70% pasien multiple sclerosis.
Disfungsi seksual merupakan gabungan dari berbagai masalah yang timbul baik
masalah motorik dan sensorik maupun masalah psikologis penderita.
8. Manifestasi lainnya
Nyeri jarang terjadi pada multiple sclerosis, walaupun beberapa pasien
dapat mengalami neuralgia trigeminal tipikal akibat plak di batang otang dan pada
kasus lain dapat terjadi nyeri ekstremitas. Terdapat peningkatan insidensi epilepsi
pada pasien multiple sclerosis.
Multiple sclerosis diklasifikasikan menjadi 2 kategori mayor
1. Relaps Remisi (Relapsing remitting)
2. Progresifitas Kronis (Chronic Progressive) multiple sclerosis yang terbagi
menjadi :
Progresifitas primer (Primary progressive)
Progresifitas Sekunder (Secondary Progressive)
Relaps Progresif (Progressive Relapsing)
Klasifikasi ini digunakan dalam memperkirakan prognosis pasien dan sebagai
pedoman dalam pemberian terapi.
1. Relaps-Remisi (Relapsing Remitting)
Merupakan periode perburukan neurology yang akut dari multiple sclerosis
(relaps, serangan, atau eksaserbasi) yang diikuti oleh periode pulihnya sebagian
atau seluruh gejala progresifitas penyakit yang ada (remisi).
Frekuensi : ± 85 %
2. Progresifitas Primer (Primary Progressive)
Multiple sclerosis dengan perburukan penyakit yang perlahan dan berlanjut
sejak awal serangan tanpa adanya relaps atau remisi.,tetapi progresifitas yang
ada berbeda dari waktu ke waktu biasanya mendatar atau perburukan minimal .
Frekuensi : Jarang. ± 10 %
3. Progresifitas Sekunder (Secondary Progressive)
Multiple sclerosis dengan awalnya mengalami relaps remisi kemudian
penderita mengalami perburukan secara tetap tanpa mengalami perbaikan
minimal (remisi) atau menetap.
Frekuensi : 50 % multiple sclerosis Relaps remisi berkembang menjadi bentuk
ini
4. Relaps Progresif (Progressive Relapsing)
Multiple sclerosis dengan perburukan penyakit yang terus menerus sejak awal
serangan diikuti oleh kekambuhan (serangan akut baru) tanpa atau dengan
perbaikan.
Frekuensi : Jarang.± 5 %
Pembagian lain yang tidak lazim digunakan adalah :
1. multiple sclerosis benigna (Benign multiple sclerosis)
Penderita multiple sclerosis lama tetapi tanpa atau dengan sedikit gangguan
neurology
2. multiple sclerosis malignan (Malignant multiple sclerosis)
Penderita multiple sclerosis yang sering kambuh dan tidak pernah pulih
sempurna.
E. Patogenesis 2,5
Penyebab multiple sclerosis belum diketahui, saat ini seluruh dunia
masih melakukan penelitian untuk mencari penyebab pasti penyakit multiple
sclerosis. Kerusakan myelin pada multiple sclerosis mungkin terjadi akibat
respon abnormal dari sistem kekebalan tubuh terutama focal lymphocytic
infiltration (sel T secara terus-menerus bermigrasi menuju lokasi dan
melakukan penyerangan seperti yang layak terjadi pada setiap infeksi). Sitem
kekebalan tubuh ini seharusnya melindungi tubuh dari serangan organisme
berbahaya (bakteri dan virus). Banyak jenis multiple sclerosis yang
menampakkan gejala penyakit kekebalan tubuh, dimana tubuh menyerang
sel-sel dan jaringan-jaringannya sendiri (dalam kasus multiple sclerosis, yang
diserang adalah Myelin).
Satu teori menyebutkan bahwa virus, yang mungkin sudah menetap
lama dalam tubuh, mungkin memainkan peranan penting dalam
perkembangan penyakit ini dan mungkin mengganggu sistem kekebalan atau
secara tidak langsung mengubah proses sistem kekebalan tubuh. Banyak
penelitian yang sudah mencoba mengidentifikasi virus multiple sclerosis. Ada
satu dugaan bahwa kemungkinan tidak ada virus multiple sclerosis,
melainkan hanya ada virus-virus biasa, seperti virus campak ( rubella ) dan
herpes, yang menjadi pemicu timbulnya penyakit multiple sclerosis. Pada
penderita multipel sklerosis ternyata serum dan cairan serebrospinal
mengandung berbagai antibodi campak serta ada bukti yang menyatakan
bahwa zat anti tersebut dihasilkan dalam otak.
Virus-virus ini mengaktifkan sel darah putih (limposit) dalam aliran
darah menuju ke otak dengan melemahkan mekanisme pertahanan otak (yaitu
substansi yang melindungi darah atau otak). Kemudian, di dalam otak, sel-sel
ini mengaktifkan unsur-unsur lain dari sistem kekebalan tubuh dengan satu
cara yang pada akhirnya membuat sel-sel tersebut menyerang dan
menghancurkan myelin. Pada awalnya, setiap peradangan yang terjadi
berangsur menjadi reda sehingga memungkinkan regenerasi selaput mielin.
Pada saat ini, gejala awal multiple sclerosis masih berupa episode disfungsi
neurologis yang berulang kali membaik. Walaupun demikian, dengan
berselangnya waktu, sitokina yang disekresi oleh sel T akan mengaktivasi
sejumlah mikroglia, dan astrosit sejenis fagosit yang bermukim pada jaringan
otak dan sumsum tulang belakang, dan menyebabkan disfungsi sawar otak
serta degenerasi saraf kronis yang berkelanjutan.
Kerusakan myelin (demyelinasi) menyebabkan gangguan kemampuan
serabut syaraf untuk menghantarkan pesan ke dan dari otak. Lokasi terjadinya
kerusakan myelin (plak atau lesi) tampak seperti area (parut/luka) yang
mengeras: pada multiple sclerosis, parut-parut/luka-luka ini tampak pada otak
dan tulang belakang.
Penyebab lain multiple sclerosis belum diketahui, saat ini seluruh dunia
masih melakukan penelitian untuk mencari penyebab pasti penyakit multiple
sclerosis. Masih dipertanyakan apakah meningkatnya kasus pada keluarga
diakibatkan oleh predisposisi genetik (tidak terdapat pola herediter) atau
disebabkan karena sering kontak dengan agen infeksi (mungkin virus) pads
masa kanak-kanak yang entah dapat menyebabkan multipel sklerosis pads
waktu mulai menginjak masa dewasa muda.
Penyelidikan migrasi menunjukkan bahwa jika orang dewasa pindah
dari tempat dengan risiko tinggi ke tempat dengan risiko rendah, mereka tetap
mempunyai risiko tinggi untuk menderita multipel sklerosis. Tetapi jika
migrasi terjadi sebelum mencapai usia 15 tahun, maka individu tersebut
mempunyai risiko yang rendah sesuai dengan tempat tinggalnya yang baru.
Data-data Ini sesuai dengan teori yang menyatakan virus mungkin merupakan
penyebabnya dengan periode laten yang panjang antara paparan awal dengan
awitan (onset penyakit). Mekanisme kerjanya mungkin merupakan reaksi
autoimun yang menyerang mielin.
Penyelidikan lain mengajukan kemungkinan adanya faktor-faktor
genetik sehingga ada orang-orang yang lebih rentan terhadap serangan
berbagai virus yang bereaksi lambat pada Sistem saraf pusat. Virus lambat ini
mempunyai masa inkubasi yang lama dan mungkin hanya berkembang dalam
kaitannya dengan status imun yang abnormal atau terganggu
Sklerosis ditandai dengan adanya bercak kerusakan mielin yang
tersebar diikuti dengan gliosis dan substansia alba sistem persarafan. Bercak-
bercak berwarna kekuning-kuningan dan keras yang ditemukan pada otopsi
dipakai sebagai sumber nama penyakit ini. Sifat perjalanan penyakit
merupakan serangkaian serangan pada berbagai bagian sistem saraf pusat.
Setiap serangan memperlihatkan derajat remisi tertentu tetapi secara
menyeluruh gambarannya adalah ke arah yang buruk.
F. Diagnosis
Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang
merupakan kriteria multiple sclerosis dengan konsep asli tahun 2001 dan
revisi terakhir tahun 2010. Kriteria McDonald menekankan adanya pemisahan
menurut waktu atau disseminated in time (dua serangan atau lebih) dan
pemisahan oleh ruang atau disseminated in space (dua atau lebih diagnosa
topis yang berbeda). Seseorang dinyatakan definite menderita multiple
sclerosis bila terjadi pemisahan waktu dan ruang yang dibuktikan secara klinis
atau bila bukti secara klinis tidak lengkap tetapi didukung oleh pemeriksaan
penunjang (MRI, LCS atau VEP).
Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan
atau lebih dimana jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode
serangan minimal berlangsung 24 jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang
adalah terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis obyektif yang
mencerminkan dua lesi yang diagnosis topiknya berbeda.
Kriteria definite (disseminated in space) MRI harus meliputi 3 dari 4
kriteria:
1. adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil
2. minimal 1 lesi infratentorial
3. minimal 1 lesi juxtakortikal
4. minimal 3 lesi periventrikel.
Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang
didahului oleh pembesaran ventrikel.
Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis (LCS)
sangat membantu diagnosis multiple sclerosis. Sensitifitas pemeriksaan ini
dikatakan dapat mencapai 95% dan bila terdapat peningkatan oligoclonal
band pada LCS maka hanya dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk memenuhi
kriteria disseminated in space.
Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan
penunjang yang cukup sensitif (dibandingkan pemeriksaan evoked potential
lain) untuk multiple sclerosis dimana terjadi pemanjangan latensi VEP yang
disebabkan adanya demyelinisasi pada nervus optikus. VEP secara dini dapat
mendeteksi kelainan meskipun pada pasien multiple sclerosis yang secara
klinis belum terdapat gejala klinis neuritis optik.
Diagnosis multiple sclerosis ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosa. Pemeriksaan yang sering
dilakukan adalah neuroimaging, terutama MRI, analisa cairan otak dan
pemeriksaan evoked potensial 1,2,3,4,5,6,
Pemeriksaan darah pada penderita multiple sclerosis tidak ada yang
spesifik, biasanya dilakukan pemeriksaan asam folat dan B12 untuk
menyingkirkan penyebab lain yaitu defisiensi asam folat dan B12, dan
melihat adanya tanda-tanda infeksi 5.
MRI selama 10 tahun terakhir merupakan modalitas pilihan dalam
penegakan diagnose. Plak multiple sclerosis biasanya ditemukan di daerah
periventrikular, korpus kalosum, sentrum semi ovale, struktur substansia alba
lain dan ganglia basalis. Gambaran khas plak multiple sclerosis adalah
demielinisasi berbentuk oval atau linier, biasanya tegak lurus permukaan
ventrikel. Plak ini hanya ditemukan pada sustansia alba dan beberapa pada
korpus kalosum
G. PrognosisPrognosis untuk seseorang dengan multiple sclerosis tergantung pada
subtipe penyakit; jenis kelamin individu, ras, umur, gejala awal, dan derajat
kerusakan. Harapan hidup dari penderita multiple sclerosis, untuk tahun-
tahun awal, saat ini hampir sama halnya dari pada orang normal. Hal ini
disebabkan terutama karena peningkatkan metoda dari pencegahan progresif
penyakit, seperti fisioterapi dan terapi bicara, bersama-sama dengan
penanganan yang menangani komplikasi umum, seperti radang paru-paru dan
infeksi saluran kemih. Meskipun demikian, setengah kematian dari pasien
dengan multiple sclerosis adalah secara langsung berhubungan dengan
komplikasi dari penyakit, sementara 15% lebih berhubungan dengan bunuh
diri.
Secara umum sangatlah sulit untuk meramalkan prognosis multiple
sclerosis. Setiap individu memiliki variasi kelainan, tetapi sebagian besar
pasien dengan multiple sclerosis bisa mengharapkan 95% harapan hidup
normal. Beberapa penelitian telah menunjukankan pasien yang mempunyai
sedikit serangan di tahun pertama setelah diagnosis, interval yang lama antar
serangan, pemulihan sempurna dari serangan, dan serangan yang
berhubungan dengan saraf sensoris (misalnya., baal atau perasaan geli)
cenderung untuk memiliki prognosis yang lebih baik. Pasien yang sejak awal
memiliki gejala tremor, kesukaran dalam berjalan, atau yang mempunyai
serangan sering dengan pemulihan yang tidak sempurna, atau lebih banyak
lesi yang terlihat oleh MRI scan sejak dini, cenderung untuk mempunyai
suatu tingkat penyakit yang lebih progresif.
H. Diagnosis bandingDiagnosa banding utama untuk menjadi pertimbangan tergantung pada
manifestasi neurologis dalam kasus:
Defisit saraf kranial mungkin saja berhubungan dengan berbagai jenis lesi
fokal, seperti sebuah tumor dermoid basis kranii, suatu tumor dari
serebelopontine angel, suatu tumor di foramen magnum, suatu optik
glioma atau sphenoid wing meningioma dengan atrofi saraf optik, suatu
brainstem astrocytoma, brainstem encephalitis, dan lain-lain.
Suatu hemiplegia mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor otak
atau stroke
Kejang paraparesis mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor saraf
tulang belakang atau cervical spondylotic myelopathy.
Paraparesis berulang mungkin saja berhubungan dengan suatu malformasi
vaskular pada saraf tulang belakang.
Gejala dari serebellar dan traktus piramidal, dan mungkin juga gejala dari
batang otak, mungkin saja berhubungan dengan suatu massa atau bentuk
malformasi batang otak atau craniocervical junction. Beberapa gejala
sering misdiagnosed sebagai multipel sklerosis. Bentuk malformasi
vaskuler batang otak, juga dapat menyebabkan gejala neurologis yang
berubah-ubah dengan onset usia pertengahan atau usia tua.
Keterlibatan dari berbagai area dari sistem saraf pusat mungkin saja
berhubungan dengan penyakit sistemik seperti sistemik lupus
erythematosus, sarcoidosis, penyakit vaskuler, toxic
encephalomyelopathy, hypothyroidism, atau funicular myelosis.
Keterlibatan mata dan sistem saraf pusat mungkin saja berhubungan
dengan suatu vaskulitis atau intoksikasi. Uveitis ditemukan bersama-sama
dengan kelainan neurologis dalam uveoencephalomyelitis (Vogt-
Koyanagi-Harada syndrom), suatu hal yang jarang, kiranya adalah
sindrom virus dimana terjadi uveitis, gangguan gaya berjalan,
leukodermia, munculnya uban, encephalitis, dan tanda meningeal yang
berubah-ubah.
Behcet’s disease dapat menyebabkan apththous ulcer, manifestasi okular,
dan manifestasi saraf pusat, terutama brainstem encephalitis.
I. Penatalaksanaan
Secara umum, bila diagnosis multiple sclerosis telah dipastikan, maka
pasien harus diberitahu. Beberapa pasien akan menanyakan apakah mereka
mengalami multiple sclerosis setelah suatu episode tunggal, ketika diagnosis
multipel sklerosis masih berupa kemungkinan. Pada keadaan ini, yang terbaik
dilakukan adalah diskusi yang menyeluruh. Walaupun kemungkinan multiple
sclerosis tidak dapat disangkal, tetapi pasien harus disadarkan bahwa mungkin
penyakit yang dideritanya merupakan penyakit tunggal yang tidak akan relaps.
Pasien dapat memperoleh keuntungan dengan membaca mengenai multiple
sclerosis atau kontak dengan kelompok pendukung. Akan tetapi, dokter
memiliki peran edukatif yang berkesinambungan, terutama dalam
mengarahkan pasien dalam terapi yang mahal tetapi belum tentu efektif,
seperti manipulasi diet dan penggunaan oksigen hiperbarik.
Pengobatan yang diakui terbaik, disamping pengobatan
nonfarmakologik, saat ini adalah dengan interferon beta berupa injeksi
Betaseron 250 mcg subkutan selang sehari. Penelitian Benefit yang dilaporkan
awal oktober 2005 menunjukan, bahwa selama lima tahun terjadi penurunan
angka kejadian multiple sclerosis hingga 50% dengan dua tahun pengobatan
pada kasus yang sebelumnya adalah kemungkinan multipel sklerosis.
Walaupun belum ada terapi kuratif untuk multiple sclerosis, namun
terdapat tiga aspek penting dalam tatalaksana: tatalaksana relaps akut,
modifikasi perjalanan penyakit, kontrol gejala.
Tatalaksana Relaps Akut
Relaps pada seorang pasien yang cukup berat dan mengakibatkan
keterbatasan fungsi, misalnya karena kelemahan anggota gerak atau gangguan
visual, dapat diterapi dengan kortikosteroid. Saat ini kortikosteroid diberikan
dalam bentuk metilprednisolon dosis tinggi baik secara intravena maupun oral
(500 mg – 1 g per hari selama 3 – 5 hari). Pengobatan ini dapat memperbaiki
penyembuhan tetapi bukan derajat penyembuhan dari eksaserbasi. Steroid
jangka panjang belum terbukti mempengaruhi keadaan perjalanan penyakit
alamiah.
Modifikasi Perjalanan Penyakit
Bukti adanya dasar autoimun pada multiple sclerosis telah menarik uji klinis
obat–obat imunosupresan, seperti azatioprin, metotreksat, dan siklofosfamit,
yang mencoba mengubah prognosis jangka panjang penyakit. Akan tetapi, efek
samping dari obat ini lebih banyak daripada keuntungannya. Sekarang mulai
digunakan obat imunoterapi yang lebih baru dengan tujuan mengubah
kecepatan progresivitas multiple sclerosis, atau setidaknya mengurangi
kecepatan relaps, tanpa efek samping yang berat, misalnya interferon beta dan
glatiramer asetat. Obat tersebut memberi harapan untuk memberikan proteksi
terhadap relaps (setidaknya reduksi frekuensi relaps sampai 30%) dan sedikit
penurunan kecepatan progresi penyakit.
Kontrol Gejala
Terapi simtomatik dengan obat untuk komplikasi multipel sklerosis adalah
sebagai berikut :
Spastisitas, spasme fleksor – baklofen (oral atau intratekal), dantrolen,
tizanidin, diazepam, walaupun obat – obat dapat meningkatkan
kelemahan dan menyebabkan rasa kantuk. Pendekatan lain meliputi
injeksi toksin botulinum pada otot yang terkena.
Tremor serebelar – jika ringan dapat berespons dengan pemberian
klonazepam, isoniazid, atau gabapentin.
Fatique (sering terjadi bersamaan dengan relaps) – amantadin, selegilin,
atau obat antinarkolepsi modafinil.
Gangguan kandung kemih – obat antikolinergik, misalnya oksibutinin
atau tolterodin; pasien harus pula dilatih untuk melakukan kateterisasi
intermiten mandiri. Infeksi saluran kemih harus ditangani segera.
Depresi – obat trisiklik dan kelompoknya dalam dosis kecil, misalnya
amitriptilin atau dotiepin;selective serotonin reuptake inhibitor ( SSRI ),
misalnya sertralin.
Impotensi – inhibitor fosfodiesterase tipe 5, misalnya sildenafil,
papaverin intrakavernosa, atau prostaglandin. Prostaglandin dapat pula
diberikan secara topikal melalui uretra.
Nyeri, gejala paroksismal termasuk kejang – karbamazepin, gabapentin.
Peran kanabis dalam tatalaksana nyeri dan spastisitas pada multipel
sklerosis masih kontroversial.
Eksaserbasi bisa adalah didefinisikan sebagai episode serangan gejala
sementara, kadang-kadang disebut juga sebagai serangan atau kambuh lagi.
Sebagian besar episode relaps menunjukan suatu derajat pemulihan secara
spontan, tetapi pengobatan adalah ditujukan untuk episode relaps yang
mempunyai suatu dampak parah terhadap fungsi. Steroid merupakan
pengobatan pilihan untuk episode relaps, biasanya metil-prednisolon diberikan
dengan oral atau intravena. Sebelumnya steroid diberikan, infeksi harus
disingkirkan karena steroid mempunyai efek imunosupresan dan bisa
memperburuk infeksi.
Modifikasi pengobatan penyakit adalah bertujuan untuk
memperlambat progresivitas penyakit. Dua jenis imunomodulator agen yang
saat ini digunakan sebagai suatu pengobatan lini pertama adalah beta
interferon dan glatiramer asetat. Beta Interferon sudah dibuktikan efektif
untuk Relapsing-Remitting multiple sclerosa dan Secondary Progressive
multiple sclerosa. Saat ini tidak ada bukti untuk peningkatan hasil pengobatan
terhadap Primary Progresive multiple sclerosa. Penghentian pengobatan
mungkin saja diperlukan oleh karena intoleran pada efek samping, seperti saat
suatu kehamilan direncanakan, atau ketika tidak lagi efektif. Glatiramer adalah
pengobatan yang sesuai untuk mengurangi frekuensi relaps pada pasien
dengan Relapsing-Remitting multiple sclerosa dan tidak digunakan untuk
Primary Progresive Multiple Sclerosa dan Secondary Progressive Multiple
Sclerosa. Kriteria untuk menghentikan glatiramer adalah sama seperti beta
interferon.
Sejumlah pengobatan tersedia untuk menangani gejala-gejala dan
komplikasi multipel sklerosis kronis, masing-masing dengan obat-obatan yang
spesifik. Tentu saja, pengobatan gejala, bersama-sama dengan pengobatan
suportif dan rehabilitasi, adalah satu kesatuan bagian terbesar penanganan
multipel sklerosis.
Interferon
Sejak 1993, pengobatan yang mempengaruhi sistem kekebalan, terutama
interferon, digunakan untuk penatalaksanaan multipel sklerosis. Interferon
adalah suatu protein yang membawa pesan ke tempat dimana sel-sel dari
sistem kekebalan dibentuk dan untuk berkomunikasi satu sama lain. Terdapat
berbagai jenis yang berbeda dari interferon, seperti alfa, beta, dan gamma.
Semua interferon mempunyai kemampuan untuk mengatur sistem kekebalan
dan memainkan suatu peranan penting dalam melindungi tubuh dari infeksi
virus. Setiap interferon bekerja dengan cara yang berbeda, tetapi memiliki
fungsi yang hampir sama. Beta interferon ditemukan bermanfaat dalam
penanganan dari multipel sklerosis. Interferon beta-1b (Betaseron®) adalah
interferon pertama disetujui untuk mengelola Relapsing Remitting Multiple
Sclerosa pada tahun 1993. Pada tahun 1996, interferon beta-1a (Avonex®)
mendapatkan persetujuan dari FDA untuk Relapsing Remitting Multiple
Sclerosa.
Secara keseluruhan, pasien yang diterapi dengan interferon mengalami
lebih sedikit relaps atau suatu interval yang lebih panjang dari relaps. Uji
klinis juga telah memperlihatkan efek terhadap memperlambat akumulasi
kerusakan. Efek samping paling umum adalah suatu sindrom menyerupai-
influensa meliputi demam, kelelahan, kelemahan, dan gangguan fungsi otot.
Sindrom ini cenderung menurun seiring dengan berjalannya terapi. Efek
samping umum yang lain adalah reaksi lokal tempat injeksi, perubahan dalam
jumlah sel darah, dan kelainan dari fungsi hati. Test fungsi hati dan hitung
jumlah sel darah direkomendasikan untuk pasien yang menerima interferon
beta-1b.
Uji klinis dari obat beta interferon pada pasien dengan serangan
pertama dari multipel sklerosis menunjukkan bahwa dalam populasi pasien
ini, obat-obatan ini dapat menunda dari serangan kedua. Avonex® diberikan
secara intramuskuler sekali seminggu, Betaseron® diberikan secara subkutan
setiap selang sehari, dan Rebif® diberikan secara subkutan tiga kali setiap
minggunya.
Interferon beta yang ada meliputi:
Interferon beta-1b (Betaseron®) digunakan untuk penatalaksanaan bentuk
relaps dari multipel sklerosis, untuk mengurangi frekuensi dari relaps
klinis. Pasien dengan multipel sklerosis yang telah menunjukan efektifitas
meliputi pasien yang telah memiliki satu episode klinis pertama dan yang
mempunyai gambaran MRI yang konsisten dengan multipel sklerosis.
Interferon beta -1a(Rebif®) digunakan untuk penatalaksanaan pasien
dengan bentuk relaps dari multipel sklerosis untuk mengurangi frekuensi
klinis dari relaps dan menghambat akumulasi kerusakan fisik. Keefektifan
dari Rebif® dalam kronis progresif multipel sklerosis belum dapat
dibuktikan.
IFN beta-1a (Avonex®) digunakan untuk penanganan pasien dengan
bentuk relaps dari multipel sklerosis untuk memperlambat akumulasi
kerusakan fisik dan mengurangi frekuensi klinis dari relaps. Pasien dengan
multipel sklerosis yang telah dibuktikan efektivitasnya adalah meliputi
pasien yang telah mengalami suatu episode klinis pertama dan mempunyai
gambaran MRI konsisten dengan multipel sklerosis. Keamanan dan
efektivitas pada pasien dengan kronis progresif multipel sklerosis belum
dapat ditetapkan.9
Glatiramer Asetat
Glatiramer Asetat (Copaxone) adalah suatu obat yang bertujuan untuk
mengurangi frekuensi relaps dalam Relapsing Remitting Multiple
Sclerosis. Glatiramer Asetat adalah suatu bahan sintetis campuran asam
amino yang menyerupai suatu komponen protein dari myelin. Hal ini
kemungkinan bahwa reaksi sistem imunologi yang merusak myelin dalam
multipel sklerosa dapat diblok oleh glatiramer asetat. Sebuah reaksi dapat
terjadi dengan segera setelah injeksi dari glatiramer asetat, dapat terjadi
pada satu dari 10 pasien. Reaksi tersebut dapat meliputi kemerahan, nyeri
dada atau sesak, jantung berdebar-debar, kecemasan, hipoventilasi. Reaksi
biasanya muncul dalam 30 menit dan tidak memerlukan penanganan.
Beberapa pasien mungkin saja berhadapan dengan resiko lipoatrophi,
inflamasi dan destruksi jaringan di bawah kulit di tempat injeksi.
Glatiramer Asetat adalah digunakan untuk mengurangi frekuensi dari
relaps pada pasien dengan Relapsing-Remitting Multiple Sclerosa.
Natalizumab
Natalizumab (Tysabri®) adalah suatu obat yang sudah disetujui oleh FDA
untuk pengobatan multipel sklerosis. Natalizumab adalah satu antibodi
monoklonal yang melawan VLA-4, suatu molekul yang memerlukan sel-
sel imun untuk melekat pada sel-sel lain, menembus sawar darah otak dan
memasuki otak. Proses ini terjadi melalui pembuluh darah dalam waktu
bulanan. Ini memberikan suatu tanda peringatan untuk suatu penyakit yang
berpotensi berakibat fatal, Progresive Multifocal Leukoencephalopathy
(PML), suatu infeksi virus dari otak yang biasanya menyebabkan kematian
atau cacat yang berat. Untuk alasan inilah hanya pasien yang telah
menandatangani inform konsen untuk pengobatan dengan program
pengobatan ini yang boleh menjalani pengobatan ini.
Natalizumab digunakan sebagai monoterapi untuk pengobatan dari
pasien dengan relaps multipel sklerosis untuk mencegah progresifitas
penyakit dan mengurangi frekuensi relaps klinis. Keamanan dan efektifitas
natalizumab pada penggunaan lebih dari dua tahun tidak diketahui. Karena
natalizumab meningkatkan resiko dari PML, maka dari itu secara umum
hanya direkomendasikan untuk pasien yang tidak merespon, atau tidak
mampu mentoleransi efek samping bentuk pengobatan lain dari multipel
sklerosis.
Mitoxantrone
Mitoxantrone ( Novantrone® ) juga disetujui oleh FDA untuk pengobatan
dari multipel sklerosis. Mitoxantrone adalah suatu obat kemoterapi yang
memiliki resiko dari efek samping yang berhubungan dengan jantung atau
kanker berat. Oleh karena efek samping serius ini, dokter cenderung untuk
mencadangkan penggunaannya hanya untuk kasus yang buruk dari
multipel sklerosis.
Mitoxantrone adalah digunakan untuk mengurangi kerusakan saraf
dan frekuensi relaps klinis pada pasien dengan secondary, progresif,
progresif relapsing, atau Relapsing-Remitting Multiple sclerosa yang
mengalami perburukan keadaan ( sebagai contoh, pasien yang status
sarafnya secara signifikan abnormal atau sering relaps ). Mitoxantrone
tidak digunakan dalam penanganan dari pasien dengan primer progresif
multiple sclerosa.
Pasien dengan multipel sklerosis tahap lanjut mungkin
membutuhkan keterlibatan tim neurorehabilitasi. Pasien dengan penyakit
yang berat membutuhkan penanganan menyeluruh yang sesuai untuk
pasien paraplegia, terutama perawatan yang teliti pada daerah yang
mengalami tekanan. Perburukan gangguan berkemih mungkin
memerlukan kateterisasi uretra atau suprapubik.3
Tim dari berbagai multidisiplin biasanya meliputi spesialis penyakit saraf,
urologi, ilmu pengobatan mata, neuropsikologi, dan pekerjaan sosial.2
Perlunya pembedahan pada kasus ekstrem yaitu:
Tenotomi untuk terapi spastisitas dan spasme fleksor
Stimulasi kolumna dorsalis untuk rasa nyeri
Talamotomi stereotaktil untuk ataksia serebelar berat.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Mumenthaler, Mark. Mattle, Heinrich. Taub, Elsan. Neurology fourth
edition. Switzerland: Thieme.2004.
2. Price, Wilson. Patofisiologi. Jakarta : EGC: 2005.
3. Atlas of Multiple Sclerosis. In http://www.who.int
4. Ginsberg, Lionel. Lecture Notes Neurologi edisi ke-8. Jakarta: Erlangga
Medical Series.2005.
5. Suzanne c.smeltzer& brenda G.bare. 2003.Buku ajar keperawatan medikal
bedah Brunner& suddarth edisi 8 . Jakarta : penerbit buku kedokteran
EGC
6. Multiple Sclerosis : What is Multiple Sclerosis, available from :
http/www.Multiple Sclerosis.org