refarat BAB 39 (1).doc
-
Upload
adhytya-pratama-a -
Category
Documents
-
view
222 -
download
4
Transcript of refarat BAB 39 (1).doc
BAB 39
Nekrolisis Epidermal (Sindrom Stevens-Johnson) dan Nekrolisis Epidermal
Beracun
L. Valeyrie-Allanore
Jean-Claude Roujeau
Nekrolisis epidermal beracun (TEN) dan Sindrom Stevens-Johnson (SJS)
adalah jenis reaksi mukokutan akut yang mengancam hidup yang ditandai dengan
nekrosis berlebihan dan pelepasan epidermis. Stevens and Johnson pertama kali
melaporkan 2 kasus erupsi kutan yang menyebar berhubungan dengan stomatitis yang
erosive dan kekusutan penglihatan yang berat. Pada tahun 1956, Lyell
menggambarkan pasien yang kehilangan epidermis sekunder pada nekrosis dan
pertama kali memperkenalkan istilah nekrolisis epidermal beracun. SJS dan TEN
dicirikan dengan pengusutan membrane mukosa dan kulit. Bercak eritema umumnya
terdapat pada bagian batang dan proksimal tungkai atau lengan atau bagian tubuh
seseorang, berkembang dengan cepat untuk menyebabkan perimpitan pelepuhan yang
menyebabkan pelepasan lapisan kulit. Karena kesamaannya dalam penemuan klinis
dan hispatologis, etiologi pengobatan, dan mekanismenya, kedua keadaan ini
menimbulkan varian yang berat dari sebuah proses yang mirip, yang membedakan
hanya dari persentase permukaan tubuh yang diserang. Oleh karena itu, lebih baik
menggunakan penandaan nekrolisis epidermis pada keduanya, sebagai mana
disarankan oleh Ruiz-Maldonado (Necrosis epidermis akut) dan Lyell (nekrolisis
exantematik).
EPIDEMIOLOGI
Nekrolisis epidermis (EN) jarang ditemukan. Keseluruhan kejadian SJS dan
TEN diperkirakan berturut-turut 1 sampai 6 kasus per 1 juta orang per tahun dan 0,4
sampai 1,2 kasus per 1 juta orang per tahun. EN dapat terjadi pada semua kelompok
umur, dengan risiko meningkat pada usia 40 tahun ke atas, dan lebih sering
menyerang wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 0.6. Pasien yang terinfeksi HIV
dan pasien dengan penyakit vascular kolagen derajat rendah adalah kelompok
berisiko. Keseluruhan kematian yang berhubungan dengan EN adalah 20% sampai
25%, bervariasi dari 5% sampai 25% untuk SJS dan lebih dari 30% untuk TEN.
Peningkatan umur, penyebab kematian lain yang signifikan, perluasan pengusutan
kulit yang besar berhubungan dengan prognosis yang buruk.
Nilai prognosis (SCORTEN) telah ditetapkan untuk EN, dan kegunaannya telah
dikonfirmasi oleh beberapa tim. Kinerja skor lebih baik setelah 3 hari opname.
ETIOLOGI
Patofisiologi EN masih belum jelas, saat ini diketahui bahwa obat merupakan
faktor etiologis yang paling penting .Lebih dari 100 obat yang berbeda telah
dilaporkan sebagai penyebab. Fungsi suatu pengobatan dapat ditetapkan pada kira-
kira 70% kasus. Penelitian retrospektif pada masyarakat atau kasus series tidak
cukup akurat untuk menetukan jumlah bahaya pengobatan. Sebuah studi kasus
control menganalisa hubungan antara EN dengan obat-obatan tertentu bersama
dengan factor epidemiologis pendukung lainnya. Kurang dari selusin pengobatan
“risiko tinggi” berimplikasi pada 1 ½ kasus EN di Eropa. Obat-obatan berisiko tinggi
ini adalah antibakteri sulfonamide, anticonvulsant aromatic, allopurinol, anti randang
nonsteroid oxicam, lamotrigine, dan nevirapine. Risiko nampak terbatas pada 8
minggu pertama pengobatan. Penambahan dosis yang rendah mengurangi angka ruam
dengan lamotrigine dan nevirapine, namun tidak ada bukti bahwa itu mengurangi
risiko EN. Oxcarbazepine, sebuah derivate 10 keton dari carbamazepine, yang
sebelumnya dipertimbangkan dapat menurunkan risiko, nampaknya bereaksi silang
secara signifikan dengan carbamazepine. Banyak obat anti inflamasi non steroid
diduga berhubungan dengan EN, namun umumnya adalah derivative oxicam dan
diclofenac. Sebuah risiko yang signifikan namun berisiko lebih rendah juga telah
dilaporkan terhadap antibiotic non-sulfonamide seperti aminopenicilins, quinolones,
cephalosporine, dan tetrasiklin. Peran kortikosteroid pada pengenalan EN masih
belum jelas. Dalam sebuah penelitian kasus control, kortikosterod ditemukan
berhubungan dengan risiko yang relative tinggi, terlepas dari penyakit bawaan.
Peran agen infeksius dalam peningkatan EN adalah kurang mencolok
dibandingkan eritema. Bagaimanapun, sedikit kasus berhubungan dengan infeksi
pneumonia mioplasma, penyakit akibat virus, dan imunisasi yang telah dilaporkan.
Pengamatan yang jarang ini menekankan fakta bahwa pengobatan bukanlah satu-
satunya penyebab EN, tetapi masiha da bukti bahwa infeksi dapat menjelaskan lebih
dari persentase kasus yang sangat kecil.
Kasus EN telah dilaporkan setelah transplantasi sum-sum tulang. Beberapa
diantaranya adalah bentuk ekstrim dari penyakit akibat pemindahan kulit yang akut
terhadap pejamu. Yang lain dapat berupa induksi obat. Hubungan antara EN dan
penyakit akibat pemindahan kulit terhadap pejamu sulit untuk diukur karena lesi kulit
dan ciri histologis kulit hampir tidak dapat dibedakan.
Pada akhirnya, mekanisme fisik seperti radioterapi selain pengobatan dengan
obat anti epilepsy seperti phenytoin, phenobarbital, atau carbamazepine dapat
memicu EN pada bagian yang terpapar.
PATOGENESIS
Bahkan jika rentetan yang tepat dari kejadian molecular dan seluler belum
dapat dimengerti secara keseluruhan, beberapa penelitian menemukan petunjuk yang
penting akan pathogenesis EN. Pola imunologis dari reaksi lesi awal menyarankan
sebuah reaksi sitotoksis lewat sel terhadap keratinosis yang menyebabkan apoptosis
yang lebih besar. Studi imunopatologis menunjukkan kehadiran CD8+ limfosit sel T
pembunuh pada epidermis dan dermis pada reaksi yang berlawanan, dengan beberapa
ciri sel pembunuh alami selama tahap awal EN, dimana monokosit hadir lebih banyak
selama fase terakhir. Sitotoksik sel T CD8+ mengeluarkan reseptor sel T α-β dan
dapat membunuh perforin dan granzyme B namun tidak melalui fas atau jalan kecil.
Saat ini diketahui bahwa pengembangan oligoklonal CD8+ berkaitan dengan sebuah
spesifikasi obat, kompleks major histokompatibiliti – sitotoksisitas terbatas terhadap
keratinisitis. Lebih jauh, pengaturan sel T CD4+ CD25+ telah menjadi hal yang
penting dalam pencegahan bahaya epidermis berat yang diinduksi oleh limfosit T
sitotoksik yang reaktif. Sitokin yang penting seperti interleukin 6, factor α tumor
nekrosis (TNF-α), Fas Ligand (Fas-L) juga hadir di lesi kulit penderita EN. Viard
dkk. menyarankan bahwa apoptosis keratin pada lesi kulit berkaitan dengan
peningkatan pengeluaran Fas pada membran mereka dan dihalangi oleh konsetrasi
tinggi immunoglobulin yang dicampuri dengan interaksi Fas dan Fas-L. TNF
kemungkinan juga penting. Molekul ini hadir di lesi epidermis, pada cairan yang
melepuh, dan di sel mononuklir peripheral dan makrofag.
Asetilasi yang lambat ditemukan pada pasien pada induksi sulfonamide- NET,
yang menyarankan peningkatan produksi metabolisme reaktif. Bagaimanapun, respon
imunologis berlangusng melawan obat dibandingkan reaksi metabolic.
Pada akhirnya, kerentanan genetic dapat memainkan peran penting. Suatu
hubungan yang kuat telah diobsevasi di Han Cina antara antigen leukosit manusia
HLA-B1502 dan SDS diinduksi oleh carbamazepine, dan antara HLA-B5801 dan SJS
diinduksi oleh allopurinol. Bagaimanapun, hubungan antara NE yang diinduksi oleh
carbamazepine dan HLA-B1502 saat ini terdapat pada pasien Eropa yang tidak
memiliki keturunan Asia.
Penemuan Klinis
Bahkan dalam kasus yang membutuhkan perawatan segera di rumah sakit tertentu,
dermatologist akan dapat memainkan sebuah peran penting dalam pengelolaan pasien
yang menderita EN.
Sejarah
Secara klinis EN dimulai dalam 8 minggu (biasanya 4 sampai 30 hari) setelah masa
sakit dari paparan obat. Hanya dalam kasus yang sangat jarang dengan reaksi utama
dan penghalangan yang tidak hati-hati dengan obat yang sama, EN akan muncul lebih
cepat dalam beberapa jam. Gejala tidak spesifik seperti demam, sakit kepala, rhinitis,
dan myalgia dapat memulai lesi mukotan dalam 1 sampai 3 hari. Rasa sakit dalam
menelan dan terbakar atau tersengat pada mata semakin terbentuk, dan pengusutan
membrane mukosa. Sekitar 1/3 kasus dimulai dengan gejala pengusutan membrane
mukosa, dan 1/3 dengan exantema. Apapun gejala awalnya, pembentukan yang cepat,
penambahan tanda baru, rasa sakit yang berat, dan gejala konstitusional dapat
menandakan masa sakit dari sebuah penyakit yang berat.
Lesi Kulit
Erupsi diawali dengan oenyebaran secara tiak simetris pada wajah, tubuh paling atas,
dan ekstrimitas proximal. Bagian distal pada tangan dan kaki relative bertahan, tapi
ruamnya dapat dengan cepat menyebar ke sisa bagian tubuh lainnya dalam beberapa
hari dan bahkan dalam beberapa jam. Lesi kulit awal ditandai dengan eritematus,
kemerah-merahan, purpuric macula, bentuk yang tidak teratur, yang semakin
menyatu. Lesi target yang khas dengan titik hitam kadang terlihat.
Lesi nekrotik menyebabkan eritema yang lebih luas dan difusif. Tanda Nykolsky atau
pemondokan epidermis oleh tekanan lateral, adalah positif di bagian eritema. Pada
tahap ini, lesi berkembang menjadi pelepuhan yang lunak, yang menyebar dengan
tekanan dan mudah hancur. Nekrotik epidermis mudah terlepas karena tekanan atau
karena trauma friksional, menyebabkan meluasnya area yang terpapar, merah, kadang
melepuhkan kulit. Di bagian lain, epidermis dapat tersisa.
Pasien dikelompokkan dalam satu dari tiga kelompok menurut total area yang
mengalami pengelupasan epidermis atau mudah terkelupas. (Nykolsky positif) : SJS,
kurang dari 10% dari permukaan tubuh, SJS/TEN antara 10% dan 30%. TEN, lebih
sari 30% BSA. Evaluasi yang tepat dari pengembangan lesi sulit dilakukan,
khususnya pada area dengan lesi berbintik. Ini membantu untuk mengingat bahwa
permukaan tangan (telapak tangan atau jari) menunjukkan sedikit kurang dari 1
persen dari BSA.
Kekusutan membrane Mukosa
Kekusutan membrane mukosa (biasanya di dekat kurang dari 2 tempat) diamati pada
sekitar 90% kasus dan dapat memulai atau mengikuti erupsi kulit. Ini dimulai dengan
eritema yang diikuti dengan erosi yang sakit pada mukosa bukal, ocular, dan
genitalia. Ini biasanya menyebabkan alimentasi lemah, fotofobia, sinusis konjungtiva,
dan mikturasi yang sakit. Oral cavitis dan batas merah terang bibir hamper terinfeksi
tanpa terkecuali dan cirik erosi hemoragis ditutupi oleh pseudomembran yang putih
keabu-abuan dan lapisan kulit bibir. Sekitar 85% pasien memiliki lesi konjungtiva,
umumnya ditunjukkan dengan hyperemia, erosi, kemosis, fotofobia, dan lakrimasi.
Kemungkinan terdapat kerontokan bulu mata. Bentuk berat dapat menyebabkan
ulserasi kornea., uvitis anterior, dan konjungtivitis bernanah. Sinusis antara bulu mata
dan konjungtiva sering terjadi. Pelepasan kuku dapat terjadi pada bentuk yang berat.
Gejala Extra Kutan
EN berhubungan dengan demam tinggi, kesakitan, dan lemas. Akibat lebih jauh juga
mungkin terjadi, khususnya komplikasi pulmonari dan pencernaan. Komplikasi
pulmonary awal terjadi pada sekitar 25% pasien dan umumnya ditandai dengan
dispenia, hipersekresi bronkial, dan hiposemia tapi juga dapat ditandai oleh
homoptisis dan ekspektorasi mukosa bronkial. Pengusutan bronkial pada EN tidak
berhubungan dengan pengembangan lesi kulit atau dengan agen penyerang yang
berkaitan. Pada kebanyakan kasus, radiografi dada normal sesuai ketentuan tapi dapat
dengan cepat menyebabkan sindrom interstitial. Pada semua kasus yang dilaporkan,
ketika terjadi kegagalan pernafasan akut, dengan cepat setelah masa sakit pengusutan
kulit, itu dihubungkan dengan prognosis yang buruk. Dalam hal abnormalitas
pernapasan, bronkoskopi fiberoptik menjadi prosedur sederhana untuk membedakan
pelepasan epitel khusus di bronkus membentuk sebuah pneumonitis infeksius yang
memiliki prognosis yang jauh lebih baik.
keterlibatan System gastrointestinal jarang diamati, dengan nekrosis epitel dari
esophagus, usus kecil, atau kolon yang dimanifestasikan sebagai diare dengan
malabsorpsi, melena, dan bahkan perforasi kolon.
Pengusutan ginjal telah dilaporkan. Proteinuria, mikroalbuminia, hematuria, dan
azetomia sering terjadi. Bahaya tubulus proksimal dapat dihasilkan dari nekrosis sel
tubulus oleh proses yang sama yang dapat menghancurkan sel epidermis. Pengusutan
struktur glomerulus juga mungkin terjadi.
Tes Laboratorium
Nilai Laboratorium
Evaluasi angka pernapsan dan oksigenasi darah adalah salah satu langkah yang
diambil di ruang emergensi. Perubahan harus diperiksa melalui pemeriksaan kadar
gas darah arteri. Kadar serum bikarbonat di bawah 20 nM menunjukkan prognosis
yang buruk. Hal ini kadang dihasilkan dari alkalosis respirasi yang berhubungan
dengan keterlibatan khusus dari bronkus dan lebih jarang dari asidosis metabolic.
Kehilangan cairan transdermal besar-besaran bertanggung jawab terhadap
ketidakseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, dan hipoproteinemia.
Ketidakcukupan ginjal yang sedang dan sementara dan azotemia pretenal umum
terjadi. Kadar nitrogen urea darah yang meningkat adalah salah satu penanda dari
keberatan. Anemia sering terjadi, and leukosit dan trombosipenia ringan dapat terjadi.
Neutropenia sering dianggap sebagai factor prognostic yang tidak diharapkan namun
sangat jarang memiliki dampak penting pada SCORTEN. Limfopenia CD4+ perifer
sementara selalu konstan dan berhubungan dengan berkurangnya fungsi sel T.
peningkatan ringan kadar enzim hepar dan amylase (umumnya yang berasal dari
saliva) sering terjadi tapi tidak berdampak pada prognosis. Suatu keadaan katabolic
bertanggung jawab dalam penghambatan sekresi insulin atauresistensi insulin, yang
berdampak pada hiperglikemia dan dapat memicu diabetes. Kadar glukosa darah di
atas 14 nM adalah salah satu tanda dari keparahan. Abnormalitas lain pada nilai
laboratorium dapat terjadi, menunjukkan keterlibatan organ lain dan komplikasi
seperti sepsis.