REF Infeksi
-
Upload
tiara-alexander -
Category
Documents
-
view
40 -
download
1
description
Transcript of REF Infeksi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih
merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya
masih cukup tinggi. Diantara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi
susunan saraf pusat (SSP) termasuk ke dalamnya meningitis dan ensefalitis.
Meningitis sinonim dengan leptomeningitis yang berarti adanya suatu infeksi
selaput otak yang melibatkan arachnoid dan piamater sedangkan ensefalitis
adalah adanya infeksi pada jaringan parenkim otak.
Penyakit infeksi susunan saraf pusat memiliki angka kematian di atas 50%, jika
seseorang selamat dari infeksi otak umumnya mengalami kecacatan mulai dari
lumpuh hingga koma. Susunan saraf pusat merupakan bagian tubuh yang paling
terlindungi atau yang paling terakhir kena, jadi kalau otak sudah terkena infeksi
akan sangat mungkin mempengaruhi organ lainnya di tubuh dan fungsinya
menjadi terganggu.
Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami demam
dan sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada gejala
lanjutan seperti kejang dan sakit kepala yang semakin parah segera lakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Untuk diagnostik dini memang tidak mudah, karenanya
proses pencarian penyebabnya harus progresif agar bisa ditangani dengan baik.
Untuk diagnosis pastinya dilakukan pemeriksaan cairan otak agar bisa diketahui
penyebab pastinya apakah akibat infeksi virus, bakteri, jamur, parasit atau cacing
pita. Jika prosedur ini dilakukan dengan cepat dan progresif maka bisa
mengurangi kecacatan yang timbul.
BAB II
1
PEMBAHASAN
2.1. Infeksi Susunan Saraf Pusat
Virus, bakteri, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi susunan saraf pusat.
Namun bakteri dan virus merupakan penyebab tersering. Setelah masuk ke dalam
tubuh melalui saluran pencernaan atau pernapasan atau inokulasi kulit (melalui
gigitan serangga atau binatang), organisme infeksius menuju ketempat utama pada
saluran cerna, pernapasan, otot subkutan atau jaringan vaskular untuk bereplikasi.
Kebanyakan organisme tersebut mencapai SSP melalui aliran darah namun terkadang
oraganisme ini mencapai SSP melalui saraf perifer atau langsung masuk akibat
adanya fraktur tengkorak atau mastoid dan sinus yang terinfeksi.1
Gambar 1. Lokasi mayor infeksi susunan saraf pusat.
Gejala dan tanda infeksi SSP bergantung kepada tempat infeksinya bukan dari
organisme infeksiusnya. Organisme infeksius cenderung menentukan lama sakit dan
keparahan dari infeksi. Tanda dan gejala yang perlu kita curigai terjadinya infeksi
SSP antara lain, demam, onset akut atau subakut, nyeri kepala, gejala fokal atau
tersebar, leukositosis, peningkatan LED, dan pasien imunosupresif. 1
Meningitis Ensefalitis Abses OtakUmum Demam
Nyeri kepalaKaku kudukConfusion
DemamNyeri kepala, mual dan muntahPerubahan status mental: confusion, delirium, stupor dan koma
Nyeri kepalaPerubahan status mental: confusion, stupor dan komaKejang: umum atau fokal
2
Meningitis Ensefalitis Abses OtakUmum Kejang: umum atau fokal
Hiperrefleks, spastisitas, Babinski positifKaku kuduk ringan
Kelumpuhan N.VIHemiparesisPapiledem
Jarang KejangStupor atau komaPapiledem
Tremor dan dystoniaPapiledema
Kaku Kuduk
Tabel 1. Manifestasi klinis umum pada infeksi susunan saraf pusat.
2.2. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal
Pungsi lumbal hanya dilakukan setelah dilakukan evaluasi klinis dan pertimbangan
keuntungan dan bahaya dari prosedur yang akan dilakukan.2 Pemeriksaan cairan
serebrospinal penting dilakukan pada diagnosis banding infeksi SSP, termasuk
meningitis dan ensefalitis, juga perdarahan subarachnoid, keadaan mental confussed,
stroke akut, status epileptikus, malignansi meningeal, penyeakit demyelinisasi dan
vaskulitis SSP.
Pungsi lumbal dikontraindikasikan bila terdapat:2,3
Meningitis bakterialis saat sedang demam tinggi
Infeksi lokal di sekitar daerah tempat pungsi lumbal
Koagulopati atau kelainan perdarahan lainnya
Bila diduga ada tumor intrakranial, terutamanya di fossa posterior
Peningkatan tekanan intrakranial
Gambar 2. Prosedur dan lokasi pungsi lumbal
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah herniasi otak atau kompresi korda spinalis,
nyeri kepala, perdarahan subarachnoid, diplopia dan nyeri punggung.4
3
LCS Bakteri TB Virus Jamur Toksoplasma
Warna (Jernih)
Purulen Jernih Jernih Jernih Jernih
Hitung sel(0-5)
Puluhan-Ribuan >5- Ratusan >5- Puluhan >5-Puluhan ↑
Tekanan(60-200 mmH2O)
↑↑/↑ ↑/N N ↑↑↑ Variasi
Glukosa ↓↓↓/↓↓ ↓↓/↓ ↓/N ↓/N ↓/N
Protein ↑↑↑/↑↑ ↑↑/↑ ↑/N ↑/↑↑ ↑
Dominasi sel PMN MN MN MN MN
Pemeriksaan KulturLeukosit darahCT Scan
Ro ToraksMantoux testCT Scan
SerologiCT Scan
Tinta IndiaCT Scan
SerologiCT Scan
Tabel 2. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi SSP.
2.3. Meningitis Bakterial
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama araknoid dan
piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada MB,
terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya proses
inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim otak
(meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke medula
spinalis. Kerusakan neuron, terutama pada struktur hipokampus, diduga sebagai
penyebab potensial defisit neuropsikologik persisten pada pasien yang sembuh dari
meningitis bakterial.5
Epidemiologi
Kasus MB terdistribusi di seluruh belahan bumi. Di negara dengan empat musim, MB
lebih banyak terjadi di musim dingin dan awal musim semi. MB lebih banyak terjadi
pada pria. Insiden MB adalah 2-6/100.000 per tahun dengan puncak kejadian pada
kelompok bayi, remaja, dan lansia. Tingkat insiden tahunan (per 100.000) MB sesuai
patogennya adalah sebagai berikut: Streptococcus pneumonia, 1,1; Neisseria
meningitidis, 0,6; Streptococcus, 0,3; Listeria monocytogenes, 0,2; dan Haemophilus
influenza, 0,2.
Faktor Risiko
Faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan risiko MB di antaranya adalah
status immunocompromised (infeksi human immunodeficiency virus, kanker, dalam
terapi obat imunosupresan, dan splenektomi), trauma tembus kranial, fraktur basis
4
kranium, infeksi telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi, adanya benda
asing di dalam sistem saraf pusat (contoh: ventriculoperitoneal shunt), dan penyakit
kronik (gagal jantung kongestif, diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan sirosis
hepatik).
Etiologi
Pada individu dewasa imunokompeten, S. pneumonia dan N. meningitidis adalah
pathogen utama penyebab MB, karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan
kolonisasi nasofaring dan menembus sawar darah otak (SDO). Basil gram negatif
seperti Escherichia coli, Klebsiella spp, Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, dan Pseudomonas spp biasanya merupakan pe- nyebab MB nosokomial,
yang lebih mudah terjadi pada pasien kraniotomi, kateterisasi ventrikel internal
ataupun eksternal, dan trauma kepala.
Patofisiologi
Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung, penyebaran
hematogen, atau embolisasi trombus yang terinfeksi. Infeksi juga dapat terjadi melalui
perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui vv. diploica, erosi fokus
osteomyelitis, atau secara iatrogenik (pasca-ventriculoperitoneal shunt atau prosedur
bedah otak lainnya).
Transmisi bakteri patogen umumnya melalui droplet respirasi atau kontak langsung
dengan karier. Proses masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat merupakan
mekanisme yang kompleks. Awalnya, bakteri melakukan kolonisasi nasofaring
dengan berikatan pada sel epitel menggunakan villi adhesive dan membran protein.
Risiko kolonisasi epitel nasofaring meningkat pada individu yang mengalami infeksi
virus pada sistem pernapasan atau pada perokok.
Komponen polisakarida pada kapsul bakteri membantu bakteri tersebut mengatasi
mekanisme pertahanan immunoglobulin A (IgA) pada mukosa inang. Bakteri
kemudian melewati sel epitel ke dalam ruang intravaskuler di mana bakteri relatif
terlindungi dari respons humoral komplemen karena kapsul polisakarida yang
dimilikinya.
Bakteri memasuki ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS) melalui pleksus
5
koroid atau kapiler serebral. Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan endotel
yang disebabkannya. Seluruh area ruang subaraknoid yang meliputi otak, medula
spinalis, dan nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar dengan
cepat. Hal ini menunjukkan meningitis hampir pasti selalu melibatkan struktur
serebrospinal. Infeksi juga mengenai ventrikel, baik secara langsung melalui pleksus
koroid maupun melalui refluks lewat foramina Magendie dan Luschka.
Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respons humoral
komplemen CSS. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan menginduksi
proses inflamasi di meningen dan parenkim otak. Akibatnya, permeabilitas SDO
meningkat dan menyebabkan kebocoran protein plasma ke dalam CSS yang akan
memicu inflamasi dan menghasilkan eksudat purulen di dalam ruang subaraknoid.
Eksudat akan menumpuk dengan cepat dan akan terakumulasi di bagian basal otak
serta meluas ke selubung saraf-saraf kranial dan spinal. Selain itu, eksudat akan
menginfiltrasi dinding arteri dan menyebabkan penebalan tunika intima serta
vasokonstriksi, yang dapat mengakibatkan iskemia serebral. Tunika adventisia
arteriola dan venula subaraknoid sejatinya terbentuk sebagai bagian dari membran
araknoid. Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak awal sudah mengalami proses
inflamasi bersamaan dengan proses meningitis (vaskulitis infeksius).
Selanjutnya, dapat terjadi syok yang mereduksi tekanan darah sistemik, sehingga
dapat mengeksaserbasi iskemia serebral. Selain itu, MB dapat menyebabkan
trombosis sekunder pada sinus venosus mayor dan tromboflebitis pada vena-vena
kortikal. Eksudat purulen yang terbentuk dapat menyumbat resorpsi CSS oleh villi
araknoid atau menyumbat aliran pada sistem ventrikel yang menyebabkan
hidrosefalus obstruktif atau komunikans yang disertai edema serebral interstisial.
Eksudat tersebut juga dapat mengelilingi saraf-saraf kranial dan menyebabkan
neuropati kranial fokal.
Manifestasi Klinik
MB akut memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk;
tidak jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran. Tanda Brudzinski dan
Kernig juga dapat ditemukan serta memiliki signifikansi klinik yang sama dengan
kaku kuduk, namun sulit ditemukan secara konsisten. Diagnosis meningitis dapat
menjadi sulit jika manifestasi awal hanya nyeri kepala dan demam. Selain itu, kaku
kuduk tidak selalu ditemukan pada pasien sopor, koma, atau pada lansia.
6
Meningitis meningokokal harus dicurigai jika terjadi perburukan kondisi yang sangat
cepat (kondisi delirium atau sopor dalam hitungan jam), terdapat ruam petechiae atau
purpura, syok sirkulasi, atau ketika ada wabah lokal meningitis. Ruam petechiae
muncul pada sekitar 50% infeksi meningokokal, manifestasi tersebut
mengindikasikan pemberian antibiotik secepatnya.
Meningitis pneumokokal sering didahului oleh infeksi paru, telinga, sinus, atau katup
jantung. Etiologi pneumokokal juga patut dicurigai pada pasien alkoholik, pasca-
splenektomi, lansia, anemia bulan sabit, dan fraktur basis kranium. Sedangkan
etiologi H. influenzae biasanya terjadi setelah infeksi telinga dan saluran napas atas
pada anak- anak.
Etiologi lain sangat tergantung pada kondisi medik tertentu. Meningitis setelah
prosedur bedah saraf biasanya disebabkan oleh infeksi stafilokokus. Infeksi HIV,
gangguan myeloproliferatif, defek tulang kranium (tumor, osteomyelitis), penyakit
kolagen, kanker metastasis, dan terapi imunosupresan adalah kondisi yang
memudahkan terjadinya meningitis yang disebabkan Enterobacteriaceae, Listeria, A.
calcoaceticus, danPseudomonas.
Tanda-tanda serebral fokal pada stadium awal meningitis paling sering disebabkan
oleh pneumokokus dan H. influenza. Meningitis dengan etiologi H. influenza paling
sering menyebabkan kejang. Lesi serebal fokal persisten atau kejang yang sulit
dikontrol biasanya terjadi pada minggu kedua infeksi meningen dan disebabkan oleh
vaskulitis infeksius, saat terjadi sumbatan vena serebral superfisial yang berujung
pada infark jaringan otak. Abnormalitas saraf kranial sering terjadi pada meningitis
pneumokokal, karena invasi eksudat purulen yang merusak saraf yang melalui ruang
subaraknoid.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis MB ditegakkan melalui analisis CSS, kultur darah, pewarnaan CSS, dan
biakan CSS. Pada prinsipnya, pungsi lumbal harus dikerjakan pada setiap kecurigaan
meningitis dan/atau ensefalitis. Pada pemeriksaan darah, MB disertai dengan
peningkatan leukosit dan penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia,
hiponatremia, serta gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Pencitraan otak
harus dilakukan secepatnya untuk mengeksklusi lesi massa, hidrosefalus, atau edema
7
serebri yang merupakan kontraindikasi relatif pungsi lumbal. Jika pencitraan tidak
dapat dilakukan, pungsi lumbal harus dihindari pada pasien dengan gangguan
kesadaran, keadaan immunocompromised (AIDS, terapi imunosupresan, pasca-
transplantasi), riwayat penyakit sistem saraf pusat (lesi massa, stroke, infeksi fokal),
defisit neurologik fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema yang
memperlihatkan tanda-tanda ancaman herniasi.
Tekanan pembukaan saat pungsi lumbal berkisar antara 20-50 cmH2O. CSS biasanya
keruh, tergantung dari kadar leukosit, bakteri, dan protein. Pewarnaan Gram CSS
memberi hasil meningokokus positif pada sekitar 50% pasien dengan meningitis
meningokokal akut. Kultur darah dapat membantu, namun tak selalu bisa diandalkan.
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) bersifat sensitif terhadap
Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis.
Penatalaksanaan
Gambar 2. Algoritma tatalaksana meningitis bakterialis.
MB adalah kegawatdaruratan medik. Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah
yang krusial, karena harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan
dapat masuk ke CSS dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera
dimulai sambil menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada
8
temuan laboratorik. Pada suatu studi, didapatkan hasil jika pemberian antibiotik
ditunda lebih dari 3 jam sejak pasien masuk RS, maka mortalitas akan meningkat
secara bermakna.
Karakter Pasien Etiologi tersering Pilihan antibiotik
NeonatusStreptococcus grup B, L. monocytogenes, E. coli
Ampicillin plus cefotaxime
Usia 2 bulan-18 tahunN. meningitidis, S. pneumonia, H. influenzae
Ceftriaxone atau cefotaxime, dapat ditambahkan vancomycin
Usia 18-50 tahunS. pneumonia, N. meningitidis
Ceftriaxone, dapat ditambahkan vancomycin
Usia >50 tahunS. pneumonia, L. monocytogenes, bakteri gram negatif
Vancomycin plus ampicillin plus ceftriaxone
Kondisi immunocompromised
S. pneumonia, N. meningitidis, L. monocytogenes, S. aureus, Salmonella spp, basil gram negatif aerob (termasuk P. aeruginosa)
Vancomycin plus ampicillin plus cefepime atau meropenem
Fraktur basis kraniumS. pneumonia, H. influenza, group A beta-hemolytic streptococci
Vancomycin plus cefotaxime atau ceftriaxone
Cedera kepala; pascabedah
otak
Stafilococcus, basil gram
negatif aerob (termasuk P.
aeruginosa)
Vancomycin plus
ceftazidime, cefepime, atau
meropenem
Tabel 2. Terapi empirik pada meningitis bakterialis.
Mikroorganisme Terapi standard Terapi alternatifH. influenza B-laktamase negatif
AmpisilinSefalosporin generasi III; kloramfenikol
H. influenza B-laktamase positif
Sefalosporin generasi III Kloramfenikol; sefepim
N. meningitidis Penisilin G atau ampisilinSefalosporin generasi III; kloramfenikol
S. pneumoniae Sefalosporin generasi III Vankomisin; meropenemEnterobacteriaceae Sefalosporin generasi III Meropenem atau sefepimP. aeruginosa Seftazinim atau sefepim Meropenem; piperisilinL. monocytogenes Ampisilin atau penisilin G Trimetoprim/sulfametoksazol
S. agalactiae Ampisilin atau penisilin GSefalosporin generasi III; vankomisin
9
S. aureus sensitif metisilin Nafsilin atau oksasilin VankomisinS. aureus resisten metisilin Vankomisin Linezolid; daptomisinS.epidermidis Vankomisin
Tabel 3. Terapi spesifik pada meningitis bakterialis.
Pilihan antibiotik empirik pada pasien MB harus berdasarkan epidemiologi lokal, usia
pasien, dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta. Antibiotik
harus segera diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus
diterapi dengan cairan dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial, pertimbangkan pemberian manitol.
Antibiotik empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih spesifik jika hasil kultur
sudah ada. Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri penyebab, keparahan
penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis meningokokal epidemik
dapat diterapi secara efektif dengan satu dosis ceftriaxone intramuskuler sesuai
dengan rekomendasi WHO. Namun WHO merekomendasikan terapi antibiotik paling
sedikit selama 5 hari pada situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang
yang bertahan selama lebih dari 24 jam. Autoritas kesehatan di banyak negara maju
menyarankan terapi antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal dan
haemofilus; 10-14 hari untuk terapi antibiotik pada meningitis pneumokokal.
Terapi dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama
antibiotik dapat menurunkan morbiditasdanmortalitassecarabermakna, terutama pada
meningitis pneumokokal. Dexamethasone dapat menurunkan respons inflamasi di
ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko edema serebral,
peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera
neuron. Dexamethasone diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg setiap 6 jam
secara intravena. Sejumlah pakar berpendapat pemberian dexamethasone harus
dihenti- kan jika hasil kultur CSS menunjukkan penyebab MB bukan H. influenzae
atau S. pneumoniae, namun kelompok pakar lain merekomendasikan pemberian dexa-
methasone apapun etiologi MB yang ditemukan. Pemberian dexamethasone pada
pasien MB dengan sepsis berat atau syok sepsis dapat meningkatkan kesintasan. Pada
penelitian lain, pemberian dexamethasone tidak menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas secara bermakna.
Pasien MB harus dipantau ketat. Kejadian kejang sering muncul dan terapi anti-
10
konvulsan sering kali diperlukan. Jika kesadaran pasien menurun setelah kejang,
maka pasien terindikasi untuk pemeriksaan elektroensefalografi. Kondisi pasien harus
dipertahankan dalam status normoglikemia dan normovolemia. Proton pump inhibitor
perlu diberikan untuk mencegah stress-induced gastritis. Jika kondisi klinis pasien
belum membaik dalam 48 jam setelah terapi antibiotik dimulai, maka analisis CSS
ulang harus dilakukan. 5
Pada pasien MB dengan hidrosefalus akut, prosedur ventrikulostomi dapat di-
pertimbangkan. Pada pasien dengan pem- besaran sistem ventrikel ringan tanpa
perburukan klinis, resolusi spontan dapat terjadi, sehingga prosedur invasif dapat
ditunda.
Profilaksis
Individu yang mengalami kontak dengan pasien meningitis meningokokal harus
diberi antibiotik profilaksis. Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah
ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal atau rifampicin 2 x 600 mg selama 2 hari.
Profilaksis tidak dibutuhkan jika durasi sejak penemuan kasus meningitis
meningokokal sudah lebih dari 2 minggu. Imunisasi S. pneumoniae, H. influenza dan
N. meningitidis diketahui menurunkan insiden meningitis secara bermakna.
Prognosis
MB yang tidak diobati biasanya berakhir fatal. Meningitis pneumokokal memiliki
tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%. Pada sekitar 30% pasien yang bertahan
hidup, terdapat sekuel defisit neurologik seperti gangguan pendengaran dan defisit
neurologik fokal lain. Individu yang memiliki faktor risiko prognosis buruk adalah
pasien immunocompromised, usia di atas 65 tahun, gangguan kesadaran, jumlah
leukosit CSS yang rendah, dan infeksi pneumokokus. Gangguan fungsi kognitif
terjadi pada sekitar 27% pasien yang mampu bertahan dari MB.
Terapi kortikosteroid jangka panjang
Terapi kortikosteroid sistemik digunakan secara luas untuk mengobati gangguan
autoimun atau inflamasi. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang (terutama dalam
dosis tinggi) berhubungan dengan efek samping serius pada berbagai sistem fisiologik
tubuh,termasuk system imun. Efek samping tersebut sebenarnya dapat di-
11
minimalisasi dengan cara memantau kondisi pasien secara seksama dan menggunakan
jenis kortikosteroid dengan potensi dan dosis serendah mungkin.
Kortikosteroid menekan fungsi imun normal dengan menurunkan ekspresi limfosit T,
monosit, makrofag, eosinofil, mastosit, dan sel endotelial. Supresi sitokin bukan satu-
satunya efek kortikosteroid pada respons imun dan antiinflamasi normal.
Kortikosteroid juga dipercaya mengeksitasi produksi sitokin antiinflamasi TGF-ß
(Transforming Growth Factor-β). Kortikosteroid juga mengganggu ekspresi molekul
pengikat pada antigen- precenting cell serta menginduksi apoptosis pada limfosit T
matur dan monosit.
Pengguna kortikosteroid jangka panjang rentan terhadap infeksi karena kortikosteroid
dapat menghambat kerja sistem imun normal dan menekan proses inflamasi. Gejala
infeksi pada pengguna kortikosteroid jangka panjang dapat menunjukkan gejala yang
tidak khas karena adanya inhibisi pelepasan sitokin dan reduksi respons inflamasi.
Untuk mencegah infeksi oportunistik pada pengguna kortikosteroid jangka panjang,
beberapa pakar menganjurkan memulai terapi kortikosteroid dengan dosis dan potensi
serendah mungkin tanpa mengabaikan efikasi. Sebelum memulai terapi kortikosteroid
jangka panjang, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sebagai data dasar.
Selanjutnya, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan setiap 3 bulan (selama
pasien masih dalam terapi kortikosteroid) untuk melihat adanya kemungkinan infeksi
yang belum bermanifestasi spesifik. Setiap pasien juga harus memiliki termometer
pribadi di rumah dan harus segera ke dokter bila suhu meningkat di atas 38°C.
American College of Rheumatology merekomendasikan vaksinasi pneumokokus dan
influenza pada pasien tersebut.5
2.4. Meningitis Tuberkulosa
Meningitis tuberkulosa dapat terjadi melalui 2 tahapan. Tahap pertama adalah ketika
basil Mycobacterium tuberculosis masuk melalui inhalasi droplet menyebabkan
infeksi terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut
dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk lesi metastatik
kaseosa foci subependimal yang disebut rich foci. Tahap kedua adalah bertambahnya
ukuran rich foci sampai kemudian ruptur ke dalam ruang subarach- noid dan
mengakibatkan meningitis.6
Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosis paling fatal dan menimbulkan
12
gejala sisa yang permanen; oleh karena itu, dibutuhkan diagnosis dan terapi yang
segera. Penyakit ini merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner kelima yang sering
dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner
serta 0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Gejala klinis saat akut adalah defisit saraf
kranial, nyeri kepala, meningismus, dan perubahan status mental. Gejala prodromal
yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala, muntah, fotofobia, dan demam.
Diagnosis
Pembagian stadium meningitis tuberkulosis menurut Medical Research Council of
Great Britain: 7
1) Stadium I
Penderita dengan sedikit atau tanpa gejala klinik meningitis. GCS 15,
tidak didapatkan kelumpuhan dan sadar penuh. Tanpa defisit fokal.
Penderita tampak tak sehat, demam, nyeri kepala ringan, apatis.
2) Stadium II
Ditermukan perubahan mental, kelumpuhan saraf III, IV, VI, GCS 11-14 /
GCS 15 ditambah defisit fokal.
3) Stadium III
Gejala diatas disertai penurunan kesadaran, GCS ≤ 10.
Kriteria diagnostik dari meningitis TB menurut Thwaites dkk dalam Journal of
Infectious Disease 2005 adalah:
1. Definitif :
Klinis meningitis / meningoensefalitis
Analisa CSS tidak normal
Pewarnaan BTA positif pada CSS (secara mikroskopis) dan atau kultur
positif untuk M. Tuberkulosis dan atau PCR TB positif.
2. Probable
Klinis meningitis atau meningoensefalitis
Analisa CSF tidak normal
Salah satu dari
- BTA ditemukan pada jaringan lain
- Foto torak sesuai dengan TB paru aktif
13
3. Possible
Klinis meningitis atau meningoensefalitis
Analisa CSF tidak normal
Salah satu dari :
Riwayat TB
Sakit > 5 hari
Gangguan kesadaraan
Tanda neurologis fokal
Dominasi mononuklear pada CSS
Rasio glukosa serum dengan LCS <0,5
CSS berwarna kekuningan (xantokrom)
Skoring Meningtis TB menurut Thwaites adalah:
Variabel Skor
Umur (tahun)
≥36
<36
+2
0
Leukosit darah (103/mL)
≥15.000
<15.000
+4
0
Lama sakit (hari)
≥6
<6
-5
0
Leukosit LCS (103/mL)
≥900
<900
+3
0
Neutrofil LCS
≥75
<75
+4
0
Skor total ≤4 mengindikasikan infeksi meningitis tuberkulosa
Skor total >4 tidak mengindikasikan infeksi meningitis tuberkulosa.
Tabel 4. Skoring meningitis TB.
Penatalaksanaan
14
Sediaan OAT: 7
Rifampicin : 10mg/KgBB/hari PO
Isoniazid : 5mg/KgBB/hari PO
Pirazinamid : 25 mg/KgBB/hari PO maks 2g/hari
Ethambutol : 20 mg/KgBB/hari PO maks 1,2g/hari
Sterptomisin : 20 mg/KgBB/hari IM
Lama pemberian adalah 2 R-H-Z-E/S + 7-10 R-H-Z (2 bulan pertama diberikan
Rifampisin, INH, Prazinamid, Etambutol / Streptomisin, 7-10 bulan berikutnya
diberikan rifampisin, INH, Pirazinamid).
Selain itu juga tersedia OAT kombo:
Rimstar: Rifampisin 150 mg, INH 75 mg, Pirazinamid 400 mg dan
Etambutol 275 mg
Combipack: Rifampisin 150 mg, INH 300 mg, Etambutol 750 mg
Penggunaan steroid masih kontroversial namun beberapa penelitian terakhir
menunjukan peranan yang positif. Pemberian deksametason pada meningitis
tuberculosis derajat 2 dan 3 tanpa infeksi HIV mengurangi risiko kematian namun
tidak mengurangi disabilitas berat pada pasien yang bertahan hidup.
Perlu diingat bahwa pemberian deksametason pada meningitis tuberculosis hanya
direkomendasikan untuk pasien HIV negatif. Cara pemberian deksametason adalah
sebagai berikut.
Meningitis TB grade I
Minggu I : 0,3 mg/kgBB/ hari i.v.
Minggu II : 0,2 mg/kgBB/hari i.v.
Minggu III-IV : mulai 4mg/ hari p.o. dan diturunkan 1mg/hari tiap
minggu
Meningitis TB grade II/III
Minggu I : 0,4mg/kgBB/hari i.v.
Minggu II : 0,3mg/kgBB/hari i.v.
Minggu III : 0,2mg/kgBB/hari i.v.
Minggu IV : 0,1mg/kgBB/hari i.v.
15
Minggu V-VIII : mulai 4mg/hari p.o. dan diturunkan 1mg/hari
tiap minggu.
2.5. Ensefalitis Virus Herpes Simpleks
Beberapa jenis virus yang dapat menginfeksi susunan saraf pusat (SSP) manusia, di
antaranya HIV ( HIV-1 dan HIV-2), Herpes Simplex Virus (HSV-1 dan HSV-2),
Cytomegalovirus (CMV), Varicella Zoster Virus (VZV), dan Dengue Virus. HSV
cenderung menempati bagian medial lobus temporal, merusak neuron, sel glia, mielin,
dan pembuluh darah, dapat menimbulkan gejala dan gambaran EEG khas; penyakit
ini cukup responsif terhadap pengobatan apabila diagnosis telah ditegakkan. 8
Manifestasi Klinis
Gejala berlangsung akut selama beberapa hari. Dua keadaan klinis ensefalitis HSV
yaitu: (1) Sindrom meningitis aseptik; disebut aseptik karena hasil kultur negatif,
sebagian besar disebabkan virus, Sindrom ini menandakan keterlibatan meninges pada
ensefalitis HSV, umumnya disebut meningoensefalitis; dan (2) Sindrom Ensefalitis
Akut yang umum terlihat pada ensefalitis HSV. 8
Sindrom Aseptic Meningitis
Demam 38-40 °C, biasanya akut.
Nyeri kepala - biasanya lebih berat dibandingkan nyeri kepala saat demam
sebelumnya.
Fotofobia dan nyeri pada gerakan bola mata.
Kaku kuduk sebagai pertanda rangsang meningeal, biasanya tidak terdeteksi
pada fase awal.
Pemeriksaan Kernig dan Brudzinski sering negatif pada meningitis viral.
Gejala sistemik infeksi virus, seperti radang tenggorokan, mual dan muntah,
kelemahan tubuh, rasa pegal punggung dan pinggang, konjungtivitis, batuk,
diare, bercak kemerahan (eksantema).
Jika disertai penurunan kesadaran serta perubahan kualitas kesadaran, mungkin
ke arah diagnosis ensefalitis.
Pemeriksaan LCS (Liquor Cerebrospinalis): nilai glukosa normal, dan pleositosis
limfositik.
16
Sindrom Ensefalitis Akut
Demam mendadak dengan atau tanpa gejala meningitis aseptik; jika disertai gejala
meningitis aseptik, disebut meningoensefalitis.
Defisit neurologis seperti konvulsi, delirium, stupor atau koma, afasia;
hemiparesis dengan refleks Babinski asimetris, gerak involunter, ataksia dan
kejang mioklonik, nistagmus, lumpuh otot okular, kelemahan otot wajah. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan halusinasi pengecapan dan penciuman, anosmia,
kejang lobus temporalis, perubahan kepribadian, perilaku psikotik, delirium,
afasia serta hemiparesis.
Kejang: sebagian besar kejang fokal.
Pencitraan memperlihatkan gambaran edema atau kerusakan di bagian infero
medial temporal dan frontal.
Pemeriksaan Penunjang
Pungsi lumbal
Konsensus AAP (American Academy of Pediatrics) sangat menganjurkan pungsi
lumbal pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejang demam sederhana pertama, dan
dipertim- bangkan pada anak usia 12-18 bulan dengan kejang demam sederhana
pertama.LCS umumnya meningkat tekanannya (dihubungkan dengan peningkatan
tekanan intrakranial) dan memperlihatkan gambaran pleositosis (10 sampai 200 sel
per mm3, jarang di atas 500), didominasi limfosit; terdapat peningkatan sel neutrofil
pada fase awal penyakit. Pada beberapa kasus, komposisi LCS normal di awal
penyakit, namun akan abnormal pada pemeriksaan ulang. Tidak jarang terdapat
peningkatan protein (50-2000 mg/dL) dan dalam persentase kecil, penurunan glukosa
hingga 40 mg/dL, hal ini terkadang membuat rancu antara diagnosis infeksi HSV,
TBC, atau jamur. Pungsi lumbal serial disarankan oleh CASG (Collaborative
Antiviral Study Group), bertujuan untuk melihat efektivitas pencegahan replikasi
virus, dilakukan hingga dosis terapi lengkap asiklovir; pemeriksaan LCS pada minggu
ke 1,2 dan 4,6 setelah terapi asiklovir intravena selesai untuk melihat kemungkinan
kekambuhan subklinis.
Polymerase Chain Reaction
Akhir-akhir ini berkembang pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) LCS
untuk mendeteksi antigen HSV; dalam hari-hari perawatan awal, antigen dibiarkan
17
bereplikasi untuk mengkonfirmasi keberadaan HSV. Hasil negatif palsu tes PCR HSV
pada awal penyakit dapat disebabkan oleh sedikitnya pelepasan asam nukleat HSV
dari otak ke LCS atau ke- terbatasan alat. Beberapa narasumber menyarankan
pemeriksaan PCR berkala, terutama dalam minggu pertama. Pemeriksaan PCR pada
LCS ini sensitivitasnya 95% pada 3 minggu pertama perjalanan penyakit, serta 98%
pada pemeriksaan PCR biopsi otak. Disarankan memulai terapi antiviral berdasarkan
gejala klinis, radiologis, dan temuan LCS, sambil menunggu hasil pemeriksaan PCR.
EEG (Elektroensefalografi)
Perubahan EEG berupa periodic lateralizing epileptiform discharge atau perlambatan
kom- pleks regular pada interval dua sampai tiga per detik di daerah temporal atau
frontotemporal, merupakan suatu temuan bermakna, meskipun tidak spesifik.
Pencitraan
CT Scan memperlihatkan area hipodensitas (biasanya temporal atau frontotemporal)
pada 50%-60% kasus; MRI (Magnetic Resonance Imaging) memperlihatkan
perubahan sinyal pencitraan T2. T1 memperlihatkan area dengan intensitas sinyal
rendah dikelilingi edema, terkadang terdapat gambaran perdarahan di area lobus
frontal dan temporal. Dengan kontras Gadolinium dapat dilihat kelainan korteks dan
pial, yang terakhir ini cukup sering terjadi pada semua infeksi SSP virus.
Penatalaksanaan
Diagnosis melalui anamnesis dan pemerik saan neurologis yang baik, serta pungsi
lumbal (jika tidak ada kontraindikasi). Terapi diusahakan langsung dimulai tanpa
menunggu konfirmasi pemeriksaan lain untuk menurunkan morbiditas serta
mortalitas.
Asiklovir intravena diberikan dengan dosis 10 mg/kg per dosis (setiap 8 jam)
dilanjutkan sampai 10 hingga 14 hari (dapat hingga 21 hari) untuk mencegah relaps;
dapat dihentikan bila pemeriksaan mengarah ke diagnosis lain. Asiklovir memiliki
risiko efek samping rendah; yang harus diperhatikan adalah peningkatan enzim hepar
dan penurunan fungsi ginjal.
Kasus alergi atau resisten asiklovir dapat diberi vidarabin 15 mg/kg per hari selama
14 hari. Pengendalian edema serebri dengan deksametason IV 0,15 mg/kg/dosis, tiap
18
6 jam selama 2 hari, serta mengurangi asupan cairan menjadi 2/3 kebutuhan 24 jam,
dapat mengurangi kemungkinan peningkatan tekanan intrakranial.
Tata laksana kejang sesuai dengan algoritma kejang akut dan status konvulsif dengan
tujuan utama: 8
Mempertahankan fungsi kehidupan (A,B,C).
Identifikasi dan terapi faktor penyebab dan faktor predisposisi.
Menghentikan aktivitas kejang.
Prognosis
Mortalitas dan morbiditas sangat tergantung pada umur, derajat kesadaran pasien serta
saat pemberian asiklovir. Bila pasien tidak sadar (kecuali setelah kejang), biasanya
prognosisnya buruk. Bila pengobatan dimulai pada hari sakit ke-4 pada pasien sadar,
keberhasilan pengobatan di atas 90%. Sekuele neurologis biasanya serius, termasuk
amnesia Korsakoff, demensia global, kejang dan afasia. Tanpa pengobatan, penyakit
ini mematikan pada sekitar 70 sampai 80 %; pasien yang dapat melewati fase akut,
sering cacat menetap.
2.6. Infeksi Parasit dan Jamur
Infeksi jamur dan parasit pada susunan saraf pusat merupakan penyakit oportunistik
yang pada beberapa keadaan tidak terdiagnosa sehingga penanganannya juga sulit.
Angka kematian akibat penyakit ini cukup tinggi yaitu 30% - 40% dan insidensinya
meningkat seiring dengan pemakaian obat imunosupresif dan penurunan daya tahan
tubuh. 9
Manifestasi infeksi jamur dan parasit pada susunan saraf pusat dapat berupa
meningitis dan proses desak ruang (abses atau kista). Jamur cendrung menimbulkan
meningitis kronis atau abses otak sedang parasit menyebabkan abses seperti pada
kasus toxoplasmosis danamebiasis. Status imunologi berpengaruh pada jenis
organisme tertentu seperti coccidioidomycosis, histoplasmosis, blastomycosis dan
sebagian besar parasit timbul pada pasien dengan status imunologi baik, sedang
cryptococcus ditemukan dengan prosentase yang sama antara pasien imunosupresi
dan orang sehat. Pengelolaan disesuaikan dengan keadaan misalnya pemberiaan obat
anti jamur, drainase atau shunting untuk komplikasi hidrosefalus.
Berikut akan dibahas beberapa penyakit jamur dan parasit pada susunan saraf pusat
19
sesuai degn kelompok, yaitu yang menimbulkan kelainan difus dan fokal.
Infeksi Jamur Difus
Coccidiodomycosis
Coccidiodes merupakan jamur dimorfik yang sangat patogen yang secara normal
terdapat di tanah dengan pH setengah asam (semi-acid). Ditemukan di daerah tertentu
seperti dibagian barat daya Amerika Serikat, sebagian Meksiko dan Amerika Selatan,
tetapi karena mobilitas penduduk, jamur ini bisa ditemukan jauh dari tempat aslinya.
Patogenesa
Infeksi dimulai dari inhalasi artroconidia yang menyebabkan infeksi paru primer.
Sebagian besar pasien tetap asimtomatik dan hanya 0.2% yang menyebar diluar
saluran pernafasan. Sepertiga kasus ekstrapulmoner berbentuk meningitis. Susunan
saraf pusat merupakan satu-satunya organ yang terkena gangguan saat/periode
disiminasi, keadan ini terjadi dalam beberapa bulan setelah infeksi primer. Status
imunologi pasien berperan pada penyebaran ekstraparu, keadaan imunosupresi seperti
pada pemberian kortikosteroid, memudahkan penyebaran ekstraparu.
Klinis
Meningitis kronis karena Coccidiodes menyerupai meningitis tuberkulosa, dengan
nyeri kepala dan bingung (confusion) sedang meningismus jarang ditemukan.
Pemeriksaan Penunjang
Foto torak basanya abnormal. Pemeriksaan liquor serebrospinal menunjukkan
peningkatan kadar protein, penurunan kadar gula dan limfositosis. Jamur ini cukup
sulit ditemukan pada kultur liquor, tetapi pemeriksaan serum antibodi biasanya positif
dan merupakan indikator aktifasi penyakit. Paa CT Scan dengan kontras nampak
penyangatan sisterna basalis yang akan hilang setelah pengobatan. Pada beberapa
keadaan ditemukan abses di medulla spinalis, biasanya di servikal atau torakal.
Pengelolaan
Ampoterisin B telah dipakai untuk pengobatan infeksi jamur sejak 30 tahun yang lalu.
Pada pemberian secara intravena kadar obat dalam ruang subaraknoid sangat rendah
sehingga beberapa klinisi memberikan injeksi langsung ke intratekal. Dosis untuk
injeksi intratekal adalah 0.25-0.5 mg/hari. Efek samping pemberian ampoterisin B
intratekal adalah araknoiditis, vaskulitis dan infeksi sekunder.
Obat lain untuk penanganan infeksi jamur pada susunan saraf pusat adalah dengan
20
obat gabungan antara ampoterisi B dengan flusitosin atau ketokonazol tetapi
pemakaian obat ini pada manusia belum ada laporan yang jelas. Untuk obat tunggal
dosis ketokonazol adalah 1200 mg/hari.
Prognosa
Seperti pada semua kasus meningitis fungsi, umumnya jelek. Menurut Craven dan
kawan kawan angka kematian mencapai 40% pada tahun pertama dan mencapai 60%
bila ada hidrosefalus.
Cryptococcosis
Cryptococcosis merupakan infeksi jamur yang paling sering ditemukan pada susunan
saraf pusat, tetapi akhir-akhir ini kedudukannya digeser oleh candidiasis.
Cryptococcosis dapat menyerang orang sehat maupun immunocompromised.
Klinis
Infeksi pertama pada paru-paru, kemudian menyebar ke otak pada 10-50% kasus.
Gejala awal biasanya nyeri kepala, muntah dan afebris, tetapi gejala yang paling
sering adalah febris yang berlangsung subakut-klinis, kelemahan umum dan kejang.
Pada funduskopi ditemukan pepil udem sampai 40% kasus dan 30% kasus dengan
parese N.VI. Granuloma fokal atau abses menyebabkan defisit neurologis fokal,
hemiparese atau gejala TTIK.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan foto torak positif pada 40-50% kasus. Pada pemeriksaan darah
ditemukan jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm. Hasil pemeriksaan liqour
bervariasi, pada pasien imunocompromised gejala klinis tidak berat, tetapi jumlah
cryptococcus lebihbanyak dibanding leukosit. Pada lebih dari 50% kasus, pleositosis
dengan leukosit mononuklear dominan. Kadar protein diatas 40 mg% atau lebih tinggi
dengan kadar gula yang rendah pada 55% kasus.Pemeriksaan lain yang penting adalah
ditemukannya antigen terhadap cryptoccocus. Pengecatan dengan tinta India hanya
positif pada 60% kasus dan antigen positif pada 90% kasus, dengan titer antigen >1:8.
CT Scan dengan gambaran penyangatan di daerah sisterna basalis dengan batas tidak
jelas, ditemukan daerah/lesi hipodens di substansia alba.
Pengobatan
Fase akut:7
Minggu 1-2:
21
- Ampoterisin-B 0,7-1 mg/kg per hari. Dalam infus dekstrosa 5% dan
diberikan selama 4-6 jam dan jangan dilarutkan dengan NaCl
- Flukonazol 800 mg per hari po
Minggu 3-10:
- Flukonazol 800 mg per hari po
Bila tidak ada ampoterisin-B dapat digunakan flukonazol saja dengan dosis
800-2000 mg per hari selama 12 minggu.
Fase rumatan: flukonazol 200 mg/hari hingga CD4 > 200
Prognosa buruk bila ada hidrosefalus danudem serebri. Pemeriksaan antigen harus
diulang karena umunya ditemukan positif palsu. Bila kadar awaal kurang dari 1:256
maka prognosanya baik. Angka kematian akibat cryptococcosis dengan terapi agresif
± 30% .
Candidiasis
Jarang menginfeksi individu sehat, karena merupakan flora normal di daerah mulut
danmerupakan jamur patogen oportunistik.
Patogenesis
Berbeda dengan jamur lain, candidi tidak melalui jalur paru, tetapi lewat jalur saluran
cerna, saluran kemih, saluran pernafasan dan masuk ke aliran darah langsung lewat
pemasangan kateter. Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi pada 50% dari infeksi
candidiasis sistemik, dan mencapai 80% pada kasus candida endocarditis dengan
distribusi yang sama pada semua kelompok umur.
Klinis
Manifestasi klinis tergantung usia, meningitis biasanya ditemukan pada neonatus
dananak sedang pada orang dewasa berbentuk mikro atau makro abses.
Pemeriksaan Penunjang
Oleh karena angka kejadian infeksi ke susunan saraf pusat cukup tinggi, maka pada
kasus kandidiasis sistemik harus dilakukan pemeriksaan CT Scan dan lumbai fungsi
segera. Pada CT Scan nampak daerah dengan densitas rendah tanpa penyangatan dan
ini ditemukan pada individu yang immunocompromised. Gambaran liquor sama
dengan meningitis bakterialis lain, tetapi pada abses otak ec candida gambaran
22
liquornya normal. Pemeriksaan lain dengan tes serologi dan kultur.
Pengelolaan
Tidak seperti infeksi jamur lain, pada candidiasis dapat terjadi keadaan sembuh
sendiri secara spontan. Obat pilihan pertama tetap ampoterisin B, kemudian obat
gabungan antara ampoterisis B (0.3 mg/kg) dengan flusitosin oral 100- 150
mg/kg/hari, terbagi dalam 4 kali pemberian.
Prognosa
Angka kesembuhan pada meningitis candida mencapai 90%, tetapi pada kasus abses
otak, angka kematian tinggi dan ini disebabkan oleh kegagalan banyak organ (multi-
organ failure).
Infeksi Jamur Fokal
Aspergillosis
Aspergillus fumigatus dan kelompok Mucor paling sering mencapai susunan saraf
pusat lewat paru 50%.
Klinis
Gambaran klinis aspergillosis otak biasanya berupa proses desak ruang, jarang
berbentuk meningitis. Manifestasi aspergillosis biasanya berbentuk abses tunggal
dengan kapsul yang tegas (single well-encapsulated abcess). Pada pasien yang
immunocompromised abses bisa tunggal bisa multiple dan nampak di daerah sirkulasi
anterior dan posterior, pada keadaan lain pada pasien yang immunocompromised bisa
ditemukan trombosis vaskuler dan infark, selain itu juga pernah dilaporkan adanya
aneurisma mikotik yang lokasinya berbeda dengan bakterial aneurisma yaitu bahwa
mikotik aneurisma terletak lebih kearah proksimal dari cabang pembuluh darah besar.
Pemeriksaan Penunjang
Pada CT Scan nampak sebagai masa soliter,hipodens dengan penyangatan berbentuk
cincin. Pada CT Scan nampak masa hipodens dengan sedikit penyangatan sehingga
menyulitkan pengukuran secara tepat. Pada beberapa keadaan ditemukan perdarahan.
Gambaran liquor serebrospinal tidak khas, protein sedikit meninggi, kadar gula
seringkali normal, leukositosis ringan. Hasil kultur umumnya negatif.
Pengobatan
Infeksi aspergillus pada susunan saraf pusat sulit diobati,kadang diperlukan dosis
ampoterisin B yang lebih tinggi dari biasanya. Prognosa biasanya jelek.
23
Mucormycosis
Dalam kelompok ini terdapat tiga jenis yaitu Mucor, Rhizopus dan Absidia dan yang
paling sering menimbulkan infeksi adalah Rhizopus.
Patogenesa
Rhizopus merupakan flora normal di nasofaring, dan menjadi patogen pada pasien
yang mengalami ketoasidosis diabetikum serta cepat menjadi bentuk rhinocerebral
(80-90%). Abses otak karena penyebaran dari paru hanya ditemukan pada pasien yang
immunocompromised. Infark otak bisa disebabkan karena oklusi vaskuler.
Mucormycosis rhinocerebral dimulai dari sinus paranasal dan menyebar sampai
daerah orbita.
Klinis
Keluhan awal biasanya nyeri kepala, nyeri daerah mata dan periorbita dengan
pembengkakan, selain itu ditemukan optalmoplegi eksterna dan proptosis. Tajam
penglihatan menurun akibat sumbatan pada arteri sentralis retina. Penyebaran
intrakranial lewat orbita dapat menimbulkan ensefalitis dandiikuti pembentukan
abses.
Pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan liquor seringkali normal
Pengobatan
Ampoterisin B(0.5-0.6 mg/kg bb dalam dextrose 5%/4 jam), dan kadang dengan
pembedahan.
Prognosa
Berbeda dengan penyakit jamur lain, pada mucormycosis cepat terjadi kematian
biasanya dalam waktu 10 hari.
Infeksi Parasit Difus
Toxoplasmosis
Toxoplasmosis gondii merupakan protozoa obligat intraselluler pada manusia, kucing
dan burung. 9
24
Gambar 3. Lesi toksoplasma pada otak.
Patogenesa
Organisme ini masuk ke dalam tubuh manusia lewat makanan yang terkontaminasi.
Sebagian besar infeksi bersifat asimtomik, dan gejala baru muncul setelah daya tahan
tubuh menurun.
Klinis
Manifestasi klinis umumnya adalah limfadenopati generalisata, dan bila mencapai
otak menimbulkan meningoensefalitis. Defisit neurologis fokal berhubungan dengan
lesi/nekrose parenkim otak atau pembentukan jaringan parut. Diagnosa ditegakkan
lewat peemriksaan serologi dan biopsi. Toxoplasma dapat menetap sepanjang usia
host toxoplasma congenital terjadi lewat pasase transplasenta dengan gejala
korioretinitis dan kejang atau menetap tanpa gejala.
Pemeriksaan Penunjang
Pada CT Scan nampak gambaran abses multifokal dengan kontras enhancement
Pengobatan
Pengobatan TO terbagi atas pengobatan fase akut dan pengobatan rumatan.
Pengobatan fase akut dapat diberikan selama 3-6 minggu sesuai dengan perbaikan
klinis yang terjadi. Pengobatan toksoplasmosis oleh fase akut:7
Pirimetamin BB < 50 kg : 2 x 25 mg/hari PO
BB > 50 kg : 3 x 25 mg/hari PO
Klindamisin 4 x 600 mg / hari PO
Fase Rumatan
Pirimetamin dan klindamisin dengan dosis ½ dari dosis fase akut atau
menggunakan kotrimoksazol 2x1.
Fase rumatan diteruskan hingga pasien mencapai nilai CD4 > 200
Amebiasis
Entamoeba histolytica menghuni kolon dan menyebabkan disentri. Komplikasi
ekstraintestinal yang sering adalah abses hati, pleurisy, pneumonia, pericarditis dan
meningoensefalitis.
Patogenesa
25
Organisme mencapai otak lewat embolisasi. Entamoeba menyebabkan nekrose,
dengan reaksi radang ringan pada parenkim otak, udem, kejang dan kadang
pembentukan abses. Diagnosa lewat pemeriksaan fases dan biopsi jaringan .
Amebiasis susunan saraf pusat jarang terdiagnosa saat pasien masih hidup.
Penanganan
Penanganan dengan pemberian obat amebicid seperti metronidazol dengan dosis 35-
50 mg/kgBB selama 5-10 hari.
2.7. Abses Otak
Abses serebri adalah suatu lesi desak ruang berupa suatu penumpukan materi
piogenik yang terjadi akibat invasi dan perkembangan mikroorganisme yang
terlokalisir di dalam atau di antara jaringan otak. 10
Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir diantara
jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus dan
protozoa.
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat ini
telah mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak tetap masih
tinggi yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai
terutama di negara-negara maju, namun karena resiko kematiannya tinggi, abses otak
termasuk golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan masyarakat (“life-
threatening infection”)
Faktor Etiologi dan Predisposisi
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah,
sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).
• Abses dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru
sistemik (empyema, abses paru, bronkhiektase, pneumonia), endokarditis
bakterial akut dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot
(abses multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari jaringan otak). Abses
otak yang penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan
peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus
parietalis, atau cerebellum dan batang otak.
• Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti
26
AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang
dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
• 20-37% penyebab abses otak tidak diketahui.
• Penyebab abses yang jarang dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis,
erysipelas wajah, abses tonsil, pustula kulit, luka tembus pada tengkorak
kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septikemia. Berdasarkan sumber
infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses dilobus otak.
• Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograd thrombophlebitis
melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal Bentuk
absesnya biasanya tunggal, terletak superficial di otak, dekat dengan sumber
infeksinya.
• Sinusitis frontal dapat menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior
lobus frontalis.
• Sinusitis sphenoidalis dapat menyebab–kan abses pada lobus frontalis atau
temporalis.
• Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis.
• Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis.
• Infeksi pada telinga tengah dapat menyebar ke lobus temporalis.
• Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan
seperti kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh
kolesteoma dapat menyebar kedalam cerebellum.
• Infeksi parasit (Schistosomiasis, Amoeba, Fungus (Actinomycosis, Candida
albicans) dapat menimbulkan abses, tetapi hal ini sangat jarang terjadi.
Neuropatologi
Proses pembentukan abses otak oleh bakteri Streptococcus alpha hemolyticus secara
histologis dibagi dalam 4 fase dan waktu 2 minggu untuk terbentuknya kapsul abses.
1. Early cerebritis (hari 1-3); 2. Late cerebritis (hari 4-9); 3. Early capsule formation
(hari 10-13); 4. Late capsule formation (hari 14 atau lebih).
1. Early cerebritis —terjadi reaksi radang lokal dengan infiltrasi polymorphonuclear
leukosit, limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai
27
pada hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika
adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan
perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema disekitar otakdan
peningkatan efek massa karena pembesaran abses.
Gambaran CT-Scan :Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens dengan
sebagian gambaran seperti cincin. Pada hari ketiga gambaran cincin lebih jelas sesuai
dengan diameter serebritisnya. Didapati mengelilingi pusat nekrosis.
2. Late cerebritis —saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah
pusat nekrosis membesar oleh karena peningkatan “acellular debris” dan
pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Ditepi pusat
nekrosis didapati daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran
fibroblast yang terpencar. Fibroblast mulai menjadi retikulum yang akan membentuk
kapsul kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi
sangat besar.
Gambaran CT-Scan :Gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah pemberian kontras
perinfus. Kontras masuk ke daerah sentral dengan gambaran lesi homogen
menunjukkan adanya cerebritis.
Gambar 4. Abses otak (CT-Scan).
3. Early capsule formation —pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag-makrofag
menelan “acellular debris” dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul.
Lapisan fibroblast membentuk anyaman retikulum mengelilingi pusat nekrosis.
Didaerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena kurangnya
vaskularisasi didaerah substansi putih dibandingkan substansi abu. Pembentukan
kapsul yang terlambat di permukaan tengah memungkinkan abses membesar kedalam
28
substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek kedalam ventrikel lateralis. Pada
pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman retikulum yang tersebar membentuk
kapsul kollagen, Reaksi astrosit disekitar otak mulai meningkat.
Gambaran CT-Scan :Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis lebih
kecil dan kapsul terlihat lebih tebal.
4. Late capsule formation —terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran
histologis sebagai berikut: bentuk pusat nekrosis diisi oleh “acellular debris” dan sel-
sel radang. Daerah tepi dari sel radang, makrofag dan fibroblast. Kapsul kolagen yang
tebal. Lapisan neovaskular sehubungan dengan cerebritis yang berlanjut. Reaksi
astrosit, gliosis dan edema otak diluar kapsul.
Gambaran CT-Scan :Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat, sedangkan daerah
nekrosis tidak diisi oleh kontras.
Manifestasi Klinis
• Hampir seluruh penderita abses didapati keluhan sakit kepala (70-90%)
• Muntah-muntah (25-50%)
• Kejang-kejang (30-50%)
• Gejala-gejala pusing, vertigo, ataxia (pada penderita abses cerebelli)
• Gangguan bicara (19,6%), hemianopsis (31%). Unilateral midriasis (20,5%)
yang merupakan indikasi terjadinya herniasi tentorial. (pada penderita abses
temporal)
• Gejala fokal (61%) (pada penderita abses supratentorial)
Gejala umum abses otak adalah gejala proses desak ruang ditambah gejala infeksi.
Stadium awal abses otak berupa ensefalitis, yang menimbulkan edema otak dan
peningkatan tekanan intrakranial, menyebabkan gejala mual, nyeri kepala dan
muntah, somnolen dan rasa bingung kadang-kadang disertai delusi dan halusinasi.
Bila penyakit bertambah berat dapat terjadi stupor dan koma. Edema papil mulai
timbul 10-14 hari setelah onset. Pada kasus progresif dapat terjadi herniasi tentoria
atau herniasi tonsil serebelum ditandai dengan fiksasi dan dilatasi pupil dan akhirnya
paralisis pernafasan.
Kapsul mulai terbentuk dalam 10-14 hari. Kapsul fibrosis terbentuk dalam 5-6
minggu. Pembentukan kapsul tersebut diikuti menurunnya gejala karena
berkurangnya ensefalitis dan edema di sekitar abses. Kekambuhan terjadi jika abses
29
berkapsul pecah dan menyebabkan abses satelit; hal tersebut masih dapat terjadi
walaupun telah terbentuk dinding abses fibrosis yang kuat. Sekitar 5-10% abses otak
dapat kambuh.
Berdasarkan patogenesisnya, gejala dan tanda klinis dapat dibagi menjadi empat
stadia yaitu : 1. Stadium inisial, demam tidak terlalu tinggi, rasa mengantuk,
kehilangan konsentrasi, kehilangan nafsu makan, nyeri kepala serta malaise, kadang-
kadang mual dan muntah non proyektil. 2. Stadium laten, secara klinis tidak jelas
karena gejala berkurang, terdapat malaise, kurang nafsu makan dan nyeri kepala yang
hilang timbul.
3. Stadium manifes, kejang fokal atau afasia pada abses lobus temporal, pada abses
serebelum terjadi ataksia atau tremor. Nyeri kepala hebat disertai mual dan muntah
proyektil dianggap khas untuk penyakit intrakranial. 4. Stadium akhir berupa
kesadaran menurun dari sopor sampai koma dan akhirnya meninggal, karena ruptur
abses ke dalam sistem ventrikel dan rongga sub-arakhnoid.
Pemeriksaan Untuk Diagnosa
• Glasgow Coma Scale: untuk menentukan derajat kesadaran penderita
• Rontgen foto kepala, sinus atau mastoid, thorax: untuk mencari sumber
infeksi.
• Ultrasonografi: untuk mendapatkan gambaran lateralisasi
• Angiografi: untuk menentukan lokalisasi abses (34%)
• Electro Encephalo Graphy: menunjukkan adanya lateralisasi oleh abses supraten-
torial
• CT-Scan: untuk menunjukkan lokasi abses dengan tepat dan fase-fase dari abses
tersebut.
Pemeriksaan Laboratorium
• Jumlah leukosit; 10.000-20.000/cm3 (60- 70%)
• Laju endap darah meningkat ; 45mm/jam (75-90%)
• Lumbal pungsi tidak dianjurkan (tidak spesifik untuk abses otak), karena dapat
dengan cepat menunjukkan tanda-tanda herniasi otak.
Komplikasi
• Robeknya kapsul abses kedalam ventrikel atau ke ruangan subarakhnoidal
30
• Penyumbatan Hidrosefalus cairan serebrospinal
• Herniasi tentorial oleh massa abses otak
Prinsip Pengobatan
• Untuk menghilangkan proses infeksi, efek massa dan oedem terhadap otak.
• Pemberian antibiotik yang tepat selama 6-8 minggu untuk mengecilkan abses dan 10
minggu untuk menghilangkan effek massa dari abses otak.
• Tindakan pembedahan (aspirasi maupun eksisi)
Penatalaksanaan
Antibiotik—kombinasi penisilin dan metronidazil/kloramfenikol adalah pilihan
pertama. Kombinasi alternative adalah sefalosporin generasi III seperti:
seftriakson/sefotaksim dan metronidazole. 10-11
- Penisilin G atau sefalosporin generasi III (sefotaksim, seftriakson) dapat digunakan
untuk Streptococci sp. Dosis penisilin G 20-24 juta unit, dan juga 4-6 juta unit.
Kloramfenikol atau metronidazole dapat diberikan secara intravena dengan loading
dose 15 mg/kg diikuti 7,5 mg/kg setiap 6 jam.
- Golongan penisilin resisten beta-laktam (oksasilin, metoilin, nafsilin) dengan dosis
1,5 g setiap 4 jam IV atau vankomisin dosis 1 g setiap 12 jam IV, diberikan untuk
Staphylococcus aureus, infeksi staphylococcus sp. pascaoperasi saraf, trauma atau
endokarditis bakterialis.
- Metronidazol dosis 500 mg setiap 6 jam dapat menembus sawar darah otak dan tidak
dipengaruhi oleh kortikosteroid, tetapi hanya aktif untuk bakteri Streptococcus
anaerob, aerob dan mikroaerofilik.
- Sefalosporin generasi III (sefotaksim, seftriakson) umumnya adekuat untuk
organisme gram-negatif aerob. Jika terdapat Pseudomonas, sefalosporin parenteral
pilihan adalah seftazidim atau sefepim.
- Trimetoprim-sulfametoksasol dosis tinggi 15 mg/kg/hari dari komponen trimetropim
dibagi 3-5 dosis untuk abses otak dengan penyebab Nocardia sp. Dosis dapat
diturunkan setengahnya selama 3-6 bulan pada pasien tanpa penekanan imun dan
selama 1 tahun pada pasien dengan penekanan imun.
Kortikosteroid penggunaannya masih kontroversial. Deksametason 16 mg/hari pada
orang dewasa dan 0,5 mg/kg/hari pada adank, berguna untuk mengurangi edema
serebri. Kerugiannya adalah berkurangnya kemampuan penetrasi antibiotik,
31
berkurangnya pembentukan kapsul, dan meningkatnya nekrosis. Penggunaan
kortikosteroid sebaiknya berdurasi singkat dan dosisnya perlu dikurangi secara
bertahap. 12
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Infeksi intrakranial dapat melibatkan jaringan otak, ada pula meningitis yang
dapat berupa meningitis viral, meningitis bakteri, meningitis TB, abses serebri,
toxoplasmosis. Virus, bakteri, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi
susunan saraf pusat. Namun bakteri dan virus merupakan penyebab tersering.
Setelah masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan atau pernapasan atau
inokulasi kulit (melalui gigitan serangga atau binatang), organisme infeksius
menuju ketempat utama pada saluran cerna, pernapasan, otot subkutan atau
jaringan vaskular untuk bereplikasi. Kebanyakan organisme tersebut mencapai
SSP melalui aliran darah namun terkadang oraganisme ini mencapai SSP melalui
saraf perifer atau langsung masuk akibat adanya fraktur tengkorak atau mastoid
dan sinus yang terinfeksi
Penyakit infeksi ini dapat berjalan semakin memburuk dan menimbulkan
kematian bila tidak ditangani dengan baik. Pemberian terapi kausatif yang tepat
merupakan hal penting dalam pengobatan di samping terapi suportif dan
simptomatik.
Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami
demam dan sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada
gejala lanjutan seperti kejang dan sakit kepala yang semakin parah segera
lakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan lumbal pungsi, biopsi, dan CT scan.
Gambaran pola lesi menentukan diagnosis yang tepat dan menentukan
32
tatalaksana terapi selanjutnya. Khususnya, neuroimaging memiliki peran yang
sangat penting pada penyakit-penyakit oportunistik, bukan hanya untuk
penegakan diagnosis, namun juga untuk pemantauan respon terapi terhadap
penyakit. Jika prosedur ini dilakukan dengan cepat dan progresif maka bisa
mengurangi kecacatan yang timbul.
DAFTAR PUSTAKA
1. Davis LE, King MK, Schultz JL. Fundamentals of neurologic disease. Albuquerque: Demos Medical Publishing; 2005. p.133-43.
2. Simon RP, Greenberd DA, Aminoff MJ, editors. Clinical neurology. 7th ed. San Fransisco: McGraw-Hill; 2009. p.349-50.
3. Fishman RA. Lumbar puncture and cerebrospinal fluid examination in Rowland LP et al., editors. Merritt’s neurology. 11th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005. p.123-4.
4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan and mikhail’s clinical anesthesiology. 5th ed. San Francisco: McGraw-Hill; 2013. p. 943-72.
5. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan tatalaksana meningitis bakterialis. CDK. 2015;42(1):15-9.
6. Cermin Dunia Kedokteran. Fluoroquinolone untuk meningitis tuberkulosa. CDK. 2012;39(3);205.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Handout workshop neuro-infeksi. Jakarta. Feb 2011. h.6-8.
8. Parinding IT. Diangnosis dan tatalaksana ensefalitis herpes simpleks. CDK. 2012;39(5);355-7.
9. Japardi I. Infeksi parasit dan jamur pada susunan saraf pusat. USU digital library; 2002. p.1-8. Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1977/1/bedah-iskandar%20japardi15.pdf, 11 Juli 2015.
10. Sucipta W dan Suardana W. Abses otak otogenik berulang. CDK. 2011;38(4);275-7.
11. Hakim AA. Abses otak. Majalah Kedokteran Nusantara. 2005;38(4);324-7.
12. Dewanto G, Suwono WJ, riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tata
laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2011. h.53-4.
33