Elisabeth Ref Torch

57
Bagian Obstetri dan Ginekologi Referat Fakultas Kedokteran November 2015 Universitas Halu Oleo INFEKSI TORCH DALAM KEHAMILAN Oleh : Oleh: Elisabeth Grety Rimporok, S.Ked (K1A1 09 032) Pembimbing : dr. Indra Magda Tiara, Sp.OG DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN OBSTETRI DAN GYNECOLOGI

description

tugas obsgyn

Transcript of Elisabeth Ref Torch

Page 1: Elisabeth Ref Torch

Bagian Obstetri dan Ginekologi Referat Fakultas Kedokteran November 2015Universitas Halu Oleo

INFEKSI TORCH DALAM KEHAMILAN

Oleh :

Oleh:

Elisabeth Grety Rimporok, S.Ked

(K1A1 09 032)

Pembimbing :

dr. Indra Magda Tiara, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN

KLINIK

PADA BAGIAN OBSTETRI DAN GYNECOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2015

Page 2: Elisabeth Ref Torch

INFEKSI TORCH DALAM KEHAMILAN

Elisabeth Grety, Indra Magda Tiara

BAB IPENDAHULUAN

Infeksi dalam kehamilan adalah infeksi yang terjadi saat kehamilan

berlangsung, bisa didapatkan saat sebelum kehamilan terjadi atau

didapatkan saat kehamilan.

Besarnya pengaruh infeksi tersebut tergantung dari virulensi

agennya, umur kehamilan serta imunitas ibu bersangkutan saat infeksi

berlangsung.Dampak terhadap janin bisa berbeda bila kuman penyakit

masuk ditrimester yang berbeda pula Ibu hamil dengan janin yang

dikandungnya sangat peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa

di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat

menimbulkan dampak pada janin dengan akibat antara lain abortus,

pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat

bawaan. Kebanyakan penyakit infeksi diperparah dengan terjadinya

kehamilan. Dan ada pula Penyakit yang nampaknya tidak terlalu

mengancam jiwa ibu hamil bahkan tidak nampak gejala tetapi bisa

membahayakan terhadap janin. Penyakit-penyakit intrauterin yang sering

menyebabkan dampak yang berbahaya pada janin yaitu Penyakit TORCH ;

merupakan singkatan dari T = Toksoplasmosis ; R = Rubela (campak

Jerman); C = Cytomegalovirus; H = Herpes simpleks. 1,2,3

Infeksi dalam kehamilan berdampak pada janin bisa berasal dari

infeksi tersebut saat janin didalam kandungan atau saat janin setelah

dilahirkan pervaginam karena kontak langsung dengan tempat yang

terinfeksi.1,3

Banyak penyakit infeksi intrauterin maupun yang didapat pada masa

perinatal yang berakibat sangat berat pada janin maupun bayi, bahkan

mengakibatkan kematian sehingga diperlukan diagnosa yang cepat dan

tindakan pengobatan serta pencegahan baik yang dapat dilakukan oleh

1

Page 3: Elisabeth Ref Torch

wanita hamil, suami, keluarganya maupun dari pemerintah sehingga

diharapkan menurunkan angka kematian ibu maupun bayi.2

2

Page 4: Elisabeth Ref Torch

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Toksoplasmosis

1. Definisi

Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasmosis

Gondii. Yang merupakan parasit penyebab penyakit pada manusia dan

binatang. Pada manusia khususnya bayi dan anak-anak, dapat menimbulkan

beberapa masalah kesehatan.

2. Epidemiologi

Angka kejadian Toxoplasmosis di berbagai negara berbeda-beda dan

lebih sering ditemukan didaerah dataran rendah dengan kelembapan udara

yang tinggi.

Insiden penyakit ini, dilaporkan di berbagai Negara cukup tinggi dan

ada hubungannya dengan pola makanan serta adanya hospes definitive.

Namun, di Indonesia khususnya belum ada angka pasti, dan beberapa

hewan sudah banyak dilaporkan. Sebagian besar penyakit ini asimtomatik

dan bila ada, gejalanya sama dengan penyakit lain sehingga diagnosis

serologis sering dipakai sebagai patokan diagnosis penyakit ini.3

3. Etiologi

Toxoplasma gondii, suatu protozoa intraseluler obligat. Takizoitnya

oval atau seperti bulan sabit, bermultiplikasi hanya dalam sel hidup, dan

3

Page 5: Elisabeth Ref Torch

berukuran 2-4 x 4-7 µm. Kista jaringan, yang berdiameter 10-100 µm, dapat

mengandung beribu-ribu parasit dan menetap dalam jaringan, terutama SSS

dan otot skelet serta otot jantung, sepanjang umur hospes tersebut.1,2,3

4. Cara Penularannya

Cara penularan dapat terjadi melalui beberapa jalur :

1. Transmisi congenital

Infeksi pada pada plasenta dipengaruhi boleh saat terjadinya

infeksi pada neonatus. Namun hanya 30% infeksi terjadi pada

bayi dari ibu yang terinfeksi saat kehamilan. Transmisi infeksi

congenital sebagian besar (65%) terjadi pada trismester ketiga

dan makin muda usia kehamilan makin besar resiko terjadi

kelainan yang berat bahkan kadang-kadang berakhir dengan

abortus.3 Seorang ibu sering kali tidak mengetahui mendapat

infeksi toxoplasma pada saat kehamilan, walaupun kadang-

kadang masih dapat ditemukan pembesaran kelenjar servikal

pada saat melahirkan.4

2. Transmisi melalui makanan

Transmisi kemungkinan besar melalui daging yang mengandung

kista. Transmisi melalui daging yang tidak atau kurang matang

bukan merupakan jalur penularan yang penting dibandingkan

dengan penularan melalui makanan yang tercemar kista dari tinja

kucing.3,4

3. Melalui transfusi darah

Toxoplasma dapat ditemukan dalam darah donor yang

asimtomatik dan parasit ini dapat hidup dalam darah lengkap

dengan sitrat pada suhu 30º C selama 50 hari. Penularan lain

juga dapat terjadi melalui petugas laboratorium yang bertgas

memelihara binatang, dan alat suntik yang terkontaminasi.3,4

4

Page 6: Elisabeth Ref Torch

4. Manifestasi Klinis

Gejala yang dapat timbul pada toksoplsmosis adalah fatigue, nyeri

otot dan kadang-kadang limfadenopati, tetapi seringkali infeksi terjadi

subklinis. .Infeksi toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang

hamil atau pada orang dengan sistem kekebalan tubuh terganggu

(misalnya penderita AIDS, pasien transpalasi organ yang mendapatkan

obat penekan respon imun).1,2,3

Jika wanita hamil terinfeksi toxoplasma maka akibat yang dapat

terjadi adalah abortus spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau

bayi menderita toxoplasmosis bawaan. Pada toxoplasmosis bawaan,

gejala dapat muncul setelah dewasa, misalnya kelinan mata dan

telinga,retardasi mental, kejang-kejang dan ensefalitis. 1,2,3

Sedangkan bila janin lahir setelah ibu terinfeksi selama kehamilan,

bayi bisa lahir dalam keadaan hidrosefalus, berat bayi lahir rendah,

hepatospleenomegali, ikterus dan anemia. Gejala deficit neurologis

seperti kejang-kejang, kalsifikasi intracranial, retardasi mental dan

hidrosefalus atau mikrosefalus. Pada kedua kelompok biasanya terjadi

korioretinitis. 1,2,3

• First half of pregnancy: dapat menyebabkan malformation pada

CNS, microcephali, hydrocephalus dan perinatal lmortality.

• Secondhalf of pregnancy: Ringan/asymtomatic,demam(flu like

syndrome, limfadenopati servikal ataupun aksila, namun tidak

sakit. Gejala-gejala ini beberapa minggu s/d bulan. Anemia,

leukopenia, kadangleukositosis. Dapat terjadi chorioretinitis dan

kelainan pada CNS setelah beberapa bulan atau beberapa tahun

kemudian.

• Congenital Toxoplasmosis: Anak hidup dengan kemunduran

mental yang parah, kejang--‐kejang, strabismus dan kebutaan.

5. Diagnosis

Diagnosis Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan

14-27 minggu. Aktivitas diagnosis meliputi ; 1,2,3

5

Page 7: Elisabeth Ref Torch

1. Kordosentesis (pengambilan sampeldarah janin melalui tali pusat)

ataupun amniosentesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan

Ultrasonografi.

2. Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel

fibroblast, ataupun diinokulasi ke dalam ruang peritoneum dan

diikuti isolasi parasit. Pemeriksaan dengan PCR untuk mendeteksi

adanya DNA Toksoplasma gondii pada darah janin ataupun cairan

ketuban. Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah janin guna

mendeteksi antibody IgM janin spesifik (antitoksoplasma)

3. Pemeriksaan Radiologis, kalsifikasi serebral merupakan salah satu

tanda toxoplasmosis congenital. Gambaran ini dapat noduler atau

linier. Pemeriksaan CT scan akan lebih jelas menunjukkan tingkat

beratnya kerusakan terjadi

6. Pencegahan

Pencegahan terutama untuk ibu hamil, yaitu dengan cara :

Mencegah terjadinya infeksi primer pada ibu-ibu hamil

6

Page 8: Elisabeth Ref Torch

- Memasak daging sampai 60º C

- Jangan menyentuh mukosa mulut bila sedang memegang

daging mentah

- Mencuci buah ayau sayur sebelum dimakan

- Kebersihan dapur

- Cegah kontak dengan kotoran kucing

- Siram bekas piring makanan kucing dengan air panas

Mencegah infeksi terhadap janin dengan jalan :

- Seleksi wanita hamil dengan tes serologis

- Pengobatan adekwat bila ada infeksi selama hamil

- Tindakan abortus terapeutik pada trimester I/II

- Vaksinasi pada kucing dengan tujuan untuk mencegah

sporulasi dan pelepasan ookista ke lingkungan, dapat

menurunkan secara drastis angka infeksi toxoplasma

pada binatang dan manusia.

7. Penatalaksanaan

Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi

pyrimethamine dengan trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara

sinergis akan menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus asam

folat.

Dosis yang dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25 – 50 mg per hari

selama sebulan dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000 – 6.000 mg sehari

selama sebulan. Karena efek samping obat tadi ialah leukopenia dan

trombositopenia, maka dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan

yeast selama pengobatan.

Trimetoprinm juga ternyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis

tetapi bila dibandingkan dengan kombinasi antara pyrimethamine dan

trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim masih kalah efektifitasnya.

Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi

efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya.

Dosis spiramycin yang dianjurkan ialah 2 – 4 gram sehari yang di bagi

dalam 2 atau 4 kali pemberian. Beberapa peneliti mengajurkan pengobatan

7

Page 9: Elisabeth Ref Torch

wanita hamil trimester pertama dengan spiramycin 2 – 3 gram sehari selama

seminggu atau 3 minggu kemudian disusl 2 minggu tanpa obat. Demikian

berselang seling sampai sembuh. Pengobatan juga ditujukan pada penderita

dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi yang lahir dari ibu penderita

toxoplasmosis.

B. Cytomegalovirus

Cytomegalovirus (CMV) merupakan penyebab infeksi kongenital dan

perinatal yang paling umum di seluruh dunia. Prevalensi infeksi CMV

kongenital bervariasi luas di antara populasi yang berbeda, ada yang

melaporkan sebesar 0,2 –3% 5, ada pula sebesar 0,7 sampai 4,1%. Peneliti

lain mendapatkan angka infeksi 1%-2% dari seluruh kehamilan.

1. Transmisi CMV

Risiko mendapatkan sitomegalovirus (CMV) melalui kontak biasa

sangat kecil. Virus ini biasanya ditularkan dari orang yang terinfeksi kepada

orang lain melalui kontak langsung dari cairan tubuh, seperti urin, air liur,

atau ASI. CMV ditularkan secara seksual dan dapat menyebar melalui

organ-organ transplantasi dan transfusi darah (Karger, 2001).5

Meskipun CMV dapat ditularkan melalui ASI, infeksi yang terjadi dari

pemberian ASI biasanya tidak menimbulkan gejala atau penyakit pada bayi.

Karena infeksi CMV setelah lahir dapat menyebabkan penyakit pada bayi

lahir prematur atau rendah sangat berat, ibu bayi tersebut harus

berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan mereka tentang menyusui

• Transmisi CMV selama Kehamilan

Untuk wanita hamil, dua transmisi yang paling umum untuk CMV

melalui hubungan seksual dan melalui kontak dengan urin atau air

liur yang terinfeksi CMV.5

• Penularan CMV ke Bayi sebelum Lahir

CMV dapat menular dari ibu hamil ke janinnya selama kehamilan.

Virus dalam darah ibu masuk lewat plasenta dan menginfeksi darah

janin. Antara bayi yang lahir dengan infeksi CMV (infeksi CMV

8

Page 10: Elisabeth Ref Torch

kongenital), sekitar 1 dari 5 akan memiliki cacat permanen, seperti

cacat perkembangan atau gangguan pendengaran

2. Patogenesis

CMV adalah virus litik yang menyebabkan efek sitopatik in vitro dan in

vivo. Efek patologis infeksi CMV adalah sel yang membesar dengan badan

inklusi virus (viral inclusion bodies). Secara mikroskopis, sebutan bagi sel

ini adalah mata burung hantu. Walaupun merupakan suatu dasar diagnosis,

tampilan histologis seperti ini hanya ada sedikit atau tidak ada pada organ

terinfeksi (Akhter & Wills, 2010).6

Gambar 2. Pewarnaan hematoxylin-eosin pada potongan paru

menunjukan inklusi mata burung hantu yang tipikal (Wiedbrauk, dalam

Akhter & Wills, 2010)

Virus CMV memasuki sel dengan cara terikat pada reseptor yang ada di

permukaan sel inang, kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam

vakuole di sitoplasma, lalu selubung virus terlepas, dan nucleocapsid cepat

menuju ke nukleus sel inang (uncoating) (Budipardigdo, 2007)7

Riwayat infeksi CMV sangat kompleks, setelah infeksi primer, virus

diekskresi melalui beberapa tempat dan ekskresi virus dapat menetap

beberapa minggu, bulan, bahkan tahun sebelum virus hidup laten. Episode

infeksi ulang sering terjadi, karena reaktivasi dari keadaan laten dan terjadi

pelepasan virus lagi. Infeksi ulang juga dapat terjadi eksogen dengan strain

9

Page 11: Elisabeth Ref Torch

lain dari CMV. Infeksi CMV dapat terjadi setiap saat dan menetap

sepanjang hidup. ”Sekali terinfeksi, tetap terinfeksi”, virus hidup dormant

dalam sel inang tanpa menimbulkan keluhan atau hanya keluhan ringan

seperti common cold. Replikasi virus merupakan faktor risiko penting untuk

penyakit dengan manifestasi klinik infeksi CMV. Penyakit yang timbul

melibatkan peran dari banyak molekul baik yang dimiliki oleh CMV sendiri

maupun molekul tubuh inang yang terpacu aktivasi atau pembentukannya

akibat infeksi CMV. CMV dapat hidup di dalam bermacam sel seperti sel

epitel, endotel, fibroblas, leukosit polimorfonukleus, makrofag yang berasal

dari monosit, sel dendritik, limfosit T (CD4+ , CD8+), limfosit B, sel

progenitor granulosit-monosit. Dengan demikian berarti CMV

menyebabkan infeksi sistemik dan menyerang banyak macam organ antara

lain kelenjar ludah, tenggorokan, paru, saluran cerna, hati, kantong empedu,

limpa, pankreas, ginjal, adrenal, otak atau sistem syaraf pusat. Virus dapat

ditemukan dalam saliva, air mata, darah, urin, semen, sekret vagina, air susu

ibu, cairan amnion dan lain-lain cairan tubuh. Ekskresi yang paling umum

ialah melalui saliva, dan urin dan berlangsung lama, sehingga bahaya

penularan dan penyebaran infeksi mudah terjadi. Ekskresi CMV pada

infeksi kongenital sama seperti pada ibu, juga berlangsung lama

Reaktivasi, replikasi dan reinfeksi umum terjadi secara intermiten,

meskipun tanpa menimbulkan keluhan atau kerusakan jaringan. Replikasi

DNA virus dan pembentukan kapsid terjadi di dalam nukleus sel inang. Sel-

sel terinfeksi CMV dapat berfusi satu dengan yang lain, membentuk satu sel

besar dengan nukleus yang banyak. Endothelial giant cells (multinucleated

cells) dapat dijumpai dalam sirkulasi selama infeksi CMV menyebar. Sel

berinti ganda yang membesar ini sangat berarti untuk menunjukkan

replikasi virus, yaitu apabila mengandung inklusi intranukleus berukuran

besar seperti mata burung hantu (owl eye)

Respons imun seseorang memegang peran penting untuk mengeliminasi

virus yang telah menyebabkan infeksi. Pada kondisi kompetensi imun yang

baik (imunokompeten), infeksi CMV akut jarang menimbulkan komplikasi,

namun penyakit dapat menjadi berat bila individu berada dalam keadaan

10

Page 12: Elisabeth Ref Torch

immature (belum matang), immunosuppressed (respons imun tertekan) atau

immunocompromised (respons imun lemah), termasuk ibu hamil dan

neonatus, penderita HIV (human immunodeficiency virus), penderita yang

mendapatkan transplantasi organ atau pengobatan imunosupresan dan yang

menderita penyakit keganasan. Pada kondisi tersebut, sistem imun yang

tertekan atau lemah, belum mampu membangun respons baik seluler

maupun humoral yang efektif, sehingga dapat mengakibatkan nekrosis atau

kematian jaringan yang berat, bahkan fatal.

CMV kongenital terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi

(viremia) ibu menular ke janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada

kurang lebih 0,5– 1% dari kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren.

Viremia pada ibu hamil dapat menyebar melalui aliran darah (per

hematogen), menembus plasenta, menuju ke fetus baik pada infeksi primer

eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekuren endogen, yang mungkin

akan menimbulkan risiko 6 tinggi untuk kerusakan jaringan prenatal yang

serius. Risiko pada infeksi primer lebih tinggi daripada reaktivasi atau ibu

terinfeksi sebelum konsepsi. Infeksi transplasenta juga dapat terjadi, karena

sel terinfeksi membawa virus dengan muatan tinggi. Transmisi tersebut

dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun infeksi yang terjadi

sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang lebih berat.

Respons imun pada fetus dan anak diperantarai sel yang terbentuk 1

minggu sebelum respons humoral, mencapai puncak sama dengan respons

humoral. Respons imun seluler mulai dapat terdeteksi dengan baik pada

umur fetus 22 minggu. Aktivasi dan diferensiasi sel T CD4+ dapat terjadi,

meskipun kemampuan untuk menghasilkan IFN-γ masih lemah. Hasil suatu

studi menyatakan bahwa peran sel T CD4+ spesifik dengan frekuensi yang

tinggi pada neonatus memungkinkan terjadi stimulasi terhadap imunitas

seluler, sehingga infeksi CMV kongenital bersifat asimtomatik. Respons

imun humoral dimulai pada 9 – 11 minggu kehamilan, namun kadar

antibodi dalam sirkulasi tetap rendah sampai pertengahan kehamilan,

kecuali terdapat virus dalam titer tinggi dan ada perkembangan reseptor

antigen di permukaan sel keadaan ini, kadar antibodi meningkat dengan

11

Page 13: Elisabeth Ref Torch

predominan IgM. Pada infeksi kongenital, IgG maternal dapat menembus

plasenta masuk ke sirkulasi fetus, sedangkan IgM atau IgA yang terdeteksi

pada darah tali pusat neonatus, menunjukkan bahwa antibodi tersebut

diproduksi oleh fetus atau bayi sendiri yang terinfeksi secara vertikal dari

ibu. Pada reaktivasi, antibodi anti-CMV terbentuk adekuat, sebaliknya

terjadi defek imunitas yang diperantarai sel dengan penurunan jumlah sel

NK dan T CD8+.

3. Manifestasi Klinis dan Komplikasi

a. Manifestasi klinis pada Ibu Hamil :

Umumnya >90% infeksi CMV pada ibu hamil asimptomatik,

tidak terdeteksi secara klinis. Gejala yang timbul tidak spesifik,

yaitu: demam, lesu, sakit kepala, sakit otot dan nyeri tenggorok.

Wanita hamil yang terinfeksi CMV akan menyalurkan pada bayi

yang dikandungnya, sehingga bayi yang dikandungnya akan

mendapatkan kelainan kongenital. Selain itu wanita yang hamil

dapat mengalami keguguran akibat infeksi CMV.

b. Manifestasi Klinis pada Bayi

Transmisi dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan,

Infeksi pada kehamilan sebelum 16 minggu dapat mengakibatkan

kelainan kongenital berat. Gejala klinik infeksi CMV pada bayi baru

lahir jarang ditemukan. Dari hasil pemeriksaan virologis, CMV

hanya didapat 5-10% dari seluruh kasus infeksi kongenital CMV.

Kasus infeksi kongenital CMV hanya 30-40% saja yang disertai

persalinan prematur. Dari semua yang prematur setengahnya disertai

Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT). 10% dari janin yang

menunjukkan tanda-tanda infeksi kongenital mati dalam dua minggu

pertama. infeksi kongenital pada anak baru lahir jelas gejalanya.

Gejala infeksi pada bayi baru lahir bermacam-macam, dari yang

tanpa gejala apa pun sampai berupa demam, kuning (jaundice),

gangguan paru, pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran hati dan

limpa, bintik merah di sekujur tubuh, serta hambatan perkembangan

otak (microcephaly). Hal ini bisa menyebabkan buta, tuli, retardasi

12

Page 14: Elisabeth Ref Torch

mental bahkan kematian. Tetapi ada juga yang baru tampak

gejalanya pada masa pertumbuhan dengan memperlihatkan

gangguan neurologis, mental, ketulian dan visual. Komplikasi yang

dapat muncul pada infeksi CMV antara lain (Firman, 2009)8 :

i. Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) antara lain:

meningoencephalitis, kalsifikasi, mikrosefali, gangguan migrasi

neuronal, kista matriks germinal, ventriculomegaly dan

hypoplasia cerebellar). Penyakit SSP biasanya menunjukan

gejala dan tanda berupa: kelesuan, hypotonia, kejang, dan

pendengaran defisit.

ii. Kelainan pada mata meliputi korioretinitis, neuritis optik,

katarak, koloboma, dan mikroftalmia.

iii. Sensorineural hearing defisit (SNHD) atau kelainan

pendengaran dapat terjadi pada kelahiran, baik unilateral atau

bilateral, atau dapat terjadi kemudian pada masa kanak-kanak.

Beberapa pasien memiliki pendengaran normal untuk pertama 6

tahun hidup, tetapi mereka kemudian dapat mengalami

perubahan tiba-tiba atau terjadi gangguan pendengaran. Di

antara anak-anak dengan defisit pendengaran, kerusakan lebih

lanjut dari pendengaran terjadi pada 50%, dengan usia rata-rata

perkembangan pertama pada usia 18 bulan (kisaran usia 2-70

bulan). Gangguan pendengaran merupakan hasil dari replikasi

virus dalam telinga bagian dalam.

iv. Hepatomegali dengan kadar bilirubin direk transaminase serum

meningkat. Secara patologis dijumpai kolangitis intralobar,

kolestasis obstruktif yang akan menetap selama masa anak.

Inclusian dijumpai pada sel kupffer dan epitel saluran empedu.

Bayi dengan infeksi CMV kongenital memiliki tingkat mortalitas 20-

30%. Kematian biasanya disebabkan disfungsi hati, perdarahan, dan

intravaskuler koagulopati atau infeksi bakteri sekunder.

13

Page 15: Elisabeth Ref Torch

4. Diagnosis

Diagnosis Klinis

a. Riwayat Klinis

CMV adalah virus herpes double-stranded DNA dan

merupakan infeksi yang paling umum virus bawaan. Tingkat

seropositif CMV meningkat dengan usia. Lokasi geografis, kelas

sosial ekonomi dan bekerja pameran faktor lain yang mempengaruhi

risiko infeksi. Infeksi CMV membutuhkan kontak dekat melalui air

liur, urin dan cairan tubuh lainnya. Kemungkinan rute transmisi

termasuk kontak seksual, transplantasi organ, transmisi

transplasenta, penularan melalui ASI dan transfusi darah (jarang)

(Marino et al, 2010)9.

Reaktivasi primer atau infeksi berulang dapat terjadi selama

kehamilan dan dapat menyebabkan infeksi CMV kongenital. Infeksi

transplasental dapat mengakibatkan pembatasan pertumbuhan

intrauterin, gangguan pendengaran sensorineural, kalsifikasi

intrakranial, mikrosefali, hidrosefalus, hepatosplenomegali,

psikomotorik keterbelakangan dan atrofi optik

Masa inkubasi infeksi perinatal bervariasi antara 4 dan 12

minggu (rata-rata, 8 minggu). Jumlah virus pada bayi dengan infeksi

perinatal lebih sedikit dibandingkan yang berkembang di infeksi

kongenital, infeksi ini bersifat kronis, virus dapat bertahan selama

bertahun-tahun. Kebanyakan bayi dengan infeksi perinatal adalah

asimtomatik, karena bayi memiliki antibodi ibu (IgG) terhadap

CMV. Sebaliknya, 15-25% bayi prematur yang terinfeksi dapat

mengembangkan penyakit klinis, seperti pneumonia, hepatitis atau

penyakit sepsis dengan gejala apnea, bradikardia,

hepatosplenomegali, distensi usus, anemia, trombositopenia dan

fungsi hati yang abnormal. Infeksi CMV yang didapat karena

tranfusi pada bayi prematur dengan bayi lahir sangat rendah berat

badan mungkin mengalami gejala-gejala menyerupai CID.

14

Page 16: Elisabeth Ref Torch

Infeksi maternal lebih mungkin disebabkan reaktivasi virus

laten dan dengan demikian tidak menimbulkan gejala atau

bermanifestasi sebagai demam rendah, malaise dan mialgia. Infeksi

primer CMV biasanya tanpa gejala, tetapi nyata bisa sebagai gambar

mononukleosislike, dengan demam, kelelahan dan limfadenopati.

Perempuan yang berada dalam kontak yang dekat dengan anak-anak

atau anak-anak di prasekolah, pekerja penitipan atau pekerja

kesehatan berisiko lebih tinggi terhadap infeksi.

b. Pemeriksaan Penunjang

CMV biasanya diisolasi dari urin dan air liur, tetapi dapat

diisolasi dari cairan tubuh lainnya, termasuk ASI, sekresi leher

rahim, cairan ketuban, sel-sel darah putih, cairan serebrospinal,

sampel tinja dan biopsi. Tes terbaik untuk diagnosis infeksi bawaan

atau perinatal adalah isolasi virus atau demonstrasi reaksi berantai

materi CMV genetik (PCR) dari urin atau air liur bayi baru lahir.

Sensitivitas PCR dengan spesimen urin adalah 89% dan spesifisitas

96%. Sampel urine dapat didinginkan (4℃) tetapi tidak boleh beku

dan disimpan pada suhu kamar. Tingkat pemulihan virus 93% dalam

urin setelah 7 hari pendinginan, kemudian menurun menjadi 50%

setelah 1 bulan.

Peningkatan titer IgG empat kali lipat di dalam sera pasangan

atau anti-CMV IgM yang positif kuat berguna mendiagnosis infeksi,

tes serologis tidak dianjurkan untuk diagnosis infeksi pada bayi baru

lahir. Hal ini dikarenakan deteksi IgG anti-CMV pada bayi baru

lahir mencerminkan antibodi yang diperoleh dari ibu melalui

transplasental dan antibodi tersebut dapat bertahan sampai 18 bulan.

Uji IgM juga dapat bernilai positif palsu dan negatif palsu,

Computed tomography (CT) lebih sensitif untuk mendeteksi

kalsifikasi intracranial. MRI dapat digunakan untuk mendeteksi

gangguan migrasi neuronal dan lesi parenkim serebral.

Amniosentesis merupakan tes diagnostik prenatal tunggal yang

paling berharga, sedangkan PCR atau kultur virus dari cairan

15

Page 17: Elisabeth Ref Torch

ketuban, mempunyai tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang sama.

Kuantitatif PCR menunjukkan 105 genom/mL cairan ketuban yang

mungkin mengandung prediktor gejala infeksi congenital.

Ultrasonografi kelainan janin pada wanita hamil dengan infeksi

primer atau berulang biasanya menunjukkan gejala infeksi janin.

Kelainan sonografi janin yang dilaporkan termasuk

oligohidroamnios, pembatasan pertumbuhan intrauterin,

microcephaly, ventriculomegaly, kalsifikasi intrakranial, hipoplasia

corpus callosum, asites, hepatosplenomegali, hypoechogenic bowel,

efusi pleura dan pericardial.

5. Penatalaksaan

Pilihan terapi terbaik dan pencegahan penyakit CMV yaitu gansiklovir

dan valgansiklovir. Pilihan lainnya merupakan lini kedua antara lain

foscarnet dan cidofovir . Konsensus yang menyatakan hal yang lebih baik

antara profilaksis dengan terapi preemptive yang lebih baik untuk

pencegahan infeksi CMV pada penerima organ transplan solid (Schleiss,

2010)10

Terapi medikamentosa

1. Gansiklovir

Gansiklovir terlisensi untuk terapi infeksi CMV. Nukleotida asiklik

sintetik secara struktural serupa dengan guanin. Struktur tersebut

serupa pada acyclovir yang membutuhkan fosforilasi aktivitas

antiviral. Enzim yang bertanggung jawab untuk fosforilasi adalah

produk gen UL97 virus, sebuah protein kinase. Resistensi dapat

terjadi pada penggunaan jangka panjang, secara umum terjadi karena

mutasi gen ini. Indikasi obat ini untuk anak immunocompromised

seperti infeksi HIV, postransplan, dan lain-lain jika secara klinis dan

virologis membuktikan penyakit spesifik berakhirnya organ yang

spesifik.

Pada balita, terapi antiviral dengan gansiklovir mungkin berguna

menurunkan prevalensi sekuel perkembangan neural, umumnya tuli

16

Page 18: Elisabeth Ref Torch

sensorineural. Sebuah penelitian mengenai penyakit alergi dan

infeksiinstitusi nasional di negara peneliti menunjukkan perbaikan

relatif pada pendengaran pada tuli simtomatik kongenital CMV yang

diterapi dengan gansiklovir. Meskipun demikian, terapi pada

neonatus harus dikonsultasikan oleh ahlinya.

2. Immunoglobulin

Imunoglobulin digunakan sebagai imunisasi pasif untuk mencegah

penyakit Cytomegalovirus simtomatik. Bukti pada kehamilan

menyarankan infus Ig CMV pada wanita dengan infeksi primer

dapat mencegah transmisi dan memeperbaiki kondisi kelahiran.

3. Valgansiklovir (VGCV)

Valgansiklovir (VGCV) adalah sebuah prodrug turunan valyl dari

gansiklovir. Setelah absorbsi di intestinum, moase valine cepat

diurai oleh hepar menghasilkan GCV. Zat ini inaktif dan

membutuhkan trifosforilasi untuk aktivitas virostatis.

6. Pencegahan

Seorang calon ibu hendaknya menunda untuk hamil apabila secara

laboratorik dinyatakan terinfeksi CMV primer akut. Bayi baru lahir dari ibu

yang menderita infeksi CMV, perlu dideteksi IgM anti-CMV untuk

mengetahui infeksi kongenital.

C. Rubella

1. Definisi

Campak Jerman (Rubella, Campak 3 hari) adalah suatu infeksi virus

menular, yang menimbulkan gejala yang ringan (misalnya nyeri sendi dan

ruam kulit). Berbeda dengan campak, rubella tidak terlalu menular dan

jarang menyerang anak-anak. Jika menyerang wanita hamil (terutama pada

saat kehamilan berusia 8-10 minggu), bisa menyebabkan keguguran,

kematian bayi dalam kandungan atau kelainan bawaan pada bayi.

17

Page 19: Elisabeth Ref Torch

2. Etiologi

Rubella disebabkan oleh suatu RNA virus, genus Rubivirus, famili

Togaviridae. Virus dapat diisolasi dari biakan jaringan penderita. Infeksi

terjadi melalui droplet atau kontak langsung dengan penderita. Penyebab

rubella atau campak Jerman adalah virus rubella. Meski virus penyebabnya

berbeda, namun rubella dan campak (rubeola) mempunyai beberapa

persamaan. Rubella dan campak merupakan infeksi yang menyebabkan

kemerahan pada kulit pada penderitanya. Perbedaannya, rubella atau

campak Jerman tidak terlalu menular dibandingkan campak yang cepat

sekali penularannya. Penularan rubella dari penderitanya ke orang lain

terjadi melalui percikan ludah ketika batuk, bersin dan udara yang

terkontaminasi. Virus ini cepat menular, penularan dapat terjadi sepekan (1

minggu) sebelum timbul bintik-bintik merah pada kulit si penderita, sampai

lebih kurang sepekan setelah bintik tersebut menghilang. Namun bila

seseorang tertular, gejala penyakit tidak langsung tampak. Gejala baru

timbul kira-kira 14 – 21 hari kemudian. Selain itu, campak lebih lama

proses penyembuhannya sementara rubella hanya 3 hari, karena itu pula

rubella sering disebut campak 3 hari.

18

Page 20: Elisabeth Ref Torch

3. Manifestasi Klinis

Keluhan yang dirasakan biasanya lebih ringan dari penyakit campak.

Bercak-bercak mungkin juga akan timbul tapi warnanya lebih muda dari

campak biasa. Biasanya, bercak timbul pertama kali di muka dan leher,

berupa titik-titik kecil berwarna merah muda. Dalam waktu 24 jam, bercak

tersebut menyebar ke badan, lengan, tungkai, dan warnanya menjadi lebih

gelap. Bercak-bercak ini biasanya hilang dalam waktu 1 sampai 4 hari.

Tanda-tanda dan gejala Infeksi rubella dimulai dengan adanya demam

ringan selama 1 atau 2 hari (37.2 - 37.8 derajat celcius) dan kelenjar getah

bening yang membengkak dan perih, biasanya di bagian belakang leher atau

di belakang telinga. Pada hari kedua atau ketiga, bintik-bintik (ruam)

muncul di wajah dan menjalar ke arah bawah. Di saat bintik ini menjalar ke

bawah, wajah kembali bersih dari bintik-bintik. Bintik-bintik ini biasanya

menjadi tanda pertama yang dikenali oleh para orang tua. Ruam rubella

dapat terlihat seperti kebanyakan ruam yang diakibatkan oleh virus lain.

Terlihat sebagai titik merah atau merah muda, yang dapat berbaur menyatu

menjadi sehingga terbentuk tambalan berwarna yang merata. Bintik ini

dapat terasa gatal dan terjadi hingga tiga hari. Dengan berlalunya bintik-

bintik ini, kulit yang terkena kadangkala megelupas halus. Gejala lain dari

rubella, yang sering ditemui pada remaja dan orang dewasa, termasuk: sakit

kepala, kurang nafsu makan, conjunctivitis ringan (pembengkakan pada

kelopak mata dan bola mata), hidung yang sesak dan basah, kelenjar getah

bening yang membengkak di bagian lain tubuh, serta adanya rasa sakit dan

bengkak pada persendian (terutama pada wanita muda). Banyak orang yang

terkena rubella tanpa menunjukkan adanya gejala apa-apa.

Ketika rubella terjadi pada wanita hamil, dapat terjadi sindrom

rubella bawaan, yang potensial menimbulkan kerusakan pada janin yang

sedang tumbuh. Anak yang terkena rubella sebelum dilahirkan beresiko

tinggi mengalami keterlambatan pertumbuhan, keterlambatan mental,

kesalahan bentuk jantung dan mata, tuli, dan kelainan pada organ hati,

limpa dan sumsum tulang.

19

Page 21: Elisabeth Ref Torch

Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi

pada trisemester I. mula-mula replikasi virus terjadi dalam jaringan janin,

dan menetap dalam kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan janin

sehingga menimbulkan kecacatan atau kelainan yang lain. Infeksi ibu pada

trisemester kedua juga dapat menyebabkan kelainan yang luas pada organ.

Menetapnya virus dan interaksi antara virus dan sel di dalam uterus dapat

menyebabkan kelainan yang luas pada periode neonatal, seperti anemia

hemolitika dengan hematopoiesis ekstra meduler, hepatitis, nefritis

interstitial, ensefalitis, pankreatitis interstitial dan osteomielitis.

Gejala rubella kongenital dapat dibagi dalam 3 kategori :

1. Sindroma rubella kongenital yang meliputi 4 defek utama yaitu :

a Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila

infeksi terjadi sebelum umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini

dapat merupakan satu-satunya gejala yang timbul.

b Gangguan jantung meliputi PDA, VSD dan stenosis katup

pulmonal.

c Gangguan mata : katarak dan glaukoma. Kelainan ini jarang

berdiri sendiri.

d Retardasimental dan beberapa kelainan lain antara lain:

e Purpura trombositopeni (Blueberry muffin rash)

f Hepatosplenomegali, meningoensefalitis, pneumonitis, dan

lain-lain

2. Extended – sindroma rubella kongenital.. Meliputi cerebral palsy,

retardasi mental, keterlambatan pertumbuhan dan berbicara,

kejang, ikterus dan gangguan imunologi (hipogamaglobulin).

3. Delayed - sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis,

dan Diabetes Mellitus tipe-1, gangguan pada mata dan

pendengaran yang baru muncul bertahun-tahun kemudian.

Masa inkubasi

Masa inkubasi adalah 14-21 hari. Tanda yang paling khas adalah

adenopati retroaurikuler, servikal posterior, dan di belakang oksipital. Ruam

20

Page 22: Elisabeth Ref Torch

ini terdiri dari bintik-bintik merah tersendiri pada palatum molle yang dapat

menyatu menjadi warna kemerahan jelas pada sekitar 24 jam sebelum ruam.

4. Diagnosis

Diagnosis klinis sering kali sukar dibuat untuk seorang penderita oleh

karena tidak ada tanda atau gejala yang patognomik untuk rubela. Seperti

dengan penyakit eksantema lainnya, diagnosis dapat dibuat dengan

anamnesis yang cermat. Rubela merupakan penyakit yang epidemik

sehingga bila diselidiki dengan cermat, dapat ditemukan kasus kontak atau

kasus lain di dalam lingkungan penderita. Sifat demam dapat membantu

dalam menegakkan diagnosis, oleh karena demam pada rubela jarang sekali

di atas 38,5ºC. Pada infeksi tipikal, makula merah muda yang menyatu

menjadi eritema difus pada muka dan badan serta artralgia pada tangan

penderita dewasa merupakan petunjuk diagnosis rubela. Perubahan

hematologik hanya sedikit membantu penegakan diagnosis. Peningkatan sel

plasma 5-20% merupakan tanda yang khas. Kadang-kadang terdapat

leukopenia pada awal penyakit yang dengan segera segera diikuti

limfositosis relatif. Sering terjadi penurunan ringan jumlah trombosit.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan serologik yaitu

adanya peningkatan titer anibodi 4 kali pada hemaglutination inhibition test

(HAIR) atau ditemukannya antibodi Ig M yang spesifik untuk rubela. Titer

antibodi mulai meningkat 24-48 jam setelah permulaan erupsi dan mencapai

puncaknya pada hari ke 6-12. selain pada infeksi primer, antibodi Ig M

spesifik rubela dapat ditemukan pula pada reinfeksi. Dalam hal ini adanya

antibodi Ig M spesifik rubela harus di interpretasi dengan hati-hati. Suatu

penelitian telah menunjukkan bahwa telah tejadi reaktivitas spesifik

terhadapp rubela dari sera yang dikoleksi, setelah kena infeksi virus lain.

Diagnosa klinis rubella kadang tidak akurat. Konfirmasi

laboratorium hanya bisa dipercaya untuk infeksi akut. Infeksi rubella dapat

dipastikan dengan adanya peningkatan signifikan titer antibodi fase akut dan

konvalesens dengan tes ELISA, HAI, pasif HA atau tes LA, atau dengan

adanya IgM spesifik rubella yang mengindikasikan infeksi rubella sedang

terjadi.

21

Page 23: Elisabeth Ref Torch

Diagnosa pada bayi baru lahir dipastikan dengan ditemukan adanya

antibodi IgM spesifik pada spesimen tunggal, dengan titer antibodi spesifik

terhadap rubella diluar waktu yang diperkirakan titer antibodi maternal IgG

masih ada, atau melalui isolasi virus yang mungkin berkembang biak pada

tenggorokan dan urin paling tidak selama 1 tahun. Virus juga bisa dideteksi

dari katarak kongenital hingga bayi berumur 3 tahun.

Diagnosis prenatal dilakukan dengan memeriksa adanya IgM dari

darah janin melalui CVS (chorionoc villus sampling) atau kordosentesis.

Konfirmasi infeksi fetus pada trimester I dilakukan dengan menemukan

adanya antigen spesifik rubella dan RNA pada CVS. Metode ini adalah

yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil konsepsi.

Berdasarkan gejala klinik dan temuan serologi, sindroma rubella

kongenital (CRS, Congenital Rubella Syndrome) dapat diklasifikasikan

sebagai berikut :

1. CRS confirmed. Defek dan satu atau lebih tanda/ gejala berikut :

Virus rubella yang dapat diisolasi.

Adanya IgM spesifik rubella

Menetapnya IgG spesifik rubella.

2. CRS compatible. Terdapat defek tetapi konfirmasi laboratorium

tidak lengkap. Didapatkan 2 defek dari item a , atau masing-

masing satu dari item a dan b.

a. Katarak dan/ atau glaukoma kongenital, penyakit jantung

kongenital, tuli, retinopati.

1. Purpura, splenomegali, kuning, mikrosefali, retardasi

mental, meningo ensefalitis, penyakit tulang radiolusen.

2. CRS possible. Defek klinis yang tidak memenuhi kriteria

untuk CRS compatible.

3. CRI ( Congenital Rubella Infection ). Temuan serologi

tanpa defek.

4. Stillbirths. Stillbirth yang disebabkan rubella maternal

5. Bukan CRS. Temuan hasil laboratorium tidak sesuai

dengan CRS:

22

Page 24: Elisabeth Ref Torch

Tidak adanya antibodi rubella pada anak umur < 24 bulan

dan pada ibu.

Kecepatan penurunan antibodi sesuai penurunan pasif dari

antibodi didapat.

5. Penatalaksaan

Jika tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah simtomatis.

Adamantanamin hidrokhlorida (amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro

dalam menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel yang dibiakkan.

Upaya untuk mengobati anak yang sedang menderita rubela kongenital

dengan obat ini tidak berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada

wanita hamil, penggunaannya amat terbatas. Interferon dan isoprinosin telah

digunakan dengan hasil yang terbatas.

E. Herpes Simplex

1. Definisi

Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes

simpleks (virus herpes hominis) tipe 1 atau tipe 2 yang ditandai oleh adanya

vesikel yang berkelompok di atas kulit eritematosa pada daerah dekat

mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun

rekurens.

Virus herpes simpleks tipe 1 sebagian besar terkait dengan penyakit

orofacial, sedangkan virus herpes simpleks tipe 2 biasanya terkait dengan

infeksi perigenital. Tetapi, keduanya dapat menginfeksi daerah oral dan

genital.

2. Epidemiologi

Pada anak-anak berumur kurang dari 10 tahun, infeksi herpes sering

asimtomatik dan dengan type tersering adalah HSV-1 (80-90%). Analisis

yang dilakukan secara global telah menunjukkan adanya antibodi HSV-1

pada sekitar 90% dari individu berumur 20-40 tahun. HSV-2 merupakan

penyebab infeksi herpes genital yang paling banyak (70-90%), meskipun

23

Page 25: Elisabeth Ref Torch

studi terbaru menunjukkan peningkatan kejadian dapat disebabkan oleh

HSV-1 (10-30%). Antibodi untuk HSV-2 jarang ditemukan sebelum masa

remaja karena asosiasi HSV-2 terkait dengan aktivitas seksual.

HSV dapat menginfeksi janin dan menyebabkan kelainan. Seorang ibu

yang terinfeksi HSV dapat menularkan virus itu padanya baru lahir selama

persalinan vagina, terutama jika ibu memiliki infeksi aktif pada saat

pengiriman. Namun, 60 - 80% dari infeksi HSV didapat oleh bayi yang

baru lahir terjadi pada wanita yang tidak memiliki gejala infeksi HSV atau

riwayat infeksi HSV genital.

Usia dan jenis kelamin merupakan faktor risiko penting yang terkait

dengan didapatkannya infeksi genital HSV-2. Bahkan, prevalensi infeksi

HSV sangat rendah di masa kanak-kanak dan remaja awal tetapi meningkat

dengan usia, mencapai maksimum sekitar 40 tahun.

3. Etilogi

Kelompok virus herpes sebagian besar terdiri dari virus DNA.

Melakukan replikasi secara intranuklear dan menghasilkan inklusi

intranuklear khas yang terdeteksi dalam preparat pewarnaan. HSV-1 dan

HSV-2 adalah virus double-stranded DNA yang termasuk dalam

Alphaherpesvirinae, subfamily dari Herpes viridae. Kedua virus,

bertransmisi melalui sel epitel mukosa, serta melalui gangguan kulit,

bermigrasi ke jaringan saraf, di mana mereka tetap dalam keadaan laten.

HSV-1 lebih dominan pada lesi orofacial dan biasanya ditemukan di ganglia

trigeminal, sedangkan HSV-2 lebih dominan pada lesi genital dan paling

sering ditemukan di ganglia lumbosakral. Namun virus ini dapat

menginfeksi kedua daerah orofacial dan saluran genital melalui infeksi

silang HSV-1 dan HSV-2 melalui kontak oral-genital.

Transmisi dapat terjadi tidak hanya saat gejala manifestasi HSV aktif,

tetapi juga dari pengeluaran virus dari kulit dalam keadaan asimptomatis.

Puncak beban DNA virus telah dilaporkan terjadi setelah 48 jam, dengan

tidak ada virus terdeteksi di luar 96 jam setelah permulaan gejala. Secara

24

Page 26: Elisabeth Ref Torch

umum, gejala muncul 3-6 hari setelah kontak dengan virus, namun mungkin

tidak muncul sampai untuk satu bulan atau lebih setelah infeksi.

Manusia adalah reservoir alami dan tidak ada vektor yang terlibat dalam

transmisi. HSV ditularkan melalui kontak pribadi yang erat dan infeksi

terjadi melalui inokulasi virus ke permukaan mukosa yang rentan

(misalnya, oropharynx, serviks, konjungtiva) atau melalui luka kecil di

kulit. Virus ini mudah dilemahkan pada suhu kamar dan pengeringan.

4. Patogenesis

Infeksi virus Herpes simpleks ditularkan oleh dua spesies virus, yaitu

virus Herpes simpleks-I (HSV-1) dan virus Herpes simpleks II (HSV-2).

Virus ini merupakan kelompok virus DNA rantai ganda. Infeksi terjadi

melalui kontak kulit secara langsung dengan orang yang terinfeksi virus

tersebut. Transmisi tidak hanya terjadi pada saat gejala manifestasi HSV

muncul, akan tetapi dapat juga berasal dari virus shedding dari kulit dalam

keadaan asimptomatis.

Pada infeksi primer, kedua virus Herpeks simpleks , HSV 1 dan HSV-2

bertahan di ganglia saraf sensoris . Virus kemudian akan mengalami masa

laten, dimana pada masa ini virus Herpes simpleks inib tidak menghasilkan

protein virus, oleh karena itu virus tidak dapat terdeteksi oleh mekanisme

pertahanan tubuh host. Setelah masa laten, virus bereplikasi disepanjang

serabut saraf perifer dan dapat menyebabkan infeksi berulang pada kulit

atau mukosa.

Virus Herpes simpleks ini dapat ditularkan melalui sekret kelenjar dan

secret genital dari individu yang asimptomatik, terutama di bulan-bulan

setelah episode pertama penyakit, meskipun jumlah dari lesi aktif 100-1000

kali lebih besar.

25

Page 27: Elisabeth Ref Torch

Gambar 1: Herpes labialis. A. Infeksi virus herpes simpleks primer, virus bereplikasi di orofaringeal dan

naik dari saraf sensoris perifer ke ganglion trigeminal. B. Herpes simplex virus dalam fase latent dalam ganglion trigeminal

C. Berbagai rangsangan memicu reaktivasi virus laten, yang kemudian turun dari saraf sensorik ke daerah bibir atau perioral menyebabkan herpes labialis

rekuren.(Dikutip Dari Kepustakaan 2)

Herpes simplex virus sangat menular dan disebarkan langsung oleh

kontak dengan individu yang terinfeksi virus tersebut. Virus Herpes

simpleks ini dapat menembus epidermis atau mukosa dan bereplikasi di

dalam sel epitel.

Virus Herpes simpleks 1 (HSV-1) biasanya menyerang daerah wajah

(non genitalia) dan virus Herpes simpleks 2 (HSV-2) biasanya menyerang

alat kelamin. perubahan patologis sel epidermis merupakan hasil invasi

virus herpes dalam vesikel intraepidermal dan multinukleat sel raksasa. Sel

yang terinfeksi mungkin menunjukkan inklusi intranuklear.

5. Manifestasi Klinis

Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian

yang serius, karna melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal

serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi

neonatus mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup,

menderita cacat neurologik atau kelainan pada mata.

26

Page 28: Elisabeth Ref Torch

Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis,

keratokonjungtivis, atau hepatitis; disamping itu dapat juga timbul lesi pada

kulit. Beberapa ahli kandungan mengambil sikap partus secara seksio

Caesaria, bila pada saat melahirkan sang ibu menderita infeksi ini. Tindakan

ini sebaiknya dilakukan sebelum ketubah pecah atau paling lambat enam

jam setelah ketuban pecah.

Bila transmisi terjadi pada trimester I cenderung terjadi abortus;

sedangkan bila pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat

terjadi transmisi pada saat intrapartum.

Infeksi HSV pada bayi baru lahir mungkin didapat selama dalam

kandungan, selama persalinan atau setelah lahir. Ibu merupakan sumber

infeksi tersering pada semua kasus. Herpes neonatus diperkirakan terjadi

pada sekitar satu dari 5.000 kelahiran setiap tahun. Bayi baru lahir

tampaknya tidak mampu membatasi replikasi dan penyebaran HSV

sehingga cenderung berkembang menjadi penyakit yang berat.

Jalur infeksi yang paling sering adalah penularan HSV bayi selama

pelahiran melalui kontak dengan lesi herpetik pada jalan lahir. Untuk

menghindari infeksi, dilakukan persalinan dengan seksio sesarea pada

perempuan hamil yang memilik herpes genital. Namun lebih banyak terjadi

infeksi HSV neonatal dari pada kasus herpes genital rekuren meskipun virus

ditemukan pada bayi cukup bulan.

Herpes neonatus dapat diperoleh pascalahir melalui pajanan terhadap

HSV-1 maupun HSV-2. Sumber infeksi mencakup anggota keluarga dan

petugas rumah sakit yang menyebarkan virus. Sekitar 75% infeksi herpes

neonatal disebabkan oleh HSV-2. Tidak tampak adanya perbedaan antara

sifat dan derajat berat herpes neonatus pada bayi prematur atau cukup bulan,

pada infeksi yang disebabkan ileh HSV-1 atau HSV-2, atau pada penyakit

ketika virus didapatkan selama persalinan atau pasca persalinan.

Infeksi herpes neonatus hampir selalu simtomatik. Angka mortalitas

keseluruhan pada penyakit yang tidak diobati adalah 50%. Bayi dengan

herpes neonatus terdiri dari tiga katagori penyakit : (1) lesi setempat di kulit,

mata dan mulut; (2) ensefalitis dengan atau tanpa terkenanya kulit setempat;

27

Page 29: Elisabeth Ref Torch

(3) penyakit diseminata yang mengenai banyak organ, termasuk sistem saraf

pusat. Prognosis terburuk (angka mortalitas sekitar 80%) terdapat pada bayi

dengan infeksi diseminata; banyak diantaranya mengalami ensefalitis.

Penyebab kematian bayi dengan penyakit diseminata biasanya pneumonitis

virus atau koagulopati intravaskular. Banyak yang selamat dari infeksi berat

dapat hidup dengan gangguan neurologi menetap.

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan sitologik untuk perubahan sel dari infeksi herpes virus

tidak sensitive dan tidak spesifik baik menggunakan pemeriksaan Tzank

(lesi genital) dan apusan serviks Papanicolaou dan tidak dapat diandalkan

untuk diagnosis konklusif infeksi herpes simpleks.

Jenis yang lebih tua dari pengujian virologi, tes Pap Tzanck,

mengorek dari lesi herpes kemudian menggunakan pewarnaan Wright dan

Giemsa. Pada pemeriksaan ditemukan sel raksasa khusus dengan banyak

nukleus atau partikel khusus yang membawa virus (inklusi)

mengindikasikan infeksi herpes. Tes ini cepat tapi akurat 50-70% dari

waktu. Hal ini tidak dapat membedakan antara jenis virus atau antara herpes

simpleks dan herpes zoster.

Tes kultur virus dilakukan dengan mengambil sampel cairan, dari

luka sedini mungkin, idealnya dalam 3 hari pertama manifestasi. Virus, jika

28

Gambar 9: Herpes simpleks : Sel Raksasa Berinti Banyak.

Page 30: Elisabeth Ref Torch

ada, akan bereproduksi dalam sampel cairan namun mungkin berlangsung

selama 1 - 10 hari untuk melakukannya. Jika infeksi parah, pengujian

teknologi dapat mempersingkat periode ini sampai 24 jam, tapi

mempercepat jangka waktu selama tes ini mungkin membuat hasil yang

kurang akurat. Kultur virus sangat akurat jika lesi masih dalam tahap blister

jelas, tetapi tidak bekerja dengan baik untuk luka ulserasi tua, lesi berulang,

atau latency. Pada tahap ini virus mungkin tidak cukup aktif.

Tes PCR yang jauh lebih akurat daripada kultur virus, dan CDC

merekomendasikan tes ini untuk mendeteksi herpes dalam cairan

serebrospinal ketika mendiagnosa herpes ensefalitis .PCR dapat membuat

banyak salinan DNA virus sehingga bahkan sejumlah kecil DNA dalam

sampel dapat dideteksi.

Tes serologi dapat mengidentifikasi antibodi yang spesifik untuk

virus dan jenis, Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1) atau Virus Herpes

Simpleks 2 (HSV-2). Ketika herpes virus menginfeksi seseorang, sistem

kekebalan tubuh tersebut menghasilkan antibodi spesifik untuk melawan

infeksi. Adanya antibodi terhadap herpes juga menunjukkan bahwa

seseorang adalah pembawa virus dan mungkin mengirimkan kepada orang

lain.

Tes tes antibodi terhadap dua protein yang berbeda yang berkaitan

dengan virus herpes yaitu Glikoprotein GG-1 dikaitkan dengan HSV-1 dan

Glikoprotein GG-2 berhubungan dengan HSV-2.

Meskipun glikoprotein (GG) jenis tes-spesifik telah tersedia sejak

tahun 1999, banyak tes khusus nontipe tua masih di pasar. CDC

merekomendasikan hanya tipe-spesifik glikoprotein (GG) tes untuk

diagnosis herpes.

Pemeriksaan serologi yang paling akurat bila diberikan 12-16

minggu setelah terpapar virus. Fitur tes meliputi:

ELISA (immunosorbent assay enzim-link) atau Immunoblot. Tes

sangat akurat dalam mendeteksi kedua jenis virus herpes simpleks.

Biokit HSV-2 (juga dipasarkan sebagai SureVue HSV-2). Tes ini

mendeteksi HSV-2 saja. Keunggulan utamanya adalah bahwa hanya

29

Page 31: Elisabeth Ref Torch

membutuhkan tusukan jari dan hasil yang disediakan dalam waktu

kurang dari 10 menit. Hal ini juga lebih murah.

Western Blot Test adalah standar emas untuk peneliti dengan tingkat

akurasi sebesar 99%. Tes ini mahal, memakan waktu lama, dan tidak

tersedia secara luas sebagaimana tes lainnya.

Tes serologi herpes terutama dianjurkan untuk:

Orang yang memiliki gejala genital berulang tapi tidak ada kultur

virus negatif.

Konfirmasi infeksi pada orang yang memiliki gejala yang terlihat

herpes genital.

Menentukan jika pasangan seseorang didiagnosa menderita herpes

genital.

Orang-orang yang memiliki banyak pasangan seks dan yang perlu

diuji untuk berbagai jenis PMS (Penyakit Menular Seksual).

7. Diagnosis

Dalam kebanyakan kasus, diagnosis didasarkan pada karakteristik

tampilan klinis lesi. Diagnosis klinis dapat dibuat secara akurat ketika

beberapa karakteristik lesi vesikuler pada dasar eritema dan bersifat rekuren.

Namun, ulserasi herpes dapat menyerupai ulserasi kulit dengan etiologi

lainnya. Infeksi mukosa HSV juga dapat hadir sebagai uretritis atau

faringitis tanpa lesi kulit. Tanda-tanda dan simptom yang berhubungan

dengan HSV-II dapat sangat berbeda-beda. Ketersediaan pelayanan

kesehatan dapat mendiagnosa herpes genital dengan inspeksi visual jika

perjangkitannya khas, dan dengan mengambil sampel dari luka kemudian

mengetesnya di laboratorium. Tes darah untuk mendeteksi infeksi HSV-I

atau HSV-II, meskipun hasil-hasilnya tidak selalu jelas. Kultur dikerjakan

dengan kerokan untuk memperoleh material yang akan dipelajari dari luka

yang dicurigai sebagai herpes.

8. Pengobatan

Edukasi

30

Page 32: Elisabeth Ref Torch

Pasien dengan herpes genital harus dinasehati untuk menghindari hubungan

seksual selama gejala muncul dan selama 1 sampai 2 hari setelahnya dan

menggunakan kondom antara perjangkitan gejala. Terapi antiviral

supressidapat menjadi pilihan untuk individu yang peduli transmisi pada

pasangannya.

Agen Antiviral

Pengobatan dapat mengurangi simptom, mengurangi nyeri dan

ketidak nyamanan secara cepat yang berhubungan dengan perjangkitan,

serta dapat mempercepat waktu penyembuhan. Tiga agen oral yang akhir-

akhir ini diresepkan, yaitu Acyclovir, Famciclovir, dan Valacyclovir. Ketiga

obat ini mencegah multiplikasi virus dan memperpendek lama erupsi.

Pengobatan peroral, dan pada kasus berat secara intravena adalah lebih

efektif. Pengobatan hanya untuk menurunkan durasi perjangkitan.

Acyclovir menghambat aktivitas HSV 1 dan HSV-2. Pasien

mengalami rasa sakit yang lebih kurang dan resolusi yang lebih cepat dari

lesi kulit bila digunakan dalam waktu 48 jam dari onset ruam. Mungkin

dapat mencegah rekurensi.

Infeksi Primer HSV: 200 mg peroral 5 kali/hari untuk 10 hari atau

5 mg/kg/hari IV setiap 8 jam.

Herpes oral atau genital rekuren : 200 mg peroral 5 kali/hari untuk 5

hari (non-FDA : 400 mg peroral 3 kali/hari untuk 5 hari)

Supresi herpes genital : 400 mg peroral 2 kali/hari

Disseminated disease: 5-10 mg/kg IV setiap 8 jam untuk 7 hari jika

>12 tahun.

Famciclovir

Herpes labialis rekuren : 1500 mg peroral dosis tunggal pada saat

onset gejala.

Episode primer herpes Genitalis :250 mg peroral 3 kali/hari selama10

hari

Episode primer herpes Genitalis :1000 mg peroral setiap 12 jam selama

24 jam pada saat onst gejala (dalam 6 hari gejala pertama)

Supressi jangka panjang: 250 mg peroral 2kali/hari

31

Page 33: Elisabeth Ref Torch

HIV-positive individuals dengan infeksi HSV orolabial atau genital

rekuren : 500 mg peroral 2 kali/hari untuk 7 hari (sesuaikan dosis

untuk insufisiensi ginjal)

Supresi herpes simplex genital rekuren (pasien terinfeksi HIV): 500

mg peroral 2 kali/hari19

Valacyclovir

Herpes labialis: 2000 mg peroral setiap 12 jam selama 24 jam (harus

diberikan pada gejala pertama/prodromal)

Genital herpes, episode primer: 1000 mg peroral 2kali/hari selama 10

hari.

Herpes genital rekuren: 500 mg peroral 2 kali/hari selama 3 hari.

Suppressi herpes Genital (9 atau lebih rekurensi per tahun atau HIV-

positif): 500 mg peroral 1 kali/hari.

Herpes simplex genital rekuren , suppressi( pasien terinfeksi HIV): 500

mg peroral 2kali/hari, jika >9 rekurensi pertahun : 1000 mg peroral

peroral 1 kali/hari.

Foscarnet

HSV resisten Acyclovir: 40 mg/kg IV setiap 8-10 jam selama 10-21

hari

Mucocutaneous, resisten acyclovir: 40 mg/kg IV, selama 1 jam, setiap

8-12 jam selama 2-3 minggu atau hingga sembuh.

Topikal

Penciclovir krim 1% (tiap 2 jam selama 4 hari) atau Acyclovir krim

5% (5 kali sehari selama 5 hari). Idealnya, krim ini digunakan 1 jam setelah

munculnya gejala, meskipun juga pemberian yang terlambat juga dilaporkan

masih efektif dalam mengurangi gejala serta membatasi perluasan daerah

lesi.

32

Page 34: Elisabeth Ref Torch

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondii (Toxo), Others (HIV,

Sifilis), Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV)

yang terdiri dari HSV1 dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lain yang

dampak klinisnya lebih terbatas (Misalnya Measles, Varicella, Echovirus,

Mumps, virus Vaccinia, virus Polio, dan virus Coxsackie-B).

Penyakit ini sangat berbahaya bagi ibu hamil karena dapat

mengakibatkan keguguran, cacat pada bayi, juga pada wanita belum hamil

bisa akan sulit mendapatkan kehamilan. Infeksi TORCH bersama dengan

paparan radiasi dan obat-obatan teratogenik dapat mengakibatkan kerusakan

pada embrio.

Beberapa kecacatan janin yang bisa timbul akibat TORCH yang

menyerang wanita hamil antara lain kelainan pada saraf, mata, kelainan

pada otak, paru-paru, mata, telinga, terganggunya fungsi motorik,

hidrosefalus, dan

lain sebagainya.

B. Saran

Untuk selalu waspada terhadap penyakit TORCH dengan cara

mengetahui media dan cara penyebaran penyakit ini kita dapat menghindari

kemungkinan tertular. Hidup bersih dan makan makanan yang dimasak

dengan matang. Rencanakan skrining TORCH.

33

Page 35: Elisabeth Ref Torch

Daftar Pustaka

1. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 volume II @ 1996 Penerbit

Buku Kedokteran EGC hal, 1204 - 1214.

2. Prof. Dr. T. H. Rampengan, SpA(K), Penyakit Infeksi Tropik pada

Anak edisi 2 @ 2005 Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal 263 – 272

3. Sarwono Prawirohadjo, Ilmu Kebidanan edisi 3 cetakan 6 @ 2010

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, hal 572 – 574

4. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi II @ 2010 Badan

Penerbit IDAI Jakarta, hal 458 – 465

5. Griffiths PD, 2002: Emery VC. Cytomegalovirus. Dalam: Clinical

Virology. Washington: ASM Press. h.433-55

6. Akhter, Kauser dan Wills, Todd S. 2010. Cytomegalovirus.

eMedicine Infectious Disease. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/215702-overview. Diakses

29 September 2010.

7. Budipardigdo S, Lisyani. 2007. Kewaspadaan Terhadap Infeksi

Cytomegalovirus Serta Kegunaan Deteksi Secara Laboratorik.

Universitas Diponegoro: Semarang

8. Marino T, B Laartz, SE Smith, SG Gompf, K Allaboun, JE Marinez,

et al. 2010. Viral Infections and Pregnancy. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/235213-overview. Diakses

pada 28 September 2010

9. Schleiss, M.R., 2010. Cytomegalovirus Infection: Treatment &

Medication. Diunduh

dari: http://emedicine.medscape.com/article/963090-treatment. Diak

ses pada 29 September 2010

10. Kim CS. 2010. Congenital and Perinatal Cytomegalovirus Infection.

Korean Journal of Pediatrics. 53(1): 14-20.

11. Wiknojosastro H. , Saifudin B. A. dan Rachimhadhi T., Ilmu

Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Edisi 3

cetakan Kesembilan. Jakarta 2007.

34

Page 36: Elisabeth Ref Torch

12. Muchlastriningsih E. Pengaruh Infeksi TORCH terhadap

Kehamilan .Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan

Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran 2006

.(151).

13. Infeksi dalam kehamilan http://spesial-torch.com/index2.php?

option=com_content&do_pdf=1&id=129

14. Judarwanto W. Infeksi TORCH Pada kehamilan : Bahaya bagi Janin

dan Pentingnya Pemeriksaan Laboratorium Saat Kehamilan

http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/03/infeksi-torch-

pada-kehamilan-bahaya-bagi-janin-dan-pentingnya-pemeriksaan-

laboratorium-saat-kehamilan/

15. Infeksi dalam kehamilan http://spesial-torch.com/index2.php?

option=com_content&do_pdf=1&id=129

35