rangkuman

download rangkuman

of 7

Transcript of rangkuman

Nama : Junita Tio Gloria NPM : 110110090306 TUGAS HUKUM DAGANG

Rangkuman BAB I PENGERTIAN TENTANG HUKUM DAGANG

1.

Bagian ilmu hukum yang disebut di atas sesungguhnya menjadi satu dengan hukum

perdata umum, ialah hukum yang mengatur saling hubungan pribadi antara manusia dan manusia sebagai subjek-subjek hukum karena bersamaan hidup dalam suatu masyarakat. Namun, hubungan pribadi tersebut selalu terdapat antara subjek-subjek hukum saja, sedang benda-benda apabila bersangkutan dalam hubungan tersebut hanyalah objek-objek saja. 2. Bagian manakah dari hukum perdata umum adalah hukum dagang itu? Ialah bagian

yang mengatur beberapa perjanjian dan perikatan-perikatan yang diterbitkan karenanya dan untuk sebagian sudah diatur di dalam kodifikasi hukum perdata umum, untuk Indonesia dalam Buku III KUHPer. 3. Untuk bagian lainnya, terutama yang lebih erat hubungannya dengan perkembangan

perniagaan, misalnya perjanjian-perjanjian pengangkutan orang dan barang di darat, di laut, serta di perairan di pedalaman, perjanjian-perjanjian untuk membentuk pelbagai usaha perniagaan yang diperlukan untuk menjalankan perdagangan secara perusahaan dalam mana untuk mendapatkan laba merupakan suatu syarat mutlak (sebagian telah diatur dalam kodifikasi KUHDagang). KUHD tidak mungkin dikatakan sempurna, misalnya perihal jual beli komersiil, seluruh pengangkutan dengan kapal terbang, dll. Hukum dagang itu hanya untuk sebagian saja termuat dalam kodifikasi KUHD, untuk lainnya dalam peraturan-peraturan sendiri diluar KUHD (pengangkutan dengan kereta api, dll), atau harus dikenal dari hukum kebiasaan (pasal 1339 KUHPerdata). Sudah barang tentu, peranan hakim dengan yurisprudensinya adalah faktor penting untuk mempelajari hukum dagang terutama dalam perkembangannya. 4. Sumber utama dari perikatan-perikatan adalah perjanjian-perjanjian, artinya sebagian

besar dari perikatan-perikatan terbit karena perjanjian-perjanjian. Hukum dagang dapat dinyatakan

sebagai sekelompok hukum perikatan, dimana perikatan dibuat karena perjanjian-perjanjian khusus, dapat terbit juga di luar perjanjian, misalnya sebagai akibat tubrukan kapal-kapal. Berdasarkan kenyataan bahwa kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat berniaga itu, makin lama tidak dapat dipenuhi lagi oleh peraturan-peraturan hukum perdata umum, sehingga perlu adanya hukum perikatan khusus. Tetapi sifat hukum perdata umum tetap ada, karena suatu perikatan, baik dalam lapangan perdata umum maupun dalam lapangan perniagaan, selalu membebankan pelaksanaan prestasi yang dapat bermacam-macam: perbuatan, pemberian, dan bukan perbuatan (pasal 1235 ayat (1) dan 1239 KUHPer). 5. Perbandingan hubungan antara KUHPer dan KUHD tercantum dalam pasal 1 KUHD.

Singkatnya, jika tidak diatur secara lain atau menyimpang dalam KUHD, dapat juga dipakai peraturanperaturan dalam KUHPer. Jadi dapat disimpulkan, satu sama lain saling melengkapi, sekedar perlu dan mungkin menurut sifat-sifat hubungan hukum konkrit. 6. Dalam pasal 1 KUHD, dikemukakan hubungan umum dan khusus dalam membandingkan

KUHPer dengan KUHD. Pemerintah di Netherlands semenjak tahun 1947 dibawah bimbingan Prof. Mr. B. M. Meijers mengusahakan pembentukan kodifikasi BW baru akan memuat pula hukum dagang. Jadi, diusahakan mempersatukan hukum perdata umum dan hukum dagang dalam sebuah kodifikasi. 7. Untuk sekedar menambah, perlu pula ditunjuk negara-negara yang tidak mengenal

kodifikasi dalam lapangan hukum perdata, ialah Amerika Serikat dan Inggris, dimana negara-negara itu hanya mengenal Undang-Undang tersendiri dalam lapangan hukum dagang. 8. Pasal 102 UUDS RI berisikan pembentukan kodifikasi tersendiri dari hukum dagang di

samping hukum perdata, kodifikasi mana harus berupa UU. Menurut bunyi pasal tersebut, harus diadakan kitab hukum dagang di samping kitab hukum perdata. Pembentukan kitab hukum dagang tersendiri yang akan berlaku bagi semua WNI kiranya tidak sukar daripada pelaksanaan sistem satu kitab hukum perdata dan hukum dagang sebagaimana diusahakan di Netherlands. Menurut penulis, berdasarkan perkembangan perdagangan nasional kita, nampaknya lebih sesuai apabila pembentukan KUHD tersendiri didahulukan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan perniagaan nasional kita sendiri. Sudahlah semestinya Lembaga Pembina Hukum Nasional menetapkan sikapnya perihal pembentukan KUHD nasional itu. Pada tanggal 6 Februari 1964, Badan Perencana Lembaga Pembinaan Hukum Nasional menyetujui pembentukan KUHD tersendiri, dan istilah hukum dagang telah disetujui oleh rapat ke XXVI dari pada tanggal 29 Maret 1965. Badan Perencana Lembaga Pembinaan Hukum Nasional dibentuk dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 1965 No. 184. Pemerintah RI telah jelas menyetujui pembentukan KUHD nasional tersendiri. Panitia Kerja Penyusun

Rancangan UU Hukum Dagang telah diganti dengan sebuah panitia yang ditunjuk sebagai Tim Penyusun Kodifikasi Hukum Dagang.

BAB II SEKEDAR RIWAYAT 9. Berdasarkan pasal 2 Aturan Peralihan UUD, masih berlakulah KUHPer dan KUHD pada 1

Mei 1848 bersamaan dengan berlakunya perUUan baru di Hindia Belanda. KUHD itu pada pokoknya berasal dari Code de Commerce di Perancis, tetapi perlu seketika dikemukakan bahwa mengenai peradilan khusus dalam perselisihan-perselisihan perniagaan yang diatur dalam Code de Commerce tidak dioper dalam Wetboek van Koophandel di Netherlands dan tidak pula dalam KUHD di Indonesia. 10. Diketahui bahwa ada dua buah kitab hukum mengenai perdata dan dagang ialah sebagai

pelaksanaan pendapat bahwa peraturan-peraturan hukum perdata pada waktu abad-abad pertengahan yang berasal dari hukum Roma purbakala tidak dapat lagi digunakan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan hukum para pedagang-pedagang, kebutuhan-kebutuhan makin lama makin meluas sejajar dengan pertumbuhan perniagaan ke arah internasional. Maksud pembuat UU ialah pasal-pasal 2 sampai 5 dari KUHD itu merupakan spesifikasi yang sempurna sehingga perbuatan perniagaan dan perikatan perniagaan pasal 5 KUHD tidak ada. 11. Isi pasal-pasal 5 dari KUHD sekarang tidak lagi didapatkan dalam penerbitan baru

mengenai himpunan UU. Catatan atas pasal 5 lama, dalam pasal ini pembuat UU hanya mengatur tentang perikatan-perikatan yang ditunjuk dengan zaken van koophandel jadi tidak mengatur perbuatan-perbuatan perniagaan. 12. Anggapan sempurna tentang perincian perbuatan-perbuatan dan perikatan perniagaan

di atas ternyata tidaklah demikian adanya. Pada perniagaan dalam hal barang-barang tetap dalam masyarakat banyak sekali terjadi, tapi tidak termasuk dalam pengertian perniagaan menurut KUHD dulu, keadaan mana tidak sesuai dengan dunia perniagaan sendiri. Pembuat UU dalam pasal-pasal lama menyatakan tentang pengertian dagang dengan dasar perbuatan-perbuatan perniagaan, lalu dalam pasal 4 sub 1, sub 2 bagian akhir mengenai surat-surat sanggup, sub 3 dan sub 9 redaksi lama menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan terrsebut dapat dinamakan perbuatan perniagaan, apabila dilakukan oleh seorang pedagang dalam pekerjaannya atau oleh orang-orang dalam pekerjaan tertentu dalam nomer-nomer dari pasal 4 lama itu. Singkatnya, pembuat UU terhadap beberapa perbuatan membatasi adanya sifat perbuatan perniagaan dengan pernyataan bahwa perbuatan-perbuatan itu hanya merupakan perbuatan perniagaan jikalau dilakukan oleh pedagang-pedagang saja dalam pekerjaannya. Dengan kata lain, dilepaskan lagi dasar perbuatan perniagaan untuk menentukan seorang itu adalah seorang pedagang atau tidak. Kesukaran yang lain adalah apabila dalam sebuah perjanjian

tidaklah buat kedua belah pihak merupakan suatu perbuatan perniagaan, mungkin sekali terjadi sebagai akibat dari pasal-pasal 2 sampai 5 lama tersebut. Untuk dapat merasakan betapa besar kesulitankesulitan yang timbul dengan adanya peraturan-peraturan hukum pedagang khusus. Maka perlu dianut pendapat HR yang mengatakan bahwa peraturan-peraturan khusus itu baru berlaku apabila tergugat perbuatan dalam sengketa itu merupakan perbuatan perniagaan. Keberatan yang diajukan terhadap pendapat itu adalah sesungguhnya sebuah perjanjian antara dua belah pihak bersengketa akan sukar dipecah menjadi dua, karena perbuatan-perbuatan kedua pihaklah yang mewujudkan perjanjian yang pelaksanaannya menjadi perselisihan itu sehingga timbul pendapat lain bahwa peraturan-peraturan khusus tadi baru dapat diwujudkan, apabila perbuatan yang bersangkutan bagi kedua belah pihak merupakan perbuatan perniagaan. 13. Berlakunya Wetboek van Koophandel di Netherlands pada 1 Oktober 1838, lenyaplah

pengertian-pengertian menurut UU tentang Pedagang, perbuatan dan perikatan perniagaan yang sebelum Wetboek tersebut merupakan hukum pedagang. Dengan Wet tertanggal 2 Juli 1934 pasal-pasal 2 sampai 5 dihapuskan. Sebagai gantinya dimasukkan dalam UU dengan istilah perusahaan dan perbuatan-perbuatan perusahaan, tetapi tidak disertai penjelasan resmi tentang pengertian istilah perusahaan dan diserahkan kepada keilmuan dan jurisprudensi.

2. Mengapa pasal 2 sampai dengan pasal 5 dihapusnkan? Apa sebab dan akibat dari penghapusan pasal-pasal tersebut? Pasal 2-5 KUHD lama dibuat karena pada saat itu dibentuk, karena pada masa itu orang-orang yang melakukan perbuatan perniagaan disebut sebagai pedagang (Pasal 2 KUHD), dan perbuatan perniagaan pada saat itu belum luas di bandingkan sekarang. Perbuatan perniagaan pada zaman itu hanyalah berupa perbuatan pembelian saja, dan tidak ada perbuatan penjualan (Pasal 3 dan 4 KUHD). Pengertian barang-barang pada Pasal 3 KUHD juga hanya sebatas mengenai barang-barang bergerak saja, jadi tidak termasuk benda-benda tetap. Pasal 2-5 KUHD dahulu hanyalah satu-satunya KUHD yang memiliki spesifikasi yang sempurna. Sebab mengapa pasal-pasal 2-5 KUHD lama dihapuskan adalah disebabkan karena beberapa hal, yaitu : Sekarang karena dengan adanya perkembangan jaman dan kata-kata serta pengaturan dalam Pasal 2-5 KUHD lama sudah tidak sesuai dengan keadaan perbuatan perniagaan sekarang ini, sekaligus pada Pasal 5 KUHD lama dikatakan bahwa jadi tidak mengatur perihal perbuatan-perbuatan perniagaan.. Maka dari itu Pasal 2-5 KUHD lama dihapuskan dengan Stb. 1938-276. Pasal-pasal 2-5 KUHD lama itu dihapus juga karena salah satu contohnya adalah perniagaan dalam hal barang-barang tetap kenyataannya dalam masyarakat sering terjadi, dan hal ini tidak termasuk dan tidak diatur dalam KUHD lama. Dalam Pasal 4 sub 1, sub 2 bagian akhir mengenai surat-surat sanggup, sub 3 dan sub 9 redaksi lama menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan itu hanya dapat dikatakan sebagai perbuatan perniagaan apabila dilakukan oleh pedagang dalam pekerjannya. Pasal-pasal tersebut sangat membatasi perbuatan perniagaan, karena hanya dilakukan oleh pedagangpedagang saja. Dikatakan pula dalam sebuah perjanjian tidaklah untuk kedua belah pihak merupakan sebuah perbuatan perniagaan, dan ini sangat mungkin terjadi akibat dari pasal 2-5 KUHD lama. Sebenarnya perjanjian kedua belah pihak lah yang membentuk suatu perjanjian, dan apabila, maka sangat tidak masuk akal apabila pengaturan itu digunakan, karena perjanjian itu akan menimbulkan perselisihan, dan akan sulit diselesaikan perselisihan tersebut apabila menggunakan pengaturan dalam Pasal 2-5 KUHD lama.

3. Cari 3 pasal yang mempunyai hubungan antara KUHD dengan KUHPerdata! a. Pasal 1 KUHD KItab Undang-Undang Hukum Perdata, seberapa jauh dari padanya dalam Kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab ini. Dari pasal ini dapat diketahui bahwa apabila KUHD tidak mengatur suatu ketentuanketentuan secara khusus atau lain dari KUHPer, maka pengaturan dalam KUHPer yang akan digunakan. Ini ada hubungannya dengan asas lex specialis derogate lex generalis. Jadi ada hubungan pengaturan dan saling melengkapinya antara KUHD dengan KUHPerdata.

b. Pasal 15 KUHD Segala perseroan tersebut dalam bab ini dikuasai oleh persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan, oleh Kitab ini dan oleh hukum perdata. KUHD maupun KUHPerdata mengakui dan mengatur mengenai segala hal yang mengenai perseroan, yang dimana perseroan dikuasai oleh persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan. Jadi tidak ada pertentangan dan perbedaan atas apa yang diatur oleh KUHD dan KUHPerdata.

c. Pasal 396 KUHD Terhadap perjanjian kerja-laut berlakulah selain ketentuan-ketentuan dari bab ini, ketentuan-ketentuan dari bagian kedua, ketiga, ke-empat dan kelima dari bab 7A dari Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sekedar berlakunya ketentuan-ketentuan itu tidak dengan tegas dikecualikan. Mengenai segala hal yang berhubungan dengan kerja-laut pada KUHD juga dapat dilihat pengaturannya dalam KUHPerdata yaitu pada bab-bab tertentu, asalkan ketentuanketentuan dalam KUHPerdata tidak diatur secara khusus dalam KUHD. Hal ini sangat jelas memperlihatkan mengenai hubungan antara KUHD dan KUHPer yaitu saling melengkapi pengaturan-pengaturan dalam UU, dan tetap tidak bertentangan satu dengan yang lainnya.