Rad

16
DIMENSI PSIKOLOGIS PENYEBAB REACTIVE ATTACHMENT DISORDER Disusun oleh: Grace Ivana Yudisaputra (12120080003) Eprilike Febe Noselya (12120080018) Joice Novita Limpo (12120080039)

description

Dimensi psikologis penyebab reactive attachment disorder

Transcript of Rad

Page 1: Rad

DIMENSI PSIKOLOGIS PENYEBAB

REACTIVE ATTACHMENT DISORDER

Disusun oleh:

Grace Ivana Yudisaputra (12120080003)

Eprilike Febe Noselya (12120080018)

Joice Novita Limpo (12120080039)

Fakultas Psikologi

Universitas Pelita Harapan Surabaya

2011

Page 2: Rad

DIMENSI PSIKOLOGIS PENYEBAB

REACTIVE ATTACHMENT DISORDER

A. Pengalaman Awal Kehidupan

Teori Psikoanalisis

Menurut teori psikoanalisis, setiap manusia pada dasarnya memiliki 3 aspek,

yaitu id, ego, dan superego. Pada saat baru dilahirkan, yang baru dimiliki oleh

bayi adalah id, yaitu nafsu dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan, serta

memuaskan hasrat-hasrat dasar. Dengan belum adanya ego, dapat dikatakan

bahwa bayi belum mampu merealisasikan keinginan-keinginannya. Dengan

demikian, harus ada orang lain yang memenuhi kebutuhannya.

Menurut teori ini, yang menjadi penyebab dari terjadinya gangguan

kelekatan reaktif adalah tidak adanya orang lain yang memenuhi kebutuhan bayi

tersebut, dengan kata lain bayi tersebut diabaikan, baik secara fisik maupun

emosional. Secara otomatis akan terjadi perubahan pada reaksi bayi terhadap

lingkungan sekitarnya, sebagai bentuk agresi dari ketidakpuasannya terhadap

kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang tidak terpenuhi dengan baik. Dimana anak

bisa mengembangkan sikap tidak dapat memberikan respon yang baik dalam

interaksi sosial (inhibisi), atau justru dapat menjadi terlalu akrab dengan siapapun,

tanpa pilih-pilih (disinhibisi).

Teori Epigenetik

Teori yang dicetuskan oleh Erikson menganut prinsip epigenetik, yaitu suatu

prinsip yang mengatakan bahwa perkembangan terjadi tahap demi tahap. Dalam

teorinya, Erikson menyatakan bahwa tiap bagian dari ego berkembang pada tahap

perkembangan tertentu dalam rentangan waktu tertentu. Kemudian tahap

perkembangan yang satu terbentuk dan dikembangkan di atas perkembangan

sebelumnya (tetapi tidak mengganti perkembangan tahap sebelumnya itu).

Salah satu tahapan perkembangan yang disebutkan oleh Erikson adalah

tahap trust vs mistrust, yaitu tahap perkembangan yang dimiliki oleh bayi (0-1

Page 3: Rad

tahun). Yang menjadi penyebab terjadinya reactive attachment disorder menurut

teori ini adalah tidak dapat berkembangnya trust pada anak, akibat perilaku orang

tua yang mengabaikan anak tersebut. Bayi sedang berada pada tahap dimana ia

ada di persimpangan antara mengembangkan trust atau mistrust, dan hal ini akan

sangat bergantung pada stimulus yang diterimanya dari luar, khususnya orang tua.

Tugas yang harus dilakukan pada tahap ini adalah menumbuhkan dan

mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya

suatu ketidakpercayaan.

Apabila orang tua melakukan penolakan, pengabaian, atau bahkan kekerasan

terhadap sang bayi, maka trust tidak akan berkembang, dan yang akan

dikembangkan oleh bayi tersebut adalah mistrust. Karena dengan adanya

pengabaian atau penolakan tersebut, bayi akan merasa bahwa dunia adalah tempat

yang tidak aman untuk didiami, tidak dapat dipercaya, dan tidak saling

menyayangi. Hal inilah yang mendasari terjadinya gangguan kelekatan reaktif

pada anak.

Teori Kelekatan

Menurut Bowlby, ada 4 gaya kelekatan yang dapat dikembangkan oleh anak.

Yaitu gaya kelekatan aman, menghindar, cemas, dan tidak aman. Bayi dengan

gaya kelekatan aman akan memandang pengasuhnya sebagai orang yang dapat

dipercaya dan dirinya sebagai orang yang berarti. Sedangkan bayi yang memiliki

gaya kelekatan tidak aman akan memandang pengasuhnya sebagai orang yang

tidak dapat dipercaya dan dirinya sebagai orang yang tidak berarti (Helmi, 2004).

Pengembangan gaya kelekatan pada bayi sangat tergantung dari stimulus

yang diterimanya dari lingkungan sekitar. Kelekatan adalah hal yang terbangun

pada diri bayi, mengenai hubungannya dengan pengasuh (ibu atau pengganti).

Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan gaya kelekatan bayi adalah

respon dari pengasuh tersebut.

Menurut teori ini, yang menyebabkan terjadinya gangguan kelekatan reaktif

adalah ketidakmampuan anak dalam mengidentifikasi figur pengasuh, yang

diakibatkan oleh pergantian oengasuh yang sering terjadi. Belum sempat anak

Page 4: Rad

mengidentifikasi suatu figur, kemudian figur itu telah terganti oleh figur lain lagi.

Hal ini menyebabkan anak tidak dapat mengembangkan gaya kelekatan aman.

Selain itu, hal lain yang juga dapat menjadi penyebab tidak dapat berkembangnya

gaya kelekatan aman adalah sikap pengasuh yang cenderung mengabaikan anak.

B. Proses Pembelajaran

Classical Conditioning

Teori classical conditioning merupakan salah satu dari teori belajar yang

terawal, yang dikembangkan oleh Pavlov. Dalam teorinya ini, Pavlov

menyebutkan bahwa seseorang mempelajari suatu hal melalui proses yang disebut

dengan asosiasi. Dua hal yang berulang kali dialami secara bersamaan akan

diasosiasikan dalam pikiran seseorang. Contohnya adalah ketika seseorang sering

mengunjungi suatu tempat bersama temannya, maka berada di tempat tersebut

akan membangkitkan ingatan mengenai temannya. Dengan kata lain, tempat

tersebut telah diasosiasikan dengan figur seorang teman.

Dalam teori yang dikembangkan Pavlov, terdapat empat elemen kunci dalam

terjadinya proses classical conditioning (Lahey, 2007). Keempat hal itu dijelaskan

sebagai berikut.

1. Unconditioned Stimulus (UCS), adalah stimulus yang dapat membangkitkan

respon tanpa adanya pembelajaran.

2. Unconditioned Response (UCR), adalah respon yang diberikan secara natural

terhadap UCS. Contohnya, adalah memakan kue yang basi (UCS) akan

membuat seseorang mual (UCR).

3. Conditioned Stimulus (CS), adalah stimulus yang semula netral namun

kemudian dapat membangkitkan respons karena telah dipasangkan dengan

UCS.

4. Conditioned Response (CR), adalah respon yang mirip atau identik dengan

UCR, namun merupakan respon yang dibangkitkan oleh kehadiran CS saja.

Page 5: Rad

Proses pembelajaran sederhana yang dijelaskan oleh Pavlov sesungguhnya

sangat banyak dilakukan dalam kehidupan manusia, terutama pada masa awal

kehidupan. Seorang bayi yang baru lahir adalah bayi yang tak mampu melakukan

segala sesuatunya sendiri, dan sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk

memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisiknya ataupun kebutuhan emosional.

Dengan merawat dan memberikan perhatian (UCS) akan otomatis menimbulkan

rasa aman dalam diri bayi (UCR), di mana ia tetap dapat bertahan hidup meski

telah berada di luar zona amannya (kandungan). Perasaan aman ini kemudian

diasosiasikan dengan kehadiran orang tertentu, yaitu pengasuh (CS). Melalui

proses pembelajaran ini, maka kehadiran pengasuh saja akan memberikan rasa

aman pada diri bayi.

Bagi anak-anak dengan gangguan kelekatan reaktif, proses pembelajaran ini

tidak terlaksana. Dalam kasus anak dengan tipe terhambat (inhibited), kehadiran

pengasuh sama sekali tidak dapat diasosiasikan dengan rasa aman, karena

perlakuan pengasuh yang mengabaikan, dalam arti tidak merawat ataupun

memberikan perhatian, kepada anak. Hal ini kemudian menyebabkan anak tidak

mampu mengidentifikasi suatu figur yang dapat diasosiasikan dengan rasa aman.

Dengan begitu, ketika merasa tidak aman ataupun di bawah tekanan, anak tidak

memiliki figur yang dapat menjadi tempat bergantung, membuat anak belajar

memendam perasaan dan menolak usaha pengasuh untuk menenangkannya.

Berbeda dengan kasus tersebut, seorang anak yang menunjukkan gangguan

kelekatan reaktif tipe tidak terhambat justru tidak dapat mengasosiasikan rasa

aman dengan satu figur saja. Hal ini terutama disebabkan oleh pengasuh yang

berganti-ganti. Pergantian ini membuat individu tidak merasa tidak aman ketika

seorang pengasuh pergi, karena telah hadir orang lain, yang sama sekali baru,

yang juga dapat merawat dan memberi perhatian kepadanya. Pengalaman ini

dapat membawa anak pada kesimpulan bahwa siapapun dapat menyediakan rasa

aman baginya, bahkan orang yang sama sekali tidak dikenal sekalipun.

Page 6: Rad

Operant Conditioning

Operant conditioning adalah suatu proses pembelajaran di mana frekuensi

suatu perilaku dapat bertambah atau berkurang sesuai dengan konsekuensi yang

diberikan terhadap perilaku tersebut. Teori yang dikembangkan oleh Skinner ini

mengidentifi-kasi tiga cara untuk mempengaruhi frekuensi perilaku dengan

mengontrol konsekuensi yang diberikan, yaitu sebagai berikut (Lahey, 2007).

1. Penguatan Positif

Penguatan positf adalah proses memberikan konsekuensi yang menyenangkan

agar perilaku semakin sering dilakukan. Contohnya adalah dengan

memberikan senyuman bagi anak ketika ia mengucapkan terima kasih. Hal ini

akan mendorong anak untuk lebih sering mengucapkan terima kasih agar

boleh mendapat senyuman, yang dinilai menyenangkan.

2. Penguatan Negatif

Penguatan negatif adalah proses meningkatkan frekuensi perilaku dengan

menghindarkan konsekuensi yang tidak menyenangkan. Contohnya adalah

dengan membatalkan janji ke dokter ketika anak menangis. Hal ini akan

mendorong anak untuk menangis tiap kali ia akan dibawa ke dokter, dengan

tujuan menghindari pemeriksaan dokter, yang dinilai tidak menyenangkan.

3. Hukuman

Hukuman adalah proses mengurangi frekuensi perilaku dengan memberikan

konsekuensi yang tidak menyenangkan. Contohnya adalah ketika seorang

anak dimarahi setiap kali memukul temannya. Hal ini akan mendorong anak

untuk tidak memukul temannya, agar tidak dimarahi.

Menggunakan prinsip pembelajaran ini, manusia, terutama pada masa awal

hidupnya, mulai mempelajari bagaimana berinteraksi secara sosial. Pada

umumnya, orang tua akan merespon bayi yang menunjukkan perilaku-perilaku

sosial, seperti tertawa, menangis, atapun tersenyum. Respon ini, secara umum

akan menjadi suatu penguatan bagi individu untuk lebih sering lagi melakukan

perilaku sosial, atau dengan kata lain berinteraksi dengan orang lain.

Page 7: Rad

Dalam kasus gangguan kelekatan reaktif tipe terhambat, pengasuh tidak

memberikan respon sama sekali terhadap perilaku sosial yang ditunjukkan bayi.

Tanpa adanya respon, bayi menjadi tidak sering menunjukkan perilaku sosial,

ataupun melatih keterampilan sosialnya. Tanpa terbiasa ataupun meningkatkan

perilaku tersebut, individu akan cenderung sulit untuk menginisiasikan interaksi

sosial dengan orang lain.

Modelling

Modelling adalah proses pembelajaran dengan mengobservasi dan meniru

perilaku orang lain. Teori yang dikembangkan oleh Albert Bandura tersebut

menekankan pembentukan perilaku yang disebabkan oleh contoh dari orang lain.

Dalam kasus anak dengan gangguan keterikatan reaktif, bukanlah tidak mungkin

bahwa perilaku kelekatannya tersebut ditiru dari perilaku pengasuhnya. Atkinson

dan Goldberg (2004) menjelaskan bahwa anak dengan gangguan kelekatan reaktif

seringkali diasuh oleh ibu yang menunjukkan perilaku yang tidak konsisten

ataupun menunjukkan respon yang tidak sesuai.

Sang ibu seringkali mendekatkan dirinya kepada bayi secara verbal, namun

kemudian menjauh dan menjaga jarak. Di sisi lain, sang ibu mungkin

menunjukkan respon yang tidak sesuai, seperti tersenyum saat bayi menangis.

Kedua perilaku ini adalah ciri dari gangguan kelekatan itu sendiri, yaitu

menunjukkan respon yang kontradiktif ataupun tidak mampu berinteraksi secara

sosial secara tepat.

C. Teori Kebutuhan Maslow

Konsep Maslow tentang hierarki kebutuhan berasumsi bahwa kebutuhan

yang lebih rendah tingkatnya harus dipuaskan atau minimal terpenuhi secara

relatif sebelum kebutuhan yang lebih tinggi tingkatnya menjadi motivator

tindakan. Kebutuhan di tingkatan yang lebih rendah mengandung potensi bagi

Page 8: Rad

kebutuhan di tingkatan yang lebih tinggi, artinya mereka harus dipenuhi lebih

dulu sebelum kebutuhan lebih tinggi menjadi aktif.

Maslow mendata kebutuhan-kebutuhan berikut berdasarkan potensinya,

kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah fisiologis, rasa aman, rasa dicintai dan

dimiliki, rasa dihargai, dan aktualisasi diri. Seiring berjalannya waktu, manusia

harus dapat mencapai tahap kebutuhan aktualisasi diri setelah dia berhasil

mencapai tiap tingkatan sebelumnya.

Kebutuhan Fisiologis adalah kebutuhan yang paling dasar setiap orang,

karena kebutuhan ini menyangkut kebutuhan akan makanan, oksigen, air,

mempertahankan suhu tubuh, dsb. Kebutuhan fisiologis ini merupakan potensi

paling dasar dan besar bagi semua pemenuhan kebutuhan di atasnya. Contohnya:

manusia yang lapar akan selalu termotivasi untuk makan, bukannya mencari

teman atau dihargai. Bila kebutuhan mereka untuk makan belum terpenuhi, maka

motivasi utama mereka adalah mencari apapun untuk di makan. Begitupun juga

dengan anak-anak, mereka membutuhkan makan, jika kebutuhan fisiologis

mereka tidak terpenuhi maka mereka akan menangis dan timbul ketidakpercayaan

pada yang mengasuhnya.

Bayi akan menangis bila dia meminta sesuatu, misalnya: seorang bayi

meminta makan kepada pengasuhnya dengan cara menangis, tapi jika sang

pengasuh sering tidak memberikan makanan kepadanya dan cenderung untuk

mengacuhkan tangisan anaknya, maka akan timbul ketidakpercayaan dari diri bayi

tersebut. Bila keadaan ini di diamkan terlalu lama, bayi akan mengalami reactive

attachment disorder yang timbul akibat ketidakpercayaannya kepada pengasuh.

Kebutuhan yang kedua adalah kebutuhan rasa aman. Kebutuhan akan rasa

aman termasuk rasa aman dalam bentuk fisik, stabilitas, ketergantungan,

perlindungan, dan kebebasan dari daya-daya mengancam, seperti perang,

terorisme, penyakit, rasa takut, rasa cemas, bahaya, kerusuhan, dan bencana alam.

Kebutuhan rasa aman berbeda dengan kebutuhan fisiologis karena kebutuhan ini

tidak bisa terpenuhi secara total. Manusia tidak pernah dapat dilindungi

sepenuhnya dari ancaman-ancaman meteor, kebakaran, banjir atau perilaku

berbahaya orang lain.

Page 9: Rad

Dalam kebutuhan rasa aman ini, orang dewasa mempunyai perbedaan

dengan anak-anak. Kebanyakan orang dewasa yang sehat dapat memuaskan rasa

aman ini hampir di setiap waktu, namun tidak demikian dengan anak-anak yang

sering termotivasi oleh kebutuhan rasa aman, karena mereka selalu hidup dengan

ancaman-ancaman seperti kegelapan, hewan, orang asing, dan hukuman dari

orang tua. Anak-anak yang mengalami reactive attachment disorder tidak

mempunyai rasa aman terhadap lingkungan sekitarnya, karena tahap fisiologis

mereka tidak terpenuhi dan mereka cenderung menarik diri dari lingkungannya.

Kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan untuk dicintai dan dimiliki.

Kebutuhan ini seperti dorongan untuk bersahabat, keinginan memiliki pasangan

dan keturunan, dan kebutuhan untuk melekat pada sebuah keluarga, lingkungan

bertetangga atau berbangsa. Ada 3 kelompok dalam kebutuhan ini, yaitu yang

pertama seseorang yang kebutuhan cinta dan dimilinya sudah relative terpenuhi

sejak kanak-kanak tidak akan merasa panic saat menolak cinta.

Kelompok yang kedua terdiri atas mereka yang tidak pernah merasakan

pengalaman dicintai dan dimiliki, karena itu tidak sanggup memberikan cinta

kepada orang lain. Mereka mungkin jarang atau tidak pernah dipeluk, ditimang-

timang atau mengalami ungkapan cinta dari orang lain. Anak yang tidak pernah

mendapatkan kasih sayang dari orang tua, akhirnya mereka tidak bisa

mengungkapkan rasa cintanya kepada orang lain dalam bentuk tindakan dan

merka mengalami devaluasi nilai cinta dan ketidakpastiannya.

Kelompok ketiga mencakup orang-orang yang menerima sedikit saja rasa

dicintai dan dimiliki. Karena hanya menerima citarasa dari perasaan dicintai dan

dimiliki, mereka akan termotivasi kuat untuk mencarinya. Dengan kata lain,

manusia yang menerima hanya sedikit saja porsi dicintai memiliki kebutuhan

yang sangat besar untuk disayangi dan diterima daripada mereka yang menerima

porsi dicintai dan dimiliki yang sehat atau mereka yang tidak pernah menerimanya

sama sekali. Anak-anak yang berada dalam kelompol ketiga ini cenderung

mencari perhatian pada orang lain agar mereka mendapat kasih sayang yang

belum pernah mereka dapatkan. Mereka bisa saja terlalu melekatkan diri pada

pengasuh agar mendapatkan perhatian.

Page 10: Rad

D. Kondisi Psikologis Lain

Kondisi Psikologi lain yang menyebabkan terjadinya reactive attachment

adalah deprivasi sosial, bila seorang anak-anak mendapat sedikit stimulasi sosial

dari lingkungan dimana dia berada, maka mereka tidak memiliki kelekatan,

berbeda dengan anak yang tinggal dengan stimulasi sosial yang banyak, mereka

bisa menunjukkan adanya tingkah laku kelekatan.

Referensi:

Atkinson, L. & Goldberg, S. 2004. Attachment Issues in Psychopathology and Intervention. New Jersey: Lawrence Elbraum Associates

Feist, J, Feist, G.J. (2008). Theories of personality. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Helmi, A.F. (2004). Gaya kelekatan, atribusi, respon emosi, dan perilaku marah. Diunduh

pada 24 Maret 2011 dari http://avin.staff.ugm.ac.id/data/karyailmiah/

modelteoritis_avin.pdf

Lahey, B. B. 2007. Psycholgy: An Introduction, Ninth Edition. New York: McGraw-HillMonks, F.J, Knoers, A.M.P, Haditono, S.R. (1999). Psikologi Perkembangan.

Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.