Rabu, 7 Juni 2017 Utama Terorisme Tak Sekadar Masalah Pidanagelora45.com/news/SP_2017060703.pdf ·...

1
3 Suara Pembaruan Rabu, 7 Juni 2017 Utama [JAKARTA] Aksi-aksi terorisme telah mengancam kedaulatan negara. Oleh karenanya, terorisme tidak lagi bisa dianggap semata tindak pidana. Untuk itu, penanganannya harus komprehensif, termasuk melibatkan TNI sebagai kekuatan pendukung Polri. Demikian disampaikan pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji di Jakarta, Rabu (7/6). Dari sisi pen- dekatan politik dan hukum, ancaman terorisme menunjukan tendensi yang meningkat. Ancaman ini terlihat dari skala nonprediksi di kawasan regional maupun global seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Australia. Apalagi Indonesia memang menjadi salah satu pilihan sebagai pusat terorisme di Asia Tenggara selain di Filipina. “Ancaman terorisme di Indonesia sudah terlihat pola multiple-nya seperti adanya gerakan separatis, keinginan mendirikan negara Islam, Gerakan anti-Pancasila-UUD 1945 dan lainnya. Memang dari pendekat- an prevensi, kondisi ini sudah darurat terorisme,” kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana ini. Indriyanto mengingatkan, dengan kondisi darurat tersebut, penanganan terorisme tidak dapat lagi dilakukan setelah terjadinya aksi terorisme. Deteksi dini terhadap gerakan teror- isme harus semakin ditingkatkan. DPR juga diminta untuk memperce- pat merampungkan pembahasan revisi UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme). “Jangan sampai ada penindakan setelah terjadi terorisme. Semua ini jangan dianggap ringan, tetapi detek- si dini atas eksistensi terorisme harus semakin kuat sehingga DPR dapat lebih memberi atensi percepatan RUU Terorisme ini,” katanya Indriyanto menjelaskan, dengan kondisi darurat ini, terorisme sudah mengancam kedaulatan negara atau dignity of state. Untuk itu, dengan tetap berbasis pada pola pendekatan penegakan hukum, diperlukan peli- batan TNI dalam pemberantasan terorisme. Dikatakan, kerja sama TNI dan Polri diperlukan karena terorisme tidak hanya kejahatan terhadap kema- nusiaan tetapi juga kejahatan terhadap negara. “Jadi semacam joint combat- ing to terrorism, adanya suatu kola- borasi pencegahan dan penindakan gerakan terorisme sebagai crimes against humanity dan crimes against state. Jadi tidak memelihara polemik kewenangan penanganan teror antara Polri dan TNI. Kalau penanganan korupsi sebagai extraordinary crimes kan juga ada kolaborasi Polri, Kejaksaan dan KPK,” paparnya. Menurut Indriyanto, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tidak cukup hanya berdasar aturan yang tertuang dalam Pasal 7 UU 34/2004 tentang TNI. Menurut Indriyanto, pelibatan TNI dan kolaborasinya dengan Polri dalam perang terhadap terorisme harus diatur dalam UU Antiterorisme yang tengah dibahas. “Pelibatan itu harus ada pada UU Antiterorisme. Tidak bisa hanya pada UU TNI yang mengatur tupoksi sebagai UU Organik,” jelasnya. Terkait dengan porsi tugas dan kewenangan TNI, Indriyanto menga- takan, hal itu merupakan teknis dalam tataran implementasi. Hal yang pen- ting, kerja sama TNI dan Polri dalam perang terhadap terorisme diperlukan karena sudah menyangkut kedaulatan negara. “Yang penting, kalau sudah menyangkut kedaulatan negara itu harus ada joint combating to terrorism, TNI-Polri adalah satu dengan tidak menciptakan stigma problema kewe- nangan yang egosentris,” tegasnya. Seizin Presiden Secara terpisah, pakar hukum Frans Hendra Winarta menegaskan, terorisme saat ini secara nyata dan tak dapat ditawar lagi telah mengancam kedaulatan NKRI. Hal ini terlihat dari penyerangan milisi yang terafiliasi dengan ISIS di Marawi, Filipina, yang berbatasan dengan Indonesia. Dengan ancaman nyata ini, Frans menyatakan, diperlukan pelibatan TNI untuk men- jaga keutuhan NKRI. “Ancaman terorisme nyata dan keutuhan wilayah RI harus diperta- hankan. Oleh karena itu peran TNI perlu, asalkan ada syarat persetujuan Presiden, karena tidak cukup dihadapi Polri selain kekuatan rakyat yang bersatu diperlukan masa kini,” kata Frans. Dia menjelaskan, keterlibatan TNI dibutuhkan dalam pemberantasan terorisme atas seizin Presiden dengan melihat urgensinya. Menurutnya, pengalaman TNI sangat dibutuhkan dalam menghadapi bahaya terorisme. Hal ini terlihat dari kinerja TNI dalam menjaga keutuhan wilayah perbatas- an, seperti di Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Mindanao, Filipina. “Situasi dan kondisi tetap harus dilihat, tetapi keadaan sekarang cukup kritis karena adanya ancam- an pecah belah NKRI dan itu sinkron dengan Sapta Marga TNI,” jelasnya. Frans menyatakan, UU Antiterorisme saat ini sangat dibutuhkan untuk menangkal terorisme internasional. Dikatakan, hak asasi manusia tidak dapat dipertentangkan dengan hak negara untuk menangkal terorisme. “Penegak hukum harus dibekali hak mencegah, menangkal, dan menindak aksi terorisme secara dini. Ada kepentingan bangsa dan negara yang sekarang dalam kea- daan gawat dan bahaya sebagai prioritas,” katanya. Menurut Frans, pola pendekatan dalam pemberantasan terorisme saat ini tidak cukup hanya dengan meng- andalkan penegakan hukum. Lebih dari itu, pola pendekatan penanganan harus holistik dengan mencakup intelijen, pendekatan hankam, dan dukungan rakyat. Dengan pola pen- dekatan yang holistik ini, seluruh elemen masyarakat harus berperan total dalam memberantas terorisme. “Benih-benihnya sudah lama bermunculan dan sekarang pemerin- tah dan negara harus konsekuen dan konsisten menghadapi bahaya teror- isme. Seperti yang saya sarankan pelatihan dan pendidikan Pancasila harus digencarkan menghadapi teror- isme dan upaya memecah belah NKRI. Kurikulum pendidikan nasional harus dikaji ulang disesuaikan kebutuhan sekarang,” paparnya. Deradikalisasi Sementara itu, peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM Muhammad Najib Azca menilai, isu penting lain dalam revisi UU Antiterorisme adalah program deradi- kalisasi yang masih belum utuh, sehingga tidak menunjukkan sinergitas. Mengambil contoh pelaku bom Samarinda yang ternyata mantan narapidana kasus terorisme, Najib mengatakan, sebenarnya inti dari penanganan aksi teror, ada pada program deradikalisasi. Sampai saat ini program deradi- kalisasi tidak memiliki kerangka kerja yang utuh. Berdasarkan sifatnya, terpidana kasus teror, tidak bisa disa- makan dengan pelaku kejahatan lainnya. Terkait penanganan, menurutnya, Polri sudah menunjukkan kinerja yang baik dalam menangani aksi teror, tinggal bagaimana lembaga lain melanjutkan prosesnya, sehingga terpidana aksi teror benar-benar bisa dipulihkan. “Termasuk mendata mereka yang sudah keluar penjara dan terus memantaunya,” ujarnya. [F-5/152] Terorisme Tak Sekadar Masalah Pidana UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) A. Pasal 7 Ayat (1) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (1), diperinci hal-hal yang merupakan ancaman dan gangguan, yang salah satunya adalah: Aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh teroris internasional atau bekerja sama dengan teroris dalam negeri atau oleh teroris dalam negeri B. Pasal 7 Ayat (2) Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. operasi militer untuk perang b. operasi militer selain perang, yaitu untuk: 1. mengatasi gerakan separatis bersenjata 2. mengatasi pemberontakan bersenjata 3. mengatasi aksi terorisme 4. mengamankan wilayah perbatasan 5. mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis 6. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri 7. mengamankan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya 8. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta 9. membantu tugas pemerintah di daerah 10. membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang 11. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia 12. membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan 13. membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue), serta 14. membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan. Peran TNI Terkait Ancaman Terorisme Indriyanto Seno Adji Frans Hendra Winarta ANTARA Aparat Polri dan TNI menggelar razia saat Operasi Tinombala memburu kelompok teroris Santoso di Poso, Sulawesi Tengah, tahun lalu.

Transcript of Rabu, 7 Juni 2017 Utama Terorisme Tak Sekadar Masalah Pidanagelora45.com/news/SP_2017060703.pdf ·...

Page 1: Rabu, 7 Juni 2017 Utama Terorisme Tak Sekadar Masalah Pidanagelora45.com/news/SP_2017060703.pdf · Polri dan TNI. Kalau penanganan korupsi sebagai extraordinary crimes kan juga ada

3Sua ra Pem ba ru an Rabu, 7 Juni 2017 Utama

[JAKARTA] Aksi-aksi terorisme telah mengancam kedaulatan negara. Oleh karenanya, terorisme tidak lagi bisa dianggap semata tindak pidana. Untuk itu, penanganannya harus komprehensif, termasuk melibatkan TNI sebagai kekuatan pendukung Polri.

Demikian disampaikan pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji di Jakarta, Rabu (7/6). Dari sisi pen-dekatan politik dan hukum, ancaman terorisme menunjukan tendensi yang meningkat. Ancaman ini terlihat dari skala nonprediksi di kawasan regional maupun global seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Australia. Apalagi Indonesia memang menjadi salah satu pilihan sebagai pusat terorisme di Asia Tenggara selain di Filipina.

“Ancaman terorisme di Indonesia sudah terlihat pola multiple-nya seperti adanya gerakan separatis, keinginan mendirikan negara Islam, Gerakan anti-Pancasila-UUD 1945 dan lainnya. Memang dari pendekat-an prevensi, kondisi ini sudah darurat terorisme,” kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana ini.

Indriyanto mengingatkan, dengan kondisi darurat tersebut, penanganan terorisme tidak dapat lagi dilakukan setelah terjadinya aksi terorisme. Deteksi dini terhadap gerakan teror-isme harus semakin ditingkatkan. DPR juga diminta untuk memperce-pat merampungkan pembahasan

revisi UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme).

“Jangan sampai ada penindakan setelah terjadi terorisme. Semua ini jangan dianggap ringan, tetapi detek-si dini atas eksistensi terorisme harus semakin kuat sehingga DPR dapat lebih memberi atensi percepatan RUU Terorisme ini,” katanya

Indriyanto menjelaskan, dengan kondisi darurat ini, terorisme sudah mengancam kedaulatan negara atau dignity of state. Untuk itu, dengan tetap berbasis pada pola pendekatan penegakan hukum, diperlukan peli-batan TNI dalam pemberantasan terorisme.

Dikatakan, kerja sama TNI dan Polri diperlukan karena terorisme tidak hanya kejahatan terhadap kema-nusiaan tetapi juga kejahatan terhadap negara. “Jadi semacam joint combat-ing to terrorism, adanya suatu kola-borasi pencegahan dan penindakan gerakan terorisme sebagai crimes against humanity dan crimes against state. Jadi tidak memelihara polemik kewenangan penanganan teror antara Polri dan TNI. Kalau penanganan korupsi sebagai extraordinary crimes kan juga ada kolaborasi Polri, Kejaksaan dan KPK,” paparnya.

Menurut Indriyanto, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tidak cukup hanya berdasar aturan yang tertuang dalam Pasal 7 UU 34/2004 tentang TNI. Menurut Indriyanto,

pelibatan TNI dan kolaborasinya dengan Polri dalam perang terhadap terorisme harus diatur dalam UU Antiterorisme yang tengah dibahas.

“Pelibatan itu harus ada pada UU Antiterorisme. Tidak bisa hanya pada UU TNI yang mengatur tupoksi sebagai UU Organik,” jelasnya.

Terkait dengan porsi tugas dan kewenangan TNI, Indriyanto menga-takan, hal itu merupakan teknis dalam tataran implementasi. Hal yang pen-ting, kerja sama TNI dan Polri dalam perang terhadap terorisme diperlukan karena sudah menyangkut kedaulatan negara.

“Yang penting, kalau sudah menyangkut kedaulatan negara itu harus ada joint combating to terrorism, TNI-Polri adalah satu dengan tidak menciptakan stigma problema kewe-nangan yang egosentris,” tegasnya.

Seizin PresidenSecara terpisah, pakar hukum

Frans Hendra Winarta menegaskan, terorisme saat ini secara nyata dan tak dapat ditawar lagi telah mengancam kedaulatan NKRI. Hal ini terlihat dari penyerangan milisi yang terafiliasi dengan ISIS di Marawi, Filipina, yang berbatasan dengan Indonesia. Dengan ancaman nyata ini, Frans menyatakan, diperlukan pelibatan TNI untuk men-jaga keutuhan NKRI.

“Ancaman terorisme nyata dan keutuhan wilayah RI harus diperta-hankan. Oleh karena itu peran TNI perlu, asalkan ada syarat persetujuan Presiden, karena tidak cukup dihadapi Polri selain kekuatan rakyat yang bersatu diperlukan masa kini,” kata Frans.

Dia menjelaskan, keterlibatan TNI dibutuhkan dalam pemberantasan terorisme atas seizin Presiden dengan melihat urgensinya. Menurutnya, pengalaman TNI sangat dibutuhkan dalam menghadapi bahaya terorisme. Hal ini terlihat dari kinerja TNI dalam menjaga keutuhan wilayah perbatas-an, seperti di Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Mindanao, Filipina.

“Situasi dan kondisi tetap harus dilihat, tetapi keadaan sekarang cukup kritis karena adanya ancam-an pecah belah NKRI dan itu sinkron dengan Sapta Marga TNI,” jelasnya.

Frans menyatakan, UU Antiterorisme saat ini sangat dibutuhkan untuk menangkal terorisme internasional. Dikatakan, hak asasi manusia tidak dapat dipertentangkan dengan hak negara untuk menangkal terorisme.

“Penegak hukum harus dibekali hak mencegah, menangkal, dan menindak aksi terorisme secara dini. Ada kepentingan bangsa dan negara yang sekarang dalam kea-daan gawat dan bahaya sebagai prioritas,” katanya.

Menurut Frans, pola pendekatan dalam pemberantasan terorisme saat ini tidak cukup hanya dengan meng-andalkan penegakan hukum. Lebih dari itu, pola pendekatan penanganan harus holistik dengan mencakup intelijen, pendekatan hankam, dan dukungan rakyat. Dengan pola pen-dekatan yang holistik ini, seluruh elemen masyarakat harus berperan total dalam memberantas terorisme.

“Benih-benihnya sudah lama bermunculan dan sekarang pemerin-tah dan negara harus konsekuen dan konsisten menghadapi bahaya teror-isme. Seperti yang saya sarankan pelatihan dan pendidikan Pancasila harus digencarkan menghadapi teror-isme dan upaya memecah belah NKRI. Kurikulum pendidikan nasional harus

dikaji ulang disesuaikan kebutuhan sekarang,” paparnya.

DeradikalisasiSementara itu, peneliti Pusat Studi

Keamanan dan Perdamaian UGM Muhammad Najib Azca menilai, isu penting lain dalam revisi UU Antiterorisme adalah program deradi-kalisasi yang masih belum utuh, sehingga tidak menunjukkan sinergitas.

Mengambil contoh pelaku bom Samarinda yang ternyata mantan narapidana kasus terorisme, Najib mengatakan, sebenarnya inti dari penanganan aksi teror, ada pada program deradikalisasi.

Sampai saat ini program deradi-kalisasi tidak memiliki kerangka kerja yang utuh. Berdasarkan sifatnya, terpidana kasus teror, tidak bisa disa-makan dengan pelaku kejahatan lainnya.

Terkait penanganan, menurutnya, Polri sudah menunjukkan kinerja yang baik dalam menangani aksi teror, tinggal bagaimana lembaga lain melanjutkan prosesnya, sehingga terpidana aksi teror benar-benar bisa dipulihkan. “Termasuk mendata mereka yang sudah keluar penjara dan terus memantaunya,” ujarnya. [F-5/152]

Terorisme Tak Sekadar Masalah Pidana

UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI)

A. Pasal 7 Ayat (1) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (1), diperinci hal-hal yang merupakan ancaman dan gangguan, yang salah satunya adalah: Aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh teroris internasional atau bekerja sama dengan teroris dalam negeri atau oleh teroris dalam negeri

B. Pasal 7 Ayat (2) Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. operasi militer untuk perangb. operasi militer selain perang, yaitu untuk: 1. mengatasi gerakan separatis bersenjata 2. mengatasi pemberontakan bersenjata 3. mengatasi aksi terorisme 4. mengamankan wilayah perbatasan 5. mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis 6. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri 7. mengamankan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya 8. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta 9. membantu tugas pemerintah di daerah 10. membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang 11. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia 12. membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan 13. membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue), serta 14. membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.

Peran TNI Terkait Ancaman Terorisme

Indriyanto Seno Adji Frans Hendra Winarta

AntArA

Aparat Polri dan TNI menggelar razia saat Operasi tinombala memburu kelompok teroris Santoso di Poso, Sulawesi tengah, tahun lalu.