repository.usd.ac.id · “ Lakukan lebih dari sekadar ada di dunia ini, hiduplah”. “Lakukan...
Transcript of repository.usd.ac.id · “ Lakukan lebih dari sekadar ada di dunia ini, hiduplah”. “Lakukan...
UJI SEKUENSIAL HIPOTESIS TUNGGAL PADA
DATA YANG BERDISTRIBUSI BINOMIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Oleh:
BANI ADI NUGROHO
023114023
PROGRAM STUDI MATEMATIKA
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
ii
iii
iv
“ Lakukan lebih dari sekadar ada di dunia ini, hiduplah”.
“Lakukan lebih dari sekadar menyentuh, rasakan”.
“Lakukan lebih dari sekadar melihat, perhatikan”.
“Lakukan lebih dari sekadar membaca, seraplah”.
“Lakukan lebih dari sekadar mendengar, simaklah”.
“Lakukan lebih dari sekadar berpikir, pikirkan dengan mendalam”.
“Lakukan lebih dari sekadar bicara, katakan sesuatu”.
( John H. Roades )
Skripsi ini kupersembahkan kepada
Allah Bapa di Surga dan Bunda Maria yang mahakasih,
Orang tuaku dan adek-adekku tercinta.
Almamterku tercinta Universitas Sanata Dharma
v
ABSTRAK
Uji sekuensial didesain sebagai alternatif uji dalam proses inferensi statistik bila dengan uji biasa dianggap kurang menguntungkan. Aturan dalam uji sekuensial dibuat sedemikian hingga meminimalkan ukuran sampel yang dibutuhkan dalam penelitian. Ada tiga keputusan yang bisa dibuat yaitu menolak hipotesis, menerima hipotesis, atau melanjutkan penelitian dengan mengambil sebuah pengamatan lagi. Proses pengujian berhenti bila terjadi keputusan menerima atau menolak hipotesis. Karena pengujian dilakukan langkah demi langkah sampai pengamatan ke-n dan banyaknya pengamatan tergantung hasil uji sekuensial pengamatan sebelumnya, maka banyaknya pengamatan adalah variabel random yang nilainya tidak dapat ditentukan sebelumnya.
vi
ABSTRACT
Sequential test is designed as an alternative test in statistic inference while in current test there is unprofitable. The rules in sequential test is given for making decisions at any stage of the experiment so it can minimize sample size which is needed in the experiment. There are three decision can be made, i.e., reject the hypothesa, accept the hypotesa, or continue the experiment by take one more observation again. Process will be terminate if one of the decision i.e. accept or reject the hypotesa is made. The test is done step by step until the n of observation, depends on the outcome of the last sequential test, theerefore the number of obsevation is not predetermined.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah Bapa di surga, karena berkat dan rahmat yang
telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menemui hambatan dan
kesulitan. Namun, berkat bantuan dan dukungan dari banyak pihak, akhirnya
skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ibu Enny Murwaningtyas, S.Si, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah meluangkan waktu, pikiran, serta sabar dalam membimbing penulis
selama penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Ir. Ig. Aris Dwiatmoko, M.Sc, selaku Dekan FMIPA dan dosen
pembimbing akademik yang selalu setia memberikan nasehat dan saran untuk
penulis.
3. Bapak Y.G. Hartono, M. Sc, selaku Ketua Program Studi Matematika yang
telah banyak membantu dan memberikan saran.
4. Bapak dan Ibu Dosen FMIPA yang telah memberikan bekal ilmu yang sangat
berguna bagi penulis.
5. Mas Tukijo, Ibu Linda, dan Ibu Suwarni yang telah memberikan pelayanan
administrasi selama penulis kuliah.
6. Perpustakaan USD dan staf yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan
kepada penulis.
7. Kedua orang tuaku tercinta, adekku (Gethuk dan Bulus) yang selalu
memberikan dukungan dalam segala hal.
viii
8. Teman-teman geng selebor yang ancur: Aan, Ijup, Taim, Galih, Marcoes, Tato
yang selalu memberikan warna dalam persahabatan Q-ta.
9. Teman-teman angkatan 2002: Ika, Vida, Pengky, Priska, Retno, Sari, Lily,
Lenta, Deby, Lia, Dani, Asih, Rita, Wuri, Aning, Feliks, Nunung, Desy, Deon,
Chea, Palem yang selalu kompak dalam melewati kebersamaan di Matematika.
10. Kost Kodok Ijo n’ Friends: Oky, Sumin, Gondronk, Didiet, Topan, Feliks,
Tepe, Rt, Doghox, Robert yang selalu ceria berbagi kebersamaan dan selalu
memberikan dukungan kepada penulis, serta Pak Harwani sekeluarga yang
tidak pernah cape’ menghadapi kenakalan dan keisengan penulis.
11. Kakak angkatan 1998-2001 dan Adek-adek angkatan 2003-2006 yang
memberikan warna kehidupan kepada penulis selama kuliah.
12. Mbak Indah yang memberikan nasehat dan mau membagi pengalamannya
dalam menulis skripsi.
13. Mas Kariyaman yang memberikan semangat dan berbagi pengalaman hidup.
14. Merry atas pinjaman buku-bukunya, Djembat atas dukungan dan semangat
yang diberikan, Katrin atas saran-sarannya, mehonk atas kekonyolannya.
15. Marwan dan keluarga yang selalu mendukung dalam segala hal.
16. Mr. Pow, Babi, Djaran, Bayu, Jacky, Trimbil, Djeruk, Senthot, Isaac, Khuri,
djarir, Ucup, Era, Tika, Mia, Vina atas persahabatan masa SMA yang masih
terjaga hingga sekarang.
17. Iyha’ yang selalu mendukung dan mendoakanku, Ary yang selalu memberi
semangat, dan Siti yang nun jauh disana, thanks atas semuanya.
ix
18. Teman-teman KKN XXXI kelompok 18: Udhik, Mbok Tien, Mbok Lemot,
Mbok Toyib, Mbok Mesum, Sigit, Eyang, Nat Nat, Linda.
Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
membantu penulis dalam penulisan skripsi ini yang tidak disebutkan disini.
Yogyakarta, April 2007
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA............................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ vi
ABSTRAK......................................................................................................... vii
ABSTRACT....................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR....................................................................................... x
DAFTAR ISI..................................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 3
C. Pembatasan Masalah............................................................................. 3
D. Tujuan Penulisan................................................................................... 4
E. Metode Penulisan.................................................................................. 4
F. Manfaat Penulisan................................................................................. 4
G. Sistematika Penulisan............................................................................ 4
BAB II. LANDASAN TEORI.......................................................................... 6
A. Variabel Random dan Distribusi Probabilitas....................................... 6
B. Distribusi Binomial............................................................................... 7
C. Populasi dan Sampel............................................................................. 8
xi
D. Distribusi Sampling.............................................................................. 9
E. Hipotesis Statistik................................................................................. 12
F. Uji Mengenai proporsi.......................................................................... 16
BAB III. UJI SEKUENSIAL UNTUK PROPORSI......................................... 19
A. Uji Hipotesis dan Statistik Uji.............................................................. 22
B. Kriteria Uji............................................................................................ 27
C. Hubungan Antara A,,βα , dan B ........................................................ 28
D. Penentuan Konstanta A dan B............................................................... 31
E. Fungsi Karakteristik Operasi................................................................ 42
F. Fungsi Rataan Ukuran Sampel............................................................. 59
BAB IV. APLIKASI UJI SEKUENSIAL UNTUK PROPORSI..................... 70
BAB V. PENUTUP.......................................................................................... 80
A. Kesimpulan........................................................................................... 80
B. Saran..................................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 82
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Inferensi statistik adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang membahas
tentang penarikan kesimpulan mengenai suatu populasi berdasarkan pengamatan
terhadap sampelnya. Saat ini begitu banyak bidang kehidupan yang
memanfaatkan proses inferensi statistik untuk pengambilan keputusan mengenai
permasalahan yang dihadapi. Misal dalam hal pengendalian mutu suatu produk.
Perusahaan berharap produk itu sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan,
maka harus dilakukan pengendalian mutu yang melibatkan proses dalam inferensi
statistik. Proses inferensi statistik di sini dibutuhkan dalam pengambilan
keputusan apakah produk yang dihasilkan layak atau tidak untuk dipasarkan dan
seberapa perlu meningkatkan faktor produksi (misal: mutu bahan baku, modal,
mesin produksi) agar produk sesuai dengan standar mutu yang diharapkan..
Salah satu metode dari inferensi statistik adalah analisis sekuensial. Analisis
sekuensial adalah salah satu prosedur analisis dengan banyak pengamatan yang
dilakukan tidak ditentukan sebelum penelitian dimulai. Prosedur analisis
dilakukan ketika pengamatan yang dikumpulkan sudah cukup untuk membuat
keputusan dengan tingkat resiko yang telah dipilih. Prosedur ini membutuhkan
sedikit pengamatan dan penggunaannya tidak akan meningkatkan resiko α dan β.
2
Untuk cara-cara pengujian hipotesis yang biasa, ukuran sampel yang
digunakan besarnya telah ditentukan terlebih dahulu. Penentuannya dapat
dilakukan berdasarkan besar resiko penolakan hipotesis yang seharusnya diterima
dan penerimaan hipotesis yang seharusnya ditolak. Dengan kata lain, berdasarkan
pada nilai-nilai α dan β yang mau diterima. Dalam kenyataannya, cara demikian
sering mengakibatkan ukuran sampel cukup besar sehingga ditinjau dari segi
biaya tidaklah ekonomis. Tentu saja hal ini tidak akan menjadikan persoalan
apabila harga bahan yang diteliti murah dan biaya untuk melakukan pengujian
tersebut tidak mahal, sehingga ukuran sampel yang minimum tidak menjadi
penting.
Kecuali alasan-alasan diatas, uji sekuensial sangat menguntungkan apabila:
1. Tiap obyek dapat diuji sendiri-sendiri.
2. Waktu reaksi perlakuan terhadap obyek cukup pendek.
3. Keadaan tidak mengijinkan untuk melakukan pengujian terhadap lebih dari
satu obyek sekaligus.
4. Tejadinya obyek atau kasus sangat jarang.
Ciri utama dari uji sekuensial yang membedakannya dari uji statistik biasa
adalah bahwa banyaknya pengamatan yang dibutuhkan dalam uji sekuensial ter-
gantung dari hasil pengamatan sebelumnya dan banyaknya pengamatan tidak
ditentukan sebelumnya. Jadi banyaknya pengamatan dalam uji sekuensial
merupakan variabel random. Metode yang akan kita tinjau disini hanyalah
mengenai uji sekuensial sehubungan dengan hipotesis parameter p.
3
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah bentuk hipotesis statistik untuk uji sekuensial?
2. Bagaimanakah cara menentukan daerah kritis untuk uji sekuensial?
3. Bagaimana penyusunan rencana samplingnya?
4. Seperti apakah bentuk fungsi karakteristik operasi untuk uji sekuensial?
5. Bagaimana rata-rata ukuran sampelnya?
C. Pembatasan Masalah
Dalam skripsi ini dibatasi oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Skripsi ini hanya akan membahas tentang uji sekuensial terutama uji
sekuensial untuk parameter tunggal. p
2. Teorema limit pusat tidak dibuktikan.
3. Nilai untuk nilai ( )pL 0=p yang berkaitan dengan +∞=h dan nilai 1=p
yang berkaitan dengan −∞=h hanya dijabarkan secara logis saja, tidak
secara matematis karena membutuhkan kalkulus yang lebih lanjut.
4. Rataan ukuran sampel pada persamaan (3.84) tidak dibuktikan karena
membutuhkan kalkulus yang lebih lanjut.
4
D. Tujuan Penulisan
Tujuan skripsi ini adalah untuk memperdalam pengetahuan tentang uji se-
kuensial dan memahami konsep-konsep dasar yang terdapat didalamnya.
E. Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan metode studi pustaka, yaitu dengan
menggunakan buku-buku, jurnal-jurnal, makalah-makalah yang telah dipublikasi-
kan, sehingga tidak ditemukan hal yang baru.
F. Manfaat Penulisan
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna untuk menambah wawasan
tentang uji sekuensial. Uji sekuensial ini memiliki keuntungan jika berada pada
kondisi tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif uji statistik ketika
dengan kondisi itu lebih menguntungkan untuk menggunakan metode ini.
G. Sistematika Penulisan
Bab I. Pendahuluan, pada bagian ini akan dibahas tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan skripsi ini.
5
Bab II. Landasan Teori , pada bagian ini akan dibahas tentang variabel
random dan distribusi probabilitas, distribusi binomial, populasi dan sampel,
distribusi sampling, uji hipotesis, dan uji mengenai proporsi.
Bab III. Uji Sekuensial untuk Proporsi, pada bagian ini akan dibahas
tentang uji hipotesis dan statistik uji sekuensial, kriteria uji sekuensial, hubungan
antara A,,βα dan B , penentuan konstanta A dan B, fungsi karakteristik operasi,
dan fungsi rataan ukuran sampelnya.
Bab IV. Aplikasi Uji Sekuensial untuk Proporsi, pada bagian ini akan
dibahas penyelesaian masalah tentang lapisan pelindung pada peluru.
Bab V. Penutup, berisi kesimpulan dan saran
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Variabel Random dan Distribusi Probabilitas
Variabel random, misal X adalah suatu fungsi yang didefinisikan pada ruang
sampel S yang memetakan setiap elemen Sa∈ ke suatu bilangan real. Variabel
random ini dinotasikan dengan:
( ) SaxaX ∈= ,
a 0 ú
dengan
( )aX = Variabel random
x = Nilai variabel random
Variabel random diskret adalah variabel random yang nilainya berhingga atau tak
berhingga terbilang.
Jika pada sebuah pengamatan probabilitas didaftarkan seluruh keluaran yang
mungkin dari variabel random diskret X , yaitu dan kemudian
didaftarkan pula nilai probabilitas yang berkaitan dengan keluaran tersebut, yaitu
, ,
nxxxx ,,,, 321 K
( )1xXP = ( )2xXP = ( )3xXP = ,...., ( )nxXP = maka telah dibentuk suatu
distribusi probabilitas diskret dari variabel X .
Pernyataan ( )xf disebut sebagai fungsi probabilitas dari variabel random X
dengan ( ) ( )xXPxf == . Terdapat dua hal yang harus dipenuhi , yaitu: ( )xf
7
1. Nilai-nilai dari suatu fungsi probabilitas adalah angka-angka yang berada
dalam interval antara 0 dan 1. Jadi nilai nilai fungsi yang mungkin akan selalu
berada dalam interval ( ) 10 ≤≤ xf
2. Jumlah seluruh nilai fungsi probabilitas adalah 1, sehingga ( )∑ =1xf
Jika X menyatakan suatu variabel random diskret yang dapat mengambil
nilai yang masing-masing mempunyai probabilitas
dengan
nxxxx ,,,, 321 K
( ) ( ) ( ) ( )nxfxfxfxf ,,,, 321 K ( ) ( ) ( ) ( ) 1,,, 321 =++++ nxfxfxfxf K , maka
nilai harapan dari X yang dinyatakan dengan ( )XE didefinisikan sebagai:
( ) ( )∑=
=n
iii xfxXE
1
B. Distribusi Binomial
Distribusi binomial adalah salah satu distribusi probabilitas diskret yang
paling sering digunakan dalam analisis statistik modern. Suatu distribusi binomial
dibentuk oleh suatu pengamatan binomial. Pengamatan ini merupakan kali
percobaan Bernoulli sehingga harus memenuhi kondisi:
n
1. Jumlah percobaan adalah konstanta yang telah ditentukan sebelumnya. n
2. Setiap pengulangan pengamatan yang biasa disebut percobaan, hanya dapat
menghasilkan satu dari dua keluaran yang mungkin, yaitu sukses atau gagal.
3. Probabilitas sukses dan probabilitas gagal adalah p pq −= 1 selalu konstan
dalam setiap percobaan.
4. Setiap percobaan saling bebas secara statistik, yang berarti keluaran suatu
percobaan tidak berpengaruh pada keluaran percobaan lainnya.
8
Dalam sebuah pengamatan binomial dengan kali percobaan, maka
probabilitas sukses adalah
n
p dan probabilitas gagal adalah pq −= 1 . Jika suatu
variabel random X menyatakan banyaknya sukses yang terjadi pada n percobaan
tersebut, maka dapat dibentuk suatu distribusi probabilitas dengan fungsi
probabilitasnya:
( ) xnxnxb qpCpnxP −=;; ;
dengan
• ; ; dan nx ,,3,2,1 K= K,3,2,1=n 10 ≤≤ p
• = kombinasi dari n objek pengamatan dengan setiap pemilihan
diambil
nxC
x objek.
C. Populasi dan Sampel
Analisis statistik dilakukan untuk mengambil kesimpulan tentang parameter
populasinya berdasarkan pengamatan terhadap sampel. Dengan demikian harus
diusahakan agar diperoleh sampel sedemikian sehingga merupakan gambaran dari
populasinya. Dalam berbagai penyelidikan yang dilakukan, sering dijumpai
populasi yang berbeda-beda keadaanya. Oleh karena itu, agar dapat memperoleh
sampel yang dapat memberikan gambaran yang tepat untuk masing-masing
populasinya, maka harus digunakan sampel yang berbeda-beda pula macamnya.
Salah satu macam sampel yang dianggap dapat menggambarkan keadaan dari
populasi yang tidak terlalu heterogen adalah sampel random. Sampel random
adalah sampel yang pengambilannya sedemikian hingga tiap elemen populasinya
mempunyai kemungkinan sama untuk terambil dalam sampel. Pengamatan dalam
9
sampel ini bersifat bebas satu dengan yang lain. Dengan demikian variabel
random akan merupakan sampel random berukuran n jika variabel-
variabel itu saling bebas dan berdistribusi probabilitas identik.
nXXX ,,, 21 K
Suatu sampel random berukuran n dari suatu populasi yang mempunyai
fungsi probabilitas adalah himpunan n variabel random bebas
yang masing-masing berdistribusi probabilitas
( )xf nXXX ,,, 21 K
( )xf .
Suatu harga yang dihitung dari suatu sampel dinamakan statistik. Karena
banyak sampel bisa diambil dari populasi yang sama, maka diharapkan bahwa
harga statistik yang dihitung dari masing-masing sampel itu akan berbeda-beda
satu dengan yang lain. Sehingga statistik adalah variabel random dan mempunyai
distribusi probabilitas.
D. Distribusi Sampling
Distribusi probabilitas suatu statistik dinamakan distribusi sampling harga
statistik. Deviasi standar distribusi sampling suatu statistik dinamakan kesalahan
standar statistik itu.
Pengertian mengenai distribusi sampling dapat dijelaskan dengan
menunjukkan bagaimana distribusi itu dibentuk. Misal ada populasi dengan N
elemen dan mempunyai mean μ , variansi , dan proporsi2σ p , maka dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Diambil sampel random dengan elemen . Selanjutnya dihitung
harga-harga statistik sampel ini, misal mean (diberi lambang
nXXX ,,, 21 K
1X ), variansi
10
(dilambangkan ), proporsi (dilambangkan dengan ) dan sebagainya.
Setelah itu elemen-elemen yang terambil dalam sampel ini dikembalikan lagi
ke dalam populasinya sehingga populasi itu tetap mempunyai N elemen.
21S p
2. Diambil lagi sampel random dengan n elemen, yang lain dengan sampel
random yang pertama tadi. Dua sampel dikatakan berbeda apabila minimal
ada satu elemen yang berbeda. Dari sampel kedua ini juga dihitung harga-
harga statistiknya. Kemudian elemen-elemen yang telah diambil dalam sampel
ini dikembalikan lagi ke dalam populasinya, sehingga populasi itu tetap
seperti semula.
3. Pekerjaan pengambilan sampel ini dan perhitungan harga-harga statistiknya
dilakukan terus menerus sampai semua sampel random berelemen n yang
berlainan satu dengan yang lain, yang mungkin dapat diambil dari populasi itu
telah dihabiskan. Elemen-elemen sampel (setelah dihitung harga-harga
statistiknya) dikembalikan ke dalam populasinya , sebelum sampel berikutnya
diambil. Oleh karena itu populasi itu tetap mempunyai N elemen setiap kali
sampel random baru diambil.
4. Harga-harga statistik sampel pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya ini
dikumpulkan. Himpunan-himpunan dari harga statistik ini dinamakan
distribusi sampling.
Jika harga –harga statistik ini adalah mean, maka distribusi samplingnya
dinamakan distribusi sampling mean, yaitu himpunan harga-harga
},,,{ 321 KXXX . Jika harga-harga statistik yang dihitung itu harga-harga
variansi, maka distribusi samplingnya dinamakan distribusi sampling variansi,
11
yaitu himpunan harga-harga . Jika harga-harga statistik yang
dihitung itu harga-harga proporsi, maka distribusi samplingnya dinamakan
distribusi sampling proporsi.
},,,{ 23
22
21 KSSS
Untuk distribusi sampling proporsi, jika dalam sebuah populasi berukuran N
yang didalamnya terdapat probabilitas sukses adalah p dan probabilitas gagalnya
adalah pq −= 1 , maka dari sampel random berukuran yang diambil dari
populasi itu terdapat nilai proporsinya. Distribusi proporsi-proporsi dari seluruh
sampel random berukuran n yang mungkin diambil dari populasi dapat dicari nilai
mean dan standar deviasinya sebagai berikut:
n
• Jika populasinya berhingga
pp =μ
1−−
=N
nNnpq
pσ
• Jika populasinya tak berhingga
pp =μ
npq
p =σ
dengan :
pμ = mean dari distribusi sampling proporsi
pσ = deviasi standar dari distribusi sampling proporsi
N = ukuran populasi
n = ukuran sampel
12
Distribusi sampling mempunyai sifat-sifat yang sangat penting terutama
dalam hubungannya dengan sampel dan populasi. Sifat-sifat ini sangat perlu untuk
diketahui karena peranan distribusi sampling dalam inferensi statistik.
Untuk ukuran sampel n cukup besar berlaku sifat bahwa jika populasi
berdistribusi binomial dengan parameter p , maka distribusi sampling proporsinya
mendekati distribusi normal. Hal ini dikenal sebagai teorema limit pusat.
E. Hipotesis Statistik
Pengujian hipotesis statistik merupakan bidang paling penting dalam
statistika inferensi. Hipotesis statistik sendiri adalah pernyataan atau dugaan
mengenai satu atau lebih populasi. Benar atau salahnya suatu hipotesis tidak akan
diketahui dengan pasti kecuali bila seluruh populasi diperiksa. Tentu saja, dalam
kebanyakan situasi hal itu tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, dapat
diambil suatu sampel random dari populasi tersebut. Informasi yang dikandung
dari sampel itu digunakan untuk memutuskan apakah hipotesis itu kemungkinan
besar benar atau salah. Bukti yang tidak konsisten dengan hipotesis yang
dinyatakan akan membawa pada penolakan hipotesis tersebut, sedangkan bukti
yang mendukung hipotesis akan membawa pada penerimaannya. Penerimaan
suatu hipotesis merupakan akibat tidak cukupnya bukti untuk menolaknya, tetapi
tidak berimplikasi bahwa hipotesis itu pasti benar. Hipotesis yang ingin diuji
kebenarannya dalam suatu penelitian dengan data kuantitatif pada umumnya
diletakkan sebagai hipotesis altenatif. Kata alternatif disini berarti menunjukkan
13
ada hipotesis yang lain yaitu hipotesis nol. Hipotesis alternatif dilambangkan
dengan dan hipotesis nol dilambangkan dengan . 1H 0H
Misal n menyatakan banyaknya pengamatan yang merupakan dasar
pengambilan keputusan (menolak hipotesis, menerima hipotesis). Setiap n-
pengamatan merupakan sampel berukuran n. Setiap prosedur pengujian adalah
suatu aturan untuk menolak hipotesis atau menerima hipotesis berdasarkan
sampel. Prosedur pengujiannya merupakan pemecahan semua sampel yang
mungkin menjadi dua bagian yang saling lepas, namakan daerah 1 dan daerah 2.
hipotesis ditolak apabila sampel berada di daerah 1 dan hipotesis diterima bila
sampel berada di daerah 2. Daerah 1 dinamakan daerah kritis. Karena daerah 2
berisi semua sampel yang tidak termasuk di daerah 1, maka daerah 2 diperoleh
dari daerah 1. Jadi, pemilihan prosedur pengujian setara dengan penentuan daerah
kritis.
Prosedur pengujian hipotesis dalam pengambilan keputusan dapat
membawa pada dua kesimpulan yang salah. Keputusan yang diambil untuk
menerima atau menolak suatu hipotesis mempunyai resiko kesalahan, yaitu :
• Kesalahan tipe I yaitu menolak sedangkan sebenarnya itu benar.
Probabilitas untuk melakukan kesalahan tipe I ini dilambangkan dengan
0H 0H
α .
• Kesalahan tipe II yaitu menerima sedangkan sebenarnya itu salah.
Probabilitas melakukan kesalahan tipe II ini dilambangkan dengan
0H 0H
β .
Untuk ukuran sampel yang tetap, penurunan probabilitas melakukan
kesalahan tipe I akan selalu diikuti dengan membesarnya probabilitas melakukan
kesalahan tipe II, demikian pula sebaliknya. Probabilitas melakukan kedua tipe
14
kesalahan tersebut dapat diperkecil secara bersama-sama dengan memperbesar
ukuran sampel. Dengan kata lain α dan β dapat diperkecil secara bersama-sama
dengan cara memperbesar ukuran sampelnya.
Suatu uji hipotesis statistik yang alternatifnya bersifat satu arah seperti
,: 00 θθ =H
01 : θθ >H .
Atau
,: 00 θθ =H
01 : θθ <H .
disebut uji satu arah. Wilayah kritis bagi hipotesis 0θθ > teletak seluruhnya di
bagian kanan. Sedangkan wilayah kritis bagi hipotesis alternatif 0θθ < terletak
seluruhnya di bagian kiri. Dalam pengertian ini, tanda ketaksamaan menunjuk ke
wilayah kritisnya.
Uji hipotesis yang alternatifnya bersifat dua arah, yaitu :
,: 00 θθ =H
01 : θθ ≠H .
disebut uji dua arah, karena wilayah kritisnya dibagi menjadi dua bagian yang
ditempatkan di masing-masing ekor distribusi statistiknya. Hipotesis alternatif
0θθ ≠ menyatakan bahwa 0θθ < atau 0θθ > .
Hipotesis nol, , akan selalu dituliskan dengan tanda kesamaan sehingga
menspesifikasi suatu nilai tunggal. Dengan cara demikian, probabilitas melakukan
kesalahan tipe I dapat dikendalikan. Apakah akan digunakan uji satu arah atau dua
0H
15
arah bergantung pada kesimpulan yang akan ditarik bila ditolak. Lokasi
wilayah kritisnya dapat ditentukan hanya setelah hipotesis alternatif
dinyatakan.
0H
1H
Misal dalam pengujian suatu obat baru, dapat dibuat hipotesis bahwa obat
baru itu tidak lebih baik daripada obat-obat serupa yang beredar di pasaran. Diuji
melawan hipotesis alternatif bahwa obat baru tersebut lebih unggul. Hipotesis
alternatif yang demikian ini selalu menghasilkan uji satu arah dengan wilayah
kritisnya di ekor sebelah kanan. Tetapi bila membandingkan suatu teknik
mengajar yang baru dengan teknik mengajar yang biasa, maka hipotesis
alternatifnya harus memungkinkan bahwa teknik mengajar yang baru tersebut
bersifat lebih baik atau lebih buruk daripada teknik mengajar yang biasa. Dengan
demikian uji itu bersifat dua arah dengan wilayah kritisnya dibagi dua sama besar
di ekor sebelah kiri dan kanan.
Dalam pengujian hipotesis yang statistik ujinya bersifat diskret, wilayah
kritisnya dapat ditentukan. Bila α terlalu besar dapat diperbesar ukuran
sampelnya untuk mengimbangi membesarnya β . Dalam uji hipotesis yang
statistik ujinya bersifat kontinu, biasanya nilai α ditentukan lebih dahulu, baru
kemudian menentukan wilayah kritisnya.
Langkah-langkah pengujian hipotesis mengenai parameter populasi θ lawan
suatu hipotesis alternatif dapat dituliskan sebagai berikut :
1. Dari data yang dimiliki dan pernyataan-pernyataan ( hipotesis ) yang
dipelajari, diidentifikasi model probabilitas yang cocok, dan menterjemahkan
16
tiap-tiap pernyataan dalam bentuk rentang harga-harga parameter θ model
probabilitas itu.
2. - Nyatakan hipotesis nolnya bahwa 00 : θθ =H .
- Pilih hipotesis alternatif yang sesuai, 01 : θθ ≠H , 01 : θθ <H ,
atau 01 : θθ >H .
3. Tentukan taraf nyata ujinya (α ).
4. Pilih statistik uji yang sesuai dan kemudian tentukan wilayah kritisnya.
5. Hitung nilai statistik uji berdasarkan data sampel.
6. Keputusan : tolak bila nilai statistik uji tersebut jatuh dalam wilayah
kritisnya, sedang bila jatuh di luar wilayah kritisnya diterima.
0H
0H
F. Uji Mengenai Proporsi
Uji hipotesis mengenai proporsi diperlukan di banyak bidang. Pengujian
hipotesis bahwa proporsi keberhasilan dalam suatu percobaan binom sama dengan
suatu nilai tertentu. Hal ini berarti bahwa akan diuji hipotesis : dengan
p adalah parameter distribusi binomial. Hipotesis alternatifnya dapat yang bersifat
satu sisi maupun yang dua sisi.
0H 0pp =
Statistik yang akan digunakan sebagai landasan kriteria pengambilan
keputusan adalah variabel random binom X, meski dapat digunakan statistik
nXP =ˆ sama baiknya. Nilai-nilai X yang jauh dari nilai tengah 0np=μ akan
membawa pada penolakan hipotesis nol. Untuk menguji hipotesis
00 : ppH =
17
01 : ppH <
Wilayah kritis berukuran α diberikan oleh
'αkx ≤
Sedang adalah bilangan bulat terbesar yang bersifat 'αk
αα
α ≤==≤ ∑=
'
000
' );;()(k
xpnxbppbilakXP
Begitu pula untuk menguji hipotesis
00 : ppH =
01 : ppH >
Wilayah kritis yang berukuran α diberikan oleh
αkx ≥
Sedang dalam hal ini adalah bilangan bulat terkecil yang bersifat αk
αα
α ≤==≥ ∑=
n
kx
pnxbppbilakxP );;()( 00
Dan yang terakhir untuk menguji hipotesis
00 : ppH =
01 : ppH ≠
Wilayah kritis sebesar α diberikan oleh
'2
αkx ≤ dan 2
αkx ≥
Karena X merupakan variabel random binom yang bersifat diskret maka
ukuran wilayah kritis harus ditentukan sedemikian sehingga sangat dekat tanpa
melampauinya.
18
Langkah-langkah pengujian proporsi dapat dituliskan sebagai berikut :
1. 00 : ppH =
2. alternatifnya adalah :1H 0pp < , , atau 0pp > 0pp ≠
3. Tentukan taraf nyata α
4. Wilayah kritis
'αkx ≤ , bila hipotesis alternatifnya 0pp <
αkx ≤ , bila hipotesis alternatifnya 0pp >
'2
αkx ≤ dan 2
αkx ≥ , bila hipotesis alternatifnya 0pp ≠
5. Perhitungan : hitunglah x yaitu banyaknya keberhasilan
6. Keputusan : Tolak bila x jatuh dalam wilayah kritis ; bila tidak demikian
terima .
0H
0H
BAB III
UJI SEKUENSIAL UNTUK PROPORSI
Dalam uji hipotesis biasa, banyaknya pengamatan yaitu ukuran sampel,
diperlakukan sebagai konstanta. Jadi dalam hal ini bisa ditentukan berapa
besarnya ukuran sampel yang akan diteliti sebagai dasar pengambilan keputusan.
Uji sekuensial mempunyai ciri khusus yang membedakannya dari uji biasa,
yaitu banyaknya pengamatan yang diperlukan tergantung dari hasil uji terhadap
pengamatan sebelumnya. Misalnya ingin diamati sebuah populasi di suatu tempat.
Diambil sampel pertama, kemudian diproses dengan aturan dalam uji sekuensial.
Keputusan apakah akan menambah pengamatan dengan sampel kedua ditentukan
oleh hasil proses uji sekuensial tehadap pengamatan pertama tadi. Proses
penambahan sampel pengamatan ini akan berlanjut sampai diperoleh keputusan
yang sesuai dengan aturan dalam uji sekuensial. Jadi berdasar dari ciri tersebut,
maka mengakibatkan besarnya sampel untuk pengamatan tidak dapat ditentukan
sebelumnya, sehingga merupakan variabel random.
Metode sekuensial untuk menguji hipotesis mempunyai beberapa aturan.
Pertama lakukan pengamatan tehadap objek penelitian, kemudian diproses
berdasarkan aturan dalam uji sekuensial yaitu:
0H
1. Menerima 0H
2. Menolak 0H
3. Melanjutkan percobaan dengan menambah satu pengamatan lagi.
20
Keputusan yang diambil berdasarkan pada hasil uji sekuensial pengamatan
ke- . Jika keputusan (1) atau keputusan (2) diperoleh maka proses
berakhir. Jika keputusan (3) yang diperoleh maka harus dilakukan pengamatan
yang kedua. Selanjutnya setelah dilakukan pengamatan yang kedua, diproses lagi
untuk memperoleh satu dari tiga keputusan yang ada. Jika kembali diperoleh
keputusan (3), maka harus dilakukan lagi pengamatan yang ketiga. Proses ini akan
berlanjut terus sampai diperoleh keputusan (1) atau (2). Hal ini menyebabkan
banyaknya n pengamatan tergantung dari hasil uji sekuensial terhadap
pengamatan sebelumnya,.
m ( K,3,2,1=m )
)
Untuk setiap bilangan bulat , dimisalkan adalah kumpulan semua
sampel berukuran m yang mungkin. Sampel dinotasikan ( ) .
Himpunan dapat dipandang sebagai ruang berdimensi m dengan setiap
sampel merupakan satu vektor di . Aturan dalam pengambilan
keputusan untuk setiap tahap pengambilan keputusan dapat dipandang sebagai
pemecahan ruang menjadi tiga bagian yang saling lepas, yaitu: dan
dengan . Lakukan pengamatan pertama . Hipotesis
diterima bila , ditolak bila , lanjutkan dengan pengamatan
kedua bila . Hipotesis diterima atau ditolak atau lanjutkan dengan
pengamatan ketiga bila di atau . Jika
m mM
m mxxx ,....., 21
mM
( mxxx ,....., 21 mM
mM ,, 10mm RR
mR mmmm MRRR =∪∪ 101x
0H 011 Rx ∈ 1
11 Rx ∈
2x 11 Rx ∈ 0H
( )21, xx ,, 12
02 RR 2R ( )21, xx di maka
lanjutkan dengan pengamatan ketiga. Proses lagi apakah
2R
( )321 ,, xxx berada di
, atau , demikian seterusnya sampai diperoleh keputusan (1) atau 13
03 , RR 3R
21
keputusan (2). Jadi uji sekuensial ditentukan oleh dengan
Himpunan saling lepas dan gabungannya merupakan ruang sampel
, maka cukup didefinisikan dua dari tiga himpunan dan .
,, 10mm RR mR K,3,2,1=m
,, 10mm RR mR
mM ,, 10mm RR mR
Sampel ( )mxxx ,....., 21 kita sebut tidak efektif jika dalam sampel tersebut
memuat sampel ( ) dengan '21 ,.....,, mxxx mm <' , sehingga sampel ( )
berada di atau . Suatu sampel yang bukan sampel tak efektif dinamakan
sampel efektif. Pada uji sekuensial selalu diperoleh sampel efektif untuk setiap
tahap percobaan. Jadi dalam mendefinisikan himpunan dan bisa
diabaikan adanya sampel yang tidak efektif. Jika sampel tak efektif tidak pernah
terjadi selama proses sekuensial, cukup untuk mendefinisikan letak setiap sampel
efektif harus berada di salah satu dari atau ,
'21 ,.....,, mxxx
0'mR 1
'mR
,, 10mm RR mR
( mxxx ,....., 21 ) ,, 10mm RR mR
Contoh 3.1
Misalkan satu partai barang diajukan untuk menjalani pemeriksaan. Tiap unit
dikelompokkan atas rusak atau tak rusak. Proporsi rusak tidak diketahui. Partai
diterima bila dengan ' suatu bilangan diketahui. Bila , partai
barang ditolak. Jadi diuji hipotesis : '
p
'pp ≤ p 'pp >
0H pp ≤ . Prosedur pengujian
merupakan suatu contoh uji sekuensial. Misal suatu bilangan bulat. Jika
unit pertama yang diperiksa ternyata tidak ada yang rusak, pemeriksaan barang
dihentikan dan partai diterima. Jika untuk suatu nilai
0H
0n 0n
0nm ≤ , unit ke- ternyata
rusak, maka partai ditolak dan pemeriksaan tidak dilanjutkan. Misal unit-unit
m
22
rusak diberi nilai 1 dan unit tak rusak diberi nilai 0. Sampel ( )mxxx ,....., 21 efektif
jika dan hanya jika , dan 0nm ≤ 011 === −mxx K . Penerimaan tidak mungkin
dilakukan untuk , dengan kata lain memuat sampel tak efektif untuk
. hanya mengandung satu sampel efektif yaitu . Untuk
sebarang , memuat tepat satu sampel efektif, yaitu
0nm < 0mR
0nm <0nR ( 0,,0,0 K )
0nm ≤ 1mR ( )1,0,,0,0 K .
Himpunan dan ,, 10mm RR mR ( )K,3,2,1=m yang didefinisikan dengan uji
sekuensial dapat dipilih dengan berbagai cara dan masalah dasar dalam teori uji
sekuensial adalah pemilihan yang layak terhadap himpunan ini.
A. Uji Hipotesis dan Statistik Uji
Dalam rencana sampling yang didasarkan atas pemeriksaan dari suatu partai
barang dapat membawa pada keputusan yang salah. Keputusan yang salah itu
terjadi jika ' partai barang ditolak, dengan '
batas toleransi proporsi rusak yang ditentukan dan parameter proporsi rusak
yang tidak diketahui. Demikian juga sebaliknya jika proporsi parameter yang
tidak diketahui lebih besar dari ' tetapi partai barang diterima. Keputusan yang
salah ini dapat dituliskan sebagai :
dengansamaatau dari kurang pp p
p
p
p
Menolak ':0 ppH ≤ yang benar dan
Menerima ' yang salah. :1 ppH >
23
Contoh 3.2
Misal ditentukan bahwa proporsi rusak unit barang yang masih bisa ditoleransi
adalah 0,2; sehingga nilai 2,0'=p . Setelah dilakukan pengamatan ternyata
diperoleh bahwa nilai parameter 1,0=p , maka diperoleh kesimpulan .
Berdasar atas kesimpulan tadi, maka keputusan yang salah akan terjadi jika
ditolak dan diterima.
'pp <
0H
1H
Tentunya tidak diharapkan bahwa proporsi rusak barang melebihi ketentuan yang
telah ditetapkan.
Seringkali pemeriksaan terhadap tiap unit barang merupakan hal tidak
mungkin dengan alasan barang akan menjadi rusak, biaya terlalu tinggi, dan
waktu yang dibutuhkan cukup lama. Oleh karena itu dengan kondisi seperti ini
resiko untuk membuat keputusan yang salah masih dapat ditolerir asal tidak
melebihi batas yang telah ditetapkan. Untuk merancang sampling yang baik, perlu
ditetapkan resiko maksimum dalam membuat keputusan yang salah agar masih
dapat ditolerir.
Berdasar pada teori uji sekuensial, jika 'pp = adalah mutu partai barang
yang diperiksa berada di batas maka keputusan tidak dapat diambil. Untuk
, kecenderungan untuk menolak partai lebih besar dan pilihan ini akan
meningkat dengan bertambahnya nilai p. Untuk
'pp >
'pp < , kecenderungan untuk
menerima partai lebih besar dan pilihan ini akan meningkat seiring dengan
menurunnya nilai p.
24
Jika p tidak terlalu jauh diatas , keputusan untuk menerima partai
merupakan kesalahan yang dapat diabaikan. Demikian juga jika p tidak terlalu
jauh dibawah ' , kesalahan menolak partai bukan merupakan kesalahan yang
serius. Sehingga secara tidak langsung terdapat dua bilangan yang menjadi batas
kesalahan maksimum. Bilangan itu dinotasikan dengan dan sehingga
diperoleh
'p
p
1p 0p
'0 pp < sebagai toleransi bawah dan
'1 pp > sebagai toleransi atas.
Penerimaan partai dianggap sebagai keputusan yang salah jika dan
penolakan barang dianggap sebagai keputusan yang salah jika . Jika
tidak terlalu peduli keputusan mana yang dibuat.
1pp ≥
0pp ≤
10 ppp <<
Setelah dan dipilih, resiko dalam membuat keputusan yang salah dan
masih dapat ditolerir dapat dirumuskan dengan probabilitas menolak partai jika
tidak melebihi
0p 1p
0pp ≤ α . Demikian pula probabilitas untuk menerima partai jika
tidak melebihi 1pp ≥ β .
Jadi resiko yang masih dapat ditolerir dikenali dengan empat bilangan yaitu :
α,, 10 pp dan β . Pemilihan α,, 10 pp dan β bukan merupakan masalah
statistika, melainkan dipilih berdasar alasan praktis. Setelah keempat bilangan
dipilih dapat ditentukan suatu rencana sampling.
Suatu rencana sampling yang memenuhi syarat bahwa probabilitas menolak
partai bila 0pp ≤ tidak melebihi α dan probabilitas menolak partai bila 1pp ≥
25
tidak melebihi β diberikan oleh uji sekuensial dengan kekuatan ( )βα , untuk
menguji melawan 0pp = 1pp = . Sehingga dengan kata lain hipotesis pada uji
sekuensial dengan kekuatan ( )βα , dapat dituliskan sebagai berikut:
00 : ppH = , melawan
11 : ppH =
Misal menyatakan hasil pemeriksaan unit ke-i. Jika unit yang diperiksa
ternyata rusak maka nilai
iX
1=iX . Misal nilai-nilai ini dimasukkan dalam
kategori I. Banyaknya pengamatan yang masuk dalam kategori I dilambangkan
dengan . Demikian juga jika unit yang diperiksa ternyata tidak rusak maka nilai
. Nilai-nilai yang tidak rusak ini dimasukkan dalam pengamatan yang
bukan termasuk kategori I. Banyaknya pengamatan yang bukan termasuk kategori
I dilambangkan dengan . Sehingga jika pengamatan yang dilakukan sebanyak n
maka nilai
iX
1n
0=iX iX
2n
21 nnn += .
Statistik uji sekuensial adalah sebagai berikut:
( ) ( ) ( ) ( )( ) ( ) ( ) ( )
),(),(),(),(),(),(),(),(
0030201
1131211
0302010
1312111
pXfpXfpXfpXfpXfpXfpXfpXf
XfXfXfXfXfXfXfXf
S
n
n
n
nn
K
K
K
K
=
=
(3.1)
dengan
• statistik uji sekuensial =nS
• 11 untukpeluangfungsi)( ppXf i ==
• 000 untukpeluangfungsi)( ppXf ==
26
• n = banyak pengamatan yang dilakukan (sifatnya variabel) satu demi satu
sampai langkah ke-n.
Persamaan (3.1) bila ditulis dalam bentuk logaritma menjadi:
n
n
nn
zzzz
pXfpXf
pXfpXf
pXfpXf
pXfpXf
S
++++=
++++=
K
K
321
0
1
03
13
02
12
01
11
),(),(
ln),(),(
ln),(),(
ln),(),(
lnln
(3.2)
dengan
),(),(
ln0
1
pXfpXf
zi
ii = , dan i = 1,2,...,n (3.3)
Karena variabel random disini hanya mempunyai dua nilai yaitu 0 dan 1,
maka probabilitas bahwa
iX
1=iX sama dengan p . Hal ini dapat ditulis dengan
, dengan p merupakan parameter yang tidak diketahuii. Fungsi
probabilitas dari diberikan oleh dengan
pXP i == )1(
iX ),( pXf i
ppf =),1( dan
ppf −= 1),0( . (3.4)
sehingga persamaan 3.3 dapat ditulis sebagai berikut
1bila,ln0
1 =iXpp
==),(),(
ln0
1
pXfpXf
zi
ii
0bila,11ln
0
1 =−−
iXpp (3.5)
27
jadi
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
++++=
2
12
0
11
321
11lnln
ln
ppn
ppn
zzzzS nn K
(3.6)
Dengan menyatakan banyaknya kejadian 1n 1=iX dan menyatakan banyaknya
kejadian
2n
0=iX , dan 21 nnn += .
B. Kriteria Uji
Dalam prosedur uji sekuensial untuk menguji melawan didefinisikan
sebagai berikut:
0H 1H
1. Dipilih dua konstanta positif A dan B dengan AB < . Pada tiap tahap
percobaan ( percobaan ke-n ), dihitung probabilitas n
nn p
pS
0
1= , dengan:
( ) ( ) ( )112111 ,,,, pXfpXfpXfp nn K= bila benar dan 1H
( ) ( ) ( )002010 ,,,, pXfpXfpXfp nn K= bila benar. 0H
2. jika
BSn ≤ (3.7)
proses berhenti dengan keputusan menerima . 0H
Jika
ASn ≥ (3.8)
proses berhenti dengan keputusan menolak . 0H
28
Jika
ASB n << (3.9)
pengamatan dilanjutkan dengan mengambil pengamatan tambahan.
Konstanta A dan B ditentukan sedemikian hingga α dan β mempunyai suatu nilai
tertentu.
Dari persamaan (3.6) dan (3.7), hipotesis diterima bila: 0H
BSn lnln ≤
Bppn
ppn ln
11lnln
0
12
0
11 ≤⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ (3.10)
Dari persamaan (3.6) dan (3.8), hipotesis ditolak bila: 0H
ASn lnln ≥
Appn
ppn ln
11lnln
0
12
0
11 ≥⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ (3.11)
Dari persamaan (3.6) dan (3.9), pengamatan dilanjutkan dengan mengambil
pengamatan tambahan bila:
ASB n lnlnln <<
Appn
ppnB ln
11lnlnln
0
12
0
11 <⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛< (3.12)
C. Hubungan antara ,,, Aβα dan B
Sampel merupakan sampel tipe 0 bila ( nXXX ,,, 21 K )
App
Bm
m <<0
1 untuk 1,,2,1 −= nm K
29
dan Bpp
n
n ≤0
1
sampel ( dikatakan sampel tipe 1 bila )nXXX ,,, 21 K
App
Bm
m <<0
1 untuk 1,,2,1 −= nm K
dan App
n
n ≥0
1
Sampel tipe 0 akan membawa pada penerimaan dan sampel tipe 1 akan
membawa pada penolakan .
0H
0H
Untuk suatu sampel tipe 1, probabilitas untuk memperoleh sampel tersebut
sekurang-kurangnya A kali lebih besar dibawah dibandingkan dengan .
Nilai probabilitas bahwa proses sekuensial akan berakhir dengan penolakan
adalah
1H 0H
0H
α bila benar dan 0H β−1 bila benar. Jadi diperoleh: 1H
αβ A≥−1
atau dapat ditulis
αβ−
≤1A (3.13)
jadi αβ−1 merupakan limit atas untuk A.
Limit bawah untuk B dapat diperoleh dengan cara yang sama. Dalam
kenyataannya, untuk sebarang sampel ( )nXXX ,,, 21 K tipe 0 maka probabilitas
memperoleh sampel dibawah paling banyak B kali probabilitas memperoleh 1H
30
sampel tipe 0 ketika benar. Karena probabilitas dari penerimaan adalah 0H 0H
α−1 ketika benar dan 0H β ketika benar, maka diperoleh persamaan: 1H
B)1( αβ −≤
atau dapat ditulis
αβ−
≥1
B (3.14)
jadi α
β−1
merupakan limit bawah untuk B.
Pertidaksamaan-pertidaksamaan (3.13) dan (3.14) juga dapat ditulis
A1
1≤
− βα (3.15)
dan
B≤−αβ
1 (3.16)
dari pertidaksamaan (3.15) dan (3.16) dapat diturunkan limit atas untukα danβ
sebagai fungsi A atau B.
A1lim
1lim
00 →→≤
− ββ βα
A1
≤α (3.17)
dan
B00
lim1
lim→→
≤− αα αβ
B≤β (3.18)
31
Kumpulan ( )βα , yang memenuhi pertidaksamaan (3.17) dan (3.18) dapat
dapat dinyatakan dalam suatu grafik pada Gambar 3.1. Setiap pasang ( )βα , dapat
dinyatakan sebagai titik pada bidang datar dengan absisα dan ordinatβ .
Garis βα −=1:1 AL memotong sumbu datar pada A1
=α dan sumbu tegak
1=β . Garis )1(:2 αβ −= BL memotong sumbu datar pada 1=α dan sumbu
tegak B=β .
β
α1
1
B
A1
Gambar 3.1
D. Penentuan Konstanta A dan B
Misal diinginkan mendapatkan prosedur pengujian dengan kekuatan ( )βα , .
Permasalahan terjadi saat menentukan A dan B sehingga prosedur pengujian
mempunyai kekuatan ( )βα , . Misalkan ( )βα ,A dan ( )βα ,B merupakan nilai A
32
dan B untuk pengujian dengan kekuatan ( )βα , , sehingga pertidaksamaan (3.13)
dan (3.14) dapat ditulis sebagai berikut:
αββα −
≤1),(A (3.19)
( )α
ββα−
≥1
,B (3.20)
Dengan mengambil ( ) ),(1 βααβ a=
− dan ),()1( βααβ b=− , maka harus
diperiksa akibat-akibat dari penentuan A dan B. Dari pertidaksamaan (3.19) dan
(3.20) diperoleh bahwa nilai ),( βαa yang dipilih lebih besar atau sama dengan
nilai ),( βαA dan nilai ),( βαb yang dipilih lebih kecil atau sama dengan
),( βαB . Dengan mensubtitusikan ),( βαaA = sebagai pengganti ),( βαA dan
),( βαbB = sebagai pengganti ),( βαB , secara umum akan merubah probabilitas
kesalahan tipe I dan kesalahan tipe II. Jika A sama dengan sebuah nilai yang lebih
besar dari ),( βαA dan jika B sama dengan ),( βαB , maka probabilitas kesalahan
tipe I akan lebih kecil daripada α , tetapi probabilitas kesalahan tipe II akan
sedikit lebih besar daripada β . Demikian pula jika dipilih ),( βαA untuk A, tetapi
nilai B berada dibawah nilai ),( βαB , maka probabilitas kesalahan tipe I akan
lebih kecil daripada β dan probabilitas kesalahan tipe II akan sedikit lebih besar
dari α . Jika nilai A yang digunakan lebih besar nilai ),( βαA dan nilai B yang
digunakan lebih kecil dari nilai ),( βαB . Hal ini tidak terlalu berpengaruh
terhadap probabilitas kesalahan tipe I dan kesalahan tipe II. Sehingga dari
pertidaksamaan (3.15) dan (3.16) diperoleh:
33
βα
βαβα
−=≤
− 1),(1
'1'
a (3.21)
dari pertidaksamaan (3.18) dan (3.20) diperoleh:
αββα
αβ
−=≤
− 1),(
'1' b (3.22)
dengan 'α dan 'β kesalahan tipe I dan kesalahan tipe II batas ( )βα ,aA = dan
),( βαbB = .
Dari pertidaksamaan (3.21) dan (3.22) diperoleh :
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−
≤⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛− →→ β
αβ
αββ 1lim
'1'lim
0'0'
βαα−
≤1
' (3.23)
dan
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
≤⎟⎠⎞
⎜⎝⎛− →→ α
βα
βαα 1lim
1'lim
0'0'
αββ−
≤1
' (3.24)
Dengan mengalikan pertidaksamaan (3.21) dengan ( )β−1 ( '1 )β− maka
diperoleh:
( )( ) ( )( '111
1'1'1
' βββ
)αβββ
α−−
−≤−−⋅
−
( ) ( )'11' βαβα −≤−
''' αβαβαα −≤−
0''' ≤−+− ααββαα (3.25)
34
demikian juga dengan mengalikan pertidaksamaan (3.22) dengan
( )α−1 ( '1 )α− maka diperoleh:
( )( ) ( )( '111
1'1'1
' ααα
)βααα
β−−
−≤−−
−
( ) ( )'11' αβαβ −≤−
βαβαββ ''' −≤−
0''' ≤−+− ββααββ (3.26)
Dengan menjumlahkan pertidaksamaan (3.25) dan (3.26) maka diperoleh
pertidaksamaan:
0''' ≤−+− ααββαα
0''' ≤−+− ββααββ +
0'' ≤−−+ βαβα
βαβα +≤+ '' (3.27)
Dalam kenyataan, nilaiα dan β terletak antara 0,01 dan 0,05. Jadi, ( ) αβ
α≅
−1
dan βαβ
≅− )1(
. Hal ini berarti bahwa kenaikan 'α terhadap α atau 'β terhadapβ
dapat diabaikan.
Setelah penentuan nilai A dan B dilakukan, maka dari pertidaksamaan
(3.10) dan (3.14) diperoleh pertidaksamaan kriteria uji untuk menerima yaitu: 0H
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
≤⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛αβ
1ln
11lnln
0
12
0
11 p
pnppn (3.28)
35
Dari pertidaksamaan (3.11) dan (3.13), maka kriteria uji untuk menolak
adalah: 0H
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
≥⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛αβ1ln
11lnln
0
12
0
11 p
pnppn (3.29)
Dari persamaan (3.12) , (3.13) dan (3.14), maka diperoleh pertidaksamaan kriteria
uji untuk menambah dengan satu pengmatan lagi yaitu:
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
<⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛<⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛ −
αβ
αβ
1ln
11lnln1ln
0
12
0
11 p
pnppn (3.30)
Nilai-nilai batas untuk kriteria uji dapat dihitung dari:
⎪⎪⎪
⎭
⎪⎪⎪
⎬
⎫
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
αβ
αβ
1ln11
lnln
1ln
11
lnln
0
12
0
11
0
12
0
11
pp
npp
n
pp
npp
n
(3.31)
Karena = banyak barang yang rusak diantara n barang yang diambil dan
, maka bagian pertama sistem persamaan (3.31) menjadi:
1n
12 nnn −=
( ) ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛αβ
1ln
11lnln
0
11
0
11 p
pnnppn
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛αβ
1ln
11ln
11lnln
0
11
0
1
0
11 p
pnppn
ppn
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛α
β1
ln11
ln11
logln0
1
0
1
0
11 p
pn
pp
pp
n
36
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−=
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
11lnln
1ln
11lnln
11
ln
pp
pp
pp
pp
pp
nn αβ
(3.32)
Persamaan (3.32) disebut garis batas atas penerimaan dan dinotasikan dengan
. Jika sumbu mendatarnya adalah n dan sumbu tegaknya adalah , maka dari
persamaan (3.32) diperoleh kemiringan garis adalah:
0H
1g 1n
1g
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
=
0
1
0
1
0
1
11
logln
11ln
pp
pp
pp
t (3.33)
Untuk 12 nnn −= ,bagian kedua sistem persamaan (3.31) menjadi:
( ) ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛αβ1ln
11lnln
0
11
0
11 p
pnnppn
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛αβ1ln
11ln
11lnln
0
11
0
1
0
11 p
pnppn
ppn
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛αβ1ln
11ln
11lnln
0
1
0
1
0
11 p
pnpp
ppn
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
11lnln
1ln
11lnln
11
ln
pp
pp
pp
pp
pp
nn αβ
(3.34)
Persamaan (3.34) disebut garis batas bawah penolakan dan dinotasikan
dengan . Kemiringan garis ini adalah:
0H
2g 2g
37
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
=
0
1
0
1
0
1
11
lnln
11
ln
pp
pp
pp
u (3.35)
Dari persamaan (3.33) dan (3.35) diperoleh kesimpulan bahwa garis dan
mempunyai kemiringan garis yang sama dan dinotasikan dengan lambang s dan
.
1g 2g
uts ==
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
=
0
1
0
1
0
1
11lnln
11
ln
pp
pp
pp
s (3.36)
Dari persamaan (3.32) diperoleh titik potong dengan sumbu tegak sebagai
berikut:
1n
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−=
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⋅+
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
11logln
1ln
11logln
11
ln0
pp
pp
pp
pp
pp
h αβ
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−=
0
1
0
10
11
lnln
1ln
pp
pp
h αβ
(3.37)
Dari persamaan (3.34) diperoleh titik potong dengan sumbu tegak sebagai
berikut:
1n
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⋅+
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
11
lnln
1ln
11
lnln
11ln
0
pp
pp
pp
pp
pp
h αβ
38
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=
0
1
0
11
11
lnln
1ln
pp
pp
h αβ
(3.38)
Contoh 3.3
Misal ada partai barang yang banyak sekali yang harus ditentukan berdasarkan
sampling apakah partai barang itu bagus atau tidak. Perusahaan menetapkan
bahwa keputusan dibuat dengan ketentuan terima partai bsrsng jika proporsi
rusaknya kurang atau sama dengan 10% dan tolak partai barang jika proporsi
rusaknya lebih atau sama dengan 20%. Resiko kesalahan yang ditetapkan
perusahaan untuk kesalahan tipe I sebesar 01,0=α dan resiko kesalahan tipe II
sebesar 05,0=β . Dalam merencanakan rencana sampling dari permasalahn ini,
ada dua hipotesis yang dihadapi yaitu:
1,0: 00 == ppH
2,0: 11 == ppH
berdasar pada rumus persaman (3.31), maka diperoleh persamaan-persamaan:
⎪⎪⎪
⎭
⎪⎪⎪
⎬
⎫
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛=⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛+⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛=⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛+⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
01,095,0ln
9,08,0ln
1,02.0ln
99,005,0ln
9,08,0ln
1,02.0ln
21
21
nn
nn
(3.39)
Setelah sistem persamaan (3.39) disederhanakan, maka diperoleh persamaan:
⎪⎭
⎪⎬⎫
=−
−=−
9777,10511,03010,0
2966,10511,03010,0
21
21
nn
nn
(3.40)
39
1
Daerah penerimaan 0H
Lanjutkan pengamatan
2g
1g
Daerah penolakan 0H
Gambar 3.2
n
12 nnnkarena karena 12 nnn −= , sistem persamaan (3.40) dapat ditulis sebagai berikut:
⎪⎭
⎪⎬⎫
=−
−=−
9777,10511,03521,0
2966,10511,03521,0
1
1
nn
nn (3.41)
Rencana sampling diperoleh dari rumus pertidaksamaan (3.29) dan (3.30). Jadi
diterima jika: 0H
2966,10511,03521,0 1 −≤− nn
yang memberikan 6824,31451,01 −≥ nn dan batasnya 6824,31451,0: 11 −= nng
dan tolak jika: 0H
9777,10511,03521,0 1 ≥− nn
yang memberikan 6168,51451,01 +≥ nn dan batasnya
. 6168,51451,0: 12 += nng
Dalam hal lainnya, sampling masih harus dilanjutkan.
n
40
Secara grafik, rencana sampling ini dapat ditunjukkan dalam Gambar 3.2
dengan n = sumbu datar dan = sumbu tegak. 1n
Daerah grafik pada Gambar 3.2 dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
• penerimaan ( di sudut kanan bawah ) 0H
• penolakan ( di bagian atas) 0H
• daerah sampling untuk melanjutkan prosedur dengan menambah sebuah
pengamatan lagi (daerah tengah yang dibatasi oleh garis sejajar dan
).
1g
2g
Untuk setiap barang yang diperiksa, peristiwa diperoleh barang rusak
dijumlahkan pada setiap pengambilan. Peristiwa ini digambarkan pada grafik
sebagai titik-titik. Selama titik-titik ini masih berada diantara dan , maka
sampling terus dilanjutkan dengan menambah pemeriksaan barang itu satu demi
satu. Setelah ada titik yang keluar dari garis-garis batas dan , maka
sampling berhenti. Jika titik yang keluar itu jatuh pada daerah penerimaan
hipotesis, maka diterima dan dinyatakan bahwa partai barang bagus. Jika titik
yang keluar itu berada di daerah penolakan hipotesis, maka ditolak dan
dinyatakan bahwa partai barang jelek.
1g 2g
1g 2g
0H
0H
Misal diperoleh hasil pemeriksaan sebagai berikut:
Tabel 3.1
n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
1n 0 0 1 1 2 3 4 4 4 5 5 5 5 6 6 7 7 7 7 8 9
41
Atau jika b = barang tak rusak dan j = barang rusak, pemeriksaan dalam tabel (1)
dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut:
b b j b j j j b b j b b b j b j b b b j j
10 20 30 40
10
20
Daerah penolakan 0H
2g
1
Daerah penerimaan g
n
Lanjutkan pengamatan
1n
Gambar 3.3
0H
Titik-titik yang menggambarkan jumlah keadaan rusak sampai dengan langkah
ke-n telah digambarkan dalam Gambar 3.3. Jelas terlihat bahwa pada pemeriksaan
yang ke-n = 21 tedapat jumlah yang rusak sudah mencapai 9 dan titiknya jatuh
pada daerah penolakan hipotesis. Jadi sampai dengan pemeriksaan yang ke-21,
dengan hasil pemeriksaan pada tabel (1), maka tejadi penolakan terhadap partai
barang.
42
E. Fungsi Karakteristik Operasi
Fungsi karakteristik operasi ( )pL didefinisikan sebagai probabilitas bahwa
proses sekuensial akan berakhir dengan penerimaan bila 0H p adalah nilai
parameter yang sebenarnya. Fungsi karakteristik operasi ini dapat
dinyatakan dengan notasi probabilitas yaitu:
( )pL
( )pL = P (menerima partai | proporsi rusak p)
sehingga diperoleh pernyataan sebagai berikut:
( )0L = P (menerima partai | 0=p ) = 1
Karena diketahui bahwa proporsi rusak sebenarnya dari partai barang adalah 0
yang berarti tidak ditemukan barang rusak dalam partai barang, maka probabilitas
untuk menerima partai barang adalah 1.
Demikian pula untuk:
( )1L = P (menerima partai | 1=p ) = 0
Karena diketahui proporsi rusak sebenarnya dari partai barang adalah 1 yang
artinya ditemukan semua barang dalam keadaan rusak, maka probabilitas untuk
menerima partai adalah 0. Dengan kata lain partai barang ditolak.
Prosedur pengujian 00 : ppH = melawan 11 : ppH = dipilih sedemikian
sehingga:
P (menerima partai bila ) = probabilitas menerima yang benar = 0pp = 0H α−1
P (menerima partai bila ) = probabilitas menerima yang salah = 1pp = 0H β
dengan demikian diperoleh
( ) α−= 10pL
43
( ) β=1pL
Misal untuk sebarang nilai p yang diberikan, fungsi probabilitas dari X
ditentukan sebagai berikut:
( )( )
( )
( pXfpXfpXf
pXfph
,,,
),(0
1⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡=∗ ) (3.42)
Untuk setiap nilai p, nilai dari ( )ph dapat ditentukan sedemikian sehingga
. Karena persamaan (3.42) merupakan sebuah fungsi probabilitas dari X,
maka ada tepat satu nilai
( ) 0≠ph
( ) 0≠ph sedemikian sehingga dipenuhi persamaan:
( )( )
( )
( ) 1,,,
0
1 =⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡∑
X
ph
pXfpXfpXf (3.43)
Karena ( ) 0≠ph , maka terdapat dua kemungkinan nilai p yaitu atau
.
( ) 0>ph
( ) 0<ph
Untuk kasus dengan ( ) 0>ph , misal hipotesis H menyatakan bahwa
adalah fungsi probabilitas dari distribusi X yang sebenarnya dan
hipotesis
( pXf , )
∗H menyatakan bahwa ( )pXf ,∗ adalah fungsi probabilitas dari
distribusi X yang sebenarnya. Misal uji sekuensial untuk menguji H melawan ∗H
adalah sebagai berikut:
( ) ( )( ) ( )pXfpXf
pXfpXfS
n
n
,,,,
1
1
K
K ∗∗∗ = (3.44)
sehingga hipotesis H diterima jika:
( ) ( )( ) ( )
( )ph
n
n BpXfpXfpXfpXf
≤∗∗
,,,,
1
1
K
K (3.45)
hipotesis H ditolak jika:
44
( ) ( )( ) ( )
( )ph
n
n ApXfpXfpXfpXf
≥∗∗
,,,,
1
1
K
K (3.46)
dan dilanjutkan dengan mengambil sebuah pengamatan lagi jika:
( ) ( ) ( )( ) ( )
( )ph
n
nph ApXfpXfpXfpXf
B <<∗∗
,,,,
1
1
K
K (3.47)
Karena , maka dari pertidaksamaan (3.42) dan (3.45) diperoleh
pertidaksamaan yang setara yaitu:
( ) 0>ph
( )( )
( )
( ) ( )( )
( )
( )
( ) ( )( )ph
n
n
ph
n
n
ph
BpXfpXf
pXfpXfpXf
pXfpXfpXf
≤⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡
,,
,,,
,,,
1
0
11
01
11
K
K
( )( )
( ) ( )( )
( )( )ph
ph
n
n
ph
BpXfpXf
pXfpXf
≤⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡
0
1
01
11
,,
,,
K
( )( )
( ) ( )( )
( )( ) ( )( )ph phph
ph
n
n
ph
BpXfpXf
pXfpXf
≤⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡
0
1
01
11
,,
,,
K
( ) ( )( ) ( ) B
pXfpXfpXfpXf
n
n ≤001
111
,,,,
K
K (3.48)
dari pertidaksamaan (3.42) dan (3.46) diperoleh pertidaksamaan yang setara yaitu:
( )( )
( )
( ) ( )( )
( )
( )
( ) ( )( )ph
n
n
ph
n
n
ph
ApXfpXf
pXfpXfpXf
pXfpXfpXf
≥⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡
,,
,,,
,,,
1
0
11
01
11
K
K
( )( )
( ) ( )( )
( )( )ph
ph
n
n
ph
ApXfpXf
pXfpXf
≥⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡
0
1
01
11
,,
,,
K
( )( )
( ) ( )( )
( )( ) ( )( )ph phph
ph
n
n
ph
ApXfpXf
pXfpXf
≥⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡
0
1
01
11
,,
,,
K
45
( ) ( )( ) ( ) A
pXfpXfpXfpXf
n
n ≥001
111
,,,,
K
K (3.49)
dari pertidaksamaan (3.42) dan (3.7) diperoleh pertidaksamaan yang setara yaitu:
( )
( )( )
( )
( ) ( )( )
( )
( )
( ) ( )( )ph
n
n
ph
n
n
ph
ph ApXfpXf
pXfpXfpXf
pXfpXfpXf
B <⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡
<,,
,,,
,,,
1
0
11
01
11
K
K
( ) ( )( )
( ) ( )( )
( )( )ph
ph
n
n
phph A
pXfpXf
pXfpXfB <⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡<
0
1
01
11
,,
,,
K
( )( ) ( )( )
( ) ( )( )
( )( ) ( )( )ph phph
ph
n
n
phph ph A
pXfpXf
pXfpXfB <⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡<
0
1
01
11
,,
,,
K
( ) ( )( ) ( ) A
pXfpXfpXfpXf
Bn
n <<001
111
,,,,
K
K (3.50)
Pertidaksamaan ini identik dengan definisi uji sekuensial untuk menguji
melawan . Oleh karena itu, jika menuju pada penerimaan
S
0H 1H ∗S H , maka
menuju pada penerimaan dan jika menuju pada penolakan
S
0H ∗S H , maka juga
menuju pada penolakan . Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa
probabilitas penerimaan jika p adalah nilai parameter sebenarnya yang
dinotasikan dengan adalah sama seperti probabilitas bahwa uji akan
berakhir dengan penerimaan
S
0H
0H
( )pL ∗S
H jika ( )pXf , adalah fungsi probabilitas dari
distribusi X yang sebenarnya. Probabilitas bahwa akan berakhir dengan
penerimaan
∗S
H jika H benar adalah 'α dan probabilitas bahwa akan berakhir
dengan penolakan
∗S
H jika ∗H benar adalah 'β . Pertidaksamaan 3.13 dan 3.14
46
digunakan dalam menghitung probabilitas pada prosedur uji sehingga
diperoleh:
∗S
( )
''1
αβ−
≤phA (3.51)
dan
( )
'1'αβ−
≥phB (3.52)
jika nilai pertidaksamaan (3.54) dan (3.55) ditentukan dengan nilai batasnya,
maka pertidaksamaanya dapat ditulis sebagai berikut:
( )phA ~ '
'1αβ− (3.53)
( )phB ~ '1
'α
β−
(3.54)
jika persamaan (3.51) disubtitusikan ke persamaan (3.52), maka diperoleh:
( )phA ~ '
'1αβ−
~ ( ) ( )
'B'11
αα ph−−
~ ( ) ( )
''1
ααphph BB +−
~( ) ( )
''
'1
αα
α
phph BB+
−
~( )
( )phph
BB+
−'
1α
( ) ( )phph BA − ~( )
'1
α
phB−
47
'α ~( )
( ) ( )phph
ph
BAB−
−1 (3.55)
karena ( )pL−= 1'α maka diperoleh:
( )pL−1 ~( )
( ) ( )phph
ph
BAB−
−1
~( )pL−( )
( ) ( ) 11−
−−
phph
ph
BAB
~( )pL( )
( ) ( )phph
ph
BAB−
−−
11
~( ) ( )
( ) ( )
( )
( ) ( )phph
ph
phph
phph
BAB
BABA
−−
−−− 1
~( ) ( ) ( )
( ) ( )phph
phphph
BABBA
−+−− 1
~( )pL( )
( ) ( )phph
ph
BAA
−−1 (3.56)
Karena ( ) ppf =,1 , ( ) 11,1 ppf = , ( ) 00,1 ppf = . ,
,
( ) ppf −= 1,0
( ) 11 1,0 ppf −= ( ) 00 1,0 ppf −= , maka persamaan (3.43) dapat ditulis menjadi:
( )
( )( )
111
10
1
0
1 =⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛phph
pp
ppp
p (3.57)
Untuk menggambarkan fungsi karakteristik operasi maka persamaan (3.57)
harus diselesaikan. Misal ( )phh = dan , maka dari persamaan (3.57)
diperoleh:
0>h
111
11
0
1
0
1
0
1 =⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛hhh
pp
ppp
pp
p
48
hhh
pp
ppp
ppp ⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
0
1
0
1
0
1
111
11
hhh
pp
pp
pp
p ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−=⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
0
1
0
1
0
1
11
111
hh
h
pp
pp
pp
p
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−=
0
1
0
1
0
1
11
111
(3.58)
Jika αβ−
=1A dan
αβ−
=1
B , maka rumus (3.59) dapat ditulis sebagai berikut:
( )pL ~ hh
h
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
αβ
αβαβ
11
11
(3.59)
sehingga dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut
( )pL
Gambar 3.4
1
0 p1
49
Persamaan (3.58) dan (3.59) berlaku untuk sebarang nilai h, sehingga nilai p
dan dapat ditentukan. Sehingga diperoleh titik pada grafik dengan
koordinat . Dengan menggambarkan semua titik
( )pL ( )pL
( )( pLp, ) ( )( )pLp, pada sistem
koordinat maka diperoleh grafik ( )pL pada Gambar 4.
Jika bagian grafik yang berkaitan dengan h positif telah diperoleh, maka
perhitungan
( )pL
( )pL untuk h negatif dapat disederhanakan. Untuk menunjukkan hal
ini misal, dan 0>h ( )( pLp, ) suatu titik pada grafik ( )pL . Misal
menyatakan titik pada grafik
( )( )',' pLp
( )pL untuk 0<h . Sehingga diperoleh:
( ) hh
h
pL −−
−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=
αβ
αβαβ
11
11
'
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡−⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛ −
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=−−
−
hhhh
hhh
αβ
αβ
αβ
αβ
αβ
αβ
αβ
11
11
111
1
hh
hhh
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−=
αβ
αβ
αβ
αβ
αβ
11
11
1
h
hh
h
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
−=
αβ
αβ
αβ
αβ
111
11
( )pLh
⋅⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
=αβ
1
50
( ) ( )pLpLh
⋅⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
=αβ
1' (3.60)
dengan cara yang sama bisa diperoleh:
hh
h
pp
pp
pp
p −−
−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−=
0
1
0
1
0
1
11
111
'
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
=−−
−
hhhh
hhh
pp
pp
pp
pp
pp
pp
pp
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
11
11
111
11
hh
hhh
pp
pp
pp
pp
pp
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
= −
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
11
11
hh
h
h
pp
pp
pp
pp
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
0
1
0
1
0
1
0
1
11
111
ppp
ph
⋅⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
0
1' (3.61)
jadi titik untuk ( )( )',' pLp 0<h dapat dihitung dari ( )( )pLp, untuk dengan
hubungan:
0>h
ppp
ph
⋅⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
0
1'
51
( ) ( )pLpLh
⋅⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
=αβ
1'
Nilai h berubah dari sampai ∞− ∞+ . Lima nilai dari p yaitu
berkaitan dengan nilai
1,,,,0 10 pspp =
∞−−+∞= ,1,0,1,h .
Untuk nilai berkaitan dengan nilai 0pp = 1=h , sehingga dari persamaan
(3.58) diperoleh pembuktian pernyataan tersebut yaitu:
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−=
0
1
0
1
0
1
11
111
pp
pp
pp
p
( ) ( )
( ) (( )
)00
1001
0
10
111
111
pppppp
ppp
−−−−
−−−−
=
( )( )
( )010011
00
0
01 11 pppppp
ppppp
+−−−
⋅−−
=
( )
01
001
1 ppppp−
⋅−
=
(3.62) 0pp =
Jika dan , maka dari persamaan (3.59) diperoleh: 0pp = 1=h
( )⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=
αβ
αβαβ
11
11
0pL
52
( )
( )( )( )αα
αβαβα
αβ
−−−−
−−
=
111
1
( ) ( )αβαββα
ααα
αβ−+−−
−⋅
−−=
111
( )βα
αβα−−
−⋅
−−=
11
11
( ) α−= 10pL (3.63)
Untuk nilai 1pp = berkaitan dengan nilai 1−=h , sehingga dari persamaan (3.58)
diperoleh bukti sebagai berikut:
1
0
1
1
0
1
1
0
1
11
111
−−
−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−=
pp
pp
pp
p
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−=
1
0
1
0
1
0
11
11
1
pp
pp
pp
( ) ( )( )
( ) (( )
)11
0110
1
01
111
111
pppppp
ppp
−−−−
−−−−
=
( )( )
( )101100
11
1
10 11 pppppp
ppppp
+−−−
⋅−−
=
( )
10
110
1 ppppp−
⋅−
=
(3.64) 1pp =
53
Jika dan , maka dari persamaan (3.59) diperoleh: 1pp = 1−=h
( ) 11
1
1
11
11
−−
−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=
αβ
αβαβ
pL
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ −−⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−
=
βα
βα
βα
11
11
( )
( )(( )
)ββ
βααβββα
−−−−
−−−
=
111
11
( )αββααβ
ββββα
−++−−
⋅−+−
=11
11
βα
ββα+−
⋅+−
=11
1
( ) β=1pL (3.65)
Jika sp = , dengan s = kemiringan garis batas dan seperti pada
persamaan (3.32) dan (3.34), maka nilai mendekati 0. Hal ini dapat ditunjukkan
sebagai berikut:
1g 2g
h
⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−=
→→ hh
h
hh
pp
pp
pp
p
0
1
0
1
0
1
00
11
111
limlim
54
⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−=
→→
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
00
11ln
11ln
11
ln11
0limlim
pp
pp
pp
pp
pp
pp
p hh
h
hh
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−=
0
1
0
0
1
0
1
0
0
1
0
1
0
0
1
11ln
11ln
11ln
11
pp
pp
pp
pp
pp
pp
p
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−=
0
1
0
1
0
1
11lnln
11ln
pp
pp
pp
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
==
0
1
0
1
1
0
11lnln
11
ln
pp
pp
pp
sp (3.66)
Karena sp = sehingga mendekati 0, maka dari persamaan (3.56) diperoleh: h
( ) hh
h
hh BAAsL−−
=→→
1limlim00
( )
( ) ( ) hh
h
h BBAAAA
lnln0lnlim
0 −−
=→
( ) ( )( ) ( ) 00
0
lnlnln
BBAAAAsL
−=
BA
Alnln
ln−
=
BA
Alnln
ln+
= (3.67)
55
Karena αβ−
=1A dan
αβ−
=1
B , maka dari persamaan (3.67) diperoleh:
( )⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
+⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=
αβ
αβ
αβ
1ln1ln
1lnsL (3.68)
Persamaan (3.37) dan (3.38) disubtitusikan ke persamaan (3.68), diperoleh:
( )⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
=
0
1
0
10
0
1
0
11
0
1
0
11
11lnln
11lnln
11lnln
pp
pph
pp
pph
pp
pph
sL
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
=
0
1
0
10
0
1
0
11
0
1
0
11
11lnln
11lnln
11
lnln
pp
pph
pp
pph
pp
pp
h
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
=
0
1
0
10
0
1
0
11
0
1
0
11
11lnln
11lnln
11
lnln
pp
pph
pp
pph
pp
pp
h
( ) ⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
=
0
1
0
101
0
1
0
11
11lnln
11
lnln
pp
pphh
pp
pp
h
( )01
1
hhhsL+
= (3.69)
dengan merupakan titik potong garis pada persamaan (3.32)dan pada
persamaan (3.34) dengan sumbu . Oleh karena itu, dalam sistem koordinat
10 ,hh 1g 2g
1n
56
( )( pLp, )p, dapat digambarkan lima titik yaitu: dapat digambarkan lima titik yaitu: ( )( )0,0 L , ( )( )1,1 L , ,
, dan .
( )( )00 , pLp
( )( )11 , pLp ( )( )sLs,
Karena merupakan fungsi tak naik maka kelima titik ,
, ,
( )pL ( )( )0,0 L
( )( )1,1 L ( )( )00 , pLp ( )( 11 , pLp ), dan ( )( )sLs, sudah cukup untuk
menggambarkan bentuk lengkungan fungsi karakteristik operasi.
Untuk keperluan praktis keadaan ini sudah mencukupi dan tidak perlu menghitung
nilai untuk nilai p lainnya. ( )pL
( )( )00 , pLp
•
• ( )( )11 , pLp
( )( )sLs,
•
( )pL
p Gambar 3.5
Contoh 3.4
Seperti pada contoh 3.3, dengan menggunakan 1,00 =p ; 2,01 =p ; 01,0=α ; dan
05.0=β akan dilukiskan kurva karakteristik operasinya. Dalam hal ini akan
diambil lima titik istimewa yaitu untuk 1,,,,0 10 pspp = . Untuk nilai p lainnya
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (3.58).
57
1. untuk nilai , maka nilai 0=p ( ) 10 =L
2. untuk nilai , maka nilai 1,00 == pp ( )0pL dapat dicari sebagai berikut:
( )
99,0
01.01
10
=
−=
−= αpL
3. untuk nilai , maka nilai 2,01 == pp ( )1pL dapat dicari sebagai berikut:
( )
05,0
1
=
= βpL
4. untuk nilai , maka nilai 1=p ( ) 01 =L
5. untuk nilai sp = yang diperoleh dengan menggunakan persamaan (3.66)
yaitu:
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
−⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
=
1,012,01ln
1,02,0ln
2,011,01ln
s
( ) ⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛−
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
=
9,08,0ln2ln
8,09,0ln
( )1178,06931,01178,0−−
=
145,0=
maka nilai dapat dicari dengan menggunakan persamaan (3.67) sebagai
berikut:
( )sL
58
( )⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −+⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛ −
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −
=
05,001,01ln
01,005,01ln
01,005,01ln
sL
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛+⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
=
05,099,0ln
01,095,0ln
01,095,0ln
986,2554,4
554,4+
=
604,0=
Jadi untuk melukiskan fungsi karakteristik operasi dalam sebuah kurva telah
diperoleh titik-titik sebagai berikut:
p ( )pL
0 1
0,1 0,99
0,2352 0,604
0,2 0,05
1 0
59
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
( )( )sLs,
p
( )pL
( )( )11 , pLp
( )( )00 , pLp
( )( )1,1 L
( )( )0,0 L
Gambar 3.6
F. Fungsi Rataan Ukuran Sample
Misal n menyatakan banyaknya ukuran sampel yang diperlukan oleh
prosedur uji sekuensial. Bilangan n tergantung dari hasil uji sekuensial terhadap
pengamatan ke-n sehingga n merupakan variabel random. Nilai ekpektasi dari n
tergantung dari proporsi rusak dalam partai dan diberi notasi . Misal
bilangan asli yang cukup besar sehingga probabilitas bahwa dapat
( )nE p
N Nn ≥
60
diabaikan, sehingga diandaikan Nn ≤ . Sehingga dari pernyataan tersebut dapat
dituliskan:
( ) ( )NnnN zzzzzz +++++=++ + KKK 111 (3.70)
dengan
( )( )0
1
,,
lnpXfpXf
zα
αα = (3.71)
karena
( )( )⎟
⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
0
1
,,
lnpXfpXf
z
maka berdasar persamaan (3.5) diperoleh
( ) ( ) K,3,2,1;, =∀= iizEzE i (3.72)
sehingga dari persamaan (3.70) diperoleh
( ) ( ) ( )
( ) (
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )Nnn
Nnn
NnnN
NnnN
zzEzzEzNE
zzEzzEzNE
zzEzzEzzzE
zzEzzEzzzE
+++++=
+++++=
+++++=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+++
+
)
++++=+++
+
+
+
+
KK
KK
KK4434421 K
KKK
11
11
11
1121
.
(3.73)
dengan
( )( )⎟
⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
0
1
,,lnpXfpXfz
Untuk n>α , variabel random saling bebas, maka: αz
61
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )zEnEzNE
zEnNEzzE Nn
−=
−=+++ K1
(3.74)
Jika persamaan (3.74) disubtitusikan ke persamaan (3.73), maka diperoleh:
( ) ( ) ( ) ( ) ( )zEnEzNEzzEzNE n −+++= K1 (3.75)
sehingga
( ) ( ) ( ) 01 =−++ zEnEzzE nK (3.76)
Jadi
( ) ( )( )zE
zzEnE n++=
K1 , dengan ( ) 0≠zE (3.77)
Jika p adalah parameter sebenarnya, maka ( ) ( )nEnE p= . Sehingga adalah
nilai harapan dari , , jika
( )zE p
z ( )zE p adalah parameter yang sebenarnya. Jika
probabilitas 0
1
pp pada batas A dan B diabaikan, maka variabel random
dapat mengambil hanya nilai batasnya saja, yaitu dan ( nzz ++K1 ) Aln
Bln dengan probabilitas ( )pL−1 dan ( )pL sehingga diperoleh:
( )nzzE ++K1 ~ ( ) ( )( ) ApLBpL ln1ln −+ (3.78)
Jika ( ) ppXf =, untuk 1=X dan ( ) ppXf −= 1, untuk 0=X , maka diperoleh:
( ) ( )( )⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡=
0
1
,,
lnpXfpXf
EzE pp
( )( ) ( ) ( )
( )0
1
0
1
,0,0ln1
,1,1ln
pfpfp
pfpfp −+=
( )0
1
0
1
11ln1ln
ppp
ppp
−−
−+= (3.79)
62
Persamaan (3.78) dan (3.79) disubtitusikan ke persamaan (3.77), sehingga
diperoleh rumus pendekatan:
( ) ( ) ( )( )
( ) ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−+
=
0
1
0
1
11ln1ln
ln1ln
ppp
ppp
ApLBpLnE p
(3.80)
dengan αβ−
=1A ,
αβ−
=1
B dan ( )pL menyatakan probabilitas bahwa
pemeriksaan berakhir dengan penerimaan partai.
Nilai dapat digambarkan dalam sistem koordinat ( )nE p ( )( )nEp p, dengan
p sebagai sumbu mendatar dan ( )nE p sebagai sumbu tegak. Suatu lengkungan
fungsi rataan ukuran sampel ( )nE p diperlihatkan pada Gambar 6 dan dinamakan
lengkungan ukuran sampel dari pengujian.
• • •p 1 0p 1p0
Gambar 3.7
( )nE p
63
Akan dihitung nilai untuk ( )nE p 10 ,,0 ppp = , dan 1.
1. untuk , maka 0=p ( ) 10 =L
( ) ( )
( ) ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⋅
−+=
0
1
0
10
11ln01ln0
ln11ln
pp
pp
ABnE
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
=
0
1
11ln
ln
pp
B
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−=
0
1
11ln
1ln
ppα
β
(3.81)
2. untuk , maka 0pp = ( ) α−= 10pL
( ) ( ) ( )( )
( ) ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−+−
=
0
10
0
10 1
1ln1ln
ln11ln10
ppp
ppp
ABnE pαα
( )
( ) ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
+⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
−=
0
10
0
10 1
1ln1ln
1ln1
ln1
ppp
ppp
αβα
αβα
(3.82)
3. untuk , maka 1pp = ( ) β=0pL
( ) ( )
( ) ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−+
=
0
11
0
11 1
1ln1ln
ln1ln1
ppp
ppp
ABnE pββ
( )
( ) ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
−+⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−=
0
11
0
11 1
1ln1ln
1ln11
ln
ppp
ppp
αββ
αββ
(3.83)
64
4. untuk , maka 1=p ( ) 00 =pL
( ) ( )
( ) ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⋅
−+⋅=
0
1
0
11
11
ln11ln1
ln01ln0
pp
pp
ABnE
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
0
1ln
ln
ppA
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
=
0
1ln
1ln
ppαβ
(3.84)
5. untuk
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
==
0
1
0
1
1
0
11lnln
11
ln
pp
pp
pp
sp
diperoleh
( ) ( )2
1ln1
ln
zEnE
ss
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
−= α
βαβ
(3.85)
dengan ( )2zEs menyatakan nilai harapan dan z merupakan variabel
random yang hanya bernilai
2z
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
0
1lnpp dan ⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
0
1
11
lnpp dengan probabilitas s
dan s−1
( ) ( )2
0
1
2
0
12
11
ln1ln ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
pp
spp
szEs
65
2
0
1
2
0
1
2
0
1
11
ln11
lnln ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
pp
pp
pp
s
2
0
1
2
0
1
2
0
1
1
0
0
1
1
0
11
ln11
lnln
11
lnln
11
ln
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
=pp
pp
pp
pp
pp
pp
2
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
0
11ln
11lnln
11lnln
11
lnln
11
ln
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
=
pp
pp
pp
pp
pp
pp
pp
pp
2
0
1
0
1
0
1
1
0
11ln
11lnln
11
ln ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
=pp
pp
pp
pp
2
0
1
0
1
1
0
0
1
1
0
11
ln
11
ln11
lnln11
ln
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
=
pp
pp
pp
pp
pp
2
0
1
0
1
0
1
0
1
1
0
11ln
11ln
11lnln
11
ln
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
+
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
−⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
=
pp
pp
pp
pp
pp
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
=0
1
1
0 ln11
lnpp
pp
(3.86)
66
dari persamaan (3.74) dan (3.76) diperoleh:
( )⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−
−=
0
1
1
0 ln11
ln
1ln1
ln
pp
pp
nEsαβ
αβ
(3.87)
Lengkungan fungsi rataan ukuran sampel, umumnya naik untuk
kemudian turun untuk 00 pp << 11 << pp . Lengkungan ini naik dari ke
suatu harga ' dan turun dari ke . Nilai ' umumnya sama dengan atau
sangat dekat dengan . Jika akan digambarkan
0p
p 'p 1p p s
s ( )nE p untuk semua nilai p , dapat
digunakan persamaan (3.69).
Contoh 3.5
Berdasarkan soal pada contoh 3.3, maka rataan ukuran sampelnya dapat dicari
menggunakan persamaan (3.80). Untuk titik-titik istimewa yang menggambarkan
lengkungan grafik, rataan ukuran sampelnya dapat dicari sebagai berikut:
• Untuk , maka0=p ( ) 10 =L . Sehingga berdasarkan persamaan (3.81)
diperoleh:
( )⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−
=
1,012,01ln
01,0105,0ln
0 nE
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
=
9,08,0ln
99,005,0ln
67
1178,09857,2
−−
=
35,25=
Hal ini berarti bahwa jika partai barang itu tidak berisi barang yang jelek,
maka rata-rata diperlukan 26 barang untuk pemeriksaan dari tiap partai.
• Untuk 1,00 == pp , maka ( ) 99,00 =pL . Sehingga berdasarkan persamaan
(3.81) diperoleh:
( )( ) ( )
( ) ( ) ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −+⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛−
−=
1,012,01ln1,01
1,02,0ln1,0
01,005,01ln01,0
01,0105,0ln01,01
0nE p
( ) ( )
( ) ( ) ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛+⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛+⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛
=
9,08,0ln9,0
1,02,0ln1,0
01,095,0ln01,0
99,005,0ln99,0
( )( ) ( ) ( )( )( ) ( )( )1178,09,06931,01,0
554,401,09857,299,0−+
+−=
10602,006931,0
04554,0955843,2−+−
=
03671,0
910303,2−−
=
29,29=
Hal ini berarti bahwa jika partai barang itu berisi 10% barang yang jelek,
maka rata-rata diperlukan 30 barang untuk pemeriksaan dari tiap partai.
• Untuk 2,01 == pp , maka ( ) 05,01 =pL . Sehingga berdasarkan persamaan
(3.83) diperoleh:
68
( ) ( )
( ) ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
−+⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −−+⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛−
=
1,012,01ln2,01
1,02,0ln2,0
01,005,01ln05,01
01,0105,0ln05,0
1pE
( ) ( )
( ) ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−+⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛+⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛
=
9,08,0ln2,01
1,02,0ln2,0
01,095,0ln95,0
99,005,0ln05,0
( )( ) ( )( )( )( ) ( )( )1178.08,06931,02,0
554,495,09857,205,0−+
+−=
09424,013862,0
3263,4149285,0−+−
= 04438,0
177015,4=
068,94=
Hal ini berarti bahwa jika partai barang itu berisi 20% barang yang jelek,
maka rata-rata diperlukan 95 barang untuk pemeriksaan dari tiap partai.
• Untuk , maka1=p ( ) 01 =L . Sehingga berdasarkan persamaan (3.84)
diperoleh:
( )⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −
=
1,02,0ln
01,005,01ln
1 nE ( )2ln01,095,0ln ⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛
= 6931,0554,4
= 57,6=
Hal ini berarti bahwa jika partai barang itu berisi 100% barang yang jelek,
maka rata-rata diperlukan 7 barang untuk pemeriksaan dari tiap partai.
• Untuk 145,0== sp , maka ( ) 604,0=sL . Sehingga berdasarkan persamaan
(3.87) diperoleh:
69
( )⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−
−=
1,02,0ln
2,011,01ln
01,005,01ln
01,0105,0ln
nEs
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−
=
1,02,0ln
8,09,0ln
01,095,0ln
99,005,0ln
08164,0
596,13= 56,166=
Hal ini berarti bahwa jika partai barang itu berisi barang yang jelek sebanyak
, maka rata-rata diperlukan 167 barang untuk pemeriksaan dari tiap partai. s
Apabila semua titik-titik rataan ukuran sampel ini digambarkan dalam
koordinat ( )( )nEp p, , maka akan diperoleh sebuah kurva sebagai berikut:
pE
p
Gambar 3..8
BAB 1V
APLIKASI UJI SEKUENSIAL UNTUK PROPORSI
Permasalahan
Ada kasus mengenai lapisan khusus pelindung logam. Lapisan ini akan diterima
dengan sangat memuaskan jika dipenuhi oleh lubang-lubang minimum sebesar
15% dari peluru kaliber 0,3 yang ditembakkan dengan kondisi standar. Peluru
akan ditolak jika persentase lubangnya adalah 30% atau lebih. Dengan kata lain,
batas toleransinya antara 15% dan 30%. Tentu saja jika persentasenya kurang dari
15%, maka peluru diterima. Tetapi nilai batas yang rendah akan menaikkan biaya
dan mungkin waktu produksi. Sehingga untuk hal ini maka dibuat batasnya tidak
terlalu rendah. Diasumsikan bahwa pabrik menginginkan resiko menerima barang
jelek sebesar 2% dan resiko menolak barang bagus sebesar 1%.
Penyelesaian
1. Diketahui nilai-nilai 15,00 =p , 30,01 =p , 01,0=α , 02,0=β , maka
hipotesisnya:
15,0:0 =pH melawan,
30,0:1 =pH
2. Dari persamaan (3.32), diperoleh persamaan garis : 1g
• ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
−⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−
=⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
−⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
+
15,013,01ln
15,03,0ln
01,0102,0ln
15,013,01ln
15,03,0ln
15,013,01ln
1 nn
71
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
=⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
+
85,07,0ln
15,03,0ln
99,002,0ln
85,07,0ln
15,03,0ln
85,07,0ln
1 nn
( )( ) ( )
( )( ) ( )8235,0ln2ln
0202,0ln8235,0ln2ln
8235,0ln1 −
=−
+ nn
1942,06931,0902,3
1942,06931,01942,0
1 +−
=+
−+ nn
398,4219,01 −=− nn (4.1)
Dari persamaan (3.34), diperoleh persamaan garis : 2g
• ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
−⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −
=⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
−⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
+
15,013,01ln
15,03,0ln
01,002,01ln
15,013,01ln
15,03,0ln
15,013,01ln
1 nn
( )( ) ( )
( )( ) ( )8235,0ln2ln
98ln8235,0ln2ln
8235,0ln1 −
=−
+ nn
1942,06931,0585,4
1942,06931,01942,0
1 +=
+−
+ nn
167,5219,01 =− nn (4.2)
Tabel 2. UJI LAPISAN PELINDUNG
nilai batas banyaknya n penerimaan penolakan barang rusak
1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 7 1 8 7 1
72
nilai batas banyaknya n penerimaan penolakan barang rusak
9 8 1 10 8 1 11 8 1 12 8 1 13 9 1 14 9 1 15 9 2 16 9 2 17 9 2 18 10 2 19 10 2 20 10 3 21 0 10 3 22 0 10 3 23 0 11 3 24 0 11 3 25 1 11 3 26 1 11 3 27 1 12 3 28 1 12 3 29 1 12 3 30 2 12 3 31 2 12 3 32 2 13 4 33 2 13 4 34 3 13 4 35 3 13 4 36 3 14 4 37 3 14 5 38 3 14 5 39 4 14 5 40 4 14 6 41 4 15 6 42 4 15 6 43 5 15 6 44 5 15 6 45 5 16 7 46 5 16 7 47 5 16 7 48 6 16 7 49 6 16 7 50 6 17 7 51 6 17 7 52 6 17 7 53 7 17 7 Partai diterima
73
Nilai-nilai batas penerimaan pada kolom 2 dari Tabel 4.1 diperoleh dengan
menggunakan persamaan (4.1). Sedangkan nilai batas penolakan pada kolom 3
dari Tabel 4.1 diperoleh dengan menggunakan persamaan (4.2). kolom 4 berisi
banyaknya peluru rusak dalam pemeriksaan ke-n. Jika selama pemeriksaan
ditemukan peluru jelek masih berada diantara nilai batas penerimaan dan
penolakan, maka pemeriksaan terus dilanjutkan. Proses akan berhenti ketika
ditemukan peluru jelek sama dengan nilai batas penerimaan atau penolakannya.
10 20 30 40 50
40
30
10
20 Daerah penolakan
Daerah penerimaan
Daerah melanjutkan
Gambar 4.1
n
1n
74
Pada Gambar 4.1, bisa dilihat bahwa pada sampel yang ke-53 jatuh pada
daerah penerimaan sehingga partai diterima. Dengan kata lain diterima, jadi
lubang dalam lapisan pelindung peluru masih bisa ditoleransi sebesar 15%.
0H
3. Fungsi karakterisistik operasinya sebagai berikut:
Pertama dicari lima titik istimewa yang menggambarkan lengkungan dalam
kurva yaitu untuk , 0=p 15,00 == pp , sp = , 30,01 == pp , dan . Untuk
nilai yang lain dicari berdasarkan persamaan (3.58) dan (3.59).
1=p
p
• Untuk , maka nilai 0=p ( ) 10 =L
• Untuk 15,00 == pp , maka nilai ( ) α−=10pL 01,01−=
99,0=
• Untuk ,maka dari persamaan (3.66) diperoleh: sp =
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
−⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
=
15,013,01ln
15,03,0ln
3,0115,01ln
s( ) ⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛−
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
=
85,07,0ln2ln
7,085,0ln
( )( ) ( )8235,0ln2ln
2143,1ln−
=1942,06931,0
1942,0+
=
219,0=
dari persamaan (3.67) diperoleh:
( )⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−
+⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −
=
01,0102,0ln
01,002,01ln
01,002,01ln
sL⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛+⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
=
99,002,0ln
01,098,0ln
01,098,0ln
75
( )( ) 0202,0ln98ln
98ln+
=902,3585,4
585,4+
= 5402,0=
• Untuk 30,01 == pp , maka nilai ( ) β=1pL 02,0=
• Untuk , maka nilai 1=p ( ) 01 =L
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0 ( )( )00 , pLp ( )( )0,0 L
( )( )11 , pLp
( )( )sLs,
( )( )1,1 L
Gambar 4.2
( )pL
p
4. Seperti pada fungsi karakteristik operasi, pada rataan ukuran sampel juga
dicari untuk lima titik istimewanya. Nilai rataan ukuran sampel itu dapat dicari
sebagai berikut:
76
• Untuk , maka nilai 0=p ( ) 10 =L . Sehingga berdasarkan rumus (3.81)
diperoleh:
( )⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−
=
15,013,01ln
01,0102,0ln
0 nE
( )( )8235,0ln
0202,0ln=
1942,0902,3
−−
=
Hal ini berarti bahwa jika partai peluru itu tidak berisi barang yang berada
di bawah standar, maka sebagai pemeriksaan diperlukan rata-rata 21 butir
peluru dalam setiap partai.
• Untuk , maka nilai 0pp = ( ) 99,00 =pL . Sehingga berdasarkan persaman
(3.82) diperoleh:
( )⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
+⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −+⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛−
=
15,013,01ln85,0
15,03,0ln15,0
01,002,01ln01,0
01,0102,0ln99,0
0nE p
( ) ⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛+
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛+⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
=
85,07,0ln85,02ln15,0
01,098,0ln01,0
99,002,0ln99,0
( )( ) ( )( )( )( ) ( )( )1942,085,06931,015,0
585,401,0902,399,0−+
+−=
061105,081813,3
−−
=
77
485,62=
Jadi dibutuhkan rata-rata 63 butir peluru dalam pemeriksaan.
• Untuk , maka nilai 1pp = ( ) 02,01 =pL . Sehingga berdasarkan persamaan
(3.83) diperoleh:
( )⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
+⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −+⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛−
=
15,013,01ln7,0
15,03,0ln3,0
01,002,01ln98,0
01,0102,0ln02,0
1nE p
( ) ⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛+
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛+⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
=
85,07,0ln7,02ln3,0
01,098,0ln98,0
99,002,0ln02,0
( )( ) ( )( )( )( ) ( )( )1942,07,06931,03,0
585,498,0902,302,0−+
+−=
07199,041526,4
=
33,61=
Jadi dibutuhkan rata-rata 62 butir peluru dalam tiap pemeriksaan.
• Untuk , maka nilai 1=p ( ) 01 =L . Sehingga berdasarkan persamaan (3.84)
diperoleh:
( )⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −
=
15,03,0ln
01,002,01ln
1 nE
78
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
=
15,03,0ln
01,098,0ln
( )( )2ln98ln
=
6931,0585,4
=
615,6=
Jadi dalam hal ini dibutuhkan rata-rata 7 butir pelururu untuk pemeriksaan.
• Untuk sp = , maka nilai ( ) 5402,0=sL . Sehingga berdasarkan persamaan
(3.87) diperoleh:
( )⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−−
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ −⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−
−=
15,03,0ln
3,0115,01ln
01,002,01ln
01,0102,0ln
nEs
( )2ln
7,085,0ln
01,098,0ln
99,002,0ln
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛−=
( ) ( )( ) ( )2ln2143,1ln
98ln0202,0ln−=
( )( )( )( )6931,01942,0
585,4902,3=
1346,089067,17
=
917,132=
79
Jadi dalam hal ini diperlukan rata-rata 133 butir peluru sebagai
pemeriksaan.
Rataan ukuran sampel itu dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut:
pE
p
Gambar 4.3
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kasus-kasus tertentu dan kondisi tertentu, uji sekuensial sangatlah
menguntungkan. Hal ini tentunya akan memberikan sebuah alternatif lain uji
statistik dalam proses inferensi statistik. Kekurangan dari uji ini adalah bahwa uji
ini hanya efisien untuk kondisi tertentu yang antara lain dipengaruhi oleh faktor
biaya penelitian, waktu yang dibutuhkan, dan sebagaingya. Dalam skripsi ini
hanya dibahas mengenai uji sekuensial untuk kasus binomial, sehingga berkaitan
dengan uji untuk parameter . Proses sekuensial ini dimulai dengan penentuan
hipotesis yang akan diuji yaitu:
p
00 : ppH = melawan
11 : ppH =
Selanjutnya ditentukan nilai-nilai batas penolakan dan penerimaan hipotesis
berdasar uji sekuensial untuk perencanaan samplingnya. Probabilitas penerimaan
hipotesis yang dilambangkan dengan
0H
0H ( )pL dapat dilukiskan dalam grafik
fungsi karakteristik operasi. Grafik fungsi karakteristik operasi ini menunjukkan
bahwa semakin kecil nilai proporsinya, maka semakin besar probabilitas
menerima hipotesisnya. Dalam uji sekuensial, keputusan untuk menerima atau
menolak hipotesis ternyata bergantung pada ukuran sampel pada setiap langkah
pemeriksaan. Karena ukuran sampel merupakan sebuah variabel random, maka
dapat dicari rata-ratanya. Rata-rata ini dikenal dengan istilah rataan ukuran sampel.
81
B. Saran
Dalam penulisan skripsi ini tentunya penulis masih melakukan banyak
kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.
Penulis juga menyarankan untuk pembahasan uji sekuensial untuk data yang
berdistribusi selain binomial.
82
DAFTAR PUSTAKA
Darwis, Sutawanir. (1987). Metode Sekuensial. Jakarta: Karunia.
Harinaldi. (2005). Prinsip-Prinsip Statistika untuk Teknik dan Sains. Jakarta:
Erlangga.
Mood, A. M., Graybill, F. A. & Boes, D. C. Introduction to The Theory of
Statistics. Singapore: Mc. Graw-Hill inc.
Rosander, A. C. (1951). Elementary Principles of Statistics. New York: D Van
Nostrand Company Inc.
Soejoeti, Zanzawi. (1987). Metode Statistika I. Jakarta: Karunia.
Sudjana. (1996). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Wald, A. (1947). Sequential Analysis. New York: Publication Inc.
Walpole, R. E. (1995). Pengantar Statistika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.