PTERYGIUM

16
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Mata Tutorial Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman RSUD Abdul Wahab Sjahranie PTERYGIUM Disusun Oleh: Siti Desy Astari (0708015032) Ratna Helyani () Pembimbing: dr.Syamsul Hidayat, Sp.M Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Mata

description

Mata

Transcript of PTERYGIUM

Page 1: PTERYGIUM

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Mata Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

RSUD Abdul Wahab Sjahranie

PTERYGIUM

Disusun Oleh:

Siti Desy Astari (0708015032)

Ratna Helyani ()

Pembimbing:

dr.Syamsul Hidayat, Sp.M

Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman/RSUD AW Sjahranie

Samarinda

2013

Page 2: PTERYGIUM

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifatdegeneratif dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporalmaupun

nasal konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra. Asal kata pterygium dari bahasa

Yunani, yaitu  pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu

pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan

patologik  pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.

Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar

ultraviolet,daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada

orangyang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar

matahari, berdebu atau berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat

bervariasi,tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering.Faktor yang

sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi padadaerah berdebu dan kering. Insiden

pterygium di Indonesia yang terletak di daerah ekuator,yaitu 13,1%. Insiden tertinggi pterygium terjadi

pada pasien dengan rentang umur 20 – 49tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium.

Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua.

Masalah klinis yang menjadi tantangan adalah tingginya pterigium rekuren dan

pertumbuhan yang agresif pada pterigium rekuren. Selain itu pterigium menimbulkan keluhan

kosmetik dan berpotensi mengganggu penglihatan pada stadium lanjut, lesi harus diangkat

secara pembedahan bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah

perluasannya.Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan tutorial kasus ini adalah untuk memahami cara melakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik maupun penunjang, penegakan diagnosis kerja beserta diagnosis banding,

penatalaksanaan serta prognosis yang tepat mengenai pterygium.

Page 3: PTERYGIUM

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut Sidharta Ilyas, Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular

konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah

kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium

berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. 1,2

Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal

ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.2

Gambar 2.1 Mata dengan pterygium 2

2.2 Faktor Resiko

Faktor resiko yang mempengaruhi munculnya pterygium antara lain ialah :

1. Usia

Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia, banyak ditemui pada usia

dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Pterygium terbanyak pada usia

dekade kedua dan ketiga.

2. Pekerjaan

Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar

ultraviolet. Sinar ultraviolet diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva yang kemudian akan

mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu diluar rumah,

pengunaan kacamata dan topi juga meupakan faktor penting yang dapat meningkatkan

resiko terjadinya pterygium.

3. Tempat tinggal

Page 4: PTERYGIUM

Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya.

Distribusi ini meliputi seluruh dunia, tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad

terakhir menunjukkan bahwa negara di kahtulistiwa memiliki angka kejadia pterygium

yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakn bahwa orang yang menghabiskan 5 tahun

pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki resiko pterygium 36

kali lebih besar dibandingkan didaerah yang lebih selatan.

4. Jenis kelamin

Tidak terdapat perbedaan resiko antara laki-laki dan perempuan.

5. Herediter

Pterygium dipengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.

6. Infeksi

Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.

7. Faktor resiko lainnya

Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap

rokok dan pasir merupakan salah satu faktor resiko terjadinya pterygium.

2.3 Patogenesis

Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih sering pada

orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima tentang hal

tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap sinar

ultraviolet dari matahari, daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor

iritan lainnya. Diduga pelbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi elastis

jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan hasil dari

kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik

untuk kondisi ini.2,3

Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastik

kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan yang menutupi epitel. Hal ini

disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi yang selalu berhubungan dengan dunia luar dan

secara intensif kontak dengan ultraviolet dan debu sehingga sering mengalami kekeringan yang

mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi sampai menjalar ke

kornea. Selain itu, pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear

Page 5: PTERYGIUM

film menimbulkan fibroplastik baru. Tingginya insiden pterygium pada daerah beriklim kering

mendukung teori ini.2,3

Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra

akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber regenarasi epitel kornea dan sinar

ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal stem cell. Tanpa

apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan

meningkatkan proses kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis.

Akibatnya, terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular.

Pada jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi elastik dan proliferasi jaringan

vaskular di bawah epitelium yang kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat

pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang sering disertai

inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal, atau tipis dan kadang terjadi displasia. Pada keadaan

defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. 2,3,4

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype, yaitu

lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium

menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks ekstraselular yang berfungsi untuk

memperbaiki jaringan yang rusak, penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini

menjelaskan penyebab pterygium cenderung terus tumbuh dan berinvasi ke stroma kornea

sehingga terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.2,4,5

2.4 Gambaran Klinis Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris, karena kedua

mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan

kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva secara relatif

mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain.

Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak

langsung akibat pantulan dari hidung.1,2

Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun

pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan pterygium dapat sampai ke medial

dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.2,3

Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke

kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi

Page 6: PTERYGIUM

pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala

pterygium (stoker’s line).2,3

Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama

sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

- mata sering berair dan tampak merah

- merasa seperti ada benda asing

- timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium

- pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan.

- Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.2,3

2.5 Klasifikasi PterygiumPterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

1. Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke arah

kantus

2. Apex (head), bagian atas pterygium

3. Cap, bagian belakang pterygium. 1,2,3

A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir

pterygium.

Pterygium juga dibagi dalam 4 derajat yaitu :1. Derajat 1 :Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

2. Derajat 2 :Jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak

lebih dari 2 mm melewati kornea

3. Derajat 3 :Jika pterygium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak

melebihi pinggiran pupil mata, dalam keadaan cahaya

normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)

4. Derajat 4 :Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil

sehingga mengganggu penglihatan. 1,2,3

2.6 Diagnosis BandingSecara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama yaitu pinguecula

dan pseudopterygium.

1. Pinguecula

Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan dengan

limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang terinflamasi. Prevalensi

dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang

Page 7: PTERYGIUM

dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar

ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.2,3

Pada umumnya pada pinguecula tidak diperlukan terapi, namun pada kasus

pingueculitis tertentu, steroid topikal lemah atau medikasi anti inflamasi nonsteroid topikal

dapat diberikan. Tidak ada indikasi eksisi pada pinguecula.2

2. Pseudopterygium

Pseudopterigium adalah perlengkatan konjungtiva dengan kornea yang cacat,

biasanya hal ini terjadi akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti pada trauma,

trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea.

Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring atau Terriens

marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada

konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head,

cap dan body dan pseudopterygium letaknya yang tidak harus dimulai dari celah kelopak

atau fissura palpebra. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka

probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah

pseudopterigium pada limbus, sedangkan pada pterygium tak dapat dilakukan. 1,2

Pseudopterygium menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Penanganan

pseudopterygium adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang

sikatrik dan menutupi defek sklera dengan graft konjungtiva yang berasal dari aspek

temporal.

Gambar 2.2 Perbedaan pterygium (A) dan pinguecula (B)

2.7 Penatalaksanaan1. Konservatif

Pada pterygium yang ringan tidak perlu diobati dan biasanya cukup diatasi dengan

menghindari faktor iritan serta memakai pelindung mata untuk meminimalisasi kontak mata

dengan lingkungan. Untuk pterygium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat

diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.

A B

Page 8: PTERYGIUM

Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan

tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.4,5,6

2. BedahPada pterygium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterygium. Sedapat

mungkin setelah avulsi pterygium maka bagian konjungtiva bekas pterygium tersebut ditutupi

dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan

angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigyum yaitu memberikan hasil yang baik

secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang

rendah.7,8

Indikasi Operasi- Pterygium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

- Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

- Pterygium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena

astigmatismus

- Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.8

Teknik PembedahanTantangan utama dari terapi pembedahan pterygium adalah kekambuhan, dibuktikan

dengan pertumbuhan fibrovaskular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan,

meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. 

Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pteryigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.

Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterygium dari kornea yang

mendasarinya.  Keuntungan termasuk epitelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal

dan halus dari permukaan kornea.3,7

Teknik lain yang bisa digunakan pada pembedahan pterygium, yaitu :

1. Bare sclera : benang absorbable digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di

depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka. Tingkat

kekambuhan tinggi, antara 24 – 89 %, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.

2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek

konjungtiva sangat kecil).

3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser

untuk menutupi defek.

Page 9: PTERYGIUM

4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva

yang dirotasi pada tempatnya.

5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai

dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.

Memiliki tingkat kekambuhan antara 2 – 40 % pada beberapa studi prospektif. Komplikasi

jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara

hati-hati jaringan Tenon's dari graft conjungtiva penerima, manipulasi minimal jaringan

dan orientasi akurat dari graft tersebut.  3,7

6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterygium, mengurangi

fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan

TGF-β pada konjungtiva dan fibroblast pterygium. Pemberian mytomicin C dan beta

irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan

pterygium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum

teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa membran amnion berisi

faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epitelialisasi. Sayangnya,

tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada, antara 2,6 -10,7 % untuk

pterygium primer dan 37,5 % untuk kekambuhan pterygium sekunder. 3,5,7

2.8 KomplikasiKomplikasi pterygium termasuk mata merah, iritasi, dan skar kronis pada konjungtiva

dan kornea. Pada pasien yang belum dieksisi, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, skar

pada otot rektus medial dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan

degenerasi pada jaringan epitel diatas pterygium yang ada.

Komplikasi sewaktu operasi antara lain ialah perforasi korneosklera, graft oedem, graft

haemorrhage, graft retraction, jahitan longgar, granuloma konjungtiva, skar konjungtiva, skar

kornea, astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi terbanyak adalah rekurensi pterygium

setelah operasi.

2.9 PrognosaPenglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada hari

pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien dapat beraktivitas kembali setelah

48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dengan

Page 10: PTERYGIUM

conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6

bulan pertama setelah operasi.3

Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena

terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi

intensitas terpapar sinar matahari.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009

Page 11: PTERYGIUM

2. Ilyas S, dkk. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, Edisi

Kedua. Jakarta: CV. Sagung Seto. 2002

3. Vaughan, Daniel, G.. Oftamologi Umum edisi ke-14. Jakarta : Widya Medika.

2000Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology. 7 edition. UK: Elsevier-Saunders.

2011. Pg 273

4. Suharyo, Hartono. Ilmu penyakit mata. Bagian Ilmu penyakit mata FK UGM:

Yokyakarta; 2007: 89-95

5. Putra AK. Penatalaksanaan pterygium Atmajaya. 2003 : 2 : 137 – 147

6. Fisher, Jerome P. PTERYGIUM. http://emedicine.medscape. com/article/ 1192527-

overview. 2009. Diakses pada tanggal 9 November 2012.

7. Waller G. Stephen, Adam P Anthony. Pterygium. Duane’s Clinica Opthalmology.

Chapter 35. Vol 6. Revised Edition. Lippincot William & Wilkins. 2004. Page 1-10

8. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III.2006. Rumah

Sakit DR. Sutomo Surabaya