Proposal Penelitian Perbaikan Oke

download Proposal Penelitian Perbaikan Oke

of 28

Transcript of Proposal Penelitian Perbaikan Oke

PROPOSAL PENELITIAN tentang PENUNDAAN IKRAR TALAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA PARIAMAN

Usulan Penelitian untuk Penyusunan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Oleh: RINA ANDAYANI NPM. : 0710005600091

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TAMANSISWA PADANG

2011

ii

LEMBAR PENGESAHAN

PENUNDAAN IKRAR TALAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA PARIAMAN Proposal Penelitian telah Diseminarkan pada Hari/Tanggal: Jumat/25 Februari 2011 oleh:

RINA ANDAYANI NPM. 0710005600091

Pembimbing I

Pembimbing II

Hj. Ulfanora, S.H., M.H.

H. Mardius, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TAMANSISWA PADANG 2011

iii

PENUNDAAN IKRAR TALAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA PARIAMAN

A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam Islam disebut nikah, arti nikah menurut bahasa Arab adalah berhimpun atau wata, sedangkan menurut syara artinya adalah suatu akad yang memperbolehkan seorang pria dan wanita bergaul bebas (wata).1 Tujuan perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah membina rumah tangga bahagia. Perkawinan diharapkan dapat bertahan seumur hidup, artinya perceraian baru dapat terjadi apabila salah seorang suami atau isteri meninggal dunia.2 Perceraian merupakan akibat dari suatu atau beberapa problem kehidupan yang gagal diatasi secara bersama-sama oleh pasangan suami isteri. Putusnya suatu perkawinan melalui perceraian merupakan sesuatu yang alami (natural) dan juga bersifat universal.3 Siapa saja yang merasa perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan akan mencari jalan untuk berpisah yaitu perceraian.

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2005, hal. 73 2 Tahir Azhary, Mimbar Hukum No. 13 Thn. V 1994, Analisis Yurisprudensi tentang Perceraian, Al Hikmah & DITBINBAPERA Islam, , hal. 88 3 Hammudah Abd. Al-Ati yang dikutip Hasan Bisri, Mimbar Hukum No. 39 Thn. IX 1998 September-Oktober, Gambaran Umum tentang Perceraian, Al Hikmah & DITBINBAPERA Islam, Jakarta, hal. 51

iv

Bagi orang Islam, perceraian lebih dikenal dengan istilah talak. Talak adalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.4 Perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah sebelumnya diupayakan perdamaian dengan

melibatkan keluarga kedua belah pihak.5 Saat pergaulan kedua suami-isteri tidak dapat mencapai tujuan perkawinan, maka akan mengakibatkan perpisahan. Karena tidak adanya kata kesepakatan antara suami-isteri, maka dengan keadilan Allah SWT, dibukanya suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yaitu pintu perceraian. Perceraian diharapkan menjadi jalan terbaik demi terwujudnya ketertiban, dan ketentraman antara kedua belah pihak. Masing-masing dapat mencari pasangan yang cocok yang dapat mencapai apa yang dicita-citakan.6 Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Muhmmad SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah sebagai berikut:

Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda Sesungguhnya yang halal yang amat dibenci Allah adalah talak. Tujuan perceraian adalah sebagai obat, dan jalan keluar bagi suatu kesulitan yang tidak4 5

Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah, Darul Fikri, Beirut, Jilid II, tt, hal.206. A. Fuad Said yang dikutip Abdul Manan, Jurnal Mimbar Hukum No 52 Th XII 2001 Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, al-Hikmah & DITBINBAPERA, Jakarta. hal. 7. 6 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Attahiriyah, Jakarta, 2004, hal. 380

v

dapat diatasi lagi selain dengan perceraian, meskipun demikian talak masih tetap di benci Allah.7 Secara garis besar hukum Islam membagi perceraian kepada dua golongan besar yaitu talak dan fasakh. Talak adalah perceraian yang timbul dari tindakan suami untuk melepaskan ikatan dengan lafaz talak dan seumpamanya, sedangkan fasakh adalah melepas ikatan perkawinan antara suami isteri yang biasanya dilakukan oleh isteri.8 Undang-undang No. 7 tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam juga mengenalkan dua macam perceraian yaitu cerai talak dan cerai gugat (khuluk). Cerai talak adalah cerai yang diajukan oleh suami terhadap isterinya, sehingga perkawinan mereka menjadi putus (Pasal 66-72 Undang-undang No. 7 tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama jo Pasal 117-122 Kompilasi Hukum Islam). Seorang suami yang bermaksud menceraikan isterinya mereka harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada pengadilan. Cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus (Pasal 73-86 Undang-undang No. 7 tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama jo Pasal

7 8

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, PT. Almaarif, 1980, Bandung, hal. 8 Abdul Manan, op.cit., hal. 12.

vi

124 Kompilasi Hukum Islam). Seorang isteri yang bermaksud bercerai dari suaminya harus lebih dahulu mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Pembedaan ini dikarenakan oleh Hukum Islam suami merupakan pemegang kekuasaan atas tali perkawinan, jadi suamilah yang berhak untuk melepaskan tali perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak9. Suami dapat meminta ijin kepada Pengadilan untuk menjatuhkan talaknya atas alasan yang cukup. Sementara untuk isteri, karena tidak mempunyai hak untuk menceraikan suami, maka ia harus mengajukan gugatan untuk bercerai ke pengadilan10. Hal lain yang membedakan perkara cerai talak dengan cerai gugat adalah bahwa pada cerai talak ada hal-hal yang melekat menjadi kewajiban suami yang merupakan hak isteri dan harus dipenuhi. Kewajiban itu diantaranya pemberian mutah yang layak, pelunasan nafkah terhutang oleh suami, pemberian nafkah, maskan dan kiswah selama masa iddah, pelunasan mahar terhutang, pemberian biaya hadlonah bagi anak-anak yang belum dewasa, dan keseluruhannya diatur menurut ketentuan yang berlaku dan berdasarkan kepatutan11. Pembeda lainnya antara cerai talak dengan cerai gugat adalah saat putusnya perkawinan. Pasal 71 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menyebutkan untuk cerai talak Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan, danA. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal. 206. 10 Ibid, hal. 207. 11 Ibid., hal. 219.9

vii

penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi. Pasal 81 ayat (2) menyebutkan untuk cerai gugat Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Tampak ada kekhususan tersendiri atas perkara cerai talak, dimana putusan hakim atas perceraian tersebut tidak menjadikan perkawinan putus tapi harus diikuti oleh pengucapan ikrar talak di muka Pengadilan. Pengucapan ikrar talak tersebut diberikan tenggang waktu enam bulan. Pasal 70 ayat (6) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama menyebutkan : Jika suami dalam tenggang waktu 6 bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama Mengacu pada maksud dari Undang-undang Pasal 70 ayat (6) Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama tersebut bahwa pengadilan memberikan tenggang waktu 6 (enam) bulan kepada suami untuk mengikrarkan talaknya. Pemberian tenggang waktu dalam Pasal ini bukan merupakan kewenangan Hakim untuk menunda pengikraran talak, tapi undang-undang memberikan waktu untuk suami secara tidak langsung. Kemudian, Pasal 186 ayat (4) HIR menyebutkan tidak boleh dilakukan penundaan atas permohonan para pihak atau karena jabatan bila tidak benar-benar diperlukan.

viii

Penulis mengamati di dalam praktek peradilan agama terdapat beberapa kasus yang ikrar talaknya sampai saat ini masih belum diikrarkan karena adanya penundaan ikrar talak oleh hakim demi terpenuhinya hak isteri seperti Putusan Nomor: 68/Pdt.G/2007/PA.Prm, Nomor: 170/Pdt.G/2008/PA.Prm dan Nomor: 133/Pdt.G/2010/PA.Prm. Pengadilan telah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak setelah penetapan cerai talak berkekuatan hukum tetap tersebut, namun karena pada hari yang ditentukan tersebut tuntutan isteri yang telah disepakati dan tertuang dalam penetapan cerai talak belum dipenuhi suami, maka hakim memberikan waktu hingga 6 bulan untuk kembali memenuhi tuntutan isteri dan mengucapkan ikrar talak tersebut. Akibat dari penundaan itu, suami sampai saat ini tidak kembali ke Pengadilan untuk mengucapkan ikrar talak ataupun memenuhi tuntutan isteri. Isteri tidak memperoleh kepastian hukum akibat penundaan ikrar talak tersebut, karena suami tidak pernah kembali ke pengadilan sampai waktu 6 bulan yang telah ditetapkan pengadilan. Penetapan cerai talak yang telah berkekuatan hukum tetap menjadi gugur akibat tidak adanya ikar talak oleh suami. Perkawinan kembali utuh, walaupun dalam fakta persidangan keduanya tidak dapat didamaikan sebagai suami isteri lagi. Penulis tertarik membahas tentang penundaan cerai talak tersebut, dan segala hal yang menjadi latar belakang dan akibatnya yang penulis rangkum dengan judul; Penundaan Ikrar Talak Dan Implikasinya Terhadap Cerai Talak di Pengadilan Agama Pariaman

ix

B. Perumusan Masalah Agar penulisan ini lebih terarah dan tidak membahas masalah yang terlalu luas, maka perlu adanya identifikasi terhadap masalah yang akan dibahas. Penulis membagi masalah yang akan penulis bahas yaitu: 1. Apa alasan penundaan ikrar talak oleh hakim Pengadilan Agama Pariaman? 2. Bagaimana akibat hukum penundaan ikrar talak terhadap perkara cerai talak di Pengadilan Agama Pariaman?

C. Tujuan Penelitian Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui alasan penundaan ikrar talak suami oleh hakim Pengadilan Agama Pariaman. 2. Untuk mengetahui akibat hukum penundaan ikrar talak terhadap perkara cerai talak di Pengadilan Agama Pariaman.

x

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penulis berharap tulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya literatur sehingga dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan pemahaman khususnya tentang cerai talak baik kepada khalayak umum maupun bagi kalangan akademisi serta untuk menambah pengetahuan di bidang hukum, khususnya hukum perdata perkawinan Islam. 2. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis penelitian ini yaitu : a. Bagi Hakim Hakim sebagai pemeran utama dalam memutuskan perkara hendaknya hakim lebih teliti dalam memutuskan perkara baik dari segi materiil perkara maupun formiil perkara serta menempatkan

wewenangnya secara proporsional dan professional khususnya untuk perkara cerai talak. b. Bagi Prakatisi Hukum Lainnya Beberapa pihak yang cukup berpartisipasi dalam perkara perdata khususnya cerai talak diharapkan supaya hasil penelitian ini menjadi sumber informasi dan masukan dalam membahas dan menyelenggarakan perkara perdata perkawinan Islam.

xi

c. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi dan masukan bagi kalangan ilmiah umumnya dan hukum khususnya dalam melakukan penelitian-penelitian berikutnya.

E. Tinjauan Pustaka 1. Perkawinan dan Tujuannya Kamus Bahasa Indonesia kontemporer mencantumkan tiga padanan kata untuk kawin, yaitu menikah, bersetubuh (dalam ragam cakapan), berkelamin (untuk hewan), diikuti dengan deretan istilah kawin, mulai dari kawin acak sampai kawin suntik. Kamus bahasa Inggris marriage (perkawinan) ditegaskan sebagai the union of a man and woman by a ceremony in law (persatuan seorang laki-laki dan perempuan melalui sebuah upacara menurut hukum) dan the state of being so united (keadaan sedemikian bersatunya). Tugas ini kemudian dilembagakan melalui peresmian hubungan laki-laki dan perempuan oleh institusi agama dan negara untuk mendirikan keluarga.12 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991http://id.shvoong.com/books/1692841-definisi-perkawinan (terakhir kali dikunjungi tanggal 1 Januari 2011 pukul 15:19 WIB)12

xii

yang kemudian disebut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 2 mengatakan bahwa perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan persetujuan kedua belah pihak demi mewujudkan rumah tangga sebagai ibadah (menaati perintah Allah), berlandaskan Pancasila (sila pertama) dengan tujuan untuk kehidupan yang satu, bahagia dan kekal. Muhammad Daud Ali menguraikan perkawinan sebagai bentuk perjanjian (suci) antara seorang pria dengan seorang wanita, berlaku beberapa asas diantaranya: a) kesukarelaan, b) persetujuan kedua belah pihak, c) kebebasan memilih, d) kemitraan suami isteri dan e) untuk selama-lamanya.13 Asas untuk selama-lamanya menunjukkan bahwa perkawinan dilaksankan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup. Perkawinan mutah atau perkawinan sementara untuk13

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 139

xiii

bersenang-senang selama waktu tertentu saja seperti yang terjadi pada masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam dilarang oleh Nabi Muhammad SAW.14 Semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic law, mengatakan perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan seorang wanita untuk menjadi suami isteri. Perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga, mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhak masyarakat dan pembentukan peradaban.15 Suatu perkawinan secara ideal diharapkan dapat bertahan seumur hidup, tetapi tidak selamanya pasangan suami-isteri dapat menjalani kehidupan yang maruf, sakinah, mawwadah, warrahmah. Selama perjalanan perkawinan kadang pasangan suami-isteri menemui masalah atau kendala-kendala yang menyebabkan terjadinya perceraian. 2. Perceraian dan Alasannya Cerai adalah terputusnya perkawinan antara suami dan isteri, dengan tekanan terputusnya hubungan ikatan perkawinan antara suamiisteri. Perceraian merupakan keadaan lepasnya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri, yang dilakukan di depan sidang pengadilan,16 Pengadilan Negeri untuk non muslim danIbid, hal. 140 Rifyal Kabah, Majalah Varia Peradilan, No 271 Juni 2008 Permasalahan Perkawinan, IKAHI, Jakarta, hal. 7. 16 Ahrun Hoerudin, Pengadilan Agama Bahasan Tentang Pengertian Pengajar Perkara Dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, Citra Aditya Bakti, hlm. 914 15

xiv

Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Perceraian menurut hukum perdata merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Perceraian tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasanalasan kuat yang mendasarinya. Perceraian merupakan jalan keluar (way out) terakhir yang ditempuh. Pendapat Hammudah Abd. Al-Ati yang dikutip oleh Hasan Bisri dalam artikelnya Gambaran Umum tentang Perceraian menyebutkan perceraian halal tapi dibenci dalam makna cacat atau kelalaian.17 Pada keadaan yang terbatas dan tertentu perceraian perlu dihalalkan untuk menjawab kebutuhan dasar manusia, sehingga bisa dilarang atau tidak dianjurkan, tetapi bisa pula wajib atau dianjurkan tergantung pada situasinya. Al-Quran menyarankan agar suami-isteri bergaul secara maruf dan jangan menceraikan isteri dengan sebab-sebab yang tidak prinsip. Perceraian baru dapat dilaksanakan apabila telah dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali hanya dengan jalan perceraian. Perceraian dibolehkan namun dibenci oleh agama. Sebuah hadits bahkan memberikan ancaman khusus bagi seorang isteri yang meminta jatuhnya talak dari suaminya tanpa disertai alasan yang dibenarkan syara yaitu:

17

Hasan Bisri, ap. cit., hal. 8

xv

Artinya: Siapa saja isteri yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka ia haram menghirup wanginya surga18 Perceraian dapat dilakukan dengan alasan yang cukup untuk melakukannya.19 Undang-undang perkawinan bersifat mempersulit

perceraian, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. 3. Pelaksanaan Cerai Talak Perceraian dalam Islam lebih dikenal dengan istilah talak. Cerai talak merupakan salah satu bentuk cara yang dibenarkan hukum Islam memutuskan akad nikah antara suami isteri.20 Talak berasal dari kata ithlaq artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah agama talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.21 Cerai talak adalah terputusnya tali perkawinan (akad nikah) antara suami dengan isteri dengan talak yang diucapkan suami di depan sidang pengadilan agama.22 Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan Agama. Talak berasal dari bahas Arab, yang artinya adalah melepaskan atau meninggalkan, seperti melepaskan sesuatu dari ikatannya23. Kitab MughniSayyid Sabiq, op. cit, hal. 207. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama, AlHikmah, 1975, Jakarta, hal. 133 20 Ibid. 21 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, PT. Almaarif Bandung, Bandung, hal. 7 22 Ahrun Hoerudin, loc. cit. 23 Peunoh Daly, op. cit., hal. 24718 19

xvi

l-Muhtaj III, Muhammad al-Syarbini l-Khatib yang dikutip oleh Peunoh Daly menyebutkan dalam istilah syara talak ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafal talak atau yang searti

dengannya24.Hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah yang dikutip oleh Shoeliq dalam tulisan Yahya Harahap disebutkan talak berarti melepaskan ikatan, yaitu melepaskan ikatan perkawinan dengan

mengucapkan secara sukarela ucapan talak kepada isterinya, dengan katakata yang jelas/sharih ataupun dengan kata-kata sindiran/kinayah25. Talak sesungguhnya telah popular dilakukan masyarakat Arab jauh sebelum Islam, namun ada perbedaan dalam pelaksanaan talak menurut Islam dibandingkan dengan talak di zaman sebelum Islam26. Merujuk pada makna dari talak tersebut, seolah-olah hukum Islam memberi hak dan kewenangan penuh bagi suami untuk menceraikan isterinya melalui talak, akibatnya banyak suami menjatuhkan talak isterinya tanpa mengenal waktu dan tempat. Biasanya yang menjadi alasan bagi suami untuk menjatuhkan talak isterinya, tergantung penilaian subjektif suami, karena tidak adanya badan resmi yang menilai objektivitasnya. Kebolehan menjatuhkan talak isteri merupakan kebolehan yang harus dipergunakan secara proporsional dan hati-hati sekali secara terbatas dan eksepsional27. Pendapat Hammudah Abd. Al Ati yang dikutip Yahya

Ibid. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 215. 26 Peunoh Daly, op. cit.,hal. 247 27 Yahya Harahap, loc. cit.24 25

xvii

Harahap talak adalah semacam perceraian sederhana yang bisa dirujuk atau simple revocable divorce28, bukan untuk mengakhiri perkawinan. Penyalahgunaan wewenang suami menjatuhkan talak terhadap isteri sering terjadi. Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Bab V Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1979 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah membatasi kewenangan tersebut dengan tidak diakuinya talak liar yaitu talak yang dilakukan suami di luar pengadilan. Cerai talak diajukan suami (sebagai pemohon) terhadap isterinya (sebagai termohon) ke Pengadilan Agama sesuai kompetensi relatifnya. Proses penerimaan perkara hingga proses penyelesaian perkara cerai talak sama dengan penyelesaian sengketa lainnya, namun dalam perkara cerai talak isteri diberi hak untuk mengajukan gugat rekonvensi (counter claim) karena perkara proses pemeriksaan persidangan bersifat contradictoir atau optegenspraak atau adversary proceeding29. Alasan lainnya adalah demi rasa kemanusiaan terhadap isteri, sebagai pihak yang ditinggalkan, agar tetap terjamin kehidupannya maka isteri dapat menuntut balik hak-haknya.

4.

Putusan sebagai Produk Pengadilan

28 29

Yahya Harahap, loc. cit Peunoh Daly, op. cit, hal. 224.

xviii

Hasil akhir dari setiap penyelesaian perkara di Pengadilan diantaranya putusan, penetapan dan akta perdamaian30. Putusan dalam bahasa Belanda disebut vonnis, dalam bahasa Arab disebut al-qadau yang merupakan produk Pengadilan Agama31. Menurut Mukti Arto Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan dibacakan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (contentius)32. Pendapat Andi Hamzah yang dikutip oleh Abdul Manan putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan33. Pendapat Sudikno Mertokusumo yang dikutip Abdul Manan menyebutkan putusan itu adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum untuk tujuan untuk menyelesaikan perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara34. Abdul Manan menyimpulkan, putusan adalah kesimpulan akhir majelis hakim yang telah diberi wewenang atas itu, dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang berperkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum35. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

A. Mukti Arto, op.cit., hal. 251. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hal. 203. 32 A. Mukti Arto, op.cit, hal. 251. 33 Abdul Manan,Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 2000, hal. 173. 34 Ibid. 35 Ibid.30 31

xix

putusan merupakan kesimpulan akhir majelis hakim atas sebuah sengketa yang ditanganinya guna mengakhiri sengketa antara para pihak. Putusan pengadilan mempunyai tiga kekuatan yaitu kekuatan mengikat (bindenden kracht), kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan kekuatan eksekusi (executoriale kracht)36. Suatu putusan mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti serta kekuatan eksekusi setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht). Perkara cerai talak diakhiri oleh dua produk pengadilan, yaitu putusan dan penetapan. Penetapan juga merupakan salah satu produk pengadilan, dalam menyelesaiakan sengketa para pihak. Perbedaannya dengan putusan, penetapan biasanya digunakan untuk mengakhiri perkara yang bersifat volunter37. Bahasa Arab penetapan disebut al Isbat, dalam bahasa Belanda disebut beschiking yang merupakan produk jurisdictio voluntaria38. Penetapan dalam perkara cerai talak adalah penetapan ikrar talak, dibuat oleh hakim setelah putusan sebelumnya berkekuatan hukum tetap (in kracht). Pasal 70 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dikatakan kekuatan hukum tetap. 5. Pelaksanaan Ikrar Talak di Pengadilan Agama bahwa setelah putusan mempunyai

Roihon A. Rasyid, op. cit., hal. 213. A. Mukti Arto, op. cit, hal. 251. 38 Roihon A. Rasyid, op. cit., hal. 214.36 37

xx

Pasal 70 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dikatakan bahwa setelah putusan mempunyai

kekuatan hukum tetap dapat ditentukan hari sidang penyaksian ikrar talak. Pengadilan Agama menetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak dalam suatu penetapan dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. Pasal 70 Ayat (5) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama menyebutkan apabila pada sidang ikrar talak isteri/wakilnya tidak hadir, maka suami/wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri/wakilnya. Ayat (6) pasal yang sama menyebutkan jika suami/wakilnya tidak hadir, maka diberikan tenggang waktu hingga 6 bulan terhitung sejak tanggal hari sidang ikrar talak tersebut. Pengadilan dapat membuka sidang kembali untuk penyaksian ikrar talak dengan memanggil para pihak apabila dalam tenggang 6 bulan tersebut suami datang ke pengadilan sehingga, perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan di depan sidang dan terhadap putusan tersebut tidak dapat diajukan banding ataupun kasasi. Putusan hakim atas perceraian tersebut gugur apabila dalam tenggang waktu 6 bulan tersebut, suami tidak datang hingga habis waktu tenggang tersebut dan tidak bisa diajukan kembali dengan alasan yang sama.

xxi

Akibat putusan gugur dalam kasus ini adalah bahwa isi dari diktum atau amar putusan putusan sebelumnya (putusan cerai talak) tidak dapat dilakukan eksekusi lagi. Ijin mengikrarkan talak yang tercantum pada amar putusan sebelumnya tidak dapat dilakukan lagi, karena hak suami menjatuhkan talaknya sudah lewat waktu (daluarsa). Kekuatan pada putusan tersebut hanya kekuatan pembuktian yaitu apa yang telah diputuskan oleh hakim adalah benar dan tidak boleh diajukan lagi perkara yang sama dengan alasan yang sama (nebis in idem)39, walaupun putusan telah in kracht putusan tersebut tidak berkekuatan mengikat ataupun eksekutorial.

F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan secara yuridis sosiologis yaitu penelitian dilakukan dengan memperhatikan norma-norma hukum yang berlaku dan dihubungkan dengan fakta-fakta permasalahan yang ditemui nantinya. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat desksriptif yaitu dengan memberikan gambaran terhadap data yang diperoleh dari lapangan dan hasil argumentasi secara sistematis dan apa adanya serta dapat dipertanggungjawabkan.

3. Jenis Data39

A. Mukti Arto, op. cit, hal. 272.

xxii

Tulisan ini mempergunakan pendekatan secara yuridis sosiologis, seperti yang penulis uraikan di atas, maka penulis mempergunakan data primer dan data sekunder, sebagai berikut: a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden yang dalam hal ini adalah Hakim Pengadilan Agama Pariaman. b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan yang meliputi : 1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang mendukung dalam melakukan penelitian, antara lain : a. Al-Quran b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. d. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana tentang peradilan Agama. e. Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, berbentuk bahan kepustakaan berupa buku-buku, hasil karya ahli hukum penelitian, serta majalah-majalah hukum.

xxiii

3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penyelesaian terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti tafsir Al-Quran, kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia. 4. Sumber Data Penulisan ini menggunakan sumber data berupa: a. Penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap bahan-bahan

kepustakaan yang dilakukan di Ruang Arsip Pengadilan Agama Pariaman berupa berkas putusan perkara cerai talak. b. Penelitian lapangan yaitu penelitian dengan melakukan survey lapangan terhadap data yang telah didapat dari penelitian kepustakaan,

menganalisa dan merumuskan permasalahan sesuai dengan yang terjadi di lapangan. Penulis melakukan penelitian ini di Pengadilan Agama Pariaman. 5. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data penelitian ini yaitu : a. Studi Dokumen Penulis melakukan studi dokumen untuk memperoleh data sekunder yaitu dengan melakukan pemeriksaan atau mempelajari berkas, literatur buku-buku, peraturaan perundang-undangan dan dokumen yang erat dengan permasalahan.

xxiv

b. Wawancara Setelah melakukan studi dokumen penulis melakukan wawancara untuk memperoleh data primer. Penulis melakukan wawancara semistructure yaitu pengumpulan data dengan mendapatkan keterangan secara langsung dari pihak responden yaitu Hakim Pengadilan Agama Pariaman dengan membuat daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara, namun tidak menutup kemungkinan untuk membahas permasalahan di luar daftar pertanyaan yang masih berkaitan dengan judul. 6. Pengolahan dan Analisa Data a. Pengolahan Data Setelah Data terkumpul maka dilakukan pengolahan data, yaitu dengan cara teknik editing, yaitu data diperiksa dan diteliti kebenarannya untuk menjamin agar data tersebut dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan. b. Analisis Data Semua data yang telah diolah, baik data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis dengan menguraikan data dalam bentuk kalimat-kalimat secara jelas dan rinci untuk memperoleh pemahaman.

xxv

G. Sistematika Penulisan Proposal ini selanjutnya akan penulis kembangkan menjadi skripsi, agar mendapatkan gambaran yang jelas dan lebih mudah dipahami, maka dibuatlah sistematika penulisan yang dikelompokan menjadi IV bab yang meliputi : 1. BAB I; PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian dan metode penelitian. 2. BAB II; TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini dibahas mengenai pengertian perkawinan dan tujuannya, perceraian dan alasan-alasannya, pelaksanaan cerai talak, putusan sebagai produk pengadilan dan pelaksanaan ikrar talak. 3. BAB III; HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini dibahas tentang alasan penundaan ikrar talak oleh hakim Pengadilan Agama Pariaman dan akibat hukum penundaan ikrar talak terhadap perkara cerai talak. 4. BAB IV; PENUTUP Dalam bab ini diuraikan hasil kesimpulan dari penulis dan beberapa saran.

xxvi

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 2000. Ahrun Hoerudin, Pengadilan Agama Bahasan Tentang Pengertian Pengajar Perkara dan Kewenangan Agama Setelah Berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Citra Aditya Bakti. A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007. Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2005. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 1991. Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah Jilid II, Darul Fikri, Beirut, tt. Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah Jilid II, Darul Fikri, Beirut, tt. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Attahiriyah, Jakarta, 2004. B. Peraturan Al Quran dan Terjemahannya, Diponegoro, Bandung, 2005.

xxvii

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1979 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. C. Lainnya Abdul Manan, Jurnal Mimbar Hukum No 52 Th XII 2001 Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, al-Hikmah & DITBINBAPERA, Jakarta. Hasan Bisri, Mimbar Hukum No. 39 Thn. IX 1998 September-Oktober, Gambaran Umum tentang Perceraian, Al Hikmah &

DITBINBAPERA Islam, Jakarta. Rifyal Kabah, Majalah Varia Peradilan, No 271 Juni 2008 Permasalahan Perkawinan, IKAHI, Jakarta. Tahir Azhary, Mimbar Hukum No. 13 Thn. V 1994, Analisis Yurisprudensi tentang Perceraian, Al Hikmah & DITBINBAPERA Islam, Jakarta. Website Shvoong Ringkasan, Tinjauan, Esai dan Abstrak Buku;

http://id.shvoong.com/books/1692841-definisi-perkawinan.

xxviii