Proposal New

43
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang berarti sayap (wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada konjungtiva bulbi (American Academy of Ophtalmology), tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, bersifat degeneratif dan invasif, umumnya bilateral di sisi nasal, (Waller G. Stephen,et al) biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea (Gazzard G, Saw S-M) . Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah (T H Tan Donald et all) .

Transcript of Proposal New

Page 1: Proposal New

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang berarti sayap

(wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada

konjungtiva bulbi(American Academy of Ophtalmology), tumbuh menginfiltrasi permukaan

kornea, bersifat degeneratif dan invasif, umumnya bilateral di sisi nasal,(Waller G.

Stephen,et al) biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral

kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus. Pertumbuhan ini

biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva

yang meluas ke daerah kornea (Gazzard G, Saw S-M). Pterigium mudah meradang dan bila

terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah (T H Tan Donald et all).

Pterigium diduga disebabkan iritasi lama akibat debu, cahaya sinar

matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan

diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.(Sidarta)

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim

panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor

yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah < 370

lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah

dekat ekuator dan < 2 % pada daerah di atas lintang 400. Terdapat beberapa

Page 2: Proposal New

2

penelitian yang menunjukan frekuensi pterygium yang berhubungan dengan

faktor tersebut,(Waller G. Stephen,et al) :

Penelitian case contro di Australia, mengidentifikasi jumlah

pterigium berdasarkan faktor resiko. 44 x lebih banyak pada pasien

yang bermukim di daerah tropis (< dari lintang 300). 11 x lebih

banyak pada pekerja yang berhubungan dengan pasir, 9 x pada

pasien dengan riwayat tanpa memakai kacamata atau sunglasses

dan 2 x pada pasien tidak memakai topi. Penelitian ini menunjukan

frekuensi lebih tinggi pada laki – laki. ,(Waller G. Stephen,et al)

Taylor dkk melakukan penelitian di daerah utara, ptrygium hanya

ditemukan pada nelayan dan pekerja di pedesaan. Penelitian ini

menunjukan bahwa pterigium berhubungan erat dengan exposure

ultraviolet. ,(Waller G. Stephen,et al)

G. Gazzard, Singapore National Eye Center, melakukan penelitian

di daerah Riau. Pterigium berhubungan dengan umur dan

pekerjaan diluar rumah (exposure sinar matahari). Prevalensi pada

usia 21 tahun 10%, usia diatas 40 tahun 16,8%.(Gazzard G, Saw S-M)

Chong Lye ANG dkk melakukan survey populasi suku Chinese di

tanjong pagar Singapore dengan sampel 2000 orang dewasa,

ditemukan prevalensi pterigium 6,9% pada usia diatas 40 tahun. (T H

Tan Donald et al)

Page 3: Proposal New

3

Prevalensi pterigium sesuai dengan Panduan Manajemen Klinis

Perdami, insidens pterigium cukup tinggi di Indonesia di daerah

equator 13,1%.(D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert)

Dilihat dari beberapa penelitian tersebut, maka letak geografis Maluku

yang berada pada 30 – 8.300 lintang selatan juga merupakan daerah yang rentan

terhadap insidensi pterigium. Selain itu sesuai dengan karakteristik Maluku

sebagai provinsi kepulauan dengan 90% wilayahnya merupakan lautan, sehingga

banyak penduduk yang bekerja sebagai nelayan yang rentan terhadap paparan

sinar ultraviolet secara langsung yang diduga merupakan salah satu faktor resiko

penyebab pterygium.

Kedua hal tersebut dapat menimbulkan masalah klinis yakni pterigum

rekurensi dan pertumbuhan yang agresif pada pterigium rekuren. (Waller G. Stephen, Adams

P et al) Selain itu pterygium menimbulkan keluhan kosmetik dan berpotensi

menggaggu penglihatan pada stadium lanjut yang memerlukan tindakan operasi

untuk rehabilitasi penglihatan. (Nema HV, Nema Nitin)

Sebagai institusi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan

kesehatan yang optimal pada masyarakat laut pulau hal ini sekiranya dapat

diperhatikan. Sehingga nantinya diharapkan terbentuk pelayanan konsultasi

kepada masyarakat yang didasari pada hubungan kemitraan agar masalah

kesehatan masyarakat, khususnya yang terkait dengan bidang ophtalmilogi yang

biasanya terjadi pada masyrakat laut pulau dapat terjaga dan terpelihara.

Desa Waai merupakan desa yang terletak di daerah pesisir pantai pulau

Ambon dengan 86% penduduknya merupakan nelayan yang rentan terhadap

Page 4: Proposal New

4

paparan sinar ultraviolet secara langsung yang diduga merupakan salah satu faktor

resiko penyebab pterygium. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis

tertarik untuk melakukan penelitian tentang Prevalensi Pterigium di Desa Waai

Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah tahun 2013. Sehingga nantinya

Pengetahuan tentang prevalensi penyakit, faktor resiko, penyebab dan dapat

membantu dalam menyusun strategi pencegahan.

1.2. Rumusan Masalah

Berapakah prevalensi pterigium di Desa Waai pada tahun 2013 dan faktor-

faktor apa saja yang mempengaruhi prevalensi pterigium

1.3. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mendapatkan angka prevalensi pterigium di Desa Waai dan faktor-

faktor apa saja yang mempengaruhi prevalensi pterigium

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui angka pterigium di Desa Waai

b. Untuk mengetahui pengaruh faktor usia terhadap angka pterigium di

Desa Waai

Page 5: Proposal New

5

c. Untuk mengetahui pengaruh faktor pekerjaan terhadap angka

pterigium di Desa Waai

d. Untuk mengetahui pengaruh faktor pekerjaan terhadap angka

pterigium di Desa Waai

e. Untuk mengetahui pengaruh faktor riwayat keluarga terhadap angka

pterigium di Desa Waai

f. Untuk mengetahui pengaruh faktor aktivitas diluar rumah terhadap

angka pterigium di Desa Waai

g. Untuk mengetahui pengaruh faktor merokok terhadap angka

pterigium di Desa Waai

h. Untuk mengetahui pengaruh faktor riwayat memakai topi atau

kacamata terhadap angka pterigium di Desa Waai

1.4. Manfaat Penelitian

a. Dapat mengetahui prevalensi serta dapat dibuat pemetaan pterigium di

desa Waai

b. Dapat dibuat kebijakan yang berkaitan dengan penatalaksanaan ptrigium

yang dapat menurrunkan angka pterigium di Desa Waai

c. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pemahaman peneliti mengenai

pterigium.

d. Menjadi sumber pustaka bagi peneliti lain yang ingin meneliti hal yang

sama.

Page 6: Proposal New

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pterigium

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler

konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif(American Academy of

Ophtalmology). Pterygium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang

menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang

tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea.

Pterigium berasal dari bahasa yunani, yaitu ptron yang artinya

“wing” atau sayap(American Academy of Ophtalmology). Insidens pterygium di

Indonesia yang terletak digaris ekuator, yaitu 13,1%. Diduga

bahwa paparan ultraviolet merupakan salah satu faktor risiko

terjadinya pterigium. (D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert)

2.2 Epidemiologi Pterigium

Pterigium tersebar diseluruh dunia, tetapi lebih banyak di

daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah

berdebu dan kering. Factor yang sering mempengaruhi adalah

daerah dekat equator, yakni daerah < 370 lintang utara dan

selatan dari equador. Prevalensi tinggi sampai 22%did daerah

Page 7: Proposal New

7

dekat equador dan kurang dari 2 % pada daerah diatas 400

lintang. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium.

Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama decade

ke 2 dan 3 dari kehidupan(Waller G. Stephen, Adams P et al). Insidensi tinggi pada

umur antara 20 dan 49 tahun. Rekurensi lebih sering pada umur

muda dari pada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih beresiko dari

perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan

rendah dan riwayat exposure lingkungan rumah. (T H Tan Donald et al)

2.3 Faktor Resiko (T H Tan Donald et al)

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni

radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan

factor herediter.

1. Radasi ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah

eksposure sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan

conjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang,

waktu diluar rumah, penggunaan kacamata dan topi merupakan factor

penting.

2. Faktor genetik

Page 8: Proposal New

8

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan

pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukan keluarga

dengan pterigium, kemudian diturunkan autosom dominan.

3. Faktor lain

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer cornea

merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya

limbal definisi, dan saat ini merupakan teori baru pathogenesis dari

pterigium. Wong juga menunjukan adanya “pterigium angiogenesis

factor” dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi.

Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel

tertentu, dry eye dan virus papioma juga penyebab dari ptrigium.

2.4 Patogenesis

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun karena lebih

sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Maka gambaran yang paling

diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap factor-faktor lingkungan

seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah

angin kencang dan debu atau factor iritan lainnya. Pengeringan local dari kornea

dan konjungtiva pada fissure intrapalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear

film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastic baru merupakan salah satu teori.

Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori

ini. (American Academy of Ophtalmology)

Page 9: Proposal New

9

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal

basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor – beta overproduksi

dan menimbulkan proses collagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan

angiogenesis. (American Academy of Ophtalmology) Akibatnya terjadi perubahan degenerasi

collagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovasculer. Jaringan suconjungtiva

terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan granulasi vascular dibawah

epitel yang akhirnya menembus kornea(Nema HV, Nema Nitin). Kerusakan pada cornea

terdapat pada lapisan membrane bowman oleh pertumbuhan jaringan

fibrovaskular, sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis

dan kadang terjadi dysplasia. (Kanski J Jack.)

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel cornea. Pada keadaan

defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.

Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,

vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membrane basement dan pertumuhan

jarinan fibrotic. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak

penelitian menunjukan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi

atau disfungsi yang terlokalisasi intrapalpebral limbal stem cell. Kemungkinan

akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell di daerah intrapalpebra. (T H Tan

Donald et al)

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukan perubahan

fenotip, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan

konsentrasi rendah dibandingkan dengan fibroblast conjungtiva normal. Lapisan

fibroblast pada bagian pterigium menunjukan proliverasi sel yang berlebihan.

Page 10: Proposal New

10

Pada fibroblast pterigium menunjukan matriks metalloproteinase dimana matrix

metalloproteinase adalah extraseluler matrix yang berfungsi untuk jaringan yang

rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblast pterigium bereaksi

terhadap TGF – β (transforming growth factor - β) berbeda dengan jaringan

konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF

– α (tumor necrosis factor - α) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium

cenderung terus tumbuh, infasi ke stroma cornea dan terjadi reaksi fibrovascular

dan infamasi. (T H Tan Donald et al)

Denagn menggunakan anteriorsekmen fluroresen angiografi ditemukan

peningkatan area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus

selama fase awal pterigium. Sirkulasi CD 34 + MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat

pada pterigium disbanding dengan konjungtiva normal. Cytokin local dan

sistemik, SP (Substance P) VEGF (Vascular endothelial growth Factor) dan SCF

(Stem Cell Factor) pada pterigium meningkat, berhubungan dengan CD 34+ dan C

kit+ MNC. Hal ii menunjukan pada pterigium terlibat pertumbuhan endothelial

progrnitor cell (EPCs) dan hipoksia ocular yang merupakan factor pencetus

neovascularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum tulang

melalui produksi cytokine local dan sistemik. (Kato, N, Shimmura, S, Kawakita, et al)

Secara histopatologis dengan menggunakan mikroscop electron

menunjukan proliferasi fibrotic yang menyimpang dibawah epitel pterigium,

dengan epitel yang meluas ke stroma(Pam, Z-J, Nie, Y, et al). Pemisahan sel-sel epitel

pterigium menunjukan epitel dikelilingi sel-sel fibroblast yang aktif. Karakteristik

dari E – cadherin, penumpukan β – catenin di intra nuclear dan lymphoid factor –

Page 11: Proposal New

11

1 meningkat pada epitel pterigium. sel epitel meluas ke stroma pada α – SMA /

vimentin dan cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epitel mesenchymal

transitional terlibat dalam pathogenesis pterigium. β catenin meningkat pada

pterigium dan PFC (Pterygial fibroblast) dibandingkan pada konjungtiva normal.

Β catenin berperan penting dalam pathogenesis pterigium. (Pam, Z-J, Nie, Y, et al)

2.5 Differential Diagnosa

Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sana

yaitu pinguecula dan pseudopterigium. Bentuknya kecil, meninggi, masa

kekuningan berbats tegas dengan limbus pada konjung tiva bulbi di fissure

intrapalpebra dan kadang-kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak

diindikasikan(Khurana A K). Prevaensi dan insidensi meningkat dengan meningkatnya

umur. Pingecuela sering pada iklom sedang dan iklim tropis dan angka kejadian

sama pada laki-laki dan perempuan. Exposure sinar ultraviolet bukan factor resiko

penyebab pinguecula. (http://www.e.medicine)

Pertumbuhan yang mirip dengan pterigium, pertumbuhannya berbentuk

sudut miring seperti pseudopterigium atau Terriens marginal degeneration(Waller G.

Stephen, Adams P et al). Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana fibrifascular scar

yang timbul pada conjungtiva bulbi menuju cornea(T H Tan Donald et al). Berbeda dengan

pterigium, pseudopterigium adalah akibat inflamsi permukaan ocular sebelumnya

seperti trauma, trauma kimia, conjungtivitis sikatrik, traua bedah atau ulcus perifer

cornea(Nema HV, Nema Nitin). Untuk mengidentifikasi pseudopterigium, caranya tidak

Page 12: Proposal New

12

melekat pada limbus cornea. Probing dengan muscle dook dapat dengan mudah

melewati bagian bawah pseudopterigium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat

dilakukan dengan pterigium. Pada pseudopterigium tidak didapat bagian head, cap

dan body dan pseudopterigium cenderung keluar dari ruang intapalpebra fissure

yang berbeda dengan “true pterigium”. (Khurana A K)

Differensial diagnose pada pterigium sangat luas. Massa pada limbus

seperti papilloma, scuamosa sel karsinoma, melanoma konjungtiva dan pagetoid

atau sebaceous karsinoma(Waller G. Stephen, Adams P et al). Lesi yang jarang seperti kista

epitel, pyogenic granuloma, keratoacantoma, adenoma, fibroma, fibrochondroma,

fibrous histiocytoma, angioma, lyhangioma, Kaposi sarcoma, alveolar

endothelioma, neurolemmoma, maligna schwanoma, mycosis fungioides, juvenile

xanthagranuloma, leukemia, episclera osseous choristoma, ectopic lacrimal tissue,

lipoma, amyloid, blue nevus, nevus, dan limbal dermoid. Namun lesi tersebut

mudah dibedakan dengan pterigium. (http://www.e.medicine)

2.6 Gambaran Klinis

Pterigum lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja diluar rumah.

Muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke

kornea pada daerah fissure intrapalpebralis. (Khurana A K) Deposit besi dapat dijumpai

pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker;s line). (Kanski J Jack.)

Kira-kira 90% pterigium terletak didaerah nasal. Nasal temporal pterigium

dapat terjadi sama pada mata, temporal pterigium jarang ditemukan(Waller G. Stephen,

Page 13: Proposal New

13

Adams P et al). Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang asimetris(T H Tan Donald et al).

Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi

nasal axis, menyebabkan penglihatan kabur(Kanski J Jack.).

Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : “body, apex (head) dan cap”.

Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus

disebut “body”, sedangkan bagian atasnya disebut “apex”, dan kebelakang disebut

“cap”. A supepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas

pinggir pterigium. (Khurana A K)

Pterigium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe yaitu progresif

dan regresif pterigium(T H Tan Donald et al) :

- Progresif pterigium : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrate di

cornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

- Regresif pterigium : tipis, atrofi,sedikit vascular. Akhirnya menjadi

membentuk membrane tetapi tidak pernah hilang.

Pada fase awal pterigium tanpa gejala, tetapi keluhan kosmetik. Gangguan

penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan

cornea astigmatisma menyebabkan pertumbuhan fibrosis pada tahap regresif.

Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

(Riordan Paul – Eva, P. Whitcher et al)

Pterigium dapat dibagi kedalam beberapa type(Riordan Paul – Eva, P. Whitcher et al) :

1. Type I ; meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker line atau deposit besi

dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. lesi sering

Page 14: Proposal New

14

asimtomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang

memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.

2. Type II :menutupi kornea sampai 4 mm dapat primer atau rekuren setelah

operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisme.

3. Type III : mengenai kornea lebih dari 4 mm dan menggangu aksis visual.

Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren, dapat berhubungan dengan

fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan

gangguan pergerakan bola mata.

Pterigium juga dapat dibagi dalam 4 derajat yaitu(D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert)

:

1. Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

2. Derajat II : Sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi

dari 2 mm melewati kornea

3. Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak

melebihi pinggir pupil mata dalam keadaan cahaya normal

(pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)

4. Derajat IV : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati

pupil sehingga mengganggu penglihatan

Pterigium dibagi berdasarkan terlihatnya pembuluh darah

episclera di pterigium dan harus diperiksa dengan slitlamp(Gazzard G,

Saw S-M, et al) :

1. T 1 (atrofi) : pembuluh darah episclera jelas terlihat

Page 15: Proposal New

15

2. T 2 (intermediet) pembuluh darah episclera sebagian

terlihat

3. T 3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas

2.7 Penatalaksanaan

Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan

pemberian obat-obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2.

Sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang

melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada

pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan

penglihatan. (American Academy of Ophtalmology)

Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan

normal, gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik

bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium

menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium

kearah limbus. (American Academy of Ophtalmology)

Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren,

terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterygium

meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata

Page 16: Proposal New

16

dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterygium dari sinar

matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung.

Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat

diberikan steroid. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control

dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan

dihentikan. (American Academy of Ophtalmology)

Beberapa pilihan untuk menutup luka(American Academy of Ophtalmology):

a. Bare sclera: tidak ada jahitan atau benang absorbable

digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke superfisial

ssclera didepan insersi rectus. Meninggalkan suatu daerah

sclera terbuka.

b. Simple clourse: pinggir dari konjungtiva yang bebas di jahit

bersama.

c. Sliding flap: suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk

membentuk flap konjungtiva untuk menutup luka.

d. Rotation flap: insisi betuk U dibuat sekitar luka untuk

membentuk lidah dari konjungtiva yang diputar untuk

menutup luka.

e. Conjunctiva graft: suatu free graft biasanya dari

konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan besar luka.

2.8 Komplikasi(http://www.e.medicine)

Page 17: Proposal New

17

Komplikasi pterigium termasuk :

- Distorsi dan penglihatan sentral berkurang

- Scar (parut) kronis pada konjungtiva dan kornea

- Pada pasien yang belum excise, scar pada otot rectus medial yang dapat

menyebabkan diplopia

- Pada pasien dengan pterigium yang telah dieksisi, scar atau disinsersi otot

rektus medial dapat juga menyebabkan diplopia.

Komplikasi post eksisi pterigium adalah :

- Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea, konjungtiva

graft longgar, dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata,

vitreous hemorrhage atau retinal detachment.

- Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia atau

melting pada sclera dan kornea

- Kompliasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium

postoperasi.

Simple exisis mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80%,

dapat dikurangi dengan tekhnik konjungtiva autograph atau amnion graft.

Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel

diatas pterigium yang ada.

2.9 Prognosis(http://www.e.medicine)

Page 18: Proposal New

18

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah

baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat

ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam postoperasi dapat

beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat

dilakukan eksisi ulang dan graft dengan conjuntiva autograft.

Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti

riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama

dianjurkan memakai kacamata pelindung dan mengurangi

terpapar sinar matahari.

2.10 KERANGKA KONSEP

Berdasarkan dari rumusan masalah yang lekah dipaparkan

dalam latar belakang dan tinjauan kepustakaan yang ada, maka

kerangka konsep digambarkan sebagai berikut :

USIA

PEKERJAAN

P

T

E

R

I

G

Page 19: Proposal New

19

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian survey dengan

pendekatan cross sectionalyang bersifat deskriptif dimana subjek yang diamati

baik pada saat monitoring biologic dan pengukuran factor-faktor yang

MEROKOK

AKTIVITAS DILUAR RUMAH

RIWAYAT KELUARGA

P

T

E

R

I

G

RIWAYAT MEMAKAI TOPI ATAU KACAMATA

Page 20: Proposal New

20

mempengaruhi dengan pengamatan / pengukuran yang dimaksudkan untuk

menggambarkan prevalensi pterigium di desa Waai.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi

Penelitian beserta pengumpulan data dilakukan Desa Waai, Kabupaten

Maluku Tengah. Desa Waai merupakan daerah pesisir pantai dengan penentuan

sampel secara purposive. Daerah pesisir pantai menerima paparan sinar matahari

lebih tinggi, sesuai dengan salah satu peyebab pterigium oeh kareba paparan sinar

ultraviolet. Sehingga dapat diasumsikan akan terdapat jumlah penderita pterigium

yang tinggi.

3.2.2. Waktu

Penelitian dan pengumpulan data ini dilakukan terhitung dua bulan yaitu

bulan Maret-April 2012.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi yang digunakan adalah seluruh penduduk yang ada di desa Waai

sesuai dengan kriteria penelitian. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan seluruh

masyarakat secara sampling.

Page 21: Proposal New

21

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian diambil dengan menggunakan metode Total Sampling.

Yaitu, semua mahasiswa dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian.

3.4. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan : Pensil, Penghapus, Kertas Kuesioner, Loop,

Penlight/senter, Muscle Hook.

Bahan yang digunakan : Anastesi tetes mata, Fenicol 1% tetes mata.

3.5. Kriteria Seleksi

3.5.1. Kriteria Eksklusi

Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :

a. Penderita yang menyerupai pterigium (penguecua, pseudopterigium,

pasien dengan tumor jinak dan keganasan di konjungtiva).

b. Usia < 15 tahun.

Page 22: Proposal New

22

c. Tidak bersedia ikut dalam penelitian.

3.5.2. Kriteria Inklusi

Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :

a. Semua penderita pterigium pada satu atau kedua mata

b. Usia penderita > 15 tahun.

c. Bersedia ikut dalam penelitian.

3.6. Teknik Pengumpulan Data

3.6.1 Data Primer

Data ini didapatkan langsung dari sampel dengan melalui kuesioner dan

pemeriksaan pterigium.

3.6.2. Data Sekunder

Data ini adalah jumlah populasi penduduk desa Waai yang didapatkan

peneliti melalui Pemerintah desa Waai.

3.7. Variabel penelitian

3.7.1. Variabel Independent

Page 23: Proposal New

23

Variabel bebasnya

- Pekerjaan

- Usia

- Perokok

- Riwayat keluarga

- Aktivitas di luar rumah

- Riwayat memekai topi atau kacamata

3.7.2. Variabel Dependent

Variabel terikat adalah pterigium.

3.8. Defenisi Operasional Penelitian

a. Pterigium. Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrofaskuler

berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju

cornea pada daerah interpalpebra.

Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner dan dipastikan dengan

pemeriksaan pterigium.

Alat ukur: Kuesioner, loop.

Page 24: Proposal New

24

Hasil ukur:

1. Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

2. Derajat II : Sudah melewati limbus tetapi tidak

melebihi dari 2 mm melewati kornea

3. Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi

tidak melebihi pinggir pupil mata dalam keadaan

cahaya normal (pupil dalam keadaan normal

sekitar 3-4 mm)

4. Derajat IV : Jika pertumbuhan pterigium sudah

melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan

Skala ukur: Nominal.

b. Usia. Usia adalah usia responden berdasarkan ulang tahun terakhir.

Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner.

Alat ukur: Kuesioner.

Hasil ukur: Penduduk yang mengalami pterigim dengan usia > 15

tahun.

Skala ukur: Nominal

c. Pekerjaan. Pekerjaan adaah mata pencaharian responden

berdasarkan rata-rata responden terpapar sinar matahari yang

dibagi 5 tingkatan

Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner.

Alat ukur: Kuesioner.

Hasil ukur:

Page 25: Proposal New

25

1. Tingkat 0 : pekerja pabrik, pelajar, ibu rumahtangga, pegawai

pemerintahan (dikantor bukan lapangan), guru, perawat.

2. Tingkat 2 : pengusaha, pekerja swasta

3. Tingkat 3 : supir

4. Tingkat 4 : nelayan, petani, pencari kayu, pekerja bangunan,

buruh kasar, pekerja perkebunan.

Skala ukur: Ordinal

d. Riwayat Keluarga. Riwayat keluarga adalah penduduk yang

memiliki salah satu atau kedua orang tua mengalami pterigium

pada satu atau kedua mata.

Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner.

Alat ukur: Kuesioner.

Hasil ukur: Penduduk mengalami pterigium dengan salah satu atau

kedua orang tua mengalami pterigium pada satu atau kedua mata.

Skala ukur: Nominal

e. Aktivitas diluar rumah. Aktivitas diluar rumah adalah lamanya

responden berada diluar ruangan berhubungan dengan terpaparnya

sinar matahari.

Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner.

Alat ukur: Kuesioner.

Hasil ukur:

1. Tinggi : melakukan aktivitas diuar rumah > 5 jam

2. Rendah : melakukan aktivitas diuar rumah < 5 jam

Page 26: Proposal New

26

Skala ukur: Ordinal

f. Merokok. Merokok adalah kebiasaan responden pernah atau tidak

pernah mengisap rokok atau cerutu

Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner.

Alat ukur: Kuesioner.

Hasil ukur: responden pernah atau tidak pernah mengisap rokok

atau cerutu

Skala ukur: Nominal

g. Riwayat memakai topi atau kacamata. Riwayat memakai topi atau

kacamata adalah riwayat memakai topi atau kacamata aktivitas

diluar rumah.

Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner.

Alat ukur: Kuesioner.

Hasil ukur: riwayat memakai topi atau kacamata aktivitas diluar

rumah

Skala ukur: Nominal

3.9. Pengolahan Data dan Analisa Data

3.9.1. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, maka dilakukan :

a. Pengecekan terhadap data-data yang terdapat pada kuesioner.

Page 27: Proposal New

27

b. Melakukan seleksi terhadap data-data yang terkumpul.

c. Kemudian dilakukan pemisahan data penderita pterigium menurut

derajatya.

d. Selanjutnya dilakukan analisa data.

3.9.2. Analisa Data

Berdasarkan permasalahan serta tujuan yang akan dicapai maka teknik

pengolahan dan analisis data yang digunakan yaitu secara manual dan

komputerisasi dengan software Microsoft Excel dan software SPSS versi 16.0.

Selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

3.10 . Jadwal Kegiatan

No. Uraian KegiatanBulan

2 3 4 5 6 7 8 9

1Tahap Persiapan

- Proposal penelitian

2 Tahap Pelaksanaan :

- Pengecekan terhadap

data-data yang

terdapat pada

Page 28: Proposal New

28

kuesioner

2.1

- Melakukan seleksi

terhadap data-data

yang terkumpul

2.2 Evaluasi

3Tahap Penyelesaian

Penyusunan Laporan

4Laporan/pemasukan hasil

Penelitian

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophtalmology, Basic and Climical Science Course.

External Disease and Cornea. Section 8. 2005 – 2006. p : 344 & 405

2. Waller G. Stephen, Adams P Anthony. Pterigium, Duane’s Clinical

Ophtalmologi. Chapter 35, Vol 6 : revised Edition, Lippincot Wiliams &

Wilkins, 2004, p :1-10

Page 29: Proposal New

29

3. Gazzard G, Saw S-M, farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterigium in

Indonesia : prevalence, severity and risk factor. British Journal of

Ophtalmology. 2002, p : 1-12

4. T H Tan Donald et all. Pterigium. Clinical Ophtalmology – An Asian

Perspective. Chapter 3.2, Saunders Elsevier. Singapore, 2005, p : 207-14

5. Ilyas Sidarta. Ilmu Perawatan Mata. Jakarta: CV Agung Seto; 2004. Page:

62-67.

6. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterigium :

Panduan Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta : 2006. P 56-58

7. Nema HV, Nema Nitin. Disease of the conjungtiva. Text of

Ophtalmology. Chapter 11. Jaypee brothrts. New Delhi. P 125-6

8. Khurana A K. Communyti Ophtalmology in Comprehensive

Ophtalmology. Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi, New Age

International Limited Publishher. 2007, p : 443-457

9. Riordan Paul – Eva, P. Whitcher jhon P. Conjungtiva, Vaughan & Asbury

Gelneral Ophthalmology. Chapter 5. Sixtenth ed. Mc Graw Hill.

Singapore, 2004. P : 123

10. Kanski J Jack. Pterigium. Clinical Ophthalmology a Systematic Approach.

Chapter 4. Butterworth Heinemann Elsevier. 2007. P : 242-45

11. Pterigium in http://www.e.medicine

12. Leo, JK, Song YS, Ha, Hs, Park, JH, Kim MK; Endothelial Progenitor

Cell In Pterigium Pathogenesis, In Eye. Vol 21. Issue 9. September 2007,

Pages 1186-1193

Page 30: Proposal New

30

13. Kato, N, Shimmura, S, Kawakita, T, Miashita, H, Ogawa Y et all; β –

Catenin Activation and epithelial Mesenchymal Transition in The

Phatogenesis Of Pterigium, in Investigative Ophthalmology and Visual

Science. Vol 48. Issue 4. April 2007. Pages 1511-1517

14. Pam, Z-J, Nie, Y, An, M-X, Liang, J-W, Wu, K-L ; β – Catenin

Expression in pterigium Fibroblast, in International Journal of

Ophthalmology. Volume 8. Issue 9. September 2008. Pages 1770-1772