Proposal KTI

download Proposal KTI

of 71

description

proposal KTI

Transcript of Proposal KTI

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

EFEKTIVITAS PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS) TERHADAP TINGKAT KECERDASAN EMOSI REMAJA

Disusun oleh :

SRI DEWI RAHMAWATI SYARIEF20090310119PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2012

HALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL KTI

EFEKTIVITAS PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS) TERHADAP TINGKAT KECERDASAN EMOSI REMAJA

Disusun oleh:

SRI DEWI RAHMAWATI SYARIEF20090310119

Telah disetujui pada tanggal:

27 April 2012Dosen pembimbing

dr.Warih Andan Puspitosari, M. Sc, SpKJNIK: 173042KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan yang Maha Esa, yang telah memberikan hidayah dan kekuatan, sehingga pembuatan proposal karya tulis ilmiah (KTI) dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan. Shalawat serta salam selalu dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga serta para sahabat, tabiin, tabiut tabiin dan pengikutnya hingga akhir zaman. Proposal KTI yang berjudul Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup (Life Skills) terhadap Tingkat Kecerdasan Emosi Remaja disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Fakultas Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.Pada kesempatan ini, ijinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berperan serta dalam membantu penyelesaian proposal KTI ini. Ucapan terima kasih diberikan kepada:

1. dr. Ardi Pramono, Sp.An selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.2. dr. Alfaina Wahyuni, Sp.OG, M.Kes selaku Ketua Prodi Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.3. dr.Warih Andan Puspitosari, M. Sc, SpKJ selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini.

4.Semua pihak-pihak yang tidak mungkin tersebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat berjalan.

Penulis sadar bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga proposal mengenai Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup (Life Skills) terhadap Tingkat Kecerdasan Emosi pada Remaja bermanfaat. Amin.

Yogyakarta, 27 April 2012

Penulis

DAFTAR ISI

0PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

iiHALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL KTI

iiiKATA PENGANTAR

vDAFTAR ISI

1BAB I

1PENDAHULUAN

1A.Latar Belakang Masalah

4B.Rumusan Masalah

4C.Tujuan Penelitian

5D.Manfaat Penelitian

6E.Keaslian Penelitian

8BAB II

8TINJAUAN PUSTAKA

8A.Tinjauan Pustaka

81.Remaja

92.Kecerdasan Emosi

183.Pelatihan Kecakapan Hidup (Life Skills)

25B.Kerangka Konsep

26C.Hipotesis

27BAB III

27METODE PENELITIAN

27A.Desain Penelitian

28B.Populasi dan Sampel Penelitian

281.Subyek Penelitian

282.Kriteria Inklusi dan Eksklusi

293.Perkiraan Besar Sampel

30C.Lokasi dan Waktu Penelitian

30D.Variabel Penelitian

31E.Definisi Operasional

33F.Instrumen Penelitian

34G.Cara Pengumpulan Data

34H.Uji Validitas dan Reabilitas

35I.Analisis Data

36J.Etik Penelitian

38BAB IV

38HASIL DAN PEMBAHASAN

38A.Hasil Penelitian

381.Karakteristik Subjek

402.Analisis Uji Statistik

403.Efektifitas Pelatihan Kecakapan Hidup (life skills) Terhadap Tingkat Keceradasan Emosi

40B.Pembahasan

44C.Keterbatasan Penelitian

46BAB V

46KESIMPULAN DAN SARAN

46A.Kesimpulan

47B.Saran

51LAMPIRAN

51PERNYATAAN MENJADI RESPONDEN

52KUISIONER KECERDASAN EMOSI

DAFTAR GAMBAR25Gambar 1. Kerangka Konsep

27Gambar 2. Desain Penelitian

DAFTAR TABEL

32Tabel 1. Sebaran komponen kecerdasan emosi

33Tabel 2. Kategori kecerdasan emosi

40Tabel 3. Karakteristik Jenis Kelamin Subjek

40Tabel 4 Tingkat Kecerdasan Emosi Kelompok Intervensi

BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahRemaja merupakan masa peralihan dan perubahan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dan pada masa ini emosi remaja berada dalam masa labil, karena terjadi perubahan-perubahan seperti perubahan biologis, psikologis, dan sosial ekonomi (Sarwono, 2011). Goleman (2000) menyatakan bahwa secara umum, remaja sekarang lebih rentan mengalami masalah emosi jika dibandingkan dengan generasi terdahulunya, seperti lebih mudah marah, lebih sulit diatur, lebih mudah gugup dan cemas, lebih cenderung impulsif dan agresif, serta munculnya perilaku kenakalan remaja. Fenomena tersebut menunjukan bahwa individu gagal dalam memahami, mengelola dan mengendalikan emosinya (Gani, 2006).Periode masa transisi yang kritis bagi perkembangan perilaku remaja ini, remaja diharapkan mampu untuk mengendalikan emosinya sehingga dapat menekan perilaku kenakalan remaja salah satunya dengan cara meningkatkan kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi dibutuhkan untuk mengatur dan mengendalikan kondisi emosi (Wang et al., 2003). Kecerdasan emosi akan membuat hidup menjadi sangat berarti, memiliki prinsip, tanggung jawab, mengelola dan menyatakan emosi dengan tepat, bersifat tegas tapi tetap seimbang, merasa nyaman dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan sosial, mampu mengelola stres tanpa rasa takut dan cenderung berteman (Puspitosari, 2008). Individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dapat menanggulangi emosi mereka sendiri dengan baik dan memperhatikan kondisi emosinya, serta merespon dengan benar emosinya untuk orang lain sedangkan kecerdasan emosi yang rendah akan mengakibatkan emosi negatif yang berlebihan seperti ketakutan, permusuhan, dan perilaku delinkuen remaja (Gani, 2006).Lizam (2009) menyatakan bahwa untuk menghindari remaja dari pengaruh perilaku yang merugikan dirinya dan orang lain, remaja sebaiknya memahami, memiliki, serta mempelajari kecerdasan emosi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Goleman (2004) bahwa kecerdasan emosi dapat dididik, diajarkan, dilatihkan, dan diajarkan. Pelatihan kecerdasan emosi salah satunya melalui pelatihan kecakapan hidup (life skills education). Kecakapan hidup tersebut termasuk kemampuan menyelesaikan masalah, berpikir kritis, berkomunikasi dan membentuk hubungan interpersonal, empati, dan metode untuk menghadapi emosi sehingga anak dan remaja dapat berkembang mencapai derajat kesehatan jiwa yang positif dan tangguh (WHO dalam Kaligis,dkk., 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Rahadian tentang masalah perilaku dan emosi murid sekolah dasar I-VI di Jakarta Pusat, mendapatkan hasil sebesar 29,2% anak usia 9-11 tahun memiliki masalah perilaku dan emosi, dengan gambaran profil yang menonjol adalah keluhan somatik, cemas depresi, problem sosial dan problem atensi. Sementara itu pada anak usia lebih dari 11 tahun, 22,8% memiliki masalah perilaku dan emosi, dengan gambaran profil yang menonjol adalah keluhan somatic dan perilaku agresif. Survey yang dilakukan oleh Ang terhadap pelajar SMP di Jakarta Pusat menggunakan Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) menunjukkan proporsi masalah perilaku dan emosi yang cukup besar pada pelajar di SMP Trisula Jakarta Pusat, yaitu 52% (11/12) sampel memiliki skor total SDQ yang abnormal dan borderline (Kaligis dkk., 2009). Dari penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa terdapat perubahan emosional kearah negatif yang terjadi pada masa remaja.Botvin et al. (1980, 1994, 1995) menunjukkan adanya keefektifan program Life Skills Training untuk menurunkan angka kekerasan pada remaja. Remaja akan tumbuh menjadi remaja berkualitas yang bisa beradaptasi dengan diri dan lingkungannya sehingga mampu mengeksplorasi alternatif, menimbang pro dan kontra juga membuat keputusan rasional dalam memecahkan setiap masalah atau isu yang muncul. Berdasar latar belakang tersebut maka penting untuk diteliti tentang efektivitas pelatihan kecakapan hidup (Life Skills) terhadap tingkat kecerdasan emosi remaja. Diharapkan dengan pelatihan kecakapan hidup (Life Skills), remaja dapat memiliki kepribadian tangguh serta mampu menghadapi berbagai pengaruh negatif di lingkungannya. Remaja akan memiliki citra diri positif sehingga dapat menjalani setiap perannya dan tidak terjadi kesalahan mengambil dan melaksanakan peran yang dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan misalnya kenakalan remaja serta memiliki emosi yang positif.B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah pelatihan kecakapan hidup (life skills) efektif terhadap tingkat kecerdasan emosi remaja?C. Tujuan PenelitianTujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :1. Tujuan Umum

Menganalisis efektivitas pelatihan kecakapan hidup (Life Skills) terhadap tingkat kecerdasan emosi remaja.2. Tujuan khusus

a. Mengetahui kecerdasan emosi remaja sebelum intervensib. Mengetahui kecerdasan emosi remaja sesudah intervensiD. Manfaat Penelitian1. Manfaat Teoritis

Menjadi referensi ilmiah khususnya Kedokteran Jiwa mengenai pelatihan kecakapan hidup (Life Skills) terhadap tingkat kecerdasan emosi remaja.2. Manfaat Praktis

a. Bagi Siswa

Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi siswa untuk dapat meningkatkan kecakapan hidup sehingga dapat meningkatkan kecerdasan emosi remaja.b. Bagi Peneliti

Diharapkan dengan hasil penelitian ini, peneliti mendapatkan tambahan pengetahuan, dan pengalaman tentang efektivitas pelatihan kecakapan hidup (Life Skills) terhadap tingkat kecerdasan emosi remaja.

c. Bagi Masyarakat

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat untuk dapat meningkatkan kecerdasan emosi remaja dilingkungan masyarakat.

d. Bagi Ilmu Pengetahuan

1) Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan dibidang Pendidikan Kedokteran khususnya Psikologi tentang efektivitas pelatihan kecakapan hidup (Life Skills) terhadap tingkat kecerdasan emosi remaja.2) Diharapkan dari penelitian ini dapat dijadikan masukan untuk penelitian selanjutnya dibidang Kedokteran.E. Keaslian PenelitianKaligis et al. (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup Terhadap Citra Diri Remaja menjelaskan bahwa terdapat peningkatan yang bermakna pada skor self consciousness (p=0,000), instability (p=0,000), low self esteem (p=0,002) dan negative perceived self (p=0,002). Pelatihan kecakapan hidup mempunyai efek positif dalam meningkatkan kesehatan jiwa remaja dengan meningkatkan citra diri. Penelitian berbeda pada perlakuan subjek yaitu, pada penelitian ini menilai efektivitas pelatihan kecakapan hidup (Life Skills) terhadap tingkat kecerdasan emosi remaja di SMKN 1 Kasihan.Sukardiansyah tahun 2004 dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan kecerdasan emosi dengan kecemasan pada siswa SMU meneliti tentang hubungan kecerdasan emosi dengan kecemasan dan memiliki hasil yang signifikan yaitu sebesar -0,735 dengan p=0,006. Penelitian berbeda pada perlakuan subjek yaitu, pada penelitian ini menilai efektivitas pelatihan kecakapan hidup (Life Skills) terhadap tingkat kecerdasan emosi remaja di SMKN 1 Kasihan.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka1. Remaja

a. Definisi RemajaSoetiningsih (2004) menyatakan bahwa seseorang dikatakan remaja jika seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun untuk wanita, sedangkan untuk laki-laki jika seorang anak tersebut bersia 12-20 tahun. Usia 11-24 tahun dan belum menikah merupakan pedoman pengertian remaja Indonesia (Kartono 2004). Pada masa remaja terjadi transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang diikuti dengan berbagai masalah yang ada karena adanya perubahan fisik, psikis dan sosial. Masa peralihan itu banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sosial. Hal ini dikarenakan remaja merasa bukan kanak-kanak lagi tetapi juga belum dewasa dan remaja ingin diperlakukan sebagai orang dewasa (Hurlock, 1994). b. Emosi remaja Mighwar (2006) menyatakan bahwa mayoritas remaja mengalami ketidakstabilan emosi akibat dari upaya penyesuaian diri dengan tuntutan pola perilaku dan harapan sosial yang baru seperti masalah pribadi, sosial dan masa depan. Keterbatan kognitif, pengalaman, tekanan sosial, pengaruh teman sebaya, media massa dan lain-lain untuk mengolah perubahan-perubahan baru tersebut bisa membawa perubahan besar dalam fluktuasi emosinya. Keadaan ini menuntut remaja untuk memiliki pengendalian dan pengaturan baru dalam berperilaku (Mighwar, 2006).Pelatihan kecerdasan emosi dapat membantu remaja dalam proses kematangan emosinya dengan memahami indikator-indikator kecerdasan emosi seperti kesadaran emosi, pengaturan diri, memotivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Untuk menghindari remaja dari pengaruh perilaku yang merugikan dirinya dan orang lain tersebut, remaja sebaiknya memahami, memiliki serta mempelajari kecerdasan emosional (Mutadin 2002).2. Kecerdasan Emosi

a. Definisi Kecerdasan Emosi

Cooper dan Sawaf (2000) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk mengindra, memahami, dan dengan efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.Goleman (cit Nggermanto, 2002) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.Secara lebih luas, dalam kaitannya dengan keberadaan orang lain, Gardner (1993) menyebut kecerdasan emosional dengan istilah kecerdasan intrapribadi dan antarpribadi. Adapun definisi dari kedua istilah tersebut adalah:

1) Kecerdasan intrapribadi, adalah kemampuan yang bersifat korelatif tetapi terarah kedalam diri sendiri, yaitu kemampuan untuk membentuk suatu model diri sendiri, yang teliti dan mengacu pada diri, serta kemampuan untuk menggunakan untuk model tersebut sebagai alat menempuh kehidupan secara efektif

2) Kecerdasan antar pribadi ; adalah kemampuan untuk memahami orang lain, yang wujudnya berupa kemampuan untuk membedakan dan mengenali dengan tepat suasana hati, tempramen, motivasi, dan hasrat orang lain.

Kecerdasan emosional memiliki peranan penting dalam kehidupan seseorang. Goleman (2000) mengatakan bahwa kecerdasan intelektual bila tidak disertai dengan pengelolaan emosi yang baik, tidak akan menghasilkan kesuksesan dalam hidup seseorang. Selanjutnya dikatakan bahwa peranan kecerdasan akademik hanya sekitar 20% untuk memegang kesuksesan hidup, sedangkan 80% ditentukan oleh faktor-faktor lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional (Nggermanto, 2002).Remaja pada masa yang kritis ini diharapkan mampu untuk mengendalikan emosinya, baik emosi yang positif ataupun emosi yang negatif seperti amarah. Dalam mengatasi amarah, Allah berfirman dalam surat Al-imran ayat 134:

((((((((( (((((((((( ((( ((((((((((( ((((((((((((( (((((((((((((((( (((((((((( (((((((((((((( (((( (((((((( ( (((((( (((((( ((((((((((((((( ((((( Artinya : (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Ali Imran: 134)Kesimpulan dari beberapa pendapat diatas, bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mental yang membantu seseorang untuk mengenal dan memahami perasaannya sendiri dan orang lain, yang nantinya akan mengarahkan pada munculnya ide dan tindakan yang kreatis dan sehat. Selain itu, kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaaan diri senidri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari. b. Komponen-komponen Kecerdasan Emosi

Tiga unsur kecerdasan emosional terdiri dari: kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain) (Mu'tadin, 2002).Goleman (2009) mengatakan bahwa terdapat 5 dimensi kecerdasan emosi yang keseluruhannya diturunkan menjadi 25 kompetensi. Apabila kita menguasai cukup 6 atau lebih komponen yang menyebar pada kelima dimensi kecerdasan emosi tersebut, akan membuat seseorang akan mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari.

1) Dimensi pertama adalah mengenali emosi diri (self-awareness), mengenali diri, yaitu mengetahui keadaan dalam diri, hal yang lebih disukai dan intuisi. Kompetensi dalam dimensi pertama adalah mengenali emosi diri, mengetahui kekuatan, keterbatasan diri dan keyakinan akan kemampuan sendiri.2) Dimensi kedua adalah mengelola emosi (self-regulation), yaitu mengelola keadaan dalam diri dan sumber daya diri sendiri. Kompetensi kedua ini adalah menahan emosi dan dorongan negatif, mejaga norma kejujuran dan integritas, betanggung jawab atas kinerja pribadi, luwes terhadap perubahan dan terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru.3) Dimensi ketiga adalah memotivasi diri sendiri (motivation), yaitu dorongan yang membimbing atau membantu peralihan sasaran atau tujuan. Kompetensi dimensi ketiga adalah dorongan untuk menjadi lebih baik, menyesuaikan dengan sasaran kelompok atau organisasi, kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan dan kegigihan dalam memperjuangkan kegagalan atau hambatan.4) Dimensi ke empat adalah mengenali emosi orang lain (empathy). Empati yaitu kesadaran akan perasaan, kepentingan dan keprihatinan orang. Kompetensi dimensi ke empta adalah memahami orang lain, pelayanan, pengembangan orang lain, menciptakan kesempatan-kesempatan melalui pergaulan dengan berbagai macam orang, membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok.5) Dimensi kelima adalah membina hubungan (adaptness in relationhip/ social skills), yaitu kemahiran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain. Diantaranya adalah kemampuan persuasi, mendengar dengan terbuka dan memberi kesan yang jelas; kemampuan menyelesaikan pendapat, semangat kepemimpinan. Kolaborasi dan kerjasama tim (Goleman, 2009).

Menurut Bar-On dalam Stein & Book, (2002) ada lima unsur yang membentuk atau indikator kecerdasan emosi, yaitu :

1) Intrapribadi adalah kemampuan untuk mengenal dan mengendalikan diri sendiri seperti kesadaran dan kemandirian.2) Antarpribadi adalah keterampilan bergaul dengan orang lain seperti terbuka, menerima dan tanggung jawab sosial.3) Penyesuaian diri berkaitan dengan kemampuan untuk bersikap lentur, realistis dan fleksibel dalam menghadapi masalah.4) Pengendalian stress adalah kemampuan bertahan dalam menghadapi stress seperti tegar terhadap konflik emosi dan pengendalian impuls seperti kemampuan untuk menahan atau menunda keinginan bertindak.5) Suasana hati umum adalah optimis yaitu kemampuan untuk mempertahankan sikap positif yang realistis dalam menghadapi masa-masa sulit dan kebahagian, yaitu kemampuan mensyukuri hidup, menyukai diri dan orang lain.

Pengaruh emosi yang tidak labil tersebut menyebabkan keadaan emosi remaja tidak stabil. Apabila dalam keadaan senang, seorang remaja bisa lupa diri sehingga tidak mampu menahan emosi meluap-luap dan pada saat sedih atau marah bisa bunuh diri atau membunuh orang lain. Hal ini terjadi karena emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai remaja dibanding pikiran yang realistis (Zulkifli, 2002).

Untuk membentuk remaja yang berkualitas, maka seorang remaja itu harus bisa beradaptasi dengan dirinya dan lingkungannya. Ketidakmampuan remaja untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan dalam dirinya ataupun dengan perubahan lingkungannya akan menyebabkan kenakalan remaja.c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Proses tumbuh kembang seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Kecerdasan emosi juga dipengaruhi oleh dua faktor tersebut diantaranya adalah fungsi otak, keluarga, dan lingkungan sekolah (Goleman, 1999; Fried & Fried, 2002). Goleman, 1997 (dalam Prasastawati, 2009) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi menjadi 2 yaitu :

1)Faktor Fisik

Kecerdasan emosi seseorang ditentukan oleh hubungan antara korteks dan sistem limbik. Korteks digunakan untuk berpikir, sedangkan sistem limbik digunakan untuk mengendalikan emosi. Selain sebagai bagian berpikir otak, korteks juga berperan dalam memahami kecerdasan emosi. Sistem limbik disebut juga sebagai bagian emosi otak terletak jauh dalam hemisfer otak besar terutama bertanggungjawab atas pengaturan emosi dan impuls. Sistem limbik meliputi hipokampus yang merupakan tempat berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya ingatan emosi, amigdala sebagai pusat pengendali emosi serta beberapa struktur lainnya. Komponen selanjutnya yang berhubungan dengan kecerdasan emosi adalah neuropeptida. Neuropeptida tersimpan dalam otak emosional dan dikirim ke seluruh tubuh ketika seseorang merasakan suatu emosi, lalu memberitahu tubuh bagaimana harus bereaksi.2)Faktor Psikis

Kecerdasan emosi ditentukan pula oleh tempramen yaitu ciri-ciri kepribadian sewaktu anak dilahirkan. Kecerdasan emosi selain ditentukan oleh fisik dan psikis juga ditentukan oleh interaksi dengan orangtua dan lingkungannya, dalam hal ini termasuk lingkungan sekolahnya. Selama proses perkembangan manusia, menunjukan bahwa cara anak mempelajari keterampilan emosi dan sosial dasar adalah dari orang tua, kaum kerabat, tetangga, teman bermain. Lingkungan pembelajaran di sekolah dan dukungan sosial (Claire & Gottman, 1998).Setidaknya ada tiga wadah dimana individu memperoleh pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiganya berperan dalam pembentukan nilai, sikap dan perilaku individu termasuk bagaimana seseorang mengembangkan kecerdasan emosinya (Puspitosari, 2008).a) Faktor lingkungan keluarga khususnya orang tuab) Lingkungan sekolah

c) Lingkungan masyarakat dan dukungan sosial

d. Pengembangan Kecerdasan EmosiKecerdasan emosi dapat dikembangkan baik melalui internal (motivasi dari dalam diri) maupun eksternal, lingkungan fisik, sosial, keaktifan, latar belakang pendidikan, latar belakang budaya dan latar belakang bidang keilmuan. Kecerdasan emosi dapat dipelihara dan dipelajari sepanjang hidup. Nilai kecerdasan emosi meningkat terus sampai puncaknya pada umur 40-49 tahun kemudian menyusut perlahan-lahan. 3. Pelatihan Kecakapan Hidup (Life Skills)a. Definisi Pelatihan Kecakapan Hidup (Life Skills)Life skills merupakan suatu kemampuan untuk menyusun pola pikir dan perilaku sehingga menjadi serangkaian kegiatan yang terintegrasi dan dapat diterima oleh lingkungan budaya setempat atau mempunyai tujuan interpersonal. Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas yang merujuk pada pendapat WHO (1997) mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif.

Life skills terdiri dari 3 kategori dasar, dimana tiap kategori saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain :

1) Keterampilan sosial atau antar pribadi, termasuk keterampilan komunikasi, negosiasi / penolakan, ketegasan, kerja sama, empati.2) Keterampilan kognitif, termasuk pemecahan masalah, pemahaman konsekuensi, pengambilan keputusan, berpikir kritis, evaluasi diri.3) Keterampilan mengatasi emosional, termasuk mengelola stres, mengelola perasaan, manajemen diri, dan mengawasi diri sendiri.

Pendidikan kecakapan hidup (life skills education) merupakan suatu pendidikan bagi anak usia sekolah untuk meningkatkan kompetensi psikososialnya.b. Pengaruh Pelatihan Kecakapan Hidup (Life Skills)Kaligis (2009) dalam penelitiannya mendapatkan program optimisme dan kecakapan hidup (optimism and lifeskills program) efektif untuk pencegahan depresi dan membantu remaja memasuki masa transisi ke sekolah tinggi. Dalam penelitian ini didapatkan adanya penurunan gejala depresif dan meningkatnya harga diri pada kelompok intervensi.Zollinger et al. (2003) yang mengevaluasi pengaruh pelatihan kecakapan hidup (Life Skills Training) terhadap penggunaan rokok pada siswa sekolah menengah memperoleh hasil jumlah siswa perokok yang lebih rendah dan keinginan siswa untuk tetap berada pada keadaan bebas rokok setelah mengikuti program ini.

Botvin et al. (1980, 1994, 1995) menunjukkan adanya keefektifan program Life Skills Training pada pencegahan penggunaan rokok, alkohol dan obat terlarang. Lebih jauh dikatakan bahwa pendidikan kecakapan hidup bagi remaja mampu menurunkan penggunaan rokok sampai dengan 87%, penggunaan alkohol dan obat terlarang sampai 60-75%, menurunkan angka kekerasan, menurunkan perilaku berkendara yang membahayakan, serta menunjukkan efek pada perilaku berisiko infeksi HIV. Pendidikan kecakapan hidup selama 5 minggu efektif dalam meningkatkan kekuatan dan citra diri serta menurunkan kesulitan pelajar SMP di Jakarta Pusat.Khalatbari et al. (2011) meneliti bahwa pelatihan kecakapan hidup berpengaruh terhadap stres kerja dan tingkat kecemasan pada pekerja di Kotamadya. Penelitian tersebut membuktikan bahwa Life Skills Training (LST) sangat berpengaruh terhadap perilaku bertanggungjawab, membuat keputusan yang benar, cara memecahkan masalah, menjaga hubungan interpersonal, mampu berpikir aktif atau kreatif, mampu berkomunikasi secra efektif, mampu mengatasi emosi, terampil dalam menghadapi stres dan perbedaan pendapat yang tidak merugikan orang lain. Stres kerja dan tingkat kecemasan pada pekerja Kotamadya menurun dikarenakan munculnya sikap-sikap positif yang dilatihkan melalui Life Skills Training (LST).Seal (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa LST dapat mencegah perilaku merokok dan penyalahgunaan obat. Siswa di Thai High School menunjukan sikap lebih cakap dalam menolak ajakan yang merugikan, cakap dalam pengambilan keputusan, dan cakap dalam penyelesaian masalah setelah diberikan pelatihan kecakapan hidup. Life skills dapat membantu seorang remaja mengeksplorasi alternatif, menimbang pro dan kontra juga membuat keputusan rasional dalam memecahkan setiap masalah atau isu yang muncul. Hal ini juga mencakup yang mampu membangun hubungan interpersonal yang produktif dengan orang lain. Hal-hal yang disebutkan diatas adalah sebagian kecil dari banyaknya manfaat life skills bagi remaja untuk mengantisipasi kenakalan remaja dan membentuk remaja yang mempunyai citradiri positif.c. Komponen-komponen Pelatihan Kecakapan Hidup

Aplikasi kecakapan akademik berupa kegiatan untuk melakukan suatu analisis dan penarikan kesimpulan dalam pemecahan suatu masalah. UNICEF, UNESCO and WHO mendaftar 10 strategi inti teknik dan kecakapan hidup: problem solving, critical thinking, effective communication skills,decision-making, creative thinking, interpersonal relationship skills, self awareness building skills, empathy, and coping with stress and emotions. Modul Life Skills di Indonesia telah dikembangkan menjadi Modul Pelatihan Meningkatkan Kesehatan Jiwa Remaja di Sekolah Melalui Pendidikan Kecakapan Hidup yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa, DirJen Bina Yanmed, DepKes RI, tahun 2006. May et al. (1985) dalam penelitiannya memberikan tiga modul, yaitu: cara memecahkan masalah, komunikasi interpersonal, dan memelihara kebugaran. Seal (2006) dalam penelitiannya memberikan pelatihan kecakapan hidup (Life Skills) tentang informasi dan keterampilan khusus yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat-obatan dan perilaku merokok, seperti efek dari penyalahgunaan obat-obatan dan perilaku merokok, keterampilan memahami diri sendiri, keterampilan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, keterampilan dalam menghadapi stres, serta keterampilan penolakan. Program materi juga diberikan dalam bentuk kaset video dan booklet yang memberikan informasi mengenai bagaimana dan kapan keterampilan-keterampilan tersebut bisa diterapkan.UNICEF Myanmar, 2007 (cit Kaligis, 2009) melakukan pelatihan pada siswa sekolah dasar dan menengah tentang hidup sehat dan menghindari diri dari infeksi HIV/AIDS menggunakan modul pelatihan kecakapan hidup yang dibuat oleh WHO tahun 1997. Hasil evaluasi didapatkan bahwa adanya perubahan perilaku pada anak yang pernah mendapatkan pelatihan ini. Contoh evaluasi di komunitas didapatkan bahwa penderita HIV tidak lagi dikucilkan setelah masyarakat mengetahui cara penularan infeksi HIV. Hal ini merupakan dampak jangka panjang dari program tersebut setelah adanya penyebaran informasi yang diperoleh anak kepada orang tua maupun kerabatnya. Program pelatihan kecakapan hidup pada pelajar usia 10-15 tahun ini berpengaruh positif pada hubungan anak dengan orang tua dan menurunkan tingkat agresivitas anak. Selain itu terlihat juga bahwa anak lebih berani untuk mengemukakan pendapat di depan umum serta memiliki kapasitas yang lebih besar dalam mendengarkan teman. Disimpulkan oleh peneliti bahwa pelatihan ini mampu membantu anak menghadapi situasi sulit saat itu setelah kejadian pembantaian masal di Columbia (UNICEF, 1998 cit Kaligis, 2009).

Modul Pelatihan Meningkatkan Kesehatan Jiwa Remaja di Sekolah Melalui Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education) telah dikembangkan di Indonesia. Modul pelatihan ini mengacu pada modul pelatihan kecakapan hidup (life skills education) yang dibuat oleh WHO tahun 1997, namun telah disesuaikan dengan kondisi dan budaya Indonesia. Pendidikan kecakapan hidup tersebut terdiri atas lima modul, yaitu modul meningkatkan harga diri, modul mengatasi emosi, modul menghadapi stres, modul menghadapi tekanan teman sebaya dan modul resolusi konflik. B. Kerangka Konsep

DitelitiTidak diteliti

Gambar 1. Kerangka KonsepC. HipotesisPelatihan kecakapan hidup (Life Skills) efektif terhadap tingkat kecerdasan emosi pada remaja.BAB IIIMETODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah studi kuasi eksperimental dengan rancangan penelitian Pre test & post-test kontrol group design. Studi ini adalah salah satu rancangan yang berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok tanpa intervensi disamping kelompok dengan intervensi sebagai pembanding. Kedua kelompok diberi kuisioner kecerdasan emosi, kemudian kelompok perlakuan diberi intervensi dengan diberikan pelatihan life skills dan kelompok kontrol tidak diberi intervensi diikuti secara prospektif kemudian dilakukan post test dengan pengisian kuisioner kecerdasan emosi lagi.

Gambar 2. Desain PenelitianB. Populasi dan Sampel Penelitian1. Subyek Penelitian

Populasi penelitian adalah siswa-siswi kelas VIII SMPN 2 Kasihan, Bantul. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMPN 2 Kasihan kabupaten Bantul yang terletak di perbatasan antara wilayah rural dan urban dan terjangkau secara mudah oleh peneliti. Teknik pengambilan sampel dengan cara memilih responden berdasarkan kepada pertimbangan bahwa responden tersebut dapat mengikuti kegiatan penelitian. Sampel dibagi dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan menggunakan random allocation.2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria inklusi :

1) Siswa kelas VIII2) Bersedia ikut dalam penelitian.

b. Kriteria eksklusi :

Memiliki riwayat gangguan jiwa berat.

c. Kriteria Drop Out :

Sampel yang tidak mengikuti pelatihan kecakapan hidup kurang dari dua kali pertemuan.

3. Perkiraan Besar SampelUntuk studi eksperimen dan kohort, besar sampel ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

N = (Z + Z) Sd 2

(X1 X2)

Dari penelitian sebelumnya untuk menilai efektivitas program pada anak dan remaja didapatkan perbedaan rerata minimal yang masih dianggap bermakna adalah (x1 - x2) = 3. Besarnya simpang baku dari selisih rata-rata ditetapkan oleh peneliti berdasarkan clinical judgment yaitu 6.N = (Z + Z) Sd 2=(1,96 + 0,84) 6 2

(X1 X2)

3

=2,8 x 6 2 = ( 5,6 )2= 31,36

3

N

( 32 orang

Untuk menghindari kemungkinan drop-out maka perhitungan jumlah sampel menjadi : n = n / (1-f) n = besar sampel yang dihitung

f = perkiraan proporsi drop out = 10%

n = 32 / (1-0,1)

n = 36 orang, maka ditetapkan besar sampel adalah 36 orang.C. Lokasi dan Waktu Penelitian1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di SMPN 2 Kasihan Bantul Yogyakarta karena terletak di perbatasan antara wilayah rural dan urban dan terjangkau secara mudah oleh peneliti.2. Waktu PenelitianPeneliti membagi waktu penelitian bagi mejadi dua, yaitu:a) PersiapanTraining pada calon pelatih kecakapan hidup oleh pembimbing dan persiapan kuesioner.b) PelaksanaanPenelitian ini dilaksanakan mulai Agustus 2012 hingga September 2012.D. Variabel Penelitian1. Variabel Tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah kecerdasan emosi remaja.

2. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah pelatihan kecakapan hidup (life skills).

E. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini ditetapkan batasan operasional variabel sebagai berikut :

1. Efektif dalam penelitian ini adalah terjadi kenaikan tingkat kecerdasan emosi pada sampel penelitian setidaknya satu tingkat dari pengukuran awal.

2. Pendidikan kecakapan hidup (life skills education) merupakan suatu pendidikan bagi anak usia sekolah untuk meningkatkan kompetensi psikososialnya. Modul dikeluarkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa, DirJen Bina Yanmed, DepKes RI, tahun 2006, terdiri dari lima modul, yaitu modul mengatasi stress, mengatasi tekanan teman sebaya, meningkatkan harga diri, mengatasi emosi dan resolusi konflik. Modul yang diberikan pada penelitian ini hanya menggungakan empat modul yaitu modul mengatasi stress, mengatasi tekanan teman sebaya, meningkatkan harga diri, dan mengatasi emosi. Metode yang digunakan adalah tanya jawab, diskusi dan bermain peran. Waktu yang dialokasikan untuk masing-masing kegiatan dalam satu modul bervariasi antara 30 menit sampai 45 menit.3. Kecerdasan emosi dalam penelitian ini adalah skor kecerdasan emosi dari subjek penelitian yang diukur dengan kuisioner kecerdasan emosi. Kuisioner tersebut disusun oleh Herwanto (2004) dengan mengacu konsep kecerdasan emosi yang dikemukan oleh Goleman (2000), yaitu komponen kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Makin tinggi skor skala kecerdasan emosi subjek maka semakin tinggi pula tingkat kecerdasan emosi subjek.Tabel 1. Sebaran komponen kecerdasan emosi

NoKomponenNomor pertanyaanjumlah

MendukungTidak mendukung

1Kesadaran diri1, 106, 13, 235

2Pengaturan diri2, 4, 1614, 17, 216

3Motivasi3, 15, 267, 185

4Empati20, 24, 2711, 8, 196

5Keterampilan sosial5, 12, 259, 22, 286

Jumlah141428

Skala variabel kecerdasan emosi dalam penelitian ini menggunakan metode Likert, yaitu pernyataan yang diikuti beberapa alternatif jawaban yang menyatakan kesesuaian subjek terhadap pernyataan.

SS

: sangat setuju

S

: setuju

N

: netral

TS

: tidak setuju

STS: sangat tidak setuju

Butir-butir yang favorable, SS dinilai angka 5, S angka 4, n angka 3, TS angka 2, STS angka 1. Butir-butir unfavorable skor diberikan terbalik.

KategoriSkor

Tinggi70

Sedang44-69

Rendah43

Tabel 2. Kategori kecerdasan emosi

Skala ini dibuat dengan menggunakan rumus standar deviasi (Azwae, 2009a). Skor total yang diperoleh subjek dari hasil skala akan menunjukan tingkat kecerdasan emosi. Makin tinggi skor skala kecerdasan emosi subjek maka semakin tinggi pula kecerdasan emosi subjek.F. Instrumen PenelitianKecerdasan emosi diukur dengan kuesioner yang disusun oleh Herwanto (2004) dengan mengacu konsep kecerdasan emosi yang dikemukan oleh Goleman (2000). Terdiri dari 5 kelompok pertanyaan yaitu komponen kesadaran diri 5 pertanyaan, pengaturan diri 6 pertanyaan, motivasi 5 pertanyaan, empati 6 pertanyaan, dan keterampilan sosial 6 pertanyaan.G. Cara Pengumpulan DataCara pengumpulan data pada penelitian ini mengambil 36 orang kelompok kontrol dan kelompok yang diberikan perlakuan. Kelompok perlakuan diberikan kuisioner kecerdasan emosi sebelum dan sesudah pelatihan kecakapan hidup (life skills), sedangkan kelompok kontrol diberikan kuisioner tanpa pelatihan kecakapan hidup (life skills).H. Uji Validitas dan Reabilitas

1. Pengujian validitas

Herwanto pada tahun 2004 telah melakukan uji validitas internal pada kuisioner kecerdasan emosinya. Jumlah seluruh aitem pada variabel kecerdasan emosi adalah 28 butir dan butir-butir yang gugur berjumlah 9 sehingga butir-butir yang shahih 19 butir. 2. Pengujian Reabilitas

Tujuan dari pengujian reabilitas ini adalah untuk menguji apakah skala yang dibagikan benar-benar dapat diandalkan sebagai alat pengukur (Cooper dan Schlider, 2006). Alat ukur disebut reliable atau handal jika dipergunakan berulang kali untuk suatu kondisi yang relatif sama akan menghasilkan data yang sama atau sedikit bervariasi. Pengujian ini hanya pada aitem-aitem pernyataan yang sudah dinyatakan valid. Uji rebilitas pernyataan skala penelitian ini menggunakan Cronbach Alpha. Semakin koefisien alpha mendekati 1,0 semakin baik, sedangkan koefisien alpha dibawah 0,6 dikatakan tidak reliable. Setelah try out, uji keandalan kecerdasan emosi menunjukan bahwa alpha 0,841 yang berarti handal.I. Analisis Data

Analisa data pada penelitian ini menggunakan uji statistik Wilcoxon rank test untuk menguji perbedaan dua variabel pada subjek yang sama. Hal ini karena peneliti ingin mengetahui apakah pelatihan kecakapan hidup (life skills) efektif untuk meningkatkan kecerdasan emosi remaja. Alat bantu yang digunakan adalah program SPSS ver. 15. Peneliti menggunakan uji beda ini karena data yang digunakan adalah berpasangan dan berskala ordinal.J. Etik PenelitianEtika penelitian pada penelitian ini menggunakan prinsip etik penelitian menurut Nursalam (2003) yang terdiri dari1) Right to self determination (hak untuk tidak menjadi responden), subjek penelitian harus dilakukan secara manusiawi dan mempunyai hak untuk memutuskan apakah bersedia menjadi subjek penelitian atau tidak, tamnpa adanya sangsi apapun.

2) Informed consent, subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap mengenai tujuan penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak bebas berpartisipasi atau menolak menjadi responden.

3) Right in fair treatment (hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil), subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama, maupun sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabika ternyata mereka tidak bersedia atau dropped out sebagai responden.

4) Right to privacy (hak dijaga kerahasiaannya), subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus dirahasiakan.

Subjek penelitian ini dilindungi hak-haknya dengan diberikan informed consent dan diberi penjelasan selengkap mungkin mengenai penelitian yang akan dilakukan. Persetujuan dari komite etik bidang penelitian FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta juga diupayakan untuk memastikan bahwa penelitian ini tidak melanggar kode etik penelitianBAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Subjek

a. Lokasi Penelitian

Sampel yang digunakan pada penilitian ini adalah kelompok remaja, oleh karena itu peneliti memilih siswa SMP dengan asumsi rentang usia siswa berada pada kelompok remaja yaitu usia 10-18 tahun. Pemilhan SMP didasarkan kepada lokasi yang mudah terjangkau oleh peneliti, siswa-siswa SMP belum pernah mendapatkan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kecakapan hidup (life skills), dan SMP yang terletak di perbatasan rural dan urban. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka peneliti memilih SMP 2 Kasihan sebagai lokasi penelitian.SMP Negeri 2 merupakan SMP yang terletak di Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Kasihan merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan wilayah perbatasan rural dan urban. Wilayah rural urban akan berdampak pada perbedaan sosial-ekonomi di desa dan kota, perbedaan sosial budaya, perbedaan pola hidup.b. Karakteristik Sujek PenelitanJumlah siswa di SMA Negeri 2 Kasihan sebanyak 336 siswa dengan jumlah siswa kelas VIII sebanyak 117 siswa. Jumlah sampel yang diperlukan pada penilitian ini sebanyak 36 siswa untuk masing-masing kelompok. Pemilihan subjek dilakukan secara acak dan atas pertimbangan serta persetujuan kepala sekolah. Subjek yang terpilih untuk penelitian ini adalah 72 siswa kelas VIII yang terdiri dari kelas A, B, dan C. Siswa kelas VIII terpilih karena jadwal kegiatan yang tidak terlalu padat sehingga memungkinkan dilakukan penelitian setelah jam kegiatan belajar mengajar selesai dan memungkinkan siswa untuk mengikuti pelatihan selama 5 minggu dimulai dari bulan Agustus sampai September. Rata-rata umur subjek penelitian untuk kelompok intervensi adalah 13,28 0,51 dan untuk kelompok kontrol adalah 13,22 0,48 yang merupakan remaja.Tabel 3. Karakteristik Jenis Kelamin SubjekVariabelIntervensiKontrol

FrekuensiPersentaseFrekuensiPersentase

Jenis Kelamin

1. Laki-laki

2. Perempuan18 orang

18 orang50%

50%22 orang

14 orang61,11%

38,89%

Jenis kelamin subjek terdiri dari laki-laki 40 siswa (55,56%) dan perempuan 32 siswa (44,4%). Jumlah subjek laki-laki pada kelompok kontrol lebih banyak daripada subjek perempuan.c. Tingkat kecerdasan emosi pada responden

Tabel 4. Tingkat Kecerdasan Emosi Kelompok Kontrol

KategoriPre testPost test

FrekuensiProsentaseFrekuensiProsentase

Rendah1747,21233,3

Sedang1438,91952,8

Tinggi513,9513,9

TOTAL3610036100

Tabel 5. Tingkat Kecerdasan Emosi Kelompok Intervensi

KategoriPre testPost test

FrekuensiProsentaseFrekuensiProsentase

Rendah1644.4%--

Sedang1438,9%1541,7

Tinggi616,72158,3

TOTAL36100%36100%

Terdapat perbedaaan tingkat kecerdasan emosi pada kelompok kontrol namun tidak bermakna dan terdapat perbedaan tingkat kecerdasan emosi pada kelompok intervensi yang bermakna.2. Efektifitas Pelatihan Kecakapan Hidup (life skills) Terhadap Tingkat Keceradasan Emosi

Hasil analisis dari efektivitas pelatihan kecakapan hidup (life skills) terhadap tingkat kecerdasan emosi remaja adalah menunjukkan signifikansi sebesar p=0.004 (p0,05) yang berarti bahwa tidak ada perubahan signifikan pada timgkat kecerdasan emosi kelompok kontrol.3. Analisis Statistik

Uji statistik yang digunakan untuk mengolah penelitian ini yaitu uji analistik Wilcoxon karena peneliti menguji dua variabel pada subjek yang sama dan dikarenakan uji distribusi data dengan Kolmogorov-Smirnov menunjukan bahwa data berdistribusi tidak normal (non parametrik).

B. Pembahasan 1. Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis KelaminPerbedaan kecerdasan emosi pada subjek laki-laki dan perempuan pada penelitian ini tidak diteliti secara langsung tetapi mengacu kepada penelitian-penelitian lain. Sebagian penelitian mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan jenis kelamin (puspitosari, 2008; Ismail, 2003). Perbedaan kecerdasan emosi lebih dipengruhi oleh faktor lingkungan, pengalaman. (puspitosari, 2008).Namun penelitian lain mengungkapkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kecerdasan emosi pada laki-laki dan perempuan dengan tingkat kecerdasan emosi pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki (Harrod dan Scheer, 2005). Perbedaan yang tejadi karena perempuan lebih bersifat ekspresif, mengusai komunikasi non verbal, dan lebih menguasai aspek keteramplan sosial dibanding pria, namun pria lebih unggul dalam hal self estimate dibanding wanita (Hall, 1994; Petrides dan Furnhan, 2000 cit puspitosari, 2008)2. Karakteristik Subjek Berdasarkan Umur

Responden yang diambil pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Kasihan, dengan asumsi rata-rata berusia 10-18 tahun, yang merupakan remaja. Remaja pada tahap ini mengalami masa peralihan dan banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan social hal ini disebabkan karena mayoritas remaja mengalami ketidakstabilan emosi akibat dari upaya penyesuaian diri dengan tuntutan pola perilaku dan harapan sosial yang baru seperti masalah pribadi, sosial dan masa depan. (Mighwar, 200; Hurlock, 1994).

Penelitian yang dilakukan oleh Harrod dan Scheer (2005) membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan tingkat kecerdasan emosi. Namun penelitian lain menjelaskan bahwa umur dan jenis kelamin merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi (Goleman, 1999). 3. Tingkat Kecerdasan Emosi pada Subjek

Perbedaan tingkat kecerdasan emosi pada kelompok kontrol dan intervensi setelah dilakukan pelatihan kecakapan hidup (life skills) menunjukan bahwa pelatihan kecakapan hidup (life skills) diperlukan untuk meningkatkan kecerdasan emosi remaja. Pada kelompok kontrol subjek mengalami peningkat kecerdasan emosi namun tidak signifikan. Hal ini berbeda dengan kelompok intervensi yang memiliki peningkatan kecerdasan emosi yang signifikan. Perubahan signifikan tingkat kecerdasan emosi ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pemberian pelatihan kecakapan hidup (life skills), faktor internal dan faktor eksternal. Kecerdasan emosi diperlukan oleh individu agar lebih mampu dalam mengendalikan diri, lebih mampu memotivasi diri, lebih mampu dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan , lebih mampu dalam mengelola stress, dan sebagai prevetif dalam perilaku merokok dan penyalahgunaan obat. (Seal, 2006; Goleman, 2000; Bar-On, 1997 cit Sukardiansyah, 2004). Penelitian lain menunjukan bahwa kecerdasan emosi akan membuat hidup menjadi sangat berarti, memiliki prinsip, tanggung jawab, mengelola dan menyatakan emosi dengan tepat, bersifat tegas tapi tetap seimbang, merasa nyaman dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan sosial, mampu mengelola stres tanpa rasa takut dan cenderung berteman (Puspitosari, 2008). Remaja yang gagal dalam mengelola emosinya akan mengakibatkan remaja mudah marah, lebih sulit diatur, lebih mudah gugup dan cemas, lebih cenderung impulsif dan agresif, serta munculnya perilaku kenakalan remaja (Gani, 2006; Goleman, 2000).Hasil pre test menunjukan 45,83% subjek memiliki kecerdasan emosi rendah yang dikhawatirkan gagal dalam mengendalikan emosinya dan akan berdampak negatif untuk masa depannya. Hasil post test menunjukan peningkatan kecerdasan emosi pada subjek menjadi 16,67% yang didominasi peningkatan oleh kelmpok intervensi.4. Efektifitas Pelatihan Kecakapan Hidup (life skills) Terhadap Tingkat Keceradasan EmosiKecerdasan emosi yang mencakup merasakan emosi, menggunakan emosi unuk mengeluarkan gagasan, mengatur dan memahami emosi, kesadaran diri, kebugaran emosi, kedalaman emosi, alkimia emosi, mengenali emosi diri sendiri, memotivasi diri sendiri, dan mengenali serta memahami emosi orang lain sangat berguna dalam kehidupan baik kehidupan pribadi maupun kehidupan bersosial (Salovey dan Mayer, 1990 Cooper dan Anyman, 2000; Goleman, 1999). Kecerdasan emosi yang penting bagi setiap individu ini dapat dipelajari dan dikembangkan. Pendekatan pendidikan untuk meningkatkan pembelajaran sosial dan emosi pada anak-anak sekolah dapat mencegah masalah perilaku anak dalam hal peningkatan pengetahuan, tanggung jawab, menghndari tindak kekerasan, dan pembawaan diri (Elias dan Weissberg, 2000 cit Sukardiansyah, 2004). Pelatihan dan pengembangan kecerdasan itu mencakup enam dimensi yaitu: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, keterampilan sosial, dan keterampilan bekerjasama (Goleman, 1999). Berdasarkan dimensi-dimensi kecerdasan emosi dan fakta bahwa kecerdasan emosi dapat dipelajari serta ditingkatkan maka peneliti melakukan pelatihan kecakapan hidup (life skills) sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kecerdasan emosi. Pelatihan kecakapan hidup (life skills) yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 1997 yang mencakup modul pelatihan untuk meningkatkan harga diri, modul mengatasi stress, modul mengatur emosi, modul menghadapi tekanan teman sebaya, dan modul resolusi konflik selaras dengan dimensi-dimensi kecerdasan emosi.Modul pertama dalam pelatahian kekecakapan hidup (life skills) adalah meningkatkan harga diri. Komponen kecerdasan emosi yang dapat ditingkatkan berupa komponen intrapersonal tentang penghargaan diri sebagai kemampuan untuk menyadari, memahami, menerima dirinya sehingga individu tersebut dapat menghormati dirinya dan bercitra diri positif (Bar-On, 1997; Kaligis, 2009).Modul mengatur emosi dalam pelatihan kecakapan hidup (life skills) memberikan pelatihan tentang bagaimana mengelola emosi, baik emosi diri sendiri atau memahami emosi orang lain. Modul mengatur emosi selaras dengan komponen kecerdasan emosi berupa mengendalikan emosi dala hal menangani impuls, perasaan sedih dan marah daripada menekan atau mengingkarinya. Hal ini akan berdampak bagaimana seseorang mengekspresikan perasaannya agar tetap tenang, sabar, focus dan berpikir jernih meski dibawah tekanan. Mengenali emosi orang lain adalah kemampuan dasar dalam interaksi social (Goleman, 1999).Menghadapi stress adalah salah satu modul pelatihan kecakapan hidup (life skills) yang bertujuan agar individu mampu mengelola stress. Hal ini termasuk dalam komponen kecerdasan emosi berupa manajemen stress yang meliputi toleransi stress dan mengontrol impuls sehingga individu mengalami stress kronis yang akan menimbulkan emosi negatif (Goleman, 1999; Sukardiansyah, 2004).

Modul menghadapi tekanan teman sebaya bertujuan untuk menghadapi dan mengelola diri dari tekanan teman sebaya. Komponen kecerdasan emosi yang berperan dalam hal ini yaitu kesadaran diri baik dalam pengaturan emosi, kecakapan mengetahi kekuatan dan baatas-batas diri sendiri, dan mempunyai keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri sendiri (Goleman, 1999).

Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan kecerdasan emosi antara responden yang diberikan pelatihan kecakapan hidup (life skills) dengan responden yang tidak diberikan pelatihan kecakapan hidup (life skills) yang berarti bahwa pelatihan kecakapn hidup (life skills) efektif terhadap peningkatan kecerdasan emosi dengan nilai p=0.004.

C. Keterbatasan PenelitianKeterbatasan penelitian terkait dengan kendala-kendala selama penelitian yang mempengaruhi hasil penelitian, diantaranya :

1. Tingkat kecerdasan emosi pada responden dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya diantaranya adalah faktor keluarga, faktor lingkungan sekolah pendidikan dan faktor lingkungan masyarakat.2. Cara penelitianPeneliti melakukan pengambilan data dengan memakai kusioner sehingga dalam mengisi kuisioner tersebut responden sangat terpengr\aruh dengan situasi dan kondisi sekitarnya dan juga dipengaruhi oleh keadaan emosi responden pada saat pengisian kuisioner sehingga data yang tidak sebenarnya terjadi bisa terjadi.

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diurakan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa pelatihan kecakapan hidup (life skills) efektif terhadap peningkatan kecerdasan emosi.

B. Saran

1. Diharapkan dapat menjadi pengetahuan dan masukan serta syiar yang lebih spesfik bagi berbagai pihak yang berkaitan dengan remaja, baik orang tua, keluarga, para pendidik, psikologi, psikiater, tentang dinamika psikis remaja pada umumnya dan mahasiswa FK pada khususnya, untuk dapat meningkatkan kecerdasan emosi pada remaja sebagai awal dari pertahanan terhadap emosi yang negatif.

2. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas pelatihan kecakapan hidup (life skills) terhadap tingkat IQ, dan SQ pada subjek yang lebih luas.3. Diperlukan peneltian lebih lanjut mengenai pelatiha-pelatihan yang dapat dilakukan untuk meningkatan kecerdasan emosi .DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. (2002). Lifeskills Training Effective for Adolescent Drug Prevention. Journal of Psychosocial Nursing & Mental Health Services

BarOn, R., (1997). BarOn Emotional Quotient Inventory (EQ-i): A Test of Emotional Intelligence. Toronto, Canada, Multi-Health Systems.

Botvin GJ, Schinke SP, Epsten JA, Diaz T. (1994). Effectiveness of Culturally-focused and Generic Skills Training Approach to Alcohol and Drug Abuse among Minority Youths. Psychology of Addictive Behavior.

Botvin GJ, Schinke SP, Epsten JA, Diaz T. (1995). Effectiveness of Culturally-focused and Generic Skills Training Approach to Alcohol and Drug Abuse among Minority Youths: Two-Year Follow-Up Result. Psychology of Addictive Behavior.

Cooper, R. F., & Sawaf, A. (2000). Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.Departemen Kesehatan RI Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa. (2006). Modul Pelatihan Meningkatkan Kesehatan Jiwa Remaja di Sekolah Melalui Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education). Jakarta: Depkes RI

Gani, Abdul. (2006). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual dengan Kecenderungan Berperilaku Delinkuen pada Remaja Awal. Karya Tulis Ilmiah stara satu, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Gardner, W., Nutting, P.A., Kelleher, K.J., Warner, J.J., Farley, T., Stewart. L., Hartsell M., Orzano, A.J. (2001). Does the Family APGAR Effectively Measure Family Functioning? Journal of Family Practice, Jan, 2001

GJ, Botvin; SP, Schinke; JA, Epsten; T, Diaz. (1994). Effectiveness of Culturally-focused and Generic Skills Training Approach to Al- cohol and Drug Abuse among Minority Youths. Psy of Addict Behavior .

Goleman, D. (2000). Kecerdasan Emosi: Mengapa Emotional Intelligence Lebih Tinggi Daripada IQ. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, D. (2004). Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, D. (2009). Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka UtamaGottman, J. And De Claire. (1998). Kiat Membina Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka UtamaHurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga Pers.

Kaligis, F., Wiguna, T., & Widyawati, I. (2009). Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup terhadap Citra Diri Remaja. IDI .

Kaplan, H. I., & Saddock, B. J. (1997). Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi Ketujuh Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara.

Kartono, Kartini. (2005). Patologi Sosial II: Kenakalan Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Khalitbari, j., Ghorbanshirodi, S., M.Akhshabi, Mahmoudi, E., & Nejad, F. G. (2011). The Relationship between job Stress and Anxiety Level of the Employees of Tehran Municipality and Determining the Effectiveness of Life Skills Training in Reducing them. European Journal of Scientific Research .

Kurniati, Nia. (2008). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Kenakalan Remaja pada Kelas II SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah stara satu, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

Life Skills Training Fact Sheet. Diunduh dari http://www.lifeskillstraining.com/resource_fact.phpLizam, T.Cut. (2009). Meningkatkan Sikap Positif Terhadap Perilaku Tidak Merokok dan Kecenderungan Untuk Berhenti Merokok Melalui Pelatihan Kecerdasan Emosional pada Siswa SMA Di Kabupaten Aceh Barat Daya-NAD. Tesis Strata Spesialis I. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kekokteran Universitas Gadjah Mada.

Manglurkar L, Whitman CV, Posner M. (2001). Life Skills Approach to Child and Adolescent Healthy Human Development. Swedia: Swedish International Development Cooperation Agency.

Mighwar, A. M. (2006). Psikologi Remaja. Bandung: Pustaka SetiaMutadin, Z. (2003). Beberapa Permasalahan Remaja. http://www.zainun.htm.15/06/03Nggermanto, Agus. (2002). Quantum Quotient. Bandung: Nuansa Cendekia.

Prasastawati, Ismi. (2009). Perbedaan Kecerdasan Emosi Remaja yang Mempunyai Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja. Karya Tulis Ilmiah Stara Satu, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

Puspitosari, W.A., (2008). Perbedaan Skor Kecerdasan Emosi dan Kecemasan Siswa Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler serta Faktor-faktor yang mempengaruhi. Tesis Strata Spesialis I. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kekokteran Universitas Gadjah Mada.Sarwono, Sarlito W. (2004). Psikologi Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sarwono, S. W. (2011). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Seal, N. (2006). Preventing Tobacco and Drug Use Among Thai High School Students through Life Skills Training. Journal Compilation , 164-168.

Stein, Steven J. & Howard Book. (2002). Ledakan EQ. Bandung: Kaifa.

Sukardiansyah. (2004). Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Kecemasan pada Siswa SMU: Analisis Komparasi antara Siswa SMU Negeri 3 Jogjakarta dengan Siswa SMU Taruna Nusantara. Tesis Strata Spesialis I. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kekokteran Universitas Gadjah Mada.

Zollinger TW, Saywell RM, Muege CM, Wooldridge JS, Cummings SF, Caine VA. Impact of the Life Skills Training Curriculum on Middle School Students Tobacco Use in Marion County, Indiana,Zulkifli. (2002). Psikologi Perkembangan. Bandung: RosdaLAMPIRANPERNYATAAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama/ Inisial

:

Umur

:

Kelas

:

Menyatakan bersedia untuk berpartisipasi sebagai responden penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa/ mahasisiwi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bernama Sri Dewi Rahmawati, dengan judul Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup (Life Skills) Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja di SMKN 1 Kasihan Bantul Yogyakarta

Saya tahu bahwa informasi yang saya berikan ini akan bermanfaat bagi tenaga kesehatan, masyarakat umum.

Yogyakarta, Maret 2012

Responden

KUISIONER KECERDASAN EMOSI

PETUNJUK : 1. Isilah seluruh nomor, jangan ada yang terlewatkan

2. Silanglah jawaban yang menurut Anda sesuai dengan yang Anda alami atau rasakan

3. Pilihlah jawaban :

SS : Sangat Sesuai

S: Sesuai

N: Netral

TS: Tidak Sesuai

STS : Sangat Tidak Sesuai

Nama

:Jenis Kelamin:

Usia

:NoPernyataanSTSTSNSSS

1Saya dapat menerima keadaan diri saya sebagaimana adanya

2Saya Merasa dapat mengendalikan hidup saya

3Saya merasa terpacu mengejar target pekerjaan yang dibebankan kepada saya

4Ketika berhadapan dengan suatu masalah, saya akan menyelesaikannya sedini mungkin

5Saya tahu bagaimana membujuk orang lain agar mau mengikuti keinginan saya

6Kadangkala saya tidak mengerti dengan perasaan saya sendiri

7Sulit bagi saya untuk mengerahkan kemampuan saya demi mencapai tujuan

8Saya tidak peduli dengan kebutuhan dan harapan orang lain

9Saya merasa kesulitan dalam mengungkapkan ide-ide saya

10Saya kurang suka menangguhkan suatu pekerjaan

11Saya jarang terdorong untuk berusaha menghibur orang lain

12Saya sanggup berbeda pendapat dengan objektif untuk mengubah sesuatu

13Saya terus mencemaskan kekurangan saya

14Saya sering merasa malu untuk mengakui kekurangan saya

15Saya senang mengadapi tantangan dan memecahkan masalah dalam pekerjaan

16Saya melihat tantangan sebagai peluang untuk belajar

17Dengan pekerjaan saya sekarang, saya merasa tidak ada peluang bagi saya untuk maju dan berkembang

18Saya merasa tidak mampu untuk mengejar ketertinggalan dari teman saya

19Terkadang saya tidak memperhitungkan perasaan orang lain dalam interaksi dengan mereka

20Saya dapat mengenali emosi orang lain dengan memperhatikan mereka

21Saya sering mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan ketika banyak hal yang harus dipertimbangkan

22Saya merasa apa yang saya ungkapkan kepada orang lain kurang meyakinkan

23Saya merasa orang disekitar mempunyai kemampuan setara dengan saya dalam mendapatkan sesuatu yang lebih baik

24Saya berpikir tentang perasaan orang lain sebelum mengungkapkan pandangan saya

25Saya berusaha tetap tenang jika menghadapi masalah dengan orang lain

26Saya tidak takut mencoba lagi bila pernah gagal dalam pekerjaan yang sama

27Saya selalu menjadi pendengar yang baik, tak peduli dengan siapa saya berbincang

28Saya sulit mecapai kata sepakat dengan teman saya

HASIL UJI HIPOTESIS

Wilcoxon Signed Ranks Test

Wilcoxon Signed Ranks Test

Wilcoxon Signed Ranks Test

HASIL KATEGORISASI1. PRE TEST KONTROL

2. POST TEST KONTROL

3. PRE TEST INTERVENSI

4. POST TEST INTERVENSI

Faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi :

Faktor Internal : psikis (tempramen, interaksi dengan orang tua dan lingkungannya), fisik (fungsi otak)

Faktor eksternal : keluarga, lingkungan sekolah, kerabat, tetangga, dan teman bermain.

Kecerdasan emosi pada remaja

Pelatihan kecakapan hidup (Life Skills)

Subjek penelitian

Kelompok kontrol

Kelompok perlakuan

Efek pada Kecerdasan Emosi Remaja

Komponen-komponen kecerdasan emosi :

Mengenali emosi diri

Mengelola emosi

Memotivasi diri sendiri

Mengenali emosi orang lain

Membina hubungan

Tingkat kecerdasan emosi

2x