Prognosis Apendisitis Akut
-
Upload
muhammad-jahari-supianto -
Category
Documents
-
view
200 -
download
5
Transcript of Prognosis Apendisitis Akut
Prognosis apendisitis akut Prognosis Mortalitas adalah 0,1% jika apendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika pecah pada orang tua. Kematian biasanya dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi; prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum ruptur dan antibiotik yang lebih baik.
Morbiditas meningkat dengan ruptur dan usia tua. Komplikasi dini adalah septik. lnfeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan predisposisi terjadinya robekan (lebih jarang terjadi dengan insisi pemisahan otot). Abses intrabdomen dapat terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian dari sekum oleh abses atau konstriksi dari jahitan kantong atau dari pengikatan yang tergelincir. Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut mencakup pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan hernia.
Sumber ArtikelIntisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah
Ditulis oleh Carko Budiyanto
Pendahuluan
Apendisitis adalah peradangan pada apendix vermiformis (Pierce dan Neil, 2007).
Apendisitis merupakan kasus laporotomi tersering pada anak dan juga pada orang dewasa
(Ahmadsyah dan Kartono, 1995). Hampir 7% orang barat mengalami apendisitis dan sekitar
200.000 apendiktomi dilakukan di Amerika Serikat tiap tahunnya. Insidens semakin menurun
pada 25 tahun terakhir, namun di negara berkembang justru semakin meningkat,
kemungkinan disebabkan perubahan ekonomi dan gaya hidup (Lawrence, 2006).
Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding kecuali pada umur 20-30 tahun,
insidens laki-laki lebih tinggi, sedangkan pada bayi dan anak sampai berumur 1-2 tahun
jarang ditemukan (Syamsuhidajat, 1997).
Diagnosis harus ditegakkan dini dan tindakan harus segera dilakukam, keterlambatan
penanganan menyebabkan penyulit perforasi dan berbagai akibatnya (Ahmadsyah dan
Kartono, 1995).
Anatomi dan Fisiologi Appendix
Pada neonatus, apendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex
caecum, tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum, appendix berkembang di sebelah
kiri dan belakang kira-kira 2,5 cm di bawah valva ileocaecal (Lawrence, 2006). Istilah usus
buntu yang sering dipakai di masyarakat awan adalah kurang tepat karena usus buntu
sebenarnya adalah caecum. Appendix merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya sekitar
10 cm (3-15 cm). Lumennya sempit di bagian proximal dan melebar di bagian distal. Namun,
pada bayi, appendix berbentuk kerucut, lebar di pangkal, dan sempit di ujung (Syamsuhidajat,
1997). Ontogenitas berasal dari mesogastrium dorsale. Kebanyakan terletak intraperitoneal
dan dapat digerakkan. Macam-macam letak appendix : retrocaecalis, retroilealis, pelvicum,
postcaecalis, dan descendentis (Budiyanto, 2005).
Pangkal appendix dapat ditentukan dengan cara pengukuran garis Monroe-Pichter. Garis
diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, lalu garis dibagi 3. Pangkal appendix terletak 1/3
lateral dari garis tersebut dan dinamakan titik Mc Burney. Ujung appendix juga dapat
ditentukan dengan pengukuran garis Lanz. Garis diukur dari SIAS dextra ke SIAS sinistra,
lalu garis dibagi 6. Ujung appendix terletak pada 1/6 lateral dexter garis tersebut (Budiyanto,
2005).
Appendix menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir tersebut secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GULT yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendix adalah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi (Syamsuhidajat, 1997).
Etiologi Apendisitis
Penyebabnya hampir selalu akibat obstruksi lumen appendix oleh apendikolit, fekalomas
(tinja yang mengeras), parasit (biasanya cacing ascaris), benda asing, karsinoid, jaringan
parut, mukus, dan lain-lain (Subanada, dkk, 2007, Price dan Wilson, 2006).
Patofisiologi
Setelah terjadi obstruksi lumen appendix maka tekanan di dalam lumen akan meningkat
karena sel mukosa mengeluarkan lendir. Peningkatan tekanan ini akan menekan pembuluh
darah sehingga perfusinya menurun akhirnya mengakibatkan iskemia dan nekrosis. Invasi
bakteri dan infeksi dinding appendix segera terjadi setelah dinding tersebut mengalami
ulserasi. Infiltrat-infiltrat peradangan tampak di semua lapisan dan exudat fibrin tertimbun di
dalam lapisan serosa. Meskipun perforasi belum terjadi, organisme-organisme biasanya dapt
dibiakan dari mukosa appendix. Nekrosis dinding appendix mengakibatkan perforasi dan
pencemaran abdomen oleh tinja (Subanada, dkk, 2007; Chandrasoma, 2006).
Gambaran Klinis
Nyeri di sekitar umbilikus dan epigastrium disertai anoreksia (nafsu makan menurun),
nausea, dan sebagian dengan muntah. Beberapa jam kemudian nyeri berpindah ke kanan
bawah ke titik Mc Burney disertai kenaikan suhu tubuh ringan (Ahmadsyah dan Kartono,
1995). Bila appendix terletak retrokolik, rasa nyeri terasa di daerah pinggang bagian bawah,
bila terletak pelvical rasa nyeri dirasakan di hipogastrium atau di dalam pelvis, dan bila
terletak retrocaecal bisa mengiritasi m. psoas. Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat pucat,
adanya nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, dan tahanan otot (defans muskuler). Iritasi pada
psoas dan obturator menimbulkan nyeri panggul. Peristaltik di daerah appendix menurun.
Pada rectal toucher, ada nyeri pada arah jam 10-11 merupakan petunjuk adanya perforasi
(Subanada, dkk, 2007).
Diagnosis Banding
Beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding (Pierce dan Neil, 2007):
1. limfadenitis mesenterica terutama pada anak-anak.
2. penyakit pelvis pada wanita : inflamasi pelvis, ISK, kehamilan ektopik, ruptur kista
korpus luteum, endometriosis externa.
3. lebih jarang : penyakit Crohn, kolesistitis, perforasi ulkus duodenum, pneumonia kanan
bawah.
4. jarang : perforasi karsinoma caecum, diverkulitis sigmoid
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila memenuhi (Pierce dan Neil, 2007):
1. gambaran klinis yang mengarah ke appendisitis.
2. laboratorium : lekositosis ringan, lekosit > 13.000 /dl biasanya pada perforasi, terdapat
pergeseran ke kiri (netrofil segmen meningkat).
3. USG untuk massa appendix dan jika masih ada keraguan untuk menyingkirkan kelainan
pelvis lainnya.
4. laporoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium sebelum
dilakukan apendiktomi pada wanita muda.
5. CT scan pada usia lanjut atau dimana penyebab lain masih mungkin.
Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendiktomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang baik. Penundaan tindak bedah sambil pemberian
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Apendiktomi bisa dilakukan secara
terbuka atau pun dengan cara laporoskopi. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak
perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata
(Syamsuhidajat, 1997).
Komplikasi
Beberpa komplikasi yang dapat terjadi :
1. Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi
appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam
tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan
kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun
sampai menghilang karena ileus paralitik (Syamsuhidajat, 1997).
1. Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam
bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi
dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi,
gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri
abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang
(Price dan Wilson, 2006).
1. Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan
oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan
mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa apendix dengan proses
radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu
masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri.
Massa apendix dengan proses meradang telah mereda ditandai dengan keadaan umum
telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda peritonitis, teraba massa
berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal (Ahmadsyah dan
Kartono, 1995).
Prognosis
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat terjadi
pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30% kasus apendix
perforasi atau apendix gangrenosa.
Pencegahan
Sering makan makanan berserat dan menjaga kebersihan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmadsyah dan Kartono. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
2. Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy II. Surakarta : Keluarga Besar Asisten
Anatomi FKUNS.
3. Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Ed: ke-2. Jakarta : EGC.
4. Faradillah, Firman, dan Anita. 2009. Gastro Intestinal Track Anatomical Aspect.
Surakarta : Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.
5. Guyton, AC dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-9 . Jakarta: EGC.
6. Lawrence. 2006. Appendix. Dalam: Current Surgical Diagnosis and Treatment. Ed : 12.
USA : The McGraw-Hill Companies, Inc.
7. Pierce dan Neil. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Ed : 3. Jakarta : Penerbit Erlangga.
8. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke-6.
Jakarta: EGC.
9. Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. 2007. Beberapa Kelainan Gastrointestinal
yang Memerlukan Tindakan Bedah. Dalam: Kapita Selekta Gastroenterologi Anak.
Jakarta: CV Sagung Seto.
10. Syamsuhidajat. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
11. 1. Pemeriksaan Fisik2,3,4
12. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Inspeksi : pada apendisitis akut sering
ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa
ditemukan distensi perut.
13. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Palpasi : pada daerah perut kanan bawah
apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri.
Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada
penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini
disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah
dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda
Blumberg (Blumberg Sign).
14. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini
dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit
diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan
apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis pada apendisitis pelvika.
15. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator :
pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang.
Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul
kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut
akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang
kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka
tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika.
16. . Pemeriksaan Penunjang
17. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan
darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap
ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil
diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.1,6
18. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Radiologi : terdiri dari pemeriksaan
ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta
perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.3,5
19. DIAGNOSIS
20. Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis
lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari
mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami gangguan
yang mirip apendisitis. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi,
menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan
angka kesalahan diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi
penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang
dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi
diagnosis pada kasus yang meragukan.2
21. TATA LAKSANA
22. Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat
adalah segera dilakukan apendiktomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua cara,
yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila apendisitis baru diketahui setelah
terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan
adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini
merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala
membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika
gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan
melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi.
Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan
klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses
setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan
tindakan bedah.2,6
23. DAFTAR PUSTAKA
[1] Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah Digestif”,
dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima. Media
Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.
[2] Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.
[3] Zeller, J.L., Burke, A.E., Glass, R.M., ”Acute Appendicitis in Children”, JAMA,
http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/298/4/482, 15 Juli 2007, 298(4): 482.
[4] Simpson, J., Humes, D. J., “Acute Appendicitis”, BMJ,
http://www.bmj.com/cgi/content/full/333/7567/530, 9 September 2006, 333: 530-536.
[5] Mittal, V.K., Goliath, J., Sabir, M., Patel, R., Richards, B.F., Alkalay, I., ReMine, S.,
Edwards,M., “Advantages of Focused Helical Computed Tomographic Scanning With
Rectal Contrast Only vs Triple Contrast in the Diagnosis of Clinically Uncertain Acute
Appendicitis”, Archives of Surgery,
http://archsurg.ama-assn.org/cgi/content/full/139/5/495, Mei 2004, 139(5): 495-500
[6] Grace, Pierce. A., Neil R. Borley., At a Glance, Edisi 3. Erlangga, Jakarta, 2007,
hlm.106-107.